Segala Masa Lalu Kita: - Tia Widiana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Segala Masa Lalu Kita Tia Widiana



“His love roared louder than her demons.”



2|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Act 1 1 Emma tidak ingat apakah Indra memang seperti ini. Tatapan matanya teduh, tapi Emma bisa merasakan kuduknya merinding. Keteduhan sikap Indra membuat Emma teringat akan tenangnya cuaca tepat sebelum datangnya angin badai. Mereka duduk berhadapan, di dalam kedai teh yang sekaligus menjual aneka cemilan dan pastri. Meja mereka menempel ke jendela kaca luas, berbatasan langsung dengan trotoar yang sibuk dengan pejalan kaki. Cahaya matahari sore yang menembus vitrase jendela membuat setengah wajah Emma terang oleh matahari, sementara Indra memundurkan tubuhnya, bersandar di kursi, membuat pria itu berada dalam keteduhan. “Aku tahu kita tahu kita seharusnya tak bertemu lagi—” “Seharusnya?” tanya Indra, suaranya dalam dan pelan tetapi Emma terperanjat mendengarnya. Dengan tangan gemetaran Emma mengambil cangkir tehnya. Gemeletuk cangkir dengan alasnya pasti terdengar oleh Indra, tapi lelaki itu bergeming di kursinya. Emma menarik kembali tangannya, meremasnya di bawah meja. Kepalanya menunduk. Sepanjang masa kecil hingga separuh masa dewasanya, Emma hidup terlunta dari satu kerabat ke kerabat lainnya. Pengalaman itu mengajarkan satu hal pada Emma; bahwa kemampuan mengelola emosi hampir sama pentingnya dengan kemampuan menyelamatkan diri. Jangan menangis, karena orang lain akan merasa tak nyaman. Jangan terlihat sedih karena orang lain akan merasa terbebani. Sembari menarik napas panjang, Emma bersiap tersenyum, lalu mengangkat kepala sehingga ketika dia kembali menatap Indra, senyumnya sudah terulas sempurna. “Maksudku, apa yang terjadi di antara kita adalah one night stand... aku tahu,” kata Emma. Dia sudah melatih dialog ini di depan cermin selama hampir lima hari. Dia sudah memilih dengan cermat kata-kata yang akan diucapkan. Emma sudah merencakanan kapan dia jeda berkata, kapan dia menarik napas. Emma harus memastikan semua berlangsung sempurna. “Kamu pasti tidak berharap aku menghubungimu lagi dan meminta bertemu,” lanjut Emma. Buat Emma, itu benar. Di malam ketika dia pertama bertemu Indra, Emma tak berencana untuk bertemu lagi dengan pria itu. Emma yakin Indra juga sama. Tapi entah mengapa, Indra terlihat agak kesal. Ekspresi wajahnya yang semula tak terbaca kini berubah, alisnya mengernyit dan bibirnya mengatup rapat. Untungnya, Indra tak mengatakan apa pun, dan karenanya, Emma bersyukur.



3|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Dia tak sanggup mendengar kalau Indra mengiyakan perkataannya, bahwa dia tak berharap Emma menghubunginya lagi. Emma menarik napas panjang. Apa yang dia katakan akan mengubah hidup mereka berdua, tapi Emma sungguhsungguh tak punya pilihan. Berminggu-minggu Emma mencari jalan lain, tapi semuanya buntu. “Aku hamil dan sekarang aku tidak punya tempat tinggal atau pekerjaan, bisakah kamu menampungku sementara waktu?” tanya Emma, kalimat itu diucapkannya dalam satu tarikan napas. Seperti minum obat pahit, makin cepat tertelan makin cepat selesai. Indra tertegun. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, bibir lelaki itu membuka, lalu mengatup lagi. Mata Emma memanas. Dia menahan diri untuk tidak mengerjap karena tahu airmatanya pasti bergulir. “Apa?” tanya Indra, suaranya pelan, hampir seperti bisikan, seluruhnya terdengar seperti kekecewaan. Emma sanggup menanggung kemarahanan Indra, tapi pertahanannnya jebol mendengar ucapan lirih Indra. Emma bangkit dari kursinya dan dengan isak yang tak bisa tertahan dan airmata yang bercucuran, dia berlutut di samping meja mereka, hampir saja bersujud di lantai kalau bukan karena Indra segera turun dan menahannya. Kini Indra ikut duduk bersimpuh di lantai sementara Emma menangis di pangkuannya, bahunya berguncang oleh isak. “Maaf...” kata Emma di sela tangisnya. “Maaf...” Emma bisa merasakan tatapan pengunjung dan pegawai kedai teh, tapi dia tak peduli. Bahkan meskipun dia ingin, tangisnya tak bisa berhenti. Setelah berminggu-minggu hidup penuh ketakutan, ketegangan dan ketidakpastian, baru kali ini dia bisa selega ini. Sesuatu yang selama ini memberati dadanya dan mencekat tenggorokannya seakan buyar seketika... Samar-samar, Emma ingat Indra mengelus rambutnya dan mengatakan sesuatu. Entah apa, tapi kedengarannya menenangkan. Cukup untuk membuat Emma menguatkan diri dan berusaha meredam tangisnya. “Kita pergi dari sini, oke?” kata Indra sembari menggamit lengan Emma dan membantunya berdiri. Lutut Emma terasa lemas jadi dia membiarkan Indra memapahnya kembali ke kursi. Seisi kedai seperti membeku menatap Indra dan Emma, bahkan kasir dan pramusaji berdiri tegang. Dengan ketenangan yang menakjubkan, Indra tersenyum tulus sembari meminta maaf. “Istri saya.... sedang hamil muda...” kata Indra seakan lima kata itu bisa menjelaskan segalanya.



4|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Penjelasan Indra disambut ucapan aaah dari semua orang. Secara menakjubkan, aktivitas kedai teh itu kembali berlangsung, seolah tak terjadi apa-apa. Indra melambaikan tangan, meminta salah satu pramusaji kedai datang membawa tagihannya. Emma menatap cangkir tehnya dengan nelangsa. Minumannya masih belum tersentuh, tapi baru memikirkannya saja sudah membuat perut Emma terasa bergejolak. Dia ingin cepatcepat pergi dari sini. *** “Sini aku bantu bawakan,” kata Indra, menyadari Emma menjinjing tas pakaian di tangan kanannya, sementara tangan kirinya membetulkan tas tote yang terlihat berat, menggembug dan penuh terisi. Tadi Emma datang lebih dulu dan meletakkan tasnya di bawah kursi. Dia tak ingin Indra melihatnya sebelum mengutarakan maksudnya. Sekarang, Emma sudah pasrah saja. Emma membiarkan Indra membantunnya. Mereka berjalan pelan menyusuri trotoar lebar itu. Matahari sudah mulai tenggelam dan lampu jalan oranye kemerahan mulai menyala. “Mau makan dulu?” tanya Indra, setelah lima menit berlalu. Emma masih agak linglung, tapi mendengar kata makan, dia mengangguk. Perutnya terasa agak mual, hari ini dia nyaris tidak makan apa-apa selain sebutir apel dan dua sendok selai kacang. Rencana pertemuannya sore ini dengan Indre membuat Emma gugup sepanjang hari. Indra memang belum mengatakan apa-apa, tapi rupanya menangis histeris semacam tadi membuat perasaannya ringan dan moodnya membaik. “Mau makan di mana?” tanya Indra lagi. Emma berhenti berjalan, Indra juga. Kini mereka seperti batu di tengah aliran sungai, orang-orang berjalan melewati mereka. “Di sini saja,” kata Emma, menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah Indomaret di hadapan mereka. Cahaya terang lampu neon minimarket berpendar, signage box merah biru kuning yang khas, maskot semut yang familier dan samarsamar terdengar suara sapaan selamat datang di Indomaret, selamat berbelanja... “Di sini?” tanya Indra, terkejut. “Memangnya mau makan apa?” *** Sepuluh menit kemudian, mereka sudah duduk di dalam bangku kayu dalam minimarket. Emma meneguk air dari botol gelas yang dibawanya, lalu mulai memakan nasi kuning Manado. Panas mengepul, hasil dihangatkan microwave. Indra sendiri hanya membeli kopi hitam pahit, dan duduk di hadapan Emma, memperhatikan gadis itu dengan seksama, sembari sesekali menyeruput kopinya.



