Referat Sindroma Meniere [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT SINDROMA MENIERE (KAJIAN TERHADAP ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI)



Disusun oleh: Putri Pitaloka



G4A020055



Arifatul Ulumiyah



G4A020057



Annisa Mardianti Sukmara G4A020059 Yusrina Nika Amalia



G4A020137



Pembimbing: dr. Anton Budi Darmawan, Sp.THT-KL



DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT THT-KL RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO



2021 LEMBAR PENGESAHAN REFERAT SINDROMA MENIERE (KAJIAN TERHADAP ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI) Disusun oleh: Putri Pitaloka



G4A020055



Arifatul Ulumiyah



G4A020057



Annisa Mardianti Sukmara



G4A020059



Yusrina Nika Amalia



G4A020137



Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto



Purwokerto, 18 Agustus 2021 Pembimbing



dr. Anton Budi Darmawan, Sp.THT-KL



ii



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan anugerahnya sehingga penyusunan referat berjudul “Sindroma Meniere ( Kajian Terhadap Etiologi dan Patofisiologi)” ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki penulisan di masa yang akan datang. Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Penyakit THT-KL, terutama dr. Anton selaku pembimbing penulis. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat Sindroma Meniere ( Kajian Terhadap Etiologi dan Patofisiologi) ini dapat memberi manfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan rekan-rekan yang membacanya.



Purwokerto, 18 Agustus 2021



Penulis



iii



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................ii KATA PENGANTAR..............................................................................................iii DAFTAR ISI.............................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................2 A. Anatomi Telinga..............................................................................................2 B. Definisi.............................................................................................................9 C. Etiologi...........................................................................................................10 D. Fisiologi Keseimbangan.................................................................................11 E. Patofisiologi Meniere Disease.......................................................................16 F. Diagnosis........................................................................................................18 G. Tatalaksana.....................................................................................................20 BAB III KESIMPULAN..........................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................24



iv



BAB I PENDAHULUAN



Sindroma Meniere merupakan kelainan multifaktorial yang disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Sindroma Meniere ditandai dengan timbulnya episode vertigo atau pusing berputar, tinitus atau telinga berdenging, perasaan penuh dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang fluktuatif. Sindroma Meniere terjadi pada 50 hingga 200 orang dari 100.000 orang dewasa. Sindroma Meniere sebagian besar terjadi unilateral dan 10-20% diantaranya terjadi secara bilateral. Kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit ini juga semakin besar seiring dengan pertambahan usia, ras tertentu, dan obesitas. Sindroma Meniere memiliki gejala yang mirip dengan beberapa jenis penyakit lainnya sehingga diperlukan kecermatan dalam menentukan diagnosisnya. Diagnosis Sindroma Meniere ditegakkan dengan anamnesis, peneriksaan fisik telinga, dan didukung dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosis Sindroma Meniere secara umum serupa dengan penyakit organ pendengaran lainnya dan tidak memiliki uji definitif khusus. Tidak adanya uji definitif diagnosis penyakit Sindroma Meniere menuntut ketelitian dan perlu dilakukan penyingkiran diagnosis banding lainnya terlebih dahulu sebelum ditegakkan (Basura et al., 2020; Kameswaran & Goyal, 2018; Sabig & Muyassaroh, 2018).



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Anatomi Telinga Telinga merupakan suatu organ tubuh yang berfungsi untuk menerima gelombang suara atau gelombang udara yang kemudian diubah menjadi impuls listrik kemudian diteruskan ke korteks pendengaran untuk dianalisa dan diinterpretasikan melalui saraf pendengaran. Selain untuk pendengaran, telinga juga berfungsi untuk keseimbangan. Secara garis besar, telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar dan tengah terutama berkaitan dengan perpindahan gelombang suara ke telinga bagian dalam, yang berisi organ untuk keseimbangan serta pendengaran. Membran timpani merupakan bagian yang memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Tuba eustachius menghubungkan telinga tengah dan nasofaring (Saladin, 2014).



Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Moore, 2014). a. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna) yang berfungsi untuk mengumpulkan suara dan meatus akustikus eksterna (kanalis akustikus) yang mengkonduksi suara ke membran timpani. Bentuk



2



daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3.500 Hz (Pearce, 2016). 1) Pinna Auricula Daun telinga tersusun dari pelat tulang rawan elastis yang berbentuk tidak teratur dan ditutupi oleh kulit tipis. Lobulus (lobus) non-kartilaginosa terdiri dari jaringan fibrosa, lemak, dan pembuluh darah. Pasokan arteri ke daun telinga terutama berasal dari arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis superfisial. Saraf utama pada kulit daun telinga adalah nervus auricularis magnus dan aurikulotemporalis. Nervus aurikularis magnus mempersarafi bagian cranial (medial) atau bagian belakang telinga dan bagian heliks, antiheliks dan lobules. Nervus auriculotemporalis, cabang dari CN V3 (nervus mandibularis) mempersarafi kulit daun telinga anterior sampai meatus akustikus eksterna (Moore, 2014).



Gambar 2.2 Auricula (Moore, 2014). 2) Meatus Akustikus Eksterna Meatus akustikus eksterna adalah kanal yang mengarah ke bagian membran timpani dengan jarak 2-3 cm pada orang dewasa. Satu per tiga lateral dari kanal ini adalah tulang rawan



3



yang dilapisi dengan kulit yang bersambung dengan kulit pada auricular, sedangkan dua per tiga mediannya bertulang dan dilapisi dengan kulit tipis yang bersambung dengan lapisan luar membrane timpani. Kelenjar serumen dan sebasea pada jaringan subkutan dari bagian tulang rawan meatus (satu per tiga lateral) menghasilkan serumen (Pearce, 2016). Membran timpani dengan diameter sekitar 1 cm adalah membrane semitransparan oval yang tipis di ujung medial meatus akustikus eksterna. Membrane timpani ditutupi dengan kulit tipis di bagian luar dan membran mukosa dari telinga tengah pada bagian dalamnya. Membrane timpani memiliki pars



flaksida



(membrane



Shrapnell)



yang



merupakan



membrane tipis yang berada di atas prosesus lateral os malleus. Selain itu ada juga bagian yang disebut pars tensa (membrane propria) yang merupakan bagian tegang yang memiliki serat radial dan melingkar. Pars tensa terdiri dari satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin. Atrofi pada membrane karena proses penuaan mengakibatkan membrane lebih dangkal dan teregang (retraksi) (Moore, 2014). Membran timpani bergerak sebagai respons terhadap getaran udara yang melewatinya melalui meatus akustikus eksterna. Gerakan membran ditransmisikan oleh tulang-tulang pendengaran melalui telinga tengah ke telinga dalam. Permukaan luar membrane timpani terutama dipersarafi oleh nervus auriculotemporal, cabang dari CN V3. Beberapa persarafan disuplai oleh cabang aurikuler kecil dari vagus (CN X). Permukaan internal membran timpani disuplai oleh nervus glossopharingeus (CN IX) (Moore, 2014).



4



Gambar 2.3 Membran Timpani (Moore, 2014). b. Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrane timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Rongga telinga tengah atau rongga timpani adalah ruang sempit berisi udara di bagian petrosus os temporal. Rongga timpani dihubungkan secaa anteromedial dengan nasofaring oleh tuba eustachius dan secara posterosuperior dengan selulae mastoid melalui antrum mastoid. Rongga timpani dilapisi oleh membrane mukosa yang berhubungan dengan lapisan tuba eustachius, selulae mastoid dan antrum mastoideus. Antrum mastoideus merupakan ruang udara yang berada pada bagian atas prosesus mastoideus yang berhubungan dengan telinga tengah, sehingga infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah ke antrum mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis. Isi telinga tengah meliputi (Snell, 2014) 1) Ossicula auditus (malleus, incus, dan stapes). 2) Otot stapedius dan tensor timpani. 3) Nervus chorda timpani, cabang dari CN VII. 4) Pleksus nervus timpani. Tulang pendengaran (ossicula auditus) yang terdiri atas tulang martil (maleus), landasan (incus), dan sanggurdi (stapes) tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang tersambung dari membrane timpani menuju rongga telinga dalam. Penyambungan



5



tersebut dimulai dari prosesus longus maleus yang melekat pada membran timpani, maleus melekat pada incus, dan incus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong (foramen ovale) yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Getaran dari membrane timpani menyebabkan tulang-tulang pendengaran bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi melewati ruang menuju foramen ovale. Getaran kemudian bergerak melalui cairan dalam telinga dalam dan merangsang reseptor pendengaran (Saladin, 2014; Snell, 2014). Telinga tengah memiliki enam dinding, yaitu (Moore, 2014): 1) Dinding tegmental (atap) dibentuk oleh lempengan tulang yang



tipis,



disebut



sebagai



tegmen



timpani,



yang



memisahkan rongga timpani dari duramater. 2) Dinding jugularis (lantai) dibentuk oleh lapisan tulang yang memisahkan rongga timpani dari bulbus superior vena jugularis interna. 3) Dinding



membrane



(dinding



lateral)



dibentuk



oleh



membrane timpani dan resesus epitympanic. 4) Dinding labirin (dinding medial) memisahkan rongga timpani dari telinga bagian dalam. Dibentuk oleh bagian awal koklea, serta foramen ovale dan foramen rotundum. 5) Dinding mastoid (dinding posterior) memiliki lubang di bagian superiornya yang merupakan aditus ke antrum mastoid, menghubungkan rongga timpani ke selulae mastoideus 6) Dinding carotis anterior memisahkan rongga timpani dari canalis carotis, di bagian atasnya terdapat meatus tuba eustachius dank anal untuk musculus tensor timpani.



6



Gambar 2.4 Batas-batas Telinga Tengah (Moore, 2014). c. Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis semi sirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semi sirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai spons). Labyrinthus memiliki bagian vestibuler (pars superior) yang berhubungan dengan keseimbangan dan bagian koklear (pars inferior) yang merupakan organ pendengaran. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala tympani berisi perilimfe, sedangkan skala media berisi endolimfe. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membran vestibuli (Reissner’s membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ korti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ korti (Snell, 2014).



7



Gambar 2.5 Labirin Tulang dan Labirin Membran (Moore, 2014).



Gambar 2.6 Struktur Koklea (Moore, 2014).



8



Gambar 2.7 Telinga dalam (Nakashima et al., 2016). B. Definisi Sindroma Meniere merupakan kelainan multifaktorial yang disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan yang terjadi pada telinga bagian dalam dengan ditandai timbulnya episode vertigo, tinitus, perasaan penuh dalam telinga, dan gangguan pendengaran yang fluktuatif. Sindroma Meniere terjadi pada 50 hingga 200 orang dari 100.000 orang dewasa dan seringkali terjadi pada rentang usia 40 hingga 60 tahun. Angka prevalensi pada negara Inggri dan Swedia juga mencapai 0.5-7.5/1.000 penduduknya. Sindroma Meniere sebagian besar terjadi unilateral dan 10-20% diantaranya terjadi secara bilateral. Kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit ini juga semakin besar seiring dengan pertambahan usia, ras tertentu, dan obesitas (Basura et al., 2020; Kameswaran & Goyal, 2018; Sabig & Muyassaroh, 2018).



