Referat Tonsilitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT TONSILITIS



Pembimbing: Kolonel (Purn) dr. Tri Damijatno Sp.THT Kolonel Ckm dr. Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT-KL Mayor Ckm dr. Moh Andi Fatkhurokhmah, Sp.THT-KL



Disusun oleh: Daniel Bramantyo 1102010063



KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT RUMAH SAKIT MOHAMMAD RIDWAN MEURAKSA PERIODE : 20 April 2015 – 23 Mei 2015



Kata Pengantar



Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nyalah maka referat ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Tri, Sp. THT, dr. Rakhmat, Sp. THT, dan dr. Moh. Andi Sp. THT sebagai pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu THT. Referat ini mengangkat tema tentang tonsilitis. Penulis mengharapkan agar referat ini dapat membantu mengenali kondisi klinis dan diagnosis penyakit tonsilitis secara holistik dengan menilai seluruh unsur di dalamnya. Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit tonsilitis. Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan referat ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk membaca referat ini.



Jakarta, April 2015



Penulis



Daftar Isi 2



Halaman depan.......................................................................................................................1 Kata pengantar....................................................................................................................... 2 Daftar



isi................................................................................................................................. 3



Bab I Pendahuluan...............................................................................................................4 1.1 Latar belakang....................................................................................................4 1.2 Tujuan penulisan................................................................................................ 4 Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................................ 5 2.1 Definisi tonsilitis................................................................................................. 5 2.2 Anatomi tonsil......................................................................................................5 2.3 Fisiologi tonsil..................................................................................................... 17 2.4 Etiologi tonsilitis.............................................................................................



22



2.5 Epidemiologi tonsilitis......................................................................................... 22 2.6 Patofisiologi tonsilitis......................................................................................... 23 2.7 Manifestasi klinis tonsilitis................................................................................. 24 2.8 Penatalaksanaan................................................................................................. 27 2.9 Pencegahan........................................................................................... ........... 28 2.10 Prognosis............................................................................................................29 2.11 Komplikasi......................................................................................................... 29 Bab III Penutup...................................................................................................................... 30 Daftar pustaka........................................................................................................................ 31



3



Bab I Pendahuluan



1.1 Latar belakang Tonsil atau yang lebih dikenal sebagai amandel adalah massa jaringan limfoid yang terletak di rongga mulut. Tonsil berada dalam kapsul yang sebagian besar terletak dalam fossa tonsil dengan perantaraan jaringan ikat longgar. Dalam tonsil terdapat jaringanjaringan limfoid yang disebut folikel. Setiap folikel mempunyai kanal (saluran) yang bermuara di permukaan tonsil. Muara tersebut tampak sebagai lubang-lubang yang dinamakan kripta. Akibat radang dalam folikel, tonsil membengkak dan terbentuk eksudat yang masuk saluran dan keluar sebagai kotoran putih pada kripta yang dinamakan detritus. Peradangan pada tonsil ini yang dinamakan sebagai tonsilitis. Penyebab utamanya adalah infeksi Streptokokus hemolitikus (50%) atau virus. Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi orang dewasa juga bisa terinfeksi. Penyakit ini ditularkan secara droplet infection, melalui alat makan atau makanan.



1.2 Tujuan penulisan Penulisan ini bertujuan untuk menambah ilmu mengenai diagnosis penyakit tonsilitis dan penanganannya secara holistik serta syarat penilaian kepaniteraan klinik ilmu kesehatan telinga, hidung, dan tenggorok.



4



Bab II Tinjauan Pustaka



2.1 Definisi tonsilitis Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tosil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah). Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus.



2.2 Anatomi Faring Faring merupakan bagian tubuh yang merupakan suatu traktus aerodigestivus dengan struktur tubular irregular mulai dari dasar tengkorak sampai setinggi vertebra servikal VI, berlanjut menjadi esophagus dan sebelah anteriornya laring berlanjut menjadi trakea. Batasbatas faring :    



Superior Inferior Anterior Posterior



: Oksipital dan sinus sphenoid : Berhubungan dengan esophagus setinggi m. cricopharyngeus : Cavum nasi, cavum oris, dan laring : Columna vertebra servikal melalui jaringan areolar yang longgar.



