Resume Filsafat Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Aliran / Mazhab Filsafat Hukum Mazhab-mazhab hukum sering juga disebut aliran-aliran hukum. Harus diakui bahwa hukum adalah sesuatu yang sangat kompleks karena ada begitu banyak mazhab atau aliran yang berbeda-beda. Setiap aliran menjabarkan pemikiran-pemikiran para ahli hukum sesuai dengan zamannya masing-masing. Suatu pemikiran bisa jadi sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, namun pemikiran yang lama tersebut tetap menjadi buah karya yang berharga untuk dikaji ulang terus menerus dan boleh jadi suatu saat nanti pemikiran tersebut akan kembali hadir dalam suatu bentuk yang baru. Mazhab-mazhab atau aliran-aliran hukum meliputi: Aliran Hukum Alam, Positivisme Hukum, Utilitarianisme, Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, Realisme Hukum, dan Freirechtslehre. 1.1 Aliran Hukum Alam Aliran Hukum Alam berpendapat bahwa selain hukum positif yang merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain, yaitu hukum yang berasal dari Tuhan. Hukum yang berasal dari Tuhan itulah yang dikenal sebagai Hukum Alam. Hukum positif yang berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Alam, karena hukum yang berasal dari Tuhan dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia. Hukum Alam bersifat universal dan abadi, sehingga Hukum Alam tersebut berlaku sepanjang masa serta berlaku bagi semua bangsa. Berdasarkan sumbernya Aliran Hukum Alam dibedakan menjadi dua macam, yaitu Aliran Hukum Alam Irasional dan Aliran Hukum Alam Rasional. Aliran Hukum Alam Irasional memiliki pendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber langsung dari Tuhan, sedangkan para penganut Airan Hukum Alam Rasional berpendapat bahwa hukum yang universal dan abadi itu bersumber dari rasio manusia. 1.2 Mazhab Hukum Kodrat Mazhab hukum kodrat atau juga dalam beberapa literatur filsafat hukum ada yang menyebutnya sebagai hukum alam, secara epistemologis, berargumentasi bahwa pencarian ataupun penggalian nilai kebenaran hukum tidak boleh keluar dari mainstream nilai-nilai Ketuhanan sebagai titik pijaknya



Hukum kodrat sering dicampuradukkan dengan hukum umum, namun keduanya berbeda. Kendati teori-teori hukum kodrat memberikan suatu pengaruh besar pada perkembangan hukum umum Inggris, yang terakhir disebutkan itu tidak berdasar pada hakhak yang melekat, tetapi merupakan tradisi hukum di mana nilai-nilai atau hak-hak tertentu diakui secara hukum karena telah memiliki pernyataan atau pengakuan yudisial. Hukum kodrat sering dikontraskan dengan hukum-hukum buatan manusia (hukum positif) dari suatu negara, entitas politik, ataupun masyarakat tertentu. Dalam teori hukum, interpretasi dari suatu hukum buatan manusia membutuhkan beberapa referensi pada hukum kodrat. Dalam pemahaman hukum kodrat ini, hukum kodrat dapat dirujuk untuk mengkritik putusan-putusan pengadilan mengenai apa yang dikatakan hukum tersebut, tetapi tidak untuk mengkritik interpretasi terbaik dari hukum itu sendiri. Beberapa filsuf, yuris, dan cendekiawan menggunakan hukum kodrat secara identik dengan keadilan kodrat atau hak kodrat (bahasa Latin : ius naturale), sementara yang lainnya membedakan antara hukum kodrat dan hak kodrat. 1.3 Mazhab Positivisme Positivisme Hukum juga sering disebut Aliran Hukum Positif. Aliran ini memandang perlunya pemisahan yang tegas antara hukum dan moral, yaitu antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya (antara das sein dan das sollen). Aliran Hukum Positif memandang bahwa semua persoalan di masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Bagi penganut aliran ini tidak ada norma hukum selain hukum positif. Positivisme Hukum terbagi menjadi dua aliran, yaitu Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) dan Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Aliran Hukum Positif Analitis dipelopori oleh Austin. Aliran ini memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang mewajibkan seseorang atau beberapa orang. Hukum berjalan dari atasan (superior) dan mengikat atau mewajibkan bawahan (inferior). Hukum adalah perintah yang bersifat memaksa yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya. 1.4 Aliran Formalistis Beberapa ahli filsafat hukum menekankan betapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsipprinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Lain-lain ahli filsafat hukum, yang biasanya disebut kaum positivis, sebaliknya ia berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah serta harus dipisahkan. Salah satu cabang dari aliran tersebut adalah mazhab formalistis yang teorinya lebih dikenal dengan



