Review Buku IKHLASUL MEDYA AJI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Review Buku BERISLAM DI ERA MILENIAL Karya : Khoirul Anwar, M. Ag.



TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Dosen : Drs. Daryono, M.Si.



Oleh : Nama : IKHLASUL MEDYA AJI NIT : 20.56.3032 Hari/Jam : Senin/ 15.30-18.00



KETATALAKSANAAN PELAYARAN NIAGA (KPN) POLITEKNIK BUMI AKPELNI SEMARANG 2020



“HUKUM SUNTIK SAAT PUASA” Suntik atau memasukkan cairan obat ke dalam tubuh dengan menggunakan jarum yang ditusukkan ke kulit pada saat berpuasa hukumnya diperbolehkan, yakni tidak membatalkan puasa. Para ulama ahli fiqih dalam madzab syafi’I seperti ditulis Al-Hisni dalam Kifayah al-Akhyar telah membuat kategori bahwa sesuatu yang masuk ke tubuh bias membatalkan puasa apabila terjadi salah satu dari dua hal. Pertama sesuatu atau benda masuk melalui bagian tubuh yang berlubang (manfadz maftuh), yaitu hidung, telinga, mulut, anus, vagina, penis. Semua benda atau dalam bahasa arab disebut ‘ain (sesuatu yang kasat mata) apabila masuk melalui lubang-lubang tersebut maka dapat membatalkan puasa. Berbeda dengan sesuatu yang tidak kasat mata seperti bau parfum atau bau masakan apabila masuk keanggota tubuh melalui hidung maka tidak membatalkan. Kedua, benda masuk ke perut (jauf) meski bukan melalui anggota berlubang seperti jarum yang ditusuk ke tangan atau dada. Dalan hal ini infus atau memasukkan cairan ke dalam usus (huqah syarajiyyah) dapat membatalkan puasa karena masuk ke dalam perut atau lambung (jauf). Begitu juga dengan tranfusi darah (haqnu ad-dima’) karena inti dari hal ini yaitu memperkuat tubuh sebagimana makanan. Lalu bagaimana dengan suntik? Suntik tidak membatalkan karena cairan obat dimasukkan bukan melalui anggota tubuh yang berlubang, jika tidak masuk ke dalam perut (jauf), melaikan masuk melalui urat atau pembuluh darah vena. Hal ini disamakan dengan orang yang mandi pada siang Ramadhan, meski badan terasa segar karena ada air yang masuk melalui pori-pori namun tidak membatalkan puasa. Pakar fikih kelahiran Damaskus, Muhammad Hassan Hiyou dalam karyanya, Fiqh ashShiyam menulis : “Bagi orang yang berpuasa pada siang Ramadhan boleh berobat dengan disuntik jarum melalui urat pembuluh darah. Hal ini tidak membatalkan puasa, karena obat tidak masuk melalui lubang yang terbuka, juga urat atau pembuluh darah tidak masuk kategori jauf (perut). Orang yang hendak berobat dengan disuntik pada siang Ramadhan tidak batal puasanya.” Pembahasan tentang hal ini berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 183-184 yang berisi perintah melaksanakan puasa (ash-syiyam) pada bulan Ramadha. Puasa artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan. Salah satunya makan dan minum. Dari poin larangan makan dan minum, para ahli fikih kemudian membuat rumusan hukum memasukkan benda ke dalam perut melalui anggota tubuh yang terbuka. Dari sini pembahasan bagaimana jika yang dimasukkan bukan makanan dan minuman, yakni debu atau batu, bensin atau pertamax dan seterusnya, juga bagaimana jika masuknya bukan melalui anggota tubuh yang terbuka, tapi disuntik, dibedah atau yang lainnya, semuanya dikembalikan kepada kategori awal,