Faring dibagi menjadi tiga bagian :   



Nasofaring (Epifaring) Orofaring (Mesofaring) Laringofaring (Hipofaring)



A. Nasofaring



5



Batas-batas nasofaring :     



Superior Inferior Anterior Posterior Lateral



: Basis cranii : Bidang datar yang melalui palatum molle : Berhubungan dengan cavum nasi melalui choana : Vertebra Servikalis : Otot-otot konstriktor faring



Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu terdiri dari epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah selaput (membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya mukosa. Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting : 



Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsilofaringea atau







tonsil nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid. Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu







sentimeter di belakang tepi posterior konka inferior. Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa







Rosenmuler, merupakan tempat predileksi karsinoma faring Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan







inferior torus tubarius, setinggi palatum molle Koana atau nares posterior1



B. Orofaring Merupakan kelanjutan dari nasofaring pada tepi bebas dari palatum molle. Batasnya :    



Superior Inferior Anterior Posterior



: Palatum molle : Bidang datar yang melalui tepi atas epiglotis : Berhubungan dengan kavum oris melalui isthmus : Vertebra servikalis 2 dan 3 bersama dengan otot-otot prevertebra.



Isthmus faucius dibatasi oleh arkus faringeus kanan dan kiri. Arcus pharyngeus sendiri dibentuk oleh pilar tonsilaris yang pada bagian anterior terdapat m. palatoglossus dan bagian posterior terdapat m. palatopharyngeus. Diantara kedua pilar tersebut terdapat fossa/ruang tonsilaris, berisi jaringan limfoid yang disebut tonsila palatina.



6



Gambar : Penampang Faring C. Laringofaring Terletak di belakang dan sisi kiri dan kanan laring yang disebut sinus atau fossa piriformis. Dimulai dari segitiga valecula yang merupakan batas orofaring dengan laringofaring, sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid, tempat masuknya sphingter krikofaringeus. Batas-batas lainnya :    



Superior Inferior Anterior Posterior



: Bidang datar melewati tepi atas epiglotis atau setinggi valecula : Tepi bawah cartilago cricoid : Aditus laring : Vertebrae cervicalis 3 sampai 6.1



Valecula sendiri merupakan suatu cekungan yang dangkal dengan batas-batas :    



Anterior Posterior Lateral Medial



: Basis lidah : Facies epiglotis anterior : Plica faringoepiglotika : Plica glossoepiglotika



Fossa piriformis mempunyai batas-batas : Medial



: Plica ariepiglotika



Lateral



: cartilago tiroid dan membran tirohioid



Jaringan Limfoid pada Faring Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal dengan nama cincin Waldeyer yang terdiri dari : 



Tonsila Palatina (faucial) 7



   



Tonsila Faringeal (adenoid) Tonsila Lingualis Lateral Faringeal Band Nodul-nodul soliter di belakang faring



Gambar. Cincin Waldeyer Jaringan Limfoid Nasofaring Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya. Penyakit Thornwaldt’s merupakan infeksi dari bursa faringeal ini. Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah dari a. carotis interna dan sebagian kecil cabang palatina a. maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam vena jugularis interna.2



8



Gambar. Adenoid



Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus. Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama ditemukan pada mukosa tuba eustachius dan fossa rossenmuler. Jaringan limfoid ini disebut juga Gerlach’s Tonsil.



Gambar : Nasofaring dan orofaring



Jaringan Limfoid Orofaring A. Tonsila Lingualis Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari a. lingualis yang merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang v. lingualis ke vena jugularis interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX. B. Tonsila Palatina Embriologi



