Sejarah Dan Pemikiran Rasyid Ridha [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MUHAMMAD RASYID RIDHA DAN PEMIKIRANNYA Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kadir Sobur, MA,Ph.D Dr. M. Arifullah, MA



Oleh :



SITI MASITHAH NIM. P.e.211.1.1452



PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2017



0



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Islam senantiasa memberikan respon terhadap berbagai problematika yang muncul. Respon Islam tersebut, tidaklah lepas dari peran yang diberikan oleh tokoh yang mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk terus melakukan pembaruan terhadap berbagai paham yang ada dalam Islam. Reformasi Islam lahir pada akhir abad ke-19 sebagai jawaban terhadap pengaruh dunia barat yang yang gencar menyerang kaum muslimin.1 Sedangkan yang menjadi isu sentral mereka adalah upaya agar keyakinan agama sesuai dengan pemikiran modern. Termasuk pula dalam hal ini tentunya, pemahaman umat Islam terhadap Alquran. 2 Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan Turki Utsmani dan Mesir. Orang-orang Turki Utsmaniyah sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa, karena kekuasaan Kerajaan Turki Ustmani hingga abad ke-17 Masehi telah mencapai Eropa Timur yang meluas sampai ke gerbang kota Wina. Tetapi sejak abad ke-18, Kerajaan Tukri Ustmani mulai mengalami kekalahan dari kerajaan-kerajaan Eropa. Kekalahan oleh Eropa –yang pada abad-abad sebelumnya



1



Moeslim Abdurrahman, Islam Transpormatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. I, h.



62 2



Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menggali Nilai-nilai Ajaran Alquran dalam Kehidupan modern di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 248.



1



masih dalam keadaan mundur– inilah yang menjadi pemicu adanya pembaharuan di Kerajaan Turki. 3 Sementara pembaharuan yang terjadi di Mesir terjadi sejak terjadinya kontak dengan Eropa yang dimulai dari datangnya ekspedisi Napoleon Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Kedatangan Napoleon ini juga membawa banyak oleh-oleh dari Eropa yang berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan dan teknologi, hingga ia mampu mendirikan lembaga ilmiah Institut d’Egypte.4 Di samping itu Napoleon juga mempunyai hubungan baik dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya pembaharuan dalam Islam di Mesir.5 Rasyid Ridha, adalah satu dari sekian banyak pembaru, yang telah banyak menelurkan serta menyumbangkan banyak ide dan pemikirannya bagi kemajuan umat. Dan pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai Rasyid Ridha serta beberapa hal yang berkaitan dengannya. B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Biografi Muhammad Rasyid Ridho 2. Ide-ide Pembaharuan Muhammad Rasyid Ridho (Agama, Pendidikan dan Politik) 3. Perbedaan pemikiran Rasyid Ridho dengan Muhammad Abduh



3



Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. VII, h. 147 . Harun Nasution, Ibid., h. 148. 5 Harun Nasotiun, Ibid., h. 148 4



2



BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Rasyid Ridha 1. Kelahiran Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah alBaghdadi.6 beliau dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw. 7 Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam usaha pembaharuan.



2. Pendidikan Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya. Disinilah dia mulai membaca Alquran, menulis dan berhitung. 8 Beberapa tahun kemudian,



setelah



menamatkan



pelajarannya



di



lembaga



6



A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 13; 7 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280. 8 Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, ( Yogyakarta : Qalam, 2002), cet. ke-1, h. 64



3



pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli. Di madrasah tersebut di ajarkan nahwu, sharaf, berhitung, geografi, akidah dan ibadah. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada



para



siswa



dalam



bahasa



Turki.



Hal



itu



tidak



mengherankan karena tujuan pendidikan dan pengajaran pada madrasah itu melahirkan tenaga-tenaga kerja yang menjadi pegawai kerajaan. Dia pun keluar dari madrasah itu setelah kurang lebih satu tahun lamanya belajar disana. 9 Pada tahun 1882, ia meneruskan



pelajaran



di



Madrasah



al-Wataniyah



al-Islamiyah



(Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan disamping itu pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuanpengetahuan modern. 10 Disamping itu, Muhammad Rasyid Rida memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Gazali, antara lain hya’ Ulum al-Din I sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama. 11



3. Wafat Muhammad



Rasyid



Rida



sebagai



ulama



yang



selalu



menambah ilmu pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai dengan senyuman. 12 9



Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Konteks..., h. 14 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 69; 11 Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 83 12 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 63 10



4



B.



Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran islam yang sebenarnya. Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ideide pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria 13. Tetapi usahausahanya mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. 14 Kemudian ia pindah ke Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.15 Sebenarnya, ia telah mulai menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya, Muhammad Abduh16. Beberapa bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah sama dengan tujuan al-Urwah alWutsqa, yaitu antara lain adalah mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta 13



Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Op.Cit., h. 70 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., h. 70 15 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Ibid., h. 70. 16 Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005 14



5



faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat. Sebagai tokoh pembaruan yang masih condong pada ajaranajaran ibnu Taimiyah dan sekaligus sebagai penyokong aliran Wahabi, ajarannya berpaham salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan hadits.



1. Pembaharuan dalam bidang Agama Rasyid



ridha



berpendapat



menyebabkan



umat



islam



lemah,



bahwa adalah



faktor



utama



karena



tidak



yang lagi



mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam telah banyak



diselimuti



oleh



faktor



bid’ah



yang



menghambat



perkembangan dan kemajuan umat, diantara bid’ah-bid’ah yang dimaksudkan itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala yang dikehendakinya, dan sekaligus juga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Selain itu, bid’ah lain yang juga mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha, ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya kehidupan duniawi, tawakkal yang berlebihan, serta kepatuhan yang berlebihan terhadap syekh dan wali.17 Ia berpendapat bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam lainnya adalah paham fatalisme, karena paham tersebut menyebabkan manusia tidak memiliki etos kerja dan cenderung tidak mau berpacu atau pasrah dengan keadaan. Menurutnya, salah satu 17



Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), h. 25



6



penyebab



kemajuan



Eropa



adalah



paham



dinamika.



Dalam



pandangannya, sifat dinamis tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh Islam, karena itu Islam harus bersikap aktif dan memberikan penghargaan terhadap akal. Dinamika dan sifat aktif itu terkandung dalam kata jihad, jihad dalan arti berusaha keras, dan bersedia berkorban untuk mencapai tujuan perjuangan. Faham jihad serupa inilah yan menyebabkan umat islam di zaman klasik dapat menguasai dunia. Rasyid Ridha, sebagaimana Muhammad Abduh, menghargai akal manusia. Meskipun, penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Baginya, akal dapat dipakai dalam hal yang berkenaan dengan hidup bermasyarakat, dan tidak terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Ijtihad tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya



diperlukan



dalam



menghadapi



persoalan-persoalan



bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalanpersoalan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Disinilah letak dinamika Islam dalam pandangan Rasyid Ridha.18 Umat islam harus menggali kembali teks al-Qur’an tanpa harus terikat pada pendapat para ulama terdahulu, sebab, akal dapat memberikan interpretasi atau pemahaman ulang terhadap teks-teks al-qur’an dan hadist yang tidak mengandung arti tegas, atau bersifat dhanny, apalagi persoalan-persoalan yang tidak terkandung dalam alqur’an dan hadits.



18



Muhaimin, Pembaharuan Islam: …h. 35



7



Untuk mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap adanya toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat, menurutnya hanyalah mengenai hal-hal mendasar saja (misalnya mengenai masalah ke-Tuhan-an), sedangkan dalam hal perincian dan bukan dalam hal yang mendasar, diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya. Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya. Ketika Muhammad Abduh memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-azhar, ia menuliskan keterangan-keterangan yang diberikan oleh gurunya tersebut, dan kemudian disusun dalam bentuk karangan teratur dan diperiksa kembali oleh Abduh, selanjutnya, karangan itu ia siarkan dalam alManar. Yang dikemudian hari, menjadi titik awal tersusunnya tafsir al-Manar. Namun, Muhammad Abduh hanya sempat menyelesaikan penafsiran hingga ayat ke-125 dari surat an-Nisa (jilid III dari tafsir alManar), dan selanjutnya, diteruskan oleh Rasyid Ridha sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh sang guru. Menurut Rasyid Ridha, umat harus dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah yang ada. Dan dalam pemahamannya, Islam yang murni itu sangatlah sederhana, sederhana dalam ibadah, juga dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadah tersebut, telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnah. Sedangkan, mengenai hal-hal yang sunnah ini, terdapat perbedaan faham, dan timbullah kekacauan.



8



Dalam



soal



muamalah,



dasar-dasar



seperti



keadilan,



persamaan, serta pemerintahan, perincian dan pelaksanaannya, umatlah



yang



menentukan.



