Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN 1.    Pemikiran Barat Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran yang baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang dimaksudkan adalah bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam suatu literatur sejarah agama yang dikenal dengan teori evolusionisme diartikan bahwa teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan akan meningkat menjadi lebih sempurna. Teori tersebut pada awalnya dikemukakan oleh Max Muller yang kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut: a.     Dinamisme              Menurut paham dinamisme, manusia sejak zaman primitif ( zaman dimana manusia belum mengenal teknologi modern ) telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Pada awalnya sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda biasanya disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti contoh adalah mana (Melanesia) . Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat ataupun dirasakan dengan panca indera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius atau mistis. Meskipun mana tidak dapat dilihat ataupun dirasakan dengan indera manusia, akan tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya. b.    Animisme Menurut paham animisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam  kehidupannya. Setiap benda yang dianggap benda yang baik, mempunyai roh. Menurut masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif walaupun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terdampak efek negatif



dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh seperti saji-sajian yang sesuai dengan pemberitahuan dukun . c.    Politeisme Menurut paham politeisme, Kepercayaan dinamisme dan animisme lama kelamaan tidak memberikan kepuasan dikarena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Oleh karena itu, Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dengan dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang bertanggung jawab masalah air, ada yang bertanggung jawab masalah angin dan lain sebagainya. d.    Henoteisme Menurut paham Henoteisme, Paham politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang awalnya diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya dapat mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (AIlah) bangsa lain oleh sebab itu kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme ( Tuhan tingkat Nasional ) e.    Monoteisme        Menurut paham Monoteisme, Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu sebagai berikut : deisme, panteisme, dan teisme. Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan bahwa adanya monoteisme ke dalam masyarakat primitif. Dia juga mengemukakan bahwa orangorang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.



       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan di dapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).   2.    Pemikiran Umat Islam       Dalam keyakinan di kalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu paham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlak yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu paham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam ini pernah menimbulkan suatu perpecahan yang cukup menyedihkan seperti contoh peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Zaman Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali. Ketegangan politik yang sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya. Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa yang ke-3), Sistem nepotisme yang



diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali selaku sebagai penguasa resmi tersudutkan dengan keadaan. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij. Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segansegan menggunakan konsep asasi. Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, yang berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44



َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْال َكافِرُون‬ “ Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.”



Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain inilah membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendekiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan AlBashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir.. Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memberikan komentar terhadap jawaban Wasil. Komentarnya adalah sebagai berikut bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan AlBashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah atau disebut aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah adalah sebagai kelompok penentang arus. Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu: 1. Meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya 2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id) 3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah) 4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi) 5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.  Dari ke-lima azas-azas tersebut , menurut Muktazilah Tuhan terikat dengan kewajibankewajiban. Tuhan mempunyai kewajiban memenuhi janjinya dan Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Oleh sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional atau biasa disebut dengan Qadariah.



  Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam. Oleh sebab itu, Dalam simpulkan bahwa Keyakinan Umat Islam dijelaskan tentang yang wajib disembah dan dipertuhankan adalah Allah SWT, tiada yang lain selain Dia. Permasalahan muncul diseputar cara manusia mengetahui adanya Tuhan dan keberadaan sifat – sifat Tuhan. Permasalahan ini dalam perkembangan selanjutnya melahirkan kajian keagamaan tersendiri, seperti yang kita kenal adanya Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang ke-Esaan Allah berdasarkan al-quran dan hadis sedangkan, Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin.