Sap Gondok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SATUAN ACARA PENYULUHAN Pokok Bahasan



: Struma (Gondok)



Sub Pokok Bahasan



: Pencegahan pada penyakit gondok



Sasaran



: Orang tua dan anak-anak



Waktu



: 1 x 30 menit



Tanggal



: 19 Maret 2017



Tempat



: Puskesmas Pal 5



Nama Penyuluh I.



: Wahyu Nasrullah



Latar Belakang Struma (gondok) atau disebut juga dengan goiter dan penyakit graves merupakan suatu kondisi yang dapat dideteksi melalui produksi hormon tiroid yang berlebihan. Hormon tiroid akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan berbagai proses-proses di dalam sel. Hormon tiroid yang abnormal akan mempengaruhi berbagai fungsi pada organ tubuh seseorang (Martha & Milvita, 2014). Struma (gondok) sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang sekali mengandung iodium. Daerah-daerah di mana banyak terdapat struma endemik yaitu di negara Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes dan Himalaya yang mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di Indonesia, orang yang menderita struma (gondok) banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan Sulawesi. Berdasarakan penelitian Juan di Spanyol (2004) terhadap 634 orang yang berusia 55-91 tahun, setelah diperiksa dan ditemukan 325 orang (51,3 %) mengalami goiter multinodular non toxic, 151 orang (23,8 %) goiter multinodular toxic, 27 orang (4,3%) Graves disease, dan 8 orang (1,3 %) simple goiter.



II.



Tujuan Intruksional Umum Setelah diberikan pendidikan kesehatan selama 30 menit, diharapkan keluarga yang tinggal di Desa Pal 5 mampu memahami tentang penyakit struma (gondok).



III.



Tujuan Instruksional Khusus Setelah



diberikan



pendidikan



kesehatan



selama



diharapakan klien dapat: 1. Untuk menjelaskan pengertian struma (gondok). 2. Untuk menyebutkan penyebab struma (gondok). 3. Untuk menyebutkan jenis-jenis struma (gondok). 4. Untuk menjelaskan patofisiologi struma (gondok). 5. Untuk menjelaskan tanda dan gejala struma (gondok). 6. Untuk menjelaskan penatalaksanaan struma (gondok). 7. Untuk menjelaskan konsep pencegahan struma (gondok). IV.



Materi Terlampir



V.



Metode 1. Ceramah 2. Diskusi



VI.



Strategi Pembelajaran



30



menit,



Kegiatan Penceramah 1. Mengucapkan



Kegiatan Responden



Waktu



salam Menjawab salam



Media -



dan memperkenalkan diri. 2. Menjelaskan umum



tujuan



dan



Mendengarkan penjelasan



tujuan



khusus penkes. 3. Melakukan kontrak Pendahuluan



waktu dan memotivasi klien



-



untuk



Memperhatikan penjelasan



5 menit



-



aktif



dalam diskusi. 4. Apersepsi tentang struma



(gondok) Mengungkapkan



Power Point



kepada klien.



pemahaman atau istilah



(Terlampir)



5. Memberikan



lain yang klien ketahui Mendengarkan dan



Power Point



tentang memperhatikan penjelasan



(Terlampir)



penjelasan definisi,



penyebab,



klasifikasi, patofisiologi, dan Isi



tanda gejala,



penatalaksanaan, serta konsep



20 menit



pencegahan



struma (gondok). 6. Memberikan kesempatan



Bertanya



-



Aktif dalam diskusi



-



kepada



klien untuk bertanya. 7. Berdiskusi dan tanya jawab. Penutup



8. Menyimpulkan penkes (gondok). 9. Memberikan



hasil Memahami kesimpulan



5 menit



-



struma Mendengarkan penjelasan



-



reinforcement



positif



dan memotivasi klien untuk



menjaga



kesehatan. 10. Menutup



kegiatan



dan salam.



mengucapkan



Menjawab salam



-



VII. Setting Tempat



Moderator LCD/Proyektor Penyuluh Peserta Fasilitator Observer



Keterangan :



VIII.



