Referat Osteoarthritis, Gout Arthritis, Dan Rheumatoid Arthritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT “ PENDEKATAN DIAGNOSIS OSTEOARTHRITIS, GOUT ARTHRITIS, DAN RHEUMATOID ARTHRITIS”



Disusun Oleh :



Arina Zhabrina Npm 1102013042



Pembimbing :



Dr. Yanti Widamayanti, Sp.PD



Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSU dr. Slamet Garut



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE MEI- JULI



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pendekatan Diagnosis Osteoarthritis, Gout Arthritis, dan Rheumatoid Arthritis”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Dr. Slamet Garut. Penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada 1. dr. Yanti Widamayanti, Sp.PD selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan masukan dan semangat dalam menyusun referat ini. 2. Konsulen kepaniteraan ilmu penyakit dalam RSU Dr. Slamet Garut : dr. Hj. Shelvi Febrianti, Sp.PD, dr. Melly Ismelia, Sp.PD, dr. Johnson Manurung, SP.PD. 3. Keluarga tercinta yang telah memberi dorongan, bimbingan, dan bantuan baik materi maupun spiritual dalam menyelesaikan referat ini. 4. Sahabat tercinta yang telah memberikan dukungan juga masukan dalam penyusunan referat serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk diskusi, kritikan dan saran, karena penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan, namun harapan penulis semoga referat ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Jakarta,



Juni 2017



Arina Zhabrina ii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL……………………………………………..……………..……i KATA PENGANTAR………………………………………………………............ii DAFTAR ISI………………...……………………………………………….……..iii



BAB 1. PENDAHULUAN………………………………………...………………...1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………...…………..…3 2.1 OSTEOARTHRITIS…………………….……………………………….3 2.1.1 DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI………………………………….3 2.1.2 ETIOLOGI…………………………………………………………..3 2.1.3 PATOFISIOLOGI…………………………………………………...5 2.1.4 MANIFESTASI KLINIS……………………………………………7 2.1.5 DIAGNOSIS………………………………………………………...9 2.1.6 TATALAKSANA………………………………………………….13 2.2 GOUT ARTHRITIS……………..………………………………………16 2.2.1 DEFINISI ………………………………………………………….16 2.2.2 ETIOLOGI…………………………………………………………16 2.2.3 PATOFISIOLOGI………………………………………………….18 2.2.4 MANIFESTASI KLINIS…………………………………………..19 2.2.5 DIAGNOSIS……………………………………………………….22 2.2.6 TATALAKSANA………………………………………………….23 2.2.7 PROGNOSIS………………………………………………………24 2.3 RHEUMATOID ARTHRITIS………………….……………………....24 2.3.1 DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI………………………………...24 2.3.2 ETIOLOGI…………………………………………………………25 2.3.3 PATOFISIOLOGI…………………………………….....................26 iii



2.3.4 MANIFESTASI KLINIS…………………………………………..28 2.3.5 DIAGNOSIS……………………………………………………….31 2.3.6 TATALAKSANA………………………………………………….33 2.3.7 PROGNOSIS………………………………………………………34 BAB 3. KESIMPULAN……………………………………………………………36 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...38



iv



BAB I PENDAHULUAN



Arthritis merupakan salah satu dari berbagai masalah penyakit kronis yang umum dan menjadi penyebab kedua disability setelah penyakit jantung pada orang amerika usia diatas 15 tahun. 7 juta diantaranya mengalami hambatan-aktivitas seharihari, berjalan, berpakaian, mandi, dan sebagainya. Arthritis adalah istilah umum untuk peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. Gejala klinis yang sering adalah rasa sakit, ngilu, kaku, atau bengkak di sekitar sendi. Beberapa tipe arthritis yaitu osteoarthritis (OA), Gout arthritis (GA), dan Rheumatoid arthritis (RA). Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degenerative dimana rawan kartilago yang melindungi ujung tulang mulai rusak disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subchondral yang menimbulkan rasa sakit dan hilangnya kemampuan bergerak. Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5 % pada pria, dan 12,7 % pada wanita. Penyakit ini merupakan jenis arthritis yang paling sering terjadi yang mengenai mereka di usia lanjut atau usia dewasa. Secara klinis OA ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan pada gerak sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis sendi yang terkena. Terapi OA biasanya bersifat simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor resiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis. Selain Osteoarthritis, penyakit arthritis yang sering terjadi adalah gout arthritis (GA). Gout arthritis merupakan penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler. GA lebih banyak terdapat pada pria daripada wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa menopause.



