Rencana Proposal Tesis Bumil 22012020 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RENCANA PROPOSAL TESIS



PENGARUH PEMBERIAN BISKUIT BIJI LABU KUNING (Cucurbita Moschata) TERHADAP KADAR SENG SERUM DAN BERAT BADAN PADA IBU HAMIL KURANG ENERGI KRONIK (KEK) DI KECAMATAN TAMALANREA KOTA MAKASSAR 2019



OLEH : Marini Mansyur K012181023



PEMINATAN GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2019 1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa kehamilan merupakan fase kritis yang menentukan proses pertumbuhan dan perkembangan anak di usia selanjutnya. Outcome kehamilan yang baik sangat diharapkan sehingga akan terbentuk sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Kehamilan merupakan suatu investasi yang perlu dipersiapkan, dalam proses ini gizi memiliki peran penting untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin. Studi membuktikan bahwa ibu dengan status gizi kurang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, melahirkan bayi dengan berat badan lahir yang rendah, dan selanjutnya dapat berdampak pada malnutrisi antargenerasi. (Fikawati, Syafiq and Karima, 2018) . Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil adalah salah satu masalah gizi nasional yang selalu mendapat prioritas atau perhatian karena ibu hamil yang menderita gizi kurang, terutama Kurang Energi Kronik (KEK) berisiko melahirkan bayi dengan berat badan rendah dan dampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak, perkembangan intelektual, serta produktivitas di kemudian hari (Darawati, 2017). Ibu yang mengalami Kurang Energi Kronik selama masa kehamilan umumnya memiliki kenaikan berat badan hamil yang rendah (tidak memadai untuk mendukung kehamilannya), akibatnya berat badan yang dilahirkannya rendah atau biasa disebut Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang ditandai dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram (Fikawati, Syafiq and Karima, 2018).



2



Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Hamil sebesar 17,3%, dimana menunjukkan terjadi penurunan dari 24,2% (tahun 2013). Menurut data provinsi di Sulawesi Selatan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Hamil yaitu sebesar 16,19% (Riskesdas, 2018). Berdasarkan Survei Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017, persentase ibu hamil risiko KEK sebesar 14,8% dan pada tahun 2016 sebesar 16,2%. Persentase Ibu hamil risiko KEK sulawesi selatan tahun 2017 sebesar 19,5% dan pada tahun 2016 sebesar 14,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Penelitian Kurnia tahun (2015) di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan diperoleh hasil prevalensi KEK pada ibu hamil dan menyusui masing-masing sebesar 17,1 % dan 11 % dan prevalensi KEK pada ibu hamil dan menyusui lebih sering ditemukan pada mereka dengan paritas 30 tahun 11 8 Hamil (+an) Trimester 1 +2 Trimester 2 +4 Trimester 3 +4 Menyusui (+an) 6 bulan pertama +5 6 bulan kedua +5 Sumber: (Permenkes RI, 2019) Kebutuhan tubuh akan seng bevariasi, tergantung usia, jenis kelamin, bioavailabilitas seng dari makanan dan keadaan fisiologi tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Untuk anak-anak usia 4 bulan – 10 tahun, tidak dibedakan menurut jenis kelamin, tetapi karena adanya perbedaan diit dalam bioavaibilitas seng, maka dibagi menjadi tiga kategori yaitu availabilitas tinggi, sedang dan rendah. Pembagian ini berdasarkan rasio molar fitat/seng. Untuk penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan, sangat mungkin masukdalam kategori diet yang bioavailabilitas sengnya rendah, karena lebih dari 50% masukan energi makanan banyak mengandung fitat, 90% dari beras dan asupan protein hewani yang rendah. Untuk anak usia 6-10 tahun denngan diet makanan rendah seng, maka diperkirakan kebutuhannya adalah 15 mg/hari (Yuniastuti 2014). 27