nama analytical jurusprudence. Salah seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah ahli filsafat hukum dari Inggris. Pengaruh daripada mazhab formalitas terlihat pada sikap beberapa ahli-ahli teori hukum yang berorientasi pada sosiologi dan sosiolog-sosiolog, yang menaruh perhatian pada hukum. Mereka berpegang tegunh pada pemiahan antara hukum dengan moral atau berpegang pada batas yang memisahkan apa yang ada pada dewasa ini dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang 1.5 Mazhab Kebudayaan dan Sejarah Mazhab Sejarah atau Historische Rechtsschule dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap aliran Hukum Alam yang hanya mengandalkan jalan pikiran deduktif dan tidak memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional. Mazhab Sejarah memandang bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang bisa berlaku bagi semua bangsa. Aliran ini juga berpendapat bahwa hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum bukan berasal dari perintah penguasa, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Menurut Sir Henry Main, Perkembangan hukum dari status ke Kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks. Hubungan-hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat yang modern dan komplek. 1.6 Utilitarianisme Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, dalam hal ini yang dimaksud dengan kemanfaatan adalah kebahagiaan (happiness). Adil tidaknya suatu hukum ditentukan dari apakah hukum tersebut mampu memberikan kebahagiaan yang dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu di dalam suatu masyarakat atau yang sering dikenal dengan istilah the greatest happiness for the greatest number of people.



Beberapa tokoh penganut Aliran Utilitarianisme antara lain Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Aliran ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai Aliran Positivisme Hukum karena Utilitarianisme akan menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Hukum merupakan cerminan dari perintah penguasa dan tidak hanya berasal dari rasio. 1.7 Sociological Jurisprudence Beberapa



pakar



hukum



menamai



aliran



hukum



ini



sebagai



Functional



Anthropological atau metode fungsional. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dengan sosiologi hukum (the sociology of law). Perbedaan utama antara Sosiologi Hukum dengan Sociological Jurisprudence adalah Sosiologi Hukum menitikberatkan penyelidikannya kepada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi, sedangkan Sociological Jurisprudence menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Aliran Sociological Jurisprudence memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini menyatakan bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sociological Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara Positivisme Hukum yang memandang hukum sebagai perintah penguasa dan Mazhab Sejarah yang menyatakan bahwa hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Proses pembangunan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aliran hukum ini. 1.8 Realisme Hukum Aliran ini sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang berkembang di Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum adalah hasil dari kekuatankekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum dibentuk dari kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang umum. Ada beberapa ciri dari Aliran Realisme Hukum, antara lain : 1. Tidak ada mazhab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum. 2. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.



3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada. 4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang-orang. 5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya. 1.9 Critical Legal Studies Critical Legal Studies (CLS) merupakan salah satu alternatif pemikiran dalam filsafat hukum yang dapat memberikan pandangan berbeda terhadap hukum. Ciri khas dari pemikiran ini adalah tidak menjadikan hukum yang dibuat oleh negara diterima taken for granted begitu saja sebelum adanya proses perjuangan nalar kritis terhadap subtansi hukumnya. Ada situasi ketidakpercayaan dan kekhawatiran bahwa hukum yang dibuat negara tidak bisa mendatangkan keadilan. Karena prosesnya yang melalui pergulatan tarik menarik kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi sehingga menyebabkan produk hukumnya rentan akan tabir ketidaksempurnaan. Netralitas, dan imparsialitas merupakan katakunci yang menjadi indikator untuk mempurifikasi hukum tersebut. Oleh karena itu, CLS berupaya untuk selalu membuka selubung relasi kekuasaan dan relasi ekonomi yang selalu mengintervensi hukum dengan perjuangan dan logikanya sendiri. 1.10 Feminisme Jurisprudence Istilah yurisprudensi feminis pertama kali didengungkan di akhir tahun 1970an oleh Ann Scales saat merencanakan Celebration 25, perayaan pada tahun 1978 menandai 25 tahun semenjak wanita lulus dari Harvard Law School untuk pertama kalinya, dan pertama kali dimuat pada isu pertama Harvard Women's Law Journal pada tahun yang sama. Teori ini mengkritisi hukum di Amerika Serikat yang dinilai terlalu patriarkis dan menganggap posisi wanita dalam masyarakat sebagai lebih rendah berdasarkan asumsi gender yang berdampak pada putusan yang diambil oleh hakim. Pada tahun 1984, Martha Fineman mendirikan Feminism and Legal Theory Project di University of Wisconsin Law School untuk mengkaji hubungan antara teori dan praktik feminis dengan hukum. Proyek ini berperan penting dalam perkembangan teori hukum feminis. Berkembangnya teori hukum feminis juga didasari atas keperluan wanita agar bisa



mapan secara finansial. Wanita yang berkarier di bidang hukum juga memanfaatkan gagasan feminisme dan hukum tersebut dengan tujuan mencapai kebebasan reproduktif, menghentikan diskriminasi gender dalam hukum dan di tempat kerja, serta mengakhiri pelecehan seksual. 1.11 Semiotika Jurisprudence Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri dikatakan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotika bisa dikatakan sebagai cabang ilmu yang berhubungan dengan tanda, mulai dari sistem tanda, dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda pada akhir abad ke-18. Salah satu definisi paling luas diungkapkan Umberto Eco bahwa semiotika berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda.