Resume Psikologi Perkembangan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Ghea
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sub bab A. Teori Kepribadian dan Perkembangan 1. Tahap – tahap Masa Dewasa -



Tahap Generativitas versus Stagnasi dari Erikson



-



Masa Kehidupan Manusia dari Levinson



-



Variasi Individual



2. Pendekatan Peristiwa Hidup



3. Stres di Usia Paruh Baya



4. Konteks Perkembangan Individu di Usia Paruh Baya -



Konteks Historis (Efek Cohort)



-



Konteks Gender



-



Konteks Budaya



B. Stabilitas dan Perubahan 1. Studi Longitudinal -



Studi Baltimore Costa & McCrae



2. Studi Longitudinal Berkeley 3. Studi Helson’s Mill College



C. Relasi Akrab 1. Cinta dan Pernikahan di Usia Paruh Baya 2. Kekosongan dan Pemenuhannya 3. Relasi diantara Saudara Kandung dan Persahabatan 4. Kakek – Nenek 5. Relasi Antar Generasi



A. Teori Kepribadian dan Perkembangan 1. Tahap-tahap Masa Dewasa 



Tahap Generativitas versus Stagnasi dari Erikson Erikson (1968) memberikan istilah untuk tahap ketujuh dalam teori masahidup yaitu generativitas versus stagnasi. Generativitas merujuk pada hasrat orang dewasa untuk mewariskan sesuatu dari diri mereka kepada generasi selanjutnya (Peterson, 2002). Sebaliknya, stagnasi (sering disebut “tenggelam dalam diri sendiri” atau “self-absorption”) akan terjadi jika individu merasa bahwa tidak ada apa pun yang dapat dilakukan untuk generalisasi selanjutnya. Orang dewasa yang berada di usia paruh baya dapat mengembangkan generativitas melalui sejumlah cara (Kotre, 1984). Bentuk dari Generativitas biologis adalah memiliki keturunan. Bentuk dari generativitas pengasuhan adalah mengasuh dan



membimbing



anak-anak.



Bentuk



dari



generativitas



kerja



adalah



mengembangkan keterampilan yang bisa diteruskan pada orang lain dan melalui budaya, generativitas adalah menciptakan, memperbaharui, atau memelihara beberapa aspek dari budaya. 



Masa Kehidupan Manusia dari Levinson Dalam Season of a man’s life, psikolog klinis Daniel Levinson melaporkan hasil wawancara yang dilakukan secara ekstensif pada pria paruh baya yang berusia 40-an. Wawancara tersebut dilakukan pada pekerja yang diupah per-jam, bisnis eksekutif, ahli biolog akademik, dan novelis. Levinson mendukung kesimpulannya dengan menggunakan informasi yang diperolehnya dari biografi sejumlah pria terkenal dan perkembangan karakter yang mengesankan di literature. Menurut Lavinson di akhir belasan tahun, seharusnya terjadi transisi dari ketergantungan menjadi kemandirian. Levinson memandang usia dua puluhan sebagai fase pemula (novice phase) dalam perkembangan orang dewasa. Dari usia 28 hingga 33 tahun, seseorang mengalami transisi dimana ia harus menghadapi pertanyaan yang lebih serius yang menyangkut penentuan tujuannnya. Di tahuntahun selanjutnya memasuki tahap yang disebut Becoming One’s Own Man.



Menurut Levinson transisi menuju dewasa menengah berlangsung selama lima tahun (usia 40 hingga 45) dan menurut pria dewasa untuk mengatasi konflik utama yang telah ada dalam kehidupannya sejak remaja. 1. Menjadi tua versus menjadi muda, 2. Menjadi destruktif versus menjadi konstruktif, 3. Menjadi maskulin versus menajdi feminim, 4. Menjadi dekat orang lain versus menjadi terpisah dari orang lain. Levinson memandang usia setengah baya sebagai masa kritis. 



