Relasi Matematika Dan Pancasila [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RELASI PROGRAM STUDI MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN PANCASILA Lahirnya ketentuan dalam pasal 35 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan Pancasila, pendidikan kewarganegaraan,



dan



bahasa



Indonesia,



menunjukkan



bahwa



negara



berkehendak agar pendidikan Pancasila dilaksanakan dan wajib dimuat dalam kurikulum peguruan tinggi sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Dengan demikian, mata kuliah pendidikan Pancasila ini dapat lebih fokus dalam membina pemahaman dan penghayatan mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Artinya, pendidikan Pancasila diharapkan menjadi ruh dalam membentuk jati diri mahasiswa dalam mengembangkan jiwa profesionalitas mereka sesuai dengan bidang studi masing-masing. Selain itu, dengan mengacu kepada ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, sistem pendidikan tinggi di Indonesia harus berdasarkan Pancasila. Implikasinya, sistem pendidikan tinggi (baca: perguruan tinggi) di Indonesia harus terus mengembangkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai segi kebijakannya dan menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Mahasiswa diharapkan dapat menguasai kompetensi: bersyukur atas karunia kemerdekaan dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia; menunjukkan sikap positif terhadap pentingnya pendidikan Pancasila; menjelaskan tujuan dan fungsi pendidikan Pancasila sebagai komponen mata kuliah wajib umum pada program diploma dan sarjana; menalar dan menyusun argumentasi pentingnya pendidikan Pancasila sebagai komponen mata kuliah wajib umum dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mahasiswa diharapkan dapat menguasai kompetensi dasar; berkomitmen menjalankan ajaran agama dalam konteks Indonesia yang berdasar pada 1



Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; Sadar dan berkomitmen melaksanakan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan ketentuan hukum di bawahnya, sebagai wujud kecintaannya pada tanah air; mengembangkan karakter Pancasilais yang teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan proaktif; bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar pada prinsip musyawarah dan mufakat; berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berperan serta dalam pergaulan dunia dengan menjunjung tinggi penegakkan moral dan hukum; mengidentifikasi, mengkritisi, dan mengevaluasi peraturan perundangundangan dan kebijakan negara, baik yang bersifat idealis maupun praktispragmatis dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara. Mahasiswa sebagai peserta didik termasuk anggota masyarakat ilmiahakademik yang memerlukan sistem etika yang orisinal dan komprehensif agar dapat mewarnai setiap keputusan yang diambilnya dalam profesi ilmiah. Oleh karena itu, keputusan ilmiah yang diambil tanpa pertimbangan moralitas dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri sehingga menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value –free). Mahasiswa yang berkedudukan sebagai makhluk individu dan sosial, perlu menyadari bahwa setiap keputusan yang diambil tidak hanya terkait dengan diri sendiri, tetapi juga berimplikasi dalam kehidupan sosial dan juga lingkungannya. Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat diaktualisasikan ke dalam tindakan konkret yang melibatkan berbagai aspek kehidupan di sekitar Anda. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan



moralakademis.



Dengan



demikian,



mahasiswa



dapat



mengembangkan karakter yang Pancasilais melalui berbagai sikap yang positif, seperti: jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, dan lainnya. Mahasiswa sebagai insan akademis yang bermoral Pancasilais juga harus terlibat dan 2



berkontribusi langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai perwujudan sikap tanggung jawab warga negara. Tanggung jawab yang penting berupa sikap menjunjung tinggi moralitas dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penguasaan pengetahuan tentang pengertian etika, aliran etika, dan pemahaman Pancasila sebagai sistem etika sehingga mahasiswa memiliki keterampilan menganalisis persoalan-persoalan korupsi dan dekadensi moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini, mencapai kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang luar biasa. Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang melingkupinya artinya iptek selalu berkembang dalam suatu ruang budaya. Perkembangan iptek pada gilirannya bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan agama sehingga di satu pihak dibutuhkan semangat objektivitas, di pihak lain iptek



perlu



mempertimbangkan



nilai-nilai



budaya



dan



agama



dalam



pengembangannya agar tidak merugikan umat manusia. Relasi antara iptek dan nilai budaya serta agama akan dapat ditandai dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama; iptek yang gayut dengan nilai budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan atas sikap humanreligius. Kedua; iptek yang lepas sama sekali dari norma budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan iptek tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadi karena sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa iptek memiliki hukum-hukum sendiri yang lepas dan tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga; iptek yang menempatkan nilai agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini ada sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum tersendiri (faktor internal), tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya, ideologi, dan agama) untuk bertukar pikiran, meskipun tidak dalam arti saling bergantung secara ketat. Relasi yang paling ideal antara iptek dan nilai budaya serta agama tentu terletak pada fenomen pertama, meskipun hal tersebut 3



belum dapat berlangsung secara optimal, mengingat keragaman agama dan budaya di Indonesia itu sendiri. Keragaman tersebut, di satu pihak dapat menjadi kekayaan, tetapi di pihak lain dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan sikap inklusif dan toleran di masyarakat untuk mencegah timbulnya konflik di masyarakat. Untuk itu, komunikasi yang terbuka dan egaliter diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fenomena kedua yang menempatkan pengembangan iptek di luar nilai budaya dan agama, jelas bercorak positivistis. Kelompok ilmuwan dalam fenomena kedua ini menganggap intervensi faktor eksternal justru dapat mengganggu objektivitas ilmiah. Fenomena ketiga yang menempatkan nilai budaya dan agama sebagai mitra dialog merupakan sintesis yang lebih memadai dan realistis untuk diterapkan dalam pengembangan iptek di Indonesia. Karena iptek yang berkembang di ruang hampa nilai justru akan menjadi bumerang yang membahayakan aspek kemanusiaan. Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demikian pula halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya. Karena pengembangan ilmu yang terlepas dari nilai ideologi bangsa justru dapat mengakibatkan sekularisme, seperti yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa sama halnya dengan membiarkan ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas. Bertitik tolak dari asumsi tersebut, maka das sollen ideologi Pancasila berperan sebagai leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia. Para ilmuwan tetap berpeluang untuk mengembangkan profesionalitasnya tanpa mengabaikan nilai ideologis yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri. Berdasarkan bahasan bab ketujuh 4



ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi: bersikap inklusif, toleran dan gotong royong dalam keragaman agama dan budaya; bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar pada prinsip musyawarah dan mufakat; merumuskan Pancasila sebagai karakter keilmuan Indonesia; merumuskan konsep karakter keilmuan berdasar Pancasila; menciptakan model pemimpin, warga negara dan ilmuwan yang Pancasilais. Pendidikan karakter menjadi orientasi pembelajaran saat ini, dikarenakan tuntutan dan tantangan yang dihadapi anak didik di masa depan yang makin kompleks dan menggoda. Keprihatinan dan harapan masa depan itu mendorong pihak-pihak terkait mengembangkan strategi pendidikan yang sesuai, yaitu dengan pendidikan karakter. Tindakan menyimpang yang dilakukan mahasiswa membuat pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan di berbagai jenjang pendidikan.



Wajah



pendidikan



Indonesia



tercoreng



dengan



berbagai



pemberitaan miring. Sebut saja mulai aksi tawuran, bullying, penyalahgunaan narkotika dan alkohol, seks bebas di kalangan mahasiswa yang berujung pada aborsi, dan lain sebagainya. Namun, tidak sedikit pula mahasiswa Indonesia yang berhasil menorehkan prestasi di berbagai bidang dan diakui dunia. Fondasi karakter yang kuat, tentunya juga akan menjadikan mahasiswa mampu bersaing kelak di kancah internasional. Fakta yang ada menunjukkan, sudah saatnya pendidikan karakter kembali dimantapkan lewat pendidikan di tingkat perkuliahan.



5



Istilah “Pendidikan Karakter” sebenarnya bukanlah hal yang asing lagi di tengah-tengah kita. Menurut Wynne istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark‟ yaitu menandai atau mengukir. Mengukir tidak sama dengan menggambar, karena menggambar dapat terhapus sedangkan mengukir akan terus berbekas. Berdasarkan istilah ini dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sesuatu yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang di dalamnya terkandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan. Untuk membangun karakter hampir sama halnya dengan membuat ukiran yang akan menetap dan tertanam dalam diri setiap individu. Oleh karena itu, terminologi dari karakter setidaknya memuat dua hal yakni nilai dan kepribadian. Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa. Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila” Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 6



Nasional Tahun 2005-2025, 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 UU 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan



Nasional



disebutkan,



“Pendidikan



nasional



berfungsi



mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung



jawab”



Dengan



demikian



pembangunan



karakter



bangsa



merupakan bentuk tindak lanjut yang akan dicapai. Untuk menanamkan karakter tersebut dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan yang mengarahkan dan menanamkan karakter tersebut dinamakan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku mahasiswa yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan formal di lingkungan sekolah mulai jenjang prasekolah (TK), SD, SMP sampai SMA memiliki kurikulum yang memuat mahasiswaan dan materi yang akan diajarkan, salah satu mahasiswaan tersebut adalah matematika. Matematika dijadikan tolak ukur kelulusan siswa melalui diujikannya matematika dalam ujian nasional dan diajarkan di semua jenjang pendidikan dan jurusan. Sebagian besar pelajar menganggap matematika sebagai pembelajaran yang sukar dan menakutkan, sehingga terkadang menjadi musuh bagi siswa. Mahasiswa dengan program studi matematika harus mampu menjawab tantangan bahwa pendidikan nilai dapat diajarkan melalui mata kuliah matematika. Mata kuliah matematika harus lebih diberdayakan untuk mendukung pengembangan pribadi siswa. Mata kuliah matematika seharusnya tidak hanya diorientasikan pada penguasaan materi saja, tetapi perlu diubah 7



terbuka menyentuh dimensi luas sehingga berkontribusi lebih besar dalam pendidikan nilai di perguruan tinggi. Permasalahan belum diterimanya matematika secara suka rela atau senang hati oleh pelajar menjadi pekerjaan atau tugas khusus bagi mahasiswa dengan program studi matematika atau yang nantinya akan menjadi calon guru khususnya guru matematika. Hal ini dapat diminimalisir dengan memberikan wawasan dan arahan serta pendekatan yang tepat kepada siswa. Khususnya tentang penggunaan atau aplikasi matematika dalam bidang ilmu lain dalam kehidupan sehari-hari. Secara sengaja atau tidak sengaja maupun langsung atau tidak langsung, masyarakat atau siswa menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain melalui arahan dan pendekatan yang tepat, dapat juga dengan merevisi kurikulum yang disesuaikan kondisi dan keadaan. Dalam kaitannya dengan hakekat matematika maka titik pangkalnya adalah mencari pengertian menurut akar dan dasar terdalam dari kenyataan matematika. Pengertian matematika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang



digunakan



dalam



penyelesaian



masalah



bilangan.



Dalam



perkembangannya bilangan ini diaplikasikan ke bidang ilmu-ilmu lain sesuai penggunaannya. Berdasarkan pengertian tentang matematika tersebut maka matematika dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang memmahasiswai bilangan dan bangun serta konsep-konsep yang berkenaan dengan kebenarannya secara logika menggunakan simbol-simbol yang umum serta aplikasi dalam bidang lainnya. Sebagai ilmu pengetahuan, matematika memiliki beberapa karakteristik yakni (1) memiliki objek kajian abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol yang kosong arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, serta (6) konsisten dalam sistemnya. Berdasarkan karakteristik matematika itu sendiri sebenarnya melekat nilainilai yang dapat membangun karakter. Obyek matematika bersifat abstrak, maka 8



belajar matematika memerlukan daya nalar yang tinggi, sehingga matematika melatih



seseorang



merepresentasikan



untuk hal-hal



menggunakan



daya



yang



tersebut.