yaitu barang yang berupa “benda” (‘ain), masuk ke dalam “perut” atau “lambung” (jauf), dan melalui “anggota tubuh yang terbuka” (manfadz maftuh). Jika terjadi salah satu dari ketiganya maka dapat membatalkan puasa. Pendapat Setuju dalam beberapa kondisi, seseorang membutuhkan suntikan berisi obat untuk kesehatannya. Adapula, yang terbiasa memenuhi kebutuhan vitamin dari suntikan yang dilakukan secara rutin. Pertama menurut Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin : “Suntikan jarum di pembuluh, lengan, maupun paha diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa, karena suntikan tidaklah termasuk pembatal dan juga tidak bisa disamakan dengan pembatal puasa. Sebabnya, suntikan bukanlah termasuk makan dan minum, juga tidak bisa disamakan dengan makan dan minum …. Yang bisa membatalkan puasa adalah suntikan untuk orang sakit yang menggantikan makan dan minum (infus).” Kedua menurut Al-Allammah al-Habib Abdullah bin Mahfudz Al-Hadad dalam Kitab Fatawa Ramadhan menyatakan bahwa uasa akan batal jika suntikan dilakukan melalui urat atau pembukuhg darah sedangkan suntukan yang dilakukan melalui masa otot tidak akan mebatalkan puasa. Ketiga menurut Ulama bagian Fatwa negara Dubai dalam kitab Fatawa syar’iyah menyatakan bahwa infus maupun suntukan yang dinyatakan untuk pengobatan tidak membatalkan puasa sedangkan infus maupun suntukan gizi akan mebatalkan puasa. Sumber https://www.google.com/search? q=hukum+suntik+saat+puasa&oq=hukum+sutik+&aqs=chrome.2.69i57j0i13l7.6578j0j7&sourceid =chrome&ie=UTF-8 https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-suntik-saat-puasa https://www.suara.com/health/2020/04/29/050000/apakah-disuntik-dapat-membatalkan-puasa? page=all



“HUKUM SHALAT DI DALAM GEREJA” Salah satu dari 5 syarat sahnya shalat yang harus di penuhi yaitu dilakukan ditempat yang suci, baik tempat yang berada di rumah, kantor, tempat kerja, mushola, masjid, atau lainnya. Adapun 4 syarat lainnya yaitu : 1. Suci dari hadats kecil dan besar. 2. Menutup aurat. 3. Mengetahui waktu shalat telah masuk. 4. Menghadap khiblat. Persoalan datang ketika seseorang sedang berada di gereja, seperti sedang mengikuti acara di gereja kemudian masuk waktu shalat, sedang bekerja disekitar gereja lalu adzan berkumandang atau alasan-alasan lainnya, sementara masjid atau musolla jauh dari tempat ia berada. Dalam keadaan seperti ini, bolehkah seorang muslim shalat di dalam gereja ?. Ibnu Qudamah (w. 620 H), pakar fiqih dari madzhab Hanbali dalam karyanya, Al-Mughni, menjelaskan: “Tidak masalah shalat di dalam gereja yang suci. Hasan Bashri, Umar bin Abdil Aziz, AsySya’bi, Al-Auza’i, Sa’id bin Abdil Aziz telah memperbolehkan shalat di dalam gereja. Demikian juga



