Review 10 Jurnal Psikologi Perkembangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UAS PSIKOLOGI DASAR PERKEMBANGAN MANUSIA REVIEW JURNAL



OLEH :



Nama : NIM : Kelas/Semester :



Sherryn Trienanda Riwu 2107020015 A/1



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS NUSA CENDANA 2021



Jurnal 1



Judul Jurnal



Tinjauan Konsep Diri dan Dimensinya Pada Anak dalam Masa Kanak-kanak Akhir Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling



Volume dan Halaman Tahun



Volume 1 Nomor 2 Desember 2015. Hal 116-124



Penulis



Beatriks Novianti Kiling dan Indra Yohanes Kiling



Reviewer



Sherryn Trienanda Riwu



Pendahuluan



Pembahasan mengenai konsep diri sudah dibicarakan sejak para filsuf mulai bertanya tanya mengenai “diri”. William James, salah satu pelopor psikologi (Mussen dkk., 1979) mencoba menguraikan perbedaan dari “diri” yang menjadi sumber dikotomi. James membedakan diri menjadi dua komponen yaitu “aku objek” (me) dan “aku subjek” (I). “Aku objek” adalah keseluruhan diri seseorang yang dapat disebut miliknya, termasuk didalamnya kemampuan, karakteristik sosial dan kepribadian, serta kepemilikan materi. Menurut James, diri ini terdiri dari : 1) Diri spiritual menyangkut kepuasan terhadap apa yang telah kita lakukan, bukan terhadap apa yang kita punyai. 2) Diri kebendaan terdiri atas pakaian dan milik-milik kebendaan yang kita lihat sebagai bagian dari kita. 3) Diri sosial adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain. Setiap individu memiliki banyak diri-diri sosial yang berbeda-beda, sebanyak individu-individu dan group-group yang dianggap penting. 4) Diri badaniah berkaitan dengan kondisi fisik seseorang, seperti tinggi, gemuk, pendek, berotot, mancung atau pesek, kulit terang atau gelap, rambut lurus atau keriting. Cooley pada tahun 1902 (Burns, 1979) menambahkan masyarakat sebagai faktor penting dalam pembentukan konsep diri seseorang. Teorinya yang terkenal adalah looking-glass-self (Johnson dan Medinnus, 1974), yaitu bagaimana konsep diri seseorang dipengaruhi oleh pendapat orang lain terhadap dirinya. Kaca cermin memantulkan evaluasi-evaluasi yang dibayangkan orang lain tentang kita. Dengan kata lain, konsep diri merupakan hasil dari penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri dan pendapat orang lain mengenai dirinya sendiri. Uraian-uraian mengenai konsep diri yang ada mengarahkan konsep diri



2015



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



kepada hal-hal yang berkaitan dengan individu itu sendiri, yang didalamnya mencakup pandangannya terhadap dirinya, apa yang ia peroleh dari hasil evaluasinya terhadap yang orang lain lakukan, katakan terhadap dirinya. Hasil dari apa yang ia ketahui, yang ia harapkan dan ia evaluasi itu dapat berupa fisik, emosi, sosial maupun spiritual. Konsep diri akan dikupas lebih lanjut dalam tulisan dalam konteks anak. Agar dapat membantu akademisi untuk melakukan penelitian terkait konsep diri anak. Anak-anak dalam masa kanak-kanak akhir Research and Development Ada beberapa dimensi yang terkandug dalam konsep diri, yaitu pengetahuan seseorang tentang dirinya, pengharapan mengenai dirinya (descriptive) dan penilaian (evaluative) tentang diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Atwater dalam Puspasari (2007), menggolongkan aspek konsep diri dalam lima bagian, yaitu pola pandang diri subjektif (subjective self), bentuk dan bayangan tubuh (self image), perbandingan ideal (the ideal self), pembentukan diri secara sosial (the social self) dan skala-skala konsep diri. Konsep diri tidaklah terjadi begitu saja, tetapi berkembang secara bertahap seiring dengan tingkat perkembangan individu tersebut. Struat dan Sudden dalam Salbiah (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri, yaitu : a.) Teori perkembangan konsep diri Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Kesadaran dirinya baru muncul pada tahun kedua kehidupannya. b.) Significant Other (orang-orang yang penting atau yang terdekat) Suatu kondisi dimana individu belajar untuk memahami penilaian orang lain terhadap dirinya (Puspasari, 2007). Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan bahwa perasaan nilai anak sebagai “seseorang” berasal dari nilai yang diberikan orangtua kepada mereka. Orang terdekat anak lainnya adalah ketika anak mulai meluaskan jaringan pergaulannya, yaitu teman sebaya. c.) Self Perception (persepsi diri sendiri) Persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaian, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Individu dengan konsep diri



Kesimpulan



Kelebihan Kekurangan



yang positif dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. Burns membedakannya dalam 4 sumber pembentukan konsep diri, yaitu diri fisik dan citra tubuh, bahasa, umpan balik dari lingkungan dan pola asuh. Konsep diri pada masa kanak-kanak akhir Bagi anak dalam masa kanak-kanak akhir, ia mulai belajar berpikir dan merasakan dirinya seperti apa yang telah ditentukan oleh orang lain dalam lingkungannya, misalnya orangtua, gurunya maupun teman-temannya. Bagaimana anak diperlakukan di rumah, di sekolah dan di masyarakat akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya (Hurlock, 2013). Konsep diri anak sendiri ditentukan oleh beberapa aspek seperti kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan sesama jenis, hubungan dengan orangtua, kemampuan matematika, kemampuan verbal, performansi di sekolah secara umum dan konsep diri secara umum. Penelitian yang ingin mengeksplorasi konsep diri anak diharapkan mempertimbangkan aspek-aspek menurut Shalvelson tersebut. Eksplorasi terhadap konsep diri yang terdapat diri anak akan membantu mengembangkan perilaku yang positif dan mudah diterima oleh lingkungannya. Hal tersebut diperlukan oleh semua anak, termasuk pada anak usia dini dengan disabilitas, yang membutuhkan konsep diri yang baik untuk dapat mengembangkan kemampuan sosial mereka (Harry, Bunga, & Kiling, 2015). Penulis merangkum dan menuangkan pembahasan dari referensi jurnal yang ada dengan sangat baik dan terperinci sehingga mudah dipahami.  Didapati lebih dari satu kesalahan dalam penulisan (typo), seperti kata “bervasiasi” yang seharusnya adalah “bervariasi”, kata “pengalamandiri” yang seharusnya ditulis “pengalaman diri”, dsb. Masih terkait dengan penulisan, didapati juga kata yang tidak sesuai dengan kata baku dalam KBBI, seperti kata “mengijinkan” yang seharusnya ditulis “mengizinkan”, penulisan kata “orangtua” yang seharusnya ditulis “orang tua”, dsb.  Lebih membahas mengenai tinjauan konsep diri pada anak yang memiliki orang tua seperti ayah dan ibu di rumah yang memiliki peran cukup signifikan dalam mengembangkan konsep diri anak, sedangkan anak dengan status yatim-piatu tidak dibahas bagaimana ia dapat mengembangkan konsep diri tanpa sosok ayah dan ibu.



