Sejarah HMI MPO Cabang Palu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Out Line Buku Sejarah HMI cabang palu Judul : Menentang Arus, Meneguhkan Identitas Sejarah Perjuangan HMI Cabang palu 1997-2007 Tim Penyusun : Pengarah Temu Sutrisno Aswin Saikim Koordinator Edi Kuswandi, S.Pd Anggota Hariman Podungge Fatmawati, SE Zultin Abdullah, SHI Penyunting Temu Sutrisno Edi Kuswandi, S.Pd Halaman Judul Kata Pengantar Sambutan Ketua Umum HMI Cabang Palu Pendahuluan - Isi Seputar keharusan menulis sejarah dan nilai penting sejarah Latar belakang Pendirian HMI - HMI Secara Nasional - HMI Cabang Palu - HMI Cabang Palu Dinamika Internal HMI Cabang palu HMI Ditengah Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Perkembangan Pemikiran HMI Wajah Perkaderan HMI Cabang Palu



34



BAB II SEJARAH BERDIRINYA HMI CABANG PALU



A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya HMI: Sebuah Tinjauan Umum Kelahiran HMI pada tahun 1997 sudah merupakan tuntutan sejarah. Dengan perkataan lain bahwa HMI lahir sangat ditentukan oleh kondisi yang terkait di dalamnya, yaitu keIslaman, keIndonesiaan dan kemahasiswaan. Oleh karena itu ketiga aspek ini patut pula untuk diulas. a. Ke Islaman Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya menggulirkan pembaharuan pemikiran tentang Islam. Rifyal Ka’bah menyatakan: pembaharuan yang muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX ini lebih banyak merupakan pembaharuan sosial dan pemikiran dari pada pembaharuan keagamaan seperti yang dipahami dari reformasi keagamaan di Eropa. Ia lahir dalam masa kemunduran sebagai reaksi terhadap ide-ide peradaban Barat yang mulai masuk kedalam rumah-rumah orang Islam (Rifyal Ka’bah, 1984:164). Gerakan pembaharuan pemikiran ini di Indonesia lebih di kenal dengan gerakan modernis Islam. Melalui ulama-ulama Islam Indonesia yang berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji atau yang khusus belajar Islam di Mesir. Pelopor-pelopor pembaharuan pemikiran Islam ini telah dicatat oleh Deliar Noor dalam bukunya ”Gerakan Modrenis Islam”, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Ahmad Dahlan dan sebagainya. Dalam bentuk organisasi, Muhammadiyah



35



sangat berarti dalam perkembangan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia di samping Persis dan Al Irsyad. Sepanjang sejarah perjuangan dalam merebut kemerdekaan, umat Islam telah menunjukkan peranannya. Dengan demikian, sejarah perjuangan bangsa tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan umat Islam itu sendiri. Di samping itu, sebagai konsekuensi logis dari suatu penjajahan, maka yang paling banyak merasakan penindasan dan ketebelakangan adalah umat Islam dengan tidak mengabaikan apa yang terjadi pada pribumi lainnya. Dalam kondisi yang demikian inilah umat Islam kemudian bangkit mengorganisir diri dan potensinya dengan melalui mobilisasi nassa. Benang merah yang memintal antara upaya ummat Islam dalam mengantisipasi kendala yang dihadapinya dengan pembaharuan pemikiran MuhammadAbduh dan kawan-kawanya adalah melalui tulisan-tulisan yang beredar. Melaui media inilah Lafran Pane pendiri HMI banyak mengolah wawasan ke Islamannya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ridwan Saidi: Terdaftarnya Lafran Pane sebagai mahasiswa STI telah ”mengubah” wawasan berfikirnya tentang perjuangan dan Islam itu sendiri. Di STI ia berkenalan dengan seorang tokoh Islam Kahar Muzakir. Bahkan di STI ia mendapatkan kuliah-kuliah Islam dari (DR) Rasyidi, namun yang sangat berkesan baginya adalah kuliah yang diberikan oleh seorang tokoh Muhammadiyah dari kauman Yogyakarta: Kyai Hanat. Lafran Pane kemudia mulai menyibak lembaran demi lembaran buku-buku Muhammad Abduh (Ridwan Saidi, 1984:111). Pada sisi lain, Ummat Islam juga mengalami konflik internal akibat perbedaan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran atau Hadist. Perbedaan dalam pemahaman ini juga mengakibatkan perbedaan dalam praktek dan pendirian masing-masing organisasi. Menyangkut masalah-masalah yang



36



khilafiyah merupakan tema sentral dari pertentangan tersebut. Dengan demikian, kondisi umat Islam seperti ii merupakan salah satu sisi yang melatar belakangi berdirinya HMI. Oleh karena itu HMI berupaya hadir sebagai anak kandung dari ummat Islam, bukan anak dari salah satu organisasi masyakrat lainnya atau organisasi politik.



b. Ke Indonesiaan Setelah bangsa Indonesia melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, maka periode selanjutnya adalah bagaimana bangsa Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Bagi umat Islam, permasalahan, tantangan dan kendala adalah hal yang lumrah dalam perjalanan hidupnya. Hidup bagi umat Islam adalah perjuangan. Oleh karenan itu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah permasalahannya juga, baik dalam bidang kebudayaan, ekonomi, dan sebagainya. Ketika HMI lahir pada tahun 1997, berarti kemerdekaan kita baru berusia dua tahun. Kemerdekaan yang baru diproklamirkan tentunya belum dapat menjamin kestabilan nasional. Pemerintahan kolonial Belanda yang diusir oleh Jepang beberpa tahun terakhir sebelum kemerdekaan, ternyata masih memiliki rencana agresi yang kedua kalinya. Hal ini merupakan ancaman yang cukup serius bagi bangsa kita yang baru saja merdeka. Berbagai kepentinganpun kemudian muncul kepermukaan, bagaimana perjalanan bangsa ini harus diwarnai oleh ideologi tertentu, di samping kepentingan politik lainnya. Salah satu golongan yang dengan gigih menanamkan pengaruhnya kepada masyarakat adalah golongan Komunis.



37



c. Ke Mahasiswaan Berdirinya HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) tidak terlepas dari adanya agitasi politik pemerintah, khususnya pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Pola ini dilakukan pada masa kekuasaan Suharto atau dikenal dengan sebutan Orde Baru sebagai pengganti pemerintahan Soekarno (Orde lama). Memasuki awal dekade 80-an HMI menunjukkan adanya perubahan sikap dan pandangan (change of behaviour) terhadap kekuasaan atau pemerintah. Hal itu selain disebabkan oleh adanya pengentalan paham keislaman secara komprehensif, juga dapat disebut sebagai respons terhadap kekuasaan Orde Baru. Hasanuddin M. Saleh (1996) menyatakan bahwa : Fenomena HMI 1980-an dan sebelum 1980-an menunjukan penampakan yang jauh berbeda. Sebelum dekade 1980-an HMI cenderung sangat akomodatif terutama untuk menjaga kepentingan-kepentingan politiknya. Hal itu dapat dilihat dengan sikap HMI menghadapi kekuasaan Soekarno yakni cenderung menentang konsep Nasakom. Demikian juga terdapat riak yang cukup berarti secara kelembagaan terhadap perilaku politik Orde Baru antara tahun 1968-1980. Berdasarkan pernyataan di atas bahwa HMI menjadi organisasi yang senantiasa memperhatikan kondisi kebangsaannya dan selalu menyikapi kebijakan pemerintah. Perubahan yang terjadi dikalangan internal HMI yang kemudian mencoba mengambil sikap bertentangan dengan pemerintah adalah ketika pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Keormasan yakni UU. No. 8/1985. Undang-undang keormasan tersebut mengharuskan kepada setiap organisasi-organisasi masyarakat (Ormas) dan organisasi-organisasi politik (Orsospol) untuk tidak mengambil asas selain asas Tunggal Pancasila, maksudnya



38



adalah setiap organisasi harus menggunakan asas Pancasila. Mengenai pemberlakuan asas Tunggal ini, M. Rusli Karim (1997:127) Menyatakan bahwa: Kebijakan pemerintah tentang pergantian dasar ormas oleh umat Islam ditanggapi dalam empat sikap. Pertama, menerima tanpa banyak persoalan, yaitu NU dan kelompok-kelompok lain yang memiliki hubungan dengan pemerintah atau partai pemerintah, dengan alasan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, mau menerima tetapi menunggu adanya undang-undang formal yang dibuat oleh pemerintah. Kebanyakan ormas Islam mengambil sikap kedua ini, termasuk Muhammadiyah. Ketiga, bersikap apatis, yaitu mereka yang berpendidikan rendah dan selalu mendukung kehendak pemerintah. Inilah sikap mayoritas umat Islam. Keempat, menolak sama sekali kebijakan itu, yaitu HMI MPO, Pelajar Islam Indonesia, dan Gerakan Pemuda Marhaenis. Dari pernyataan Rusli Karim di atas menjadi jelas bahwa kebijakan mengenai pergantian dasar organisasi diterima oleh setiap organisasi masyarakat kecuali tiga Organisasi Kepemudaan yaitu; HMI MPO, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis. HMI sebagaimana dalam Anggaran Dasar adalah organisasi yang berasaskan Islam, sehingga organisasi ini tetap konsisten dengan mempertahankan asas ideologi Islam. Sejak didirikan, HMI sebenarnya menerima Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia. Menurut Abdurahman Wahid (dalam M. Rusli Karim,1997:129) “HMI adalah organisasi mahasiswa yang ‘paling Pancasilais’ dalam gerakan Islam di Indonesia, yaitu dengan memasukan semua prinsip ke dalam Anggaran Dasarnya”. Timbulnya masalah ketika pemerintah mengharuskan asas ormas, termasuk yang selama ini berasaskan Islam, untuk menggantinya dengan Pancasila. Inilah sumber konflik umat Islam dengan Pancasila.



39



HMI menolak asas tunggal Pancasila hanyalah salah satu respons politik kelembagaan untuk menghindari sandungan dalam proses penyempurnaan paradigma gerakan. Syafinuddin Al-Mandary (2003:73-74) menyatakan : Adalah salah satu anggapan yang keliru bila HMI MPO hanya diidentifikasikan pada penolakan asas tunggal Pancasila saja. HMI MPO sejak menyatakan diri secara tegas menolak asas tunggal Pancasila telah menunjukan karakteristik akar yang membedakan dengan HMI Dipo yaitu pertama, mereka secara konsisten melakukan penyempurnaan paradigma gerakan sesuai dengan tuntutan sejarahnya. HMI MPO merasa bahwa kepentingan untuk melanjutkan perjuangan keumatan adalah terlebih dahulu melakukan reorientasi paradigma gerakan. Kedua, HMI MPO tetap mempertahankan idependensinya meskipun dengan resiko terbatasnya ruang gerak dan berkurangnya peluang untuk mengartikulasi peran-peran intelektual, politik, sosial, dan budaya. Ketiga, HMI MPO secara pasti dapat memanfaatkan independensi gerakan dan keunggulan ideologinya untuk membangkitkan spirit perjuangan dalam menciptakan posisi tawar dengan penentu kebijakan Negara. Pernyataan



di



atas,



menjelaskan



bahwa



keliru



bila



hanya



mengidentifikasikan HMI MPO dengan penolakan terhadap asas tunggal Pancasila akan tetapi sikap tersebut telah membedakannya dengan organisasi lain termasuk HMI Dipo. Penolakan tersebut juga berarti bahwa HMI MPO tetap konsisten dengan idealitas organisasi yang senantiasa independen, sehingga memiliki keleluasaan dalam perjuangan. Abdullah Hemahua Ketua Umum PB HMI periode 1979-1981 melalui suratnya kepada Harry Azis Ketua Umum PB HMI periode 1983-1986 (dalam Syafinuddin Al-Mandari, 2003: 66) memberi 4 alasan sehingga mengecam sikap PB HMI yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi. (1) alasan idiologis. Menurut Hemahua bahwasannya Islam dapat menjadi suatu tawaran sistem nilai untuk tata dunia baru. Artinya hal-hal pokok menyangkut substansi nilai ajaran Islam adalah sesuatu yang patut menjiwai seluruh sistem kehidupan dalam tatanan



40



masyarakat; (2) alasan historis. Perjuangan kemerdekaan bangsa oleh wilayahwilayah atau kerajaan-kerajaan diseluruh nusantara sebenarnya merupakan perjuangan yang didorong oleh semangat religius; (3) alasan konstitusional. Pancasila sebagai dasar Negara adalah hasil kompromi golongan nasionalis sekuler dan agamis (Islam) dalam sidang PPKI. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan bahwa dasar Negara Pancasila adalah dasar Negara yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Ketetapan ini diperkuat dengan TAP MPRS 1968 dan dilakukan lewat TAP MPR RI 1973, maka Pancasila sebagai asas tunggal sangat bertentangan dengan hal tersebut; dan (4) alasan operasional. Asas tunggal Pancasila adalah suatu paket politik yang gegabah. Maksudnya adalah jika disebut bahwa UU No. 8/1985 atau lazim disebut UU keormasan tentang organisasi kemasyarkatan adalah operasional dari pasal 28 UUD 1945, maka harus : a. Di putuskan sesuai dengan semangat Pasal 28 UUD 1945 dengan metode musyawarah, terbuka, dan edukatif sebagai aspirasi. b. Tidak mereduksi makna Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan dan persamaan hak dalam mengemukakan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Selain itu, terdapat pertimbangan organisatoris seperti; penerimaan asas Pancasila di luar Kongres disebut inkonstitusional maka keputusan tersebut tidak sah; peserta Kongres yang tidak representatif dimana peserta penuh dari Kongres adalah Pengurus cabang defenitif. Pengurus Cabang yang sah adalah yang terpilih lewat Konferensi sedangkan yang mengikuti Kongres XVI di Padang adalah Pengurus cabang transitif yang disulap PB HMI. Tidak hanya itu, para calon peserta Kongres XVI di Padang, harus melalui suatu interogasi intelijen ABRI atau pihak



41



Dinas sosial politik pemerintah yang merupakan tindakan di luar kelaziman dan melanggar independensi HMI.



1. Proses Terbentuknya HMI MPO Pada awal April 1985, jamaah HMI yang ada di tingkatan cabang-cabang dikejutkan oleh sikap dan pernyataan Pengurus Besar (PB) HMI yang dimuat dalam media massa, bahwa HMI menerima asas tunggal Pancasila melalui sidang di Ciloto atau yang kemudian hari dikenal dengan sebutan “Pertemuan Ciloto.” Cabangcabang HMI menganggap pernyataan tersebut dipandang berlawanan dengan apa yang ditunjukan PB HMI sebelumnya, yaitu; Ketua Umum PB HMI Harry A. Azis dengan penuh antusias pernah mengunjungi jamaah yang ada di cabang-cabang seluruh Indonesia mengajak seluruh aparat HMI untuk mempertahankan asas Islam sampai titik darah yang penghabisan. PB HMI mengancam akan mengambil tindakan tegas terhadap pengurus BADKO dan cabang yang mengambil sikap di luar sikap PB HMI; PB HMI mengajukan pandangan kritisnya mengenai rancangan UU Keormasan kepada DPR. Pada intinya PB HMI berpandangan bahwa rencana memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi semua organisasi kemasyarakatan sebagaimana termuat dalam RUU Keormasan tidak dapat dibenarkan, karena mengabaikan realitas kebhinekaan dalam masyarakat, dan pemerintah telah terlalu jauh mencampuri urusan intern organisasi masyarakat, termasuk dalam cara berfikir. Pengurus-pengurus cabang HMI merasa dikhianati, karena di kalangan jamaah yang ada di cabang-cabang HMI telah terbentuk sikap yang teguh untuk mempertahankan Islam sebagai dasar pendirian dan kehendak PB HMI



42



sebelumnya. Selain itu, PB HMI telah melanggar konstitusi dalam mengambil sikap dan keputusan. Konstitusi yang dimaksud adalah Kongres, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi organisasi. Disinilah awal mula terjadinya konflik internal di tubuh HMI yang akhirnya, organisasi ini pecah menjadi dua.yakni HMI MPO yang menolak Pancasila dan HMI Diponegoro yang menerima Pancasila. Mengenai berdirinya HMI MPO, M. Rusli Karim,1997 : 131) menyatakan: Didirikannya HMI MPO adalah pada situasi konflik keras yang sangat diwarnai oleh sikap-sikap emosional kaum muda. Tidak ada tanggal yang pasti kapan HMI MPO didirikan. Ada yang mengatakan bahwa HMI MPO lahir sejak adanya dua HMI di Yogyakarta yakni HMI Dagen yang menolak asas Pancasila dan HMI cabang Timur yang menerima Pancasila. Adapula yang berpendapat bahwa lahirnya HMI MPO bersamaan dengan terbitnya buku Berkas Putih, yaitu 10 Agustus 1986. sedangkan di dalam Berkas Putih sendiri dinyatakan bahwa HMI MPO lahir pada 15 Maret 1986. Namun yang jelas adalah HMI MPO didirikan di Jakarta oleh sembilan cabang HMI yang terdiri dari: Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujung Pandang, Purwokerto, Tanjung Karang, Pekalongan, Metro, dan Pinrang. Empat cabang yang pertama, disebut sebagai cabang pelopor lahirnya HMI MPO. Berdasarkan pernyataan Rusli Karim di atas berdirinya HMI MPO di saat adanya konflik keras dan sikap emosional kalangan kaum muda sehingga tanggal yang pasti berdirinya HMI MPO secara formal tidak ada, hal itu diakibatkan karena kondisi sosial poltik dan adanya sikap pemerintah yang tidak mengakui organisasi ini atas pembangkangannya menolak Pancasila. Karakteristik HMI MPO adalah bahwasannya organisasi ini tetap berasaskan Islam, dengan tujuan “terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang teratur dan diridhai oleh Allah subhanahuwata’ala” Insan Ulul albab antara lain memiliki kualifikasi sebagai berikut; memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirian, progresif dalam berdakwah, hanya takut kepada Allah, dan tekun beribadah. Untuk mencapai



43



tujuannya, menurut pasal 5 Anggaran Dasar HMI MPO, dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: Membina mahasiswa Islam untuk menuju tercapainya insan “mu’abbid, mujahid, mujtahid, dan mujaddid, mengembangkan potensi kreatif terhadap berbagai aspek kehidupan; mengambil peranan aktif mewarnai dunia kemahasiswaan dan perguruan tinggi serta kemasyarakatan dengan partisipasi konstruktif-kreatif, sehingga tercapainya nuansa yang Islami, memajukan kehidupan umat Islam, mewujudkan kerjasama dengan organisasi-organisasi lainnya yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan, dan melakukan usaha-usaha lainnya yang sesuai dengan dasar organisasi dan berguna untuk mencapai tujuan. HMI MPO berusaha mewujudkan kondisi mahasiswa yang tekun beribadah (mu’abbid), hanya takut kepada Allah (mujahid), dan mahasiswa yang kritis dan pemihakannya pada kebenaran untuk aktif melakukan pembaharuan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman (mujaddid). Karakteristik HMI MPO berisikan unsur-unsur ideologis, yaitu komitmen yang tinggi terhadap Islam. Aktivitasnya mengutamakan intelektualitas dan membatasi politik praktis guna aktualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam sehingga menjadi leluasa dalam melakukan gerakan mengutamakan pengkaderan, dan studi, mengabdikan diri kepada masyarakat secara realistik. HMI MPO adalah organisasi kader yang asas perjuangannya adalah Tauhid, ummah, jama’ah, dakwah, uswah hasanah, tarbiah, ilmiah, dan dasar ikhtiar. Penolakan HMI MPO terhadap Pancasila tidak bermakna menjadi penghambat dari arus utama gerakan Islam, melainkan berfungsi untuk memberikan kritik, “nahy munkar” terhadap gerakan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, HMI MPO mempunyai empat misi; (1), tetap pada arus utama gerakan Islam sebagai induknya; (2), memanfaatkan dinamika mahasiswa secara cermat; (3), menjadi pemersatu atau



44



penengah gerakan mahasiswa atau pemuda Islam di Indonesia; (4), mempersiapkan kader-kader umat yang sadar sejarah umatnya di masa depan (M. Rusli Karim, 1997:134-135).



2. Latar Belakang Berdirinya HMI MPO Cabang Palu Pada tahun 1991, Ketua Badan Koordinasi (BADKO) HMI Indonesia bagian timur (Inbagtim) atas nama Abdul Azis Kahar Muzakar berkunjung ke Palu untuk bertemu dengan para aktivis lembaga dakwah kampus guna membicarakan strategi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) se Indonesia Timur. Di sela-sela waktu non formal Abdul Aziz Kahar Muzakar bertemu dengan Sudirman Zuhdi salah satu aktifis lembaga dakwah kampus. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai eksistensi HMI MPO. Pertemuan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya HMI MPO di Palu, namun karena kondisi sosial politik yang tidak kondusif maka usaha pendirian HMI MPO di Palu mengendap. Pada tahun 1997 Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Indonesia Bagian Timur (Inbagtim) dipegang oleh Mohammad Arsyad Fadlan. Dia melakukan pertemuan dengan Pengurus HMI Cabang Palu yang pada saat itu dipimpin oleh Ahmad Anton untuk membicarakan peluang berdirinya HMI MPO cabang Palu. Akan tetapi, karena situasi dan kondisi yang tidak mendukung, maka tawaran Ketua BADKO Inbagtim untuk memfasilitasi berdirinya HMI MPO cabang Palu tidak dapat diterima. Menurut penulis HMI cabang Palu di bawah pimpinan Ahmad Anton tidak menerima HMI MPO karena HMI cabang Palu semenjak digulirkannya UndangUndang Keormasan No. 5 Tahun 1985 menerima Pancasila sebagai asas organisasi,



45



sehingga memiliki hubungan yang akomodatif dengan pemerintah. Pemerintah menganggap HMI MPO adalah organisasi pembangkang terhadap penerapan asas Tunggal, sehingga kehadirannya akan mengganggu dan mengancam HMI Cabang Palu terutama kaitannya dengan jaringan politik dengan pemerintah. Semangat dan kegigihan Ketua BADKO Inbagtim mulai membuahkan hasil, ketika Ahmad Anton memberikan tawaran kepada Sudirman Zuhdi untuk mengupayakan berdirinya HMI MPO di Palu. Ahmad Anton mengusulkan nama Sudirman Zuhdi karena sama-sama aktivis mahasiswa dan terjalin dalam hubungan persahabatan yang akrab. Sudirman Zuhdi pernah mengikuti pengkaderan LK I di HMI meskipun hanya sekitar tiga hari, artinya tidak ikut pengkaderan sampai selesai. Pada tahun yang sama 1997 Sudirman Zuhdi diundang secara khusus oleh PB HMI yang pada saat itu dipegang oleh Lukman Hakim periode 1995-1997, untuk mengikuti Kongres HMI di Jogjakarta. Setelah mengikuti Kongres akhirnya PB HMI memberikan surat mandat kepada Sudirman Zuhdi untuk membentuk HMI MPO cabang Palu. Sekembalinya dari Kongres hingga tiga bulan setelah diberikannya surat mandat kepada Sudirman Zuhdi, usaha pembentukan HMI MPO cabang Palu mengalami kemandegan, karena belum ada orang-orang yang bersedia duduk dalam kepengurusan. Untuk merekrut kader BADKO Inbagtim menyarankan melaksanakan Latihan Kader (LK) I. Akhirnya LK I terlaksana dengan jumlah peserta 5 orang yakni; Dedi Irawan, Abdul Azis, Anas, Sahruddin dan Ogi Farmadi. Tempat pelaksanaan LK I di Masjid Al-Munawarah jalan Kinore Kelurahan Ujuna Palu Barat. Adapun Pemateri pada LK I tersebut berjumlah 10 orang yang terdiri dari



46



Pengurus PB, pengurus BADKO Inbagtim dan pengurus HMI MPO cabang Makasar. Setelah pengkaderan LK I selesai maka dilangsungkan pelantikan pengurus HMI MPO cabang Palu yang pertama. Mengenai Pengangkatan Ketua Umum HMI MPO cabang Palu, semula diamanahkan kepada Sudirman Zuhdi tetapi karena kondisi kesehatannya yang terganggu maka berdasarkan kesepakatan dan secara aklamasi menunjuk Andi Ridwan sebagai Ketua Umum HMI MPO cabang Palu periode awal yakni 1997-1999. Menjelang deklarasi berdirinya HMI MPO cabang Palu Sudirman Zuhdi mengundang pengurus dan kader-kader HMI, tetapi tidak dihadiri oleh satupun pengurus HMI karena keberadaan HMI MPO di Palu akan menjadi ancaman besar bagi eksistensi HMI sebab pentolan-pentolan HMI banyak yang keluar dan bergabung dengan HMI MPO. Akhirnya pada bulan September 1997, atas upaya Ketua Badan Koordinasi Indonesia bagian Timur Muhammad Arsyad Fadlan bersama Sudirman Zuhdi, berhasil mendeklarasikan berdirinya HMI MPO cabang di Palu. Pendeklarasian berdirinya HMI MPO cabang Palu dilakukan pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIT di Masjid Al-Munawarah, yang dihadiri oleh tokohtokoh mahasiswa gerakan Islam seperti Muhammad Ridha Saleh, Ogi Farmadi, Armin Salasa dan Muhammad Fakih Akbar, Ketua Umum PB HMI Imron Fadhil Syam, dan Staf PB Zainal Abidin. Selain itu, hadir Pengurus Cabang Makassar Syafinuddin Al-Mandary, dan Bustaman. Mengenai pembentukan HMI MPO Cabang Palu Sudirman Zuhdi menjelaskan bahwa “HMI MPO adalah suatu



47



organisasi pergerakan yang masif dan berbasis pada mahasiswa. Oleh karena itu HMI MPO menjadi sebuah pilihan wadah gerakan bagi aktivis mahasiswa Islam. Secara umum gerakan mahasiswa pada saat itu tidak mampu merespons ketimpangan sosial yang terjadi, sehingga menjadi alasan bagi HMI MPO untuk mencermati berbagai problem sosial yang sedang dihadapi oleh masyarkat Kota Palu”. Berdasarkan penjelasan Sudirman Zuhdi di atas, HMI MPO menjadi pilihan wadah gerakan bagi para aktifis mahasiswa Islam sebenarnya karena organisasi tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai independensi, sehingga tidak memiliki keterikatan dengan pemerintah atau organisasi politik dan mampu menyikapi kondisi kebangsaan ataupun kemahasiswaan. Perbedaan yang terjadi dengan organisasi masyarakat atau kemahasiswaan yang lain terletak pada nilai independensi, oleh karena itu banyak organisasi mahasiswa yang cenderung tidak dapat berbuat banyak menyikapi kondisi bangsa karena hubungan akomodatif dengan pemerintah tanpa menyadari nilai substansi yang melekat pada organisasi dan tugas korektif konstruktif bagi pemerintah. Setelah pendeklarasian berdirinya HMI MPO Cabang Palu di atas berarti mulai saat itu di Palu terdapat dua HMI yakni HMI Dipo dan HMI MPO dengan model kepengurusan dan karakteristik tersendiri. Berdirinya HMI MPO cabang Palu tidak akan pernah terlepas dari faktor-faktor yang turut memberikan andil dan tidak dapat diabaikan dalam proses pendirian. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor pendukung dan faktor penghambat berdirinya HMI MPO Cabang Palu.



48



Menurut Temu Sutrisno, faktor pendukung dan penghambat berdirinya HMI MPO Cabang Palu adalah : 1.



Faktor Pendukung Berdirinya HMI MPO Cabang Palu a. Semangat perlawanan terhadap Orde Baru. Dalam kepengurusan HMI Cabang Palu yang menerima Pancasila terdapat para kader-kader yang memiliki semangat perlawanan terhadap Orde Baru. sebagian dari mereka ada yang keluar dan lebih memilih bergabung dengan organisasi pergerakan yang lainnya. Mereka sangat membutuhkan wadah untuk melakukan perlawanan olehnya HMI MPO adalah wadah yang tepat untuk itu. b. Wacana intelektual. Wacana intelektual yang dibangun di HMI MPO cabang Palu pada masa itu relatif bersesesuaian dengan pemikiran dan wacana yang dibangun para aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan pada umumnya di kota Palu. c. Semangat perubahan. Disamping semangat perlawanan yang di usung oleh HMI MPO cabang Palu, terdapat satu semangat yakni semangat perubahan dan semangat perubahan yang dibawa HMI MPO, mendapat respon positif di kalangan organisasi pergerakan pada umumnya di Kota Palu. d. Kesesuaian dengan gerakan kemahasiswaan. Gerakan HMI MPO yang progresif dan transformatif cocok dengan gerakan kemahasiswaan di kota Palu pada saat itu, yang cenderung revolusioner atau radikal.



2.



Faktor Penghambat Berdirinya HMI MPO Cabang Palu



49



a. Kondisi sosial politik tidak kondusif. Kondisi sosial politik dan pemerintahan Orde Baru yang represif membuat para pengurus dan kader-kader HMI MPO cabang Palu cenderung berhati-hati karena penolakannya terhadap Dasar Negara (Pancasila). b. Pertentangan wacana. Wacana perlawanan HMI MPO cabang Palu terhadap Orde Baru sangat tidak didukung oleh tokoh-tokoh gerakan tua atau tokoh gerakan Islam senior, di Kota Palu, serta Korps Alumni HMI (KAHMI). Menurut tokoh-tokoh gerakan tua atau gerakan Islam senior HMI MPO akan merusak jaringan politik dengan pemerintah. c. Tekanan internal dan eksternal. Terdapat tekanan dari para pengurus HMI Dipo cabang Palu yang menerima Pancasila dan merasa eksistensinya terganggu. Disamping itu juga tekanan yang berasal dari pemerintah sebagai konsekuensi penolakannya atas Pancasila. Namun bagi HMI MPO hal itu merupakan hal biasa dalam perjuangan. d. Pendanaan yang minim. Faktor infrastuktur organisasi semisal pendanaan yang sangat minim, sehingga ini berpengaruh terhadap perkaderan HMI MPO cabang Palu. 4. Karakteristik HMI MPO Cabang Palu Karakteristik HMI MPO cabang Palu sangat penting untuk dikemukakan karena selama ini masyarakat hanya mengetahui HMI ada, tetapi masih banyak yang belum bisa membedakan antara HMI Dipo dan HMI MPO. Karakteristik HMI MPO yakni tetap berasaskan Islam sesuai dalam Anggaran Dasar Organisasi pasal 3, sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan dengan tujuan “Terbinanya



50



mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala” (pasal 4, Anggaran Dasar Organisasi). “Secara umum, mainstream gerakan HMI MPO cabang Palu terbingkai dalam satu pola yang sifatnya progresif transformatif. Maksudnya, memiliki suatu kekuatan yang sifatnya dinamis dan transformatif. HMI MPO hadir sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan dan pergerakan yang menekankan pada upaya perubahan, baik dalam konteks kemahasiswaan yang berupa pencerahan intelektual maupun konteks masyarakat kota Palu berupa pencerahan dan penyadaran terhadap perubahan dalam masyarakat . (Sumber : Hasil wawancara dengan Temu Sutrisno pada tanggal 30 Juli 2006 di Palu Timur) Karakteristik yang menonjol bahkan sudah menjadi ciri khas bagi HMI MPO cabang Palu adalah gerakannya lebih bersifat intelektual, progresif, dan transformatif. Dikatakan sebagai organisasi yang bersifat intelektual karena basis kader HMI MPO adalah mahasiswa. Hal itu dapat diamati dari kecenderungan gerakan yang lebih mengutamakan intelektual kader. Progesifitas dan transformatif yang dimaksud adalah secara organisasi HMI MPO cabang Palu senantiasa menjadi organisasi yang konsen dan memiliki ghirah (semangat) yang tinggi terhadap perubahan masyarakat ilmiah di kampus atau masyarakat



kota Palu pada



khususnya. Keinginan perubahan yang ditunjukan oleh HMI MPO cabang Palu diwujudkan melalui berbagai gerakan dan upaya pencerahan intelektual mahasiswa dan masyarakat kota Palu.(Sumber : Hasil wawancara dengan Itho Murthadha pada tanggal 22 Juli 2006 di Palu Timur).



51



Dalam Anggaran Dasar Organisasi HMI MPO Bab II pasal 6 di jelaskan bahwasannya “HMI MPO adalah organisasi yang bersifat independen”, kalau meminjam kata-kata Syafinuddin Al-Mandari (2003) ‘independensi’ adalah sebuah idealitas organisasi atau yang dicita-citakan. Agar tujuan dapat dicapai, HMI MPO (dalam Syafinuddin Al-Mandari, 2003: 21) menyimpulkan bahwa: Karakteristik sikap-sikap kader yang independen adalah: 1. Cenderung pada kebenaran 2. Bebas, merdeka dan terbuka 3. Objektif, rasional dan kritis 4. Progresif dan dinamis 5. Demokrasi, jujur dan adil. Menurut Syafinuddin Al-Mandari sikap-sikap kader di atas merupakan prasyarat utama yang harus inhern dalam diri kader agar tujuan ke-HMI-an serta idealitas keIslamannya dapat diperjuangkan. Sejak berdirinya hingga sekarang, HMI MPO cabang Palu tetap konsisten mempertahankan nilai independensinya. Hal itu ditunjukan melalui keberadaan HMI MPO cabang Palu yang hingga saat ini tidak pernah menjadi underbow dari partai politik atau organisasi tertentu, dan tidak tergantung dengan aliansi-aliansi gerakan lain. Bentuk independen dari HMI MPO cabang Palu juga dibuktikan melalui sikap organisasi dan secara personal para kader-kader HMI MPO cabang Palu jika dilihat dari sikap politik membatasi diri dengan politik praktis dan lebih bercorak pada daya kritis. HMI MPO cabang Palu tidak terlalu jauh terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, sebagai suatu kekuatan politik HMI MPO sebenarnya cukup concern atau serius dalam menyikapi masalah politik, baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional. “Pola pembatasan HMI MPO cabang Palu terhadap politik praktis dan sikap kritisnya dalam menyikapi masalah politik, bagi organisasi lain hal itu



52



kadang tidak kondusif dan tidak strategis karena dengan adanya sikap yang kritis terhadap politik akan berimplikasi pada rusaknya jalinan politik, biasanya ini terjadi bagi organisasi-organisasi yang menjadi underbow partai-partai politik, akan tetapi bagi HMI MPO cabang Palu semua itu adalah sebagai konsekuensi logis dari suatu organisasi perjuangan”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Abdullah Mukarram pada tanggal 14 Juli 2006 di Palu Barat). Dalam pengamatan penulis, HMI MPO cabang Palu hingga saat ini memang menjadi suatu organisasi yang memiliki komitmen untuk mempertahankan nilai independensinya. Komitmen ini termaktub dalam Anggaran Dasar Organisasi, hingga saat ini HMI MPO cabang Palu tetap sebagai organisasi yang lebih bersifat korektif atau bisa disebut organisasi oposisi. Keberadaan organisasi oposisi sangat diperlukan karena prasyarat suatu negara yang memiliki sistem demokrasi perlu ada organisasi oposisi sebagai sarana korektif yang sifatnya konstruktif (membangun) bukan dekonstruktif (merusak). Di samping itu, HMI MPO cabang Palu hingga saat ini tidak menjadi satu komunitas penyangga kebijakan pemerintah apalagi yang bersifat tidak populis atau tidak menyentuh kepentingan mendasar masyarakat akar rumput (grass roots). Oleh karena itu HMI MPO cabang Palu senantiasa menyikapi kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional terutama kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat. Ketika



pemilihan umum, HMI MPO cabang Palu sering melakukan



penolakan terhadap pemilu (Golput) sebagai perwujudan organisasi oposisi, misalnya pada Pemilu tahun 2004. Alasannya karena merasa pesimis dengan pemilu dalam kaitannya terhadap perubahan bangsa yang signifikan. Menurut organisasi,



53



ini Pemilu tidak akan melahirkan pemimpin bangsa yang benar-benar memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memiliki komitmen moral untuk memperbaiki wajah Indonesia. “ HMI MPO cabang Palu berkeyakinan bahwa Pemilu 2004 tetap gagal dalam menghantarkan terbentuknya rezim demokratis nantinya. Untuk itu, sebagai sebuah upaya pendidikan politik kepada rakyat, dan refleksi kritis terhadap wajah demokrasi bangsa yang kian memprihatinkan, HMI MPO menyerukan kepada seluruh masyarakat Kota Palu untuk Golput pada Pemilu 2004”. (Itho Murthadha dalam Radar Sulteng, Senin 5 April 2004). Berdasarkan penjelasan Itho Murthadaha di atas HMI MPO lebih memilih melakukan golput dan menjadi oposisi karena melihat kondisi sistem pemerintah dan sistem pemilu yang belum bersih. Demokrasi dalam pemilu nyaris hilang kebebasan bersuara belum tercipta, politik uang (many politik) terjadi, dan yang penting rakyat belum memiliki kesadaran kritis terhadap politik, walhasil rakyat memilih bukan melihat dari apakah calon pemimpin memiliki kualitas, rasionalitas, kredibilitas melainkan karena besarnya bantuan dan pemberian kaos saat kampanye. Selain itu, disebabkan oleh adanya sistem Pemilu yang tidak adil. Pengurus Besar HMI MPO menyatakan mengenai penolakan tersebut. Harian Republika edisi Sabtu, 11 Oktober 2003, menjelaskan bahwa: HMI MPO tolak sistem Pemilu bukan berarti kami menolak proses Pemilu yang akan berlangsung. Akan tetapi, penolakan terhadap sistem Pemilu yang tidak adil. Salah satu bentuk ketidakadilan sistem Pemilu tersebut adalah adanya pelarangan terhadap warga Negara yang pernah terlibat dalam organisasi terlarang di masa Orde Lama untuk menjadi anggota legislatif. Bentuk pelarangan seperti itu seharusnya tidak berlaku lagi, karena sangat diskriminatif. Negara harus bersikap adil dan menghormati hak-hak politik warga Negara. Selain itu, ada beberapa ketentuan yang masih menjadi cacat sistem Pemilu 2004. Diantaranya, toleransi terhadap kasus terdakwa yang bisa menjadi calon Presiden.