9



Tonsil merupakan derivat dari kedua lapisan germinal entoderm dan mesoderm, dimana entoderm akan membentuk bagian epitel sedangkan mesoderm akan tumbuh menjadi jaringan mesenkim tonsil. Pada masa perkembangan janin, faring akan tumbuh dan meluas ke arah lateral dimana kantung kedua akan tumbuh ke arah dalam dari dinding faring yang selanjutnya akan menjadi fossa tonsilar primitif yang terletak antara arkus brakialis kedua dan ketiga. Fossa tonsilaris ini akan terlihat jelas secara makroskopis pada minggu keenam belas. Embriologi Tonsil Pilar tonsil dibentuk oleh arkus brakialis kedua dan ketiga melalui pertumbuhan ke arah dorsal atau palatum molle. Kripta-kripta tonsil akan tumbuh secara progresif saat usia janin tiga sampai enam bulan, sebgai massa yang solid yang tumbuh ke arah dalam dari permukaan epitel dan selanjutnya tumbuh bercabangcabang dan berongga. Sedang limfosit-limfosit muncul dekat susunan epitel kripta pada bulan ketiga, lalu tumbuh secara terorganisir sebagai nodul-nodul setelah janin berusia enam bulan. Anatomi Tonsila Palatina Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila faringeal dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai tonsil adalah tonsila palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid. Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arcus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arcus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. palatina membentuk palatum molle. Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. konstriktor faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.



10



Gambar. Tonsila Palatina



Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di daerah tersebut. Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plica triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang membesar. Plica ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil. Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai plica semilunaris. Pada plica ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan. Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, 2 yaitu :







Ruang peritonsil (ruang supratonsil)



11



Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :  Anterior  Lateral dan Posterior  Dasar segitiga



: M. palatoglossus : M. palatofaringeus : Pole atas tonsil



Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial. 



Ruang retromolar Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m. pterigoideus internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m. temporalis. Bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsilar.







Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang pterigomandibula) Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah :    



Superior : Basis cranii dekat foramen jugulare Inferior : os hyoid Medial : M. konstriktor faringeus superior Lateral : Ramus asendens mandibula, tempat m. pterigoideus Iinterna dan



bagian posterior kelenjar parotis  Posterior: Otot-otot prevertebra. Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus dan otototot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut. o Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radangtonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif. o Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : a. carotis interna, v. jugularis, N. vagus dan saraf-saraf simpatis.2



12



Gambar : Tonsila Palatina dan organ sekitarnya Vaskularisasi Tonsil Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :    



A. palatina asendens, cabang a. fasialis memperdarahi bagian postero inferior A. tonsilaris, cabang a. fasialis memperdarahi daerah antero inferior A. lingualis dorsalis, cabang a. maksilaris interna memperdarahi daerah anteromedia A. faringeal asendens, cabang a. carotis eksterna memperdarahi daerah postero







superior A. palatina desendens dan cabangnya, a. palatina mayor dan minor memperdarahi daerah antero superior.



Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke v. lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke v. jugularis interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding faring.



13



Gambar. Vaskularisasi Tonsil



Aliran Limfe Tonsil Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. konstriktor faringeus superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus.



14



Gambar. Aliran Limfe Tonsil



Inervasi Tonsil Terutama melalui N. palatina mayor dan minor (cabang N. V) dan N. lingualis (cabang N. IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N. IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”.



15



Histologi Tonsil Kapsul tonsil terutama terdiri dari jaringan ikat dan serabut elastin yang meliputi dua pertiga bagian permukaan lateral tonsil. Kapsul ini pada beberapa tempat masuk menjorok ke dalam tonsil, membentuk kerangka penyokong struktur di dalam tonsil yang disebut ‘trabekula’. Trabekula merupakan tempat lewatnya pembuluh darah, pembuluh limfatik eferen, dan saraf. Di dalam kapsul dapat dijumpai serabut-serabut otot serta pulau-pulau kartilago hialin, yang merupakan sisa jaringan embrional arkus brakialis. Membrana mukusa tonsil terdiri dari epitel berlapis gepeng dan pada beberapa tempat, lapisan mukosa ini akan mengadakan invaginasi ke dalam massa tonsil, membentuk saluran buntu yang disebut kripta. Kripta ini berbentuk tidak teratur dan bercabangcabang. Lapisan epitel mukosa kripta lebih tipis bila dibandingkan dengan epitel mukosa tonsil, bahkan pada bebrapa tempat, kripta ini tidak dilapisi mukosa sam sekali. Komposisi terbesar dari jaringan tonsil adalah jaringan limfoid yang pada beberapa tempat berkelompok, berbentuk bulat atau oval yang disebut folikel, dengan diameter sekitar 1-2 cm. Didalam folikel, terdapat sel-sel limfosit dalam berbagai stadium pertumbuhan, dengan pusat pertumbuhannya disebut ‘sentrum germinativum’. Kadangkadang disepanjang epitel dapat ditemukan sel-sel limfosit yang bermigrasi atau mengadakan infiltrasi melalui mukosa yang tipis. C. Lateral Faringeal Band (Adenoid) Merupakan jaringan limfoid yang mempunyai beberapa kripta yang rudimenter dan terletak mulai dari sudut yang dibentuk oleh permukaan belakang pilar posterior dengan dinding faring. D. Nodul-nodul Limfatik Soliter Tersebar pada dinding posterior faring, di bawah adenoid, melengkapi terbentuknya