Pengorganisasian 1. Moderator 2. Penyuluh 3. Fasilitator 4. Observer



IX.



Pembagian Tugas 1. Moderator 2. Penyuluh 3. Fasilitator 4. Observer



X.



: Rizki Nurfitri : Wahyu Nasrullah : Oktaviani Fenti Astuti dan Nurul Hafiza : Ericha Rizki Ridhowati



Evaluasi 1. Jelaskan pengertian struma (gondok)? 2. Sebutkan penyebab-penyebab struma (gondok)? 3. Sebutkan klasifikasi struma (gondok)? 4. Jelaskan patofisiologi struma (gondok)? 5. Jelaskan tanda dan gejala struma (gondok)? 6. Jelaskan penatalaksanaan struma (gondok)? 7. Jelaskan konsep pencegahan struma (gondok)?



STRUMA (GONDOK) A.



DEFINISI Struma



(gondok)



disebut



juga goiter



yang merupakan



suatu



pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan



susunan kelenjar dan morfologinya. Struma (gondok) adalah reaksi adaptasi terhadap kekurangan iodium yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid. (Djoko Moelianto, 1993). Dampak struma (gondok) terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esofagus. Struma (gondok) dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esofagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia (kesulitan menelan). B.



ETIOLOGI Berbagai faktor diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya hipertropi kelenjar tiroid (struma) termasuk di dalamnya terjadi defisiensi iodium, goitrogenik glikosida agent (zat atau bahan ini dapat mensekresi hormon tiroid) seperti ubi kayu, jagung, lobak, kangkung, kubis bila dikonsumsi secara berlebihan, obat-obatan anti tiroid, anomali, peradangan dan tumor (neoplasma). Struma dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus tinggi karena. tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT. Struma (gondok) yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH. Penyebab Goiter adalah: 1) Auto-imun (dimana tubuh menghasilkan antibody yang menyerang komponen spesifik pada jaringan tersebut)



Tiroiditis hasimoto’s juga disebut tiroiditis autoimun, terjadi akibat adanya auto-antibodi yang merusak jaringan kelenjar tiroid. Hal ini menyebabkan penurunan HT disertai peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang minimal, Penyebab tiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan genetik untuk mengidap penyakit ini. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan struma (gondok) terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi. Penyakit graves yaitu penyakit struma dengan adanya sistem kekebalan tubuh menghasilkan satu protein, yang disebut



tiroid



stimulating imunoglobulin (TSI). Seperti dengan TSH, TSI merangsang kelenjar tiroid untuk memperbesar memproduksi sebuah gondok. 2) Penyebab kedua tersering adalah pengobatan terhadap strumaisme baik iodium



radioaktif



maupun



pembedahan



cenderung



menyebabkan



pembesaran kelenjar tiroid. 3) Obat-obatan tertentu yang dapat menekan produksi hormon tiroid. 4) Peningkatan Thyroid Stimulating Hormone (TSH) sebagai akibat dari kecacatan dalam sintesis hormon normal dalam kelenjar tiroid 5) Gondok endemik adalah struma (gondok) akibat defisiensi iodium dalam makanan. Struma (gondok) adalah pembesaran kelenjar tiroid. Pada defisiensi iodium terjadi gondok karena sel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik dalarn usaha untuk menyerap semua iodium yang tersisa dalam darah. Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH yang tinggi karena minimnya umpan balik. Kekurangan iodium jangka panjang dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa). 6) Kurang iodium dalam diet, sehingga kinerja kelenjar tiroid berkurang dan menyebabkan pembengkakan. Iodium sendiri dibutuhkan untuk membentuk hormon tiroid yang nantinya akan diserap di usus dan disirkulasikan menuju beberapa kelenjar. Kelenjar tersebut diantaranya: 



