Responsi TB [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia, Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil berkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Menurut WHO (1999), di Indonenia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti. Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali



1



penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua bagian penjuru dunia. Dibeberapa negara telah terjadi penurunan angka kesakitan dan kematiannya, Angka kematian berkisar dari kurang 5 - 100 kematian per 100.000 penduduk pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat menurut umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1974 dilaporkan angka insidensi sebesar 14,2 per 100.000 penduduk. Di Sumatera Utara saat ini diperkiraka ada sekitar 1279 penderita dengan BTA positif. Dari hasil evaluasi kegiatan Program Pemberantasan Tuberkulosa paru, kota Medan tahun 1999/2000 ditemukan 359 orang penderita dengan insiden penderita



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi TBC Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1 2.2 Etiologi Penyebab dari tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculose, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikrometer dan tebal sekitar 0,3-0,6 mikrometer. Yang tergolong dalam kuman M. tuberculosis complex adalah: 1. M tuberculosae. 2. Varian Asian. 3. Varian African I. 4. Varian African II. 5. M. bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.2 2.3 Epidemiologi Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 19831993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi.4 Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama dengan National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses penyelesaian. Survei ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak dari 20.000 rumah tangga di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru yang dapat digunakan untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi, sehingga diperoleh perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC.4



3



Dari data tahun 1997-2004 terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun.4 Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.2 2.4 Faktor Risiko TBC Faktor risiko menderita TBC dibagi menjadi : 5 1. Faktor Risiko Infeksi TBC Faktor risiko infeksi TBC terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Selain itu, tempat tinggal di daerah endemis, daerah dengan prevalensi TBC yang tinggi, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (tempat penampungan atau panti perawatan yang penuh sesak, sirkulasi udara yang tidak baik) juga merupakan faktor risiko infeksi TBC.5-6 2. Faktor Risiko Penyakit TBC Anak usia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna. Namun risiko ini berkurang seiring pertambahan usia. Bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC 43%-nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan anak usia 1-5 4



tahun yang menjadi sakit hanya 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%. Faktor risiko lain adalah pada penderita TBC yang tidak mendapat pengobatan adekuat, keadaan imunokompromais misalnya malnutrisi, HIV, keganasan, pengobatan imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronis.6-7 2.5 Patogenesis TBC Penyakit TBC dapat berkembang pada seseorang melalui dua cara. Yang pertama dapat terjadi pada seseorang yang telah beberapa tahun terinfeksi TBC dan telah sembuh sempurna. Ketika kesehatannya menurun karena penyakit lain seperti AIDS atau diabetes, atau karena penyalahgunaan alkohol maupun kurangnya kepedulian terhadap kesehatan karena menjadi tuna wisma, infeksi TBC dapat menjadi penyakit TBC. Pada cara ini, seseorang dapat menjadi sakit beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah mereka menghirup kuman TBC.6 Cara yang lain terjadi jauh lebih cepat. Terkadang ketika seseorang pertama kali menghirup kuman TBC, tubuhnya tidak mampu melindungi diri terhadap penyakit ini. Kuman tersebut kemudian berkembang menjadi penyakit TBC aktif dalam beberapa minggu.5 Seseorang dengan TBC aktif akan menjadi sangat infeksius dan dapat menyebarkan TBC ke orang lain. 7 Infeksi M. tuberculosis ↓ Kuman mati ←Fagositosis oleh makrofag alveolus paru ↓ Kuman hidup dan berkembang biak



Masa inkubasi 2-12 minggu



Pembentukan fokus primer Penyebaran limfogen Penyebaran hematogen ↓ Kompleks primer Uji tuberkulin (+)



← Terbentuk imunitas spesifik seluler



5



Sakit TBC



Infeksi TBC



Komplikasi kompleks primer



Imunitas optimal



Komplikasi penyebaran hematogen Komplikasi penyebaran limfogen ↓ Meninggal



↓ Sembuh







Sakit TBC Reaktivasi/infeksi



Gambar 1. Patogenesis TBC1 Kuman TBC dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TBC di mana sebagian besar kuman TBC akan hancur. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TBC membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.5 Dari fokus primer, kuman TBC menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak kuman TBC masuk sampai terbentuk kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TBC. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung antara 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.5 Pada minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TBC sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya



6



kompleks primer ini, infeksi TBC primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TBC telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, ketika sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TBC terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TBC dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TBC baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TBC dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui brokus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TBC endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.5 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan



7



pada penyebaran hematogen, kuman TBC masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TBC disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TBC menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TBC kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai tempat tersebut, kuman TBC akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.5 Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini pada umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial ini disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TBC di organ terkait, misalnya meningitis, TBC tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogen generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TBC masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi klinis penyakit TBC secara akut, yang disebut TBC diseminata. TBC diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TBC yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TBC, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet



8



seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan granuloma. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu proses perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TBC akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TBC akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.



2.6



Klasifikasi Tuberkulosis Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para kinikus, ahli



radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakattentang keseragaman klasifikasi tuberculosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:7 a. Pembagian secara patologis -



Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)



-



Tuberculosis post primer (adult tuberculosis)



b. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (Koch pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh) c. Pembagian secara radiologis (luas lesi) -



Tuberculosis minimal; terdapat sebgaian kecil infiltrate non kavitas



-



Moderately advance tuberculosis; ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4cm. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.



-



Far advance tuberculosis; terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan paa moderately advance tuberculosis



Pada tahun 1974 american thoracic society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat. a. Kategori 0: tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes tuberculin negative.



9



b. Kategori I: terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infekksi. Disini riwayat kontak positif, tes tuberculin negative. c. Kategori II: terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan sputum negative. d. Kategori III: terinfeksi tuberculosis dan sakit. Di Indonesia klasifikasi yang paling sering dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis: 7 a. Tuberculosis paru b. Bekas tuberculosis paru c. Tuberculosis paru tersangka yang terbagi dalam 1. Tuberculosis paru tersangka yang diobati, disini sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lainnya positif 2. Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA negatif, tetapi gejala yang lain juga meragukan. Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus diperhatikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: a. Status bakteriologi b. Mikroskopik sputum BTA c. Biakan sputum BTA d. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis paru e. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis Pada tahun 1991, WHO berdasarkan terapi membagi TB kedalam 4 kategori: a. Kategori I: -



Kasus baru dengan sputum positif



-



Kasus baru dengan bentuk TB berat



b. Kategori II: -



Kasus kambuh



-



Kasus gagal dengan sputum BTA positif



c. Kategori III: -



Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas



-



Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I



d. Kategori IV:



10



-



TB kronik



Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 1. Tuberkulosis paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi : a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan



(dipertimbangkan)



oleh



dokter



untuk



diberi



pengobatan Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan 6 1) Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah minum OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur) 3) Pengobatan setelah putus berobat adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.



11



5) Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Seperti kasus kronis, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulangan.



2.7 Gejala Klinis Pasien dengan tuberculosis datang dengan berbagai macam keluhan, atau sering juga tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang paling sering diantaranya adalah: a.



Demam Demam biasanya subfebril (sumer-sumer) menyerupai demam influenza.



Tetapi kadan-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya, sehingga pasien merasa tidak pernah lepas dari demam ini. b. Batuk/batuk darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi dari bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru-paru, yaitu bermingguinggu bahkan berbulan-bulan. Sifat batuk dimulai dai batuk tidak berdahak, kemudian setelah timbul peradangan terjadi batuk berdahak. Keaaan lanjut adlah batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebnyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. c.



Sesak nafas Sesak nafas timbul jika inflitrasi sudah mengenai setengah bagian paru-paru ,



yaitu pada stadium penyakit yang sudah lanjut.



12



d. Nyeri dada Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadinya gesekan sewaktu pasien menarik dan menghembuskan nafas, sehingga terasa sangat nyeri. e.



Malaise Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahu. Gejala malaise sering



ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.



2.8 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan, konjungtiva mata pucat karena anemia, suhu demam subfebris, badan kurus atau berat badan menurun. Selanjutnya, pada pemeriksaan fisik pasiensering tidak menunjukkan suatu kelainan pun, terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian juga bila fokus penyakit yang terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantran getaran suara yang lebih dari 4 cm kedalam paru sulit dinilai dengan palpasi, perkusi, auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, tb paru sulit dubedakan dengan pneumonia biasa. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apek (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas maka, didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi akan menjadi hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atropi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit akan menciut dan menarik bagian paru yang lainnya dan mediastinum. Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terjadi efusi pleura. Paru yang sakit terlihat



13



agak tertinggal dalam pernafasan.perkusi ditemukan suara yang sangat pekak, dan auskultasi memberikan suara nafas yang lemah bahkan sampai tidak terdengar.