‘cincin



Waldeyer’.



Nodul-nodul



ini



bila



meradang



akan



membengkak denga hebat, sementara tonsil akan tenang saja, padahal jarak keduanya hanya 3-4 mm.



16



Jaringan Limfoid Hipofaring Dari beberapa literatur menyebutkan tidak ada jaringan limfoid yang spesifik di daerah hipofaring atau laringofaring ini, seperti halnya di nasofaring dan orofaring. Hanya disebutkan bahwa jaringan limfoid tersebut banyak tersebar pada seluruh permukaan mukosa hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid). Mengenai jaringan limfoid daerah laring, disebutkan memegang peranan penting di dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan. Daerah glotis terdiri dari serabut-serabut elastis sehingga tidak memiliki jaringan limfoid. Daerah Supraglotis sebaliknya memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plica fentricularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersianterior plika ariepiglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sebagai bundle neurovaskular laring. Jaringan limfoid ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan kontralateral. Jaringan infraglotis, tidak sebanyak di supraglotis, tetapi dapat terjadi invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan pre dan paratrakeal. Seluruh jaringan limfoid daerah laring bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan inferior dalam.



2.3 Fisiologi Rongga Mulut dan Faring Secara umum, rongga mulut dan faring mempunyai fungsi dalam :   



Proses menelan dan pernafasan Pertahanan tubuh Proses fonasi Fungsi utama nasofaring adalah sebgai tabung kaku dan terbuka untuk



udara pernafasan. Pada waktu menelan, muntah, sendawa, dan tercekik, nasofaring akan terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum molle terangkat sampai kedinding posterior orofaring. Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba eustachius. Sebagai ruang resonansi sangat penting dalam pembentukan suara. Orofaring dan hipofaring selain berfungsi sebagai saluran pernafasan, juga berfungsi sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanan dan minuman dari rongga mulut, terakhir sebagai rung resonansi dalam pembentukan suara.3 Proses Menelan dan Pernafasan 17



Proses menelan merupakan fungsi neuromuscular kompleks yang melibatkan struktur dari cavum oris, faring, laring, dan esophagus. Dibagi dalam 4 fase, yaitu : fase persiapan oral, fase oral, fase faringeal, dan fase esophagus. Fase pertama dan kedua di bawah kontrol volunter, fase ketiga dan keempat adalah involunter.



A. Fase Volunter Fase persiapan oral Meliputi gerakan mengunyah yang melibatkan kordinasi dari : 1. 2. 3. 4.



Penutupan bibir untuk menahan makanan dalam mulut bagian anterior Tekanan dari otot labial dan buccal untuk menutup sulkus anterior danlateral Gerakan memutar dari rahang untuk mengunyah Gerakan memutar ke lateral dari lidah untuk menempatkan posisi makanan di atas



gigi selama proses mastikasi 5. Palatum molle bulging ke belakang mendorong cavum oris ke belakang dan melindungi jalan nafas, serta persiapan untuk menelan. Pada akhir dari fase ini dan persiapan untuk fase oral, lidah mendorong makanan menjadi bolus dan menahan dengan gaya kohesif pada palatum durum. Fase Oral Fase oral masih merupakan proses menelan secara mekanik, dimana makanan dipindahkan dari belakang cavum oris ke anterior faucial arches untuk memulai proses menelan. Pada fase ini, lidah memegang peranan yang sangat penting, dimana dengan lidah dapat mengangkat dan menekan bolus ke belakang dan ke dapan palatum durum, sehingga makanan dapat memenuhi bagian anterior faucial arches. Tekanan otot-otot bucal juga berperan dalam mendorong bolus ke belakang namun tidak sekuat dorongan lidah. Setelah makanan berada di anterior faucial arches, terjadi presipitasi rfleks menelan melalui nn. glossofaringeus. faucial arches, terjadi presipitasi rfleks menelan melalui nn. glossofaringeus.3