Choroid







Ciliary body







Kelenjar mammae







Plasenta







Kelenjar air ludah







Mukosa lambung







Intenstinum tenue







Kelenjar gondok



Sebagian besar unsur iodium ini dimanfaatkan di kelenjar tiroid. Jika kadar iodium di dalam kelenjar tiroid kurang, dipastikan seseorang akan mengidap penyakit struma (gondok). 7) Beberapa disebabkan oleh tumor (baik ganas maupun jinak) Multinodular gondok yaitu individu dengan gangguan ini memiliki



satu



atau lebih nodul di dalam kelenjar tiroid yang



menyebabkan pembesaran. Hal ini sering terdeteksi sebagai nodular pada kelenjar perasaan pemeriksaan fisik. Pasien dapat hadir dengan nodul tunggal yang besar dengan nodul kecil di kelenjar, atau mungkin tampil sebagai nodul beberapa ketika pertama kali terdeteksi. Kanker tiroid dapat ditemukan dalam nodul tiroid meskipun kurang dari 5 persen dari nodul adalah kanker. Sebuah gondok tanpa nodul bukan merupakan resiko terhadap kanker. Karsinoma tiroid dapat terjadi, tetapi tidak selalu, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Namun, terapi untuk kanker yang jarang dijumpai ini antara lain adalah tiroidektomi, pemberian obat penekan TSH, atau terapi iodium radioaktif untuk menghancurkan jaringan tiroid. Semua pengobatan ini dapat menyebabkan struma (gondok). Pajanan ke radiasi, terutama masa anakanak, adalah penyebab kanker tiroid. Defisiensi iodium juga dapat meningkatkan resiko pembentukan kanker tiroid karena hal tersebut merangsang proliferasi dan hiperplasia sel tiroid. 8) Kerusakan genetik, yang lain terkait dengan luka atau infeksi di tiroid Tiroiditis merupakan peradangan dari kelenjar tiroid sendiri dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar tiroid. 9) Kehamilan



Sebuah hormon yang disekresi selama kehamilan yaitu gonadotropin dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. C.



KLASIFIKASI 1.



Berdasarkan Fisiologis Berdasakan fisiologisnya struma (gondok) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Eutiroidisme Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea. Hipotiroidisme Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.



Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, demensia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara. Hipertiroidisme Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau penyakit Graves yang dapat didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. 2.



Berdasarkan Klinis Berdasarkan pemeriksaan klinis struma (gondok) dapat dibedakan menjadi sebagai berikut: Struma Toksik Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma



diffusa



toksik



(tiroktosikosis)



merupakan



hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun



telah diidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik seperti adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal. Struma Non Toksik Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung iodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi iodium



urin. Dalam keadaan seimbang maka iodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 % D.



PATOFISIOLOGI Struma (gondok) terjadi akibat kekurangan iodium yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan iodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan hormon T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).



E.



MANIFESTASI KLINIS Gejala utama dari penyakit struma (gondok) yaitu sebagai berikut: 1. Pembengkakan, mulai dari ukuran sebuah nodul kecil untuk sebuah benjolan besar, di bagian depan leher tepat di bawah Adam’s apple. 2. Perasaan sesak di daerah tenggorokan. 3. Kesulitan bernapas (sesak napas), batuk, timbul suara mengi (karena kompresi batang tenggorokan). 4. Kesulitan menelan (disfagia) karena kompresi dari esofagus.



5. Suara serak. 6. Distensi vena leher. 7. Pusing ketika lengan dibangkitkan di atas kepala 8. Kelainan fisik (leher tidak simetris) Dapat juga terdapat gejala lain dari struma (gondok), diantaranya: 1. Peningkatan denyut nadi 2. Detak jantung meningkat 3. Struma (gondok), mual, dan muntah 4. Berkeringat tanpa latihan 5. Agitasi F.



PENATALAKSANAAN 1.