5|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Tidak makan?” tanya Emma. Dia sudah menghabiskan setengah bagian makanannya dan bisa merasakan perutnya agak kembung. Dia tahu dalam dua atau tiga suap lagi, sesi makan malamnya akan berakhir. Indra menggeleng. “Nanti saja,” katanya. “Aku tidak suka makan kalau sedang berpikir.” Emma meletakkan sendok plastiknya ke dalam box makanan, lalu menutupnya dan memasukkannya ke dalam tas tote. “Buat besok pagi,” kata Emma tanpa ditanya. “Seburuk apa keadaanmu?” tanya Indra tiba-tiba. Emma yang sedang minum tersedak mendengar pertanyaan Indra. Dia terbatuk-batuk beberapa saat, sebelum akhirnya menelengkan kepala dan menatap Indra. “Kok begitu pertanyannya? Karena aku menyimpan nasi kuning untuk besok pagi?” “Itu...” kata Indra, dia melipat tangan di depan dada dan memajukan tubuh dengan intimidatif, “dan ditambah pengakuanmu soal tak punya tempat tinggal dan tak punya pekerjaan. Seberapa buruk keaadaanmu? Kenapa kamu tidak langsung mencariku?” Emma tidak tahu apakah Indomaret adalah tempat yang tepat untuk membicarakan ini, tapi Emma melihat ke sekelilingnya dan menyadari tak ada yang memperhatikan mereka. Salah satu kualitas terbaik dari Jakarta favorit Emma; kota ini terlalu besar, terlalu bising dan terlalu tak peduli. Emma menghela napas. Dia bisa memilih tersinggung dengan pertanyaan Indra, secara tidak langsung, pria itu menuduhnya ceroboh dan tak bertanggung jawab. Tapi terus apa gunanya selain memuaskan ego? “Seminggu lalu, keadaannya belum seburuk ini,” kata Emma hati-hati, berusaha sedekat mungkin dengan kebenaran, sekaligus sejauh mungkin. Mata Indra menyipit. “Itu jawaban yang tak menjelaskan apa pun,” komentarnya datar. Emma berusaha menahan kuapnya di balik tangan yang terkepal. Hari ini terasa panjang dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. “Memang,” kata Emma, sembari mengerjapkan matanya yang berair. “Tapi hanya itu yang bisa kutawarkan,” katanya. Perut yang kenyang dan hati yang lapang membuat keberaniannya muncul. Indra berdecak, jelas masih belum puas, tapi kemudian berujar pendek, “Bisa.” Emma, yang sudah bersiap mendebat Indra hanya melongo. “Hah?” tanyanya bingung. “Jawaban dari pertanyaanmu yang tadi... Kamu hamil, tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan, bisakah aku menampungmu sementara waktu? Jawabannya, bisa.” “Oh,” kata Emma, bahunya lunglai. Posisi tubuhnya yang tadinya menegang kini rileks. “Trims,” kata Emma, sembari tersenyum kaku, seakan Indra baru menawarinya permen karet, bukan perlindungan dan tempat tinggal. Indra mengambil ponsel dan menggunakan jari, dia menggeser-geser layar. “Hari ini aku tidak bawa mobil, jadi sebaiknya kita—“



6|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Apakah uh... tempat tinggalmu dilewati jalur Transjakarta?” tanya Emma. Dia tidak tahu apakah Indra tinggal di rumah atau di apartemen. Dia tak tahu Indra tinggal di mana, tapi tak jauh dari tempat mereka berdiri ada halte bus Transjakarta. Jalan arteri di hadapan mereka padat oleh kendaraan sementara jalur bus terlihat lengang. Indra mengernyitkan dahi, lalu melihat ke sekeliling mereka. Dia menyipit saat membaca tulisan di halte. “Apartemenku jaraknya sekitar 3 halte dari sini. Mau naik bis Trans saja?” “Tentu,” Emma menjawab yakin. Indra terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya mengedikkan bahu. “Baiklah,” katanya. Tanpa berkata apa-apa, lelaki itu menggenggam tangan Emma dan mereka berjalan bergandengan menuju halte, menembus arus pejalan kaki lainnya, menaikki tangga penyebrangan. Selama Indra menggandengnya, Emma kerikuhan yang ganjil. Tentu, Emma memang sedang mengandung anak Indra, tapi tak mengubah kenyataan bahwa pria itu adalah orang asing baginya. Emma menatap tangannya yang terbenam dalam genggangam Indra. Tangan Indra besar dan hangat, menggenggamnya dengan yakin dan tanpa keraguan. Emma mengangkat kepalanya, Indra berjalan selangkah di hadapannya dan sinar lampu jalan menghiasi pofil samping pria itu. Matanya tajam menatap ke depan. Perawakannya memang tinggi, namun cenderung langsing. Hidungnya mancung, dan wajahnya tetap kalem meski dia mengenakan kemeja lengkap dengan jas dan dasi. Kerah kemejanya masih kaku dan tegak, samar-samar tercium aroma segar parfum aroma kayu dan rempah. Emma menelan ludah. Setelah dua minggu dipusingkan dengan aneka masalah, baru kali ini Emma menyadari pikirannya mengembara memikirkan hal sepele semacam parfum. Sekali lagi, Emma menatap Indra, kali ini pandangan Emma jatuh ke bahu Indra yang lebar dan kelihatan enak untuk bersandar. Emma menguap lebar. Rasanya sudah lama dia tak mengantuk seberat ini. *** Gedung apartemen Indra menyatu dengan pusat perbelanjaan. Jenis apartemen dengan pelayanan lengkap dan lift berlantai marmer. Indra dan Emma menyusuri lobi tanpa banyak bicara, jari kaki Emma terasa bengkak dalam sepatunya. Indra menggunakan kartu aksesnya untuk membuka pintu unit, dan Emma diam-diam menghela napas lega saat melihat ras sepatu di lorong depan, bersebelahan dengan meja berkaki ramping yang diisi pot-pot tanaman. Indra meletakkan kartu aksesnya dan beberapa kartu dari dalam kantung jaketnya. “Apartemenmu bagus,” komentar Emma pendek. Kalimat itu terasa kering di lidahnya. Tentu, apartemen ini bagus, tapi tidak seperti rumah. Hawa apartemen ini persilangan antara



7|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



kantor dan rumah sakit. Segalanya serba mengilap, segalanya terbuat dari kaca, dengan jendela lebar dari lantai hingga langit-langit. Dingin, kaku dan steril. Bukannya Emma mengeluh. Di saat seperti ini, kalau Indra mengajaknya pulang ke rumah petak pun Emma tetap bersyukur. Di manapun asal bersama Indra. “Kenapa mukamu?” tanya Indra tiba-tiba. Mereka sedang duduk bersebelahan di bangku lorong, melepas sepatu masing-masing. “Demam?” tanya Indra lagi, sembari meletakkan punggung tangannya di dahi Emma. Sudah terlambat untuk menghindar. Tangan Indra yang kuat dan kokoh menempel ke kulitnya. Emma menggeleng. Tidak, kok.” Setelah menyimpan sepatu pantofel kulit yang kaku dan sudah dia gunakan selama dua belas jam, gadis itu bangkit, menjaga agar ada jarak di antara mereka. Dia tidak mungkin mengatakan sejujurnya pada Indra, bahwa dia bersemu merah karena menyadari bahwa di atas segalanya, bersama Indra adalah hal yang paling melegakan yang pernah terjadi padanya. Malan ini, maupun malam itu. Indra hanya menatap Emma dengan pandangan menyelidik, sebelum kelihatannya menyadari bahwa dia tak sebaiknya memulai perdebatan yang tak perlu. Indra berjalan masuk lebih jauh, sembari lewat, dia memberi tahu Emma letak dapur, balkon Indra masuk ke ruangan yang jelas kamar tidur utama dan meletakkan tas Emma di kaki tempat tidur. “Silakan kalau mau mandi dulu,” kata Indra. Emma masih berdiri di ambang pintu. Emma masuk ke dalam kamar, sementara Indra berjalan ke arah lemari dekat pintu kamar mandi. Indra melepas jasnya dan menggantungnya di sana. Dia lalu melepas kancing teratas kemejanya dan melonggarkan dari. Kegiatan itu berhenti di tengah-tengah karena saat Indra melirik ke arah Emma, perempuan itu sedang berdiri di samping ranjang, menatapnya tak berkedip. “Apa?” tanya Indra, sembari duduk di bangku kayu berbantal dan mulai melepas kaus kaki. “Kamu tak pernah bertanya.” “Soal apa?” “Apakah aku mengandung anakmu..” Indra mengangkat kepalanya begitu cepat, Emma ngeri lehernya bakal terkilir. Indra menatap Emma lalu menghela napas. “Oke, kalau begitu,” katanya. “Apakah kamu mengandung anakku?” “Ya,” jawab Emma pendek, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Indra membuatnya merasa konyol.



8|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Bagus,” katanya. “Bagaimana kalau aku bohong?” “Apa kamu bohong?” “Nggak, tapi kan—“ Indra keburu memotong. “Luar biasa,” kata Indra dengan nada pedas. “Jadi apa masalahmu?” Emma merasa keinginan yang kuat untuk mencebik, namun menahan diri. “Aku hanya heran kamu terlihat santai-santai saja,” kata Emma. “Seberapa sering kamu menawarkan tempat tinggal untuk perempuan hamil?” Indra memijat pengkal hidungnya semberi menggeleng. “Hanya kalau perempuan hamilnya mengandung anakku...” kata Indra pelan Dada Emma bergemuruh hebat, darah seolah berkejaran ke kepalanya. Dia tahu persis emosi ini, Emma mengenalinya dengan sangat akrab seperti saudara sendiri. Ini adalah perasaaan bersalah. Emma memang tidak membohongi Indra, tapi dia tak sepenuhnya menceritakan keadaan sebenarnya. Indra akan tahu suatu saat nanti... Semua rahasia ditakdirkan untuk terbongkar, apalagi jenis rahasia seperti yang disimpan Emma. “Aku akan mandi, lalu kamu mandi dan beristirahat. Sudahlah, tak perlu memperpanjang perdebatan. Wajahmu terlihat seperti orang yang sudah tiga hari tidak tidur,” kata Indra, tegas. Pria itu kini berjalan menuju lemari baju, dengan hanya mengenakan celana bokser dan kaus dalam. “Oke,” kata Emma akhirnya, jeda beberapa saat sebelum akhirnya dia menunduk. “Emma?” panggil Indra lembut, dia kini berdiri di hadapan Emma, beberapa meter jauhnya. Emma yang sedang melamun menatap motif karpet mendongak. “Apa?” “Ingat kata-katamu di kedai kopi tadi sore? Soal one night stand dan kamu yakin aku tak mau lagi bertemu denganmu?” Emma mengganguk pelan. “Setelah kita bercinta, esoknya aku datang lagi ke restoran yang sama, di waktu yang sama. Siapa tahu, kamu melakukan hal yang sama juga...Aku menyesal tidak meminta nomer ponselnya saat kita berpisah, jadi aku berharap kita bisa ketemu lagi.” Indra terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, “Aku makan di restoran yang sama selama dua minggu.” Bulu di lengan Emma meremang. Dia tak membutuhkan ini. Suara di kepalanya menjerit-jerit penuh tanda bahaya. “Pertemuan kita malam itu hanya kebetulan, aku tak pernah ke situ lagi,” dusta Emma, memaksakan senyum.



9|S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Seberapa sering kamu tidur dengan lelaki yang baru pertama kali kamu temui di restoran?” Emma tertegun, dia sama sekali tak menyangka Indra akan bertanya begitu. “Indra?” “Apa?” “Yang kita lakukan malam itu bukan bercinta. Itu semata hubungan seks.” Rahang Indra mengeras. “Tentu... akan kuingat,” katanya pendek. Dia lalu berjalan ke pintu kamar mandi. “Oh, Emma?” panggil Indra saat dia sudah berada di ambang pintu kamar mandi. “Ya?” “Aku senang kamu ada di sini sekarang,” kata Indra, pelan. Sebelum Emma sempat membalasnya, Indra masuk ke kamar mandi dan menutup pintu, sementara Emma hanya ternganga di tempat.



2 Emma masih terjaga, matanya menatap langit-langit kamar. Ketika Indra keluar dari kamar mandi, Emma sudah berpura-pura tidur. Indra keluar dari kamar, lalu kembali satu jam kemudian, dan kini tidur di sisi tempat tidur satunya. Ranjang Indra luas sekali, dua sisi tempat tidurnya bisa dibilang berada di dua kecamatan yang berbeda. Tetap saja, Emma berharap Indra tidak tidur di kamar yang sama dengannya. Setidaknya ada dua kamar lain yang Emma lihat ada di apartemen ini. Sofa di depan TV pun cukup besar. Ada ungkapan, pengemis tak bisa jadi pemilih dan Emma cukup tahu diri untuk tidak protes. Untuk malam ini, setidaknya. Lagi pula, setelah segala yang terjadi di antara mereka, Emma merasa agak konyol kalau dia mendadak berlagak tak mau sekamar dengan Indra. Memangnya apa yang bakal terjadi padanya? Hamil di luar nikah? Emma melirik ke jam dinding dan sekarang sudah besok, sudah pukul satu dini hari. Emma menghela napas, dia tahu dia seharusnya tidur. Dia sudah punya cukup banyak masalah, tak perlu ditambah pusing karena kurang tidur. Kali ini dia menoleh ke arah Indra, dengan hati-hati memiringkan tubuhnya. Bahu Indra turun naik dengan teratur, wajahnya yang kurus terlihat misterius disinari cahaya kekuningan lampu redup. Suara AC berdengung pelan dan rendah. Aku senang kamu ada di sini sekarang. Emma yakin bahwa salah satu yang membuatnya sulit tidur adalah kalimat Indra yang terakhir itu. Emma ingin mengatakan sesuatu yang cerdas, sesuatu yang jahat sebagai balasannya.



10 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Dia tahu dia tidak terbuka akan keadaannya, tapi makin cepat Indra tahu bahwa Emma datang mencarinya karena dia sudah sungguh-sungguh terjepit, mungkin makin bagus. Emma tidak datang ke sini karena dia ingin mereka berdua (bertiga, kalau janin di pertu Emma dihitung) menjalani kehidupan normal. Dua minggu ini, Emma berpindah-pindah hotel berbintang yang cukup murah, dengan tas berisi baju seadanya. Emma menyadari dengan ngeri bahwa uang tunainya tergerus cepat. Dia tidak bisa menggunakan kartu ATM atau kartu kreditnya lagi karena semua terblokir. Dia tidak bisa berangkat bekerja karena teror yang menimpanya akan menimpa teman-teman kerja juga dan Emma tak sanggup memikirkannya. Dia sudah menggigil ketakutan di kamar hotelnya yang seharga 150 ribu per malam, berbau apak dan samar-samar agak pesing, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari lagi nomer telepon kantor Indra dan memintanya menemuinya. Emma sudah menyiapkan diri menerima sangkalan, gerutuan dan amukan Indra. Dia pasti bisa menelannya. Tidak ada apa-apa dibanding yang Emma terima selama ini. Tapi Emma malah mendengar Indra mengatakaan hal-hal bodoh semacam aku senang kamu ada di sini sekarang. Mana ada orang bilang begitu pada orang lain, pikir Emma sembari mengusap air mata yang bergulir ke bantal dan hidungnya. Emma masih berusaha menatap Indra yang sedang tertidur, namun kemudian tangisnya tak terbendung lagi dan Emma membenamkan wajahnya ke bantal sambil terisak. *** Pukul lima pagi, Indra keluar kamar dan mendapati Emma sedang mencuci wajan di dapur. Garis wajah lelaki itu, dan sorot matanya, tak sekeras biasa. Hampir lembut oleh kantuk. Rambutnya yang kemarin lurus dan rapi kini terlihat berantakan. Emma bertanya-tanya sudah berapa perempuan yang pernah melihat Indra dalam keadaan begini. “Sedang apa?” tanya Indra, dia berdiri dekat meja makan, kedua tangannya mencengkeram punggung kursi. “Habis sarapan... menghangatkan nasi kuning sisa kemarin,” jawab Emma. “Aku sudah menanak nasi, kamu ingin makan sesuatu?” Emma refleks bertanya. Dia sering menginap di rumah kerabat dan kenalannya, di pagi hari, sebagai sopan santun, Emma selalu menawarkan untuk memasak sarapan. Tentu, Emma hanya bisa masak telur. Dia tak pernah berada di satu tempat cukup lama untuk belajar masak, mendapat warisan resep atau mengembangkan kegeniusan kuliner. “Tidak perlu,” jawab Indra. Dia mengambil ceret dari kompor dan mengisinya dengan air dispenser. Emma sedang mengelap sisa air di sisi bak cuci. “Mau kopi? Teh?”



