Sejarah Penemuan Karet [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH PENEMUAN KARET Sejak awal mula ditemukan sebagai tanaman yang tumbuh secara liar hingga menjadi tanaman perkebunan yang dikelola secara professional, karet memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang. Sejarah karet bermula ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika pada 1476. Saat itu, Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain bola dengan menggunakan suatu bahan yang dapat memantul bila dijatuhkan ke tanah. Bola tersebut terbuat dari campuran akar, kayu, dan rumput yang dicampur dengan suatu bahan (lateks) kemudian dipanaskan di atas unggun dan dibulatkan seperti bola. Kemudian sejarah dilanjutkan pada tahun 1493 ketika Michele de Cuneo melakukan ekspedisinya juga ke Benua Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua Baru” tersebut. Dalam perjalanan ini ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah yang hidup liar di hutan-hutan pedalaman Amerika. Diketahui saat itu bahwa orang-orang penduduk asli setempat mengambil getah dari tanaman tersebut dengan cara menebangnya. Getah yang diperoleh kemudian dijadikan bola yang dapat dipantul-pantulkan sebagai alat permainan sebagaimana juga yang disaksikan Columbus, serta juga dijadikan sebagai alas kaki dan tempat air. Delapan belas tahun kemudian para pendatang dari Eropa mempublikasikan penemuan Columbus dan Michele de Cuneo ini bersamaan dengan diperkenalkannya permainan bola yang dipantulkan yang merupakan permainan tradisional bangsa-bangsa Indian Aztec. Permainan ini selanjutnya berkembang menjadi permainan tenis seperti yang dikenal sekarang. Pengenalan bahan baku karet ini kemudian berlanjut ke daerah Seville pada tahun 1524. Raja Charles V memperkenalkan permainan tenis yang menggunakan karet sebagai permainan dari “Dunia Baru” dengan mengundang beberapa pejabat Negara tetangga. Salah seorang diplomat Italia, Andres Navagioro menjadi salah satu undangan yang menyaksikan permainan tersebut. Dalam bukunya yang ditulis dan diterbitkan di Daratan Eropa, Andrea Navagioro menggambarkan bola dari bahan karet tersebut sebagai bahan yang bening dan lentur. Sejak saat itulah karet mulai menarik perhatian banyak ahli untuk diteliti. Para ilmuwan berminat menyelidiki kandungan yang terdapat dalam bahan tersebut agar dapat digunakan untuk membuat alat yang bermanfaat lainnya bagi kehidupan manusia sehari-hari. Tahun 1601 karet telah ditulis tersendiri dalam sebuah buku Antonio Herrera. Berdasarkan pengetahuan dari buku tersebut kemudian, tim dari Academic Rovale de Science, Perancis melakukan ekspedisi pertamanya ke Daerah Amerika Selatan yang diketahui memiliki banyak karet liar. Tim yang terdiri dari Charles Martie de la Condomine, Pierre Bouguer, dan Louis Goden ini melakukan penelitiannya pada tahun 1735. Ekspedisi pertama kemudian diikuti ekspedisi berikutnya menuju Arctic Circle. Kedua ekspedisi tersebut bertujuan untuk mengetahui mengapa karet dapat berbentuk bulat. Untuk itu, tim tersebut harus menelusuri daerah aslnya sehigga dapat mengetahui hal yang sesungguhnya tentang karet. Walaupun sudah dilakukan dua kali ekspedisi, tetapi hanya Ekspedisi Peru yang banyak memberi tambahan pengetahuan mengenai karet. Dengan bantuan penduduk setempat, Tim Ekspedisi Peru menelusuri daerah tempat tumbuhnya tanaman karet. Mereka berhasil



