Referat - Parkinson Disease [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT PARKINSON DISEASE



Pembimbing : dr. Tumpal Anthony Siagian, Sp.S.



Disusun Oleh : Radia Putri Kurniawati 1361050049



Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA



Periode 11 Juni 2018 – 21 Juli 2018



i



DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL



i



DAFTAR ISI



ii



DAFTAR GAMBAR



iii



DAFTAR TABEL



iv



1. PENDAHULUAN



1



1.1



Latar Belakang



1



2. TINJAUAN PUSTAKA



2



2.1



Parkinson Disease



2



2.1.1



Definisi



2



2.1.2



Epidemiologi



2



2.1.3



Etiologi



3



2.1.4



Patofisiologi



4



2.1.5



Manifestasi Klinis



6



2.1.6



Diagnosis



8



2.1.7



Tatalaksana



10



2.1.7.1 Dopaminergik



12



2.1.7.2 Antikolinergik



15



2.1.7.3 Inhibitor COMT



15



2.1.7.4 Inhibitor Monoamine Oxidase B



16



2.1.7.5 Amantadine



16



2.1.7.6 Terapi Gejala Non Motorik



17



2.1.7.7 Neuroprotektif



20



2.1.7.8 Terapi Non Farmakologi



21



2.1.7.9 Terapi Bedah



21



2.1.8



23



Prognosis



3. KESIMPULAN



24



DAFTAR PUSTAKA



25



ii



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1



Gen yang berperan dalam PD



3



Gambar 2.2



Neuropatologi pada PD



4



Gambar 2.3



Manifestasi klinis PD



7



Gambar 2.4



Parkinson Disease Rating Scales



9



Gambar 2.5



Skema tatalaksana PD idiopatik yang baru terdiagnosis



11



Gambar 2.6



Sintesis Katekolamin



13



Gambar 2.7



Perbandingan antara levodopa dan agonis dopamin



14



iii



DAFTAR TABEL Tabel 2.1



Potensi manfaat dan bahaya agonis dopamin, levodopa dan MAO-B inhibitor



19



iv



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Parkinson disease pertama kali dideskripsikan oleh James Parkinson pada



tahun 1817. Ia mendefinisikan gangguan ini sebagai penyakit neurodegeneratif spesifik ditandai dengan bradikinesia, resting tremor, rigiditas cogwheel, dan gangguan refleks postural. Parkinson disease adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum di seluruh dunia dan mempengaruhi setidaknya 1.500.000 orang di Amerika Serikat. Insidennya biasanya memuncak pada dekade keenam. Biasanya status klinis pasien berkembang dari batasan yang relatif sederhana saat diagnosis hingga kecacatan yang terus meningkat selama 10 hingga 20 tahun.1 Gambaran neuropatologis primer adalah hilangnya neuron dopaminergik berpigmen terutama di substantia nigra dan keberadaan Lewy bodies eosinofilik, inklusi sitoplasma yang ditemukan dalam neuron berpigmen. Proyeksi utama neuron ini adalah ke striatum, misalnya putamen dan caudatus. Dopamin dilepaskan terutama dari sel-sel striatal ini. Dari sini neurotransmisi dopamin secara berurutan diarahkan melalui globus pallidus, nukleus subthalamic, ke talamus, dan kemudian ke korteks motorik primer.1 Tatalaksana PD didasarkan pada mengatasi gejalanya. Manajemen pada setiap pasien membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap tanda dan gejala pada pasien, tahap penyakit, tingkat kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas dan produktivitas sehari-hari. Selain aspek tersebut, pemilihan terapi juga mempertimbangkan efek samping yang sering timbul akibat pengobatan tersebut.1



1



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Parkinson Disease



2.1.1



Definisi Parkinson Disease (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok



gangguan neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis parkinsonisme, termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor, rigiditas otot, shuffling gait, dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri. Hampir semua bentuk parkinsonisme hasil dari pengurangan transmisi dopaminergik dalam ganglia basal.2



2.1.2



Epidemiologi PD menimpa kurang lebih sebanyak 1 juta orang di Amerika Serikat



(sekitar 1% berusia lebih dari 55 tahun). Puncak usia onsetnya adalah pada awal 60-an (kisaran 35-85 tahun), dan perjalanan penyakit berkisar antara 10 dan 25 tahun. PD terjadi pada sekitar 75% dari semua kasus parkinsonisme; sisanya merupakan kasus dari gangguan neurodegeneratif lainnya seperti penyakit serebrovaskular, dan obat-obatan.2 Prevalensi PD berdasarkan usia dan lokasi geografis, individu berusia 70 hingga 79 tahun di Asia memiliki prevalensi PD yang secara signifikan lebih rendah (646 per 100.000) dibandingkan dengan individu dengan usia yang sama di Eropa, Amerika Utara, dan Australia.3 Meskipun sebagian besar pasien dengan PD tampaknya tidak memiliki determinan genetik yang kuat, bukti epidemiologi menunjukkan interaksi kompleks antara kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Faktor risiko termasuk riwayat keluarga yang positif, jenis kelamin laki-laki, cedera kepala, paparan pestisida, konsumsi air sumur, dan kehidupan pedesaan. Faktor yang terkait dengan penurunan insidensi PD termasuk minum kopi, merokok, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, dan penggantian estrogen pada wanita pascamenopause.2



2



2.1.3



Etiologi Meskipun telah dilakukan penelitian intensif, etiologi PD yang tepat masih



sulit dipahami. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin lingkungan yang tidak diketahui bertindak pada individu yang rentan secara genetik terhadap PD. Hubungan utama antara PD dan toksin lingkungan adalah zat kimia MPTP (1metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin). Zat kimia ini awalnya digunakan oleh pengguna narkoba dengan harapan meniru di laboratorium zat seperti narkotika sintetis. Ketika dicerna oleh manusia, model narkotika ini secara kebetulan mengarah ke entitas klinis yang langsung menyerupai PD. MPTP mengganggu fungsi mitokondria sel saraf, peneliti berikutnya menduga bahwa bahan kimia ini merusak DNA mitokondria yang menjadi salah satu mekanisme patofisiologis utama yang mendasari PD.1 Sebanyak 15% pasien parkinson memiliki riwayat keluarga dengan PD; sebagian kecil dari individu-individu ini memiliki setidaknya tiga generasi yang terpengaruh. Saat ini ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1, PINK1, DJ-1, dll. Meskipun gen PD yang teridentifikasi bersifat patogenik hanya pada sebagian kecil individu, namun efek biokimianya berperan penting dalam patologi molekuler penyakit ini.1



Gambar 2.1 Gen yang berperan dalam PD4



3



2.1.4



Patofisiologi Temuan yang paling konstan dan relevan pada PD adalah hilangnya sel



berpigmen di substansia nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal vagus). Substantia nigra tampak pucat saat inspeksi langsung; secara mikroskopis, inti berpigmen menunjukkan penipisan sel dan penggantian gliosis, dan beberapa sel yang tersisa telah mengurangi jumlah melanin, temuan ini adalah diagnosis definitif bahwa pasien pasti menderita PD. Namun, banyak sel yang tersisa dari inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik, dikelilingi oleh halo samar, yang disebut Lewy bodies. Hal ini terlihat pada hampir semua kasus PD idiopatik dan kadang-kadang muncul di substansia nigra pada individu usia lanjut non-parkinson. Pasien yang memiliki Lewy bodies mungkin akan berkembang menjadi PD jika mereka hidup beberapa tahun lagi. Banyak bentuk PD yang bersifat herediter juga tidak memiliki Lewy bodies.4



Gambar 2.2 Neuropatologi pada PD1 4



Situs patologis yang bertanggung jawab dalam gangguan parkinsonian berada dalam kelompok struktur gray matter otak yang dikenal sebagai sistem ekstrapiramidal atau ganglia basalis yang meliputi striatum (nukleus caudatus dan putamen), globus pallidus interna dan eksterna, nukleus subthalamic, substansia nigra pars retikulat dan pars compacta, dan nukleus ventral thalamus.1 Degenerasi substansia nigra pars compacta adalah ciri patologis dari PD. Neuron dalam substansia nigra mensintesis neurotransmitter dopamin. Sel-sel ini mengandung pigmen gelap yang disebut neuromelanin. Gejala parkinson berkembang ketika sekitar 60% sel-sel ini mati. Bersamaan dengan itu, pemeriksaan langsung substansia nigra pada PD menunjukkan adanya pucat abnormal bila dibandingkan dengan sel-sel yang mengandung hiperpigmentasi melanin normal.1 Proyeksi dopaminergik langsung dari substansia nigra mempengaruhi proses motorik dalam basal ganglia dengan memfasilitasi pelaksanaan gerakan dan secara bersamaan membantu menekan aktivitas motorik yang tidak diinginkan. Ketika kematian sel neuron dopaminrgik intra-substansia nigra terjadi di dalam substansia nigra, jumlah terminal saraf dopamin spesifik di striatum menurun. Temuan ini dikaitkan dengan temuan klinis klasik PD yaitu rigiditas dan akinesia. Selain itu, fungsi ganglia basal tampaknya melampaui konsep kontrol motorik sederhana. Siklus cortico-striato-pallido-thalamo-kortikal terdiri dari beberapa loop yang terpisah, masing-masing memiliki fungsi agonistik motorik yang berbeda. Dalam setiap loop mempunyai jalur paralel yang memiliki efek antagonis pada arus keluar siklus ini. Hilangnya dopamin memprovokasi sedikit jalur langsung dan lebih banyak memprovokasi jalur tidak langsung. Disinhibisi dari inti output utama dan peningkatan penghambatan sistem talamokortikal menghasilkan classic pill rolling tremor.1 Penurunan neuron dopaminergik di PD mempengaruhi jalur langsung dengan mengurangi aktivitas pada globus pallidum internum dan substansia nigra pars reticularis yang mengarah ke peningkatan keluaran penghambatan globus pallidum internum dan substansia nigra pars reticularis. Dalam jalur tidak langsung, defisiensi dopamin pada PD menyebabkan neuron striatopallidal bersinaps di globus pallidum eksternum, mengurangi aktivitas di neuron



5



pallidosubthalamic inhibisi. Kehilangan dopamin akan meningkatkan aktivitas striatal melalui proyeksi ke neuron GABAergic yang meningkatkan aksi pada globus pallidum eksternum. Selanjutnya, kehilangan dopamin menyebabkan disinhibisi nukleus subthalmic melalui jalur tidak langsung.1



2.1.5



Manifestasi Klinis Empat gejala utama dari PD adalah bradikinesia, tremor, rigiditas dan



gangguan gait. Kriteria utama untuk diagnosis PD mengharuskan pemeriksaan neurologis pasien menunjukkan setidaknya dua dari empat gejala tersebut.1,4 Bradikinesia adalah gejala PD yang paling melumpuhkan, yaitu penurunan kemampuan untuk memulai gerakan (akinesia adalah manifestasi ekstrim). Hal ini dapat mempengaruhi beberapa fungsi, terutama fungsi motorik halus seperti mengancingkan baju atau tulisan tangan, hingga menjadi mikrografi. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala wajah seperti topeng nonemosional, kosong, dan tanpa ekspresi, yang kemudian terkait dengan penurunan frekuensi berkedip, tidak bisa bicara, dan perlambatan menelan. Biasanya, gaya berjalan seperti menyeret dengan ayunan lengan yang menurun, postur membungkuk, dan gerakan memutar. Tanda Myerson atau tanda ketuk glabella, diperiksa dengan meminta pasien melihat ke depan sementara pemeriksa mengetuk dengan ujung jari telunjuk secara lembut di antara ujung medial dari alis mata. Pada pasien normal, pasien akan berkedip pada beberapa ketukan pertama dan kemudian berhenti. Sebaliknya, pada pasien PD akan berkedip terus-menerus selama pemeriksaan dan demikian dianggap tes positif.1,4 Rigiditas adalah resistensi terhadap gerakan pasif di seluruh rentang gerak yang terjadi pada otot-otot fleksor dan ekstensor. Hal ini berbeda dengan spastisitas, dimana ada resistensi pada awal gerakan pasif dan kemudian pelepasan tiba-tiba. Tanda klasik cogwheel (stop-and-go effect) berasal dari tremor yang disertai dengan perubahan tonus otot. Pada awalnya, pasien sering khawatir tentang kekakuan, "kelemahan," atau kelelahan, dan pasien hanya akan menyadari adanya keterbatasan dalam kegiatan sehari-hari atau dalam aktivitas fisik.1,4 Tremor terjadi pada 75% pasien. Biasanya, tremor menonjol saat istirahat (resting tremor), memiliki frekuensi 3-7 Hz. Tremor juga dapat dilihat ketika