9



International Classification of Vestibular Disorders (ICVD mengklasifikasikan Sindroma Meniere menjadi 2 kelompok yaitu (Basura et al., 2020): 1. Definite Meniere’s disease a. Terjadi dua atau lebih episode vertigo spontan yang masing-masing berakhir selama 20 menit hingga 12 jam b. Pemeriksaan audiometri mencatat adanya SNHL pada frekuensi rendah hingga sedang pada salah satu telinga dan mempengaruhi minimal 1 saat sebelum, selama, atau setelah episode vertigo c. Gejala aura fluktuatif (penurunan pendengaran, tinitus, atau rasa penuh) yang mempengaruhi telinga d. Tidak tercatat lebih baik dari diagnosis vestibular lainnya 2. Probable Meniere’s disease a. Terjadi dua atau lebih episode vertigo yang masing-masing berakhir selama 20 menit hingga 24 jam b. Gejala aura fluktuatif (penurunan pendengaran, tinitus, atau rasa penuh) yang mempengaruhi telinga c. Tidak tercatat lebih baik dari diagnosis vestibular lainnya C. Etiologi Etiolgi yang mendasari Sindroma Meniere belum terlalu jelas, namun dihubungkan dengan perubahan anatomik pada valume cairan intraaurikula atau endolynphatic hydrops (ELH). Perubahan anatomik tersebut baru dapat dipastikan secara post mortem atau setelah kematian. Disisi lain ELH tidaklah sepenuhnya sama dengan Sindroma Meniere. ELH mreupakan kondisi peningkatan tekanan hidrolik di dalam sistem endolimfatik telinga bagian dalam yang akan mempengaruhi sistem keseimbangan dalam organ telinga dalam. ELH berkembang akibat kontribusi dari kegagalan penyerapan cairan endolimfe, infeksi (contoh sifilis), trauma, genetik anatomis, autoimun, dan/atau alergen (Basura et al., 2020; Li, 2020).



10



D. Fisiologi Keseimbangan Selain sebagai organ pendengaran yang bergantung pada koklea, telinga dalam memiliki komponen khusus lain yaitu aparatus vestibularis, yang memberi informasi esensial bagi sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata dan postur. Aparatus vestibularis terdiri dari dua strukrur yaitu kanalis semisirkularis dan organ otolit, yaitu utikulus dan sakulus. Aparatus vestibularis mendeteksi perubahan posisi dan gerakan kepala. Komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Serupa dengan organ corti, komponen vestibularis masing-masing mengandung sel rambut yang berespons terhadap deformasi mekanis yang dipicu oleh gerakan spesifik endolimfe. Dan seperti sel rambut auditorik, reseptor vestibularis dapat mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi bergantung pada arah gerakan cairan. Namun, sebagian besar informasi yang dihasilkan oleh apatarus vestibularis tidak mencapai tingkat kesadaran (Sherwood, 2012). Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi kepala rotasional atau angular, misalnya ketika mulai atau berhenti berputar, jungkir-balik, atau menengok. Kupula bergoyang sesuai arah gerakan cairan, seperti rumpur laut yang miring ke arah gelombang laut. Akselerasi atau deselerasi sewaktu rotasi kepala dalam arah apapun menyebabkan gerakan endolimfe paling tidak pada salah satu kanalis semisirkularis. Sewaktu mulai menggerakkan kepala, tulang kanalis dan sel-sel rambut yang terbenam di dalam kupula bergerak bersama kepala. Namun, pada awalnya cairan di dalam kanalis tidak bergerak searah dengan rotasi tetapi tertinggal di belakang akibat inersia (kelembaman; karena inersia, benda yang diam akan tetap diam, dan benda yang sedang bergerak akan terus bergerak ke arah yang sama kecuali benda tersebut mendapat gaya luar yang menyebabkan perubahan) karena tidak melekat ke tengkorak, Ketika endolimfe tertinggal di belakang sewaktu mulai memutar kepala, cairan dalam bidang yang sama dengan arah gerakan bergeser dalam arah berlawanan dengan gerakan (serupa dengan tubuh yang miring ke kanan 11



ketika mobil yang dikendarai mendadak berbelok ke kiri). Gerakan cairan ini menyebabkan kupula miring dalam arah berlawanan dengan gerakan kepala, menekuk rambut-rambut sensorik yang terbenam di dalamnya. Jika gerakan kepala berlanjut dengan kecepatan dan arah yang sama, maka endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepala sehingga rambut-rambut tersebut kembali ke posisinya yang tidak melengkung. Ketika kepala melambat dan berhenti, terjadi situasi yang terbalik. Endolimfe sesaat melanjutkan gerakan ke arah rotasi semenrara kepala melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara transien melengkung ke arah putaran sebelumnya, yaitu berlawanan dengan arah lengkung mereka sewaktu alselerasi (Sherwood, 2012).