2.9 Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan dada merupakan hal yang sangat praktis dan murah untk menemukan lesi pada tuberculosis. Lkasi lesi umumnya ditemukan pada apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau didaerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan, dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diikuti jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas, lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Ditemukan juga gambaran kavitas bila penyakitnya sudah lanjut. Pada TB milier ditemukan gambaran bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada lapang paru. Pada satu foto sering ditemukan gambaran yang bermacam-macam, biasanya pada penyakit yang sudah lanjut. Gabarannya dapat berupa, infiltrate, garis-garis fibrosis, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik dan sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.



2.10 Pemeriksaan Laboratorium 2.10.1 Darah Lengkap Pada saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang meningkat. Jumlah limfosit dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit meninggi. Hasil pemeriksaan darah yang lain juga didapatkan, anemia ringan dengan gambaran normokromik normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun. 5 2.10.2 Sputum Pemeriksaan sputum sangat penting karena dapat menemukan kuman TB, dan diagnosis TBC sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum



14



juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Dilakukan pemeriksaan dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). 



S (Sewaktu): dahak dikumpulkan saat suspek TB dating berkunjung pertama kali. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.







P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas kesehatan.







S (Sewaktu): Dahak dikumpulkan di unit pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.



Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain ditemukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum. 5 2.11 Diagnosis5 Diagnosis pasti penyakit tuberculosis adalah dengan menemukan kuman mycobacterium tuberculosis dala sputum atau jaringan paru secara biakaan. Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan anamnesis dan radiologis. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberculosis paru. a. Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien yang dengan pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan, atau 2. Satu sputum dengan hasil positif disertai dengan gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif. 3. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b. Pasien dengan sputum BTA negative 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya tidak ditemukan BTA sedikitnya pada dua kali pemeriksaan tetapi pada gambaran radiologis mendukung TB 2. Pada pemeriksaan sputum negative, tetapi biakannya positif.



15



Selain TB paru erdapat juga TB ekstra paru, yaitu pasien dengan kelaianan histologist atau dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil mycobacterium tuberculosae. 2.12 Strategi DOTS6 Sejak tahun 1995 , program pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan tingkat kesembuhan yang tinggi (DepKes RI, 2002). Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO, terdiri atas 5 komponen yaitu : 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosis tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 3. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). 4. Kesinambungan ketersediaan obat jangka pendek dengan mutu terjamin. 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan tuberculosis. Pengobatan dengan pengawasan oleh pengawas minum obat (PMO). PMO mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses kesembuhan penderita. Kita bisa membayangkan bahwa minum obat saja dengan penyakit biasa kadangkadang kita lupa minum obat dengan tepat waktu atau lupa sama sekali dan itu pun tidak mempunyai efek besar kalau berhenti minum obat. Namun, berbeda halnya dengan penderita TBC di mana mereka harus menjalani masa pengobatan sekitar enam bulan. Obat harus diminum sesuai aturannya, baik jumlahnya, jenisnya maupun waktunya. Dengan kompleksnya masalah ini sehingga tidak sedikit penderita TB yang drop out, gagal berobat karena mereka bosan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang PMO yaitu : 1. Seseorang yang dikenal, disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus dihormati oleh penderita. 2. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita



16



3. Bersedia membantu penderita dengan sukarela 4. Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita Menurut Buku Pedoman TB Nasional (2002) ada beberapa tugas seorang PMO yaitu : 1. Mengawasi penderita TBC secara langsung agar menelan obat anti tuberkulosis secara teratur sesuai dengan dosis dan waktu yang sudah ditentukan. 2. Memberi dorongan kepada penderita TBC agar mau menelan obat anti tuberkulosis secara teratur. 3. Memberikan informasi mengenai penyakit TBC kepada penderita TBC



2.13 Panduan Obat Anti Tuberkulosis6 Pengobatan penderita tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, mencegah resistensi dan memutuskan rantai penularan Obat diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan jenis yang tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO), untuk menjamin kepatuhan penderita menelan ohat (DepKes RI., 2002). 2.13.1 Jenis dan Dosis Obat6 1. Isoniazid (H), dikenal dengan INH, bersifat bakterisidal, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kgBB 2. Rifampisin (R), bersifat bakterisidal, dapat membunuh kuman yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB. 3. Pirasinamid (Z), bersifat bakterisidal dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam, dosis harian yang dianjurkan adalah 25 mg/kgBB. 4. Streptomisin (S)



17



Bersifat bakterisidal, dosis yang dianjurkan 15 mg/kgBB 5. Etambutol (E), bersifat sebagai bakteristatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB. Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai obat tunggal, sebaiknya pada saat perut kososng. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis,dosis dan jangka waktu pengobatan ), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat, untuk menjamin kepatuhan perlu dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). Tahap pengobatan intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk menjaga kepatuhan dan mencegah timbulnya resistensi, bila pengobatan tersebut diberikan secara tepat , biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun jangka waktu yang lebih lama. Program nasional penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan panduan OAT : Kategori I : 2HRZE/4H3R3 Kategori II : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Kategori III : 2HRZ/4H3R3