Variasi Individual Teori tahapan memfokuskan pada universalitas dari perkembangan kepribadian individu ketika teori tersebut mencoba melibatkan tahpa-tahap yang dilalui oleh semua individu di ssepanjang hidupnya. Teori ini secara adekuat tidak membahas variasi individual di dalam perkembangan orang dewasa. Sebuah studi luas yang melibatkan 500 pria di usia paruh baya, misalnya, menemukan variasi individual yang luas terjadi di antara pria (Farrell & Rosenberg,1981). Dalam pandangan mengenai variasi individual, orang dewasa yang berada di usia paruh baya akan menginterpretasikan, membentuk, mengubah, dan member makna pada kehidupannya. Beberapa individu dapat mengalami krisis paruh baya dalam beberapa konteks kehidupannya, namun tidak dalam beberapa konteks hidup lainnya (Lachman, 2004). Contohnya; di dalam kontekas pekerjaan, seseorang dapat mengalami badai dan stress, sementara segala sesuatunya berlangsung mulus d rumah. Para peneliti menemukan bahwa dari kasus-kasus individu yang mengalami krisis paruh baya, sepertiga di antaranya menyatakan bahwa krisis dipicu oleh peristiwa hidup seperti kerhilangan pekerjaan, masalah financial, atau penyakit (Lachman, 2004).



2. Pendekatan Peristiwa Hidup (Life-Events Approach) Tahap-tahap yang terkait usia mengungkapkan cara utama yang digunakan untuk menelaah perkembangan kepribadian orang dewasa. Cara utama yang kedua untuk merumuskan perkembangan kepribadian orang dewasa adalah dengan mengarahkan perhatian pada peristiwa hidup (Serindo,2009). Di versi awal pendekatan peristiwa hidup, peristiwa hidup dipandang sebagai kondisi yang membebani yang memaksa mereka untuk mengubah kepribadian, kini pendekatan peristiwa hidup menjadi lebih rumit. Pendekatan peristiwa hidup kontemporer menekankan bahwa pengaruh peristiwa hidup terhadap perkembangan individual tidak hanya tergantung pada peristiwa hidup itu sendiri, namun juga tergantung pada faktor-faktor mediator (seperti kesehatan, fisik, dukungan keluarga), adaptasi individu terhadap peristiwa hidup (seperti penilaian mengenai ancaman, strategi penanggulangan masalah). Sebagai contoh, kini individu lebih mampu mengatasi masalah perceraian secara efektif dibandingkan pada tahun 1950-an karena kini peristiwa perceraian menjadi peristiwa yang lebih umum dan diterima dimasyarakat. Pendekatan ini memiliki kelemahan, salah satunya adalah terlalu banyak memberi penekanan pada perubahan. Kekurangan lainnya adalah stress yang dialami, mungkin terutama tidak disebabkan peristiwa yang besar melainkan disebabkan oleh pengalaman kita sehari-hari



3. Stress dan kendali diri di Usia Paruh Baya Usia paruh baya bukanlah sebuah masa dimana mayoritas orang dewasa mengalami krisis. Seandainya mereka mengalami krisis, krisis itu sering kali terkait dengan peristiwa hidup yang menekan. Sebuah studi menggunakan catatan harian selama periode satu minggu menemukan bahwa baik dewasa muda dan dewasa paruh baya memiliki hari-hari yang lebih menimbulkan stress dan lebih banyak lagi hari-hari yang mengandung stress majemuk (Almeida & Horn, 2004). Meskipun orang dewasa muda mengalami stressor harian lebih sering dibandingkan dewasa paruh baya, orang



dewasa menengah lebih banyak dihadapkan pada stressor yang berlebihan yang melibatkan berbagai aktivitas sekaligus dalam waktu yang sama. Para peneliti lainnya menemukan bahwa orang dewasa paruh baya mengalami lebih sedikit stressor yang tidak dapat dikontrol dibandingkan orang dewasa yang lebih muda atau lebih tua (Neupert, Almeida, & Charles, 2007). Para peneliti menemukan bahwa rata-rata kendali diri menurun seiring dengan bertambahnya usia (Lachman, 2006). Beberapa aspek dari kendali diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia sementara yang lainnya menurun (Lachman, 2006). Contohnya, orang dewasa paruh baya merasa bahwa mereka mengalami rasa kendali yang lebih besar terhadap keadaan finansial, pekerjaan, dan pernikahannya dibandingkan orang dewasa yang lebih muda, namun memiliki kendali yang lebih kecil terhadap anak-anaknya dan kehidupan seks (Lachman & Firth, 2004).



4. Konteks Perkembangan Individu di Usia Paruh Baya 



Konteks Historis (Efek Cohort) Sejumlah ahli perkembangan berpendapat bahwa perubahan saat-saat historis dan ekspektasi mempengaruhi perbedaan cohort. Bernice Neugarten menekankan kekuatan nilai, sikap, ekspektasi, dan perilaku dipengaruhi oleh periode ketika hidup. Neugarten berpendapat bahwa lingkungan sosial dari kelompok usia tertentu dapat mengubah social clock. Social clock adalah fenomena masyarakat mengenai tingkah laku yang sesuai untuk usia-usia tertentu diinternalisasi oleh individu yang diharapkan melakukan tugas tertentu pada usia tertentu dan pada waktu yang tepat. Contoh : Menjadi kakek-nenek di usia 50tahun dianggap tepat waktu, sedangkan yang mempunyai cucu pertama pada usia 75tahun dianggap terlambat.







Konteks Gender Para kritikus menyatakan bahwa teori tahapan perkembangan orang dewasa mengandung bias pria. Teori tahapan orang dewasa dewasa juga kurang



menekankan pentingnya membesarkan dan mengasuh anak. Peran wanita didalam keluarga merupakan hal yang kompleks dan lebih menonjol dibandingkan dalam kehidupan pria. 



Konteks Budaya Dalam banyak budaya khusunya budaya non-industri, konsep mengenai usia



paruh baya tidak dirumuskan secara sangat jelas, atau dalam beberapa kasus, konsep ini tidak ada sama sekali. Masyarakat non-industri banyak yang menyatakan individuindividu sebagai muda atau tua, namun tidak menyatakan sebagai paruh baya, beberapa budaya tidak memiliki istilah untuk “remaja” atau “dewasa muda” atau “dewasa menengah”. Budaya Gusii yang terletak dibagian utara Afrika Kenya. Gusii membagi rangkaian hidup yang berbeda untuk pria dan wanita, wanita : (1)bayi, (2)anak perempuan belum disunat, (3)anak perempuan sudah disunat, (4)wanita yang telah menikah, (5)wanita tua, Pria : (1)bayi, (2)anak laki-laki belum disunat, (3)anak laki-laki sudah disunat, (4) pria tua. Bagaimana dengan usia paruh baya di budaya-budaya lain? Hal ini tergantung pada modernitas budaya dan pandangan budaya mengenai peran-peran gender.



B. Stabilitas dan Perubahan a.



Studi Longitudinal  Studi Baltimore Costa & McCrae Studi utama lain mengenai perkembangan kepribadian orang dewasa terus dilakukan oleh Paul Costa dan Robert McCrae mereka memfokuskan pada apa yang disebut sebagai lima faktor kepribadian, yang terdiri dari keterbukaan terhadap pengalaman, sikap berhati-hati, keramahan, extraversion, dan neurosisme. Faktor-faktor tersebut merupakan dimensi penting dalam kepribadian. Dengan menggunakan tes lima faktor kepribadian mereka mempelajari hampir seribu pria dan wanita berpendidikan yang berusia 20 sampai 96 tahun dan menilai individu-individu itu selama bertahun-tahun.



 Hasil untuk extraversion bersifat kompleks hingga dipilah-pilih lagi ke dalam dominasi sosial dan vitalitas sosial. Dominasi sosial meningkat dari remaja hingga dewasa menengah, vitalitas sosial meningkat dimasa remaja dan kemudian menurun dimasa dewasa awal.  Keramahan dan sikap berhati-hati meningkat dimasa dewasa awal dan menengah.  Neurotocism menurun di masa dewasa awal  Keterbukaan terhadap pengalaman meningkat di masa remaja dan dewasa awal, dan menurun dimasa dewasa akhir Secara umum, sifat kepribadian paling banyak berubah selama masa dewasa awal. b. Studi Longitudinal Berkeley Studi yang melibatkan lebih dari 500 anak-anak dan orang tuanya ini awalnya dilakukan di akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an. Buku Present and Past in Middle Life (Einchorn & lain-lain, 1981) menguraikan riwayat individu-individu ini ketika mereka telah mencapai usia paruh baya. Hasil yang diperoleh dari studi antara remaja awal hingga sebagian individu di usia paruh baya, tidak mendukung ataupun membantah perdebatan mengenai apakah kepribadian bersifat stabil atau berubah. Meskipun demikian, terdapat beberapa karakteristik yang lebih stabil dibandingkan karakteristik lainnya. Karakteristik yang paling stabil adalah karakteristik yang menyangkut sejauh mana individu memiliki orientasi intelektual, memiliki keyakinan diri, dan terbuka pada pengalaman baru. Karakteristik yang paling banyak berubah adalah karakteristik yang menyangkut sejauh mana individu memiliki sifat mengasuh atau memusuhi dan apakah mereka memiliki kendali diri atau tidak. John Clausen (1993), salah seorang peneliti dari Studi Longitudinal Berkeley, menegaskan bahwa selama ini para ahli terlalu banyak memberikan perhatian pada diskontinuitas yang terdapat pada semua spesies manusia, sebagai gantinya, ia berpendapat bahwa beberapa orang mengalami krisis secara berulang dan



perubahan yang cukup besar sepanjang hidupnya, sementara beberapa orang lainnya memiliki kehidupan yang lebih stabil, memiliki kontinuitas, dan tidak banyak mengalami perubahan c.



Studi Helson’s Mill College Penyelidikan longitudinal lain mengenai perkembangan kepribadian orang dewasa dilakukan oleh Ravenna Helson dan rekan-rekannya (Helson, 1997, Helson & Mitchell, & Moane, 1984, Helson & Wink, 1992, Stewart, Osgrove, & Helson, 2001). Awalnya mereka mempelajari 132 mahasiswi senior di Mills College di California pada akhir 1950-an. Kemudia mereka mempelajari orang-orang tersebut ketika berusia 30-an, 40-an, dan 50-an. Helson dan rekan-rekannya membedakan 3 kelompok utama di antara para wanita Mills, yang berorientasi pada keluarga, berorientasi pada karir, dan mereka yang tidak mengikuti kedua orientasi tersebut. Dalam studi Mills College beberapa wanita beralih menjadi “pilar masyarakat; di awal 40-anhingga awal 50-an.



Kesimpulan Menurut penelitian terbaru yang diulas oleh peneliti terkemuka Breant Roberts dan Daniel Mroczek ada peningkatan bukti bahwa sifat kepribadian terus berubah selama tahun-tahun masa dewasa, bahkan hingga masa dewasa akhir. Akan tetapi dalam meta analisis terakhir dijelaskan perubahan sifat kepribadian terbesar terjadi dimasa dewasa awal, dari usia 20 hingga 40 tahun. Dengan demikian, orang menunjukan stabilitas yang lebih besar dalam kepribadiannya ketika mereka mencapai usia paruh baya dibandingkan ketika mereka masih lebih muda, namun bukan berarti tidak terjadi perubahan di usia paruh baya. Secara umum perubahan sifat kepribadian selama masa dewasa juga terjadi dalam arah yang positif. C. Relasi Akrab 1. Cinta dan Pernikahan di Usia Paruh Baya Ada dua bentuk utama dari cinta yaitu cinta romantis dan cinta efektif. Beberapa pernikahan dimasa dewasa awal akan terasa sulit dan terjal, akan berubah menjadi lebih



biasa dimasa dewasa menengah. Meskipun pasangan tersebut melalui kehidupan yang sarat dengan badai, mereka akhirnya dapat menemukan fondasi yang kokoh dalam relasi tersebut. Pasangan di usia paruh baya cenderung memandang pernikahan mereka secara positif jika mereka melakukan aktivitas timbal-balik. Sebagian besar individu paruh baya yang menikah menyatakan cukup puas dengan pernikahannya. Ada kemungkinan berbagai masalah serumit apapun telah diselesaikan. Perceraian dimasa dewasa menengah dapat positif dalam beberapa hal, dan negatife dalam hal lain, dibandingkan dengan perceraian dimasa dewasa awal. Bagi individu yang matang resiko dari perceraian dapat lebih kecil dan kurang intens dibandingkan individu yang masih muda. 2. Kekosongan dan Pemenuhannya Sebuah peristiwa penting dalam keluarga adalah mengahantarkan anak memasuki kehidupan dewasa. Para orang tua menyesuaikan ketidakhadiran anaknya. Pada kenyataanya, orang tua yang hidupnya menyaksikan keberadaan anak-anak, mungkin mengalami kekosongan, yang mencangkup menurunnya kepuasan pernikahan setelah anak-anak meninggalkan rumah. Pada sebagian orang tua kepuasan mereka tidak berkurang setelah anak-anak meninggalkan rumah. Sesungguhnya, pada sebagian besar orang tua, kepuasan pernikahan mereka justru meningkat di tahun-tahun setelah mengasuh anak-anak. Ketika anak-anak pergi, pasangan yang menukah memiliki waktu untuk melakukan apa yang menjadi minat karirnya dan memiliki banyak waktu bersamasama. Dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti di masa sekarang, pemenuhan terhadap kekosongan menjadi lebih banyak dilakukan karena anak-anak yang berusia dewasa kembali tinggal dirumah orang tua mereka setelah beberapa tahun kuliah. Para orang dewasa muda juga pindah dan tinggal bersama orang tuanya setelah karirnya tidak berhasil atau perceraian. Beberapa individu tidak memiliki rumah hingga usia pertengahan akhir karena tidak dapat menyokokng dirinya secara financial. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya belum mendapatkan kesimpulan pasti mengenai kondisi sangkar kosong para ibu. Di satu sisi, beberapa orang mungkin memandang fase ini sebagai hal yang negatif dan melaluinya dengan penuh perasaan sedih dan kehilangan, sehingga dapat berlanjut menjadi sebuah sindrom yang biasa dikenal dengan sindrom sangkar kosong (empty nest syndrome). Sindrom sangkar kosong merupakan suatu perasaan



kesepian dan kesedihan yang umum dimiliki orangtua ketika anak-anaknya mulai pergi meninggalkan rumah. Sindrom sangkar kosong merupakan respons yang maladaptif atas transisi menjadi orangtua (postparental), yang muncul atas reaksi kehilangan anak-anak mereka (Borland, 1982 dalam Raup & Myers, 1989). Adanya masa transisi berarti juga diharapkan adanya adaptasi atau penyesuaian diri. Pada masa dewasa madya ini, ibu harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi transisi, baik transisi yang meliputi fisik, maupun transisi peran sebagai ibu yang membesarkan anak. Dari semula yang selalu sibuk mengurus segala keperluan anak-anak mereka, berubah menjadi kondisi rumah yang akan terasa seperti sebuah “sarang kosong” yang harus ditinggali selama hidup berumah tangga (Hurlock, 2004). Transisi menghadapi sangkar kosong merupakan suatu hal yang normatif, yang umumnya dialami oleh usia dewasa madya dimana orangtua mengharapkan anak-anaknya untuk meninggalkan rumah, menjadi mandiri, dan berhasil menghadapi tuntutan hidup dalam tahapan kehidupan mereka (Havighurst, 1953 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009). Pada beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa transisi menuju masa sangkar kosong lebih dominan terjadi pada wanita, terutama ibu rumah tangga. Jika dibandingkan dengan ayah, ibu lebih mengalami tekanan atau stres atas kepergian anak dari rumah karena ibu menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga bersama anak-anak mereka (Glenn, 1975 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009). Perginya anak-anak dari rumah akan menimbulkan stres yang unik bagi para ibu karena kehilangan peran utama sebagai ibu, suatu peran yang dulu menjadi fokus utama kehidupan dan identitas perempuan (Harkins, 1978 dalam Iman & Aghamiri, 2011). Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya, tidak selalu sangkar kosong berefek negatif. Deutscher (1964, dalam Glenn, 1975) dalam penelitiannya terhadap orangtua yang telah ditinggal pergi oleh anak-anaknya memperoleh hasil bahwa hampir sebagian besar (71% ayah dan 79% ibu) mengatakan bahwa fase setelah menjadi orangtua (postparental stage) adalah lebih baik atau sama baiknya dengan fase-fase kehidupan keluarga yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Lowenthal dan Chiriboga (1984, dalam Iman & Aghamiri, 2011) yang akan ditinggal pergi oleh anak yang paling muda juga menemukan bahwa masa sangkar kosong adalah masa yang dapat diantisipasi dengan baik dan tidak dirasakan sebagai bentuk ancaman maupun krisis. Penelitian lain menyebutkan bahwa ketika anak-anak pergi meninggalkan rumah, orangtua, terutama ibu, tidak merasakan kesedihan dan ketidakbahagiaan seperti yang diperkirakan (Radloff, 1980; Rubin, 1992 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009). Pada kenyataannya, kepuasan hidup dan pernikahan justru mengalami kenaikan ketika anak-anak pergi meninggalkan rumah (Dennerstein, dkk., 2002; Schmidt, dkk., 2004 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009) terutama bagi orangtua yang teratur mempertahankan kontak atau komunikasi dengan anak-anak mereka setelah anak-anak mereka pergi (White & Edwards, 1990 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009).