diinformasikan



bahwa



Umar



bin



Khathab



dan



Abi



Musa



al-Asy’ari



juga



memperbolehkannya”. Sedangkan menurut Ibnu Abbas, Malik, madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, shalat di dalam gereja hukumnya makruh, alasanya karena di dalam gereja ada banyak gambar (ash-shuwar). Pendapat ini dimentahkan Ibnu Qudamah dan para sarjana fikih madzhab Hanbali lainnya dengan menyampaikan bukti sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menjalankan shalat di dalam Ka’bah yang saat itu banyak gambar dan patung. Para sarjana fikih yang menghukumi makruh menganggap bahwa gereja adalah tempat setan (ma’wa asy-syayathin) karena di dalamnya ada banyak gambar dan patung. Pandangan demikian juga berlaku untuk tempat-tempat lain yang kerap digunakan maksiat. Jika mengacu pada pendapat yang menganggap bahwa setan dapat berkumpul di tempat yang di dalamnya kemaksiatan dilakukan,maka tempat-tempat lain yang secara lahiriah menjadi “tempat ibadah umat Islam” tapi digunakan untuk hal-hal yang dilarang agama, seperti menggunjing, menebar kebencian, atau rapat untuk memecah belah persaudaraan antarumat dan bangsa juga dapat dihukumi makruh shalat didalamnya. Demikian juga kantor yang digunakan untuk



korupsi, tempat kerja yang digunakn untuk



maksiat, dan yang lainnya hukumnya makruh shalat didalamnya, karena menjadi tempat berkumpulnya setan. Tapi, tidak demikian. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, shalat mesti menjadi ibadah yang bersifat lahiriah, yakni dikerjakan oeh anggota tubuh



(a’mal al-jawarih), namun erat kaitannya dengan anggota batin dalam mencapai khusyu’ merupakan hal yang paling inti di dalam shalat. Al-Ghazali menyebutnya “ruh” atau “esensi shalat”. Kendati khusyu’ oleh para sarjana hukum Islam (faquha’) tidak menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, namun kata al-Ghazali tidak boleh dikesampingkan, minimal ketika takbiratul ihram. Pembahasan tentang khusyu’ (a’mal al-qulub) sengaja disampaikan di sini untuk menjadi pertimbangan bahwa di dalam shalat ada hal lain yang lebih penting dari tempat, yaitu khusyu’. Asalkan tempatnya suci, entah di gereja, sinagoge, sanggar, kantor, rumah sendiri, rumah orang kristen, rumah orang Khonghucu, rumah orang Budha atau yang lain maka sah-sah saja meski disekitarnya ada banyak gambar, patung, salib, atau lukisan. Selan suci, lebih penting lagi dimanapun tempatnya, tetap bisa menghadirkanhati di hadapan Allah atau khusyu’. Izin Pengurus Hukum diperbolehkan shalat di dalam gereja atau rumah ibadah milik non muslim lainnya harus disertai izin dari pengurus rumah ibadahnya. Apabila pengurus gereja tidak mengizinkan seorang Muslim masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya tidak diperbolehkan. Alasannya, non muslim yang dalam lieratur fikih klasik disebut “ahlu adz-dzimmah” “orang yang harus dilindungi umat Islam) memiliki hak untuk melarang orang Islam masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya. Izin disini bisa melalui ucapan verbal secara langsung dari pengurus gereja atau berdasarkan kebiasaan (ma ‘urifa bi idznihim), yakni gereja atau rumah ibadah non muslim bisa digunakan untuk shalat bagi tamu atau oranng-orang Islam yang sedang beraktivitas di sekitarnya. Pendapat : Sesungguhnya Allah pun tidak melarang kita dari menjaga hubungan baik dengan nonMuslim, bertukar hadiah atau tindakan perlakuan baik lainnya seperti sholat di gereja. Allah SWT berfirman, "Allah tidak melarang kamu untuk ber buat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyu kai orang-orang yang berlaku adil...." Telah dinukil ijma ulama bahwa orang yang shalat di gereja pada tempat yang suci (tidak terdapat najis) maka hukumnya boleh dan shalatnya sah. Ijma ini dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab At Tamhid (5/229). Namun yang benar, pada masalah ini terdapat khilaf (tidak ada ijma’) dalam tiga pendapat: Pendapat pertama, makruh shalat di gereja karena di dalamnya ada patung. Pendapat ini dinukil dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, Imam Malik, mazhab Syafi’iyyah, Hambali . Alasannya, karena di gereja terdapat patung (atau gambar makhluk hidup).