 Penulis menyarankan untuk mempertimbangkan aspek-aspek menurut Shavelson jika ingin melakukan penelitian yang mengeksplorasi konsep diri anak, karena akan membantu anak-anak untuk mengarah ke hal yang positif termasuk untuk anak dengan disabilitas, namun dalam penulisan ini minim bahkan tidak didapati pembahasan mengenai tinjauan konsep diri dari anak disabilitas yang menurut saya penting juga untuk dibahas.



Jurnal 2



Judul



Tinjauan Persepsi Anak Terhadap Kekerasan



Jurnal



Journal of Health and Behavioral Science



Volume dan Halaman Tahun



Vol.1, No.2, June 2019, pp. 83-97



Penulis



Beatriks Novianti Kiling-Bunga dan Indra Yohanes Kiling



Reviewer



Sherryn Trienanda Riwu



Pendahuluan



Persepsi biasanya dimengerti sebagaimana informasi yang berasal dari organ yang terstimulus, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Persepsi mengacu pada proses dimana informasi inderawi diterjemahkan. Ahmadi (1983), menegaskannya sebagai faktor yang menentukan terbentuknya sikap terhadap sesuatu objek maupun perilaku tertentu, sehingga setiap individu akan memberikan arti kepada stimulus dengan cara yang berbeda meskipun objek yang dilihatnya sama. Apa yang dialami oleh anak selama 11 tahun merupakan stimulus awal yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera dan memunculkan respon (Branca, dalam Walgito, 2002). Anak di Kota Kupang, dengan inderanya menangkap stimulus yang ada berupa kata-kata makian, penghinaan, pemukulan dan perbuatan kasar lainnya, mengorganisasikan dan menginterpretasikannya sehingga anak menyadari apa yang dialaminya sebagai bentuk kasih sayang ataukah penolakan orangtua maupun lingkungan terhadapnya, kemudian memunculkan respon dengan mengembangkan konsep diri yang positif ataukan negatif. Stimulus yang diterima oleh indera diteruskan oleh syaraf sensori otak. Proses ini disebut proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang dirabanya. Proses ini disebut proses psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf akhir dari proses persepsi ialah individu menyadari apa yang dilihat, diraba atau didengar dan merupakan persepsi yang sebenarnya. Tidak semua stimulus mendapatkan respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi



2019



Tujuan Penelitian



Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



tergantung perhatian individu yang bersangkutan. Penulis akan membahas lebih lanjut konsep persepsi dan konsep kekerasan dalam ruang lingkup anak. Dari sisi keilmuan agar aktivis dan akademisi yang menekuni topik kekerasan terhadap anak dapat mempertimbangkan konsep persepsi anak terhadap kekerasan di dalam melakukan kajian terkait serta mengedukasi masyarakat untuk menjauhi perbuatan yang mengandung kekerasan terhadap anak. Anak-anak Research dan Development Beberapa hal yang berperan penting dalam persepsi adalah objek yang dipersepsi, alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf serta perhatian. Budaya juga memiliki peran dalam persepsi dimana budaya sendiri adalah sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimliki bersama oleh sekumpulan orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya dengan bahasa atau beberapa sarana komunikasi (Barnouw dalam Matsumoto, 1994). Penelitian lintas budaya tentang pengaruh budaya terhadap persepsi diawali dengan penelitian tentang pengaruh budaya terhadap persepsi yang berkaitan dengan indera (pengecapan, visual). Penelitian-penelitian itu menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi dan reaksi antara orang-orang dengan budaya yang berbeda juga. Memasuki masa kanak-kanak akhir, relasi keluarga dan teman sebaya terus memainkan peran yang penting, sehingga hal yang dituntut adalah kematangan. Kematangan ini tidak hanya meliputi kecerdasan dan ketrampilan motorik, bahasa, tetapi juga hal lain seperti dapat menerima otoritas tokoh lain diluar orangtuanya, ada kesadaran terhadap tugas, patuh pada peraturan dan dapat mengendalikan emosi (Admodiwirjo, dalam Gunarsa & Gunarsa, 2006). Sejak diangkat menjadi isu global oleh PBB tahun 1989 dalam Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak (KHA), terminologi kekerasan terhadap anak tidak didefenisikan secara tegas. Namun hanya menyebutkan bentukbentuk tindakan kekerasannya saja. Misalnya pada pasal 19 dalam KHA, hanya menyinggung soal perlunya perlindungan anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, luka/cedera atau penganiayaan, penyalahgunaan, penelantaran, atau perlakuan salah termasuk penganiayaan seksual. Ada banyak situasi dalam kehidupan keluarga Indonesia juga khususnya orangtua hal-hal yang dapat melukai dan membahayakan anak. Kekerasan terhadap anak diklafisikan dalam 4 kategori, yaitu kekerasan fisik (physical abuse),