Akmalah,nurul(2014).Jurnal psikologi industri dan organisai. Psychological Well-being pada Ibu Usia Dewasa Madya yang Berada pada Fase Sangkar Kosong,vol.3 no.2



3. Relasi diantara Saudara Kandung dan Persahabatan



Bagi sebagian orang dewasa, relasi dengan saudara kandung akan berlangsung terus seumur hidup. Relasi dimasa dewasa dengan saudara kandung bisa sangat dekat, apatis atau sangat bersaing. Saudara kandung yang dimasa dewasa memiliki relasi sangat dekat satu sama lain cenderung sudah memiliki kedekatan serupa saat kanakkanak. Kedekatan saudara kandung yang baru terjadi dimasa dewasa jarang terjadi. Pria yang mengalami relasi persaudaraan yang buruk dimasa kecil lebih besar kemungkinan mengalami depresi di usia 50 dibanding pria yang memiliki relasi positif dengan saudara kandungnya ketika anak-anak. Dimasa dewasa menengah, persahabatan tetap merupakan hal yang penting seperti di masa dewasa awal. Dibutuhkan waktu untuk mengembangkan persahabatan yang akrab. 4. Kakek-Nenek Kakek-nenek memainkan peran penting dalam kehidupan cucu mereka (Oberlander, Black, & Starr, 2007). Banyak orang dewasa menjadi kakek-nenek untuk pertama kali di usia paruh baya. Secara konsisten, para peneliti menemukan bahwa nenek lebih sering melakukan kontak dengan para cucu dibandingkan kakek (Watson, Randolph, & Lyson, 2005). Kecenderunga wanita untuk mendefinisikan peran mereka sebagai nenek, sebagian disebabkan oleh tanggung jawab untuk membina ikatan dengan anggota keluarga antar generasi tersebut. Pria mungkin memiliki harapan yang lebih rendah sehubungan dengan peran sebagai kakek dan melihat peran itu lebih sebagai sesuatu yang bersifat sukarela. 



Peran dan gaya sebagai kakek-nenek Bagi sejumlah individu lainnya, menjadi kakek- nenek dapat memberikan



imbalan biologis dan rasa kontinuitas. Bagi sejumlah individu lainnya, menjadi kakeknenek memberikan pengalaman pemenuhan diri yang bersifat emosional, menciptakan rasa kebersamaan dan kepuasan yang mungkin belum pernah dialami sebelumnya ketika berelasi sebagai orang tua-anak. 



Perubahan profi kakek-nenek



Perceraian, kehamilan remaja, dan penyalahguanaan obat yang dilakukan orang tua, biasanya menjadi alasan utama para kakek-nenek itu untuk kembali memegang peran sebagai “orang tua” meskipun sebetulnya hal itu bukan tugas mereka lagi. 5. Relasi Antar Generasi Keluarga adalah hal yang penting bagi kebanyakan orang. Ketika 21.000 orang dewasa berusia 40 hingga 79 tahun di 21 negara ditanya “ketika anda memikirkan tentang siapa anda, biasanya anda memikirkan 63 persen menyatakan “keluarga” 9 persen menyatakan “agama” dan 8 persen menyatakan “pekerjaan”. Dalam studi ini di seluruh 21 negara , orang dewasa paruh baya dan yang lebih tua mengekpresikan rasa tanggung jawab yang kuat antara generasi dengan keluarga mereka,dimana ikatan antargenerasi terkuat terjadi di Arab Saudi, India, dan Turki. Orang dalam masa dewasa menengah memainkan peran penting dalam kehidupan orang-orang muda dan tua. Orang dewasa paruh baya membagikan pengalaman mereka dan meneruskan nilai-nilainya pada generasi yang lebih muda. Studi terbaru mengungkapkan bahwa sekalipun ketika orang tua yang sudah menua mengalami masalah kesehatan, mereka dan anak-anak mereka secara umum menggambarkan perubahan positif dalam relasi mereka pada tahun-tahun terakhir. Akan tetapi, dalam sebagian kasus, para peneliti menemukan relasi antara orang tua yang telah menua dan anak-anak . dalam setiap generasi baru, karakteristik kepribadian , sikap-sikap, nilai-nilai yang ada mengalami replikasi atau perubahan. Pada umumnya anggota-anggota keluarga berusaha membinakontak yang cukup baik antar generasi.