6



pasien berjalan; tidak hanya lengan ayun yang menghilang tetapi tremor kecil yang berputar dapat menjadi semakin kuat ketika tangan menjauh dari tubuh.1,4 Gangguan gait, ketidakstabilan postural, atau keduanya biasanya hadir pada tahap lanjut dari PD ditandai dengan perubahan pusat gravitasi yang ditandai dengan jatuh ke depan (propulsi) atau mundur (retropulsi) dan festinating (menyeret, mendorong perlahan) gait petit pas (langkah kecil).1,4



Gambar 2.3 Manifestasi klinis PD1



Gejala lain yang kurang umum, yaitu, dermatitis seboroik dan hyposmia (fungsi penciuman yang menurun), pasien mungkin mengalami kesulitan dalam memulai tidur dan mempertahankan tidur. Sekitar 30% pasien PD juga mengalami gerakan kaki secara berkala saat tidur.1,4 Disfungsi otonom terlihat umum pada PD, dimanifestasikan sebagai hipotensi ortostatik, gangguan motilitas gastrointestinal, disfungsi kandung kemih, gangguan termoregulasi, dan disfungsi seksual. Disfagia biasanya muncul pada tahap akhir PD, hal ini berhubungan dengan perkembangan gangguan motilitas orofaringeal dan esofagus.1,4 Psikiatri dan gejala kognitif juga sering menyertai atau bahkan mendahului diagnosis PD pada beberapa pasien: sekitar 40% menderita depresi mayor yang



7



mungkin mendahului diagnosis gangguan gerakan; ansietas juga terjadi pada hingga 40% pasien. Pada tahap akhir PD, halusinasi (visual, kemungkinan besar tidak mengancam), psikosis, dan mimpi buruk sering ditemukan. Disfungsi kognitif biasanya merupakan manifestasi selanjutnya.1,4



2.1.6



Diagnosis Kunci diagnostik utama adalah adanya dua dari empat tanda kardinal:



bradikinesia, tremor, rigiditas, dan gangguan gait. Seringkali, pasien mungkin pertama kali menyadari keletihan yang tidak spesifik dalam aktivitas sehari-hari yang sebelumnya dilakukan dengan baik yang terutama mempengaruhi fungsi motorik. Pemeriksaan ulang klinis dalam interval beberapa bulan sering diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PD. Tanda-tanda proses degeneratif lain



kadang-kadang



menjadi



jelas,



menghalangi



kecurigaan



diagnostik



sebelumnya.1 PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker laboratorium yang ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) scan tidak menunjukkan patologis yang spesifik. Positron emission tomography (PET) dan single-photon emission CT (SPECT) mungkin menunjukkan temuan yang konsisten dengan PD, dan pemeriksaan fungsi penciuman dapat memberikan bukti mengarah ke PD, tetapi pemeriksaan ini tidak secara rutin diperlukan.5 Penggunaan CT dan MRI terkadang membantu membedakan PD idiopatik dari bentuk parkinsonisme lain. Hal ini sangat relevan ketika temuan klinis murni unilateral. Studi pencitraan mungkin menunjukkan penyakit otak aterosklerotik atau hidrosefalus tekanan normal dan jarang menunjukkan lesi struktural. MRI kadang-kadang menunjukkan tanda-tanda khas untuk atrofi multipel-sistem (atrofi putaminal, hot cross bun sign, lekuk putaminal hiperintens, dan perubahan sinyal infratentorial).1 Temuan patologis klasik pada PD termasuk degenerasi neuron yang mengandung neuromelanin, terutama pada substansia nigra dan lokus seruleus. Neuron yang bertahan hidup sering mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik yang disebut Lewy bodies. Kelainan biokimia utama adalah hilangnya dopamin



8



striatal, yang dihasilkan dari degenerasi sel-sel yang memproduksi dopamin di substansia nigra, serta hiperaktivitas neuron kolinergik di nukleus kaudatus.5 Alpha-synuclein adalah komponen struktural utama dari Lewy bodies. Lewy bodies tampak konsentris, eosinofilik, inklusi sitoplasma dengan lingkaran cahaya perifer dan padat. Kehadiran Lewy bodies dalam neuron berpigmen dari substansia nigra adalah karakteristik, tetapi tidak patognomonik PD. Lewy bodies juga dapat ditemukan di korteks, nukleus basalis, lokus seruleus, kolom intermediolateral dari sumsum tulang belakang, dan area lainnya.5 Salah satu alat diagnostik paling spesifik yang tersedia saat ini adalah respons klinis positif terhadap uji terapi obat parkinson. Hal ini sangat relevan dengan levodopa, terutama pada pasien dengan gejala unilateral, termasuk bradikinesia, rigiditas, dan gait petit pas.1 Setelah diagnosis PD dikonfirmasi, perlu dilakukan pengukuran keparahan penyakit secara kuantitatif dengan menggunakan Hoehn and Yahr Scale atau Unified Parkinson Disease Rating Scale (UPDRS). Hal ini memungkinkan dokter yang merawat untuk menetapkan baseline klinis sebelum terapi dan berfungsi sebagai referensi untuk perbandingan di masa mendatang.1