Kesimpulan



Kelebihan



Kekurangan



kekerasan emosional (emotional abuse), kekerasan seksual (sexual abuse) dan penelantaran (neglect). Hasil konsultasi anak tentang kekerasan terhadap anak di 18 provinsi dan Nasional (Arna et al., 2005), tercatat penyebab kekerasan terhadap anak terbagi atas tiga, yaitu 1) faktor orang terdekat dengan anak, 2) faktor anak itu sendiri, dan 3) faktor lingkungan. Gelles dalam Huraerah (2007) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu persona, sosial dan kultural. Faktorfaktor tersebut dikelompokan ke dalam empat kategori utama, yaitu Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violance), Stress Sosial (Sosial Stress), Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah (Sosial Isolation and Low Community Involvement), dan Struktur Keluarga (Family Structure). Kajian terhadap literatur yang ada memperlihatkan kekerasan terhadap anak memiliki pengaruh terhadap proses perkembangan anak. Pencegahan kekerasan terhadap anak di Indonesia menghadapi tantangan sulit dikarenakan perilaku kekerasan terhadap anak sudah menancap dalam kebudayaan beberapa daerah. Penelitian terkait kekerasan anak dan persepsi anak terhadap kekerasan bukan hanya akan memperkaya dari sisi keilmuan, namun akan mampu mengedukasi masyarakat untuk menjauhi perbuatan yang mengandung kekerasan terhadap anak. Penulis mengambil topik/pembahasan yang menarik dan dikemas dengan sangat baik karena mudah dipahami sehingga patut untuk diketahui oleh orang tua maupun calon orang tua agar rantai kekerasan terhadap anak dapat diputuskan/diberhentikan khususnya di Indonesia.  Penulis tidak mencantumkan metode penelitian yang digunakan  Terdapat kesalahan penulisan (typo) dalam beberapa kata, seperti kata “meransang” yang kekurangan satu huruf, penulisan “tanggungjawab yang seharusnya menempatkan tanda spasi diantara kata “tanggung” dan “jawab”. Masih seputar dengan penulisan, terdapat penulisan kata yang tidak baku/tidak sesuai dengan KBBI, seperti “ketrampilan”, “orangtua”, “kongkret”, “inderawi”, dsb.  Terkait dengan pembahasan kekerasan terhadap anak, masukan saya mungkin bisa ditambahkan topik bahasan sebagai berikut, seperti apa tanggapan langsung dari anak-anak yang mengalami kekerasan, bagaimana cara mereka meng-cope kekerasan yang dialami, serta bagaimana tanggapan atau persepsi anak terhadap hubungannya dengan orang yang melakukan kekerasan kepada dirinya, apalagi yang



melakukan kekerasan adalah orang tua mereka sendiri. Apakah hubungan anak-orang tua semakin dekat dan anak menjadi semakin taat/disiplin ataukah anak hilang kepercayaan dan bandel sehingga hubungan anak-orang tua semakin renggang.



Jurnal 3



Judul Jurnal



Motif, Dampak Psikologis, dan Dukungan pada Korban Perdagangan Manusia di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Psikologi Ulayat



Volume dan Halaman Tahun



(2019), X(X), XXX-XXX



Penulis



Indra Yohanes Kiling dan Beatriks Novianti Kiling-Bunga



Reviewer



Sherryn Trienanda Riwu



Pendahuluan



Pemerintah Indonesia mendefinisikan perdagangan manusia dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memeroleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Undang-Undang Republik Indonesia, 2007). Perdagangan manusia beroperasi dengan subur di daerah yang membutuhkan banyak pekerjaan (Petrunov, 2014). IOM mencatat Indonesia merupakan negara urutan ke-13 dengan kasus perdagangan terbanyak yang ditangani oleh organisasi ini (International Organization of Migration [IOM], 2012). Data Kementerian Sosial menyatakan bahwa pada tahun 2014, NTT menduduki peringkat dua nasional dalam hal kasus perdagangan manusia (Institute Resource Governance and Social Change [IRGSC], 2014). Maraknya perdagangan manusia yang terjadi di NTT membutuhkan campur tangan para ahli untuk memberikan dukungan, baik secara hukum, sosial, maupun psikologis kepada para korban yang telah kembali di NTT (survivor atau penyintas). Wilfrida Soik, salah satu korban perdagangan manusia dari NTT yang terdiagnosa dengan gangguan kejiwaan akut dan gangguan psikotik sementara (acute and transient psychotic disorders) (IRGSC, 2014) merupakan salah satu contoh nyata korban perdagangan manusia yang membutuhkan campur tangan dari ahli kejiwaan.



2019



Tujuan Penelitian



Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



Sayangnya, peran psikolog sering kali tidak dianggap sebagai kebutuhan utama sehingga sering diminimalisir. Psikolog sebenarnya dapat memberi sumbangsih dalam mereduksi perilaku penyalahgunaan otoritas yang sering berujung pada perdagangan manusia, maupun dalam memberikan terapi untuk mengembalikan keadaan psikologis dari korban perdagangan manusia (Hom & Woods, 2013). Memahami perilaku, kognisi, emosi, serta dukungan sosial yang dialami oleh korban dapat membantu praktisi psikologi untuk memberikan bantuan psikologis secara tepat (Cunningham & Cromer, 2016). Memahami fungsi psikologis dan dukungan sosial yang dialami korban wanita pasca perdagangan manusia, serta mendeskripsikan, dan menganalisa fungsi praktik rehabilitasi dan program prevensi yang kontekstual dengan konteks daerah asal korban, yakni Kupang, NTT Korban Perdagangan Manusia di Nusa Tenggara Timur Penelitian Kualitatif Motif Bekerja di Luar NTT a. Ekonomi : kondisi ekonomi yang mendesak membuat para individu menutup mata terhadap berita hal-hal buruk yang menimpa orang yang menjadi korban perdagangan. Keadaan ekonomi merupakan faktor risiko penting yang menyebabkan seseorang terjebak dalam praktik perdagangan manusia, sulit untuk keluar sehingga menjadi korban berulang kali karena alasan keuangan tersebut. b. Keluarga : Masyarakat asli NTT, seperti di daerah lain Indonesia, memiliki kerekatan yang baik dengan anggota keluarga sehingga membantu anggota keluarga, terutama yang tinggal serumah, menjadi salah satu motivasi partisipan. c. Sosial : Alasan ini ialah motivasi untuk meniru kesuksesan tetangga atau saudara yang pulang merantau, serta ingin melihat bagian lain dari dunia selain NTT untuk meningkatkan derajat sosial. d. Paksaan : Keengganan menunjukkan asertivitas pada mayoritas masyarakat Indonesia juga mempermudah terjadinya proses pemaksaaan pada perdagangan orang Dampak Psikologis Terhadap Korban Perdagangan Orang Perilaku untuk selalu patuh (ibarat robot pekerja) dan merasa sedih yang berkepanjangan. Rasa sedih yang berkepanjangan ini menunjukkan gejala depresi pada partisipan, meskipun ini tidak dikonfirmasi oleh partisipan karena



Kesimpulan



Kelebihan



Kekurangan



pemahaman yang terbatas terkait depresi. Rasa malu yang sangat dalam juga disebabkan karena tidak membawa banyak uang bagi partisipan yang tidak terlibat dalam kegiatan prostitusi. Dukungan yang Dipersepsi P1 dan P2 telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Ketika kabur dari perusahaan, P1 dan P2 sempat diungsikan ke sebuah rumah aman di Medan kemudian singgah satu bulan di Jakarta sebelum akhirnya dipulangkan ke NTT. Ketika berada dalam rumah aman di Medan dan Jakarta, P1 dan P2 sempat mendapatkan dukungan dari beberapa aktivis dari organisasi sosial (partisipan lupa dengan nama organisasi tersebut). P3, P4, dan P5 juga memperoleh dukungan dari Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) NTT beserta dinas sosial provinsi NTT sesampainya mereka di Kupang. Dukungan yang mereka dapatkan tersebut berupa sesi sharing dengan temanteman aktivis, sesi konseling, kegiatan-kegiatan menyenangkan dengan permainan di dalam maupun luar ruangan. P1 dan P2 menyatakan bahwa dukungan yang paling membantu menenangkan mereka adalah ketika mendapatkan kata-kata positif dan memberi semangat dari sesama korban perdagangan manusia. Berdasarkan temuan penelitian, dapat dilihat bahwa motif ekonomi, keluarga, sosial, serta paksaan menjadi motif utama yang mendorong wanita untuk menjadi TKW ilegal dan menjadi korban perdagangan manusia. Penelitian ini juga mendapati bahwa rasa sedih dan tak berdaya, rasa malu, serta perilaku kerja yang maladaptif merupakan beberapa dampak psikologis jangka panjang yang dirasakan oleh korban perdagangan manusia di NTT. Penulis menjelaskan metode mulai dari partisipan hingga prosedur dan teknik analisis dengan sangat jelas dan mudah dimengerti. Topik yang diangkat juga menarik, sehingga dapat menambah wawasan mengenai peran psikolog dan dukungan bagi korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur. Data maupun referensi yang disajikan juga sangat baik dalam penulisan penelitian ini. Pengetikan “korban nyawa” yang seharusnya adalah “nyawa korban”



Jurnal 4



Judul



Persepsi Ayah Tentang Pengasuhan Anak Usia Dini



Jurnal



Jurnal Sains Psikologi



Volume dan Halaman Tahun



Jilid 7, Nomor 2, November 2018, hlm 126-135



Penulis



Bernadete Dewi Bussa, Beatriks Novianti Kiling-Bunga, Friandry Windisany Thoomaszen, dan Indra Yohanes Kiling Sherryn Trienanda Riwu



Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



November 2018



Pengasuhan pada anak usia dini sangat vital dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, karena pada usia tersebut (usia dalam kandungan sampai dengan delapan tahun), teknik pengasuhan yang baik akan mempengaruhi kesehatan anak sampai seumur hidupnya serta memperbesar peluang anak untuk menjadi orang dewasa yang mandiri dalam lingkungannya (Lane, Robker & Robertson, 2014; Glausiusz, 2016). Menurut Akbar (dalam Ayunda, 2012), proses menjadi orangtua meliputi kelahiran anak, perawatan, dan memberi pengasuhan pada anak. Hal serupa juga di ungkapkan Andayani & Koentjoro (2004) bahwa pengasuhan bersama (coparenting) merupakan model pengasuhan yang ideal untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengasuhan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama baik ibu maupun ayah dalam mengasuh anak serta saling melengkapi dan menjadi model yang yang lengkap bagi anak. Kerjasama antara ayah dan ibu dipandang sebagai bentuk keterlibatan ayah. Untuk mengetahui gambaran deskriptif persepsi ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Lima orang ayah dari anak usia dini Deskriptif-Kualitatif Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para ayah telah memahami makna pengasuhan sebagai bentuk keterlibatan ayah dalam mengasuh anak usia dini. Meskipun orientasi pengasuhan yang dimaksud para partisipan adalah



Kesimpulan



Kelebihan



Kekurangan



interaksi fisik dan tanggung jawab, pengasuhan sudah dipahami sebagai tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu (coparenting). Motivasi ayah dalam mengasuh sendiri masih didasarkan karena alasan bisa melakukan pengasuhan jika ibu berhalangan. Jika ayah melakukan pengasuhan dengan alasan yang demikian maka pengasuhan yang seperti ini menciptakan jarak antara ayah dan anak, akibatnya perkembangan anak selanjutnya tidak optimal. Implikasi dari temuan penelitian ini dibahas dengan tinjauan teori serta penelitian sebelumnya. Sesuai dengan tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi ayah mengenai makna pengasuhan anak usia dini, maka hasil yang ditemukan cukup bervariasi seperti ayah yang gengsi melakukan interaksi sentuhan serta motivasi ayah dalam melakukan pengasuhan yang lebih berdasar pada fungsi substitusi (pengganti ibu saat ibu berhalangan). Persepsi partisipan yang masih bervariasi tersebut akan menghasilkan pola pengasuhan ayah yang berbeda pula dalam mengasuh anak usia dini. Maka diharapkan kepada para ayah agar lebih melibatkan diri dalam proses pengasuhan karena dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan anak selanjutnya. Selain ayah, ibu juga merupakan faktor yang sangat menentukan apakah ayah terlibat atau tidak dalam proses pengasuhan pada anak. Ibu dapat berperan sebagai pendorong bagi ayah untuk turut berperan dan bukan saja sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan sangat dibutuhkan terutama di usia-usia dini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketika ayah dan ibu sama-sama teribat dalam pengasuhan anak maka anak akan memperoleh contoh atau role model hidup yang lengkap dalam kehidupan dan tidak mengalami kepincangan dalam perkembangan selanjutnya baik dari aspek kognitif, sosial, serta masalah identifikasi jenis kelamin. Di dukung dengan referensi-referensi yang ada juga adanya keterlibatan partisipan yang merupakan ayah dari anak usia dini merupaka kelebihan dari makalah ini. Penjelasan mengenai metode serta hasil dan pembahasan diulas dengan baik Hanya lima orang partisipan sehingga tidak dapat”dipukul rata” bahwa semua ayah memiliki persepsi yang sedemikian terkait pengasuhan anak usia dini