abstrak



pikirnya



secara



cerdas



Kesepakatan



dalam



matematika memberikan arah kesadaran tentang berbagai kesepakatankesepakatan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dengan kesepakatan tersebut seseorang dilatih bertanggung jawab dan menerima konskuensi-konskuensi yang terjadi. Pola pikir yang deduktif mendorong seseorang untuk mencari suatu keputusan-keputusan yang dapat diterima secara umum. Matematika memiliki simbol yang kosong arti memberi arah pada pemikiran yang terbuka, kreatif, inovatif, dan produktif. Bila simbol x tidak ada artinya. Bila kemudian kita menyatakan bahwa x adalah bilangan bulat, maka x menjadi bermakna, artinya x mewakili suatu bilangan bulat. Pada model matematika x + y = 40, x dan y tidak berarti, kecuali bila kemudian dinyatakan konteks dari model itu, misalnya x dan y mewakili panjang suatu sisi bangun datar tertentu atau x dan y mewakili banyaknya barang jenis I dan II yang dijual di suatu toko. Kekosongan arti dari simbol-simbol dan model-model matematika merupakan kekuatan matematika, karena dengan hal itu matematika dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Matematika memperhatikan semesta



pembicaraan juga mendorong munculnya nilai tentang sifat



kesemestaan seperti baik-buruk tatanan nilai kadang kala berlaku setempat dan bergantung tata nilai yang berlaku pada budaya seseorang. Selanjutnya, matematika konsisten dalam sistemnya melahirkan sikap konsisten dan taat aturan, serta bertanggungjawab. Matematika dalam hal ini yang berasas dikotomi ketaatasaan atau konsistensi yaitu tidak dibenarkannya muncul kontradiksi, merupakan hal yang sangat penting dan harus dipertahankan. Bila pernyataan “melalui suatu titik P diluar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a” diterima sebagai benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak



9



memotong garis b” harus ditetapkan sebagai salah. Inilah salah satu contoh tentang konsistensi dalam matematika. Seseorang yang telah terbiasa berpikir matematika, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan. Karakteristik dalam matematika secara tidak langsung mengajarkan cara berpikir dan bertindak yang cerdas, bertanggungjawab, terbuka, kreatif, inovatif, produktif, berpikir keumuman, dan konsisten. Pembelajaran matematika yang konvensional bersifat mekanistik dapat saja membangun karakter. Hal tersebut karena sifat alami dari matematika memberi pengaruh terhadap seseorang yang memmahasiswai atau bergelut dengan matematika. Tetapi, karakter yang muncul belum optimal dan kadang kala menjauhi sifat alamiah manusia, sehingga akan lebih bernilai dan optimal jika membangun karakter melalui keterpaduan dari sifat matematika, matematika sekolah, dan pembelajaran yang dipilih. Integrasi nilai-nilai tersebut perlu dituangkan dalam silabus maupun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Implementasi



pendidikan



karakter



dalam



pendidikan



matematika



merupakan implikasi dari kesadaran akan pentingnya refleksi kegiatan matematika melalui kajian matematika serta pendidikan matematika itu sendiri pada berbagai dimensinya. Dengan demikian implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika mengandung makna seberapa jauh kita mampu melakukan kegiatan dalam rentang niat, sikap, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman matematika, serta pendidikan matematika dan pembelajaran matematika. Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dapat dicapai atas dasar pemahaman tentang pengetahuan matematika yang bersifat objektif dan pelaku matematika yang bersifat subjektif di dalam usahanya untuk memperoleh hasil matematika melalui kreasi, formulasi, representasi, publikasi dan interaksi. Seperti yang dijelaskan bahwa pendidikan matematika dapat dipandang sebagai suatu keadaan atau nilai yang bersinergis dengan pendidikan karakter 10