18



Tabel II.1 Panduan Pemberian OAT pada penderita TBC di Indonesia KATEGORI



I



PADUAN OBAT



UNTUK PENDERITA



INTENSIF



LANJUT



2 HRZE



4 H3R3



2 HRZS



4 HR



TUBERKULOSIS -



TBC Paru Baru BTA (+) -



6 HE



TBC Paru BTA(-), Rontgen (+) sakit berat



-



TBC Ekstra paru sakit berat



II



2 HRZES



5 H3R3E3



1 HRZE



5 HRE



-



TBC Paru BTA(+), kambuh



-



TBC Paru BTA (+), gagal



-



TBC Paru BTA (+), penobatan ulang karena lalai



III



2 HRZ



4 H3R3



-



4 HR 6 HE



TBC Paru BTA (-) Rontgen (+) sakit ringan



-



TBC Ekstra paru ringan.



2.14 Pemantauan Dan Hasil Pengobatan Tb Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



19



Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak



Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007



20



Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur



Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007



2.15



Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya



Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala. Efek Samping Ringan OAT



Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007



21



Efek Samping Berat OAT



Dikutip dari Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI 2007



Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: •



Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.







Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.







Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut



22



dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. •



Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.



Bagan Monitoring Hepatotoksisitas pada pengobatan OAT



23



BAB III LAPORAN KASUS 3.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Dwi Margianti



Umur



: 26 tahun



Jenis kelamin



: Perempuan



Pekerjaan



: Pegawai Laundry



Suku



: Jawa



Agama



: Islam



Status



: Menikah



Pendidikan



: Tamat SLTA



Alamat



: Br. Bayuh Sari, Bukit Unggasan



MRS



: 24 April 2011



Tanggal pemeriksaan : 29 April 2011



3.2 ANAMNESIS Riwayat penyakit sekarang Keluhan utama: Batuk darah Penderita mengeluh batuk darah sejak 12 jam sebelum MRS. Batuk darah sebanyak 2 kali. Yang pertama 12 jam sebelum MRS dengan volume kira-kira 2 sendok makan dan yang kedua yaitu 2 jam sebelum MRS dengan volume kira-kira setengah gelas air mineral. Darah yang dikeluarkan berwarna merah segar dan tanpa dahak. Sebelumnya penderita mengalami batuk biasa sejak 1 minggu sebelum MRS, sering setiap hari dengan dahak kental berwarna keputihan. Batuk biasanya muncul dan memberat jika aktivitas kerja pasien mulai banyak. Dan dengan keluhan batuknya ini kadang membuat aktivitas pasien menjadi menurun. Saat pemeriksaan batuk darah sudah tidak dikeluhkan lagi, pasien hanya mengeluh batuk biasa seperti sebelumnya. Awalnya 2-3 hari sebelum keluhan batuk muncul, penderita mengalami panas badan. Panas dikatakan hanya sumer-sumer dan hilang timbul. Panas turun



24



setelah diberikan obat penurun panas (parasetamol). Setiap episode panas, panas hanya berlangsung sekitar 2-3 hari. Penderita juga mengeluh mengalami penurunan berat badan. Penurunan berat badan dikatakan perlahan-lahan, mencapai hingga lebih dari 5 kg dalam 6 bulan terakhir. Keluhan ini bersamaan dengan nafsu makan yang menurun dan badan terasa lemas. Keluhan pilek, hidung tersumbat, sering berkeringat pada malam hari, sesak napas, dan nyeri dada disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya penderita sudah mengalami batuk sejak 6 bulan terakhir. Batuk awalnya kering, lama kelamaan disertai dahak. Dahak yang keluar dikatakan dengan konsistensi kental berwarna keputihan. Penderita hanya memeriksakan dirinya ke puskesmas atau klinik terdekat, dan diberi obat batuk. Keluhannya membaik tetapi tidak lama setelah itu batuknya muncul lagi. Riwayat penyakit sistemik lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma,alergi dan penyakit jantung disangkal.



Riwayat Penyakit dalam Keluarga Penderita mengatakan bahwa dalam keluarganya tidak ada yang mederita keluhan batuk darah seperti penderita. Dan tidak ada yang mempunyai riwayat batuk lama maupun riwayat penyakit TBC. Tidak ditemukan riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing manis, dan alergi pada anggota keluarga lainnya. Riwayat Pribadi dan Sosial Pasien adalah seorang pegawai laundry. Pasien tidak merokok dan tidak pernah mengkonsumsi minuman keras atau jamu.