Gambar 2.7 Pengaktifan sel rambut di kanalis semisirkularis (Sherwood, 2012). Rambut-rambut di sel rambut vestibularis terdiri dari satu silium, kinosilium, bersama dengan 20 sampai 50 mikrovilus stereosilia yang rersusun dalam barisan-barisan yang semakin tinggi. Ketika stereosilia terdefleksi oleh gerakan endolimfe, tegangan yang terjadi di tautan ujung menarik saluran ion berpintu mekanis di sel rambut. Sel rambut mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi, bergantung pada apakah saluran ion terbuka atau tenurup secara mekanis oleh pergeseran berkas rambut. Setiap sel rambut memiliki orientasi sedemikian sehingga sel



12



tersebut mengalami depolarisasi ketika stereosilia menekuk ke arah kinosilium, sedangkan penekukan ke arah berlawanan akan menyebabkan hiperpolarisasi. Depolarisasi meningkatkan pelepasan neurotransmiter dari sel



rambut.



Sebaliknya,



hiperpolarisasi



mengurangi



pelepasan



neurotransmiter dari sel rambut, sehingga mengurangi frekuensi potensial aksi di serat aferen. Ketika cairan secara perlahan berhenti, rambut-rambut menjadi lurus kembali. Dengan demikian, kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasional (akselerasi atau deselerasi rotasional) kepala. Karnalis semisirkularis tidak berespons ketika kepala tidak bergerak atau ketika berputar dalam lingkaran dengan kecepatan tetap (Sherwood, 2012).



13



Gambar 2.8 (a) Anatomi makroskopik aparatus vestibularis. (b) Unit sel reseptor di ampula kanalis semisirkularis. (c) Gambaran skematik "rambut" pada sel rambut sensorik kanalis semisirkularis. (d) Foto mikroskop elektron memperlihatkan kinosilium dan stereosilia di sel rambut di dalam aparatus vestibularis (Sherwood, 2012). Organ otolit memberi informasi tentang posisi kepala relatif terhadap gravitasi (yaitu, kepala miring statik) dan juga mendeteksi perubahan kecepatan gerakan lurus (bergerak dalam garis lurus ke manapun arahnya). Ketika seseorang berada dalam posisi tegak, rambutrambut di dalam utrikulus berorientasi vertikal dan rambut sakulus berjajar horizontal. Ketika memiringkan kepala ke suatu arah selain vertikal, rambut-rambut akan menekuk sesuai arah kemiringan karena gaya gravitasi yang mengenai lapisan gelatinosa. Penekukan ini menimbulkan depolarisasi atau hiperpolarisasi potensial reseptor bergantung pada miringnya kepala. Karena itu SSP menerima berbagai pola aktivitas saraf bergantung pada posisi kepala dalam kaitannya dengan gravitasi (Sherwood, 2012). Rambut utrikulus juga bergerak oleh setiap perubahan pada gerakan linier horizontal (seperti bergerak lurus ke depan, ke belakang, atau ke samping). Sewaktu mulai berjalan maju, membran otolit mulamula tertinggal di belakang endolimfe dan sel rambut karena inersianya yang lebih besar. Karena itu rambut menekuk ke belakang, dalam arah berlawanan dengan gerakan maju kepala. Jika kecepatan langkah dipertahankan, maka lapisan gelatinosa tersebut segera menyamai dan bergerak dengan kecepatan yang sama dengan kepala sehingga rambut tidak lagi tertekuk. Ketika berhenti berjalan, lembar otolit tetap bergerak maju sesaat sewaktu kepala melambat dan berhenti, menekuk rambut ke depan. Oleh sebab itu, sel-sel rambut utrikulus mendeteksi akselerasi dan deselerasi linier arah horizontal, tetapi tidak memberi informasi mengenai gerakan dalam arah lurus dengan kecepatan tetap (Sherwood, 2012). Sakulus berfungsi seperti dengan utrikulus, kecuali bahwa bagian ini berespons secara selektif terhadap gerakan miring kepala menjauhi