bangsa, maka perpaduan atau sinergi antara pendidikan karakter bangsa dan pendidikan matematika merupakan keadaan unik sebagai suatu proses pembelajaran yang dinamis yang merentang dalam ruang dan waktunya pembelajaran matematika yang berkarakter konteks ekonomi, sosial, politik, dan budaya bangsa. Dengan demikian, pendidikan karakter dalam pendidikan matematika merupakan potensi sekaligus fakta yang harus menjadi bagian tidak terpisahkan bagi setiap insan pengembang pendidikan, baik pendidik, tenaga pendidik maupun pengambil kebijakan pendidikan nasional. Penerapan pendidikan karakter di perguruan tinggi jangan sampai hanya mengikuti trend, tidak dibarengi dengan konsep kurikulum yang jelas serta pemahaman guru yang komprehensif. Begitu pula pendidikan karakter jangan sampai dianggap sebagai mata mahasiswaan baru. Kesalahan ini tentu akibat dari ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap pendidikan karakter. Sejatinya, pendidikan karakter adalah sebuah program bukan mata mahasiswaan. Sebagai program, pendidikan karakter semestinya merasuki, mewarnai, dan menjiwai seluruh komponen dan istrumen pendidikan di perguruan tinggi. Maka sejatinya, semua guru adalah guru karakter. Semua kegiatan adalah kegiatan karakter. Prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan karakter dalam pendidikan matematika, pada dasarnya diperoleh pilar-pilar bangsa yang kokoh, meliputi berbagai proses yang secara hirarkhis merentang mulai dari kesadaran diri dan lingkungannya, perhatian, rasa senang dan rasa membutuhkan disertai dengan harapan ingin mengetahui, memiliki dan menerapkannya, merasa perlunya mempunyai sikap yang selaras dan harmoni dengan keadaan di sekitarnya, baik dalam keadaan pasif maupun aktif, serta mengembangkannya dalam bentuk tindakan dan perilaku berkarakter, merasa perlunya disertai usaha untuk mencari informasi dan pengetahuan tentang karakter dalam matematika yang dianggap baik, mengembangkan keterampilan menunjukan sifat, sikap dan perilaku berkarakter dalam pendidikan matematika, serta keinginan dan terwujudnya pengalaman



mengembangkan



hidupnya



dalam



bentuk



aktualisasi



diri 11



berkarakter dalam pendidikan matematika, baik secara sendiri, bersama ataupun dalam jejaring sistemik. Untuk memeroleh pilar-pilar dalam rangkaian membangun karakter bangsa melalui matematika dan mata kuliah matematika, maka diperlukan tekad dan usaha oleh semua segmen untuk menempatkan pendidikan matematika yang dikembalikan kepada hakekat mendidik sesuai dengan hakekat subjek didik dan hakekat keilmuan. Pendidikan matematika janganlah dipandang sebagai sesuatu yang diwajibkan tetapi sesuatu yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Secara makro maka pendidikan matematika janganlah



terlalu



memandang



bahwa



subjek



didik



sebagai



investasi



pembangunan tetapi hendaklah sebagai subjek yang memang memerlukan untuk pengembangan diri. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para mahasiswa dapat cermat dalam melakukan pekerjaan, kritis dan konsisten dalam bersikap, jujur, taat pada aturan, dan bersikap demokratis. Dengan demikian tentunya memerlihatkan bahwa pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran matematika.



12



Daftar Pustaka Bennet,W.J. 1991. Moral Literacy and the Formation of Character. Diedit oleh J.S. Bennigna. In: Moral Character, and Civic Education in the Elemenrty School. New York: Teachers Collage Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Purwadarminta, WJS. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Soedjadi, R. 2000. Kiat-Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Muharti, Rina. 2010. Karakteristik Matematika. Diakses 10 Januari 2014 melalui http://muhartirina.blogspot.com/2010/11/karakteristik-matematika.html Sujadi, Imam. 2011. Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa. Diakses 10 Januari 2014 melalui http://imamsjd.blogspot.com/2011/08/pengembanganpendidikan-karakter-bangsa.html



13