menjumpai tanaman karet yang dapat diambil getahnya tanpa harus menebang pohonnya terlebih dahulu. Cara baru tersebut adalah dengan melukai kulit batang tanaman. Tanaman yang dilukai batangnya ini diperkenalkan sebagai tanaman Hevea. Hasil laporan Ekspedisi Peru tersebut kemudian ditulis dalam buku oleh Freshneau tahun 1749 dengan menyebut nama tersebut dan menyertakan gambar dari tanaman tersebut, hingga dua tahun kemudian De La Condomine membuat usulan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tanaman Hevea ini. Pengenalan pohon yang diberi nama Hevea ini membuka langkah awal yang sangat pesat kea rah zaman penggunaan karet untuk berbagai keperluan. Selain orang Perancis Raja Philip III juga menaruh minat yang sama terhadap daerah baru yang banyak menghasilkan karet ini, hingga ikut menanamkan modalnya untuk mengembangkan tanaman karet di daerah Peru dan Meksiko. Orang-orang di Benua Eropa kemudian mengembangkan karet untuk aneka barang kebutuhan sehari-hari. Mereka memanfaatkan karet sebagai bahan pembuat pakaian tahan air, alas penutup barang-barang agar tidak basah tersiram air, botol karet, karet penghapus, serta banyak barang lainnya. Penemuan-penemuan baru terutama yang menyangkut pengetahuan fisika dan kimia menambah nilai karet untuk kepantingan manusia. Penemuan ini akhirnya berlanjut ke perkembangan industry dengan bahan baku karet. tahun 1791 Furcroy berhasil menemukan cara mengangkut lateks. John Cought di tahun 1803 dan dilanjutkan oleh Joule di tahun 1853 menemukan sifat ketahanan panas. Sifat kekenyalan pada karet ditemukan oleh Hancock pada tahun 1819. Sedangkan Faraday menemukan sifat yang tidak meneruskan arus listrik pada bahan karet. Pengetahuan di bidang Botani tanaman karet juga berkembang. Pada tahun 1825 diterbitkan sebuah buku mengenai Botani tanaman karet atau Hevea brasiliensis Muell Erg. Nama ini diperkenalkan karena tanaman Hevea yang didapat berasal dari Brazil, tepatnya di daerah hutan Amazon. Buku ini menyertakan gambaran Botani yang cukup baik tentang tanaman karet. Dengan penemuan-penemuan tersebut, karet berkembang menjadi bahan yang banyak dibutuhkan untuk keperluan manusia. Setelah tahun 1839, karet sempat menjadi primadona daerah-daerah perkebunan di beberapa Negara tropis. Berawal dari keingintahuan mengapa pada musim dingin barang-barang yang terbuat dari karet karet menjadi kaku sementara pada musim panas menjadi lengket, pada tahun itu Charles Goodyear menemukan cara vulanisir karet. Goodyear mencampur karet dengan belerang dan kemudian dipanaskan pada suhu 120 – 130 o C. Dengan cara vulkanisir ini semakin banyak sifat karet yang diketahui dapat dimanfaatkan, salah satunya memungkinkan orang untuk mengolah karet menjadi ban. Menurut beberapa literature, Alexander Parkes juga ikut mengembangkan cara vulkanisasi. Sedangkan yang memiliki ide dibuatnya ban adalah Dunlop pada tahun 1888 dan kemudian dikembangkan oleh Goldrich. Pembuatan ban dari karet ini memungkinkan industri mobil di Eropa pada zaman itu mengalami kemajuan pesat. Semula ban kendaraan bukan ban angin seperti sekarang, tetapi terbuat dari karet yang keras dan tidak bisa dipompa (karet mati). Ban angin atau ban yang dapat dipompa dikembangkan oleh Edouard Michellin sebagaimana menjadi merk ban ternama di Eropa saat ini. Dengan ban seperti itu mobil menjadi semakin nyamai dikendarai. Penemuan inilah yang kemudian menjadi titik tolak perkembangan agribisnis karet di dunia.