Gambar 2.4 Parkinson Disease Rating Scales1



9



2.1.7



Tatalaksana Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi



neuroprotektif yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan neurodegeneratif ini. Manajemen pada setiap pasien membutuhkan pertimbangan yang cermat terhadap tanda dan gejala pada pasien, tahap penyakit, tingkat kecacatan fungsional, dan tingkat aktivitas dan produktivitas sehari-hari. Tatalaksana dapat dibagi menjadi (1) nonfarmakologik, (2) farmakologis, dan (3) bedah. Mayoritas pasien dengan PD idiopatik memiliki respons terapeutik yang signifikan terhadap levodopa. Apabila tidak terdapat respon klinis sama sekali terhadap dosis 25/100 mg carbidopa / levodopa dengan pemberian 6–10 kali sehari menunjukkan bahwa terjadi misdiagnosis dan harus segera mencari penyebab lain parkinsonisme.1 Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis regimen, yaitu1: 1. Dopaminergik a. Levodopa b. Agonis dopamine 2. Antikolinergik 3. Inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor) 4. Inhibitor COMT (Catechol-O-methyltransferase) 5. Amantadin Tidak ada pendekatan sederhana dalam tatalaksana PD; pedoman tergantung pada gangguan fungsional dan respons pasien terhadap terapi.1 Tatalaksana PD dapat dibagi menjadi terapi tahap awal dan tahap lanjut (dengan fluktuasi motorik dan diskinesia). Untuk pasien yang memerlukan inisiasi terapi simtomatik, ada tiga pilihan utama: levodopa, agonis dopaminergik, atau inhibitor MAO-B. Levodopa (LD) memberikan manfaat motorik superior tetapi berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan diskinesia dan komplikasi motorik. Dopaminergic agonists (DA) menghasilkan komplikasi motorik yang lebih sedikit (wearing off, dyskinesia, fluktuasi motorik on-off) dibandingkan dengan tatalaksana menggunakan levodopa setelah dilakukan follow up terhadap pemberian obat selama 2,5 tahun. Namun, terapi DA primer dikaitkan dengan efek samping lainnya, termasuk halusinasi, somnolen, dan edema, yang



10



lebih sering terjadi dibandingkan terapi dengan menggunakan levodopa. Pilihan LD atau DA, ketika memulai terapi, tergantung pada dampak relatif dari peningkatan disabilitas motorik (lebih baik pada levodopa) dibandingkan dengan berkurangnya komplikasi motorik (lebih baik pada agonis dopamin) untuk setiap pasien dengan PD.1,6



Gambar 2.5 Skema tatalaksana PD idiopatik yang baru terdiagnosis2



Prinsip penting untuk pengobatan dini PD adalah bahwa pengenalan dan penggunaan obat harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Usia 70 tahun digunakan sebagai patokan dalam hal mengembangkan strategi untuk memulai pengobatan, meskipun selalu ada penekanan pada karakteristik masingmasing individu pasien. Sebagai aturan umum, untuk pasien yang lebih muda dari usia 70 tahun dan tidak memiliki disfungsi kognitif, pilihan obat awal yang disarankan antara inhibitor MAO-B atau agonis dopamin. Carbidopa / levodopa dimulai pada pasien Parkinson berusia 70 tahun atau lebih yang memiliki disabilitas motorik yang signifikan, seperti bradikinesia, rigiditas, tremor, atau masalah gait. Lansia yang menderita PD juga dapat dipertimbangkan untuk diberikan inhibitor MAO-B atau DA jika fungsi kognitifnya masih baik dan tidak memiliki komorbiditas yang signifikan.1



11



Seiring berkembangnya PD, pemberian obat yang efektif untuk mengontrol gejala menjadi lebih menantang, dan obat lainnya mungkin perlu ditambahkan. Untuk tahap selanjutnya dari penyakit ini, pedoman American Academy of Neurology menyarankan memulai Entacapone, inhibitor COMT, dan rasagiline (inhibitor MAO) sebagai pilihan pertama untuk mengurangi waktu “off” (level A). DA (pramipexole, ropinirole) dan tolcapone dipertimbangkan untuk mengurangi waktu “off” sebagai pilihan kedua (level B). Tolcapone (hepatotoksisitas) dan pergolide (fibrosis katup) harus digunakan dengan hati-hati dan memerlukan pemantauan. Apomorphine, cabergoline, dan selegiline dapat dianggap mengurangi waktu “off” sebagai pilihan ketiga (level C). Amantadin dianggap mengurangi diskinesia (level C). DBS STN dapat dianggap meningkatkan fluktuasi motorik dan mengurangi waktu istirahat, diskinesia dan penggunaan obat (level C).1



2.1.7.1 Dopaminergik Levodopa Levodopa (LD) dengan carbidopa adalah regimen yang paling umum digunakan, obat antiparkinson yang paling poten dan sama-sama bermanfaat untuk semua gejala. Levodopa adalah prekursor alami langsung dopamin dan diubah menjadi dopamin oleh enzim dekarboksilase asam amino aromatik (AAAD). Awalnya, levodopa dikaitkan dengan tingkat efek samping yang tinggi, terutama mual dan muntah, karena kemampuannya untuk merangsang reseptor dopamin sistem saraf perifer. Penambahan inhibitor carbidopa dekarboksilase menurunkan insiden efek samping perifer, memungkinkan lebih banyak levodopa untuk melewati sawar darah otak, dan akibatnya memungkinkan pengurangan total dosis levodopa. Carbidopa-levodopa tersedia dalam bentuk immediaterelease sebagai tablet (Sinemet) atau pil sublingual (Parcopa) dan formulasi controlled-release (Sinemet CR).1 Efek samping dini, termasuk mual dan hipotensi ortostatik, lebih mudah dikelola daripada komplikasi motorik lanjut. Efek samping lanjut, termasuk gerakan tak terkendali, fluktuasi motorik, vivid dreams dan mimpi buruk, kebingungan, serta psikosis, yaitu halusinasi dan delusi, mania, atau paranoia.