1



Manifestasi klinis deposisi urat meliputi arthritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), dan batu asam urat. Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7 ml/dl dan 6 mg/dl. GA lebih sering menyerang sendi kecil terutama ibu jari kaki. Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk gout. Secara umum penangan GA adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi, dan pengobatan. Selain OA dan GA, terdapat penyakit Rheumatoid arthritis (RA) yang juga merupakan penyakit radang sendi yang sering terjadi. Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik yang menyebaban nyeri, kekauan, pembengkakan, dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Prevalensi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. RA dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada RA kekauan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki RA. Saat ini diagnosis RA di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College Of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010. Diagnosis RA ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. Metode terapi yang dianut saat ini yaitu pemberian DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs) sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab, dan etanercept. Apabila tidak mendapat terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan disabilitas.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 OSTEOARTHRITIS (OA) 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Osteoarthritis Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal, progresif dan degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur sendi tersebut yaitu berupa degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Hal tersebut disertai dengan peningkatan ketebalan dan sklerosis dari subchondral yang bisa disebabkan oleh pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, peregangan kapsul artikular, synovitis ringan pada persendian, dan lemahnya otot-otot yang menghubungkan persendian. Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. OA terjadi pada 13,9% orang dewasa berusia lebih dari 25 tahun dan 33,6% dari mereka yang berusia lebih dari 65 tahun. Prevalensi sendi yang terkena OA menurut temuan radiologis adalah pada tangan 7,3%, kaki 2,3%, lutut 0,9%, dan panggul 1,5%. Prevalensi OA menurut gejala yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang dewasa berusia lebih dari 60 tahun dan 16% pada orang dewasa berusi 45 – 60 tahun, dan panggul 4,4%. Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2 hingga 0,3 kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA sekitar 6% dari semua kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per tahun disebabkan OA dan angka tersebut meningkat selama 10 tahun terakhir.



2.1.2 Etiologi Osteoarthritis Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses



terjadinya



osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif, antara lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-faktor 3



protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya



Menurut penyebabnya osteoarthritis dikategorikan menjadi : a. Osteoarthritis primer : yaitu degenerative articular sendi yang terjadi pada sendi tanpa adanya abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering menyerang sendi penahan beban tubuh (weight bearing joint), atau tekanan yang normal pada sendi dan kerusakan akibat proses penuaan. Paling sering terjadi pada sendi lutut dan sendi panggul, tetapi juga ditemukan pada sendi lumbal, sendi jari tangan, dan jari pada kaki. b. Osteoarthritis sekunder : paling sering terjadi pada trauma atau terjadi akibat dari suatu pekerjaan, atau dapat pula pada kongenital dan adanya penyakit sistemik. Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi pada umur lebih awal daripada osteoarthritis primer.



Faktor Resiko Osteoarthritis a. Faktor resiko sistemik 1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks kartilago yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi. Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis. Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko kerusakan sendi. 2. Jenis kelamin : masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada perempuan usila lebih banyak daripada laki-laki usila. Resiko ini dikaitkan dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca menopause. 3. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis. 4



b. Faktor intrinsik 1. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus. 2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis. c. Faktor beban pada persendian 1. Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat kerusakan pada sendi. 2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan berulang pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang membantu pergerakan sendi.