8. Akibat kekurangan seng Kekurangan seng pertama dilaporkan pada tahun 1960-an. yaitu pada anak dan remaja laki-laki di Mesir, Iran, dan Turki dengan karakteristik tubuh pendek, dan keterlambatan pematangan seksual. Diduga penyebabnya makanan penduduk sedikit mengandung daging, ayam dan ikan yang merupakan sumber utama seng. Makanan terutama terdiri atas serealia tumbuk dan kacang-kacangan yang tinggi akan serat dan fitat yang menghambat absorpsi seng. Makanan tinggi serat (lebih dari 35 gram sehari) menghambat absorpsi seng. Serealia terutama dimakan sebagai roti yang pembuatannya tidak diragikan. Pada proses fermentasi oleh ragi, fitat dipecah sehingga tidak menghambat absorpsi seng (Yuniastuti, 2014). Tanda-tanda dan gejala defisiensi zink adalah pertumbuhan terganggu (gejala awal kekurangan zink pada anak yang disebabkan oleh pembelahan sel tidak memadai yang diperlukan untuk pertumbuhan), kelainan kerangka dari gangguan pertumbuhan tulang punggung, tulang rawan, sintesis kolagen yang rusak, lamanya penyembuhan luka, dermatitis, tertundanya pematangan seksual pada anak-anak, hipogeusia (blunting), alopesia (rambut rontok), gangguan fungsi kekebalan tubuh dan gangguan sintesis protein (Hardinsyah dan Supariasa, 2016). Defisiensi Zn2+ kemungkinan akan menghasilkan konsekuensi kesehatan utama seperti itu sebagai cacat parah dalam pertumbuhan, perkembangan dan fungsi sistem reproduksi, kekebalan dan neurosensori 28



dan perilaku (Jurowski et al., 2014). Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Gejala yang terlihat akibat defisiensi seng berupa penurunan nafsu makan, diare, pertumbuhan terlambat, penurunan daya tahan, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Salgueiro et al., 2000). Tanda-tanda kekurangan seng adalah gangguan pertumbuhan dan kematangan seksual. Fungsi pencernaan terganggu, karena gangguan fungsi pankreas, gangguan pembentukan kilomikron dan kerusakan permukaan saluran cerna. Di samping itu dapat terjadi diare dan gangguan fungsi kekebalan. Kekurangan seng kronis mengganggu pusat sistem saraf dan fungsi otak. Karena kekurangan seng mengganggu merabolisme vitamin A, sering terlihat gejala yang terdapat pada kekurangan vitamin A. Kekurangan seng juga mengganggu fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan ketajaman indra rasa serta memperlạmbat penyembuhan luka (Almatsier, 2009) 9. Akibat kelebihan seng Konsumsi zink yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan. Keracunan akut dengan konsumsi 1-2 g zink sulfat (225-450 mg zink) dapat menyebabkan mual, muntah, sakit epigastrik, sakit perut dan diare berdarah. 40 mg (< 40 mg pada beberapa orang) dapat mengakibatkan kekurangan tembaga. Asupan zink untuk kadar tertinggi yang ditoleransi



29



adalah 40 mg per hari berdasarkan interaksinya dengan tembaga (Hardinsyah dan Supariasa, 2016). Konsumsi seng berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tubuh, meskipun keracunan seng jarang terjadi. Asupan seng yang sangat tinggi dapat menimbulkan gejala keracunan seng, seperti mual, muntah, nyeri epigastrium, diare, kram abdomen dan alergi. Asupan seng kronis dengan dosis 100-300 mg/hari yang tidak diikuti dengan asupan tembaga yang adekuat dapat menimbulkan gejala defisiensi tembaga, karena seng dapat berinteraksi dengan tembaga. Ketidakseimbangan seng dengan tembaga sring terjadi pada orang yang mengkonsumsi suplemen seng (Bernadier, 1998)



10. Penilaian status seng Status seng pada tubuh dapat ditentukan dengan pengukuran konsentrasi serum/plasma seng, konsentrasi seng pada eritrosit, leukosit dan netrofiul, konsentrasi seng pada rambut. Seng serum adalah indeks yang secara luas sering dipakai untuk menentukan status seng. Pada manusia yang defisiensi seng berat, konsentrasi seng serum selalu rendah. Konsentrasi akan kembali normal setelah suplementasi seng. Konsentrasi seng serum juga dipengaruhi oleh factor-faktor bukan gizi, antara lain infeksi akut atau inflamasi, stress dan infark miokard serta penyakit kronik yang berhubungan dengan hipoalbuminamia. Batas yang



30



dipakai untuk menyatakan seseorang defisiensi seng adalah apabila seng serumnya di bawah 70 μg/dL (Yuniastuti 2014). Serum atau seng plasma merupakan biomarker terbaik yang tersedia untuk menilai risiko defisiensi seng pada populasi. Serum atau seng plasma mencerminkan asupan diet seng, merespons secara konsisten terhadap suplementasi seng, dan tersedia referensi data untuk sebagian besar kelompok umur dan jenis kelamin (De Benoist et al., 2007). Dikatakan defisiensi apabila kadar serum seng