12



Pada populasi geriatri, terutama mereka yang mulai menunjukkan keterbatasan kognitif awal, efek samping levodopa ini lebih mungkin terjadi. Pengobatan efek samping ini juga menghadirkan tantangan yang signifikan karena kadang-kadang obat antipsikotik yang umum digunakan dapat memperburuk parkinsonisme.1 Dengan meningkatnya durasi penggunaan, ada respons yang lebih lambat atau tertunda terhadap efek terapi levodopa. LD juga tampaknya memiliki durasi kerja yang lebih pendek, “wearing off” dosis. Gejala PD klasik pasien yang menghilang dengan sangat baik di awal pengobatan menjadi timbul kembali. Spasme otot yang menyakitkan terjadi pada beberapa pasien.1



Gambar 2.6 Sintesis Katekolamin1



Efek samping terapeutik LD jangka panjang adalah munculnya berbagai diskinesia dan fluktuasi motorik yang terjadi pada sejumlah kecil individu PD. Gerakan-gerakan yang tidak disadari ini sering bersifat choreiformis; mereka dapat menyebabkan disabilitas, mempengaruhi berbagai bagian tubuh; kadangkadang postur yang agak aneh ini juga dapat menyebabkan gangguan secara emosional. Perawatan komplikasi ini paling sulit. Amantadine dan DA dapat digunakan sebagai terapi tambahan.1



13



Gambar 2.7 Perbandingan antara levodopa dan agonis dopamin2



Agonis Dopamin DA secara langsung merangsang reseptor dopaminergik. DA terutama diindikasikan untuk monoterapi pada pasien yang lebih muda, yang lebih rentan terhadap fluktuasi klinis terkait levodopa dan yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. Terdapat setidaknya dua kelas umum agonis dopamin, yaitu D1 (berikatan dengan adenylate cyclase) dan D2. Antiparkinson dari golongan agonis dopamin yang paling efektif bekerja merangsang reseptor D2.1



14



DA digunakan terutama di awal penyakit karena dapat mengurangi kebutuhan levodopa. Meskipun tidak seefektif levodopa, DA sering memberikan berkurangnya gejala ringan secara cukup memuaskan. Dalam keadaan ketika gejala berat mengganggu aktivitas sosial atau pekerjaan pasien, dapat diberikan pengobatan simtomatik dini dengan carbidopa-levodopa, yang kemudian dikombinasikan dengan DA. Preparat yang biasa digunakan meliputi pramipexole, ropinirole, bromokriptin, dan pergolide. Namun, Pergolide ditarik dari pasar karena potensi kerusakan katup jantung. Gangguan kontrol impuls atau disfungsional perilaku adalah masalah yang semakin dikenal akibat agonis dopaminergik yang terjadi jauh lebih jarang pada pemberian levodopa. Gangguan ini termasuk hiperseksualitas, kompulsif, aktivitas yang tidak berarti dan berulang, keadaan hipomanik, dan penggunaan adiktif levodopa.1



2.1.7.2 Antikolinergik Agen antikolinergik adalah kelas obat tertua yang digunakan untuk PD. Antikolinergik bertindak sebagai blocker reseptor muskarinik dengan menembus SSP



sebagai



antagonis



transmisi



asetilkolin



oleh



interneuron



striatal.



Antikolinergik merupakan regimen paling efektif untuk mengatasi tremor, tetapi karena efek sampingnya, obat-obatan ini harus digunakan dengan perhatian yang signifikan pada orang tua. Biasanya digunakan sebagai monoterapi atau tambahan untuk terapi dopaminergik, agen antikolinergik yang paling sering digunakan termasuk benztropin, procyclidine, dan trihexyphenidyl. Efek samping, yang dihasilkan dari blokade kolinergik perifer dan sentral, termasuk mulut kering, glaukoma sudut sempit, konstipasi, retensi urin, gangguan memori, dan kebingungan dengan halusinasi.1



2.1.7.3 Inhibitor COMT Penghambatan enzim catechol-O-methyltransferase (COMT) menghalangi metabolisme dopamin. Inhibitor COMT memperpanjang manfaat levodopa dengan memperpanjang masa hidup dopamin yang dikonversi. Ada dua inhibitor COMT utama. Entacapone umumnya digunakan secara ajuvan untuk levodopa. Tolcapone dapat menyebabkan hepatotoksisitas yang parah, membutuhkan



15



pemantauan laboratorium secara teratur, dan dengan demikian lebih jarang digunakan.1



2.1.7.4 Inhibitor Monoamine Oxidase B Selegiline adalah inhibitor selektif dari monoamine oxidase B. Mekanisme kerja utamanya adalah blokade metabolisme dopamin sentral. Ini tersedia sebagai pil yang ditelan (Eldepryl dan generik) dan sebagai tablet disintegrasi secara oral (Zelapar ODT). Penggunaan inhibitor MAO-B dapat meningkatkan respon terhadap levodopa, terutama pada pasien dengan fluktuasi terkait dosis ringan. Selegiline telah dipelajari sebagai agen neuroprotektif karena dapat memblokir pembentukan radikal bebas dari metabolisme oksidatif dopamin. Sebuah studi multisenter besar yang membandingkan dengan plasebo, double-blind, dan terkontrol (DATATOP) menemukan bahwa Selegiline menunda perkembangan tanda parkinson pada pasien yang sebelumnya tidak diobati hingga 9 bulan. Namun, telah dibuktikan bahwa tidak ada manfaat jangka panjang dan persisten dalam memperlambat perkembangan PD.1 Rasagiline adalah inhibitor MAO-B yang lebih baru juga tersedia sebagai Azilect. Rasagiline telah menerima persetujuan FDA mengenai pengobatan terhadap tanda dan gejala penyakit Parkinson, sebagai monoterapi awal dan sebagai terapi tambahan untuk levodopa. Sebagai monoterapi, Rasagiline dapat mengurangi disabilitas akibat parkinson. Sebagai terapi tambahan, Rasagiline dapat mengurangi waktu “off” dan meningkatkan waktu bebas diskinesia. Efek samping termasuk insomnia, halusinasi, dan hipotensi ortostatik.1