2.1.3 Patofisiologi Osteoarthritis Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera. Pada osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolism tulang rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago articular menghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menghasilkan IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler. Gambaran utama pada osteoarthritis adalah : 1. Dekstruksi kartilago yang progresif 2. Terbentuknya kista subarticular 3. Sklersosis yang mengelilingi tulang 4. Terbentuknya osteofit 5. Adanya fibrosis kapsul 5



Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan untuk menahan kekuatan tekanan dari sendi. Penurunan kekuatan dari tulang rawan disertai degradasi kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja menimbulkan kerusakan mekanik. Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan komposisi molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks rawan sendi. Melalui mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan meluas dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan sendi. Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan tulang yang dibawahnya juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan meningkatkan selularitas dan invasi vaskular,akibatnya tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejalagejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan deformitas. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral. Sinovium mengalami peradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan rawan 6



sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya.



Gambar 1. Osteoarthritis



2.1.4 Manifestasi Klinis Osteoarthritis Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA : a.



Nyeri sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( radiologis ). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ). Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago.7 Pada penelitian dengan 7



menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum tulang. Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri.6 Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial band. b.



Hambatan gerakan sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri.



c.



Kaku pagi Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.7



d.



Krepitasi Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu.



e.



Pembesaran sendi ( deformitas ) Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.



f.



Pembengkakan sendi yang asimetris Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah.



g. Tanda – tanda peradangan Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut. h.



Perubahan gaya berjalan 8



Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA lutut.



2.1.5 Diagnosis Osteoarthritis Diagnosis osteoarthritis lutut berdasarkan klinis, klinis dan radiologis, serta klinis dan laboratoris (JH Klippel, 2001) : a. Klinis: Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini: 1. umur > 50 tahun 2. kaku sendi < 30 menit 3. krepitus 4. nyeri tekan tepi tulang 5. pembesaran tulang sendi lutut 6. tidak teraba hangat pada sendi Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%. b. Klinis, dan radiologis: Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini: 1. umur > 50 tahun 2. kaku sendi 50 tahun 2. kaku sendi 6 mg% ). Kadar asam urat normal dalam serum pria 8 mg% dan pada wanita 7mg%. Sampai saat ini, pemeriksaan kadar asam urat terbaik dilakukan dengan cara enzimatik. Kadang-kadang didapatkan leukositosis ringan dan LED yang meninggi sedikit. Kadar asam urat dalam urin juga tinggi (500mg%/liter per 24jam). Pemeriksaan radiografi pada serangan artritis gout pertama adalah non spesifik. Kelainan utama radiografi pada long standing adalah inflamasi asimetri, arthritis erosive yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak. Selain pemeriksaan tersebut, pemeriksaan cairan tofi juga penting untuk menegakkan diagnosis. Cairan tofi merupakan cairan yang berwarna putih seperti susu dan kental sekali. Diagnosis dapat dikatakan pasti apabila diperoleh gambaran kristal asam urat (berbentuk lidi) pada sediaan mikroskopik.



2.2.6 Tatalaksana Gout Arthritis Terapi nonmedikamentosa Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya purin, obesitas, serta sering meminum alkohol. Purin merupakan senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat dalam tubuh, sehingga diet purin merupakan cara terbaik dalam pengobatan asam urat. Terapi medikamentosa Terapi pada gout biasanya dilakukan secara medik (menggunakan obat-obatan). Medikamentosa pada gout termasuk : 1. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). NSAIDs dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada penderita gout secara efektif. Contoh dari NSAIDs adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya. 2. Colchicine. Merupakan pilihan utama dalam pengobatan maupun pencegahan dengan dosis lebih rendah. Colchicine mengontrol gout secara efektif, tetapi seringkali membawa efek samping, seperti nausea, vomiting and diare. Colchicine 23



diberikan secara oral, dan diberikan setiap 1 sampai 2 jam dengan dosis maksimal 6mg hingga adanya peningkatan yang lebih baik pada kondisi pasien. 3. Steroid. Steroid biasanya berbentuk pil atau dapat pula berupa suntikan yang lansung disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping dari Steroids antara lain penipisan tulang, susah menyembuhkan luka dan juga penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids digunakan pada penderita gout yang tidak bisa menggunakan NSAIDs ataupun colchicines.