Sedangkan,



hukum-hukum



fiqh



mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, namun demikian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tidak boleh dianggap absolut dan seakan tidak dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasan tempat dan zaman ia timbul. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Rasyid Ridha, akal berperan terhadap persoalanpersoalan yang tidak disebutkan dalam Alquran dan Hadis, dan untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk mengetahuinya.. oleh karena itu, obyek ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyarakatan, bukan dalam bidang ibadah; karena persoalan



kemasyarakatan



mengalami



perubahan;



sedangkan



persoalan ibadah tidak mengalami perubahan. Hal ini bukan berarti ia menganggap akal tidak berfungsi sama sekali. Akal menurut pandangannya penting dalam memberikan interpretasi terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat Alquran; dan meneliti



hadis



nabi



dan



pendapat



sahabat.



Selanjutnya



ia



menyebutkna bahwa akal manusia tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan kedudukan yang tinggi.19



19



Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006. Hlm. 72



9



Menurut Rasyid Ridha, hasil temuan akal tidak dapat disejajarkan dengan wahyu. Baginya, derajat wahyu lebih tinggi daripada temuan akal. Jika dalam memahami ajaran agama, hasil temuan akal bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus diutamakan. Apabila dibandingkan wewenang yang diberikan oleh Rasyid Ridha terhadap akal denga wewenang yang diberikan oleh aliran-aliran kalam terhadap akal, maka ia memberikan wewengan yang sangat lemah terhadap akal, bahkan lebih lemah daripada wewenang yang diberikan al-Asy'aruyah dan Maturidiyah Bukhara. Hal ini menunjukan bahwa ia ternyata lebih tradisional daripada alAsy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara.20 Selanjutnya apabila dibandingkan pendapat Rasyid Ridha dengan kekempat aliran kalam (Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkan, al-Asy'ariyah, dan Maturidiyah Bukhara) dalam memposisikanwahyu untuk mengetahui persoalan-persoalan pokok dalam teologi, maka Rasyid Ridha memberikan fungsi terbesar kepada wahyu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tipologi Harun Nasution, corak teologi Rasyid Ridha ditinjau dari pemikirannya tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu adalah tradisional.[28]



2. Dalam Bidang Pendidikan Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada tahun 1912 di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan



madrasah



tersebut



di



Konstantinopel



terutama



meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya 20



Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern,hal. 74-75



10



Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negeri-negeri mereka. Untuk



mengimbangi



sekolah



tersebut



dipandang



perlu



mengadakan sekolah misi Islam. 21 Muhammad



Rasyid



Ridha



juga



merasa



perlu



dilaksanakannya ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum matamata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasabahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional. 22



3. Dalam bidang Politik Dalam bidang politik, Muhammad Rasyid Rida juga tidak ketinggalan, sewaktu beliau masih berada di tanah airnya, ia pernah berkecimpung dalam bidang ini, demikian pula setelah berada di Mesir, akan tetapi gurunya Muhammad ‘Abduh memberikan nasihat agar ia menjauhi lapangan politik. Namun nasihat itu diturutinya hanya ketika Muhammad ‘Abduh masih hidup,



dan setelah ia wafat, Muhammad Rasyid Rida aktif



kembali, terutama melalui majalah al-Manar. 23 Ia memainkan peran yang cukup besar dalam politik Suriah, mengadakan negosiasi-negosiasi dengan inggris pada masa perang, sebagai presiden kongres Suriah tahun 1920, sebagai anggota delegasi Suriah-



21 Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994), h. 85 22 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Op.Cit., h. 71 23 Muhammad Yuseran Asmuni, Ibid., h. 86



11



Palestina di Jenewa pada 1921, dan komite politik di Kairo selama Revolusi Suriah 1925-1926. Seperti telah tertera di atas, bahwasanya Rasyid Ridha telah memulai kiprahnya di dunia politik semenjak masih berada di tanah airnya, dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Akan tetapi, atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal, barulah ia memulai bermain kembali dalam lapangan politik. Di dalam majalah al-Manar ia mulai menulis dan memuat karangankaranga



yang



menentang



pemerintahan



absolut



kerajaan



Usmani.



Selanjutnya, ia juga memuat tentang tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Prancis untuk membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing. Sebagaimana halnya Afghani, Rasyid Ridha juga melihat perlunya dihidupkan kembali kesatuan umat Islam. karena menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat islam ialah adanya perpecahan yang terjadi di kalangan umat. Kesatuan yang dimaksudkan bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa ataupun bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme. Ia beranggapan bahwasanya faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan seluruh umat dalam Islam. Karena, dalam persaudaraan Islam, tidaklah dikenal adanya perbedaan bahasa, tanah air maupun bangsa. Menurut Rasyid Ridha, hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan dari pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat memerlukan suatu bentuk negara. Negara yang dianjurkan olehnya adalah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara ialah khalifah. Khalifah, karena mempunya kekuasaan legislatif, harus mempunyai sifat mujtahid.



12



Tetapi, khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantupembantunya yang utama dalam soal memerintah umat. Khalifah adalah mujtahid besar dan di bawah kekhalifahan lah, kemajuan dapat dicapai dan kesatuan umat dapat diwujudkan. Sedangkan, kedaulatan umat tetap berada di tangan umat dan berdasarkan prinsip musyawarah. Idenya mengenai kekhalifahan tersebut, ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul al-Khilafah. Bentuk Pemerintahan Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan



Hukum



Perundang-undangan



dan



menjaga



pelaksanaannya. Disamping itu khalifah adalah seorang mujtahid sehingga ia dapat meretapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.24 Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada di antara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Dan memecahkan



masalah



tersebut



dengan



menyatakan



bahwa



kepentingan politik Arab identik dengan kepentingan politik secara keseluruhan,



adanya



sebuah



negara



Arab



merdeka



akan



menghidupkan kembali bahasa dan hukum Islam, apabila ada konflik, maka ia akan mengutamakan kewajiban agama daripada kewajiban nasional. Oleh karena itu Ridha tidak mendukung ide-ide nasionalisme yang dikembangkan oleh Mustafa Kamil dari Mesir dan 24



Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Hlm. 86



13



nasionalisme yang dikembangkan oleh Usman Amin, Rasyid Ridha tidak setuju adanya nasionalismu.25 Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan denga paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi tercitanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah yang tidak absolut dan mujtahid. Selain pendapat Rasyid Ridha dalam masalah-masalah yang telah disebut di atas, ada pula masalah-masalah lainnya yang tidak dapat



dirangkum



dalam



kesempatan



ini



seperti



tentang free



will danpredestination,kekuasaan, kehendak mutlak, dan keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat anthropomorphosme, beautific vision, ru'yat Allah (melihat Tuhan di akhirat), sabda Tuhan, konsep iman, dan sebagainya.26 C. Metode yang digunakan Rasyid Ridha Ketika majalah al-Urwah al-Wutsqa sudah mencapai cetakan yang kedelapan belas melalui prakarsa Rasyid Ridha. Ia mendapatkan misi yang membuat ia harus berhijrah dari negerinya (Tarablus) ke Mesir untuk menerbitkan majalah al-Manar. Ia menjadi juru bicara dalam aliran pemikiran yang diusungnya. Al-Manar dijadikan sarana dalam menyampaikan metode-metode pembaharuan ke seluruh penjuru negara Muslim. Rasyid Ridha berkeinginan untuk menjadikan alManar sebagai “kawat listrik” yang menyengat dan menggugah umat Islam, sebagaimana yang ia lakukan dengan penerbitan majalah alUrwah al-Wutsqa. 25 26



Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran Dan.... hal 86 Baca Ris'an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern.



14



Dalam pertemuannya dengan Muhammad Abduh (6 Sya’ban tahun 1315 H/ 31Desember tahun 1897 M. Ia telah mempelajari proyek penerbitan majalah al-Manaryang membahas pada masalah penyakit masyarakat dan kelemahannya beserta penanggulangannya melalui pendidikan. Ia membeberkan aliran pemikiran yang benar untuk melawan kejahilan, dan pemikiran yang merusak seperti pemaksaan kehendak dan khurafat. Dalam menentukan



metode majalah, Muhammad Abduh



meminta pada Rasyid Ridha untuk: 1. Tidak mengikuti partai-partai politik 2. Tidak mementingkan dalam membela diri dari kritikan 3. Tidak melayani orang yang sombong Setelah



dirampungkan



seluruh



metode



yang



akan



dijalankannya, maka terbitlah al-Manar pada tanggal 22 Syawal tahun 1315 H/ 17 Maret tahun 1898 M dalam bentuk koran mingguan. Setahun setelah wafatnya Jamaluddin al-Afghani. Kemudian alManar berubah bentuk menjadi majalah bulanan di tahun kedua untuk menyampaikan



misi al-Urwah al-Wutsqa yang diprakarsai oleh al-



Afghani. Yang menjadi pimpinan redaksinya waktu itu ialah Muhammad Abduh. Inilah al-Manaryang kemudian terbit lagi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Ketika itu, pemegang tampuk kepimpinan redaksinya adalah Rasyid Ridha.27 Keistimewaan



yang



paling



mencolok



dari



tafsir al-



Manar dibandingkan dengan yang lainnya terletak pada terobosan baru dalam hal metodologi yang ditempuhnya. Metode yang dapat dikatakan belum ditempuh para mufassir sebelumnya ini merupakan



27



Lihat, Imarah Muhammad, “Mencari Format Peradaban Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 7.



15



pengembangan dari yang ditempuh Muhammad Abduh sebelumnya. Secara umum, metode dimaksud dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tidak terikat dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan para mufasir atau ulama sebelumnya. 2. Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam menyingkap makna-makna al-Qur’an, namun dengan tetap memelihara keindahan struktur kalimat (uslub) dan diiringi upaya penyingkapan ketelitian redaksi yang dipergunakannya. 3. Menjadikan al-Qur’an sebagai hakim (penentu) atau dasar (ashl) dalam melahirkan berbagai ketentuan dalam bidang akidah dan fiqih, dan bukan sebaliknya. 4. Menghindari perincian (paparan mendetail) terhadap hal-hal yang sudah dianngap memasuki wilayah mubhamat (masalah-masalah yang tidak di uraikan secara rinci di dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad saw. Menurutnya, tidak dijelaskannya hal-hal tersebut secara detil oleh al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa perincian dimaksud tidak penting dan bahkan bisa jadi hanya akan merintangi target utama yang ingin dicapai, yaitu pemberian petunjuk. 5. Menghindari



penggunaan



riwayat-riwayat



israiliyat



dalam



penafsiran, terutama yang berkenaan dengan kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu. 6. Banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah swt, (sunnatullah) yang telah digariskan bagi manusia, khususnya dalam aspek sosial, dan alam semesta serta seruan yang bertujuan menyadarkan serta mengarahkan



kehidupan



kaum



muslimin



kembali



kepada



tuntunan Allah swt, yang semestinya. Penulis tafsir ini juga memaparkan berbagai undang-undang kehidupan sosial dan faktor-faktor kemajuan maupun kemunduran yang berlaku secara umum terhadap seluruh umat dan bangsa.



16



7. Membantah berbagai keragu-raguan yang ditiupkan para musuh Islam atau serangan-serangan yang mereka lontarkan terhadap ajaran-ajaran yang dibawa al-Qur’an dan as-Sunnah.28



Mohammad, Herry, “Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20”, (Jakarta: Gema Insani, Press, 2006), h. 317-318 28



17



BAB III KESIMPULAN



Rasyid Ridha merupakan pembaharu yang mempunyai konsep pemikiran tradisional. Konsep pembaharuan yang dikemukakannya meliputi aspek teologi, pendidikan, syari’at dan politik. Rasyid Ridha menyerukan agar umat Islam kembali ke dua hal yang



diwasiatkan



olehNabi



Muhammad



SAW



sebelum



beliau



meninggal yaitu Al Quran dan Hadits. Beliaumenyerukan hal seperti ini karena beliau melihat kehancuran Turki Utsmani bukan hanyafaktor penjajahan dari bangsa barat, melainkan juga perpecahan di dalam umat Islam itusendiri. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Dimana ada yang mengikuti Al Qurandan Hadits secara kontekstual, ada yang sama sekali tidak mau mengikuti Al Quran danHadits, dan ada yang mengikuti Al Quran dan Hadits namun tidak secara kontekstual,melainkan



dengan



pemikiran-pemikiran



kritis.Rasyid



Ridha menggagas sebuah teori yang bernama Konfederasi Islam. Dalamnegara-negara konfederasi Islam ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang diberi sebutan Khalifah. Terlihat bahwa tidak selamanya murid itu mengikuti pemikranpemikiran gurunya. Kenyataan ini terlihat dari metode berpfikir dan beberapa refleksi pemikiran yang dihasilkan keduanya.



18



DAFTAR PUSTAKA



A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani, Antara Teks, Kontekstualisasi, ( Yogyakarta : Qalam, 2002), cet. ke-1



Konteks,



dan



Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. VII. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994). Moeslim Abdurrahman, Islam Transpormatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. I Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan TokohTokoh Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000). Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Surabaya : al-Ikhlas, 1994) Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005 Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menggali Nilai-nilai Ajaran Alquran dalam Kehidupan modern di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997). Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005



19



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................



i



DAFTAR ISI..................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1 A. Latar Belakang............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3 A. Biografi Muhammad Rasyid Ridho............................................... 3 B. Ide-ide Pembaharuan Muhammad Rasyid Ridho ......................... 5 C. Metode yang digunakan Rasyid Ridha.......................................... 15 BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 18 DAFTAR PUSTAKA



20