Jurnal 5 Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



Persepsi Lurah Tentang Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Pendidikan Anak Usia DIni Jurnal Ilmiah VISI PGTK PAUD dan DIKMAS Vol. 12, No. 1, Juni 2017 Juni 2017 Beatriks Novianti Kiling-Bunga, Yohana Krista Eka Tafuli, Friandry Windisany Thoomaszen dan Indra Yohanes Kiling Sherryn Trienanda Riwu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu proses anak mendapatkan berbagai dasar pengetahuan yang nantinya bermanfaat bagi kehidupan di masa yang akan datang. Masa usia dini merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia. Hal ini sejalan dengan hasil kajian neurologi yang menunjukkan bahwa saat lahir otak bayi membawa potensi sekitar 100 miliar yang pada proses berikutnya, sel dalam otak itu berkembang pesat dan menyambungkan bertriliun sambungan antarneuron. Supaya mencapai perkembangan optimal, sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai rangsangan/stimulasi terhadap berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan (UNICEF 2013; Wahyudin dkk., 2011). Rangsangan/stimulasi ini salah satunya adalah melalui perilaku pengasuhan yang dilakukan orang tua. Orang tua di sini, bukan hanya ibu saja, melainkan ayah juga. Idealnya, ayah dan ibu mengambil peranan yang saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga dan perkawinannya, termasuk di dalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi anak-anak dalam menjalani kehidupannya (Edin & Nelson, 2013; Andayani & Koentjoro, 2004). Mengidentifikasi dan meninjau keterlibatan ayah dalam PAUD Empat orang lurah Kualitatif-Deskriptif Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian ayah di kota Kupang sudah terlibat dalam PAUD, meski masih ada yang belum menyadari peran pentingnya dalam PAUD. Keterlibatan yang ditunjukkan masih terbatas pada



Kesimpulan



Kelebihan Kekurangan



pemenuhan kebutuhan ekonomi sedangkan waktu yang diluangkan untuk bersama anak masih terbatas karena tersita untuk mencari nafkah. Keterlibatan ayah yang diharapkan para lurah dalam PAUD di kota Kupang ialah partisipasi dan keterlibatan secara aktif, langsung dan berulang kali guna membangun kedekatan dan hubungan yang akrab dengan anak. Keterlibatan ayah itu mencakup banyak hal dan tidak hanya terbatas pada kegiatan mencari nafkah, namun harus terlibat dalam hal lainnya yakni membimbing, merawat, melindungi, memberikan perhatian dan kasih sayang, tidak menciptakan jurang pemisah antara ayah dan anak, membangun komunikasi dua arah dan timbal balik serta membangun kedekatan perasaan dan peka dengan apa yang anak butuhkan, harapkan dan inginkan. Implikasi dari penelitian ini adalah para ayah harus menjadi semakin sadar untuk terlibat secara aktif dalam PAUD. Selain itu, ibu juga harus membantu memberikan motivasi untuk ayah agar keterlibatan ayah menjadi lebih meningkat. Penjelasan cukup baik dan mudah dipahami Pembahasan yang cukup panjang sehingga bagi non-ilmuwan terkesan membosankan padahal isi pembahasan sangat informatif



Jurnal 6 Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



Perkembangan Sosial pada Anak Tunarungu yang Belum Bersekolah Jurnal Transformasi Edukasi Volume 04, No.01, Maret 2015 Maret 2015 Sela Harry, Beatriks Novianti Bunga dan Indra Yohanes Kiling Sherryn Trienanda Riwu Anak usia dini dengan disabilitas merupakan kelompok yang sangat rentan akan diskriminasi, kekerasan, kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap layanan masyarakat. Perlakuan masyarakat yang mengucilkan anak secara sosial membuat anak berada didalam status "socially disabled" atau cacat secara sosial. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan kemampuan atau derajat pendengaran yang bervariasi. Kajian Toe dan Paatsch (2010) menunjukkan bahwa anak tunarungu akan mengalami keterbatasan dalam mendapatkan kesempatan untuk membangun kumpulan kata dan kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak lainnya yang kemudian berdampak pada kesulitan dalam membangun hubungan sosial. Dari sang penulis, ia ingin meneliti tentang gambaran perilaku prososial yang dialami oleh anak tunarungu. Untuk mengetahui bagaimana interaksi anak tunarungu yang bersekolah dan tidak bersekolah dalam kehidupan sosial Anak tunarungu berjenis kelamin perempuan berusia 6 tahun dengan inisial “N” Kualitatif Berikut adalah gambaran mengenai aspek sosial dan gambaran proses sosial yang ditunjukkan oleh anak usia dini tunarungu : 1. Berbagi : anak anak tunarungu merupakan anak yang bisa memberi sebagai bentuk perilaku sosial positif sebagaimana anak lainnya. 2. Bekerjasama : sikap bekerjasama dari "N" melalui hasil observasi adalah ketika ibunya sedang memasak, "N" akan pergi ke dapur dan bekerja dengan ibunya. 3. Menolong : "N" seringkali menolong ibunya 4. Bertindak Jujur : hal yang dilakukan "N" dalam bertindak jujur adalah ketika ia membuat perjanjian dengan ibunya atau ayahnya.



Kesimpulan



Kelebihan



Kekurangan



5. Berdema : melalui observasi pada hari itu "N" sedang berbuka puasa dan memberikan lauk makan kepada adiknya ketika mengetahui adiknya menginginkan lauk tambahan. Berdasarkan Deskripsi perilaku-perilaku tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak usia dini tunarungu memiliki kecenderungan untuk berperilaku yang dapat diterima dalam konteks sosial terutama pada lingkungan terdekat mereka dalam konteks ini yaitu keluarga. Deskripsi data juga menunjukkan bahwa interaksi sosial yang ditunjukkan oleh subjek memiliki kecenderungan untuk bertindak aktif dan cenderung agresif ketika reaksi yang ditampilkan lawan interaksi sosialnya tidak sesuai ekspetasi dari subjek. Penelitian ini telah mendeskripsikan manifestasi perilaku prososial dari anak usia dini tunarungu yang belum bersekolah di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Anak usia dini tunarungu memiliki kemampuan untuk membangun konsep mental tentang perilaku seperti apa yang diterima oleh orang di sekitarnya meskipun dia sendiri memiliki keterbatasan dalam komunikasi. Beradasrkan temuan penelitian ini, orang tua dari anak usia dini tunarungu yang belum bersekolah diharapkan untuk mampu mempersiapkan anaknya agar dapat beradaptasi secara sosial di sekolah. Memperkenalkan dan mendorong anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya di lingkungan sekitar rumah dapat membantu agar anak bisa secara perlahan membangun konsep prososial yang cocok dengan lingkungan teman sebaya. Kerjasama dengan guru di pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kemudian perlu dijalin dengan orangtua untuk memastikan agar perkembangan kemampuan sosial terus dapat berjalan dengan baik Topik yang diambil mengenai disabilitas jarang untuk diangkat sehingga dengan adanya tulisan ini sangat bermanfaat bagi peneliti lainnya untuk mengkaji terkait topic ini. Pembahasan dan penjelasan mudah dimengerti bagi non-ilmuwan sekalipun Hanya menggunakan satu partisipan untuk memperoleh data sehingga tidak terlalu valid bagi anak-anak tunarungu lainnya terkait perkembangan sosial mereka yang mungkin berbeda