2.1.7.5 Amantadine Amantadine adalah agen antiviral yang secara kebetulan ditemukan memiliki efek antiparkinson. Mekanisme kerjanya, termasuk memblokir reseptor N-methyl-D-aspartate, masih menjadi kontroversial. Amantadine memiliki efek menguntungkan ringan pada tremor, bradikinesia, dan kekakuan. Amantadine merupakan satu-satunya regimen antiparkinson yang dapat menurunkan tingkat keparahan dyskinesia yang diinduksi levodopa. Efek samping yang umum termasuk livedo reticularis dan edema ekstremitas bawah.1



16



2.1.7.6 Terapi Gejala Non-Motorik Pasien yang sering terbangun di malam hari akibat akinesia nokturnal atau tremor dapat diobati dengan dosis tambahan carbidopa / levodopa pada malam hari. Dosis bedtime dari agonis dopamine membantu gejala restless leg dan urgensi berkemih. Pengobatan gejala kandung kemih akan meningkatkan kualitas tidur pada banyak pasien lansia dengan PD.2 Depresi berespon terhadap antidepresan (baik TCA atau SSRI). Kombinasi SSRI dan selegiline memiliki risiko yang sangat rendah untuk terjadinya sindrom hiperserotonergik (delirium dengan mioklonus dan hiperpireksia). Terapi Electroconvulsive (ECT) sangat efektif dalam kasus-kasus refrakter obat atau pada pasien yang tidak toleran terhadap antidepresan oral. Terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa ECT juga memiliki manfaat jangka pendek untuk gejala motorik parkinson.2 Pada pasien dengan gejala psikotik atau kebingungan, antikolinergik dan amantadin harus dieliminasi terlebih dahulu. Setelah ini, inhibitor MAO-B dan agonis dopamin harus dikurangi atau dihentikan sesuai kebutuhan untuk mengontrol gejala. Hal ini harus diikuti dengan pengurangan bertahap sesuai kebutuhan pada dosis Sinemet CR pada malam hari dan kemudian dosis siang hari, dan akhirnya carbidopa / levodopa.2 Apabila pasien membaik setelah hanya diberikan sedikit terapi antiparkinson, dampak keseluruhan pada gejala motorik parkinson dapat diabaikan. Jika dalam proses gejala parkinson memburuk, sebagian besar spesialis memulai pengobatan dengan antipsikotik atipikal yang memiliki insiden efek samping



ekstrapiramidal



yang



rendah



daripada



melanjutkan



ke



terapi



dopaminomimetik yang lebih rendah. Clozapine (12,5-100 mg / hari) adalah agen terbaik yang direkomendasikan untuk pengobatan gejala psikotik di PD. Quetiapine (12,5-100 mg) dapat digunakan karena tidak memiliki risiko agranulositosis yang terkait dengan clozapine. Keduanya diberikan pada malam hari untuk memperbaiki kualitas tidur dan meminimalkan sedasi siang hari dan orthostasis. Penggunaan kombinasi tersebut dan semua antipsikotik pada PD dibatasi akibat kejadian sedasi, hipotensi ortostatik, pusing, dan kebingungan. Antipsikotik atipikal lainnya seperti risperidone, olanzapine, dan, baru-baru ini,



17



aripiprazole tidak ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien dengan PD karena insiden yang lebih tinggi dari parkinsonism yang dipicu obat (DIP) dan akathisia.2 Inhibitor acetylcholinesterase dapat memperbaiki gejala demensia pada PD, menyediakan stabilisasi yang sama dari penurunan kognitif yang tercatat pada Demensia Alzheimer (AD). Rivastigmine disetujui oleh FDA untuk pengobatan demensia pada PD, dan donepezil juga tampaknya efektif. Keduanya tampaknya ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien dengan PD dan mungkin dapat bermanfaat untuk pengobatan gejala psikotik seperti halusinasi dan delusi. Mengingat kompleksitas polifarmasi, manajemen gejala non-motorik paling baik dilakukan dalam pengaturan interdisipliner, dikoordinasikan oleh ahli saraf yang berspesialisasi dalam PD bersama dengan psikiater dan dokter pelayanan primer yang melayani pasien.2 Berikut merupakan tabel ringkasan manfaat dan efek samping dari agonis dopamin, levodopa, MAO-B inhibitor, COMT inihibitor, dan amantadine berdasarkan pedoman oleh National Institute for Health and Care Excellence (NICE)



pada



tahun



2017.7



18



Tabel 2.1 Potensi manfaat dan bahaya agonis dopamin, levodopa dan MAO-B inhibitor7 Levodopa



Dopamin Antagonis



Gejala



Perbaikan



yang Perbaikan



motorik



sangat



pada gejala motorik



baik



MAO-B inhibitor



pada Perbaikan



COMT inhibitor



pada Perbaikan



gejala motorik



pada Tidak



gejala motorik



gejala motorik Aktivitas



Perbaikan



sehari-hari



aktivitas yang



Amantadine ada



bukti



perbaikan



gejala



motorik



terhadap Perbaikan



terhadap Perbaikan



sehari-hari aktivitas sehari-hari



terhadap Perbaikan



aktivitas sehari-hari



terhadap Tidak



aktivitas sehari-hari



cukup



ada



perbaikan



bukti terhadap



aktivitas sehari-hari



signifikan Komplikasi



Banyak



komplikasi Komplikasi motorik Komplikasi motorik Komplikasi motorik Tidak ada studi