11 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Teh sepertinya enak... tapi obgyn-ku bilang untuk mengurangi teh dan menghindari kopi, jadi...” Emma tak meneruskan ucapannya, seketika bisa merasakan kecanggungan merayap di udara. Indra terdiam di tempatnya berdiri, lengannya setengah terulur, berhenti di udara saat hendak meletakkan ceret di atas kompor. Dengan amat lambat, pandangan pria itu turun ke arah perut Emma. Emma bisa merasakan mukanya terbakar. Dia mengenakan celana tidur panjang, tapi kausnya hanya kaus putih yang sudah tipis dan belel. Emma berencana untuk menggunakan baju yang lebih bermartabat selesainya dia mencuci piring, tapi Indra keburu bangun dan Emma sama sekali lupa. “Oh, iya...” kata Indra pelan, lalu meletakkan teko di kompor dan menekan tombol untuk menyalakan kompor. “Maaf,” jawab Indra dengan suara parau. Emma menelan ludah. “Tak perlu minta maaf...” kata Emma. “Wajar kamu lupa, aku sendiri tidak terlalu—“ “Bukan itu,” kata Indra. Kedua tangannya menekan konter dapur, dia menggeleng pelan seolah sesuatu membuatnya kecewa. “Maaf karena membuatmu ada dalam posisi ini.” Emma menghela napas, lalu menyeret langkah ke arah meja makan dan duduk di kursinya. Kalau Emma ingin jujur, sekaranglah saatnya... dia bisa menebus dosanya pada Indra sekarang dan mengatakan yang sebenarnya. Emma yang harus meminta maaf, dia yang membuat Indra ada dalam posisi sulit ini. Tapi Emma tak sanggup kehilangan Indra. Saat ini, lelaki itu adalah satu-satunya orang yang bisa melindunginya. Agak menyedihkan memang, ratusan kerabat, puluhan teman, kemampuan untuk menjaga diri sepanjang dua puluh empat tahun hidupnya, dan sekarang Emma menyerahkan hampir seluruh nasibnya pada lelaki yang baru bulan lalu dia temui. Lelaki yang merupakan ayah dari calon bayinya. Tanpa sadar, Emma mengelus perutnya yang masih rata, jabang bayi yang belum bergerak, mual muntah yang tidak terasa. Segala tanda kehamilannya hanya diketahui dari hasil USG kantung janin dan meningkatnya hormon HcG di urin. Emma bisa mengatakan sejujurnya, tapi Emma memilih untuk tidak. “Aku tidak menyesalinya,” kata Emma pelan. “Minimal kita bisa berusaha... ada banyak cara yang, uh... aman,” kata Indra sembari menggosok tengkuknya. “Maksudmu, seperti... pakai kondom?” tanya Emma gemas. Indra setidaknya berumur awal tida puluhan—Emma tidak tahu berapa tepatnya, tapi menyebutkan kondom saja sulit sekali.



12 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Indra melipat tangan di depan dada, ekpresinya sama tergagguny seperti saat Emma mengoreksi penggunaan istilah ‘bercinta’ yang digunakan Indra menjadi ‘hubungan seks’. Tapi untungnya, suara ceret air yang melengking tinggi membuat indra tak meneruskan niatnya untuk bicara. “Aku masuk kamar dulu,” pamit Emma, saat Indra berbalik untuk mematikan kompir. Emma baru berjalan beberapa langkah, ketika Indra memangglnya. “Emma?” “Ya?” tanya Emma, perempuan itu berhenti lalu menoleh. “Nanti aku pinjam KTP-mu,” kata Indra. “Semakin cepat semakin baik.” “Apanya?” tanya Emma bingung. “Pernikahan kita.” Emma melongo, mengira dia salah dengar. Tapi saat menyadari bahwa Indra serius, dia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata. *** “Lalu?” Indra menghela napas. “Lalu, dia berkata, ‘Hanya karena aku hamil, bukan berarti kita harus menikah, memangnya ini tahun berapa? Tujuh puluhan?’ Habis itu dia tidak bilang apaapa lagi, karena sibuk tertawa sampai kehabisan napas,” kata Indra dengan datar dan serius. Syarif menggigit bagian dalam pipinya, berusaha keras untuk tidak tertawa. Meskipun wajah atasannya itu tetap dingin dan kaku, tapi Syarif bisa melihat pelipisnya berkedut. Indra terlihat amat jengkel, meski hampir sempurna menyembunyikan perasaannya. Ketika Indra meminta Syarif datang ke ruangannya setengah jam lalu, Syarif mengira ada yang perlu didiskusikan dalam soal pekerjaan. Tim mereka tengah menangani tahap akhir merger dan akuisi tiga perusahaan konstruksi menjadi satu holding. Beban kerjaan sudah tak terlalu banyak namun tetap harus ada rapat dan revisi. Syarif tak mengira Indra akan menanyakan sesuatu semacam, ‘Apakah mengurus dokumen pernikahan bisa seperti bikin SIM tembak?’ Pandangan Syarif beredar sejenak ke seluruh ruangan kantor Indra. Kantor luas di sudut lantai 23, terang benderang dengan ruang tamu. Pemandangan menghampar keluar, menampilkan ramainya lalu lintas salah satu jalan raya tersibuk di Jakarta Selatan. Usia Indra terpaut lima tahun dari usia Syarif, tapi Syarif dengan besar hati menyadari, lima tahun mendatang, secara karier, dia tidak mungkin ada pada posisi Indra sekarang. Cemerlang tidak cukup untuk mendefinisikan karier Indra. Lulusan cumlaude universitas dalam negeri. Tak berasal dari keluarga yang terkenal melahirkan pengacara andal semacam klan Assegaf atau Hutapea. Diangkat menjadi partner firma tujuh tahun setelah bekerja tidak hanya butuh kecerdasan, tapi juga kombinasi keberuntungan dan bekerja seperti dikejar setan. Apa yang didapat Indra sepenuhnya karena keuletannya sendiri.



13 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Indra amat tertutup. Tidak membawa pacar setiap ada resepsi atau acara kantor. Tak punya Instagram untuk memamerkan keglamoran hidup, tak ada Linkedin untuk memamerkan pencapaian karier. Selalu sendirian tiap mendatangi resepsi pernikahan pegawai atau acara kantor lainnya. Tidak terlibat drama rendahan macam selingkuh dengan rekan kerja. Tidak terlalu suka ikut acara hura-hura kecuali perpisahan. Mendengar Indra ingin menikahi perempuan, dan perempuan tersebut hamil pula, membuat Syarif bertanya-tanya kehidupan macam apa yang sebenarnya dijalani pria di hadapannya ini. “Tapi apakah pak Indra ingin tetap menikahi... pacar pak Indra ini?” Alis Indra bertaut. “Tentu saja,” jawabnya. “Pertanyaan macam apa itu?” “Maksud saya, seperti yang paca.. uh.. calon istri Pak Indra katakan, di masa sekarang, tak perlu menikah sebagai bukti tanggung jawab. Sejak ada keputusan Mahkamah Agung tahun 2003, anak di luar pernikahan tetap berhak mendapat warisan dan tunjangan biaya hidup dari ayah biologis. Dulu, hanya anak dalam penikahan yang mendapatnya.” “Saya tahu,” kata Indra, rahangnya mengeras. “Tapi saya tetap ingin menikahi ibu anak saya ini,” katanya. Indra menyandarkan punggungnya dan menghela napas. “Sori. Kalau begitu, begini saja, bisakan saya minta tolong dicarikan diagram alir langkah mengajukan pernikahan? Bisa kirimkan ke email saya, setidaknya besok siang?” *** Pukul setengah sembilan malam, Emma keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang kerja Indra. Ruang tengah sudah gelap, satu-satunya cahaya hanyalah celah pintu ruang kerja yang sedikit terbuka. “Masuk,” kata Indra, pelan. Emma mundur selangkah, tangannya mendekap bagian dada sebelah kiri. Apa perasaannya saja atau suara lelaki itu makin merdu tiap kalinya? Lembut, manis dan lengket seperti madu... Mereka terakhir bertemu ketika makan malam—dua jam yang lalu. Indra pamit bekerja, dan Emma menghabiskan waktunya untuk menonton TV, mandi, masuk kamar, sebelum akhirnya bosan dan sekarang mencari Indra. Bisa jadi, Emma harus mengakui, dia bukan bosan. Dia hanya ingin berada di dekat Indra, cukup dekat untuk mendengar suaranya lagi. Emma membuka pintu. Indra sedang duduk di kursi kayu yang lebih mirip kursi di sekolah, kaku dengan serutan yang kasar. Berbanding terbalik dengan meja kerjanya. Daun mejanya luas, jati tua berpelitur halus dengan lapisan kaca di atasnya. Sebuah buku terbuka di meja, sementara Indra mengenakan kacamata, dan membacanya. Postur tubuhnya tegak dan kaku.



14 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Aku tdak tahu kamu pakai kacamata,” kata Emma, duduk di sofa kulit yang ada di tengah ruangan. “Hanya kalau membaca,” kata Indra, sebelum kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Ini sepertinya kamar tamu, luasnya mungkin ¾ kamar utama. Hanya ada satu sofa kulit yang lebar dan empuk di tengah ruangan, dengan meja kopi dan lampu berdiri di sampingnya. Meja kerja Indra dan bangkunya yang aneh ada di sudut yang bersebrangan dari dinding yang berjendela. Tiga dinding lainnya dipenuhi rak buku yang penuh, dari lantai hingga langit-langit. Sebuah rak besi bersandar membelakangi jendela, berisi pot-pot kaktus kecil berjejalan. Dia berbaring, berbantalkan bantal kecil di sofa, menghadap Indra. Aroma ruangan ini menenangkan. Samar-sama terhidu aroma kertas, sabun, biji kamper, kayu dan sabun mandi yang biasanya dipakai Indra. Sember cahaya ruangan hanya berasal dari lampu-lampu dinding, lampu di meja Indra dan lampu di samping sofa, semuanya bersinar hangat kekuningan. Belum apa-apa, Emma merasa ngantuk. Mungkin sebaiknya Emma minta kamarnya pindah kesini agar dia cepat tertidur. “Bukumu banyak sekali. Berapa lama mengumpulkan buku hingga jadi perpustakaan sebesar ini?” tanya Emma. “Ini bukan perpustakaan,” kata Indra, mungkn hanya perasaannya saja tapi Emma bisa merasakan senyuman di suara lelaki itu. “Ini anti-perpustakaan.” Emma tertawa kecil. Tadi di kamar, matanya nyalang tak bisa terpejam, seberapapun lelahnya badannya terasa. Kini, Emma bisa merasakan kelopaknya terasa tebal dan berat. “Apa itu anti-perpustakaan?” tanya Emma. “Aku tak pernah dengar sebelumnya.” “Anti-perpustakaan adalah koleksi buku yang dimiliki, tapi tak bisa seluruhnya dibaca. Tidak bisa, meskipun ingin...” Emma lagi-lagi tertawa. Dia mengantuk sekali, jadi memutuskan untuk duduk, miring menhadap Indra, bagian kiri tubuhnya terkulai ke sandaran sofa. “Untuk apa membeli buku kalau tidak dibaca?” tanya Emma, dia tak mengerti. Ayahnya suka membaca, almarhum kakaknya suka membaca, tapi Emma tak suka. Dia tak pernah bisa duduk diam dan membaca., memikirkannya saja sudah membuat Emma gugup. Dia suka mendengar lagu, dia suka mengobrol, suka nonton televisi... rangsangan suara dari sekitarnya membuat Emma tenang, setidaknya dia tidak harus menanggungg beban untuk mendengarkan pikiran-pikiran yang berisik di kepalanya. “Fungi anti-perpustakaan adalah untuk membuat pemiliknya selalu dalam keadaan ingin tahu dan rendah hati... bahwa apa pun yang dia ketahui, tak ada apa-apanya dengan pengetahuan di dunia ini.” Emma menaikkan alisnya, terdiam beberapa saat.



15 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Wow,” komentarnya pendek. “Apa semua pengacara memang sepintar kamu, atau bagaimana?” Indra tertawa, sembari membalik halaman. Dia hanya mengedikkan bahu. Posturnya masih seperti tadi, duduk tegap dan kaku. Emma bertanya-tanya, jangan-jangan Indra sudah berada dalam posisi itu selama berjam-jam... “Memangnya enak membaca begitu?” tanya Emma penasaran. “Begitu bagaimana?” tanya Indra, pria itu mengangkat wajah dan menatap Emma, memiringkan kepala. “Ya begitu,” kata Emma. “Duduk kaku begitu.” Indra mengamati diri sendiri, seakan-akan baru tersadar. “Oh, ini... kebiasaan saja. Kalau boleh, aku juga ingin bangku begini di kantor. Sayangnya harus yang ergonomis.” “Bukannya enak bangku yang ergonomis? Tadi anti-perpustakaan, sekarang ini... kamu aneh juga ya.” Indra nyengir, untuk pertama kalinya sepanjang ingatan Emma. Wajah lelaki itu mendadak lebih muda beberapa tahun. “Tapi ini memang kebiasaan. Selama kuliah, aku kerja menjaga laundry kiloan. Jadi aku sudah terbiasa membaca dalam posisi begini. Malah lebih enak, lebih konsen...” Emma terpekur mendengar pengakuan Indra. Seperti apa wajah Indra saat masih kuliah? Duduk berjam-jam di bangku keras, dalam ruko laundri.... Membaca buku sembari melayani pelanggan. Dada Emma terasa bengkak oleh perasaan sedih yang tak dia ketahui penyebabnya. “Dulu kuliah di mana?” tanya Emma, sekadar basa-basi. Indra menyebutkan universitas tempatnya kuliah. Tentu saja, Emma tahu nama Universitas alamamater Indra, bahkan judul skripsi S1 Indra. Emma tahu Indra lulus setelah kuliah 3,5 tahun saja... “Kamu sendiri?” tanya Indra. “Dulu kuliah di mana?” “Sekolah sektretaris,” jawab Emma. “Selulus dari sana, aku langsung bekerja di Yayasan Samara, hampir tiga tahun, sebelum akhirnya mengundurkan diri dua minggu yang lalu.” “Maaf,” kata Indra, tersenyum sedih. Emma merasakan keinginan kuat untuk berjalan ke arah Indra dan mencari penghiburan dari lelaki itu. Emma tidak tahu mengapa dia merasa begini... Emma bukan jenis orang yang selalu membutuhkan kontak fisik dengan orang lain. Sepertinya kehamilan, hormon, dan segala kesetresan belakangan ini membuat segala perasaannya jungkir balik. Dan kali ini, Emma menyadari bahwa dia kangen dengan tempat kerjanya. Berat sekali harus berpisah dengan pekerjaan yang sudah menjadi bagian dari dirinya selama tiga tahun ini. Di Yayasan, selain mengurusi urusan kesekretariatan, kadang Emma ikut membantu menjadi petugas penyuluh, ikut membuat poster, sampai ikut demonstrasi.