14



posisi horizontal (misalnya bangun dari tempat tidur) dan terhadap akselerasi dan deselerasi linier vertikal (misalnya meloncat naik-turun atau naik tangga berjalan). Sinyal-sinyal yang berasal dari berbagai komponen apparatus vestibularis dibawa melalui nervus vestibulokoklearis ke nukleus vestibularis. Di sini informasi vestibular diintegrasikan dengan masukan dari permukaan kulit, mata, sendi, dan otot untuk (1) mempertahankan keseimbangan dan postur yang diinginkan; (2) mengontrol otot mata eksternal sehingga mata terfiksasi ke satu titik, meskipun kepala bergerak; dan (3) mempersepsikan gerakan dan orientasi (Sherwood, 2012).



15



Gambar 2.9 Utrikulus. (a) Unit reseptor di utrikulus. (b) Pengaktifan utrikulus oleh perubahan posisi kepala. (c) Pengaktifan utrikulus oleh akselerasi linier horizontal (Sherwood, 2012).



16



Gambar 2.10 Masukan dan keluaran nukleus vestibularis (Sherwood, 2012). E. Patofisiologi Meniere Disease Meniere disease adalah gangguan pada telinga bagian dalam yang juga dikenal sebagai hidrops endolimfatik idiopatik. Hidrops endolimfatik mengacu pada kondisi peningkatan tekanan hidrolik di dalam sistem endolimfatik telinga bagian dalam. Patofisiologi pasti dari Meniere disease masih kontroversial. Mekanisme yang mendasari diyakini sebagai distorsi labirin membran yang dihasilkan dari akumulasi endolimfe yang berlebihan. Berbagai mekanisme ekstrinsik diperkirakan berkontribusi pada perkembangan hidrops endolimfatik, termasuk infeksi, trauma, dan alergen. Beberapa penulis mempertanyakan apakah hidrops endolimfatik merupakan penanda penyakit atau merupakan sebuah penyebab. Sebuah penelitian yang mengamati tulang temporal menemukan bahwa semua pasien dengan Meniere disease memiliki hidrops di setidaknya 1 telinga, tetapi hidrops juga ditemukan pada pasien yang tidak menunjukkan tandatanda dari Meniere disease (Li, 2020). Endolimfe dan perilimfe (yaitu, cairan yang mengisi bilik telinga bagian dalam) dipisahkan oleh selaput tipis yang menampung aparatus saraf pendengaran dan keseimbangan. Fluktuasi tekanan dapat menekan



17



membran yang kaya saraf ini, yang menyebabkan gangguan pendengaran, tinnitus, vertigo, ketidakseimbangan, dan sensasi tekanan di telinga. Hidrops mungkin disebabkan oleh peningkatan tekanan endolimfatik yang menyebabkan



pecahnya



membran



yang



memisahkan



perilimfe



(potassium-poor extracellular fluid) dari endolimfe (potassium-rich intracellular fluid). Campuran kimia yang dihasilkan membasahi reseptor saraf vestibular, menyebabkan blokade depolarisasi dan hilangnya fungsi sementara. Perubahan mendadak dalam kecepatan pelepasan saraf vestibular menyebabkan ketidakseimbangan vestibular akut (vertigo) (Li, 2020). Distensi fisik yang disebabkan oleh peningkatan tekanan endolimfatik



juga



menyebabkan



gangguan



mekanis



pada



organ



pendengaran dan otolitik. Karena utrikulus dan sakulus bertanggung jawab untuk deteksi gerakan linier dan translasi (berlawanan dengan percepatan sudut dan rotasi), iritasi pada organ-organ ini dapat menyebabkan gejala vestibular nonrotasi. Distensi fisik ini juga menyebabkan gangguan mekanis pada organ corti. Distorsi membran basilar dan sel-sel rambut dalam dan luar dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan/atau tinitus. Apeks lebih sensitif terhadap perubahan tekanan daripada dasarnya.