Diet untuk pasien struma Makanan yang mengandung yodium seperti garam meja (garam







dapur), seafood, supplemen yang mengandung yodium. Makanan yang mengandung rendah gula, karena dapat mengontrol produksi insulin dalam tubuh. Makan makanan seperti ice cream, permen adalah makanan yang mengandung kadar gula tinggi, tapi tidak hanya itu, masih ada makanan lain yang mengandung kadar gula







tinggi seperti wortel, jagung, roti, beras putih, kentang. Makanan yang rendah protein seperti seafood, daging yang berwarna







putih, dan telur. Makanan yang banyak mengandung serat seperti gandum, apel,







kacang merah, dan sayuran berdaun hijau. Vitamin dan mineral yaitu zink dan selenium.



Hindari makan kacang-kacangan, karena kacang-kacangan merupakan makanan yang bersifat goitrogenik, tapi efek tersebut berkurang apabila kacang tersebut sudah dimasak atau diolah.



2.



Farmakologi untuk pasien struma: PTU, anti tiroid, tiroksin, garam yodium  Obat jenis asetaminopen



- Pemberian beta-bloker Propanolol secara intravena dosis yang diberikan adalah 1 mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 60-80mg/4mg secara oral atau melalui NGT. - Pemberian tionamide seperti methimazole 30mg/6jam atau PTU



200mg/4jam secara oral atau NGT untuk memblok sintesis 



hormon. Larutan lugol 10tetes/8jam secara oral - Glucocorticoid 100mg/8jam secara intravena







Obat antitiroid: golongan tionamid Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. -



Mekanisme Kerja Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.



- Dosis Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan



metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. -



Efek Samping Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya



efek



samping,



yaitu



agranulositosis



(metimazol



mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. - Evaluasi Evaluasi



pengobatan



perlu



dilakukan



secara teratur



mengingat penyakit Graves (struma) adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali per bulan untuk menilai



perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan



keadaan eutiroid,



dan kemudian evaluasi



dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata. 



Obat Golongan Penyekat Beta Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat



bermanfaat



untuk



mengendalikan



manifestasi



klinis



tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga bias sedikit menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol. Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan



bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase. G.



PENCEGAHAN 1.



Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah: 1. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam iodium. 2. Mengonsumsi makanan yang merupakan sumber iodium seperti ikan laut. 3. Mengonsumsi iodium dengan cara memberikan garam beriodium setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya iodium dari makanan 4. Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan iodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, iodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan iodida dalam sediaan air minum. 5. Memberikan kapsul minyak beriodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin. 6. Memberikan suntikan iodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun sebanyak 0,2-0,8 cc. 7. Hindari



mengonsumsi



secara



berlebihan



makanan-makanan



yang mengandung goitrogenik glikosida agent yang dapat menekan



sekresi hormon tiroid seperti ubi kayu, jagung, sayur lobak, kangkung, dan kubis. 2.



Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit, mengupayakan



orang



yang



telah



sakit agar



sembuh,



menghambat progresifitas penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu:  Inspeksi Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan ada saat pasien diminta untuk menelan dan palpasi pada permukaan yang mengalami pembengkakan.  Palpasi Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.  Tes Fungsi Hormon Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triiodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (strumaisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian



pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan iodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah iodida.  Foto Rontgen Leher Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma yang telah menekan atau menyumbat trakea (jalan napas).  Ultrasonografi (USG) Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.  Sidikan (Scan) tiroid Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama



technetium-99m



dan



iodium



125



/iodium



131



ke



dalam



pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.  Biopsi Aspirasi Jarum Halus Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan



bahaya



penyebaran



sel-sel



ganas.



Kerugian



pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi. 3.



Pencegahan Tersier Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:







Setelah



pengobatan



diperlukan



kontrol



teratur/berkala



untuk



memastikan dan mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran. 



Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan.







Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.



DAFTAR PUSTAKA Daucgh, P. (2002). At Glance Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Erlanga Medicine. Djokomoeljanto, R. (2006). Buku Ajar Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme, Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI. Johan, S. M. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Nodul tiroid, Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI. Martha, R.D., & Milvita, D. (2014). Penentuan Biodistribusi Tc 99m Perteknetat Menggunakan Teknik Roi pada Pasien Hipertiroid (Struma Difusa). Jurnal Fisika Unand, 3(1): 37-40. Sjamsuhidayat, R. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Tambayong. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.