16 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Sibuk dari pagi sampai malam, kadang sampai pagi lagi membuatnya bersemangat dan tak terlalu memikirkan kemalangan diri sendiri. Sekarang, Emma punya cukup waktu untuk itu. “Tidak usah minta maaf,” kata Emma, memaksakan senyum ceria. “Tidak mungkin juga kalau aku tetap bekerja.” “Karena sekarang kamu sedang hamil?” Emma menggeleng. “Karena ayahku terus-menerus mengirim orang suruhannya ke kantorku. Aku tinggal berpindah-pindah, jadi orang suruhan ayah tidak terlalu menganggu di tempat tinggal. Tapi selama aku masih kerja, mereka mencariku ke kantor. Teman-teman kerjaku harus terus menerus menyembunyikan aku kalau orang suruhan ayahku datang. Tidak bisa begitu. Akhirnya aku memilih untuk berhenti saja.” Indra mendengarkan Emma tanpa bergerak, alisnya bertaut penuh konsentrasi, kedua tangannya terlipat di atas meja. “Kenapa ayahmu bertindak begitu?” “Dia tak suka aku hamil,” kata Emma. Wow, penyerderhanaan situasi terbaik abad ini. Emma ingin menepuk pundaknya sendiri karena kagum. Kalau mau jujur, kalimat yang tepat adalah dia tidak suka aku. Titik. Bahkan setelah dua puluh empat tahun berlalu, Hanafi Suseno masih sulit menerima kenyataan bahwa dalam satu kelahiran, istrinya meninggal, sementara Emma hidup. Tiap kali ayahnya menatapnya, Emma bisa merasakan penilaian dari sorot mata pria itu... sungguh pertukaran yang tak sepadan. Hanafi mencintai Linda dengan nyaris mabuk kepayang. Ayahnya mencintai almarhum ibunya dengan cinta yang begitu dalam. Bagi Hanafi, hidup tanpa Linda lebih mirip hukuman yang dia hadapi dengan kemuraman sepanjang waktu... Cerita itu tentunya amat indah menyentuh hati. Sayangnya, dalam kisah cinta kedua orangtuanya, Emma-lah yang jadi antagonisnya. Kehadiran Emma yang memisahkan mereka. Tentu saja, kalau Emma sebagai bayi punya pilihan, dia memilih mati. Biar Linda saja yang hidup. Tapi dia tidak punya, jadi begitulah hidupnya selama ini; satu-satunya orang tua kandungnya yang tersisa membencinya. Suasana rumah masih agak tertanggungkan saat kakaknya masih hidup. Dua tahun belakangan, sejak kematian mbak Vanda, Emma sudah tak kuat lagi hidup di rumah Hanafi.... mulailah dia menyewa kamar kos, tinggal bersama saudara, menginap di rumah temannya. Apa saja asal dia tak perlu tinggal di rumah. “Emma?” panggil Indra. Lelaki itu kini duduk di sebelahnya, Emma tidak tahu kapan dia jalan dari meja kerjanya dan duduk di sofa bersamanya.



17 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Emma berusaha berkonsentrasi. Dia sudah lama tidak memikirkan soal kebencian ayahnya padanya. Itu adalah fakta yang sejelas matahari terbit setiap pagi, tak bisa diubah, tak perlu dijelaskan dan dipikirkan. Hanafi membenci Emma juga fakta, tak bsa diubah, tak perlu dijelaskan, dan yang paling utama, jangan dipikirkan. Bisa gila nanti. “Apa?” tanya Emma. “Tadi kamu tanya apa?” “Apakah ayahmu memintamu menggugurkan kandungan?” tanya Indra lembut. “Begitulah....” kata Emma. “Karena itu aku berusaha menghindari ayahku dan orang-orang yang beliau suruh untuk mencariku.” “Apa yang mereka lakukan kalau bertemu denganmu?” Emma tercenung. ‘Orang-orang suruhan ayah’ mungkin terdengar mengerikan. Aris dan Madi, dua pria paruh baya yang sudah Emma kenal belasan tahun. Kedua pria paruh baya itu bekerja sebagai supir perusahaan, tapi saat Emma masih sekolah dulu, kadang mereka yang menjemput dan mengantar Emma. Pak Aris dan Pak Madi tak akan menyakiti Emma, keduanya pasti direpotkan oleh tingkah Emma selama ini. Sepnajang yang Emma tahu, mereka berdua bertugas membujuk Emma pulang, karena ‘ada yang ingin dibicarakan Ayah’. Emma bisa membayangkan bagaimana Hanafi menatap Madi dan Aris, tiap kali mereka menghadap dengan tangan hampa. Tatapan masygul penuh kekecewaan, efeknya kadang lebih menyakitkan daripada lima belas menit penuh omelan. Emma tahu, karena Hanafi sering menatapnya begitu. “Mereka hanya ingin aku pulang ke rumah Ayah. Aku tidak mau, aku tahu dia akan berusaha berdiskusi, membujuk, memaksa... dia dikejar-kejar waktu. Usia kandunganku kini empat minggu. Sebelum enam belas minggu, menggugurkan kandungan masih terbilang aman, kalau dilakukan dengan benar dan tentu saja kalau tidak ketahuan polisi.” Emma menatap Indra lurus. “Karena itu aku akan tinggal di sini sampai setidaknya usia kandunganku mencapai tujuh belas minggu. Untuk jaga-jaga.” “Menikahlah denganku, Emma...” pinta Indra, suaranya lirih menyerupai bisikan. Indra mengambil rambut yang menutupi pipi Emma dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. Tidak seperti tadi pagi, Emma tak tertawa. Kali ini, dia sama seriusnya. Emma menggeleng. “Aku tidak bisa.” “Tidak perlu menjawab sekarang,” kata Indra. Emma tak tahu bagaimana cara memberitahuakan situasinya pada Indra. Lelaki itu sudah berbuat cukup banyak untuknya, hingga timbul perasaan sayang dalam diri Emma. Bukan jenis sayang yang akan membuat Emma menerima pinangan Indra, tapi jenis perasaan sayang yang



18 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



membuatnya ingin melindungi lelaki itu dari segala kepahitan hidup yang Emma bawa. Emma tak tega membiarkan Indra terlibat makin jauh dalam hidupnya. Kalau saja ada cara lain... “Siapa tahu ayahmu akan membiarkanmu meneruskan kehamilan, berhenti menerormu kalau kamu menikah denganku...” kata Indra, masih berusaha. Emma tersenyum pahit. Indra sungguh-sungguh tak tahu masalah macam apa yang akan dia hadapi kalau dia melibatkan diri dengan Emma, Emma merasa iba melihatnya. “Masalahnya bukan menikah atau tidak...” kata Emma, ragu untuk meneruskan, jadi dia menggantungkan kalimatnya di situ. “Bagaimana dengan ibumu? Bisakah dia membantumu melunakkan hati ayahmu?” Emma menggeleng. “Ibuku sudah meninggal sejak lama...” kata Emma. Meninggal saat melahirkan aku, tambah Emma dalam hati. “Siapa lagi yang biasanya didengar oleh ayahmu?” “Aku punya kakak perempuan, Mbak Vanda...” Emma tersenyum penuh kenangan saat nama kakaknya terucap. “Tapi beliau baru meninggal beberapa bulan yang lalu.” Wajah Indra seketika terlihat terluka. “Aku turut berduka... pasti berat bagimu... Kakakmu sakit atau...?” “Sakit,” kata Emma singkat. Meninggal saat melahirkan anak pertamanya, pikir Emma pahit. Tapi Emma tidak bisa mengatakan yang sebenarnya soal kondisi mendiang ibunya dan mbak Vanda. Dia tak mau Indra curiga. Dia tak mau Indra memahami alasan ayahnya mengejarngejar Emma, memaksanya menggugurkan kandungannya. Kehamilan Emma berisiko tinggi. Dia mungkin tak keluar dari keadaan ini hidup-hidup.



19 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



* “Boleh aku duduk di sini?” Gadis itu tak mungkin berusia lebih dari dua puluh lima tahun. Rambutnya mengilap dan berombak, terurai hingga pundak. Gadis itu mengenakan blus pink merah muda sederhana dan rok lebar motif bunga dominan merah marun. Dia tak menunggu jawaban Indra sebelum duduk di bangku di samping pria itu. Mereka berada di balkon sebuah restoran yang menempel dengan hotel bintang lima. Acara perpisahan Imran sudah selesai tiga puluh menit yang lalu. Selama itu, Indra bisa merasakan seseorang menatapnya dari coffee bar di sudut restoran. Setiap kali Indra melayangkan pandang, seorang gadis dengan blus merah jambu dan rambut sepanjang pundak balik menatapnya. Gadis itu tak berusaha memalingkan muka. Rupanya dia hendak memastikan Indra tahu soal keberadaanya. Menarik sekali. Karena itu, sementara teman-temannya berangsur pergi, Indra pindah duduk ke meja dekat balkon dan memesan kopi pahit. Ada sekitar empat meja di situ, seluruhnya kosong. Indra memilih meja paling ujung. Tak sampai lima menit, gadis itu datang menghampirinya. “Mau pesan sesuatu?” Indra menawarkan. “Aku sedang pesan kopi.” Gadis itu menggeleng, senyumnya manis. Wajahnya agak bulat, kulitnya halus bercahaya. “Aku sudah minum kopi tadi.” “Aku tahu,” kata Indra, ikut tersenyum. Kali ini gadis itu tertawa. Geliginya terlihat putih. Make-upnya tipis namun penuh selera. Indra tak tahu apa yang diinginkan gadis ini darinya, tapi dia berminat mencari tahu. Indra sudah lama tidak berada dalam posisi seperti ini. Di usia Indra sekarang, lingkar kehidupan sosialnya sudah terbentuk nyaris sempurna. Sudah tidak ada lagi kenalan baru— kolega baru mungkin ada, kenalan baru tidak—dunia terasa sempit karena satu orang mengenal lainnya. Semua serba pasti, tidak ada lagi teka-teki dan debar penuh tanda tanya. Malam ini, adalah malam pertama Indra kembali merasakannya. Gadis itu menggigit bibirnya sebelum berkata dengan ceria. “Malam ini aku menginap di hotel ini. Mau meneruskan obrolan di sana?” Indra bisa melihat senyum tersungging manis, tapi mata gadis itu menyiratkan aneka emosi yang meluap-luap. Gugup, takut, bingung dan di atas segalanya.... ragu.



20 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Jadi begitu? Kamu tidak mau mengajakku nonton bioskop barang sekali dua kali sebelum mengajakku ke kamar?” tanya Indra belagak tersinggung, merasakan dorongan ganjil untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. Gadis itu tertawa. Dia menumpukan sebelah siku di tepi meja dan bertopang dagu. “Aku Emma,” katanya memperkenalkan diri. “Indra,” balas Indra. Seorang pramusaji datang membawa nampan dan menyuguhkan secangkir kopi untuk Indra. Indra dan Emma masih bertatapan sambil saling tersenyum, dan saat Indra harus menjawab pertanyaan pramu saji, lelaki itu dengan berat hati memutus kontak mata mereka.



3 “Apa benar?” tanya Virni dengan nada rendah yang mendesak. “Apa benar katanya Pak Indra akan menikah?” Syarif menautkan alis. Dia bersumpah dia tak mengatakan apa pun pada siapapun. Virni menarik kursi dari kubikel samping Syarif, pertanda dia serius dengan perbincangannya. Syarif hanya sesekali bertemu dengan Virni, dia baru beberapa bulan bekerja di sini dan lebih banyak bekerja di kasus-kasus litigasi sementara Syarif lebih sering menangani urusan korporasi umum. “Apa benar calon istri Pak Indra bernama Nong Emma Alsada?” cecar Virni, kali ini hampir berbisik. Sorot matanya memancarkan ketakutan. “Apa benar calon istri Pak Indra sedang hamil?” Refleks, Syarif melirik ke arah pintu ruangan Indra yang tertutup. Syarif menghela napas. “Begini, aku tidak bisa menyangkal atau membenarkan—“ “Aku dengar dari Lisa,” potong Virni. “Pak Indra bertanya soal EO acara pernikahan pada Lisa. Dia menceritakan keadaannya pada Lisa lalu Lisa memberitahuku...” Lisa baru menyelenggarakan pernikahannya beberapa bulan setelah Syarif menikah. Polanya sepertinya sama seperti ketika Syarif diundang ke kantor Indra dua hari yang lalu. Pada Syarif, Indra bertanya soal urutan birokasi pernikahan. Pada Lisa, sepertinya Indra bertanya soal tetek bengek pesta pernikahan. Syarif menggaruk kepalanya. Sungguh dilematis. Dia tak suka terlibat gosip kantor, tapi dia bisa merasakan Virni bukan bermaksud menggosip. Bukan. Apa pun yag hendak dikatakan Virni membuat gadis itu ketakutan sendiri. “Apakah benar?” desak Virni lagi.



21 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Benar... kecuali soal nama. Setahuku namanya Emma, tapi aku tak tahu nama lengkapnya,” kata Syarif. “Memangnya ada apa?” Virni memijat pelipisnya. “Tidak apa-apa. Aku hanya memastikan. Apakah Pak Indra ada di ruangannya? Aku ingin bertemu beliau.” Syarif menggeleng. “Sudah pulang. Setengah jam yang lalu, diajak makan sama Pak Azri.” Bahu Virni terlihat lunglai, begitu terlihat sedih, sampai Syarif ikut iba melihatnya. Dia tidak tahu ada apa dengan calon istri Istri Indra, tapi apa pu itu, pasti serius. *** “Gini, lho... kamu tuh nggak harus menikahi untuk bertanggung jawab,” kata Azri, begitu pramusaji yang membawa pesanan pergi meninggalkan meja mereka. Indra yang sedang mengangkat cangkir kopi seketika mengurungkan niat, kembali meletakkan cangkirnya dengan hati-hati. Indra menghela napas. “Ini template sekali. Seminggu ini aku sudah mendengar hal yang sama dari setidaknya enam orang. Tiap makan siang diajak bareng, atau pulang kantor diajak ngopi, seperi sekarang. Dari mulai Bu Maulida samapai pak Alex, semua bilang aku harusnya tidak menikah kalau hanya ingin bertanggung jawab—” Azri meringis. “Masalahnya—“ “—bahkan perempuan yang kuhamili pun mengatakan hal yang sama.” Azri melongo, rahangnya melorot. “Hah?” Kali ini, Indra mengambil cangkir dan meneguknya. Panas, pahit, dengan sedikit rasa masam, membuatnya wasspada. Dia bisa merasakan kesabarannya menipis. Tadinya Indra berencana untuk pulang cepat, dia sudah merendam daging has iris dalam bumbu manis pedas. Kalau dia terlambat pulang, Emma akan melakukan sesuatu yang menyebalkan seperti membeli nasi ayam tepung yang alot karena terlalu lama berada di bawah sinar lampu pemanas minimarket. “Semua merasa aku dalam bahaya, diperdaya dan dijebak dalam pernikahan... yang jadi masalah, orang yang kalian tuduh hendak menjebakku menolak menikah denganku,” kata Indra dengan suara tenang, kembali menyesap kopi. Sekali teguk lagi sebelum kopinya habis. Dia tak ingin berlama-lama di sini. Azri mengembuskan napas pendek. “Wow... tapi katamu dia masih tinggal di apartemenmu. Jadi... apa? Kalian hanya kumpul kebo?” Indra menatap Azri tajam. Menyadari kesalahannya, Azri buru-buru mengoreksi. “Oke sori... tentu, tidak ada lagi kumpul kebo. Yang terbaru, eh, istilahnya... cohabitation?” “Aku dan Emma tak melakukan kumpul kebo, kohabitasi, samen leven atau apalah itu istilahnya.... Kami hanya tinggal bersama, itu saja.”



22 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Azri nyengir. “Tentu,” katanya terkekeh. “Dia berencana tinggal di rumahku selama dua-tiga bulan. Emma sedang ada masalah dengan keluarganya, atau tepatnya. Untuk saat ini dia tak punya pekerjaan, tempat tinggal... karena itulah selama ini pun yang kulihat dia sedang berusaha mencari kerja lagi,” terang Indra. “Jadi kamu bisa bilang ke Pak Andreas, Pak Alex, bu Maulida, Bu Rara, untuk berhenti mengkhawatirkan aku.” “Haduh, bilang ke dari awal...” Azri tertawa terbahak, campuran antara lega dan bahagia. “Kita semua takut kamu kena jebak...” Indra tersenyum masam. “Selama dua bulan Emma tinggal bersamaku, aku akan menjaga Emma sebaik-baiknya. Siapa tahu, kalau aku beruntung, dia mau menikahiku...” Senyum Azri lenyap seketika. Kali ini pembawaannya yang sering kocak dan santai menghilang. Ini adalah wajah tegas Azri Ibrahim yang sering membuat dilihat klien dan koleganya. “Indra,” kata Azri, bibirnya terkatup rapat dan badannya maju. “Kalau kamu mau, aku punya kenalan dokter yang—“ “Kok masih update nama dokter aborsi terkini? Bukannya istrimu sudah disteril setelah kalian punya anak keempat?” Wajah Azri memerah Tidak ada klausul susila di kontrak pekerjaan mereka, namun secara tak tertulis, semua rekanan firma diminta memiliki hidup pribadi yang bermartabat dan tanpa skandal. Yang jadi masalah, Azri tak punya wibawa di mata Indra. Kenyataan bahwa kini Azri yang menguliahinya membuat Indra muak. Sepanjang yang Indra ketahui, lelaki itu menebar sperma semudah mengeluarkan saus tomat dari botolnya. Tap Azri selalu bermain rapi, pasangannya berganti-ganti dari yang baru masuk kuliah sampai yang seumurnya. Memang perbuatan amoral bukanlah masalah selama tidak ketahuan. “Istriku steril atau tidak, itu urusan pribadiku... kita tidak sedang membicarakan pernikahanku.” “Oh, jadi kehidupan pribadmu tak boleh dibicarakan? Tapi kehidupan pribadiku boleh dicampuri semua orang?” “Setidaknya aku tak pernah menghamili pacar-pacarku,” kata Azri, mendengus, kali ini tanpa berpura-pura tersinggung seperti tadi. “Apa sih masalahmu? Memang cewekmu itu tidak pakai pil? IUD?” Indra menatap Azri. “Aku tidak yakin dia pernah ber... uh... berhubungan dengan orang lain sebelum aku.”



23 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



Azri memutar bola mata. “Bagus. Menghamili perawan. Mending perawannya pintar, ini reproduksi dasar aja nggak becus. Sebelas dua belas sama kamu lah Ndra. Kenapa sih pake ceroboh gini? Kenapa kamu tidak mengantongi kondom seperti lelaki normal pada umumnya?” Indra tak berminat membela diri, di hadapan Azri atau siapa pun. Dia membawa sebungkus dalam dompetnya. Tidak perah dipakai, menganggur di situ sampai lecek atau kadaluarsa. Diganti yang baru, untuk jaga-jaga, berulang kali mengalami nasib yang sama... Kondom di dompet Indr baru diganti dua minggu sebelumnya di malam dia bertemu Emma. Sebentar, aku... kita harus... Tidak, jangan.... aku ingin merasakan dirimu yang seutuhnya... Indra menunduk dan memejamkan mata. Kenangan malam itu masih kuat di benaknya. Setiap terlintas, perut bagian bawahnya bergejolak, bulu di tangannya meremang. Indra ingin sekali lagi meletakkan kepalanya di lekuk leher Emma, mendengar gadis itu bernapas terengah Tinggal serumah bersama Emma bukanlah hal yang mudah, berada satu kamar dengan Emma terasa seperti neraka. Nafsu seakan menyilet setiap senti tubuh Indra, kesakitan dan penuh damba. Azri belum selesai mengungkapkan pendapatnya soal Indra dan masih terus bicara, tak menyadari Indra sekarang menunduk, menatap kedua telapak tangannya, setengah melamun sembari bertanya-tanya mengapa dia ada di sini padahal dia bisa pulang dan bertemu Emma... menatap wajahnya yang sendu, dan mendengarkan ucapannya yang kadang tak penting-penting amat, tapi Indra selalu dengarkan seperti orang kehausan. *** Indra memasuki dapur saat Emma sedang mencuci tangan. “Hei,” sapa Indra. Tatapan matanya lelaki itu nyalang, menatap Emma lalu menatap meja makan dan akhirnya mengecek ke arah tempat sampah sementara. “Halo, tumben pulangnya malam,” kata Emma. Dia mengelap tangannya ke lap yang ada di salah satu laci dapur. “Iya sori... aku akan segera—“ “Aku sudah makan. Maaf, tadi lapar banget. Kalau kamu mau kamu saja yang makan dagingnya,” kata Emma sembari meringis. Kemarin malam dia membantu Indra begadang membuat bumbu rendaman daging. Daging berbentuk kubus-kubus kecil yang terlihat enak dan mahal, dimasukkan dalam campuran bawang bombai Emma hanya sekadar membantu mengupas ba Tak sepe



24 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Tidak berangkat kerja?” tanya Emma saat berjalan melewati pria itu menuju dapur. Indra sedang mengecek ponselnya, duduk di kursi makan dengan tegak, kakinya bersilang, tangannya yang memegang ponsel berada di atas lutut. “Tidak,” katanya. “Hari ini kerja dari rumah. Mau masak sesuatu?” tanya Indra saat melihat Emma meletakan wajan baja di atas kompor. “Roti semir gula. Mau?” tanya Emma. “Mau dong... sepertinya ada mentega di kulkas, kalau kamu mau sebagai pengganti margarin.” Emma menyeringai, “Tak perlu, nanti kurang otentik.” Sepuluh menit kemudian, Indra dan Emma duduk bersebelahan di meja makan, menghadap sepiring roti semir gula yang masih mengepul hangat. Emma membuat seteko teh panas tawar, Indra mengambil dua buah cangkir dan menuangkannya untuk mereka. Beda umur Emma dan Vanda hampir enam tahun. Sepanjang yang diingat Emma, roti semir gula adalah salah satu makanan yang sering dibuat mbak Vanda untuknya. Dua roti putih dioleh margarin, lalu ditabur gula. Manis dan tak banyak gaya, mengenyangkan tanpa banyak usaha. Ketika Emma sudah bisa menggunakan kompor sendiri, dia sering memanggang roti semir gula dengan api kecil, sampai bagian luar roti kering kecoklatan dan gula dalam roti meleleh menjadi karamel. Wangi, manis dan hangat. “Enak,” kata Indra. “Aku tak tahu kita punya roti.” Mungkin Emma terlalu berlebihan dan mendramatisir, namun kata ‘kita’ yang digunakan Indra membuatnya ingin duduk bersimpuh di lantai sambil menangis penuh haru. Seoalah Emma memang berhak tinggal di sini dan segala yang ada di apartemen ini merupakan milik mereka berdua. “Tinggal segini ini, sudah tidak ada lagi,” jawab Emma. “Biar nanti siang aku turun ke supermarket bawah untuk belanja..” “Jam sebelas, gimana? Biar kutemani... kalau sebelum jam sebelas masih ada yang harus kukerjaka.” Emma terdiam, menimbang-nimbang. “Aku mau ke



25 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



4 5 6 Act 2 7 “Rencana A-ku adalah memutuskan nasibku sendiri. Ayahku berkeras agar aku mengalami pengangkatan rahim. Keputusan ” “Kamu adalah rencana B-ku. Jika entah bagaimana aku mengalami nasib yang sama dengan kak Vanda, aku tak mau mengalami.



8 9 10 11 12 13 14 15 16 “Ibu Emma?” “Ya?”



26 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



“Maaf, saya AKBP Fajrul, dari Polsek Tanah Sareal. Ini dengan ibu Nong?” “Iya, betul... ada apa Pak Fajrul?” “Begini Bu,



Act 3 17 Katanya, ketika manusia mebuat rencana, dewa-dewa tertawa...



18 19 20 21 Mencintai Indra lebih mudah saat Emma sudah bisa memafkan dirinya sendiri. Mencintai Emma dan segala masa lalu mereka.



TAMAT



27 | S e g a l a M a s a L a l u K i t a



How does a moment last forever? How can a story never die? It is love we must hold onto Never easy, but we try Céline Dion - How Does A Moment Last Forever