Ini



menjelaskan



mengapa



hidrops



secara



istimewa



mempengaruhi frekuensi rendah (di puncak) dibandingkan dengan frekuensi tinggi (di dasar yang relatif lebih luas). Gejala membaik setelah membran diperbaiki karena konsentrasi natrium dan kalium kembali normal (Li, 2020). Nakashima et al. (2016) juga menjelaskan bahwa Meniere disease (MD) terjadi karena disfungsi vestibular di mana cairan endolimfe yang berlebihan menumpuk di telinga bagian dalam dan menyebabkan kerusakan pada sel ganglion. Mekanisme ini merupakan gangguan heterogen yang kompleks di mana banyak faktor mendasari yang berinteraksi, termasuk variasi anatomi tulang temporal, genetika, autoimun,



migrain,



perubahan



dinamika



cairan



intra-labirin



dan



mekanisme seluler dan molekuler.



18



Studi MRI terbaru menunjukkan bahwa pasien dengan tipikal dan atipikal MD memiliki (endolymphatic hydrops) EH, dan ada banyak pasien dengan EH asimtomatik pada sisi yang tidak terpengaruh pada pasien dengan MD unilateral. Karena onset EH mendahului timbulnya MD, maka EH bukanlah akibat dari MD. Patofisiologi EH dan hubungannya dengan MD tetap sulit dipahami. Patofisiologi MD lebih melibatkan kerusakan sel ganglion daripada kerusakan sel-sel rambut sensorik. Hal ini mirip dengan glaukoma, dimana gangguan dinamika cairan menyebabkan lebih banyak kerusakan pada ganglion retina sel daripada sel sensorik di retina (Nakashima et al., 2016). F. Diagnosis 1. Anamnesis Gejala yang mungkin dialami berupa 2 atau lebih seragan vertigo, gangguan pendengaran, yang berfluktuasi, tekanan pada telinga, dan atau telinga berdenging (Basura et al., 2020). Vertigo yang terjadi pada MD berupa 2 atau lebih episode vertigo yang berlangsung 20 menit hingga 2 jam (Basura et al., 2020). Fruktuasi frekuensi rendah pada gangguan pendengaran sensorineural unilateral merupakan karakteristik pada penyakit MD. Gangguan pendengaran darpat berkembang ke semua frekuensi. Tinnitus sering terjadi dan ipsilateral (Koenen dan Claudio, 2021). 2. Pemeriksaan fisik Jika dicurigai MD maka dilakukan pemeriksaan otologik lengkap, tes saraf wajah, dan penilaian nistagmus dengan kacamata fenzel, test rinne, dan test weber. Test rinne dan weber akan menunjukan gangguan pendengaran sensorineural pada MD akut atau penyakit lanjut. Pemeriksaan kacamata Frenzel dapat menujukkan nistagmus horizontal dengan komponen yang berdetak cepat jauh dari organ vestibular yang terkena dalam keadaan akut (Koenen dan Claudio, 2021).



19



3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa audiogram dan MRI. Pemeriksaan audiogram dilakukan karena ada perubahan pendengaran pada penderita MD (Basura et al., 2020). Jika gangguan pendegaran hanya pada satu telinga atau satu sisi perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk menyingkirkan kemungkinan tumor jinak di telinga



bagian



dalam



(Basura



et



al.,



2020). Selain



untuk



menyingkirkan tumor, MRI dilakukan untuk menyingkirkan patologi retrokoklea. Pemeriksaan MRI tidak perlu dilakukan dalam keaddan akut tetapi dapat dilakukan beberapa minggu setelah timbulnya gejala. Pada pemeriksaan MRI resolusi tinggi dapat secara langsung menunjukan hydrops endolimfatik pada organ yang terkena (Koenen dan Claudio, 2021). AAO-HNS telah menetapkan klasifikasi klinis yang ketat untuk mendiagnosis pasti atau kemungkinan MD. Kriteria tersebut telah di revisi oleh Barany Society, penegakan diagnosis pasti MD dengan mencakup 2 kategori (Basura et al., 2020): a. 2 atau lebih serangan vertigo spontan, masing masing berlangsung 20 menit hingga 12 jam b. Audiometri menunjukan hasil SNHL frekuensi rendah hingga sedang setidaknya 1 kali sebelum, selama, atau setelah 1 episode vertigo c. Gejala aural yang berfluktuasi (gangguan pendengaran, tinnitus, atau rasa penuh ditelinga) pada telinga yang terkena d.