SEJARAH BERKEMBANGNYA KARET DI ASIA Seiring dengan pesatnya perkembangan industri mobil pada pertengahan abad ke-19 permintaan bahan baku karet semakin meningkat. Perkembangan ini ditunjukan oleh tingkat konsumsi karet di Inggris yang pada mulanya hanya 24 ton di tahun 1830 menjadi 7.727 ton pada empat puluh tahun kemudian. Melihat fenomena tersebut para investor semakin tertarik untuk mengembangkan komoditas ini. Perusahaan-perusahaan pembuat ban mobil dan produk olahan karet yang lain mendapat bantuan modal yang besar. Pabrik yang saat itu dikhususkan untuk mengolah karet didirikan oleh Thomas Hancock pada tahun 1875. The Royal Botanical Gardens di daerah Kew, London, merupakan perintis perkembangan karet di Benua Asia. Kebun raya yang terkenal di London tersebut mengirimkan seorang utusannya bernama Markham pada tahun 1860 menuju Amerika Selatan. Markham mendatangi pohon-pohon karet di tempat asalnya dan mengambil biji-bijinya untuk ditanam. H.A. Wickham yang banyak berjasa terhadap pengembangan karet alam di Asia Tenggara juga mendapat tugas dari Direktur Kebun Raya Kew, Sir Joseph Hooker, untuk mengumpulkan biji-biji tanaman karet dari Brazil. Pada tahun 1876 Wickham, yang kemudian mendapat gelar Sir, mendatangi Tapajoz di daerah aliran sungai Amazon. Dari daerah dengan ketinggian 100 , di atas permukaan laut inilah Wickham berhasil mengumpulkan biji-biji karet yang merupakan cikal bakal berkembangnya tanaman karet di daratan Asia. Biji-biji tersebut sebagian disemaikan di Kew Gardens dan sebagian lagi dikembangkan di India dan Kebun Raya Parademya di Srilanka. Pengembangan diteruskan dengan menyemai biji karet di Kebun Raya Penang, Malaysia, dan di Singapura. Pengembangannya juga dilakukan di Kebun Raya Bogor. Perintisan pertama ini masih bersifat uji coba. Setelah uji coba menunjukkan kecocokan, perkebunan karet mulai dibuka di beberapa kawasan Asia. Perintis perkebunan karet secara besar-besaran pada akhir abad ke-18 di daratan Asia adalah perusahaan The North Borneo Trading Company. Perkebunan karet ini dirintis pada tahun 1898. The North Borneo Trading Company sejak tahun 1905 juga menjual biji-biji karet untuk perusahaan perkebunan lain. Hanya dalam waktu dua tahun (1905 – 1907) sebanyak sebelas ribu bibit karet telah dibeli oleh perkebunan di Negara-negara tetangga. Berkembangnya perkebunan karet di Asia adalah respon positif dari pesatnya industrialisasi di Eropa yang membutuhkan banyak bahan baku karet. Pesatnya perluasan areal tanaman karet akhirnya menjadikan Negara-negara di Asia khususnya Asia Tenggara menjadi produsen karet nomor satu di dunia. Malaysia yang memiliki RRIM sebagai pusat penelitian karet sejak dulu sudah melakukan penelitian sehingga mampu menghasilkan klon-klon baru yang memiliki keunggulan jauh lebih tinggi dalam hal produksi. Selain itu juga ditemukan bahan kimia stimulan yang bisa merangsang pohon karet mengeluarkan lateks lebih banyak tanpa merusak kondisi tanaman. Akibatnya produksi karet di Negara-negara Amerika Latin yang merupakan asal tanaman karet dapat dilampaui. Begitu juga daerah pengembangan karet di benua lain seperti Afrika seperti Uganda, Nigeria, dan Liberia yang berada jauh di bawah Negara-negara Asia Tenggara. SEJARAH BERKEMBANGNYA KARET DI INDONESIA Sejarah karet di Indonesia mencapai puncaknya pada periode sebelum Perang Dunia II hingga tahun 1956. Pada masa itu Indonesia menjadi Negara penghasil karet alam terbesar di



dunia. Komoditas ini pernah begitu diandalkan sebagai penopang perekonomian Negara. Waktu itu sampai terkenal ucapan “rubber is de kurk waarop wij dirjven” yang berarti karet adalah gabus tempat kita mengapung. Namun sejak tahun 1957 kedudukan Indonesia sebagai produsen karet nomor satu digeser oleh Malaysia. Walaupun demikian, bagi perekonomian Indonesia karet tetap member sumbangan ekonomi yang besar. Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi sekaligus kegiatan uji coba. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Pemerintah Belanda tertarik untuk meluaskan tanaman karet karena tembakau dan kopi yang menjadi komoditas andalan waktu itu sedang mengalami kelesuan. Pada waktu itu perkebunan tembakau diubah menjadi perkebunan kopi, padahal pasaran kopi pun saat itu sedang menurun, sampai-sampai Negara produsen kopi terbesar masa itu, yakni Brazil pun menurunkan produksinya hingga 50%. Kelesuan perdagangan kedua komoditas ini menimbulkan minat penguasa Belanda untuk mengusahakan perkebunan karet besar-besaran. Tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia. Perkebunan karet dibuka oleh Hofland pada tahun tersebut di daerah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis karet yang ditanam pertama kali adalah karet rambung atau Ficus elastica. Jenis karet Hevea brasiliensis baru ditanam tahun 1902 di daerah Sumatera. Jenis ini ditanam di Pulau Jawa pada tahun 1906. Pembukaan perkebunan karet secara besar-besaran ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Demi kepentingan menambah dana, pemerintah Netherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor luar. Investor dari Inggris, Belanda, Belgia, dan Amerika ditawari bekerjasama. Kerjasama yang ditawarkan tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga pengelolaannya. Perusahaan Harrison and Crossfield Company adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet dalam suatu perkebunan komersial. Sebelumnya perusahaan ini telah membuka perkebunan karet Malaysia. Perusahaan Sociente Financiered Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan diikuti perusahaan Amerika yang bernama Hollands Amerikananse Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910 – 1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan karet di Sumatera. HAPM adalah perusahaan kerja sama antara dua Negara, yaitu Belanda dan Amerika. Proses perluasan ini berjalan mulus berkat tersedianya sarana transportasi yang memadai. Umumnya sarana transportasi ini merupakan warisan dari usaha perkebunan tembakau yang telah dirombak. Harga karet yang tinggi pada tahun 1910 dan 1911 memberi tambahan semangat para pengusaha perkebunan untuk mengembangkan usahanya. Walaupun demikian, pada tahun 1920 – 1921 terjadi depresi perekonomian dunia yang membuat harga karet merosot. Tahun 1922 dan 1926 terjadi ledakan harga kembali dikarenakan kurangnya produksi karet dunia sementara industry mobil di Amerika sedang mengalami kemajuan sehingga meningkatkan jumlah permintaan. Para investor asing dalam mengelola perkebunannya mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern, serta teknik pemasaran yang efisien. Prasarana fisik perkebunan karet benar-benar berjalan dengan segala sesuatu yang terencana dengan baik. Para pengusaha perkebunan karet ini banya mendapatkan kritik. Mereka dianggap telah banyak mengeksploitasi sumber daya alam tanpa ikut mengembangkan perekonomian rakyat sekitarnya. Para pengusaha mendatangkan tenaga kerja dalam jumlah besar dari Pulau Jawa untuk kepentingan pekerjaan di perkebunannya. Tenaga kerja inilah yang kelak di kemudian



hari dikenal dengan nama kuli kontrak yang menghasilkan keturunan “Pujakesuma” atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Menurut beberapa penelitian, pekerja kasar dan masyarakat di sekitar perkebunan ini tidak ikut menikmati hasil yang didapat dari keuntungan perkebunan. Tingkat kehidupan mereka tidak jauh berbeda dari dulu hingga sekarang, masih dalam taraf yang memprihatinkan. Pemerintah Hindia Belanda sangat menyokong perkembangan perkebunan maupun industry karet di Indonesia. Berbagai kemudahan diberikan untuk memperlancar perkembangannya. Kemudahan itu berupa penyediaan lahan, tenaga kerja, prasarana, teknologi, sampai pengaturan dan perpajakan. Tanah konsesi yang disewa dalam jangka panjang hanya dikenakan biaya 1 – 2% dari ongkos pembukaan lahan. Tenaga kerja yang dibayar murah didatangkan dari Pulau Jawa lewat sistem poenale sanctie. Perkebunan besar milik investor asing juga tidak dibebani untuk membina perkebunan karet rakyat. Aturan main yang dilaksanakan pemerintah Inggris sebagai penguasa 75% pasar karet dunia tidak diikuti oleh pemerintah Hindia Belanda. Aturan main yang dikenal sebagai Rencana Stevenson itu bertujuan untuk mengatasi fluktuasi harga karet dan mempertahankan kestabilannya. Alasan pemerintah Hindia Belanda untuk tidak menaatinya adalah :  produksi karet rakyat di Indonesia tidak mampu diawasi oleh pemerintah Hindia Balanda,  dalam mengusahakan perkebunan karetnya, para pengusaha perkebunan Belanda terbiasa dengan paham laisses faire, dan  posisi komoditas karet di pasaran dunia termasuk lemah. Kenyataannya, penolakan pemerintah Hindia Belanda terhadap rencana Stevenson terbukti menguntungkan. Saat terjadi kenaikan harga dan permintaan, pengusaha karet di Indonesia pada saat itu dapat memanfaatkannya. Kenaikan harga tahun 1922 memberikan catatan harga sebesar 256 sen per kg karet dari harga sebelumnya yang hanya 147 sen. Sedangkan tahun 1926 harga karet mencapai 258 sen per kg. Berdasarkan Rencana Stevenson, pemerintah Inggris pada tahun tersebut melakukan penyusutan lahan-lahan karet agar produksi dapat diturunkan. Produksi karet Inggris ini menyebabkan harga karet melonjak dan produksi karet dari Indonesia dapat mengisi pasar yang tengah kosong. Perkebunan karet rakyat di Indoensia juga berkembang seiring dengan naiknya permintaan karet dunia dan kenaikan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet rakyat di beberpa daerah antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif mudah dan rakyat mempunyai kepercayaan terhadap cerahnya masa depan perkebunan karet. Banyak jemaah haji dari Indonesia yang sewaktu pulang mampir ke Singapura dan Malaysia membawa biji-biji karet untuk ditanam di Indonesia. Lancarnya perdagangan antara Sumatera dan Malaysia juga membantu berkembangnya usaha karet rakyat. Apalagi perusahaan yang mengekspor karet ke luar negeri memiliki posisi yang kuat karena jaringan transportasi waktu itu sudah baik dan hubungan dagangnya semakin meluas. Bayangan kenaikan harga karet terutama setelah terjadi pada tahun 1922 dan 1926 menjadikan rakyat berlomba-lomba membuka kebun karet sendiri. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu memang tidak membuat peraturan tentang pembukaan dan pengusahaan perkebunan karet oleh rakyat. Akibatnya, lahan karet di Indonesia meluas secara tak terkendali sehingga kapasitas produksi karet menjadi berlebihan. Harga karet pun



menjadi semakin sulit dipertahankan pada angka yang wajar. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin menurunnya harga karet di pasaran. Inggris sendiri pada tahun 1928 membubarkan Rencana Stevenson karena beberapa pertimbangan. Sebagai gantinya ada peraturan internasional mengenai karet, yaitu IRRA (International Rubber Regulation Agreement). IRRA merupakan perjanjian pengaturan produksi dan ekspor dari Malaya, Serawak, Kalimantan Utara, India, Netherland Indies, Indocina, dan Thailand. Secara efektif perjanjian ini dilaksanakan bulan April 1944. Pemerintah Hindia Belanda sendiri mengikuti IRRA padahal sebelumnya tidak mengikuti Rencana Stevenson karena masalah seperti di atas. Stelah mengikuti perjanjian IRRA, dampak yang menekan mulai terasa pada perkebunanperkebunan karet. Tekanan yang berat terutama dirasakan oleh perkebunan-perkebunan karet rakyat. Pemerintah yang berkuasa waktu itu membuat peraturan larangan perluasan perkebunan karet rakyat. Produksi karet rakyat yang diekspor dikenai pajak yang tinggi, yaitu sebesar 50% dari nilai keseluruhan. Kebijakan yang dibuat ini telah mencekik usaha tani karet rakyat. Namun pukulan yang menyakitkan ini tidak mematikan perkembangan perkebunan karet rakyat. Perkebunan karet rakyat masih tetap berjalan, tetapi tidak seramai dulu. Para petani karet masih percaya akan masa depan usaha taninya. Pedagang perantara yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan pokok dan menjadi penyalur produksi karet rakyat dengan jalan membeli hasil produksinya merupakan mata rantai yang tetap mempertahankan kelangsungan usaha ini. Walau bagaimanapun, petani karet masih memiliki pola piker yang sangat sederhana. Usaha tani mereka tidak terlalu berpatokan pada peningkatan produksi dan keuntungan yang berlimpah. Asalkan kebutuhan sehari-hari untuk seluruh keluarga tercukupi maka cukuplah alasan mereka untuk mempertahankan kebun karetnya. Sebelum mengikuti perjanjian IRRA, laju pertumbuhan luas areal perkebunan rakyat selama periode 1910 – 1940 adalah sebesar 10,78% setiap tahunnya. Pertumbuhan perkebunan besar pada periode yang sama hanya memiliki laju sebesar 2,95% per tahun. Setelah dikeluarkan larangan perluasan perkebunan rakyat, maka angka laju pertumbuhannya merosot drastis. Perkebunan besar yang diberi izin perluasan, pada tahun 1939 – 1940 dapat meningkatkan luas arealnya. Izin perluasan yang singkat ini dimanfaatkan oleh para pengusaha yang memiliki banyak modal. Pada zaman pra kermerdekaan, kebun karet Indonesia mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1937. Waktu itu produksinya mencapai 650.000 ton. Namun, sesudah itu angkanya menurun, terutama karena terjadinya penurunan harga karet. Hingga Perang Dunia II meletus, penurunan produksi terus terjadi di seluruh perkebunan-perkebunan karet Indonesia. Hal ini bertambah semakin buruk dengan terjadinya pergeseran kekuasaan dari pemerintahan Hindia Belanda ke pemerintahan Jepang yang kemudian ikut menjajah Indonesia. Setelah Perang Dunia II berakhir dan pengaruhnya mereda di berbagai belahan dunia yang terlibat, maka permintaan karet kembali menunjukkan peningkatan. Indonesia pun agak merasa lega karena jepang tidak lagi berkuasa. Perkebunan-perkebunan karte yang dulu diambil secra paksa oleh pihak Jepang dapat dilanjutkan kembali pengelolaannya oleh pemerintah Indonesia. Pengaruhnya terhadap dunia perkebunan karet di seluruh Indonesia sangat positif. Kegairahan untuk meningkatkan produksi karet alam menjalar di semua perkebunan karet.



Indonesia menguasai pasaran karet alam internasional pada era pasca Perang Dunia II. Kebutuhan karet alam dunia yang besar waktu itu, sebagian besarnya dipasok oleh Indonesia. Sayangnya posisi sebagai produsen karet utama dunia ini tidak diikuti dengan langkahlangkah penunjang. Pengelolaan kebun karet kurang baik dan perluasan perkebunan karet kurang dilakukan. Langkah yang lebih penting, yaitu peremajaan tanaman-tanaman karet tua juga hampir tidak dipikirkan. Wajar bila kemudian terjadi penurunan produksi karet alam Indonesia. Situasi politik dalam negeri yang masih kurang stabil juga turut mempengaruhi jumlah produksi. Sementara itu, Malaysia yang memang merupakan saingan utama semakin mengintensifkan pengelolaan perkebunan karetnya. Lembaga penelitian karet Malaysia berhasil menemukan klon-klon baru yang memiliki kemampuan produksi jauh di atas jenisjenis karet yang diusahakan di Indonesia, sehingga pada tahun 1959 – 1960 produksi karet Indonesia dikalahkan oleh Malaysia. Pada tahun 1963 – 1973 produktivitas perkebunan karet Indonesia mulai membaik. Pada periode ini terjadi peningkatan produktivitas yang cukup menonjol. Beberapa hal yang kurang diperhatikan pada periode sebelumnya banyak diperhatikan pada periode ini. Hal-hal seperti peremajaan tanaman, penggunaan pupuk sesuai kebutuhan, pemakaian pestisida, dan penggunaan zat pemacu produksi merupakan penunjang terjadinya peningkatan produksi tersebut di samping perbaikan ekonomi petani karet. Pada periode sebelumnya jumlah tanaman karet tua di Indonesia sebanyak 73 juta batang. Stelah peremajaan tanaman karet tuayang tersisa tinggal 32 juta batang. Penggunaan pupuk yang hanya mencapai 10.860 ton pada tahun 1963 melonjak menjadi 50.000 ton pada tahun 1973. Jumlah pestisida serta zat pemacu walaupun tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya, tetapi jelas ikut meningkat. Peningkatan produktivitas karet alam kembali terjadi pada tahun 1978. Diduga pola pengembangan tanaman karet sistem PIR/NES yang banyak dilakukan di daerah pemukiman transmigrasi berperan besar sebagai penyebabnya. Pada saat ini penggunaan klon unggul tanaman karet juga mulai meluas di banyak daerah yang memiliki perkebunan karet. Harga karet alam yang terus meningkat juga memberi motovasi peningkatan produksi. Apalagi ratarata hasil yang diterima petani berkaitan langsung dengan harga ekspor sehingga peningkatan harga ekspor turut dirasakan sampai ke tingkat petani. Pada perode 80-an hingga sekarang permasalahan pada dunia perkaretan Indonesia adalah hal yang memang sudah ada sejak lama, tetapi sekarang begitu terasa karena terlalu mencolok. Misalnya, walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar di dunia, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap perkaretan dunia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya mutu produksi karet alam Indonesia. Rendahnya mutu membuat harga jual karet alam di pasaran luar negeri menjadi rendah.