B. Fase Involunter



18



Aspek refleks dalam menelan sangat penting karena jalan nafas harus terlindungi selama proses ini. Fase persiapan oral dan fase oral dapat dipersingkat dengan merubah konsistensi makanan menjadi cari, meletakkan makanan pada bagian belakang mulut, atau dengan mengubah posisi kepala ke belakang sehingga gaya gravitasi dapat membawa makanan ke faring. Namun fase faringeal atau fase reflek ini tidak dapat dipersingkat. Reflek menelan dirangsang di formatio retikularis pada otak yang berdekatan dengan pusat respirasi. Terdapat koordinasi dari kedua pusat ini dimana respirasi berhenti



untuk



memberikan



waktu



beberapa



detik



selama



proses



menelan berlangsung. Terdapat juga rangsang kortikal untuk merangsang gerakan menelan melalui bentuk gerakan lidah pada fase oral dari menelan. Aktifitas Neuromuskular Pada waktu reflek menelan terjadi, pusat menelan di pusat otak memprogram 4 aktifitas neuromuscular, yaitu :    



Penutupan velofaringeal untuk mencegah refluk dari makanan ke rongga hidung Peristaltik faringeal untuk menyiapkan bolus melalui faring Proteksi jalan nafas, dimana melibatkan elevasi dan penutupan laring Sphingter cricopharyngeal atau esophagus bagian atas membuka sehingga bolus







dapat masuk ke esophagus Proteksi jalan nafas Proteksi jalan nafas akibat adanya elevasi dan penutupan laring. Elevasi disebabkan oleh kontraksi dari strap muscle, dimana posisi laring ke atas dan ke belakang lidah pada saat basis lidah retraksi diakhir fase oral dari menelan. Laring akan ke atas dan berada diluar jalur yang dilalui makanan pada saat melalui basis lidah. Penutupan laring melibatkan tiga spingter yaitu epiglottis ariepiglotik fold, false



vocal fold, dan true vocal fold. Jalan nafas menutup hanya untuk memberikan waktu untuk makanan melalui jalan nafas dan kembali terbuka setelah makanan melaluinya.



Peristaltik Faringeal Peristaltik faringeal bertanggung jawab dalam membersihkan material makanan dari resesus faringeal, termasuk valekula dan sinus piriformis setelah proses menelan. 19



Krikofaringeal Otot krikofaringeal bekerja bekerja berlawanan dengan mekanisme otot konstriktor dari faring. Pada saat istirahat mm. konstriktor relaksasi dan mm. krikofaringeus atau sphingter esophagus menutup untuk mencegah masuknya udara ke dalam esophagus bersamaan dengan inhalasi ke paru-paru. Bila bolus telah melalui daerah krikofaringeus maka dimulai faseesophageal. Sepertiga bagian atas dari esophagus terdiri dari campuran otot volunter dan involunter, sedang dua pertiganya secara keseluruhan merupakan otot volunter. Sphingter esophageal bawah berfungsi sebagai katup bagi lambung. Katup inirelaksasi pada saat bolus masuk ke dalam lambung. Fungsi Faring (Tonsil) dalam Proses Pertahanan Tubuh A. Fisiologi Tonsil Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam fasefase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik. B. Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu kantong yang disebut fagosom. Proses 20



selanjutnya adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk kedalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan bakteri dengan proses digestif. C. Mekanisme Pertahanan Spesifik Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu histamin. Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan teknik immuno peroksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-A mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis. Jaringan Limfoid Hipofaring Tersebar di seluruh permukaan mukosa hipofaring sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan tidak ada jaringan limfoid spesifik pada daerah ini. Jaringan Limfoid Laring Memegang peranan yang sangat penting dalam klinik terutama hubungannya dengan proses keganasan.