Pendapat kedua, boleh shalat di gereja. Ini adalah pendapat Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Ast-Sya’bi. Merupakan mazhab Hanabilah. Dengan syarat tidak ada patung (atau gambar makhluk hidup) di dalamnya. Pendapat ketiga, haram shalat di gereja karena merupakan tempatnya setan-setan. Shalat di gereja merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka. Ini adalah pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah. Dan pendapat yang lebih kuat yaitu di makruhkan shalat di gereja jika ada patung-patung. Jika tidak ada patung maka hukumnya mubah. Akan tetapi tidak boleh bagi seseorang meninggalkan shalat di Masjid dengan maksud ingin shalat di gereja, karena ini tidak boleh. Maka yang wajib, jika menemukan masjid hendaknya shalat di sana dan janganlah berpaling ke yang lain. Allah Ta’ala berfirman : “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. Annur: 36) Sumber : https://muslim.or.id/20097-fatwa-ulama-bolehlah-shalat-di-gereja-ketika-tidak-ada-masjid.html



“HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL” Dalam QS. Al-Mumtahanah 8 dinyatakan bahwa Allah tida melarang umat Islam untuk berbuat baik (an tabarruhum) dan berlaku adil (wa tuqsithu ilaihim) terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak mengusir dari tempat tinggalnya. Ath-Thabari (w. 923) dalam karya tafsirnya, jami’u al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, menafsirkan ayat diatas sebagai ajaran Islam yang memperbolehkan seorang muslim berbuat baik, menyambungkan persaudaraan dan berlaku adil kepada semua penganut agama (jami’ ashnaf almilal wa al-adyan). Berbuat baik kepada non muslim hukumnya tidak haram, baik non muslim yang memiliki ikatan keluarga (qarabah) maupun bukan. Mengucap selamat Natal (tahni’ah bi’idi miladi al-masih) bagian dari berbuat baik kepada non muslim, atau dalam isilah Mushthafa Az-Zarqa (w.1938), pakar hukum Islam asal Syiria, bagian dari berinteraksi dengan cara baik (min qabili al-mujamalah wa al-muhasanah fi mu’asyaratihim). Karena itu hukum mengucap selamat Natal diperbolehkan, bahka dianjurkan demi menebarkan kebaikan dan merawat persaudaraan lintas agama. Dalam ayat diatas, perintah berbuat baik kepada para penganut agama lain diungkapkan dengan kata “an tabarruhum”, derivasi dari kata “al-birr”. Menurut Ibnu Mandhur dalam Lisanu al-‘Arab, kata “al-birr” memiliki makna “kejujuran” dan “kepatuhan” (ash-shidq wa ath-tha’ah). Dalam hadis, perintah berbakti kepada orang tua juga disebut dengan kata serupa, yakni “birru al-walidain”. Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya sahabatnya tentang makna “al-birr”, Nabi Muhammad SAW menjawab : “Berbakti adalah beretika baik” (Al-birru husnu al-khuluq). (HR. Muslim No. 2553). Dari sini dapat dipahami bahwa semangat al-Quran dalam memerintakan berbuat baik kepada penganut agama lain harus dilakukan dengan sepenuh hati, bukan dengan keterpaksaan atau kepura-puraan. Bukan Soal Akidah Mengucapkan selamat Natal jika dimasukkan ke dalam kategori ajaran Islam, maka masuk bab “mu’amalah” atau ajaran agama yang mengatur hubungan antar sesama, yakni tidak ada hubungannya dengan akidah atau membenarkan keyakinan non muslim. Dalam hadis diceritakan, ketika jenazah Yahudi yang hendak dimakamkan diusung di depan Nabi Muhammad SAW, nabi segera berdiri sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Menurut AzZarqa, apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam menghormati jenazah Yahudi bukan berarati membenarkan keyakinannya, melainkan perwujudan dalam menerapkan interaksi antar sesama dengan cara yang sebaik-baiknya.



Dalam Islam, perbedaan agama bukan menjadi penghalang seseorang dalam berinteraksi, melainkan sebagai keberagaman yang sudah menjadi titah Allah yang seorang muslim harus menerimanya dengan lapang dada (tasamuh). Dalam berinteraksi, Islam menngajarkan supaya mengedepankan akhlaqul karimah atau dalam bahasa al-Quran “an-taburruhum wa tuqsithu ilaihim” dengan cara tidak menyakiti, membahagiakan, tolong-menolong, bijaksana, rendah hati dan perilaku terpuji lainnya. Berasarkan QS. Al-Mumtahanah 8 berikut tafsiranya di atas, umat Islam yang memiliki teman, kolega, saudara atau keluarga yang hendak merayakan Natal tidak perlu ragu untuk menyampaikan “tahni’ah” atau ucapan selamat Natal kepadanya. Hal ini bukan perbuatan haram, tapi dianjurkan demi menunaikan ajaran Islam yang memerintahkan berbuat baik kepada sesama (husnu al-khuluq) serta menjaga persudaraan dalam perbedaan. Pendapat : Setuju, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah dan akhlak. Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah ldi dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8) Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan. Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa



sallam). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657) Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal. Sumber : https://dppai.uii.ac.id/al-rasikh-hukum-ucapan-natal-saiful-aziz-albantany/



“PANCASILA SEBAGAI IDENTITAS MUSLIM INDONESIA” Beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia dikejutkan oleh ormas keislaman yang anti terhadap Pancasila. Bagi ormas yang kini sudah dibubarkan pemerintah, Pancasila dianggap keluar dari dan bertentangan dengan ajaran Islam, atau dalam bahasa mereka “Pancasila adalah ajaran thaghut”. Umat Islam Indonesia yang berpandangan seperti itu sebenarnya tidak hanya yang tergabung di dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saja, tapi ada yang tidak berorganisasi dan ada yang bergabung dengan ormas-ormas lainnya. terutama yang kerap memberikan “stempel” sesat dan kafir terhadap sesama muslim yang memiliki pemahaman keagamaan berbeda. Salah satu ciri lain dari muslim yang anti Pancasila yaitu tidak mau menghormati bendera, mengharamkan berdiri sebagai perwujudan rasa hormat saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan identitas nasional bangsa ini. Mengamati paham keagamaan seorang muslim seperti di atas, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ia belum selesai dalam mentransformasi ajaran-ajaran Islam yang diyakininya dalam konteks beragama dan bernegara. Isi Pancasila sendiri jika dikaji dengan pendekatan "Qur’ani”, maka tidak ada satu sila pun yang bertentangan dengan al-Quran. Yang ada sebaliknya, Pancasila justru sangat Qur’ani. Misalnya, sila pertama sesuai dengan QS. Al Ikhlas 1, sila kedua selaras dengan QS. Al Isra’ 70, sila ketiga seirama dengan QS. Al Hujarat 13, sila keempat sesuai dengan QS. Asy-Syu’ara, dan sila kelima semakna dengan QS. An - Nahl 71. Memang seorang muslim bisa saja menafsirkan ayat-ayat di atas ke makna lain, juga sah-sah saja menggali makna di dalam Al - Quran hingga berkesimpulan bahwa Pancasila bertentangan dengan al-Quran. Tapi persoalannya, bukankah al-Quran dalam banyak ayat menyerukan penghormatan terhadap manusia dan mementingkan persatuan daripada perpecahan? Bukankah al Quran menegaskan bahwa misi kenabian adalah untuk memberikan rahmat atau kasih sayang kepada semesta alam? Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa dirinya diutus untuk merahmati bukan me-“laknati”? “Inni lam ubats laanan, wa innama bu itstu rahmatan (Aku diutus bukan untuk mengutuk, tapi untuk menebar kasih sayang kepada semesta alam),” kata Nabi SAW. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, nabi mengadakan kesepakatan hidup bersama dengan banyak komunitas lintas agama dan suku dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (al-insaniyyah), keadilan (‘adl), kesetaraan nilai kemanusiaan (al-musawah), dan kebebasan (al-hurriyyah). Kontrak sosial ini disebut dengan “al-watsiqdh al-madinah" (Piagam Madinah).