54



Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa penolakan HMI MPO Cabang Palu terhadap Pemilu bukan pada proses pelaksanaan pemilu tetapi karena sistem Pemilu yang tidak adil dan masih adanya perlakuan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia, di samping itu menolak calon-calon pemimpin yang tidak memiliki visi murni untuk memperjuangkan rakyat.



B. HMI MPO Cabang Palu : Sebuah Tinjauan Struktur 1. Struktur Organisasi HMI MPO Secara Nasional Sebelum berbicara tentang struktur organisasi HMI MPO cabang Palu, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu struktur organisasi HMI MPO di tingkat nasional, karena menjadi acuan HMI MPO cabang dan telah terdapat pada Anggaran Rumah Tangga HMI MPO. Berikut ini akan diuraikan struktur organisasi HMI MPO yang terdiri dari Struktur Kekuasaan dan Struktur Pimpinan.



a. Struktur Kekuasaan HMI dalam strukturnya, memiliki tiga tingkatan struktur kekuasaan. Yakni; tingkat Pengurus Besar (PB), tingkat Cabang dan tingkat Komisariat. Pada tingkat pusat, Kongres menjadi forum pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi HMI, Konferensi di tingkat Cabang dan Rapat Anggota Komisariat (RAK) di tingkatan Komisariat. 1. Kongres, merupakan forum musyawarah utusan cabang-cabang yang diadakan rutin 2 (dua) tahun sekali. Kongres mempunyai kekuasaan atau wewenang;



menilai



pertanggung-jawaban



Pengurus



Besar



HMI,



mendengar Laporan Pelaksanaan Tugas Majelis Syuro Indonesia,



55



menetapkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Khitoh Perjuangan, dan pedoman-pedoman operasional HMI, memilih Ketua Umum yang merangkap sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide Formateur dan menunjuk Majelis Syuro Organisasi. 2. Konferensi Cabang, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat cabang, tempat musyawarah utusan komisariat-komisariat di tingkatan cabang yang diadakan rutin 1 (satu) kali setahun. Konferensi mempunyai kekuasaan atau wewenang; menetapkan Garis Besar Program Kerja sebagai pengejawantahan ketetapan-ketetapan kongres, menilai pertanggungjawaban Pengurus Cabang HMI, memilih Ketua Umum yang merangkap sebagai Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur, mendengar Laporan pelaksanaan tugas MSO Cabang dan menunjuk anggota MSO Cabang. 3. Rapat Anggota Komisariat, adalah pemegang kekuasaan tertinggi di tingkat komisariat, tempat musyawarah anggota komisariat yang diadakan 1 (satu) kali setahun. Rapat Anggota Komisariat mempunyai kekuasan atau wewenang; menetapkan Garis Besar Haluan Kerja komisariat sebagai pengejawantahan ketetapan konferensi, menilai pertanggung-jawaban Pengurus Komisariat dan memilih Ketua Umum merangkap sebagai Formateur dan kemudian memilih 4 (empat) Mide Formateur.



b. Struktur Pimpinan Struktur Pimpinan dalam HMI terdiri dari Pengurus Besar (PB), Pengurus Cabang, dan Pengurus Komisariat.



56



1. Pengurus Besar adalah badan tertinggi di struktur kepemipinan HMI dengan masa jabatannya adalah 2 (dua) tahun. Pengurus Besar terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Pengurus Harian, Lembaga Koordinasi, Lembaga-Lembaga Kekaryaan dan Lembaga-lembaga Khusus dan para stafnya. Pengurus Besar adalah anggota HMI yang pernah menjadi Pengurus cabang, dan atau telah mengikuti Latihan Kader II. Tugas dan kewajiban Pengurus Besar adalah; melaksanakan ketetapan-ketetapan Kongres, mengumumkan keseluruh cabang segala kebijakan strategi HMI, dan Pengurus Besar bertangung-jawab pada Kongres. 2. Pengurus Cabang adalah badan tertinggi dalam struktur kepemimpinan HMI di tingkat Cabang. Pengurus Cabang terdiri dari Ketua Umum dan Pengurus Harian, Koordinator Komisariat, Lembaga-lembaga Khusus, dan Lembagalembaga Kekaryaan. Pengurus cabang adalah anggota yang pernah menjadi Pengurus Komisariat dan atau telah lulus Latihan Kader II dengan masa jabatan 1 (satu) tahun. Pengurus Cabang memiliki tugas dan kewajiban melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Pengurus Besar dan ketetapan-ketetapan Konferensi, memberikan Laporan kepada Pengurus Besar tiap 4 (empat) bulan, dan Pengurus cabang/Ketua Umum Cabang bertanggungjawab pada Konferensi. 3. Pengurus Komisariat merupakan kesatuan organisasi pada suatu Perguruan Tinggi/Fakultas/Jurusan, atau beberapa Fakultas/Jurusan pada perguruan tinggi yang sama yang dibentuk oleh Pengurus Cabang. Pengurus Komisariat



57



adalah badan tertinggi dalam struktur kepimpinan HMI di tingkat komisariat, minimal terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Umum dan Bendahara Umum dengan masa jabatan 1 (satu) tahun. Tugas dan kewajiban Pengurus Komisariat adalah melaksanakan keputusan-keputusan Pengurus cabang dan ketetapan-ketetapan Rapat Anggota, memberikan Laporan kepada Pengurus Cabang tiap 4 (empat) bulan, dan Ketua Umum Komisariat sebagai pemimpin Pengurus Komisariat bertanggungjawab pada Rapat Anggota Komisariat. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi HMI MPO terlampir.



2. Struktur Organisasi HMI MPO Cabang Palu Menurut Indrarto dan Soehardjono (2002:44) “struktur organisasi adalah hubungan antara fungsi-fungsi, wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap anggota organisasi yang memikul tiap-tiap tugas pekerjaan”. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa suatu organisasi harus menghendaki adanya pembagian kerja, sehingga dalam kerja-kerja organisasi untuk mencapai tujuannya tidak mengalami tumpang tindih. Melihat kenyataan yang terjadi pada struktur organisasi HMI MPO cabang Palu, terdiri dari struktur kekuasaan, dan struktur pimpinan. Struktur Kekuasaan merupakan forum atau tempat untuk pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi HMI, sedangkan struktur pimpinan merupakan struktur yang memiliki peran dalam menjalankan amanah yang dihasilkan oleh struktur kekuasaan. Kalau meninjau struktur kekuasaan pada HMI MPO cabang Palu terdiri dari dua yakni konferensi cabang dan Rapat Anggota Komisariat (RAK), sedangkan struktur pimpinan terdiri dari Pengurus Cabang dan Pengurus Komisariat.



58



Konferensi cabang (Konfercab) mempunyai kekuasaan dan wewenang sama seperti pada struktur organisasi secara umum yakni mengangkat ketua umum HMI MPO cabang Palu, merangkap sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide Formatur yang bertugas membantu formateur dalam pembentukan struktur kepengurusan. Mide Formateur akan bubar dengan sendirinya saat pengurus yang terbentuk dilantik. Rapat Anggota Komisariat (RAK) mengangkat ketua umum Komisariat sebagai Formateur dan memilih 4 (empat) Mide Formateur sebagai pembantu Formateur dalam menyusun kepengurusan.



3. Struktur Kepengurusan HMI MPO Cabang Palu Kenyataan yang terjadi di HMI MPO cabang Palu, menunjukan bahwa setiap periode kepengurusan terjadi perubahan model struktur. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat timbal balik struktur kepengurusan, maksudnya adalah struktur kepengurusan berkaitan erat dengan visi gerakan yang dicanangkan dalam setiap periode kepengurusan tertentu. Misalnya ketika dalam suatu periode kepengurusan memiliki visi dan tema kepengurusan untuk menggarap intelektual, maka struktur yang terbentuk selalu diarahkan pada orientasi visi intelektual tersebut. Dengan adanya model struktur yang disesuaikan dengan visi dan tema kepengurusan, maka kinerja kepengurusan akan berjalan dengan optimal, sistematis dan sesuai dengan tujuan. “Perubahan struktur juga disebabkan oleh adanya kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal dapat dilihat dari ketersediaan jumlah kader yang memiliki kemampuan untuk menduduki posisi kepengurusan, sementara kondisi eksternal terkait dengan hal-hal yang mendesak diantaranya situasi sosial, politik,



59



ekonomi, dan budaya yang ada di kota Palu yang harus direspons oleh kebijakan dalam program kepengurusan yang ada dalam suatu periode”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Itho Murthadha pada tanggal 22 Juli 2006 di Jln. Yojokodi No. 35 Palu Timur). Jenjang kepengurusan di HMI MPO cabang Palu secara struktural terdiri dari dua yakni pengurus cabang dan pengurus komisariat. Untuk menjadi pengurus cabang harus memenuhi persyaratan, yakni pernah mengikuti dan lulus dalam intermediate tranning atau Latihan Kader (LK II), sementara untuk menjadi pengurus komisariat harus telah mengikuti dan lulus LK I serta telah memahami konstitusi HMI MPO. “Idealnya jenjang kepengurusan HMI MPO harus sesuai dengan jenjang yang telah berlaku secara nasional akan tetapi ada situasi-situasi tertentu yang dipermaklumkan oleh kebijakan organisasi dan pimpinan sehingga ada kader-kader yang tidak sesuai dan tidak memenuhi persyaratan dapat dipakai dalam struktur kepengurusan”. Sumber : Hasil wawancara dengan Hariman Podungge pada tanggal 13 Juli 2006 di Palu Timur). Tampaknya kepengurusan di HMI MPO cabang Palu sejalan dengan apa yang telah diuraikan Hariman di atas karena terdapat orang-orang yang duduk di kepengurusan tanpa melalui jenjang dan persyaratan yang telah berlaku di HMI MPO secara nasional. Hal itu terjadi karena kondisi perkaderan yang belum kondusif dan masih kurangnya kemampuan para kader yang akan menduduki dalam struktur kepengurusan, namun orang-orang yang dipilih menduduki struktur kepengurusan dituntut mampu beradaptasi atau menyesuaikan dengan amanah yang



60



diembannya. Walhasil pengurus tanpa melalui jenjang membuat tidak maksimalnya pelaksanaan proram kerja.



4. Manajemen Organisasi HMI MPO Cabang Palu Indrarto dan Soehardjono (2002 :97) menyatakan bahwa "Manajemen terkait erat dengan kemampuan, kecakapan dan penguasaan ilmu, wawasan dan kepribadian pemimpin dalam pelaksanaan pekerjaan, maupun kegiatan dalam berbagai lini kehidupan." Mengamati setiap periode kepengurusan terlihat bahwa manajemen organisasi yang berlaku di HMI MPO cabang Palu dalam setiap periode kepengurusan adalah menggunakan manajemen kolektif bertingkat sesuai dengan struktur kepemimpinan cabang dan komisariat. Sehingga setiap perumusan program kerja dilakukan melalui musyawarah mufakat misalnya dalam pengangkatan ketua umum (formatur dan mid formatur) melalui konferensi cabang (Konfrencab), begitu juga dengan pengangkatan ketua umum komisariat melewati Rapat Anggota Komisariat (RAK). Hal itu telah diatur dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga dan Pedoman Dasar Organisasi HMI MPO. Manajemen kerja-kerja kepengurusan HMI MPO cabang Palu selain melalui struktur kepengurusan bertingkat juga dibantu oleh lembaga-lembaga khusus yakni Korps Pengader (KP) dan Korps HMI Wati (Kohati). Keberadaan Lembaga Khusus tersebut untuk melaksanakan tugas-tugas dalam bidang khusus yang tidak dapat tertampung dalam struktur lainnya, dan lembaga ini bersifat semi otonom dari struktur pimpinan. Korps pengader (KP) merupakan lembaga khusus yang memiliki tanggung jawab dalam proses perkaderan atau peningkatan dan pengembangan kwalitas



61



pengader, sehingga memiliki bangunan intelektual dan spiritual yang mapan. Korps Pengader bagian integral dari proses perkaderan bertugas untuk membentuk terciptanya salah satu segmen perjuangan yakni sumber daya pengader terutama lepasan Senior Course (SC). “Sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam proses perkaderan maka orang-orang yang duduk dalam lembaga ini memiliki konsekuensi untuk memiliki kemampuan intelektual, keterampilan dalam mengelola forum, serta menguasai materi-materi yang termuat dalam mekanisme perkaderan terutama materi Latihan Kader (LK. I)”. (Sumber : Hasil wawancara dengan Amiruddin Ibnu Majid pada tanggal 26 Juli 2006 di Palu Timur). Dalam laporan pertanggung jawaban pengurus HMI MPO cabang Palu periode 2003-2004 ditegaskan bahwa: Perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam pada dasarnya merupakan proses upaya organisasi untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi anggotanya dengan memberikan pemahaman ajaran dan nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang. Perkaderan tersebut meliputi pembinaan sikap, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan kader HMI tampil sebagai sosok khalifah Allah di muka bumi. Dengan demikian secara utuh proses perkaderan HMI dapat dipandang sebagai upaya memberi respon strategis terhadap tantangan internal, dalam artian kualitas pengader, yang kemudian secara simultan akan memberi jawaban secara eksternal tantangan yang dihadapi umat Islam.kedua respon tersebut merupakan dataran jihad terpadu, yang mestinya berbeda dalam satu wilayah strategi, yang juga bermakna tuntutan akan adanya sistem pembinaan yang tepat bagi lepasan Senior Course (SC). Berdasarkan pernyataan di atas Korps Pengader memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap kualitas kader HMI MPO terutama pematangan ajaran Islam dan mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan baik secara personal maupun secara sosial di masyarakat. Mengamati struktur kepengurusan HMI MPO cabang Palu, dalam setiap priode senantiasa memiliki masalah internal terutama



62



perkaderan, tetapi yang menarik dari organisasi ini adalah meskipun terjadi masalah secara internal hal itu tidak berpengaruh terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu secara umum. Maksud dari masalah internal adalah masalah-masalah yang sifatnya berasal dari person-person kader atau pengurus HMI. Korps HMI Wati (Kohati), adalah lembaga khusus yang berada di bawah naungan HMI dan sekaligus pembantu pimpinan cabang. Sejak berdirinya 19662005 lembaga ini bersifat koordinatif dan merupakan sub struktur dalam kepemimpinan HMI. Dalam Kongres HMI yang ke-25 pada tanggal 13-20 Agustus 2005 di Palu posisi Kohati sebagai lembaga khusus juga di tempatkan sebagai unsur pimpinan yang sama posisinya dengan ketua-ketua komisi kebijakan. “Lembaga Khusus Kohati memiliki tanggung jawab dalam menangani masalah-masalah keperempuanan atau kemuslimahan. Secara internal Kohati berperan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan potensi kader HMI Wati, sehingga menjadi mar’atusalehah atau menjadi perempuan yang soleh memiliki keimanan dan ketaqwaan, sedangkan secara eksternal Kohati berfungsi sebagai ujung tombak dalam melakukan gerakan keperempuanan”.(Sumber : Hasil wawancara dengan Nurmin pada tanggal 12 Juli 2006 di Palu Timur). Dalam persoalan manajemen organisasi, HMI MPO cabang Palu dari periode awal hingga sekarang masih memiliki kelemahan, terutama yang terkait dengan prinsip kerja manajemen. Indrarto dan Soehardjono (2002:98) menegaskan bahwa “prinsip kerja manajemen harus menunjukan suatu pola kerja yang dinamis dan konstruktif antara perencanaan, pengorganisasian, controlling dan actuating (prosese gerak atau menjalankan) semua komponen dalam manajemen”. Mengenai



63



perencanan, pengorganisasian, controlling dapat dikatakan dalam HMI MPO cabang Palu sudah kondusif, akan tetapi dari segi actuating terkadang tidak sejalan dengan apa yang direncanakan, seperti adanya kerja suatu bidang yang merangkap kerja bidang lain. Proses gerak menjalankan perencanaan atau yang telah dirumuskan melalui program kerja setiap periode kepengurusan HMI MPO cabang Palu belum maksimal, karena masih ada program kerja yang tidak terlaksana dalam setiap periode kepengurusan. Faktor yang paling menonjol sehingga tidak terlaksana program kerja karena HMI MPO cabang Palu belum maksimal dalam masalah infrastruktur terutama pendanaan organisasi yang minim dan belum mandiri. Nama-nama pimpinan HMI MPO cabang Palu dari periode awal berdirinya tahun 1997 hingga sekarang dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 4. 4 Nama-Nama Ketua Umum dan Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Palu sejak berdirinya sampai sekarang (1997-2006).



NO 1



1.



2.



3.



4.



5. 6.



Periode



Nama Ketua Umum dan Sekretaris Umum



2



3



Periode 1997-1999 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM



: ANDI RIDWAN ADAM : OGI FARMADI



Periode 1999-2000 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM



: SUDIRMAN ZUHDI S.Pd : TEMU SUTRISNO



Periode 2000-2001 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM



Periode 2001-2002 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM Periode 2002-2003 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM Periode 2003-2004



: ABDUL HARIS ABDULLAH : DEDI IRAWAN, diganti BUNYAMIN MUCHTAR, diganti MOH. FADLY LADJIN. : DEDI IRAWAN : TAUFIK ABDULLAH diganti ITHO MURTADHA : RAHMAT IRAWAN : HARIMAN PODUNGGE



64



7.



8.



KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM Periode 2004-2005 KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM Periode 2005-2006 (Sekarang) KETUA UMUM SEKRETARIS UMUM



: ITHO MURTADHA : INDRA KUSUMA : ABDULLAH MUKARRAM : AMIRUDIN : HARIMAN PODUNGGE : RUSLAN H. HUSEN diganti AKHLIS



Sumber: Laporan Pertanggung jawaban (LPJ) HMI MPO cabang Palu Periode 2004-2005. Berdasarkan tabel di atas, dapat dicermati bahwa HMI MPO cabang Palu sejak berdirinya pada tahun 1997 hingga sekarang tahun 2006 telah melakukan delapan kali pergantian kepengurusan, dan telah melangsungkan Konferensi yang ke-30, jika dihitung dari awal berdirinya HMI cabang Palu yakni pada tahun 31 Juli 1965. Pada tahun 1965 sampai 1988 HMI cabang Palu telah melakukan Konferensi 23 kali. Akan tetapi karena pada tahun 1988 HMI Cabang Palu menerima Pancasila maka mulai tahun 1988 sampai dengan 1997 atau selama 9 (sembilan) tahun bagi HMI MPO tidak terdapat kepengurusan HMI, kecuali para person-person atau kader-kader HMI yang pada masa itu keluar dari HMI dan bergabung dengan organisasi pergerakan yang lain. Nanti pada bulan september 1997 bagi HMI MPO cabang Palu terdapat kepengurusan dengan dideklarasikan berdirinya HMI MPO cabang Palu. Tahun 1997 hingga tahun 2005 HMI MPO melaksanakan delapan kali Konferensi, jadi dari tahun 1965 hingga tahun 2005 HMI MPO Cabang Palu telah melangsungkan Konferensi 30 kali. Berdasarkan tabel di atas dapat dicermati bahwa kepemimpinan Andi Ridwan menjabat selama dua tahun berarti telah melanggar batasan periode kepengurusan, karena Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) Organisasi HMI MPO bahwa masa jabatan Ketua Umum Cabang adalah satu tahun,



65



menjabatnya Andi Ridwan selama dua tahun dikarenakan posisi HMI MPO masih dalam tataran melakukan peneguhan eksistensi dan pengembangan keorganisasian. Di samping itu dalam kepengurusan HMI MPO cabang Palu terjadi pergantian Sekretaris Umum dalam satu periode kepengurusan, karena adanya masalah internal kelembagaan dan internal kader, misalnya pada masa periode kepengurusan Abdul Haris Abdullah (2000-2001) mengalami tiga kali pergantian Sekretaris Umum yakni Dedi Irawan diganti oleh Bunyamin Muchtar karena mengundurkan diri dan beralih ke direktur lembaga advokasi HMI, dan Bunyamin Mukhtar diganti oleh Moh. Fadli Lazim atas permintaan sendiri melepaskan jabatan Sekretaris menjadi wakil Sekretaris karena alasan kerja. Periode kepengurusan Dedi Irawan (2001-2002), Taufik Abdullah diganti oleh Itho Murthadha karena pelanggaran konstitusi, dan pada periode 2005-2006 kepengurusan sekarang, Ruslan H. Husein diganti oleh Akhlis karena persoalan kinerja yang tidak efektif. Dalam struktur kepengurusan, pengangkatan pimpinan atau Ketua Umum HMI MPO cabang Palu tampak menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan musyawarah untuk mufakat. Di samping itu, tidak terdapat paham-paham yang sifatnya sentimen etnisitas dalam pemilihan. Hal itu dapat dilihat dalam uraian pergantian pimpinan HMI MPO cabang Palu dari awal sampai sekarang berdasarkan pada berbagai latar belakang suku. Pemimpin pertama HMI MPO cabang Palu periode 1997-1999, Andi Ridwan Adam latar belakang sukunya adalah Bugis dan Sekretaris Umumnya Ogi Farmadi suku Jawa. Periode 1999-2000, Sudirman Zuhdi S.pd suku Bugis dan Sekretaris Umum Temu Sutrisno suku Jawa.



66



Periode 2000-2001 dibawah pimpinan Abdul Haris Abdullah adalah Kaili dengan tiga kali pergantian Sekretaris Umum, pertama Dedi Irawan suku Kaili, Bunyamin Mukhtar suku Bugis, Mohammad Fadli Ladjin suku Luwuk. Periode 2001-2002 dipimpin oleh Dedi Irawan suku Kaili, mengalami dua kali pergantian Sekretaris Umum pertama Taufik Bidullah suku Luwuk Banggai, dan Itho Murtadha suku Buol. Periode 2002-2003 dibawah pimpinan Rahmat Irawan latar belakang sukunya Jawa dan Sekretaris Umum Hariman Podungge suku Kaili. Periode 2003-2004 dipimpin oleh Itho Murtadha latar belakang sukunya adalah Buol dan Sekretaris Umum Indra Kusuma suku Jawa. Periode 2004-2005 dipimpin oleh Abdullah Mukarram suku Bugis dan Sekretaris Umumnya Amiruddin Ibnu Majid suku Bugis. Periode sekarang 2005-2006 dipimpin oleh Hariman Podungge dengan latar belakang suku Kaili, dan mengalami dua kali pergantian Sekretaris Umum, pertama Ruslan H. Husen suku Bugis, Akhlis suku Kaili. Berdasarkan uraian nama-nama pimpinan HMI MPO cabang Palu dari awal berdiri sampai sekarang, menunjukan tidak adanya dominasi kesukuan atau sentimen etnisitas dalam pengangkatan seorang pimpinan. “Dalam pengangkatan pimpinan organisasi, HMI MPO cabang Palu tidak membatasi pada persoalan etnisitas atau kesukuan. Setiap kader bisa menduduki jabatan sebagai pimpinan selama kader tersebut memiliki kemampuan, telah lulus LK II dan memahami konstitusi HMI ”. (Sumber : Hasil wawancara dengan Temu Sutrisno pada tanggal 4 Agustus 2006 di Palu Timur).



5. Tema Gerakan: Dari Periode Awal Sampai Sekarang



67



Dalam setiap periode kepengurusan HMI MPO cabang Palu senantiasa merumuskan tema kepengurusan sekaligus sebagai tema gerakan. Hal ini dikarenakan agar program kerja kepengurusan dan gerakan yang dilakukan bisa terarah serta efektif. Sebagaimana dalam Laporan Pertanggungjawaban Pengurus HMI MPO cabang Palu periode 2002-2003 menegaskan: Tema kepengurusan merupakan satu hal yang harus senantiasa ada dalam setiap kepengurusan sebagai hasil ‘perenungan’ terus menerus dari kepengurusan sebelumnya. Tema yang digagas hendaknya bersinambung dengan tema kepengurusan sebelumnya sehingga tidak terjadi keterputusan tema antar kepengurusan. Tema yang telah dirumuskan akan menjadi arah gerak, arah perjuangan, dan kerangka organisatoris yang akan memberikan arah kepada kepengurusan yang mengangkat tema tersebut. Dengan kata lain seluruh aspek organisatoris harus diarahkan pada upaya untuk merealisasikan tema yang telah dipilih. Berdasarkan penjelasan di atas menjadi jelas bahwa tema kepengurusan dalam setiap periode menjadi arah gerak. Oleh karena itu senantiasa berkesinambungan dari periode awal sampai sekarang. Tema kepengurusan diamanahkan dalam setiap pelaksanaan Konferensi, berfungsi untuk mengarahkan program kerja atau gerakan pada setiap periode kepengurusan. Di dalamnya mencakup rencana strategis gerakan, skala perioritas dalam suatu gerakan dan perkaderan. Tema yang diamanahkan dalam setiap periode kepengurusan merupakan tema turunan dari tujuan HMI dan desain global perjuangan dan pergerakan. Berikut ini akan diuraikan tema-tema kepengurusan HMI MPO cabang Palu dari periode awal berdirinya 1997-1999 sampai sekarang 2005-2006. pada periode awal 1997-1999 penulis tidak menemukan tema kepengurusan karena para pengurus periode ini tidak berada di kota Palu. Di samping itu, HMI MPO masih



68



dalam tataran peneguhan organisasi dan pengembangan jaringan, Sehingga penulis tidak menemukan dokumen dan arsip, karena sekretariat sering pindah. Periode 1999-2000 diamanahi tema oleh Konferensi ke-25 sebagai berikut “ Transformasi Nilai Profestis Dalam Diri Kader Menjawab Dinamika Perubahan Masyarakat”. Maksud dari tema tersebut adalah HMI MPO cabang Palu senantiasa melakukan penanaman nilai-nilai yang diwariskan oleh para nabi-nabi dalam kehidupan. Sehingga dengan telah tertanamnya nilai-nilai tersebut maka dapat memaksimalkan gerakan guna mempercepat perubahan masyarakat. Periode 2000-2001 diamanahi tema oleh Konferensi ke-26 yaitu “ Internalisasi Nilai Profetis Dalam diri Kader Sebagai Upaya Akselerasi Pemberlakuan Syariat Islam”. Adapun penjelasan dari tema tersebut memiliki dua dimensi garap sebagai berikut ; (1) adalah garapan organisasi secara internal. Internalisasi nilai profetis yang dimaksud adalah gerakan kedalam, dimana HMI cabang Palu pada periode berjalan diamanahkan untuk melakukan pembenahan dan pemapanan organisasi melalui sistem perkaderan ; dan (2) bidang garap secara eksternal akselerasi pemberlakuan Syariat Islam merupakan satu isyarat gerakan HMI secara eksternal untuk turut serta bersama komponen umat yang lain memperjuangkan satu gerakan pemberlakuan syariat Islam. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2000-2001). Kepengurusan HMI cabang Palu Periode 2001-2002 diamanahi oleh Konferensi ke-27 untuk mengusung tema gerakan sebagai berikut “Impelementasi Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Upaya Pemberdayaan Kaum Mustadh’afien”. Implementasi nilai-nilai kemanusiaan mengandung makna bahwasannya HMI



69



harus mengejawantah dan mendorong masyarakat secara menyeluruh untuk senantiasa berupaya menggali dan menemukan hakikat eksistensi manusia, yang secara fitrawi cenderung kepada kehanifan. HMI bertekad untuk tetap menegakan nilai-nilai kemanusiaan di era modernitas dimana paham materialisme telah mendistorsi pemaknaan dan implementasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam upaya mendorong terciptanya iklim sosial yang memiliki apresiasi dan kehendak dalam mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan HMI cabang Palu melakukan tiga peran yakni; (1) pencerahan di tengah masyarakat, upaya ini dimaksudkan untuk merubah paradigma berfikir, kesadaran dan perilaku masyarakat



yang



telah



dihegemoni



oleh



tawaran-tawaran



materialisme



(kapitalisme) ; (2) melakukan advokasi problem-problem keumatan sebagai wujud komitmen keberpihakan terhadap kepentingan komunitas yang terpinggirkan (kaum mustadh’afien) ; Dan (3) pemberdayaan masyarakat yang diarahkan tidak sebatas pada penggalian dan pengembangan potensi-potensi ekonomis semata, melainkan sampai kepada tahap pembangunan spiritual guna menemukan hakikat eksistensi kemanusiaan. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2001-2002). Periode 2002-2003 diamanahi tema gerakan oleh Konferensi ke-28 sebagai berikut “Penegasan Peran HMI Dalam Pembelaan kaum Mustadh’afien; Sebuah Akselerasi Revolusi Sistemik”. Penegasan pembelaan kaum mustadh’afien mengandung maksud bahwasannya HMI MPO cabang Palu menggambarkan secara global gerak langkah yang akan diambil dalam membentuk cita idealnya. Upaya penegasan peran kader HMI MPO yang harus diusung senantiasa membutuhkan kesadaran idiologis yang mengejawantah dalam komitmen moral Islam dan spirit



70



tauhid. Kesadaran adalah kata kunci revolusi tauhid yang digagas oleh peran-peran kenabian. Adanya tekad untuk menegakan nilai-nilai kemanusiaan di era modernitas dewasa ini merupakan wajah cerah sejarah yang menandai bangkitnya perlawanan terhadap materialisme yang selama ini telah mendistorsi substansi nilainilai kemanusiaan”. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2002-2003). Pada periode 2003-2004, tema gerakan yang diamanahkan oleh Konferensi ke-29 adalah “Rekayasa Perlawanan Kaum Lemah dan Terpinggirkan yang Berbasis Gerakan Moral dan Intelektual”. Ada tiga maksud dari tema tersebut yaitu; (1)Rekayasa Perlawanan. Menurut HMI gerakan perlawanan yang diagendakan oleh gerakan sosial dewasa ini belum memiliki landasan konseptual yang mapan, terkait dengan arah, strategi, tahapan dan model alternatif perubahan yang hendak dicapai. Dalam lingkup Kota Palu mainstream gerakan yang berkembang cenderung didominasi oleh idiologi gerakan beraliran Marxian. Hal itu, akhirnya berimplikasi logis terhadap design perubahan yang monolitik dan juga menyampingkan ruang apresiasi secara kreatif terhadap konsep perubahan kemasadepanan yang lebih bersesuaian dengan kondisi sosio-kultural lokal. Oleh karena itu, HMI MPO cabang Palu diamanahi membuat suatu rekayasa gerakan HMI yang lebih kontekstual dengan situasi lokal tanpa mengabaikan ruh Islam yang telah dipahami secara haqqul yakin oleh segenap warga Himpunan ; (2) kaum lemah dan terpinggirkan. Kaum lemah dan terpinggirkan adalah identitas vital dalam setiap perubahan sosial yang terjadi dimanapun. Proyek perjuangan HMI yang telah dicanangkan pada dasarnya ditujukan untuk melakukan pembelaan secara mondial terhadap nasib kaum lemah dan terpinggirkan mulai dari aspek



71



sosial-politik, hukum, ekonomi, kultural, intelektual, pendidikan, HAM, dan spiritual ; dan (3) berbasis gerakan moral dan intelektual, maksudnya adalah setting gerakan perubahan mutlak memiliki nilai-nilai dasar yang akan menyifati karakteristik sebuah gerakan dan alur perubahan nantinya. Bagi HMI MPO, nilainilai dasar yang dimaksud adalah aspek moral dan intelektual. Sebab dua aspek tersebut merupakan ciri terpenting dari sebuah gerakan yang berpandangan dunia Islam (tauhid). Moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan bagi gerakan Islam karena dengannya ikhtiar untuk melahirkan suatu tata sosial dan peradaban yang humanis, egaliter, demokratis, berkeadilan, di bawah naungan Rahmat dan Maghfirah Ilahi, dapat terwujud.( LPJ Pengurus HMI MPO cab. Palu periode 20032004). Periode 2004-2005 diamanahkan tema oleh Konferensi ke-30 adalah sebagai berikut “Penegasan Peran Intelektual Kader yang Berbasis Moral Intelektual Sebagai Upaya Pembelaan Kaum Lemah Terpinggirkan”. Adapun Maksud dari tema kepengurusan tersebut adalah; (1) Penegasan peran intelektual kader merupakan upaya organisasi untuk melakukan internalisasi atas segenap potensi intelektual kader. Melakukan penajaman analisa secara konseptual serta menumbuhkan budaya (kultur) intelektual yang nantinya menjadikan kader-kader HMI selalu menggunakan analisa dan takaran berfikir yang konstruktif secara ril, termanifestasi dalam tawaran-tawaran solutif saat mendapati dan menyiasati masalah pribadinya maupun masalah-masalah sosial yang melingkupinya; (2) basis moral intelektual. Rapuhnya suatu tatanan hidup yang dibangun baik oleh individu atau sekelompok manusia sangat ditentukan oleh baik atau buruknya fundamen



72



moral-etik yang diberlakukan atau menjadi kebiasaan (budaya), dan (3) pembelaan kaum lemah dan terpinggirkan. Unsur utama dari entitas yang secara sistemik terjerembab oleh kekuatan politik, sosial-kultural dan ekonomi menjadi perjuangan yang digalang himpunan untuk mengembalikan vitalitas dan memory kolektif masyarakat yang lemah dan terpinggirkan. (LPJ Pengurus HMI MPO Cab. Palu periode 2004-2005). Periode kepengurusan 2005-2006 diamanahkan oleh Konferensi ke-31 adalah sebagai berikut “Penguatan Peran Intelektual Himpunan Dalam Seting Gerakan Tamadduni masyarakat Sipil Untuk Pembelaan Kaum Lemah Terpinggirkan”. Maksud dari gerakan Tamadduni (civilization movement) adalah HMI MPO cabang Palu memiliki ihktiar dan ijtihad tingkat tinggi untuk mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran, serta pergerakan sosial kearah terciptanya masyarakat yang berperadaban sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep tujuan. Tujuan dari gerakan Tamadduni tersebut adalah sebagai berikut; (1) di tingkat suprastruktur gerakan HMI MPO mengharapkan adanya bangunan Tauhid yang kokoh pada batin segenap anggota masyarakat; (2) di tingkat kultur, yakni mengupayakan kondisi masyarakat yang memiliki ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan, kompetensi dan kapasitas, serta inisiatif dan partisipasi baik dibidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan (3) di tingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas memperbaiki sistem, struktur kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat.



