Referat Morbili [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ANAK



REFERAT



FAKULTAS KEDOKTERAN



OKTOBER 2020



UNIVERSITAS HALU OLEO



MORBILI



Oleh : Muh. Hardiansyah B., S.Ked K1A1 15 029 Pembimbing : dr. Hasniah Bombang, M.Kes., Sp.A



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2020



HALAMAN PENGESAHAN Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa : Nama



: Muh. Hardiansyah B., S.Ked



NIM



: K1A1 15 029



Judul Referat : Morbili Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo. Kendari,



Oktober 2020



Mengetahui : Pembimbing,



dr. Hasniah Bombang, M.Kes., Sp.A



2



MORBILI



Muh. Hardiansyah B., Hasniah Bombang A.



PENDAHULUAN Campak atau morbili merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus yang tergolong dalam famili Paramyxovirus dan genus Morbilivirus. Campak saat ini masih mejadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada negara berkembang. Campak adalah penyakit menular yang berpotensi menjadi penyakit berat pada bayi, ibu hamil, dan orang dengan penurunan sistem imun. Campak dapat dicegah dengan program vaksinasi.1 Menurut WHO, pada tahun 2008, cakupan vaksinasi campak secara global telah mencapai 83% pada anak usia 12-23 bulan. Tingkat cakupan terendah ditemukan di wilayah Asia Tenggara (75%) dan Afrika (73%). Pada negara dengan tingkat pendapatan rendah, 76% anak berusia 12-23 bulan telah mendapat vaksinasi campak.2 Empat puluh tahun setelah vaksin campak efektif dikeluarkan, campak masih menyebabkan kematian dan sakit parah pada anak-anak di seluruh dunia. Pada tahun 2011, setidaknya 50 juta orang terinfeksi campak di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian. Komplikasi campak hampir mengenai semua sistem organ. Pneumonia dan ensefalitis adalah penyebab umum kematian. Tingkat komplikasi lebih tinggi pada anak usia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 20 tahun. Peningkatan komplikasi terjadi karena penurunan kekebalan tubuh, kekurangan gizi, kekurangan vitamin A, dan tidak ada vaksinasi campak sebelumnya.3



3



B.



DEFINISI Campak adalah penyakit infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, inflamasi mukosa dan saluran napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi kulit. Campak adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi yang bermanifestasi dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita campak adalah < 12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini adalah morbili, measles, dan rubeola.4



C.



EPIDEMIOLOGI Lebih dari 20 juta penularan campak terjadi setiap tahunnya, dengan 139.300 kematian pada tahun 2010. Sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan cakupan imunisasi dengan vaksinasi virus campak yang dilemahkan, jadwal vaksinasi sebanyak dua kali, dan tindakan preventif terhadap campak telah menurunkan angka kematian global akibat campak hingga 74% dari 535.000 kematian pada tahun 2000. Mayoritas dari jumlah kematian karena campak ini terjadi di Afrika dan Asia akibat terhambatnya program imunisasi dan kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai.5 Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama



4



pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).5 Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia ditemukan sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu lima tahun, memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.6 Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder



atau



penyulit.



Penyulit



yang



sering



dijumpai



ialah



bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%) dan lain-lain (7,9%).6



D.



ETIOLOGI Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu disimpan dalam temperature 35°C, dan beberapa hari pada suhu 0°C. Virus tidak aktif pada pH rendah.6 5



Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) – yang merupakan struktur helix nucleoprotein dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin.6 Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37°C waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56°C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu berahan dalam keadaan dingin, pada suhu -70°C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6°C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.6



E.



PATOFISIOLOGI Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari 6



kedua setelah timbulnya ruam. Virus campak menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvelesen, hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.7,8



F.



PATOGENESIS Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari setelah timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam.6 Infeksi virus campak pertama kali terjadi pada epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi di daerah nasofaring ini akan diikuti 7



dengan penyebaran virus campak ke jaringan limfatik regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi replikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh. Replikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi.6,9 Setelah lima hingga tujuh hari setelah infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara generalisata. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya seperti kulit, kandung kemih, dan usus.dapat terinfeksi pula.6,9 Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari system saluran nafas diawali dengan dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.6 Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed



hypersensitivity



terhadap



antigen



virus,



muncul



ruam



makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu



8



antibody humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T.6 Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai puncaknya dan kemudian titer virus akan menurun menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama proses infeksi, virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag.9 Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak.7 Hari 0



Manifestasi Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring atau kemungkinan konjungtiva



1-2 2-3 3-5



Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional Viremia primer Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi



5-7 7-11



pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh Viremia sekunder Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran



11-14 15-17



nafas Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang Tabel 1. Patogenesis campak tanpa penyulit.6



G.



MANIFESTASI KLINIS



9



Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti dengan koriza/pilek, batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak dikategorikan dalam tiga stadium: 



Stadium inkubasi Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 12-14 hari. Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.