3.3 PEMERIKSAAN FISIK (29 APRIL 2011) Tanda vital: Kondisi umum



: sedang



Kesadaran



: compos mentis



GCS



: E4 V5 M6



25



Tekanan darah



: 120/80 mmHg



Nadi



: 88x/menit regular



Respiratory rate



: 20 x/menit



Temperatur axila



: 37,70C



Berat badan



: 45 kg



Tinggi badan



: 150 cm



IMT



: 20,0 kg/m2



Pemeriksaan Umum: Mata



: konjunctiva pucat -/-; sklera kuning -/-; reflek pupil +/+ isokor; edema palpebra -/-



THT



: faring hiperemi (-), mukosa hidung hiperemi (-), sekret (-)



Leher



: JVP + 0 cmH20, pembesaran kelenjar (-)



Thorax



: Simetris



Cor Inspeksi



: tidak tampak pulsasi iktus kordis



Palpasi



: iktus kordis teraba di ICS V, 1 jari MCL kiri



Perkusi



: batas atas jantung ICS II batas bawah jantung kanan ICS V PSL kanan batas kiri jantung sulit dievaluasi



Auskultasi



: S1,S2 tunggal regular, murmur tidak ada



Inspeksi



: simetris (aktif dan pasif), retraksi suprasternal dan



Pulmo



supraclavicular (-) Palpasi



: vokal fremitus N/meningkat



Perkusi



: sonor/redup



Auskultasi



: vesikuler +/+; ronki -/+; wheezing -/-



Abdomen



: distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan ulu hati (-), asites (-), hepar/lien tidak teraba



Ekstremitas



: hangat + + edema - ++



- -



26



3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium 24 APRIL 2011 Darah Lengkap Pemeriksaan



Hasil



Normal



WBC



11.9



4.10-11.00



RBC



3.99



4-5.20



HGB



11.4



12.0-16.0



MCH



28.8



26.0 – 34.0



MCHC



34.2



31.0-36.0



MCV



83.6



80.0 – 100



HCT



33.3



36.0-46.0



PLT



332



140-440



8.6 (72.6%)



2.5 – 7.5 (47.0% –



Neutrofil



80.0%) Lymfosit



1.6(13.6%)



1.0 – 4.0 (13.0 – 40.0%)



Monosit



1.5 (13.0%)



0.1-1.2 (2.011.0%)



Eosinofil



0.1 (0.6%)



0.0-0.5(0.0-5.0%)



Kimia darah Pemeriksaan



Hasil



Nilai Normal



SGOT



13.00



11,00 - 33,00



SGPT



6.00



11,00 – 50,00



Albumin



2.50



3,40 - 4,80



Analisis Gas Darah Pemeriksaan



Hasil



Normal



27



pH



7.47



7.35-7.45



p CO2



37.00



35-45



p O2



68.00



80-100



Hct



36.00



37-49



HCO3-



26.90



22-26



Tco2



28.00



24-30



BE (B)



3.20



-2-2



SO2c



94.0



95%-100%



Thorax foto



Radiologi Rontgen Thorax AP: CTR sulit dievaluasi Infiltrat (+) di lapangan paru kiri, cavitas (+) Sudut phrenicocostal kanan dan kiri tajam Diafragma : normal Tulang-tulang: tampak scoliosis thorakalis dengan konveksi ke kanan Kesan: TB Paru Scoliosis thorakalis Pengecatan BTA Tgl



Bahan



Hasil



28



4



25/4/2011



Sputum I



+1



26/4/2011



Sputum II



+2



26/4/2011



Sputum III



+2



DIAGNOSIS KERJA -



5



TB paru BTA (+) kasus baru



PENATALAKSANAAN -



IVFD NS 20 tts/menit



-



OAT kategori 1



-



Bromhexim syr 3 x CI



-



Paracetamol tab 3x 500 mg



Dosis obat Antituberkulosis kombinasi dosis tetap Fase Intensif



Fase Lanjutan



2 bulan BB (kg)



Harian



4 bulan Harian



(RHZE)



(RHZ)



3x/minggu (RHZ)



150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 38-54 -



3



3



3



Harian



3x/minggu



(RH)



(RH)



150/75



150/150



3



3



Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE atau 2 RHZE/ 4R3H3



3.6 MONITORING - Vital sign - Keluhan



3.7 PROGNOSIS Dubius ad bonam.



29