Madinah yang oleh Sayyid Mahmudd al-Qimni dalam karyanya, Al-hizbu al-Hasyimi wa Ta‘sisu ad-Daulah al- Islamiyyah, dikatakan sebagai “negara Nabi Muhammad” itu diceritakan oleh Ahmad Shubhi Manshfir dalam bukunya, Al-Hisbah Dirasah Ushuliyah Tarikhiyah, sebagai berikut : “Negara nabi berdiri di atas demokrasi (asy-syurd), kebebasan (al-hurriyyah), dan keadilan (al-‘adl). Namun seiring berjalannya waktu setelah memasuki Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kekuasaan dibangun di atas pondasi kekerasan dan kezaliman.” Kesimpulan Manshfir dalam mengilustrasikan “Negara Madinah” itu mirip dengan kondisi negara yang diidealkan dalam masyarakat Iawa, yaitu ‘jgemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja” atau pinjam istilah al-Quran “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafflr". Kendati “Negara Madinah” sejahtera, namun Nabi SAW tetap menyimpan agenda untuk bersaing atau bahkan menaklukkan negara-negara digdaya saat itu, yakni Persi dan Romawi. Cita-cita Nabi Muhammad SAW ini disampaikan sejak awal menerima risalah kenabian ketika masih berada di Makkah. Citacita itu tersebut dalam hadis yang berbunyi: “Latumlakanna kunuzu kisra wa qaishar (Kelak kekayaan Persi dan Romawi akan kita kuasai). Dalam membangun kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara Nabi SAW selalu memperhatikan identitas nasionalnya sebagai bentuk perlawanan terhadap dan pembeda dengan komunitas yang zalim melalui seruannya kepada para sahabatnya untuk tidak meniru “gaya” komunitas itu. Nabi SAW Bersabda : “Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian darinya).” Perkataan Nabi SAW yang biasa diistilahkan dengan “hadis tasyabbuh" ini disampaikan dalam konteks persaingan “global”. Bagi Nabi SAW, sebuah bangsa harus memiliki identitas tersendiri yang membedakannya dengan komunitas lain yang perilakunya tidak patut ditiru. Di Nusantara “hadis tasyabbuh” pernah dipraktikkan para kiai saat melawan penjajah melalui larangan menggunakan jas dan dasi yang saat itu menjadi identitas penjajah. Selain itu, para kiai yang kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama itu juga menanamkan kecintaan terhadap tanah air kepada masyarakat melalui pernyataan (menurut sebagian ulama, ungkapan ini sebagai “hadis”) berupa “hubbu al-wathan minaal iman (Cinta tanah air bagian dari iman)”. Pernyataan bahwa cinta tanah air sebagian dari iman meniscayakan bahwa seorang muslim belum sempurna keimanannya jika tidak mencintai tanah airnya sendiri. Ini bagian dari ijtihad politik para ulama saat itu yang sangat luar biasa dalam mendidik masyarakat supaya menjadi seorang muslim yang nasionalis (100% Muslim, 100% Indonesia), atau lebih tegas lagi seperti yang sering disampaikan KH. Ahmad Mustofa Bisri, “Kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang beracla di Indonesia”.