motorik



motorik



Efek



Efek



samping



lainnya minimal



minimal



minimal



samping Risiko untuk



minimal



intermediate Efek samping lainya Efek terjadi



efek minimal



samping Tidak ada studi



lainnya cukup besar



samping lainnya Halusinasi



Minimal



Berisiko



tinggi Minimal



Minimal



Tidak ada studi



mengalami halusinasi



19



2.1.7.7 Neuroprotektif Memperlambat progresivitas PD melalui agen neuroprotektif atau terapi restoratif adalah fokus utama penelitian. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa penggunaan kronis agen anti-inflamasi nonsteroid atau penggunaan penggantian estrogen pada wanita pascamenopause dapat menunda atau mencegah timbulnya PD melalui mekanisme yang belum jelas. Demikian pula, dalam populasi besar, penggunaan nikotin dan kafein jangka panjang dikaitkan dengan rendahnya risiko PD. Dari sudut pandang farmakologis, strategi saat ini melibatkan perubahan kaskade peristiwa biokimia yang menyebabkan kematian sel dopaminergik.2 Percobaan klinis yang pertama pada pasien PD adalah studi DATATOP multisenter besar di mana monoterapi selegiline dapat menunda perlunya terapi levodopa selama 9-12 bulan pada pasien yang baru didiagnosis. Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa penundaan ini disebabkan selegilin. Vitamin E antioksidan tidak berpengaruh. Tindak lanjut jangka panjang dari kohort DATATOP mengungkapkan bahwa pasien yang tetap mengonsumsi selegiline selama 7 tahun mengalami penurunan motorik yang lebih lambat dibandingkan dengan mereka yang berubah menjadi plasebo setelah 5 tahun.2 Coenzyme Q10, antioksidan dan kofaktor kompleks I rantai oksidatif mitokondria, telah terbukti memiliki efek neuroprotektif terhadap beberapa agen beracun secara in vitro dan pada model hewan PD. Dalam uji coba fase 2 terkontrol yang besar, dosis 1200 mg/hari tampaknya menunda perkembangan kecacatan pada pasien PD yang tidak diobati. Coenzyme Q10 ditoleransi dengan baik dan tanpa toksisitas. Percobaan fase 3 akan memeriksa efek diseasemodifying dari senyawa ini pada pasien yang tidak diobati hingga yang menerima dosis 2400 mg/hari. Agen neuroprotektif potensial lainnya yang sedang diselidiki adalah creatine monohydrate dan acetyllevo-carnitine. Percobaan fase 2 creatine pada awal PD menunjukkan hasil yang menjanjikan, dan percobaan fase 3 sekarang sedang berjalan.2 Agonis dopamin juga sedang diselidiki sebagai agen untuk memperlambat perkembangan penyakit di PD, berdasarkan sifat antioksidan yang dimiliki, agonis dopamin diteliti dapat mengurangi turnover dopamine, melawan radikal bebas, dan mengganggu sinyal sel proapoptotic pada in vitro. Agen menjanjikan lainnya



20



termasuk inhibitor sintetase oksida nitrat dan agen antiapoptotic seperti inhibitor kinase Jun N-terminal dan desmethylselegiline. Yang terakhir, metabolit selegiline, telah ditunjukkan secara eksperimental memiliki efek neuroprotektif pada neuron dopamin, melalui modulasi mekanisme antiapoptotic seluler, termasuk



Bcl-2,



gliseraldehid-3-fosfat



dehidrogenase



(GAPDH);



aktivasi



kompleks proteasome-ubiquitin; dan pencegahan aktivasi caspase 3. Uji klinis untuk menguji efek baru dari agonis dopamin sekarang sedang berlangsung.2 Berdasarkan pedoman dari NICE (2017) mengenai tatalaksana PD, agen neuroprotektif tidak direkomendasikan diberikan pada pasien PD, dengan pernyataan, sebagai berikut:7 



Tidak diperbolehkan menggunakan vitamin E sebagai terapi neuroprotektif pada pasien PD.







Tidak



diperbolehkan



menggunakan



koenzim



Q10



sebagai



terapi



neuroprotektif pada pasien PD, kecuali dalam konteks uji klinis. 



Tidak diperbolehkan menggunakan agonis dopamin sebagai terapi neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis







Tidak diperbolehkan menggunakan inhibitor MAO-B sebagai terapi neuroprotektif pada pasien dengan PD, kecuali dalam konteks uji klinis.



2.1.7.8 Terapi Non Farmakologi Terapi non farmakologi pada pasien PD dengan gejala motorik dan nonmotorik yang direkomendasikan oleh pedoman NICE (2017), meliputi: menggunakan jasa perawat yang ahli menangani pasien dengan PD, fisioterapi, terapi okupasional, terapi berbicara, terapi nutrisi (rekomendasi kecukupan asupan protein dan rekomendasi pemberian Vitamin D untuk mencegah komplikasi fraktur akibat jatuh), Deep Brain Stimulating (DBS) (injeksi / infus apomorphine), serta manajemen paliatif.7



2.1.7.9 Terapi Bedah Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam perawatan bedah terhadap PD dan gangguan pergerakan lainnya. Meskipun kedua pallidotomy dan thalamotomy telah dilakukan secara luas pada tahun 1950, pengenalan levodopa



21



pada tahun 1960 menyebabkan operasi ditinggalkan. Peningkatan dalam penggunaan operasi telah dimotivasi oleh fakta bahwa setelah 5 tahun atau lebih pengobatan, banyak pasien mengalami fluktuasi motorik yang diinduksi obat yang signifikan dan diskinesia. Kemajuan dalam memahami organisasi fungsional ganglia basalis dan patofisiologi parkinsonisme penting untuk menargetkan struktur tertentu dalam prosedur bedah.2 Indikasi paling umum untuk operasi pada PD adalah tremor intractable dan fluktuasi motorik yang diinduksi oleh obat atau diskinesia. Kandidat terbaik adalah pasien dengan parkinsonisme levodopa-responsif yang jelas yang bebas dari demensia signifikan atau komorbid psikiatri. Secara umum, prosedur operatif bermanfaat hanya sedikit atau tidak sama sekali pada pasien dengan parkinsonisme atipikal atau demensia. Saat ini, inti subthalamic merupakan target yang sering dituju, tetapi uji klinis terkontrol yang membandingkan target pallidal dan subthalamic hampir selesai.2 Deep brain stimulation (DBS) paling sering dilakukan secara bilateral dan simultan, tetapi DBS unilateral dapat sangat efektif untuk kasus asimetris. DBS di daerah ini mengurangi tanda-tanda motorik parkinson, terutama selama periode "off", dan mengurangi diskinesia, distonia, dan fluktuasi motorik yang diakibatkan oleh pemberian obat. Kedua prosedur telah terbukti sangat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan keduanya lebih efektif daripada manajemen medis pada populasi target pasien dengan PD lanjut.2 Tanda dan gejala yang tidak berespon terhadap levodopa, seperti ketidakstabilan postural, jatuh, hypophonia, mikrografia, meneteskan air liur, dan disfungsi otonom, tidak mungkin mendapat manfaat dari operasi. Sebagai aturan praktis, manfaat dari operasi tidak akan melebihi hasil terbaik dari obat antiparkinson tetapi memberikan bantuan dari fluktuasi motorik, diskinesia, dan dystonia. Secara umum, keputusan untuk pembedahan harus dibuat oleh ahli saraf gangguan gerakan yang merupakan bagian dari tim, termasuk ahli bedah saraf, neuropsikolog, dan programmer.2 Mekanisme aksi DBS masih kontroversial. Karena secara klinis tampak bahwa ablasi dan stimulasi dari target yang diberikan memiliki efek yang sama, diasumsikan bahwa rangsangan menyebabkan blokade fungsional. Sangat