21







Daerah glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki jaringan







limfoid Daerah supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada plica ventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior plica ariepiglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang bundle neurovascular laring. Jaringan limfoid supraglotik ini bertanggung jawab terhadap metastase karsinoma







bilateral dan kontralateral. Jaringan limfoid infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan paratrakeal. Seluruh jaringan limfoid daerah laring seluruhnya bermuara ke jaringan limfoid servikal superior dan inferior dalam.



2.4 Etiologi Tonsilitis Penyebab tonsilitis : A. Tonsilitis Akut - Tonsilitis viral - Tonsilitis bakterial dikenal



: virus Epstein Barr, virus Coxsackie : kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang



sebagai



strep



throat,



pneumokokus,



Streptokokus



viridan,



Streptokokus piogenes. B. Tonsilitis Kronis Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan



kuman



Grup



A



Streptococcus



beta



hemolitikus,



Pneumococcus,



Streptococcus viridans dan Streptococcus pyogenes. C. Tonsilitis Membranosa - Tonsilitis difteri : Bakteri Crynebacterium diphteriae - Tonsilitis septik : Streptokokus hemolitikus - Angina Plaut Vincent : Bakteri Spirochaeta atau Triponema - Penyakit kelainan darah



2.5 Epidemiologi tonsilitis



22



Di Amerika Serikat sekitar 30 juta penduduk menderita penyakit tonsilitis tiap tahunnya. Dan 1 dari 10 anak yang berkunjung ke dokter menderita tonsilitis setiap tahunnya. Serta angka absensi sekolah dapat mencapai hingga 66% diduga disebabkan ISPA. Di Indonesia infeksi saluran napas atas akut (ISPA) masih merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30%-40%, sedangkan sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78%-82%; sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 5 sampai 10 tahun dan anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun. Dalam suatu penelitian didapatkan penderita karier asimtomatik streptococcus grup A didapatkan: 10,9% untuk usia 14 tahun atau kurang, 2,3 % untuk usia 15 sampai 44 tahun, dan 0,6 % untuk umur 45 ke atas.



2.6 Patofisiologi Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang



23



tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.



2.7 Manifestasi klinis Gejala dan tanda yang sering ditemukan brmacam-macam, seperti ; Keluhan lokal



: nyeri tenggorokan, nyeri waktu menelan makanan padat, rasa nyeri pada telinga



Keluhan sistemik



: tidak nafsu makan, perubahan suhu tubuh yang tinggi (demam), rasa nyeri pada sendi-sendi



Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui N. glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.4 Klasifikasi tonsilitis A. Tonsilitis akut a. Tonsilitis viral Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxsackie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. b. Tonsilitis bakterial 24



Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus B hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus viridan dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak detritus ini menjadi satu membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. Masa inkubasi 204 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf n. glossofaringeus (N. IX). B. Tonsilitis membranosa a. Tonsilitis difteri Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif. Gambaran klinis dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin. - Gejala umum yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak -



nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, keluhan nyeri menelan. Gejala lokal berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama meluas membentuk membran semu. Membran semu ini mudah berdarah. Jika infeksi berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sehingga leher



-



menyerupai leher sapi (bullneck). Gejala akibat eksotoksin, menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.



b. Tonsilitis septik Penyebab tonsilitis septik adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. c. Angina Plaut Vincent Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau treponema yang didapat pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejalanya demam sampai 39˚C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang terdapat



25



gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. d. Mononukleosis infeksiosa Adalah infeksi yang disebabkan oleh virus mononukleosis infeksiosa yang penyebarannya terjadi melalui droplet. Dengan ditemukannya antibodi VEB melalui tes diagnostik Paul Bunnel merupakan bukti bahwa terdapat hubungan antara virus Epstein-Barr dengan mononukleosis infeksiosa. Pada pemeriksaan klinik didapat tonsilofaringitis membranosa dengan limfadenopati servikalis, bercak-bercak urtikaria pada rongga mulut, kadang-kadang ditemukan hepatomegali atau splenomegali dan setelah minggu pertama hitung jenis leukosit mencapai 10.00015.000/mm3 dengan 50% diantaranya adalah limfosit. Tonsilektomi dilakukan pada kasus berat dengan gejala lokal seperti obstruksi jalan nafas, disfagia dan demam yang menetap. C. Tonsilitis kronik Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi. Gambaran klinis pada tonsilitis kronis bervariasi, dan diagnosis pada umunya bergantung pada inspeksi. Pada umumnya terdapat dua gambaran yang termasuk dalam kategori tonsilitis kronis, yaitu:



1. Tonsilitis kronis hipertrofikans, yaitu ditandai pembesaran tonsil dengan hipertrofi dan pembentukan jaringan parut. Kripta mengalami stenosis, dapat disertai dengan eksudat, seringnya purulen keluar dari kripta tersebut. 2. Tonsilitis kronis atrofikans, Yaitu ditandai dengan tonsil yang kecil (atrofi), di sekelilingnya hiperemis dan pada kriptanya dapat keluar sejumlah kecil sekret purulen yang tipis.4



26



Gejala yang timbul pada tonsillitis kronis adalah rasa yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan dirasa kering, napas berbau, obstructive sleep apneu, sampai disfagia. Pada pemeriksaan tampak tonsil sudah tidak licin lagi, berbenjol-benjol, kripta melebar, beberapa kripta terisi oleh detritus, terkadang tonsil tampak gepeng dan lengket.



2.8 Penatalakasanaan Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang. 5,7 Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang menjanjikan.6 Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan : Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery:5,8 a) Indikasi absolut: i) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar. ii) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial iii) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media supuratif. iv) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi v) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan) b) Indikasi relatif : 27



i) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun meskipun dengan terapi yang adekuat ii) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak responsif terhadap terapi media iii) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten terhadap antibiotik betalaktamase iv) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma c) Kontra indikasi : i) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi ii) Usia di bawah 2 tahun iii) Infeksi saluran nafas atas yang berulang iv) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol. v) Celah pada palatum 2.9 Pencegahan Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.6 2.10 Prognosis Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.6 Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.6



28



2.11 Komplikasi Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa abses peritonsilitis, faringitis, retraksi uvula, otitis media, rhinitis kronik, sinusitis secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul uveitis, iridosiklitis, endokarditis, miositis, nefritis, arthritis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkolosis.5



BAB III Penutup



Tonsilitis adalah kondisi peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga faring yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, tonsil lingual. Penyebaran infeksi melalui udara, tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis diklasifikasikan menjadi 3 bentuk yaitu tonsilitis akut, tonsilitis membranosa, dan tonsilitis kronik. Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Tonsilitis membranosa terdiri dari tonsilitis difteri, Angina Plaut Vincent, dan infeksi mononukleosis. Sedangkan tonsilitis kronik adalah kelanjutan tonsilitis akut yang tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. Gejala klinis tonsilitis hampir sama untuk setiap klasifikasi yaitu nyeri tenggorokan, 29



nyeri waktu menelan dapat disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga. Diagnosis tonsilitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan hanya berupa kultur kuman dari membran semu tonsil untuk menentukan etiologi tonsilitis dan diberikan terapi yang sesuai. Tonsilektomi dipertimbangkan sesuai dengan indikasi absolut dan indikasi relatif yang ada.



Daftar Pustaka



1. Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT BOEIS Edisi keenam: Anatomi dan Fisiologi Faring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1997. 2. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna Restuti. 2007. Tonsilitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 78-85. 3. Ganong, William. 2008. Pendengaran dan Keseimbangan dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC; 179-185. 4. Soepardi EA, Rusmarjono. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher : faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. H : 223-1. 5. Rusmarjono, Soepardi EA.2001. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI (1) 30



6. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan



tahun



2007-2010.



USU



Institutonal



Repository.



[Accessed



from:



http://repository.usu.ac.id/] (2) 7. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009. (3) 8. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen Ed. EMedicine.com.inc.2002 : 1-10 (4)



31