Sejarah Perkembangan Fiqih Dan Ushul Fiqih Masa Awal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT A.  PENDAHULUAN Kapanpun dan dimanapun



arus perubahan yang bergulir, diakui atau tidak, akan



mempengaruhi cara berfikir dan prilaku kehidupan masyarakat. Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) memang tidak mengalami hal ini karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan.1[1] Keadaan tersebut berbeda sekali dengan pasca kenabian, Kaum muslim, terutama yang berada di daerah-daerah baru dibuka (muslimat al-futuh) sudah mengenal peradaban yang lebih maju ketimbang peradaban yang ada di jazirah Arabia. Berbagai problempun mengemuka akibat dari akulturasi budaya, dan tuntutan riil dalam kehidupan. Peristiwa hukum sering tidak ditemukan paralelnya dalam al-Qur’an dan Sunnah sehingga sulit membuat acuan penetapan hukum yang tepat. Akibatnya muncul berbagai fatwa hukum yang saling bersebrangan, karena ada yang terlampau rigid dalam memahami nash, dan ada pula yang terlalu “luas”. Perbedaanperbedaan pendapat yang mengemuka, kemudian terasa sangat tajam, di sinilah letak pentingnya kehadiran metode dan kaidah ijtihad yang akademis dan solutif, untuk meminimalkan perbedaan di tengah masyarakat.2[2] Memahami sejarah fiqih dan ushul fiqih memiliki urgensi yang signifikan bagi umat Islam. Pengetahuan historis atas kedua ilmu ini memberikan satu kejelasan tentang kedudukannya dalam agama Islam, sehingga dapat menghindarkan umat Islam dari misinterpretasi (salah penafsiran) terhadap ketetapan hukumnya. Sesuai dengan sifatnya, kedua ilmu ini bersifat relatif, terbentuk karena adanya kepentingan kondisional terkait dengan pelaksanaan ijtihad para ulama pada masanya. Dengan demikian ketetapan dan rumusannya bukan bersifat mutlak, tidak final, tetapi memungkinkan terjadi perubahan, rekonstruksi, bahkan dekontruksi.3[3] Kepentingan lain dari kajian historis fiqih dan ushul fiqih adalah menghindarkan adanya konflik yang tidak perlu akibat perbedaan praktek atau pemikiran keagamaan. Selama perbedaan 1 2 3



tersebut dalam ranah fiqih dan ushul fiqih, maka harus diterima sebagai bagian dari toleransi berpendapat. Satu kelompok tidak dapat memaksakan keyakinannya terhadap kelompok lain, apalagi dengan jalan kekerasan. Oleh karenanya, setiap perbedaan pendapat harus dilihat, apakah perbedaan tersebut dalam hal cabang (furu) atau dalam hal pokok (ushul). Jika perbedaan terjadi dalam hal furu maka terbuka ruang untuk menafsirkan berbeda, 4[4] tetapi jika dalam hal ushul maka hal itu dianggap menyimpang dari mainstream Islam. Berdasarkan alasan inilah pengetahuan tentang sejarah perkembangan fiqih dan ushul fiqih menjadi penting, agar ketetapan hukum dalam Islam tidak tercabut dari masa lalunya.5[5] Fiqih dahulu dipahami sebagai seluruh bangunan ilmu keislaman, yang meliputi dalam bidang keyakinan yaitu aqidah, dalam bidang hukum syari’ah dan dalam bidang akhlak yaitu tasawuf. Dalam perkembangannya fiqih menjadi dipersempit hanya dalam bidang hukum saja. Oleh karena itu, selanjutnya banyak yang menyebutnya sebagai hukum Islam, terutama setelah mengalami terjemahan ke dalam bahasa Inggris menjadi Islamic Law. Islamic Law is an all embrancing body of religious duties, the totality of Allah’s commands that regulate the life of every Moeslem in its aspects. Hukum Islam, istilah dalam bahasa Indonesia, yang identik dengan Islamic Law (Muhammad Law) dalam kajian hukum Islam bagi para orientalis, merupakan suatu “istilah baru”. Dalam kajian masa awal Islam, dikenal istilah syari’ah, fiqih, dan hukum syar’i. 6 [6] Terlepas dari pengistilahan fiqih atau hukum Islam tersebut, fiqih selama ini sampai kepada masyarakat sebagai hasil pemikiran manusia dalam menerjemahkan syari’ah. Fiqih merupakan produk pemikiran ulama. Dengan demikian, kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama terikat dengan zaman dan keadaan lingkungan tempat penulis hidup.7[7] Tulisan ini membahas sejarah perkembangan ushul fiqh dan fiqih masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat serta ciri-cirinya ? B.  PEMBAHASAN 1.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya a.    Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya. 4 5 6 7