Terapi operatif Pasien gout yang terdiagnosa dan diterapi lebih awal biasanya tidak memerlukan operasi orthopedi. Pasien gout yang tidak diterapi atau terlambat diterapi memerlukan operasi orthopedi.



2.2.7 Prognosis Gout Arthritis Gout tidak memperpendek masa hidup tapi mengurangi kualitas hidup.



2.3 RHEUMATOID ARTHRITIS (RA) 2.3.1 Definisi dan Epidemiologi Rheumatoid Arthritis Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Artritis rheumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan ikat difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada pasien biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun episode peradangan sendi dapat mengalami masa remisi. Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5 – 1 %. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di 24



daerah rural dan 0.3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki dengan rasio 3 : 1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.



2.3.2 Etiologi Rheumatoid Arthritis Faktor genetik. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60 %. Hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B(NF-κB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80%.



Hormon sex. Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat. 25



Faktor Risiko Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.



2.3.3 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.



Membran sinovial



NORMAL



AR Peradangan membaran sinovial



Tulang rawan sendi



Pannus



Kapsul sendi



Cairan sinovial Penipisan tulang rawan sendi



Gambar 10. Destruksi sendi oleh jaringan pannus.



Peran sel T. Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dari major histocompatibility complex class 26



II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau sistemik.. Interleukin (IL)-6 dan



transforming growth factor-beta (TGF-β)



kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17 menginduksi pengeluaran Il17. Peran sel B. Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut: 1.



Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.



2.



Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan kemokin.



3.



Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.



4.



Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B. Berdasarkan mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperanan penting dalam penyakit AR, sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.



2.3.4 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis Awitan (onset).Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10 – 15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diagnosis AR lebih 27



mudah ditegakkan. Pada 8 – 15% penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.



Manifestasi artikular. Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada AR yang kronik.



Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat.



Manifestasi ekstraartikular. Walaupun artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon 28



xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra, MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi.Beberapa manifestasi ekstraartikuler seperti vaskulitis dan Feltysyndrome jarang dijumpai, tetapi sering memerlukan terapi spesifik.



Deformitas.Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas yang bisa ditemukan pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 1.



Tabel 1.Bentuk-bentuk deformitas pada artritis reumatoid. Bentuk deformitas*



Keterangan



Deformitas leher angsa (swan-neck) Deformitas boutonnière Deviasi ulna



Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP. Fleksi PIP dan hiperekstensi DIP. Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna. Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar. Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi dari sendi interfalang. Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi mengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan tampak mengecil (operetta glass hand). MTP I terdesak kearah medial dan jempol kaki mengalami deviasi kearah luar yang terjadi secara bilateral.



Deformitas kunci piano (piano-key)



Deformitas Z-thumb Arthritis mutilans



Hallux valgus



29



2.3.5 Diagnosis Rheumatoid Arthritis Kriteria Diagnostik Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010 yaitu



Tambahkan seluruh skor pada kategori A-D, pasien dengan skor >6/10 diperlukan untuk dimasukkan dalam klasifikasi pasien yang memiliki artritis rheumatoid.



Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik Tabel 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk artritis rheumatoid. Pemeriksaan penunjang C-reactive protein (CRP)* Laju endap darah (LED)* Hemoglobin/hematokrit*



Jumlah lekosit* Jumlah trombosit* Fungsi hati* Faktor reumatoid (RF)*



Penemuan yang berhubungan Umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/mL, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL, anemia normokromik, mungkin juga normositik atau mikrositik Mungkin meningkat. Biasanya meningkat. Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat. Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif dapat diulang setelah 6 – 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapa penyakit 30



Foto polos sendi*



MRI



Anticyclic citrullinated peptide antibody (anti-CCP)



Anti-RA33 Antinuclear antibody (ANA) Konsentrasi komplemen Imunoglobulin (Ig) Pemeriksaan cairan sendi



seperti SLE, skleroderma, sindrom Sjögren’s, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit. Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya. Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, tampilan struktur sendi lebih rinci. Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP. Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan antiCCP negatif. Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR.