Jurnal 7 Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



Kesimpulan



Gambaran Komunikasi Anak Usia Dini Tunagrahita di Nusa Tenggara Timur Jurnal Pendidikan Volume XIII, No.1, Juni 2014 Juni 2014 Kumensia Nona Ita, Beatriks Novianti Bunga, dan Indra Yohanes Kiling Sherryn Trienanda Riwu Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak dengan kebutuhan khusus dapat diartikan secara simple sebagai anak yang lambat atau mengalami gangguan mental yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Salah satu contoh anak kategori berkebutuhan khusus adalah anak tunagrahita yang memiliki intelegensi yang titik-titik akan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Untuk mendeskripsikan tentang gambaran komunikasi anak berkebutuhan khusus usia dini jenis tunagrahita Anak tunagrahita berusia 7 tahun di Kota Kupang, NTT Kualitatif Berikut ini adalah beberapa aspek komunikasi yang nampak pada subjek antara lain komunikasi verbal (dalam hal berkata-kata subjek tidak mampu mengucapkan kata-kata secara jelas dan baik), komunikasi non-verbal, perilaku ketika marah (seperti ekspresi emosi marah yang diperlihatkan ketika keinginan dari subyek tidak dipenuhi, tersenyum (bahasa komunikasi yang disampaik subhek ketika senang) dan perilaku menyenangkan yang dilakukan berulang. Dari temuan penelitian ini dapat dilihat bahwa anak tunagrahita memiliki kecenderungan untuk menangkap informasi komunikasi nonverbal. Perkembangan kognitif yang terhambat membuat anak tunagrahita lebih mengembangkan keterampilan dalam memberi dan menerima komunikasi non-verbal. Berdasarkan dari temuan penelitian dan pembahsan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jika dilihat segi aspek komunikasi verbal dalam hal



Kelebihan Kekurangan



pemahaman bahasa anak juga sama layaknya anak normal pada umumnya yang membedakan komunikasi anak normal dengan anak tunagrahita adalah terletak pada komunikasi verbal dalam mengungkapan kata dan kalimat yang secara lengkap, jelas dan baik. Subyek tidak mampu mengungkapkan keinginan, ide, maupun gagasannya karena artikulasi pengucapan yang tidak jelas. Komunikasi non-verbal kemudian memberi fungsi pelengkap agar lebih mudah menangkap informasi yang ingin disampaikan dari sang anak. Orang tua dan guru dari anak usia dini tunagrahita perlu melatih perkembangan kemampuan komunikasi verbal agar mampu menunjang kemampuan komunikasi non-verbal sang anak dalam menyampaikan informasi. Bahasa yang digunakan dalam penulisan mudah dimengerti, menjelaskan terkait dengan metode penelitian yang yang digunakan Hanya menggunakan satu orang subjek sehingga kesimpulan yang di dapat bersumber dari 1 perspektif saja



Jurnal 8



Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Potensi Gangguan Mental Pada Anak-anak Kasta Hamba (ata) di Sumba Timur Cendana Medical Journal Jilid 2, Nomor 1, Februari 2014



Februari 2014 Indra Yohanes Kiling dan Beatriks Novianti Bunga Sherryn Trienanda Riwu Penulis menceritakan mengenai pengalaman kerja sang penulis di pedalaman Sumba Timur dimana sang penulis berkesempatan untuk berinteraksi dengan kelompok minoritas disana yaitu masyarakat Ata yang merupakan salah satu dari tiga kasta yang ada di Sumba Timur. Kasta yang paling atas disebut Maramba(kasta bangsawan), Kabihu(orang biasa) dan Ata yang digolongkan budak untuk melayani Maramba. Penulis sendiri mengatakan bahwa satu hal yang mengganggu pikiran sang penulis adalah penggolongan kasta juga terjadi pada anak-anak. Penulis menceritakan mengenai kasus dimana seorang anak dari golongan Ata tidak dapat naik kelas meskipun ia adalah anak yang pandai. Semua itu karena orang tua dari tuannya (Maramba) tidak menginginkan anaknya belajar di tingkat yang setara dengan hambanya. Tujuan Penelitian Mengetahui mengenai potensi gangguan mental untuk anak-anak Ata yang disebabkan ketimpangan sosial yang dialami mereka Subjek Penelitian Anak-anak Kasta Ata (hamba) Metode Research and Development Penelitian Hasil Penelitian Gangguan suasana hati Ada kasus dimana seorang anak perempuan Ata yang tinggal di rumah merambahnya dipaksa melakukan hubungan seksual sampai berulang-ulang kali selama beberapa minggu titik ketika anak kata tersebut diperiksa oleh kepolisian dia menunjukkan gejala-gejala depresi berat seperti menangis terus menerus mudah marah raut muka tidak bahagia terlihat berpikir keras mengenai sesuatu cemas dan mengeluh sakit. Gangguan perilaku sosial