Stadium prodromal Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul adalah demam yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4 - 40,6°C pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada saat ruam muncul. Selain itu biasanya terdapat batuk, pilek dan konjungtivitis. Inflamasi konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari ke-10±1 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada



10



bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Muncul 1-2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan. 



Stadium erupsi Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat suhu berkisar 39,5˚C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki, ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan munculnya. Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak memutih dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang tidak memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi kecoklatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus



11



dengan gambaran ruam yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul hingga menutupi seluruh bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi bengkak sehingga sulit dikenali.4,10 H.



DIAGNOSIS Diagnosis campak biasanya dapat dibuat dengan berdasarkan kelompok gejala klinis yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi dalam beberapa hari diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki dalam waktu 3 hari atau lebih bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh (demam 38,3 °C (101°F) dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada stadium prodromal dapat ditemukan eksantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis campak (bercak Koplik).6,11 Tetapi gejala klinis pada penyakit campak sering mengalami modifikasi misalnya penyakit campak dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit. Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah mendapat imunisasi campak. Karena banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas, maka untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. 1.



Pemeriksaan darah rutin



12



Biasanya ditemukan leukopenia. 2.



Deteksi virus a.



Virus campak dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi saluran nafas, usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus campak sangat sulit ditemukan, sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit campak.



b.



Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjungtiva atau urin dapat digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel raksasa dan mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap protein N virus. Protein ini paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.



c.



Pemeriksaan



jaringan



langsung



pada



penderita



dengan



immunocompromised karena respon antibodinya tidak terbentuk. d.



RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi memakai PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis.



3.



Mendeteksi antibodi Diagnosis penyakit campak paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi. Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan munculnya ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam. Antibodi IgM meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat



13



dideteksi setelah 4-12 minggu. IgG sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui apakah sudah pernah terinfeksi atau sudah pernah mendapat imunisasi. Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium adalah: a.



Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik campak dan mendeteksi RNA virus.



b.



Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus



c.



Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya rum pada kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik campak. Positif jika terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat.10,11



I.



DIAGNOSIS BANDING a.



Rubella Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada naka dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3 hari. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disertai kelainan sendi dan purpura. Tubella pada kehamilan mudadapat



14



mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat pada janin Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan. Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadangkadang lebih lama. Selain dari secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial, dan paru. Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangya erupsi. Manifestasi klinis: 



Masa inkubasi: Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.







Masa prodromal: Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari emam ringan, sakit kepala, nyeri tenggoril, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk, dan



15



limfadenopati. Gejala ini segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20% penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul enantemam Forscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bias saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular dan servikal, dan disertai nyeri tekan. 



Masa eksantema. Seperti pada campak, eksantema mulai retroaurikular atau pada muka dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-mula berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan menyatu, memberikan bentuk campakform. Pada hari kedua eksantema di muka menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40% kasus infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi deskuamasi posteksantematik.6



Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.



16



Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari.6 b.



Eksantema Subitum Eksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut, biasanya terjadi secara sporadic dan dapat menimbulkan epidemic. Hal yang unik dari eksantema subitum adalah ruam dan perbaikan klinis yang terjadi hampir simultan. Eksantema subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi pada anak. Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infantum, sixth disease, the rose rash of infants, dan pseudorubella. Eksantema



subitum



merupakan



infeksi



primer



HHV-6B.



Eksantema subitum merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki karakteristik khas yang timbul 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi bila demam sudah menurun,



anak



menjadi



tampak



normal.



Umumnya



terjadi



limfadenopati servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati di oksipital posterior pada 3 hari pertama



17



infeksi, disertai eksantema (Nagayana’s spots) pada palatum molle dan uvula. Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar kearah leher, wajah, dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk campakform atau rubella-like dengan macular, lesi berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3 mm. dapat ditemukan juga ubunubun besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain dari eksantema subitum yang klasi. Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat juga disertai gejala-gejala yang lain seperti otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan gastroenteritis.6 c. Scarlet Fever Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic (erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi masih ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status imunitas populasi.



18



Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei, debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi Streptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi yang berisi bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier karena infeksi Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan organisme. Makanan atau susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi Streptokokus pada faring. Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus, popular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit yang menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian meluas ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar



19



matahari ringan. Terkadang, deskuamasi juga dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah terlihat seperti terlapis dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien scarlet fever dapat ditemukan strawberry tongue.4 d. Erupsi Obat Alergi Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Ada dua macam mekanisme pathogenesis erupsi obat alergi. Pertama adalah reaksi mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme nonimunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan reaksi imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non-imunologis yang disebabkan oleh toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat, dan perubahan dalam metabolisme. Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-oabatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Selain itu, dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyerluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul. Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah



20



dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Akan tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten.12 Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah: 



Biopsi kulit Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.







Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah



21



eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut. 



Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.12 Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin.12



J.



PENATALAKSANAAN Penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat 22



simtomatik, dengan pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai. Pemberian vitamin A pada pasien campak untuk usia 1 tahun sebanyak 200.000 IU sebanyak satu kali.12 Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.6 Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi system pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.6



K.