Lalu hagaimana dengan Pancasila sebagai identitas muslim Indonesia? Jika Pancsila tidak bertentangan dengan lslam, Pancasila justru sangat Qur‘ani, dan sebuah bangsa harus memiliki dun menjunjung tinggi identilias nasional, maka Pancasila adalah identitas untuk muslim Indonesia. Menjadi muslim 100%, dalam waktu bersamaan menjadi warga Indonesia yang Pancasilais 100%. Pendapat : Setuju karena pada dasarnya orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk. Pertama agama sebagai ideologi, yang didukung oleh mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syari’ah dalam konteks Islam) secara formal sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan bisa menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang majemuk. Apalagi secara umum kelompok ini memiliki sikap yang absolutis dan eksklusif dalam beragama, di samping kadang-kadang melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita mereka. Pertama, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral agama (religio-ethics), dan menolak formalisasi agama dalam konteks kehidupan bernegara. Posisi agama sebagai sumber pembentukan etika-moral ini dimaksudkan agar bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika-moral, tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-kadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.Di satu sisi orientasi ini membawa hal yang positif, karena dapat menghilangkan ketegangan antara kelompok Islam dengan kelompok-kelompok lain serta sangat kondusif bagi terwujudnya integrasi bangsa yang mejemuk ini. Namun di sisi lain, orientasi ini tidak cukup akomodatif terhadap aspirasi umat agama tertentu yang berupaya sedapat mungkin melaksanakan ajaran agama sepenuhnya. Kedua, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber ideologi jika kata “sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Orientasi pertama memang sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal



yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi Pancasila. Menurut Ustadz Adian Husaini lewat bukunya “Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”. Dalam buku ini Ustadz Adian mencoba menjelaskan timbulnya kesalahpahaman kalangan Kristen dan nasionalis sekuler mengenai aspirasi penegakan syari’ah dan juga pemahaman yang ‘tepat’ atas Pancasila dari sudut pandang Islam. Selain itu tidak lupa ia pun mengingatkan umat Islam bahwa perjuangan Islam di Nusantara belum berakhir dan bahwa tugas generasi kaum Muslimin hari ini adalah melanjutkan perjuangan generasi terdahulu dengan cara membangun budaya ilmu yang merupakan fondasi utama dari sebuah peradaban. Cendekiawan Muslim yang produktif dalam menulis ini mengingatkan bahwa untuk membangun peradaban tidak cukup hanya dengan meraih kekuasaan melainkan justru harus dimulai dengan membangun budaya ilmu, terutama sekali meluruskan kekeliruan mengenai konsep ilmu itu sendiri. Sumber : https://www.google.com/search?safe=strict&sxsrf=ALeKk02tIkK7_NAJXooS-Ms06GFeeVpisg %3A1604549606842&ei=5nujX-PMo_az7sPtrCeCA&q=hukum+tentang+PANCASILA+SEBAGAI+IDENTITAS+MUSLIM+INDO NESIA&oq=hukum+tentang+PANCASILA+SEBAGAI+IDENTITAS+MUSLIM+INDONESIA& gs_lcp=CgZwc3ktYWIQAzoECAAQR1DCwxhY_d0YYOXgGGgAcAR4AIABY4gBhgKSAQEz mAEAoAECoAEBqgEHZ3dzLXdpesgBCMABAQ&sclient=psyab&ved=0ahUKEwjjidyKxersAhUP7XMBHTaYBwEQ4dUDCAw&uact=5 http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667 https://www.kompasiana.com/adif_fahrizal/552dffd46ea83499168b45a6/islam-pancasila-danmasa-depan-indonesia



DAFTAR PUSTAKA Khoirul Anwar, Berislam di Era Milenial, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA): 2020 https://www.kompasiana.com/adif_fahrizal/552dffd46ea83499168b45a6/islam-pancasila-dan-masadepan-indonesia http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667 https://www.kompasiana.com/adif_fahrizal/552dffd46ea83499168b45a6/islam-pancasila-danmasa-depan-indonesia https://dppai.uii.ac.id/al-rasikh-hukum-ucapan-natal-saiful-aziz-albantany/ https://muslim.or.id/20097-fatwa-ulama-bolehlah-shalat-di-gereja-ketika-tidak-ada-masjid.html