Normal atau meningkat. Ig α-1 dan α-2 mungkin meningkat. Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif dan kadar glukosa rendah. Fungsi ginjal Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk memonitor efek samping terapi. Urinalisis Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit jaringan ikat. * Direkomendasikan untuk evaluasi awal AR



2.3.6 Tatalaksana Rheumatoid Arthritis Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan menurunkan angka perburukan penyakit.Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin.ACRSRA mekomendasikan bahwa penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modifying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik. 31



Tujuan terapi pada penderita AR adalah : 1. Mengurangi nyeri 2. Mempertahankan status fungsional 3. Mengurangi inflamasi 4. Mengendalikan keterlibatan sistemik 5. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular 6. Mengendalikan progresivitas penyakit 7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi



Terapi Non Farmakologik Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAIDsparing agents pada penderita AR.Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi



herbal,



acupuncture



dan



splinting



belum



didapatkan



bukti



yang



meyakinkan.Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat 3. Ada ruptur tendon.



Terapi Farmakologik Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu : pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit.



32



Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu 1. Kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara kombinasi 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek menguntungkan.



2.3.7 Prognosis Rheumatoid Arthritis Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.



33



BAB 3 KESIMPULAN



1.



Arthritis adalah istilah umum untuk peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. Beberapa tipe arthritis yaitu osteoarthritis (OA), Gout arthritis (GA), dan Rheumatoid arthritis (RA).



2.



Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degenerative dimana rawan kartilago yang melindungi ujung tulang mulai rusak disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subchondral yang menimbulkan rasa sakit dan hilangnya kemampuan bergerak.



3.



Secara klinis OA ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan pada gerak sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban.



4.



Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.



5.



Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis sendi yang terkena.



6.



Terapi OA biasanya bersifat simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktorfaktor resiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis.



7.



Gout arthritis merupakan penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler.



8.



Manifestasi klinis deposisi urat meliputi arthritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), dan batu asam urat. Gangguan metabolisme yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia / peninggian kadar urat lebih dari 7 ml/dl dan 6 mg/dl.



9.



GA lebih sering menyerang sendi kecil terutama ibu jari kaki.



10. Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk gout.



34



11. Secara umum penanganan GA adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi, dan pengobatan. 12. Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik yang menyebaban nyeri, kekauan, pembengkakan, dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. 13. RA dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. 14. Pada RA kekauan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki RA. 15. Diagnosis RA di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College Of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010. Diagnosis RA ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih. 16. Metode terapi yang dianut saat ini yaitu pemberian DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs) sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit



35



DAFTAR PUSTAKA



Corwin E.J. 2000. Patofisiologi. EGC. pp: 308-9. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of Medicine. Depkes. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Iannone F, Lapadula G. 2003. The pathophysiology of osteoarthritis. Aging Clin Exp Res. 15(5):364–372. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis : Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo : Jakarta LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001.



Radiographic



Assessment



of



Osteoarthritis. American Family Physician. 64(2):279–286 Mansjoer A., dkk, 2004. Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran .Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan Keenam. Nasution A.R. dan Sumariyono. 2006. Introduksi Reumatologi dalam Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat. Cetakan Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1083 Robbins L.S., Kumar V . 1995. Buku Ajar Patofisiologi II Edisi 4.EGC. pp: 464-6. Sudoyo,D Arua, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : Jakarta. Sumariyono dan Wijaya L.K. 2006. Struktur Sendi, Otot, Saraf dan Endotel Vaskular dalam Leeson C.R., Leesn T.S., Paparo A.A.1996. Buku Ajar Histologi. EGC. pp: 156-7. Tjokroprawiro, Askandar. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Pres



36



37