Kesimpulan



penulis bercerita pada tahun 2013 ia pernah hidup dan tinggal di desa bernama Ramuk, salah satu desa yang terletak di bagian Selatan, Kabupaten Sumba Timur. Sang penulis menemukan seorang Ata laki-laki dewasa sedang memukuli remaja Ata perempuan (anak kandung) dengan tangan. Remaja tersebut berlari menjauh dari rumah dan setelah ditelusuri oleh sang penulis dia sudah tidak pulang ke rumahnya lagi di Ramuk kejadian seperti ini dijelaskan Bell dkk (2005) sebagai sesuatu yang wajar. Remaja perempuan yang mengalami kekerasan fisik terus-menerus memiliki kecenderungan untuk lari dari rumah dan terlibat dalam aktivitas kriminal di luar rumah. Gangguan kecemasan Kejadian traumatis seperti kekerasan seksual pada masa anak-anak yang kerap terjadi pada anak atas terbukti berpotensi untuk menimbulkan gangguan kecemasan pada anak-anak. Gangguan dan kesulitan belajar Kesulitan membaca menulis dan menggunakan angka adalah jenis-jenis gangguan belajar yang rentan dialami anak-anak. Menyebutkan bahwa studi-studi sudah memberikan bukti bahwa ada hubungan antara ketimpangan sosial yang dialami sejak anak-anak dengan munculnya gangguan kejiwaan di masa yang akan dating, hal ini sangat berbahaya karena kajian Melzer dkk gangguan kejiwaan pula terbukti merupakan penyebab utama dari kecacatan dan kematian di masa muda, terutama pada orang dewasa dalam usia optimal untuk bekerja. Anak-anak kasta Ara seperti yang didiskusikan memiliki potensi besar untuk mengalami gangguan suasana hati, gangguan perilaku sosial, gangguan kecemasan serta gangguan belajar. Semua gangguan ini bisa dalam kadar yang ringan atau bahkan berat sekalipun. Gangguan mental akan mengakibatkan terganggunya proses tumbuh kembang anak sehingga keadaan fisiologis dan spiritual anak pun menjadi terganggu. Berbagai macam upaya sedang dilakukan pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM-LSM local maupun internasional di Sumba Timur untuk mengurangi dampak system kasta di Sumba Timur, terutama kepada anak-anak kaum Ata. Penegakkan hukum NKRI, revitalisasi adat, perbaikan sistem pendidikan, perbaikan sistem kesehatan serta penyadaran masyarakat melalui media radio, Koran, baliho, stiker dan sosialisasi secara terus-menerus menjadi upaya para pemerhati anak, kesehatan dan sosial dalam mendukung perkembangan anak-anak Ata ke arah kehidupan yang lebih baik. Peneliti maupun cendeki yang tertarik dengan keadaan anak-anak



Kelebihan Kekurangan



Jurnal 9



Ata disarankan untuk mengkaji dampak fisiologis terhadap ketimpangan sosial yang dihadapi anak Ata. Penulisan sang penulis didasarkan langsung dengan hal nyata yang terjadi di lapangan. Penulisan sangat baik serta mudah dimengerti Penulis tidak mencantumkan metode penelitian yang digunakan



Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian



Penolakan Suku Baduy Dalam dan Amish Terhadap Modernisasi: Kaitan dengan Gejala Skizoid MKM Vol. 08 No. 02 Juni 2014 Juni 2014 Indra Yohanes Kiling dan Beatriks Novianti Bunga Sherryn Trienanda Riwu Diana adalah seseorang dari suku Baduy – sebuah suku yang rekslusif yang hidup terisolasi sejak pertengahan 1500-an, ketika itu anggota suku Baduy mengungsi ke lembah di sebelah selatan Jakarta untuk menghindari penyebaran agama Islam yang sedang terjadi di seluruh Indonesia. Empat abad kemudian, mereka masih berjuang untuk melindungi cara mereka hidup. Pertemuan dengan Diana diadakan di dalam sebuah pematang tradisional khas Baduy yang terbuat dari bambu. Suku Baduy telah membuka komunikasi dengan masyarakat sekitar mereka dan pemerintahan. Anggota suku berharap bahwa dengan memfasilitasi pemahaman yang mutual akan bisa membuat mereka mempertahankan lahan dan gaya hidup mereka yang dilambangkan dengan kepercayaan relijius mereka. (Cerita dikutip dari hasil asesmen Eileen McBride, pada tahun 1998). Bertujuan untuk menyajikan pola hidup suku Baduy Dalam dan Amish, juga membahas perilaku penolakan mereka terhadap modernisasi, dengan perspektif dari bidang psikopatologi. Suku Baduy Dalam dan Amish Research and Development Jumlah penduduk Baduy di wilayah Desa Kanekes sampai dengan bulan Juni 2009 adalah 11.172 jiwa terdiri dari 2.948 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 58 kampung. Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal. Adat melarang warganya untuk bersekolah. Mereka berpendapat bila orang Baduy bersekolah akan bertambah pintar dan orang pintar hanya akan merusak alam sehingga akan merubah semua aturan yang telah ditetapkan oleh karuhun. Kepercayaan orang Baduy disebut agama sunda wiwitan, yaitu percaya serta yakin adanya satu kuasa, yakni Batara Tunggal. Masyarakat Baduy



mempercayai bahwa mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci (taneuh titipan) yang menjadi pusat bumi. Sebagai pusat bumi, tanah larangan Baduy tidak boleh rusak; gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak (Rangkuti, 1988). Sejarah mencatat bahwa Amish muncul dari pertentangan kepercayaan di Swiss pada tahun 1693 yang berbuntut pada lahirnya sekte baru yang dipimpin pendeta Jakob Ammann, dari sinilah pengikutnya disebut Amish (Hurst & McConnell, 2010). Pada awal abad ke 18, banyak orang Amish yang berimigrasi ke daerah Pennsylvania dengan berbagai alasan. Amish memiliki dasar kepercayaan dan nilai-nilai yang hampir mirip dengan Baduy, beberapa diantaranya adalah kepercayaan bahwa tanah dan air itu adalah suci sehingga harus dijaga dan tidak boleh dicemari dengan penggunaan teknologi, penduduk memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, menjahit pakaian mereka sendiri dengan pola yang berbeda dengan kelompok manapun, hidup terpisah dengan masyarakat lain, tidak menggunakan benda-benda dengan teknologi tinggi, menekankan kesederhanaan, serta tidak menganggap pendidikan itu penting (Sommers & Napier, 1993; Zercher, 1999). Skizoid dan perilaku menghindar Baduy/Amish Skizoid dalam kamus Oxford diartikan sebagai penolakan atau memiliki tipe kepribadian dengan karakteristik hidup soliter dan ekspresi emosi yang dingin dan datar. Sistim kepercayaan yang sangat kuat dalam Baduy Dalam dan dalam Amish telah menjadi sebuah hirarki sosial yang mengarah ke kepribadian skizoid dan ujungujungnya skizofren dari anggota sukunya. Langkah-langkah prevensi dari menguatnya perilaku skizoid yang bisa berdampak ke skizofrenia dan perilaku psikopat serta antisosial yang memungkinkan pada suku Baduy Dalam adalah dengan memperlunak sistim mereka terutama pada masyarakat Baduy Luar, karena masyarakat Baduy Luar bisa menjadi buffer atau tameng sekaligus penyeimbang antara lestarinya sistim kepercayaan Baduy dan berkurangnya dampak-dampak negatif dari sistim kepercayaan Baduy. Sedangkan pada Amish, prevensi bisa dilakukan dengan melakukan transmigrasi penduduk Amish ke daerah yang lebih bisa menerima kepercayaan serta perilaku mereka.