KOMPLIKASI 1.



Bronkopneumonia Bronkopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh



Pneumococcus,



Streptococcus,



dan



Staphylococcus



yang



menyerang epitel pada saluran pernafasan. Ditandai dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu turun, apabila disebabkan oleh virus gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus. Gambaran infiltrate pada foto toraks dan 23



adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di Negara sedang berkembang dimasa malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit pneumonia bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik. Untuk



pengobatan



diberikan



antibiotik



ampisilin



100



mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotic diberikan sampai tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin biasanya negative (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed hypersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya.6 2.



Otitis Media Akut Invasi virus ke dalam linga telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang telinga biasanya hipertemis pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus akan terjadi otitis media purulenta. Dapat pula terjadi mastoiditis. Otitis media seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu diberikan antibiotic kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP 4mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis)



24



3.



Ensefalitis Merupakan penyakit neurologic yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari ke-4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitr 1 dalam 1000 kasus campak, dengan mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang, letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching, disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuclear, peningkatan protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.S.6,13 Pada ensefalopati perlu diberikan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari. Deksametason juga diberikan dengan dosis awal 1 mg/kgBB/hari, dilanjutkan 0,5 gr/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian deksametason yang melebihi 5 hari dilakukan tapering-off saat menghentikan terapi. Selain itu, perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk mengurangi edema otak dan perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.6,13



4.



SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis) Subacute



sclerosing



encephalitis



merupakan



kelainan



degenerative susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi



25



virus campak yang persisten. Kemungkinan untuk menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per 100.000 infeksi campak. Risiko terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih muda, dengan masa inkubasi rata-rata 7 tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku dan intelektual yang progresif, diikuti olehinkoordinasi motoric, kejang umumnya bersifat mioklonik. Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal, antibody terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat (1:1280). Tida ada terapi untuk SSPE. Rata-rata jangka waktu timbulnya gejala sampai meninggal antara 6-9 bulan.6 5.



Enteritis Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropaty). Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi sehingga pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi.6



L.



PENCEGAHAN 1.



Pencegahan tingkat awal Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi atau resiko terhadap penyakit campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak yang masih sehat dan belum



26



memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang baik. 2.



Pencegahan tingkat pertama Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok berisiko, yakni anak yang belum terkena campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit campak. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang terkena penyakit campak, yaitu: 



Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan Program Imunisasi Nasional (vaksinasi campak) untuk semua bayi.







Vaksinasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan. Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin campak tidak boleh diberikan pada wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan penderita leukemia. Vaksin campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalent (measles-containing vaccine; MCV) atau polivalen (measles-mumps-rubella; MMR).



3. Pencegahan tingkat kedua Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti



27



tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini campak serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah penyakit. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi dan pengelolaan campak memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat. 4.



Pencegahan tingkat ketiga Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit campak. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.7



M.



PROGNOSIS Pada penyakit campak yang tidak disertai dengan komplikasi maka prognosisnya baik. Sedangkan pada campak yang disertai komplikasi (misal



28



ensefalitis dan pneumonia) maka prognosisnya buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun jarang ditemukan. Penyakit campak juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.7



29



DAFTAR PUSTAKA 1. Thorrington D, Ramsay M, Hoek AJ, Edmunds WJ, Vivancos R, Bukasa A, et al. The effect of measles on health-related quality of life: a patientbased survey. PLoS One 2014;9(9):105-53. 2. Rammohan A, Awofeso N, Fernandez RC. Paternal education status significantly influences infants' measles vaccination uptake, independent of maternal education status. BMC Public Health 2012;12:336. 3. Perry RT, Halsey NA. The clinical significance of measles: a review. J Infect Dis. 2004;189(1):4-16. 4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. 5. Haralambieva IH, Ovsyannikova IG, Pankratz VS, Kennedy RB, Jacobson RM, Poland GA. The genetic basis for interindividual immune response variation to measles vaccine: new understanding and new vaccine approaches. Expert Review of Vaccines 2013 01;12(1):57-70. 6. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18. 7. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious Disease Journal 2007; 27(10). 8. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of Medicine 2010;77(3):207-13. 9. Cherry J.D. Feign R.D. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke4. Philadepia: WB Saunders; 2008.h.1889-91.



30



10. Soedarto. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. 11. Setiawan IM. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto; 2008. 12. Nababan KA. Profil erupsi obat di satuan medis fungsional ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSUP Haji Adam Malik tahun 2010 – 2013 [disertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2014. 13. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA, editor. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.h.67-8. 14. Borras E, Urbiztondo L, Costa J, Batalla J, Torner N, Plasencia A, et al. Measles antibodies and response to vaccination in children aged less than 14 months: implications for age of vaccination. Epidemiol Infect 2012;140(9):1599-606. 15. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto, Soedjatmiko, edirot. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbut Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.



31