Penyebab lain yang dikecualikan oleh test lain. G. Tatalaksana Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi non-bedah dan terapi



bedah (Bahagia & Putu, 2020). 1. Terapi non-bedah



20



60-90% penderita OSA memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 28 kg/m2, sehingga penurunan berat badan harus menjadi salah satu tujuan terapi OSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan Apnea Hypoxia Index (AHI), perbaikan gejala OSA, seperti rasa kantuk di siang hari, serta peningkatan saturasi oksigen setelah penderita OSA menjalani program penurunan berat badan (Bahagia & Putu, 2020). Pada penderita OSA, posisi tidur telentang atau spine berhubungan dengan peningkatan episode apnea atau hypopnea dan



keparahan



desaturase oksigen. Hal tersebut terjadi karena pengaruh gravitasi serta perubahan ukuran dan posisi saluran nafas atas. Penderita OSA dapat dikelompokkan menjadi dua



yakni OSA postural dan non postural.



Diagnosis OSA postural ditegakkan apabila episode obstruksi selama tidur terjadi terutama saat posisi telentang (AHI pada posisi telentang minimal dua kali lebih besar dibanding dengan posisi tidak telentang). Sebagian besar (65-87%) OSA ringan hingga sedang adalah OSA postural sehingga terapi posisi dapat menjadi solusi yang sederhana, murah, dan efektif untuk mengurangi periode obstruksi saat tidur. Beberapa strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien menyentuh alas tidur, seperti pemasangan alarm yang berbunyi saat pasien tidur dalam posisi telentang, atau pemasangan bantal atau bola agar merasa tidak nyaman saat tidur dalam posisi telentang. Terapi posisi dikatakan berhasil apabila terdapat penurunan AHI hingga kurang dari 10 (Bahagia & Putu, 2020). Positive airway pressure (PAP) merupakan terapi baku emas untuk OSA. Bentuk umum dari PAP adalah Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker



oral



masker



nasal,



atau variasi-variasi lain. Alat ini berfungsi sebagai



dukungan pneumatik yang mempertahankan patensi saluran nafas atas dengan meningkatkan tekanan



saluran nafas atas melebihi nilai kritis



(nilai tekanan kurang dari tersebut mengakibatkan kolaps jalan nafas). Indikasi CPAP



antara lain pada semua penderita AHI lebih dari 15,



tanpa melihat komorbiditas, tipe pekerjaan dan derajat gejala. Jika AHI



21



lebih dari 5 dan kurang dari 15, CPAP diindikasikan jika terdapat gejala (rasa mengantuk, gangguan kognitif, perubahan mood) atau terdapat hipertensi, penyakit jantung koroner atau



riwayat stroke (Bahagia &



Putu, 2020). Terapi dengan alat buatan (oral appliances/OA) merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk penderita OSA ringan sampai sedang dan penderita OSA berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau menolak dilakukan pembedahan. OA



yang paling sering digunakan



adalah Mandibular Advanced Splints (MAS), yaitu alat yang terpasang pada arkus dental atas maupun bawah untuk mempertahankan posisi mandibula dan mencegah agar lidah tidak jatuh ke belakang. Prinsip terapi OA sama dengan CPAP, yaitu mencegah kolapsnya saluran nafas atas selama tidur sehingga dapat menurunkan episode apnea atau hipoapnea pada penderita OSA. Terdapat beberapa efek samping OA antara lain, hipersalivasi, mulut kering, iritasi gusi, atralgia pada sendi temporomandibular, nyeri pada gigi, dan perubahan oklusi gigi (Bahagia & Putu, 2020).



Gambar 2.7 Manajemen OSA berdasarkan AHI (Bahagia & Putu, 2020).



22



2. Terapi bedah Terapi pembedahan pada OSA bertujuan untuk



memperbaki



volume dan bentuk saluran nafas atas. Indikasi pembedahan pada OSA adalah: a. AHI ≥20x/jam b. Saturasi O2