C. HMI MPO Cabang Palu dan Gerakan Kota



73



Identitas HMI MPO cabang Palu sebagaimana dalam Anggaran Dasarnya adalah organisasi perkaderan dan perjuangan yang senantiasa konsisten dengan melakukan gerakan-gerakan untuk menuju perubahan, baik gerakan dalam lingkup kemahasiswaan juga kemasyarakatan. Menurut penulis gerakan HMI MPO cabang Palu dapat dikatakan sebagai gerakan kota sebagaimana konsep ‘gerakan kota’ yang dikemukakan oleh Imam Subkhan (2003:xl) sebagai berikut : Gerakan Kota bukan semata-mata suatu gerakan yang dilakukan oleh orangorang yang berada di Kota akan tetapi suatu gerakan terorganisir yang berasal dari desa dan dilakukan oleh orang-orang desa juga bisa disebut sebagai gerakan kota selama gerakan tersebut berpijak pada visi etis masyarakat madani atau cicil society dan sadar akan perubahan. Visi etis masyarakat madani adalah kondisi ideal sebuah masyarakat yang beradab (civilized). Gerakan kota yang dilakukan HMI MPO cabang Palu tampak melalui gerakan-gerakan yang dilakukan dalam perubahan dan transformasi sosial kota Palu, dilakukan secara terorganisir dengan karakteristik progresif dan transformatif, menitik beratkan pada pencerahan intelektual dan pembinaan moralitas baik dalam konteks kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagaimana tujuan HMI MPO dalam Anggaran dasar pasal 4 bahwasannya tujuan HMI MPO adalah “terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala”. Insan ulul albab maksudnya adalah insan yang memiliki ilmu dan hikmah, kritis dan teguh pendirian, progresif dalam berdakwah, hanya takut kepada Allah dan tekun beribadah. Kata turut dalam tujuan HMI MPO adalah bahwasannya HMI MPO cabang Palu menyadari untuk mewujudkan masyarakat yang diridhai oleh Allah membutuhkan banyak elemen gerakan. Pada posisi ini, HMI MPO



74



menempatkan diri dari bagian umat Islam dan gerakan Islam. Selain itu, HMI MPO cabang Palu senantiasa menjadi organisasi perkaderan dan perjuangan yang senantiasa bertanggung jawab dan turut serta dalam upaya perubahan dan transformasi sosial, sedangkan masyarakat yang diridhoi Alah SWT adalah kondisi ideal sebuah masyarakat yang beradab (civilized), dalam HMI MPO kondisi masyarakat yang beradab tersebut dikenal dengan cita masyarakat HMI. Gerakan kota untuk menciptakan kondisi masyarakat yang beradab (civilized) itu tidak bisa dilakukan oleh satu kelompok atau gerakan semata. Akan tetapi, gerakan kota membutuhkan gerakan dari kelompok yang lainnnya. HMI MPO Cabang Palu pun demikian, dalam melakukan gerakan di kota Palu senantiasa melibatkan kelompok gerakan lainnya. Sehingga membentuk front-front dan aliansi sifatnya taktis dalam melakukan gerakan menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah diantaranya yaitu ; PII, IMM, KAMMI, GEMA, PMII, GMKI, PMKRI, LMND, dan PRD. Front dan aliansi ini tidak hanya dengan organisasi gerakan yang se-idiologi, Tapi juga dengan organisasi pergerakan di luar idiologinya misalnya, GMKI dan PMKRI beridiologikan Kristen, LMND dan PRD sebagai organisasi yang beridiologi Demokrasi Kerakyatan, front/aliansi yang dimaksud bersifat taktis atau dalam jangka waktu tertentu.



1. Strategi Membangun Komunitas Intelektual Islam a. Kampus Sebagai Basis Gerakan Kampus sebagai lembaga perguruan tinggi adalah basis pengembangan dan basis gerakan karena HMI MPO pada substansinya merupakan organisasi mahasiswa ekstra universiter. Adapun perguruan tinggi yang sekarang menjadi



75



basis gerakan dan telah terdapat pengurus Komisariat adalah sebagai berikut; Universitas Tadulako (UNTAD), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama



Palu,



Universitas



Alkhairat



(UNISA),



dan



Universitas



Muhamadiyah (UNISMUH). Perguruan tinggi yang telah terdapat komisariat HMI MPO tersebut selama ini menjadi tempat untuk basis gerakan sekaligus sebagai sarana untuk memperkenalkan ide-ide dan gagasan HMI MPO cabang Palu. Gerakan HMI MPO cabang Palu dalam konteks kemahasiswaan setiap periode kepengurusan tentunya memiliki bentuk yang berbeda namun visinya sama sesuai dengan tujuan HMI.



b. Dunia Kemahasiswaan dan Kaderisasi Kaderisasi bagi HMI MPO cabang Palu merupakan ruh dalam organisasi karena bagaimanapun keberadaan suatu organisasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan kader atau anggotanya. Kaderisasi dalam HMI MPO bersifat kontinyu dari periode awal sampai sekarang, kaderisasi tersebut dikhususkan bagi mahasiswa-mahasiswa muslim karena berasaskan Islam. Ridwan Saidi (1984:72) menyatakan “HMI adalah suatu organisasi dimana tempat berhimpunnya



mahasiswa-mahasiswa



yang



beridentitas



Islam,



dengan



mengemban misi keIslaman, keIndonesiaan dan kemahasiswaan”. Dalam proses kaderisasi secara formal tetap menggunakan pola sebagaimana yang berlaku secara nasional. Formalitas latihan kader dilaksanakan secara berjenjang dimana setiap jenjang latihan kader tersebut memiliki perasyaratan-persyaratan tertentu bagi persertanya. Jenjang latihan kader secara formal terdiri dari tiga jenjang latihan kader, yakni Basic Training



76



(Latihan kader LK I) di tingkat pertama; Intermediate Training (LK II) di tingkat kedua; dan Advance Training (LK III). Setiap periode kepengurusan HMI MPO cabang Palu secara rutin melakukan LK I dan LK II, sedangkan Latihan Kader III belum pernah melaksanakannya. Oleh karena itu, untuk menghasilkan para kader-kader yang memiliki jenjang LK III tersebut harus mengirim anggotanya ke PB HMI atau cabang lain, setiap ada pelaksanaan LK III. Mengenai alasan belum melaksanakannya LK III, Temu Sutrisno menjelaskan “Ada dua penyebab sehingga belum melaksanakannya yakni; (1) tokoh-tokoh intelektual yang memiliki kapasitas untuk mengisi dan membawa materi pada forum LK III jika mengacu pada standar perkaderan masih terbatas. Jadi untuk melaksanakan LK III perlu menghadirkan tokoh-tokoh intelektual dari luar kota Palu, sementara untuk menghadirkan tokoh-tokoh intelektual di kota Palu membutuhkan biaya yang besar. Adapun standar pemateri jika mengacu pada standar perkaderan LK III secara umum adalah harus memiliki kapasitas keilmuan sesuai dengan bidang akademisnya serta diakui secara nasional dan internasional; (2) belum tersediannya pemandu atau instruktur LK III, karena syarat menjadi pemandu pada forum LK III adalah harus lepasan LK III”. (Hasil wawancara dengan Temu Sutrisno pada tanggal 5 Agustus 2006 di Palu Timur). Pelaksanaan kaderisasi formal dari periode awal sampai sekarang memiliki perbedaan yang sangat mendasar, pada masa kepengurusan awal kaderiasasi diwarnai oleh semangat perlawanan terhadap rezim orde Baru, kaderisasi dilakukan secara tertutup dan rahasia bahkan berpindah-pindah tempat meskipun hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, karena pada saat itu kondisi sosial dan politik tidak kondusif serta pemerintah Orde Baru dengan



77



karakter kepemimpinan yang represif. Mengenai karakter kepemimpinan represif Muhammad Ryas Rasyid (2002:118) menjelaskan : Karaketer pemimpin represif ditandai dengan sikap pamimpin yang arogan dan egostik, monopoli atas kebenaran dilakukan secara telanjang, tanpa rasa malu sama sekali. Dalam benak sang pemimpin, kekuasaan identik dengan kebenaran, sehingga semakin besar suatu kekuasaan, semakin besar pula kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, ia mudah curiga dan cemburu kepada setiap orang atau kelompok masyarakat yang bersikap kritikal atau yang memiliki potensi untuk naik sebagai rivalnya, karena mereka dianggap sebagai ancaman terhadap kebenaran. Berdasarkan penjelasan Ryas Rasyid di atas berarti pemimpin dengan karakter represif tidak layak bagi negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, karena pemimpin yang menjunjung tinggi nilai demokrasi cenderung bersikap terbuka terhadap kritik, pada masa pemerintah Orde Baru oposisi dengan pemerintah berarti musuhnya pemerintah. Pemerintah tidak bisa dikritik dan bisa melakukan segala apa yang diinginkan dengan merangkul pihak militer. Menurut pemerintah Orde Baru HMI MPO adalah organisasi yang akan menggoyahkan kekuasaannya, sehingga perlu ditekan, namun bagi HMI MPO hal itu memberikan modal dan melahirkan semangat perlawanan. Setelah lengsernya Orde Baru dari tampuk kekuasaan dan lahirnya Orde Reformasi pelaksanaan kaderisasi sudah mengalami perubahan dan dilakukan secara terang-terangan. Dalam setiap periode kepengurusan frekuensi pelaksanaan kaderiasasi LK I mencapai rata-rata 10 kali dan komisariat empat kali dengan jumlah peserta antara 10 sampai 15 orang dalam setiap pelaksanaan perkaderan, sedangkan pelaksanaan LK II dan Senior Course (SC) selama ini baru dilaksanakan satu kali dalam setiap periode kepengurusan dengan jumlah peserta maksimal 15 orang.



78



Proses kaderisasi tidak hanya secara formal melainkan juga dilakukan dalam aktivitas kehidupan di kampus dan di masyarakat yang sifatnya non formal, misalnya melaksanakam pendampingan intelektual bagi anggota HMI dan juga setiap pasca pelaksanaan Latihan Kader baik LK I maupun LK II di adakan follow up training, tujuan adalah; Agar para lepasan training dapat lebih maksimal dalam memahami materi-materi training terutama materi Khitah Perjuangan serta konstitusi HMI dan kemudian dapat mengaktualisasikan apaapa yang telah didapatnya dalam training, memperkenalkan HMI secara tuntas kepada kader atau anggota, sehingga para kader memiliki ikatan emosional untuk ber HMI, selain itu juga dilakukan kajian-kajian dan diskusi sebagai sarana pendampingan intelektual baik dikampus maupun di masyarakat. (Sumber: Hasil wawancara dengan Mahful Haruna pada tanggal 23 Juli 2006 di Palu Timur). Pendampingan intelektual melalui Kajian dan diskusi di kampus-kampus terutama yang diadakan oleh pengurus komisariat bersifat terbuka untuk mahasiswa bahkan biasanya mengundang aktifis-aktifis dari organisasi intera kampus. Adapun model diskusi yang dilaksanakan adalah diskusi lepas di pelataran kampus, diskusi interaktif, diskusi panel dan bedah buku.



c. Jaringan Dalam kampus Sebagai organisasi kemahasiswaan ekstra kampus dan menjadikan kampus sebagai basis gerakannya, HMI MPO Cabang Palu membangun jaringan dengan organisasi-organisasi intera kampus termasuk di dalamnya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tadulako (BEMUT), Badan Eksekutif mahasiswa Fakultas (BEMFAK), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan



79



yang paling utama lagi dengan lembaga-lembaga dakwah kampus seperti Unit Pengkajian Islam Mahasiswa (UPIM), Mahasiswa Pecinta Mushollah (MPM). Pembangunan jaringan diperlukan karena tujuan-tujuan HMI tidak dapat diwujudkan hanya melalui kerja-kerja HMI semata. Tujuan dari membangun jaringan dengan organisasi intera kampus adalah agar wacana dan gerakan yang diangkat oleh HMI MPO cabang Palu dapat berjalan sinergis dengan gerakan organisasi mahasiswa intera kampus, sehingga tujuan gerakan HMI dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks kemahasiswaan isu yang digagas adalah pablik mahasiswa yakni rekonstruksi dan reposisi gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual dan moral dan juga memformat gerakan politik yang mandiri atau independen. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Hariman Podungge pada tanggal 13 Juli 2006 di Palu Timur). HMI MPO cabang Palu membentuk sebuah sarana pengguliran ide-ide dan gagasan yang disebut dengan institusi kantong. Institusi-institusi kantong dibentuk pada setiap program bidang studi di perguruan tinggi Sulawesi Tengah yang terdapat pengurus komisariatnya. Institusi kantong dan kelompok studi ini dibentuk dengan tujuan agar wacana-wacana ke-HMI-an di kampus dapat terus bergulir sehingga akhirnya gerakan intelektual HMI dapat diterima oleh kalangan mahasiswa. Institusi kantong juga dapat dijadikan sarana dalam merekrut anggota atau kader, dan sebagai wadah untuk memperkenalkan ide-ide dan gagasan tentang perubahan, intelektual, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. (Sumber: Hasil wawancara dengan Mahful Haruna pada tanggal 22 Juli 2006 di Palu Timur).



80



HMI MPO cabang Palu memiliki peranan dalam pengembangan kreatifitas kemahasiswaan, sehingga turut membantu pihak perguruan tinggi dalam melaksanakan pendidikan, sehingga mahasiswa yang telah mengikuti pengkaderan dan menjadi kader atau mahasiswa yang sering mengikuti kajian dan diskusi yang diadakan oleh organisasi tersebut memiliki wawasan keilmuan, bersikap kreatif, dan progresif dalam menapaki kehidupan di kampus. 2. Gerakan Membangun Masyarakat Islam Di Kota Palu Isu yang sering diusung oleh HMI MPO cabang Palu dalam konteks masyarakat kota Palu adalah konsolidasi masyarakat sipil yaitu dengan mendorong setiap elemen masyarakat sipil baik secara indifidu maupun kelompok, organisasi masyarakat, keagamaan dan budaya untuk berpartisipasi secara kritik dan konstruktif dalam upaya pembangunan masyarakat kota palu. Tujuan gerakan yang dilakukan bukan semata-mata untuk masyarakat kota Palu saja, akan tetapi lebih diarahkan pada tema-tema besar yang diusung oleh PB HMI MPO sebagaimana diarahkan oleh tujuannya. Gerakan dalam konteks masyarakat kota Palu dari priode awal sampai sekarang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut; Tor Dakwah, perkaderan Remaja Islam Masjid (Risma), pendampingan pelajar siswa SMA dalam kepengurusan Hariman Podungge 2005-2006, Mahful Haruna ketua bidang Intelektual Dan Budaya (Inbud) membentuk organisasi pelajar Islam yang disebut dengan Himpunan Pelajar Islam (HPI), pendirian organisasi HPI tersebut bertujuan agar wacana-wacana ke HMI-an juga dapat dikenal oleh kalangan pelajar SMA, pemberantasan buta huruf Al-Quran gratis untuk anak-anak dan dewasa. Upaya penyadaran masyarakat kota Palu dilakukan dengan



81



memperbanyak kader agar dakwah tetap dinamis, melakukan penyadaran kritis masyarakat, mendampingi ibu-ibu pengajian dalam masyarakat, memberikan khotbah jum’at dalam masyarakat sebagai media transformasi ide dan gagasan HMI MPO di tengah-tengah masyarakat. Pada kepengurusan sekarang, telah melaksanakan training pendidikan berbasis keluarga untuk antisipasi dini narkoba dan free sek dikalangan remaja, mengadakan training politik dalam bentuk seminar dan diskusi sebagai upaya untuk merubah nalar politik masyarakat kota Palu, mengadakan seminar tentang keagamaan, pendidikan, sosial,budaya, politik dan ekonomi sebagai sarana untuk pencerahan terhadap masyarakat kota Palu, melakukan silaturahmi kepanti-panti asuhan. Kohati sebagai lembaga khusus yang menanganai keperempuanan juga melakukan advokasi dan pendampingan terhadap pelecehan seksual dan tindak kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan di kota Palu. Selain itu, senantiasa melakukan aksi turun kejalan bersama komponen masyarakat yang lain dalam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal maupun pusat khususnya kebijakan yang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat kota Palu.



E. Peranan Gerakan HMI MPO Terhadap Kebijakan Pemerintah Dan Perubahan Masyarakat Kota Palu Peran gerakan HMI MPO cabang Palu terhadap kebijakan Pemerintah kota Palu secara spesifik belum ada, namun keterlibatan pengambilan kebijakan yang dimaksud adalah dalam bentuk gerakan ekstra parlementer. Peran gerakan terhadap kebijakan pemerintah yang dimaksud adalah sejauhmana gerakan



82



ekstra parlementer yang sifatnya korektif itu dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi penentu kebijakan terutama pemerintah Kota Palu. Kontribusi gerakan



ekstra parlementer yang pernah dilakukan dan



menurut penulis berperan dalam penentuan kebijakan pemerintah kota Palu adalah sebagai berikut; gerakan penutupan lokalisasi di Tondo kiri, ini dilakukan pada masa kepengurusan Sudirman, pada kepengurusan ini HMI MPO sebagai satu-satunya organisasi yang diundang secara intens oleh Walikota pada saat itu untuk membahas kebijakan mengenai usaha pemindahan masyarakat kota Palu terutama yang bermukim di lokasi pantai Talise ke perumahan Layana Indah, hal itu tentunya membuktikan bahwa HMI MPO cabang Palu termasuk organisasi yang cukup diperhitungkan. Pemberantasan minuman keras juga dilakukan, dan belum lama ini kepengurusan Hariman Podungge melakukan aksi gerakan mengenai pemasangan ATM kondom di kota Palu yang akhirnya berhasil memaksa pemerintah melakukan pencabutan dan penutupan terhadap ATM kondom tersebut. “Secara umum kontribusi HMI MPO cabang Palu melalui gerakan ekstra Parlementer cukup diperhitungkan. Hal itu, dibuktikan dengan sikap sensistifnya dalam menyikapi isu-isu dan setiap kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal, nasional maupun internasional. Dalam konteks lokal kota Palu misalnya; menyikapi pelaku korupsi pejabat daerah, tindak kekerasan dan militerisme, dan utamanya adalah menyikapi kebijakan pemerintah kota Palu yang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat”. (Hasil wawancara dengan Aswin Saikim pada tanggal, 3 Agustus 2006 di Palu Timur).