22



mungkin, bagaimanapun, bahwa banyak faktor yang terlibat. Dasar untuk perbaikan tampaknya adalah penggantian aktivitas saraf yang abnormal dengan pola yang lebih dapat ditolerir. Apapun mekanismenya, jelas bahwa pendekatan ini dapat memberikan hasil yang mengesankan dan bertahan lama pada pasien yang tepat.2



2.1.8



Prognosis Sebelum levodopa diperkenalkan, PD menyebabkan cacat berat atau



kematian pada 25% pasien dalam onset 5 tahun, 65% dalam 10 tahun, dan 89% dalam 15 tahun. Angka kematian dari PD adalah 3 kali lipat dari populasi umum yang sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan asal ras pasien PD. Dengan diperkenalkannya levodopa, tingkat kematian menurun sekitar 50%, dan angka kehidupan usia pasien PD bertambah drastis. Hal ini dianggap karena efek simptomatis dari levodopa, karena tidak ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa levodopa memiliki sifat progresif dari penyakit ini.5 Menurut American Academy of Neurology bahwa tanda klinis berikut dapat membantu memprediksi tingkat perkembangan PD:5 



Usia yang lebih tua saat onset dan rigiditas / hipokinesia awal dapat digunakan untuk memprediksi: (1) tingkat perburukan motorik yang lebih cepat pada pasien dengan PD yang baru didiagnosis dan (2) perkembangan awal penurunan kognitif dan demensia; namun, pada yang awalnya muncul dengan gejala tremor dapat diprediksi perjalanan penyakit yang lebih tidak berbahaya dan manfaat terapeutik dengan levadopa yang lebih lama







Tingkat perburukan motorik yang lebih cepat juga dapat diprediksi jika pasien adalah laki-laki, memiliki komorbiditas terkait, dan memiliki ketidakstabilan postural / kesulitan jalan







Usia yang lebih tua saat onset, demensia, dan penurunan respon terhadap terapi dopaminergik dapat memprediksi penempatan panti jompo lebih awal dan penurunan tingkat kelangsungan hidup



23



BAB 3 KESIMPULAN



Parkinson Disease (PD) adalah bentuk paling umum dari kelompok gangguan neurodegeneratif progresif yang dicirikan oleh gambaran klinis parkinsonisme, termasuk bradikinesia (kurangnya dan kelambatan gerakan), resting tremor, rigiditas otot, shuffling gait, dan postur tubuh yang tertekuk. Meskipun didefinisikan secara klinis sebagai gangguan gerakan, sekarang secara luas disebutkan bahwa PD dapat disertai oleh berbagai gejala non-motorik, termasuk gangguan otonom, sensorik, tidur, kognitif, dan psikiatri. Etiologi PD yang tepat masih sulit dipahami, meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif. Salah satu konseptualisasi adalah bahwa toksin lingkungan yang tidak diketahui bertindak pada individu yang rentan secara genetik terhadap PD dan ada beberapa gen penyebab yang diidentifikasi dapat menyebabkan onset dini dari PD seperti: alpha-synuclein, Parkin, UCHL1, PINK1, DJ-1, dll.. Patofisiologi utama dari PD adalah hilangnya sel berpigmen di substansia nigra dan inti berpigmen lainnya (lokus seruleus, inti motor dorsal vagus) dan banyak sel yang tersisa dari inti berpigmen mengandung inklusi sitoplasma eosinofilik, dikelilingi oleh halo samar, yang disebut Lewy bodies. Diagnosis PD merupakan diagnosis klinis. Tidak ada biomarker laboratorium yang ada untuk kondisi ini, dan temuan pada pencitraan seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) scan tidak menunjukkan patologis yang spesifik Tatalaksana PD terbatas pada mengatasi gejala; tidak ada terapi neuroprotektif yang tersedia untuk mencegah evolusi berkelanjutan dari gangguan neurodegeneratif ini. Terapi farmakologis untuk PD terdiri dari lima jenis regimen, yaitu: dopaminergik (Levodopa, Agonis dopamine), antikolinergik, inhibitor MAO (monoamine oxidase inhibitor), inhibitor COMT (Catechol-Omethyltransferase) dan amantadin.



24



DAFTAR PUSTAKA 1. Netter F, Jones H, Srinivasan J, Allam G, Baker R. Netter's neurology. 2nd ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012. p. 287-298 2. Hauser S, Josephson S. Harrison's Neurology in Clinical Medicine. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Publishing; 2010. p. 320-336 3. Pringsheim T, Jette N, Frolkis A, Steeves T. The prevalence of Parkinson's disease: A systematic review and meta-analysis. Movement Disorders. 2014;29(13):1583-1590. 4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 10th ed. US: McGraw-Hill Education; 2014. 5. Hauser R. Parkinson Disease: Practice Essentials, Background, Anatomy [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 23 June 2018]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview 6. Connolly B, Lang A. Pharmacological Treatment of Parkinson Disease. JAMA. 2014;311(16):1670. 7. National Institute for Health and Care Excellence. Parkinson’s disease in adults | Guidance and guidelines | NICE [Internet]. Nice.org.uk. 2007 [cited 24 June 2018]. Available from: https://www.nice.org.uk/guidance/ng71



25