Kesimpulan



Suku Baduy Dalam adalah salah satu bukti keanekaragaman dari suku bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan yang dimiliki Baduy Dalam dibanding dengan suku lain memiliki dampak positif maupun negatif. Merupakan tanggung jawab dari kita sebagai warga negara Indonesia untuk melestarikan budaya dari Indonesia, dalam hal ini kita dapat membantu untuk meningkatkan hal positif yang ada dalam suku Baduy seperti prinsip melestarikan alam, dan juga membantu mencegah dan mengobati hal-hal yang merusak seperti kecenderungan skizoid dan skizofren dari masyarakat Baduy Dalam yang disebabkan oleh hirarki sosial yang terlalu kaku. Memberikan suplai makanan dan obat-obatan serta mencegah pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang mencoba mencuri hasil hutan adalah salah satu cara untuk menurunkan pressure yang dirasakan oleh warga Baduy Dalam, sehingga kecenderungan untuk mengalami gangguan kepribadian skizoid pun dapat menurun. Melakukan hal yang membangun akan lebih bermanfaat daripada sibuk mendebatkan apakah Baduy Dalam harus segera menerima modernisasi atau tidak.



Kelebihan



Penulis membahas topik yang menarik yaitu mengenai sejarah,pola hidup, kepercayaan dari Suku Baduy Dalam dan Amish yang jarang diketahui oleh banyak orang sehingga mengundang keterterikan untuk membaca penulisan ini. Selain itu, penjelasan juga dikemas dengan baik sehingga mudah dipahami bahkan bagi non-ilmuwan sekalipun Penulis tidak mencantumkan metode penelitian yang digunakan



Kekurangan



Jurnal 10 Judul Jurnal Volume dan Halaman Tahun Penulis Reviewer Pendahuluan



Tujuan Penelitian Subjek Penelitian Metode Penelitian Pembahasan



An Overview of the Meaning of Life for Widows through Photovoice Study in Kupang City Journal of Health and Behavioral Science Vol.3, No.2, June 2021, pp.209-220 Juni 2021 Christianti Rebeca Pombu, Juliana M. Y. Benu, and Indra Yohanes Kiling Sherryn Trienanda Riwu The search for the meaning of life for each individual is different, this is the basic reason for each individual, where the state of life is full of meaning that makes individuals feel happier, more valuable, and has a noble purpose to fulfill (Bastaman, 2007). A widow means a woman who is no longer married because of a divorce or because her husband has died (Big Indonesian Dictionary, 2020). Widows who are divorced are women who do not have a partner and have a status of solitude because they are separated from their husbands because they have died. The status of a widow is not a favorable position for women biologically, psychologically, or sociologically. This condition often invites a bargaining position when dealing with men. Widows are sometimes positioned as helpless, weak, and do not need to be pitied so that in a patriarchal socio-cultural condition there is often justice against women, especially widows (Listya, 2011). This study aims to obtain a picture of the meaning of life for widows by using a voice photo study with thematic analysis. 10 widows with divorce and death who are in Kupang, Indonesia. Voice photo study with thematic analysis. The method in this research consists of the validity of the data through the credibility test (member check) and the data dependability test (audit trail). Characteristics of the Meaning of Life It is necessary to understand some of the special characteristics of the meaning of life according to Bastaman (2007): 1. The meaning of life is unique, personal, and temporary. 2. The meaning of life is specific and real



Kesimpulan



3. The meaning of life provides guidelines and direction for the activities undertaken so that the meaning of life is challenging for someone to fulfill There are activities in life that potentially contain values that enable a person to find meaning in life (Bastaman, 2007), namely: 1. Creative Values (creative values), namely the activities of working, creating, creating, and carrying out duties and obligations as well as possible with full responsibility. Through work and, work we can find the meaning of life and live life. 2. Experiential Values (values of appreciation), namely belief and appreciation of the values of truth, virtue, beauty, faith, religion, and love. Some people find the meaning of their life from the religion they believe in and some spend most of their age pursuing certain arts. 3. Attitudinal Values (attitude values), namely to accept with full fortitude, patience, and courage all forms of suffering that cannot be avoided. Humans cannot change circumstances, but humans can change their attitudes in dealing with every situation. Apart from the values above, other values can make life more meaningful, namely hope. Hope is the belief that good things will happen or change in the future. Hope (although not necessarily the case) provides a new opportunity, solution, or goal that can make someone optimistic and enthusiastic (Bastaman, 2007). According to Bastaman, six components determine the success of the change from living a meaningless life to meaning. The six components include self-understanding (self-insight), the meaning of life, Changing attitudes (namely changes from initially being negative and then changing to positive), self-commitment, directed activities and social support. The six components can be grouped into three groups based on the source of these components : Personal component groups (self-understanding & attitude change), The social component group (social support), Group of value components (the meaning of life, self-commitment, directed activities). Research conducted by Setyowati (2014) on six women who were widows in the Masaran sub-district explained that widows have different meanings of life, where the meaning of life is interpreted by a widow with feelings of pleasure and enjoying her daily life. As for the widow who interprets her life by seeing that life as a good life, always accepts her life's destiny, feels life is fun, accepts sincerely, does not give up on current conditions, keeps trying to live



better, and keeps working for the happiness of herself, her children and family. Besides, the problems faced in life make life more meaningful, life without a partner does not make the subject give up and give up on existing living conditions. Kelebihan This paper is in English so this paper can be be read globally Kekurangan  The author has not found a discussion about the description of the meaning of life for widows using the photovoice technique which was carried out in Kupang City. Research related to the description of the meaning of life in widows with divorce has not been found using the photovoice technique in Kupang City *Due to the reviewer’s lack of English and some other knowledge about writing paper/essays, the reviewer can’t really tell the weakness of this paper and still need to study more to improve or gain more knowledge