83



Mengenai respons terhadap isu nasional dibuktikan melalui berbagai aksi diantaranya; kenaikan BBM dan tarif dasar Litrik, penolakan sistem pemilu yang bobrok, mengutuk praktek KKN pejabat negara, dan masalah harga kebutuhan masyarakat. Terkait dengan isu internasional dapat terpahami dengan penyikapan dan aksi diantaranya; menyikapi pelanggaran terhadap HAM dan nilai-nilai kemanusiaan seperti terhadap pembunuhan Syekh Ahmad Yassin dan para mujahid muslim lainnya, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW melalui karikatur, serangan Israel terhadap Palestina, Invansi Amerika ke Irak, serangan Israel ke Lebanon, menyikapi kebijakan pemerintah Amerika dan negara besar lainnya yang berusaha mendiskreditkan negara-negara berkembang terutama Indonesia. Peran HMI MPO cabang Palu terhadap perubahan masyarakat kota Palu dapat dilihat sebagaimana dalam tujuan HMI dan konsep perubahan yang ingin dicapainya. Dalam pedoman perkaderan HMI MPO mengenai masyarakat cita HMI. Masyarakat cita yang akan diwujudkan HMI adalah suatu tatanan masyarakat berperadaban yang memiliki karakteristik ideal, dalam pedoman perkaderan HMI dijelaskan mengenai masyarakat cita HMI sebagai berikut : a. Berdasarkan semangat rabbaniyyah atau robbiyah yang terformulasikandalam konsep tauhid (QS. Ali Imran, 3:79 dan 146); b. Tumbuh pola hubungan antar personal maupun kelembagaan yang dinamis dan progresif atas dasar akhlakul karimah; c. Tegak atas landasan keadilan yang bersendikan keteguhan pada hukum yang dimuai dari komitmen pribadi (QS. An-Nisa, 4:58; Al-hadid, 57:25; AlHujurat, 49:9); d. Bervisikan amar ma’ruf (itikad baik) nahi munkar, yang menjadi pijakan moral dan etika dalam masyarakat dan diterjemahkan dalam bentuk amal saleh, sebagai manifestasi dari tanggung jawab (QS. At-Taubah, (:7; Fushilat, 41:46; Al-Jatsiyah, 45:15);



84



e. Memiliki semangat keterbukaan sebagai konsekuensi dari pandangan kemanusiaan atau sikap positif yang optimis dalam arti selalu menerapkan prasangka baik kecuali untuk pertahanan dalam masalah spesifik (QS. AlA’raf, 7:172; Ar-Rum, 30:30; Al-Hujurat, 49:12 dan An-Nisa, 4:28); f. Menjunjung tinggi sikap musyawarah dan semanagat egaliter dalam arti hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian bersama dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antar indifidu dan masyarakat (QS. Asy-Syura 42:38; Ali-Imran, 3:159; Al-Hujurat 49:3); g. Memiliki semangat persaudaraan (Ukhuwah) saling memahami, toleransi, saling menasehati, dan tolong menolong sehingga menciptakan kebersamaan yang utuh dan abadi (QS. Al-Hujurat, 49:10-12); h. Tumbuh sikap kerendahan hati tidak selalu merasa benar (klaim kebenaran personal atau kelembagaan) dan kesediaan mendengar pendapat opini publik (QS. Az-Zumar, 39:17-18). (Sumber: Pedoman perkaderan HMI MPO cabang Palu). Peran terhadap perubahan sosial adalah berupaya untuk mewujudkan kondisi masyarakat sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan oleh HMI atau cita masyarakat HMI. Peran terhadap perubahan masyarakat kota Palu dilakukan dengan melalui berbagai macam gerakan-gerakan sosial sebagai berikut; berusaha melakukan penyadaran kritis masyarakat melalui training politik dalam bentuk seminar dan diskusi, melakukan aksi-aksi bersama dengan masyarakat hal ini menurut penulis termasuk pendidikan politik bagi masyarakat, melakukan pencerahan terhadap masyarakat dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, seminar, bedah buku dan penyampaian khotbah jumat oleh Pengurus dan kaderkader HMI MPO cabang Palu dalam masyarakat. Selain itu, gerakan sosial juga dilakukan melalui bantuan-bantuan terhadap korban bencana alam terutama yang terjadi di kota Palu. Peran perubahan di masyarakat kota Palu secara kongkrit melalui kontribusi pemikiran dengan melakukan penyadaran kritis di masyarakat, hal ini dapat dilihat dengan kondisi masyarakat kota Palu sekarang. Maksudnya adalah



85



masyarakat kota Palu telah memiliki kesadaran kritis terutama dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Masyarakat sudah mulai mampu menilai calon para pemimpinnya. Masyarakat kota Palu sebagian besar sudah tidak dapat dibohongi lagi dengan uang atau money politic, sehingga ada istilah ‘ambil uangnya/kaosnya tapi lihat dulu calonnya’. Peran perubahan juga dilakukan oleh para kader dengan menulis opiniopini baik di buletin, media, surat kabar/Koran hal itu dimaksudkan sebagai sarana penyampaian ide-ide dan gagasan perubahan HMI MPO dalam masyarakat, selain itu juga melakukan penyadaran akan perubahan bagi masyarakat, karena menurut HMI MPO cabang Palu pada dasarnya perubahan itu akan terjadi jika dilakukan oleh orang-orang yang sadar akan perubahan.



F. Cerita Di Balik Aksi: HMI MPO Cabang Palu Dimata Kawan atau Lawan a. HMI Dipo: Gerakan Islam Atau Kiri Pemberlakuan asaz tunggal oleh pemerintahan Orde Baru juga mengakibatkan HMI di Palu menjadi dua yakni HMI Dipo dan HMI MPO. HMI Cabang cabang Palu secara resmi berdiri pada tanggal 31 Juli 1965 berdasarkan surat mandat Pengurus Besar No. 1938/Sek/B/1965, tertanggal 24 Februari 1965 kepada Nazaruddin Pakedo. Menurut Rusdi Toana (dalam Aruji Rahmat 1992:60 ) Ada tiga dasar pemikiran yang melatar belakangi berdirinya HMI Cabang Palu, yaitu : 1. Berusaha mendahului berdirinya CGMI yang merupakan salah satu organisasi mantel PKI di tingkat kemahasiswaan. 2. Adanya perguruan tinggi Universitas Tadulako Cabang UNHAS dan IKIP Ujung Pandang Cabang Palu yang telah berdiri sejak tahun 1963.



86



3. Terjadinya konflik diantara organisasi yang terdapat di Palu khususnya antara Al Khairat dengan Muhammadiyah.



Berdasarkan pernyataan di atas bahwa ada tiga faktor yang melatarbelakangi proses kelahiran HMI di Palu yakni berusaha mendahului berdirinya CGMI yang merupakan organisasi mantel PKI, hal itu dilakukan karena pada dasarnya kedua organisasi tersebut berbeda secara idiologi yakni landasan pokok gerak organisasi (dasar organisasi) atau antara Islam dengan komunis. Universitas



Tadulako



tahun



1963,



karena



HMI



Selain itu berdirinya merupakan



organisasi



kemahasiswaan maka basis perkaderannya perguruan tinggi. Konflik antara organisasi Islam yakni Alkhairat dan Muhammadiyah terjadi karena adanya persoalan khilafiyah misalnya antara Qunut dengan tidak disaat sholat subuh, baca tahlil dan tidak ketika ada yang meningal. Oleh karena itu HMI Cabang Palu berusaha menengahi persoalan itu sehingga HMI tidak menonjolkan aliran atau mahzab melainkan didalamnya terdapat kader-kader dengan keberagaman mahzab ataupun organisasi, yakni ada Alkhairat, Muhammadiyah, Nahdatul ulama bahkan ada juga yang bermahzab Syi’ah. Proses kelahiran HMI Cabang Palu dan periode pertama serta beberapa periode kemudian sejak Orde Baru lebih banyak diwarnai oleh susasana konflik, dengan pembatasan yang tidak tegas hingga periode 1972-1973. Dalam periode selanjutnya HMI lebih berkonsentrasi dalam upaya merealisasikan program kerjanya. Tantangan yang dihadapi kemudian tidak lagi tertumpu pada upaya mempertahankan eksistensi seperti periode-periode awal akan tetapi terfokus pada



87



bagaimana cara mengembangkan organisasi dengan operasional program serta peningkatan kualitas kader di samping kuantitasnya. (Arruji rakhmat 1992 :61). Pasca Orde Baru dan setelah dicabutnya Undang-undang keormasan No. 5 Tahun 1985 maka HMI Dipo yang semula menerima Pancasila kembali menggunakan Islam sebagai Asas Organisasi. Akan tetapi dari kedua HMI tersebut memiliki karakteristik ditinjau dari format gerakannya, gerakan HMI Dipo lebih menekankan pada format gerakan



akomodatif dengan pemerintah (birokrasi)



sementara itu, HMI MPO sebagai organisasi yang menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila ekuivalen dengan melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan hingga saat ini lebih menekankan gerakan ekstra parlementer dan membatasi pada politik praktis, namun peran korektif terhadap pembangunan masih dapat diperhitungkan. Berikut ini akan diuraikan pandangan pengurus HMI Dipo cabang Palu terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu. Dalam pandangan HMI Dipo, HMI MPO tidak memiliki format gerakan dan idiologi yang jelas. “HMI MPO di Kota Palu tidak memiliki idiologi gerakan yang jelas bahkan cenderung berafiliasi dengan gerakan-gerakan lain yang basisnya tidak jelas. Dalam gerakan-gerakan jalanan yang dilakukan HMI MPO mereka lebih mirip dengan gerakan kekiri-kirian, dan disinilah letak ketidak jelasan pembawaan gerakannya. HMI MPO cabang Palu berusaha mencampur adukan antara religi dan idiologi kiri”. (Sumber : Hasil wawancara dengan Mohammad Syarif, pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur).



88



Pernyataan yang diungkapkan pengurus HMI Dipo di atas menurut penulis merupakan bahasa dari pengurus HMI yang menginginkan tidak adanya perbedaan dalam HMI atau dalam artian mengharapkan adanya gerakan HMI yang sesuai dengan satu tujuan HMI. Melihat gerakan yang dilakukan HMI MPO cabang Palu, menjadi jelas bahwa organisasi tersebut tetap konsisten dengan asas Islam, idiologinya adalah Islam, sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan yang memiliki tujuan. Mengenai gerakan yang dikatakan kekiri-kirian karena HMI MPO memiliki kesamaan dengan organisasi kiri yakni progresifitas gerakan tapi HMI MPO tetap sebagai organisasi yang berdasarkan idiologi Islam bukan kiri. Membatasi pada politik praktis bagi organisasi lain memang tidak kondusif terutama bagi organisasi-organisasi underbow dari partai politik tertentu, karena hal itu akan membawa dampak pada terhambatnya jaringan politik, namun bagi HMI MPO cabang Palu hal itu sebagai konsekuensi dari suatu perjuangan yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai independensi organisasi. HMI MPO dilihat dari gerakannya di kota Palu cukup progresif, namun yang perlu diperhatikan oleh teman-teman MPO adalah gerakan yang diusung harus senantiasa memperhatikan kebutuhan mahasiswa saat ini karena pada dasarnya kebutuhan mahasiswa sifatnya fluktuatif atau tidak tetap. (Sumber : Hasil wawancara dengan Ridwan, pada tanggal 10 Januari 2007 di Palu Timur). Berdasarkan pernyataan di atas yang perlu dilakukan oleh HMI MPO cabang Palu saat ini adalah harus melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sehingga mahasiswa lebih tertarik untuk mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan dan hal itu akan mempermudah dalam proses rekrutmen kader.



89



b. Pelajar Islam Indonesia (PII): Jangan Tinggalkan Duniamu PII merupakan Organisasi masyarakat (ormas) pelajar yang dikenal sangat konsisten menggarap para pelajar, dan mengamalkan ajaran Islam. Dalam menghadapi kebijakan pemerintah tentang asas Pancasila, PII juga merupakan organisasi yang menolak terhadap Asas Tunggal Pancasila. Tujuan PII menurut pasal 5 Anggaran Dasarnya adalah “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia”. (dalam M. Rusli Karim,1997:127). Berdasarkan pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa PII dengan HMI lahir dari satu rahim yang sama yakni Islam, selain itu memiliki akar historis yang sama pula karena keduanya adalah organisasi yang melakukan penolakan terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi atau dikenal dengan undang-undang keormasan pada masa pemerintahan Orde Baru. Kenyataan di kota Palu, PII sangat konsisiten dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuannya. Bagaimana PII memandang HMI MPO cabang Palu, berikut akan diuraikan beberapa pandangan pengurus PII terhadap gerakan HMI MPO di kota Palu. “gerakan HMI MPO tergolong unik karena dia konsen pada gerakan intelektual dan gerakan intelektual tersebut tentunya dapat bersentuhan langsung dengan banyak kelompok bukan hanya gerakan Islam akan tetapi gerakan di luar Islam. Namun, ada dampak gerakan tersendiri bagi HMI MPO terutama berasal dari gerakan kelompok Islam tradisional yang terkadang tidak sepakat dengan pemikiran dan sikap HMI MPO, tapi itu merupakan sebuah pilihan gerakan. Gerakan jalanan menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai



90



dengan nurani rakyat cukup aktif. Kedepan untuk menjadi organisasi yang maju harus melakukan dua hal yakni gerakan jalanan dan mengusung sampul-sampul isu transformatif. Kalaupun ada gerakan yang tidak mengambil isu ini bisa muncul akan tetapi pasti akan mati karena ditinggalkan massanya. Gerakan HMI MPO cabang Palu di kampus sekarang agak menjauh dari gerakan intelektual, meskipun usahanya maksimal tapi masif. Kedepan sampul gerakan HMI MPO perlu diperbaiki agar dapat menarik kalangan mahasiswa. (Sumber: Hasil wawancara dengan Andi Aril Pattalau pada tanggal



1 Agustus 2006 di Palu Timur).



Mengamati gerakan HMI MPO Cabang Palu di Perguruan Tinggi nampaknya apa yang diungkapkan oleh pengurus PII di atas sejalan dengan kondisionalitas HMI MPO sekarang. Kegiatan atau gerakan di kampus tidak terlalu nampak padahal sebagai organisasi yang berbasis mahasiswa. Oleh karena itu, jika berdasarkan karakteristiknya merupakan organisasi yang menonjolkan gerakan intelektual maka gerakan di kampus seperti kajian/diskusi, bedah buku dan kegiatan yang menyentuh mahasiswa harus ditingkatkan. Penulis menekankan pada kegiatan yang menyentuh mahasiswa karena selama ini banyak mahasiswa yang enggan mengikuti kajian/diskusi karena wacana diskusi yang digulirkan tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Gerakan



HMI



MPO



cabang



Palu



sebagaimana



dalam



uraian



karakteristiknya adalah organisasi yang lebih menonjolkan pada gerakan intelektual. Hal itu, karena pada dasarnya organisasi ini adalah organisasi intera kampus dan basisnya adalah mahasiswa. Dampak gerakan HMI MPO dari gerakan kelompok Islam tradisional dikarenakan gerakan intelektual yang dibangun adalah



91



gerakan pembaharuan yang digulirkan oleh para pemikir Islam modernis. Disamping itu, sikap politik yang kritis dan membatasi pada politik praktis menurut kelompok gerakan senior Islam tradisional akan menghambat gerakan Islam. “Secara umum gerakan HMI MPO lebih menonjolkan gerakan intelektual, di kalangan mahasiswa gerakan HMI MPO masih trend. Kehadiran HMI MPO sebagai organisasi pergerakan sebenarnya memiliki potensi kedepan karena disamping melakukan advokasi juga konsen sebagai organisasi kemahasiswaan yang masih mengedepankan kultur Islam. Dalam kenyataannya, sekarang gerakan HMI MPO di perguruan tinggi terkait dengan gerakan intelektual masih perlu ditingkatkan lagi sehingga gerakan HMI MPO sebagai organisasi kemahasiswaan gaungnya akan lebih baik lagi”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Indar Ismail dan Sarlin pada tanggal, 30 Juli 2006 di Palu Timur). Mengamati gerakan HMI MPO cabang Palu diperguruan tinggi, nampaknya apa yang diungkapkan oleh pengurus PII sejalan dalam relitas gerakan HMI MPO di kampus atau perguruan tinggi. Oleh karena itu gerakan HMI MPO cabang Palu di kampus masih perlu ditingkatkan lagi karena kampus adalah basis dan dunia HMI. HMI MPO cabang Palu harus memperbaiki sampul, isu-isu dan wacana sehingga dapat lebih menarik bagi kalangan mahasiswa. Sebagai organisasi kemahasiswaan intera kampus maka keberadaan perguruan tinggi memiliki peran cukup besar. Akan tetapi, dalam kenyataannya di Kota Palu masih banyak kampus yang belum tersentuh oleh HMI MPO tersebut, padahal kampus adalah basis gerakan HMI.



92



c. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM): Tingkatkan Komitmen Independensi



Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki hubungan yang cukup baik dengan HMI MPO cabang Palu karena pada dasarnya organisasi tersebut memiliki kesamaan yakni idiologi Islam. Hubungan dan komunikasi terjalin dengan semangat dakwah memperjuangkan nilai-nilai Islam dilakukan dengan melaui gerakan-gerakan dalam bentuk aliansi taktis atau front. Gerakan aliansi dan front yang dilakukan ketika menyikapi isu-isu lokal, nasional, bahkan internasional serta kebijakan pemerintah yang tidak sesuai baik dengan umat Islam sendiri maupun masyarakat secara luas. “Hubungan IMM dengan HMI MPO hingga sekarang terjalin ukuwah Islamiyah yang cukup baik, karena idiologi gerakannya adalah sama yakni Islam dengan tujuan yang sama kalau ditinjau secara umum yaitu membentuk umat, mahasiswa dan bangsa pada masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dalam segi sosial HMI MPO sangat proaktif dengan gerakan-gerakan kerakyatan dan sangat respon terhadap isu-isu kekinian baik lokal, nasional maupun internasional. Dalam segi politik HMI MPO cabang Palu masih tetap teguh untuk menjaga nilai independensinya, sehingga tidak masuk pada politik praktis dan lebih menekankan pada upaya korektif. Dalam dunia perguruan tinggi wacana gerakan HMI MPO relatif bersesuaian dengan wacana gerakan kemahasiswaan sehingga gerakannya mudah diterima”. (Sumber: Hasil Wawancara dengan Abdul Majid Irawan pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur).



93



Berdasarkan pandangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa IMM dan HMI MPO memiliki tujuan organisasi yang sama yakni membentuk mahasiswa dan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Perbedaan yang dimiliki oleh kedua organisasi ini terletak pada organisasi keislaman. IMM merupakan organisasi khusus mahasiswa Muhammadiyah sedangkan dalam HMI MPO memiliki keberagaman organisasi Islam, misalnya Al-Khairat, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan ada pula Syi’ah). “Gerakan HMI MPO masih tetap pada porsinya artinya gerakannya masih dalam kapasitas sebagai gerakan mahasiswa Islam, gerakan HMI MPO juga nampak dalam membantu masyarakat khususnya di Kota Palu. Di perguruan tinggi gerakan HMI MPO perlu ditingkatkan jangan hanya lebih nampak pada kegiatan training. Dari segi personal kader HMI MPO harus lebih memiliki komitmen untuk tetap menjaga nilai-nilai independensi, karena kepentingan individu atau personal kader akan mengakar pada lembaga atau organisasi”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Muhammad Rizal pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur). Pengurus IMM memandang bahwa yang perlu ditingkatkan oleh HMI MPO cabang Palu adalah gerakan diperguruan tinggi atau di kampus. Selain itu, dari segi individu atau person kader HMI MPO harus lebih mencerminkan nilai-nilai independensi, karena kepentingan individu dalam suatu organisasi akan turut memberikan implikasi terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu organisasi. Oleh karena itu, HMI MPO cabang Palu dituntut untuk meningkatkan manajemen organisasi khususnya upaya mengintegrasikan kepentingan individu/ kader dengan tujuan organisasi.



94



d. Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi (LMND : Kesamaan Yang Berbeda LMND merupakan organisasi ekstra kampus yang beridiologikan Demokrasi Kerakyatan dan senantiasa mengusung pemikiran Karl Marx atau dikenal dengan kelompok gerakan kiri. Gerakan LMND di Kota Palu sangat progresif dan kental dengan isu-isu gerakan kerakyatan sesuai dengan tujuannya menciptakan kehidupan yang sosialis Demokratis. Meskipun berbeda idiologis dengan HMI MPO kedua organisasi ini tampak memiliki kesamaan, dan kesamaan tersebut akan dipahami ketika mengamati gerakan yang dilakukan, yakni keduanya sama-sama progresif, radikal dan konsen memperjuangkan rakyat yang tertindas. Dalam bagian ini penulis berusaha menguraikan beberapa pandangan LMND terhadap gerakan HMI MPO cabang Palu. “HMI MPO dalam melakukan gerakan-gerakannya lebih cenderung kepada rakyat atau perjuangan rakyat tertindas dan senantiasa melakukan gerakan-gerakan ektra parlementer. Terdapat titik temu antara HMI MPO dengan LMND, LMND mengakui organisasi yang bisa jalan sama-sama menyuarakan demokrasi rakyat hanya HMI MPO. Selama ini LMND dan HMI MPO sering melakukan front-front gerakan atau aliansi yang sifatnya taktis, menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional terutama yang tidak berpihak kepada rakyat. Kelemahan HMI MPO adalah mereka lebih menonjolkan politik agamais misalnya gerakan-gerakan selama ini lebih mengedepankan keagamaan misalnya menyikapi isu-isu sara dan spesifik Islam, sebenarnya HMI harus memiliki cara pandang yang universal dan gerakannya haruslah gerakan yang juga menjadi



95



problem masyarakat secara luas”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Aziz Wijaya pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur). Berdasarkan pernyataan di atas memang pada dasarnya HMI MPO memiliki konsep gerakan rakyat yang dikenal dengan perjuangan kaum mustadh’afien atau perjuangan bagi kaum yang lemah dan terpinggirkan. Perjuangan rakyat terpinggirkan atau kaum mustadh’afien dalam HMI MPO cabang Palu menjadi tema sentral kepengurusan mulai dari periode 2001-2002 sampai dengan periode sekarang. Menurut penulis gerakan yang dilakukan oleh HMI MPO merupakan gerakan kemanusiaan jadi tidak tersekat oleh aspek internal keagamaan, misalnya menyikapi tindakan kekerasan dan kejahatan manusia di atas manusia ini berlaku universal. “perpecahan yang terjadi ditubuh HMI sehingga menjadi HMI Dipo dan HMI MPO sebenarnya karena persoalan perbedaan cara pandang terutama dalam melakukan strategi dan taktik merespon persoalan yang dihadapi rakyat. Dalam merespon persoalan yang dihadapi rakyat HMI Dipo lebih menonjolkan pada gerakan-gerakan dengan pendekatan yang sangat birokratis sedangkan HMI MPO mengambil alternatif gerakan ekstra parlementer. Gerakan birokratis sekarang sudah tidak bisa dipertahankan lagi akibat dari revolusi 1998 yang gagal, dimana gerakan mahasiswa saat ini lebih banyak diboncengi oleh orang-orang yang mengaku revormis padahal bukan revormis”. (Sumber : Hasil wawancara dengan Ajiz Wijaya pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur). Pernyataan di atas menjelaskan perbedaan antara HMI MPO dengan HMI Dipo bahwa HMI MPO dalam gerakannya lebih menekankan pada gerakan yang



96



sifatnya ekstra parlementer atau upaya korektif terhadap pemerintah sedangkan HMI Dipo lebih menonjol pada gerakan Birokratis atau berusaha akomodatif dengan pemerintah. Mengenai kelemahan gerakan HMI MPO Cabang Palu diungkapkan oleh Albar berikut, “Kelamahan gerakan HMI MPO cabang Palu adalah organisasi tersebut tidak memiliki solusi politik yang jelas terhadap problem yang dihadapi masyarakat, HMI MPO belum mau terlibat dalam parlemen padahal untuk memperjuangkan rakyat harus masuk dalam parlemen. Kalau HMI MPO cabang Palu tidak terlibat dalam politik praktis dan golput sementara LMND kedepan akan berusaha merespon dan ikut terlibat dalam pemilu dengan membentuk front yang bisa menyatukan elemen-elemen masyarakat”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Albar pada tanggal 2 Agustus 2006 di Palu Timur) Berdasarkan pernyataan di atas kelemahan yang dimiliki oleh HMI MPO cabang Palu adalah pada persoalan solusi politik HMI MPO yang belum jelas. Oleh karena itu menjadi masukan bagi HMI MPO cabang Palu. Tapi yang perlu diperjelas ukuran solusi politik antara keduanya beda persepsi. Bagi LMND untuk mewujudkan kejelasan solusi politik dengan keterlibatan dalam parlemen. Menurut LMND untuk konteks kekinian memperjuangkan rakyat butuh keterlibatan dalam parlemen. Bagi HMI MPO cabang Palu kejelasan solusi politik terletak pada usaha yang dilakukan, sehingga organisasi ini mengusung gerakan ekstra parlementer dan membatasi pada politik praktis untuk memberikan kebebasan korektif terhadap pemerintah. Gerakan tersebut dilakukan untuk menghindari sandungan politik dengan organisasi lainnya dan memberikan kebebasan bagi gerakannya.



97



Letak kesamaan antara HMI MPO dengan LMND adalah kedua organisasi ini memiliki sikap progresifitas, radikal dan semangat yang tinggi dalam gerakan memperjuangkan rakyat, tapi kedua organisasi ini berbeda dalam aspek idiologis yaitu Islam dengan Demokrasi Kerakyatan yang pada dasarnya saling bertolak belakang karena LMND merupakan organisasi yang berdasarkan pemikiran Sosialis-Komunis bahkan sejarah telah mencatatnya bahwa diantara kedua idiologi ini tidak pernah akur dan saling bermusuhan.



e. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI): Pertahankan Toleransi Beragama GMKI adalah organisasi ekstra universiter yang konsen dalam menggarap dunia kemahasiswaan terutama mahasiswa-mahasiswi Kristen. Gerakan jalanan yang dilakukan oleh GMKI cukup aktif dan sering melakukan front dengan gerakan-gerakan mahasiswa yang lainnya terutama dalam menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah. Bila ditinjau dari segi idiologis, maka antara GMKI dan HMI MPO sangat jelas perbedaannya karena GMKI adalah organisasi yang beridiologikan Kristen sementara HMI MPO beridiologikan Islam. Meskipun organisasi ini memiliki perbedaan idiologi dengan HMI MPO, namun itu tidak menjadi penghalang bagi kedua organisasi tersebut untuk memperjuangkan rakyat. Hal itu diwujudkan dengan gerakan jalanan bersama dengan membentuk aliansi atau front yang sifatnya taktis. Berikut



ini



pandangan



dari



beberapa



pengurus



GMKI



Kota



Palu.“mengamati gerakan HMI MPO cabang Palu hingga saat ini masih cukup bagus, sebagai elemen gerakan keagamaan HMI MPO tidak terlalu fanatik.



98



Sekarang ini cukup banyak gerakan-gerakan keagamaan Islam yang doktrinnya sangat agamais dan ekslusif sementara HMI MPO tidak dan organisasi ini mampu melakukan gerakan dengan masyarakat secara luas dan tidak kaku serta membawa wacana-wacana perubahan sosial. HMI MPO cabang Palu sangat sensistif dalam menyikapi kebijakan-kebiajakan pemerintah yang tentunya tidak berpihak kepada rakyat. GMKI dan HMI MPO cabang Palu selama ini jika ditinjau dari segi hubungan komunikasi cukup baik, bahkan pengurus GMKI pernah di undang diskusi dan membentuk front untuk melakukan aksi turun kejalan”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Amus pada tanggal, 1 Agustus 2006 di Palu Timur). GMKI memandang HMI MPO cabang Palu dalam melakukan gerakan tidak kaku dan dan tidak fanatik. Hal itu dikarenakan HMI MPO adalah oraganiasasi mahasiswa Islam yang di dalamnya memiliki pemikiran Islam modern. Pemikiran Islam modern yang dimaksud HMI MPO dari segi gerakannya termotivasi oleh semangat pemikiran yang digagas oleh para pemikir-pemikir Islam modern seperti, Mohammad Abduh, Jamaluddin Al’afghani, Rasyid Ridha, Moh. Ikbal dan lain sebagainya. Sehingga dalam melakukan gerakannya HMI MPO cabang Palu tidak ekslusif dan fanatik bahkan



melibatkan komponen masyarakat yang lainnya.



Jaringan bagi HMI MPO sangat diutamakan karena untuk mencapai perubahan tidak dapat dilakukan secara sepihak tapi membutuhkan banyak komponen. “Gerakan HMI MPO harus tetap komitmen untuk memperjuangkan masyarakat secara luas, sekarang banyak organisasi pergerakan Islam yang sangat berambisi untuk mendirikan Negara syariat Islam akan tetapi mereka tidak memahami kalau kemerdekaan yang selama ini dirasakan itu melibatkan banyak



99



komponen masyarakat bukan hanya kelompok Islam”. (Sumber: Hasil wawancara dengan Rosalita dan Yanmer pada tanggal, 2 Agustus 2006 di Palu Timur). Berdasarkan



pernyataan



di



atas



tidak



salah



kalau



HMI MPO



memperjuangkan masyarakat luas karena asas organisasi Islam merupakan rahmatan lil’alamin atau untuk alam semesta tapi HMI MPO memiliki cita-cita untuk menegakan syari’at Islam, karena organisasi ini memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam, olehnya pada periode 2000-2001 diamanahi tema tentang pemberlakuan Syariat Islam. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari perjuangan secara agamis dan umat Islam memiliki kontribusi yang sangat besar oleh karena itu dirumuskan Piagam Jakarta sebagai konsekuensi perjuangan meskipun harus rela merubahnya karena kebesaran hati para pejuang-pejuang muslim.



G. Masa Kini dan Mendatang HMI MPO Cabang Palu : Catatan-Catatan Penting 1. Realitas Masa Lalu Pada bagian ini penulis menguraikan kondisi HMI MPO cabang Palu pada masa yang lalu. Masa lalu yang dimaksud mulai dari awal berdirinya tahun 1997 sampai tahun 2000 atau dari periode pimpinan Andi Ridwan dan Sudirman Zuhdi. Periode kepengurusan awal (1997-1999) HMI MPO cabang Palu dipimpin oleh Andi Ridwan Adam. Periode Andi Ridwan Adam ini adalah satusatunya pimpinan yang menjabat selama dua tahun, karena pada masa itu masih dalam upaya peneguhan dan pengembangan organisasi. Kepengurusan di isi oleh para aktivis gerakan dan pentolan-pentolan HMI cabang Palu yang memiliki



100



semangat perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru. Kader-kader HMI pada masa itu merasa senang karena telah memiliki wadah yang strategis untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru, yang sebelumnya hanya dapat bergerak dibawah tanah dan bergabung dengan kelompok gerakan-gerakan yang memiliki kesamaan semangat perlawanan terhadap Orde Baru. Pengurus pada masa awal memiliki Kesolidan yang tinggi dan personal kepengurusan siap menerima amanah. Pada periode ini untuk mencari figur Ketua umum atau pimpinan HMI sangat sulit sehingga untuk pemilihan Ketua Umum dilakukan secara musyawarah. HMI MPO cabang Palu pada masa itu selalu menjadi kelompok terdepan bersama lembaga intera kampus dalam melakukan gerakan menyikapi kebijakan pemerintah. Hal itu dikarenakan para pengurus HMI MPO cabang Palu banyak menempati jabatan strategis pada lembaga intera kampus. Andi Ridwan Adam sebagai pimpinan pada masa itu adalah mantan ketua senat mahasiswa Untad, Ridha Saleh yang juga masuk dalam kepengurusan adalah mantan ketua senat mahasiswa Untad. Pada masa periode 1999-2000, Sudirman Zuhdi selain sebagai aktivis lembaga dakwah kampus juga pernah menjabat sebagai sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Untad. Periode Sudirman Zuhdi, sekretaris umum dipegang oleh Temu Sutrisno mahasiswa yang aktif pada lembaga dakwah kampus, pengurus Upim, dan ketua Taman Pengajian Hizbullah Fakultas Teknik Untad. Ketua bidang PTK dipegang oleh Dedi Irawan pada saat itu menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP Untad”.



101



Bardasarkan uraian di atas dapat dicermati bahwa orang-orang yang duduk dalam kepengurusan periode awal terdiri dari para aktivis kampus dan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam lembaga intera kampus, sehingga mempermudah dalam melakukan gerakan di kampus terutama dalam menggulirkan ide-ide dan gagasan. Oleh karena itu, Gerakan HMI MPO menjadi ikon bagi gerakan lembaga-lembaga kemahasiwaan baik intera kampus maupun ekstra kampus. Program kerja kepengurusan awal menitik beratkan pada kampanye mengenai keberadaan HMI MPO cabang Palu dan rekrutmen kader. Periode Sudirman Zuhdi juga memiliki dua bidang garapan yakni pengembangan jaringan dan rekrutmen kader. Kepengurusan awal masih dalam tahapan pembenahan infra struktur dan kampanye mengenai keberadaan HMI MPO, penguatan jaringan, serta pada persoalan rekrutmen kader. Penguatan jaringan dimaksudkan agar HMI MPO cabang Palu dapat melakukan gerakan dengan komponen masyarakat yang lain. Rekrutmen kader menjadi fokus utama pada saat itu karena ketersediaan kader-kader HMI MPO masih minim. Persoalan administrasi pada periode ini tidak berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam panduan kesekretariatan. Pengarsipan tidak berjalan dengan kondusif sehingga banyak dokumen-dokumen yang tercecer, karena sering pindahnya sekretariat. Sampai sekarang HMI MPO cabang Palu mengalami tujuh kali pindah. Kemapanan administrasi terjadi pada masa kepengurusan Sudirman Zuhdi dengan Sekretaris Umumnya Temu Sutrisno. Akan tetapi, masih banyak yang tercecer karena



102



diakibatkan oleh persoalan yang sama. Administrasi dan pengarsipan secara bagus dan mapan dilakukan pada masa periode Abdul Haris Abdullah dengan Sekretaris Umum Bunyamin Mukhtar sampai periode sekarang.



2. Kondisionalitas HMI MPO cabang Palu Evaluasi terhadap kondisi HMI MPO cabang Palu pada bahagian ini lebih ditekankan pada kondisi sekarang, yaitu periode kepengurusan tahun 2005-2006, dibawah kepemimpinan Hariman Podungge. Pada konteks kehidupan mahasiswa sekarang secara umum mengalami perubahan paradigma (cara berfikir). Perubahan yang dimaksud adalah mahasiswa saat ini lebih cenderung pada pemikiran yang sifatnya pragmatis dan hedonis. Berfikir pragmatis maksudnya segala aktivitas dilakukan selama sesuai dengan kepentingannya atau bisa menghasilkan keuntungan, sedangkan Hedonis adalah suatu perbuatan yang lebih menonjolkan aktivitas kesenangan yang berlebihan. Mengenai kondisi kemahasiswaan saat ini, apa yang diungkapkan oleh Dawam Raharjo (dalam Harian Pelita tanggal 20 September 1990), masih sejalan dengan kondisi kemahasiswaan sekarang ini, ia memberikan penilainnya sebagai berikut : Atmosfir pemikiran dan orientasi yang tercipta kini dalam kemahasiswaan adalah orientasi yang cenderung pragmatis. Semua dinilai dengan efisiensi dan efektifitas berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi. Kegiatan intelektual tidak lagi begitu menarik dikalangan mahasiswa. Pernyataan Dawam Raharjo di atas pada dasarnya sesuai dengan kondisi kehidupan mahasiswa sekarang, hal itu akan terlihat dengan kehidupan mahasiswa dewasa ini, mereka enggan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang sifatnya intelektual, contoh kecilnya mereka tidak mau mengikuti undangan



103



diskusi, kajian atau seminar. Perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan melakukan counter/menangkal budaya dan paradigma barat yang masih menghegemoni kehidupan kampus, sehingga perannya sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dapat terlaksana secara substansif. Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kondisi perguruan tinggi saat ini bisa dikatakan gagal karena tidak mampu melakukan counter cultur dan penetrasi kultur dalam kehidupan perguruan tinggi terutama kemahasiswaan. Akhirnya sebagai konsekuensi banyak mahasiswa yang lebih menonjolkan pemikiran dan gaya hidup posmo/gaya hidup postmodernisme yang diusung oleh neoliberalisme. Dengan kondisi seperti itu maka sikap dan peran mahasiswa sebagai agen of change dalam masyarakat menjadi kabur dan tidak bermakna. Kondisi perguruan tinggi sangat menentukan semangat mahasiswa dalam berorganisasi selama perguruan tinggi tersebut mampu menciptakan suasana yang memberikan keleluasaan dan kebebasan mahasiswa untuk mengembangkan diri. Seharusnya, organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa, sebagaimana diperkuat dengan diundang-undangkannya UUSPN Nomor 2 Tahun 1989, PP Nomor 30 Tahun 1990 dan dijabarkan lebih lanjut dalam SK Mendikbud Nomor 045/0/1990, pada garis besarnya sebagai berikut : 1. organisasi kemahasiswaan diperguruan tinggi merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa kearah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa. 2. organisasi kemahasiswaan juga merupakan wadah pengembangan kegiatan ekstra kurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi ; pengembangan penalaran, dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa di perguruan tinggi, dan bakti sosial



104



mahasiswa kepada masyarakat. (DEPDIKBUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1996 :68-69). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan suatu organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi sangat menentukan pengembangan diri mahasiswa baik dari segi intelektual, dan intergritas kepribadian mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan juga berperan bagi mahasiswa dalam hal ini sebagai sarana pengembangan penalaran, wawasan keilmuan, sehingga mahasiswa menjadi sadar akan tugasnya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perguruan tinggi harus memberikan keleluasaan terhadap mahasiswa dalam menjalankan roda organisasi dengan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa, sehingga tercipta hubungan mitra dan dialogis antara dosen dengan mahasiswa, selain itu juga tercipta otonomi keilmuan, kebebasan akademik dan mimbar akademik. Kenyataan saat ini terdapat kebijakan perguruan tinggi yang justru membuat mahasiswa menjadi enggan untuk berorganisasi, misalnya satuan kredit semester (SKS) yang padat kuliah akhirnya membuat sebagian besar mahasiswa kurang semangat dalam keterlibatannya pada organisasi, mereka lebih konsentrasi terhadap agenda akademiknya atau hanya kuliah dapat ijazah, tanpa memiliki tanggungjawab keilmuan, walhasil mahasiswa menjadi takut untuk masuk dan aktif dalam organisasi karena hal itu akan merusak nilai Indeks Prestasi Komulatif (IPK) nantinya. Hal mengenai SKS di atas nampaknya memang tidak dapat dihindari karena merupakan kebijaksanaan yang digulirkan oleh birokrasi perguruan tinggi.



105



Melihat kondisi kemahasiswaan seperti di atas, maka organisasiorganisasi saat ini, terutama HMI MPO cabang Palu harus berani melakukan otokritik, mengajukan sebuah pertanyaan ada apa dengan para mahasiswa, mengapa mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam organisasi dan memahami substansi kemahasiswaannya, hal itu mungkin saja bisa berasal dari diri organisasi tersebut, misalnya selama ini organisasi-organisasi tersebut tidak mampu berkampanye dan mensosialisasikan dirinya sehingga dapat menarik minat dan keberadaannya tidak membuat jenuh para kalangan mahasiswa atau organisasi tersebut ataukah selama ini tidak pernah melakukan suatu gerakan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat menyentuh dan sesuai dengan kebutuhan para mahasiswa pada umumnya. Kalau suatu organisasi bisa memberikan tawaran perubahan yang lebih baik, mahasiswa pasti akan memiliki kecenderungan terlibat dalam organisasi. Melihat Kondisionalitas HMI MPO cabang Palu sekarang, tampak disatu sisi mengalami peningkatan, seperti orang-orang yang duduk dalam kepengurusan terdiri dari orang-orang yang progresif, dalam kepengurusan juga sangat sensitif dalam melakukan korektif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah baik lokal maupun nasional hal itu dapat dilihat dari seringnya aksi di Kota Palu, menyikapi isu-isu dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat, namun masih ada yang belum maksimal dan perlu ditingkatkan lagi seperti dalam kerja-kerja kepengurusan dari tingkat cabang sampai komisariat. Kondisi HMI MPO cabang Palu sekarang senada dengan apa yang diungkapkan oleh Arruji Rakhmat (1992) sebagai berikut :



106



Permasalahan yang dihadapi oleh HMI Cabang Palu kini adalah lemahnya institusi Cabang dan Komisariat dengan kecenderungan tidak mengakar lagi di kampus, sehubungan dengan semakin lajunya arus globalisasi yang di dalamnya sangat dituntut kompetisi kualitas, maka HMI harus mampu mengantisipasi kondisi yang dihadapinya sekarang sehingga HMI Cabang Palu dapat memainkan perannya. Pernyataan Arruji Rakhmat di atas masih sejalan dengan kondisionalitas sekarang terbukti dengan masih lemahnya kerja-kerja kepengurusan baik Cabang maupun tingkatan Komisariat yang ada di beberapa perguruan tinggi. Hasil Pleno III tanggal 2 Juli 2006, bisa menjadi refleksi kondisi kepengurusan sekarang. Satu permasalahan kalasik yang secara umum muncul dalam setiap priode kepengurusan seperti adanya sebagian pengurus dan kader yang lebih mementingkan agenda akademiknya sehingga kerja-kerja dalam kepengurusan terbengkalai. Bidang pembinaan aparat kader belum maksimal dalam melakukan kerja-kerjanya hal ini dapat dilihat dengan masih perlu ditingkatkan kesolidan antar pengurus dan kader, silaturahmi komisariat (silakom) sebagai sarana untuk merekatkan hubungan dan silaturahmi antar pengurus dan kader atau cabang dengan komisariat perlu diintensifkan lagi. Begitupula halnya dengan bidang pengembangan intelektual dan budaya (Indbud) sebagai bidang yang sangat berperan dalam pengembangan tradisi ilmiah dan intelektual perlu bersemangat lagi dalam merumuskan strategi pendampingan intelektual kader misalnya melakukan pemetaan terhadap wacana-wacana yang dibutuhkan kader, kajiankajian dan diskusi di sentrum kajian perlu di hidupkan kembali sehingga hubungan emosional kader dan mahasiswa pada umumnya tetap terjaga. Bidang perguruan tinggi dan kemahasiswaan (PTK) masih perlu melakukan penguatan jaringan dengan organisasi-organisasi intera kampus dan lebih mengintenskan



107



lagi komunikasi dengan institusi kantong sebagai sayap pengemban gagasan dan perjuangan HMI di kampus. KOHATI adalah lembaga khusus yang bertugas mengurusi masalahmasalah keperempuanan/kemuslimahan, tapi lebih nampak upaya mereka untuk mensosialisasikan program-programnya, khususnya dibidang pengembangan wawasan. KP yang memiliki tanggung jawab dalam proses perkaderan perlu meningkatkan pengembangan kwalitas pengader terutama lebih memaksimalkan lagi pengelolaan Senior Course (SC) dan follow up bagi lepasan SC tersebut sehingga setiap pengader dapat mengetahui betul tugas dan tanggung jawab sebagai pengader. Di tingkat komisariat, saat ini sangat nampak kepasifannya, misalnya terkadang pengelolaan LK I diambil alih oleh cabang dengan alasan-alasan tertentu. Komisariat-komisariat yang ada hanya memiliki keunggulan secara kuantitas jumlah anggota dan kader namun dari segi kualitas kader komisariat yang aktif terlibat dalam kepengurusan bisa dikatakan sangat minim, hal itulah yang menyebabkan tidak berkembang dan tidak maksimalnya pelaksanaan program-program kerja kepengurusan. Kelemahan komisariat yang lain adalah dalam persoalan rekrutmen kader, sehingga banyak mahasiswa yang memiliki bakat dan potensi akademik serta kepemimpinan yang baik tidak sempat terpantau dan terekrut kedalam anggota/kader HMI MPO, selain itu masih terdapat pengurus komisariat yang belum memahami job deskription atau pembagian kerja sehingga mereka masih kebingungan dalam melakukan kerjakerjanya.



108



Pelaksanaan perkaderan secara formal melalui LK I memang dilakukan oleh komisariat namun hasil dari LK I



yang dilakukan oleh komisariat-



komisariat selama ini tidak dapat berbuat banyak. Hal itu disebabkan oleh tidak rutinnya pelaksanaan folow up training sebagai media dalam mematangkan wacana-wacana ke HMI-an bagi para kader baru, sehingga mereka tidak memahami konstitusi dan tidak memiliki ikatan emosional dengan HMI. Faktor lain yang mengakibatkan lemahnya komisariat adalah kurangnya pendampingan intelektual di kalangan pengurus dan kader komisariat sehingga pengembangan wacana ke-HMI-an dan tradisi ilmiah sangat sulit diharapkan, bahkan hal itulah yang membuat banyak kader yang lepas atau keluar dari jamaah. Salah satu faktor yang penting dan urgen bagi keberadaan suatu organisasi adalah ketersediaannya sekretariat sebagai pusat informasi dan sentral aktivitas organisasi. HMI MPO cabang Palu dari kepengurusan awal hingga sekarang ternyata belum memiliki sekretariat secara penuh, maksudnya adalah hingga sekarang masih harus menyediakan dana yang cukup besar untuk membayar sewa kontrak setiap tahunnya. Begitu juga dengan komisariat-komisariat yang ada juga mengalami persoalan yang sama yakni tidak tersedianya komisariat tetap sehingga terkadang masih numpang dengan sekretariat cabang kalau tidak di Mushollah kampus. Pendanaan dalam suatu organisasi sangatlah dibutuhkan untuk kelancaran pelaksanaan program kerja. Mengenai persoalan dana bagi HMI MPO cabang Palu sudah menjadi persoalan yang sangat klasik, hingga sekarang belum memiliki sumber dana mandiri, melainkan harus tetap bersabar dan prihatin



109



menulis proposal dan menyodorkan kepada simpatisan yang sifatnya tidak mengikat, sehingga hal ini yang biasanya mengakibatkan tidak terlaksananya beberapa program kerja.



3. Bercermin Dari Sejarah, Menuju Masa Depan Dalam dispilin ilmu sejarah masa lalu, masa kini dan akan datang adalah tiga dimensi waktu yang tidak dapat dipisahkan. Masa kini merupakan produksi masa lalu, demikian selanjutnya masa yang akan datang adalah reproduksi dari masa kini. Dalam bagian ini penulis akan mencoba memprediksikan masa depan HMI MPO cabang Palu dengan berpijak pada kondisi HMI MPO cabang Palu sekarang. HMI MPO adalah bahagian integral dari umat Islam dan bangsa Indonesia, oleh karena itu akan berjalan pada ruang dan waktu yang sama. Arus globalisasi yang semakin deras, kemajuan sain dan teknologi khususnya komunikasi yang tak terelakan membawa dampak positif dan negatif dengan berbagai konsekuensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya mempersiapkan diri dalam menapaki kehidupan masa depan terkadang tidak akan dapat tercapai jika itu hanya dilakukan dengan melihat kecenderungan sendiri, akan tetapi yang harus diperhatikan adalah mempertimbangkan kecenderungan yang muncul di dunia lain. Mengenai kecenderungan keluar Ketua



Umum



PB



HMI,



Cahyo



Pamungkas



dalam



laporan



pertanggungjawabannya di Kongres HMI ke-25 pada tanggal 13 sampai 20 Agustus 2005 di Palu, Sulawesi Tengah menjelaskan sebagai berikut :



110



Jaringan adalah bentuk-bentuk hubungan HMI dengan organisasiorganisasi, lembaga-lembaga, dan pihak-pihak di luar HMI. Pembangunan jaringan sangat diperlukan dalam HMI karena pada dasarnya tujuan HMI tidak akan pernah dapat diwujudkan jika hal itu hanya dilakukan oleh kerja-kerja HMI semata. HMI adalah bagian dari lingkungan masyarakat lokal, nasional, maupun internasional. Jaringan pada tingkat nasional juga perlu dibangun sebaik mungkin untuk meneguhkan eksistensi HMI pada tingkat nasional. Sementara jaringan di tingkat internasional dibentuk untuk mewujudkan asas-asas universalitas Islam. HMI MPO cabang Palu sebagai organisasi beridentitaskan perkaderan dan perjuangan tentunya sudah harus cerdas melihat kenyataan ini. Sesungguhnya pada diri HMI MPO cabang Palu memiliki lima potensi yang utama serta dapat digunakan dalam menapaki masa depannya. (1), tersedianya stok kader yang terpenuhi lewat kontinuitas perkaderan dimana anggota atau kader adalah mahasiswa yang secara tidak langsung dapat mewakili masyarakat ilmiah Indonesia. (2), sikap independensi yang tetap terjaga sebagai karakteristik dasar HMI secara umum. Sehingga leluasa dalam mengaktualkan ide-ide maupun praksis gerakan, tanpa harus merasa takut untuk mengambil sikap dan tergantung kepada individu atau kelompok lain. (3), kultur himpunan yang tegak dalam proses intelektualitas dan moralitas. (4), militansi perjuangan yang tumbuh berkembang secara bersama dalam intelektual dan moralitas kader. (5), bukan organisasi massa, melainkan berorientasi pada pembinaan kader. Belum maksimalnya kerja-kerja kepengurusan baik ditingkat cabang maupun komisariat pada HMI MPO cabang Palu, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan potensi pertama diatas belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu, mapannya institusi cabang dan komisariat akan memungkinkan peningkatan kualitas intelektual dan moral kader.



111



Peningkatan kualitas kader merupakan tuntutan sekaligus peluang bagi HMI pada umumnya, apalagi dalam hal peningkatan kualitas sudah merupakan tema sentral bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini. HMI MPO cabang Palu sebagai bahagian yang integral dari umat Islam dan bangsa Indonesia, maka alternatif satu-satunya yang harus ditempuh adalah tetap mengedepankan faktor kualitas intelektual dan moral kadernya. Disamping itu, HMI MPO cabang Palu harus serius dalam melakukan gerakan dan upaya peningkatan kualitas kader-kadernya, sehingga gerakan-gerakan yang dilakukan oleh HMI MPO cabang Palu akan diperhitungkan dan senantiasa menjadi faktor perubahan khususnya di kota Palu. Begitu juga dengan tujuan dan cita masyarakat yang ingin dicapainya semua itu akan terwujud jika proses kaderisasi mengedepankan kualitas kader.



4. Tantangan Gerakan HMI MPO Cabang Palu Dalam kehidupan ini pasti tidak akan pernah luput dari yang namanya tantangan karena dengan tantangan itulah pada dasarnya terdapat pelajaran yang akan menuju pada tataran yang lebih baik lagi. Begitupula halnya dengan gerakan HMI MPO cabang Palu juga tidak luput dari tantangan tersebut, dalam bagian ini penulis akan mencoba memetakakan beberapa tantangan yang kiranya mulai dari sekarang dan kedepan perlu dipikirkan oleh jamaah HMI MPO cabang Palu agar eksistensi dan gerakan organisasi ini kedepan akan lebih populis terutama dalam upaya mencapai tujuan dan cita masyarakat HMI yang



112



diidealkan. Adapun tantangan gerakan HMI MPO cabang Palu berasal dari internal dan eksternal.



a. Tantangan Internal 1. Design struktur organisasi, tuntunan organisatoris HMI MPO cabang Palu adalah untuk memiliki out put gerakan yang dapat dilihat secara real dan mengakomodir segenap potensi dan kecenderungan kader, hal itu tentunya mensyaratkan design struktur organisasi yang relevan dengan kepentingan tersebut. Oleh karena itu maka perlu ada lembaga kekaryaan sebagai alternatif untuk menjembatani kebutuhan ini sampai terjadi perubahan design struktur organisasi secara nasional. 2. Maksimalisasi perkaderan, tumpuan gerakan HMI MPO cabang Palu adalah pada dimensi perkaderan. Sehingga, maksimalisasi perkaderan sesungguhnya dikehendaki.



berbanding Realitas



lurus



perkaderan



dengan selama



capaian ini



gerakan terkesan



yang belum



mengapresiasi secara maksimal terhadap model perkaderan aktivitas dan jaringan kiranya mesti mendapat aksentuasi positif kedepan. 3. Kondisi personal kader, kondisi personal kader sebagai sesuatu yang sukar terpisahkan dari dinamika HMI MPO cabang Palu menjadi salah satu tantangan yang mesti mendapatkan perhatian untuk dikelola secara arif, karena cukup menyulitkan langkah organisatoris dalam mencapai tujuannya. Kondisi personal ini kerap kali dipengaruhi oleh background kader sebelum masuk dan tidak bisa habis terkikis secara keseluruhan.



113



4. Kemandirian ekonomi, kesulitan yang sering kali dihadapi oleh HMI MPO cabang Palu adalah kemandirian ekonomi organisasi, hal ini berimplikasi logis terhadap maksimalisasi kinerja di masing-masing substruktur pimpinan baik pada kampanye ide-ide HMI maupun pada agenda-agenda yang bersifat praksis dan secara eksternal menimbulkan ketergantungan kepada pihak atau kelompok tertentu. Oleh Karena itu, harus ada ikhtiar untuk menggali potensi ekonomi yang dapat dikelola secara mandiri.



b. Tantangan eksternal 1.



Pluralitas ideologi dan mahzab, keberagaman ideologi non-Islam dan mahzab secara internal dalam tubuh umat Islam, senantiasa berkembang menjadi satu tantangan umat Islam dalam mewujudkan visi sosialnya. Keberagaman ideologi non Islam, terutama yang bersumber dari ideologi materialisme telah menyeret masyarakat kepada pendefinisian makna hidup yang sesat. Di samping itu, pluralitas mahzab dalam tubuh umat Islam sayangnya terpola dalam bingkai pemahaman yang fantatis, sehingga alih-alih positif, justru berpotensi untuk melemahkan gerakan umat Islam.



2.



Sistem dan visi politik, sistem dan visi politik lokal yang belum menunjukan perubahan signifikan di era otonomi daerah, bahkan akan cenderung kontra produktif dan menutup ruang gerak HMI cabang Palu untuk bergerak di wilayah publik. Sistem dan visi politik yang tetap bersandar kepada logika dasar yang berlaku secara nasional dan



114



ketidakmampuan pemerintah lokal untuk menggali local content menjadikan tata pemerintahan berjalan tanpa memiliki orientasi yang jelas dan tentunya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. 3.



Realitas pendidikan, masih terdapat realitas konsepsional dan implementasi pendidikan yang tidak mendapatkan sentuhan ide-ide baru dan keluar dari filosofi dasarnya, akhirnya terjadi pereduksian substansi dari pendidikan yang sebenarnya, ini akan turut menyulitkan bagi HMI MPO cabang Palu untuk melakukan konsolidasi paradigma, orientasi, strategi dan praksis gerakan dengan setiap elemen gerakan yang berbasis dunia pendidikan.



4.



Budaya lokal, di masyarakat kota Palu masalah feodalisme dan sektarianisme masih kelihatan kental dan itu merupakan tantangan yang amat berat terutama dalam melakukan transformasi gagasan apalagi menggunakan



kultur



lokal



sebagai



basis



sosiologis



untuk



mengkonsolidasi kesadaran kritis masyarakat. Untuk itu, harus ada upaya mengikis akar feodalisme dalam kultur lokal sembari memperkenalkan gagasan-gagasan yang bersifat pembaharuan (rasional/intelektual) kemasyarakat luas. Pemetaan Tantangan gerakan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak HMI MPO cabang Palu nantinya, terutama sebagai referensi organisatoris untuk mengkalkulasi potensi dan energi internal, serta mensiasati tantangan yang berkemungkinan akan menghambat maksimalisasi gerakan.internal dan eksternal. Sehingga kedepan HMI MPO cabang Palu



115



tetap konsisten dalam melakukan gerakan perubahan, baik dalam dunia perguruan tinggi, kemahasiswaan maupun masyarakat kota Palu pada khususnya.