Tarikh Tasyrik Islam, atau sejarah fiqh Islam, pada hakikatnya, tumbuh dan berkembang di masa Nabi sendiri, karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi.8[8] Para Fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidahkaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juziyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbatkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas.9[9] Pada Masa Rasulullah adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.10[10] Masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah. 1)   Periode Makkah Periode pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi SAW. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan



8 9 10



Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlak dan sejarah.11[11] 2)      Periode Madinah Periode kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan syari’at dan peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.12[12] Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain. 13[13] Kekuasaan tasyri’iyah (legislatif) pada masa itu dipegang Nabi sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga beberapa sahabat berijtihad mencari hukum, seperti Ali Ibn Abi Thalib dikala melawat ke Yaman, Mu’adz Ibn Jabal ketika menjadi Hakim di Yaman dan Amr Ibn Ash dan lain-lain.14[14] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.15[15] Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa 11 12 13 14 15



Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayatayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.16[16] Fiqih adalah hasil penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad. Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayatayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.17[17] Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama mu’tazilah, Abu Ali al Jubbani dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’. Alasan mereka adalah Firaman Allah Surat Al-Najm ayat 3-4 yang artinya, “ Dan tiadalah yang diucapkannnya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang muncul dari lisan nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar



16 17



wahyu. Ijtihad tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya sendiri.18[18] Nabi SAW berkemampuan untuk sampai kepada hukum secara menyakinkan melalui wahyu. Sedangkan hasil ijtihad hanyalah bersifat zhanni. Bila mampu untuk sampai kepada yang meyakinkan (qath’i), maka tidak boleh menempuh yang tidak menyakinkan (zhanni). Disamping itu, ijtihad hanya boleh dilakukan bila tidak ada nash, sedangkan selama Nabi masih hidup, tidak mungkin nash itu sudah berhenti.19[19] Sering terjadi nabi tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya tentang kasus. Dalam keadaan demikian, nabi menyuruh menunggu sampai turunnya wahyu yang akan menjawabnya. Seandainya Nabi dapat memberikan jawaban yang hasil ijtihadnya, tentu nabi tidak perlu berlama-lama menunggu turun wahyu untuk menjawabnya.20[20] Selanjutnya pendapat dari ulama lain menyatakan bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masa peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Bila diperhatikan dari beberapa pendapat tersebut beserta argumennya masing-masing, cenderung pada pendapat yang mengatakan tidak semua yang muncul dari lisan nabi itu dibimbing wahyu. Dalam kenyataan memang beliau pernah berijtihad untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah dalam hal-hal yang memerlukan penjelasan dari hal-hal yang tidak mendapat koreksi dari Allah, maka hal itu muncul sebagian sunnah nabi adalah berdasarkan ijtihad.21[21] Adapun menurut Philips dalam bukunya Evolusi Fiqh yang dikutip oleh Ali Sodiqin, menyatakan bahwa sumber hukum pada masa Rasul hanya wahyu, baik Al-Qur’an maupun sunnah. rasul juga melakukan ujtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun, Hasil ijtihad Rasul inilah yang kemudian disebut dengan sunnah atau hadis. Namun, hasil ijtihad Rasul pada periodenya tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen karena faliditasnya tergantung kepada wahyu, apakah dikonfirmasi atau dikoreksi.22[22] Contoh aturan dari Rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian dengan cara zihar. Rasul menetapkan zihar yang dilakukan oleh Aus bin As-Shamit kepada istrinya, Khalwah binti Tsa’labahsebagai 18 19 20 21 22



bentuk perceraian. Qur’an dengan turunnya surah Al-Mujadalah (58) ayat 1-3 yang menetapkan bahwa zihar adalah tidak sah sebagai bentuk perceraian.23[23] b.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh Pada Masa Rasulullah dan Ciri-cirinya. Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada sua , yaitu AlQur;an dan Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh. 24[24] Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. ‫ النه ف القرن الجهرى االو ِل لم تَدَع َحا َجةً اليه فاالرسو ُل‬,‫جرى‬ ِ ‫اَ َّما ِع ْل ُم اُصُو ِل الفقه فَلَم يَن َشاء األ في القَر ِن الثاني ال ِه‬ ‫كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من القرن بما يَل ِه ُم به من ال ُّسنَ ِن‬ “Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.25[25] Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( AlHadist). Pada masa itu di temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khatab RA, sebagai berikut: ُ ‫صن‬ ‫ فقال له رسول هللا صلي هللا عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بما ٍء‬, ‫َعت اليوم يا رسول هللا امرًا َع ِظي ًما قبّلت وانا صاء ٌم‬ َ ‫ فصم‬: ‫ فقلت ال بأس بذا لك فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬, ‫وانت صاءم‬



23 24 25



“Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.” Pada hadist diatas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istrinya dengan mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena berkumurkumur”. Cara Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa Ushul Fiqh ada bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah. Penetapan hukum pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari AL-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.26[26] Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya pun bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda : ٌّ ‫انما أنا بش ٌر فما حدثكم عن هللاِ فهو ح‬ ُ‫ وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بش ٌر أُخطىءوأصيب‬, ‫ق‬ “saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah dan bisa benar. Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar. Sebagai contoh hasil beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bi 26



Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni: ‫ رهللا عزيز حكيم‬, ‫ وهللا يريد األخرة‬, ‫ تريدون عرض الدنيا‬, ‫ماكان لنب ّى ان يكون له أسرى حتى يثخن فى األرض‬. “tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.27[27] Jika terhadap hasil Ijtihad Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist).28[28] Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan.29[29] 2.    Sejerah Perkembangan Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya a.    Sejerah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan Persia, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.30[30]



27 28 29 30



Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.31[31] Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu. 32 [32] Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun 31 32



cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting.33[33] Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nashnya para sahabat berijtihad. Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu AlQur’an, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalahmasalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.34[34] Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai berikut:35[35] 1.    Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik). 2.    Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.



33 34 35



3.    Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka. 4.    Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq tiga. 5.    Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.



C.  KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut : Pertama Umat Muslim yang hidup bersama Nabi (muslimat al-risalah) tidak mengalami banyak masalah karena disamping belum ada akulturasi budaya, juga di tengah mereka ada seorang Nabi yang selalu menjadi refrensi utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ciriciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalahmasalah yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’



dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah. kemaslahatan dan permusyawaratan. Kedua pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periodeperiode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab. Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam AlQur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting DAFTAR PUSTAKA A Djazuli, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005. Ahmad Al-Mursi husain Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta: AMZAH, 2009. Ash-Shiddieqy Teuku Muhammad Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999. Idri, Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Muchtar Kamal, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995. Musahadi, “Elemen Liberal dalam Kajian Fikih Pesantren: Studi atas Pesantren Ma’had Aly Salafiyah Sukorejo Situbondo” Jurnal Asy-Syir’ah No. 47 Tahun 2013. Sodiqin Ali, Fiqih Ushul Fiqih: Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda, 2012.



Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007. WahyunI Sri (Ed), Kitab Fiqih Lokal, Menggali Kearifan Lokal Dalam Karya Ulama Indonesia, Yogyakarta: Q-Media dan Jurusan PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012. Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012. Yusuf Muhammad, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005. Zahrah Muhammad Abu, Alran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama, 2011.



BAB I PENDAHULUAN     1. 1.          Latar Belakang



Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat.  Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.   ( Abu Zahro : 12 ). Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa AlAimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12). Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in  dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.   1. 2.          Rumusan Masalah 1. Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi?          2. Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in? 3. Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqih? 4. Bagaimana pembukuan ushul fiqih? 5. Bagaimana Perkembangan ushul fiqh di Indonesia   1. 3.          Tujuan Penulisan



                Dalam makalah ini kami akan mencoba mengulas tentang  sejarah perkembangan  ushul fiqh mulai zaman Nabi hingga sampai ushul fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu tertsendiri. Agar kita mengerti tentang sejarahnya dan dapat bermanfaat bagi semua orang khususnya umat Islam.                           BAB  II PEMBAHASAN                 Dalam Fiqh, ada salah satu cabang ilmu yang disebut Tarikh al-Tasyri, dan berisikan sejarah serta perkembangan hukum islam. Dalam buku-buku Tarikh al-Tasyiri, biasa diadakan pembabkan atau periodisasi hukum islam atas dasar ciri-ciri khas dan hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu, namun secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode diantaranya (1)   1. 1.          PERIODE RASULULLAH



Di  zaman  Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Hal  ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya  saya memberikan keputusan kepadamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.”  (HR. Abu Daud dari Ummu  Salamah) Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz: َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ َع‬ ‫ب‬ َ َ‫ضي فَق‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫أَ َّن َرس‬ ِ ‫ب هَّللا ِ قَا َل فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ِكتَا‬ ِ ‫ضي بِ َما فِي ِكتَا‬ ِ ‫ال أَ ْق‬ ِ ‫ث ُم َعا ًذا إِلَى ْاليَ َم ِن فَقَا َل َك ْيفَ تَ ْق‬ ْ ْ َ َّ ‫هَّللا‬ َّ ‫هَّللا‬ َّ ‫هَّللا‬ َّ ‫هَّللا‬ ‫ال ال َح ْم ُد‬ َ َ‫ال أجْ تَ ِه ُد َرأيِي ق‬ َ َ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم ق‬ َ ِ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ُسنَّ ِة َرسُو ِل‬ َ ِ ‫هَّللا ِ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرسُو ِل‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َّ‫هَّلِل ِ الَّ ِذي َوف‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ق َرس‬ ِ ‫ُول َرس‬   “Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari). Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad. Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah. (2) (1) Al-Hudhari Byk, Ushul al-Fiqh, Maktabah tija’riyah al-Kubro, Mesir,1969 hal.4 (2) sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqh _files (google), 6 Oktober 2012



Artinya dengan keluwesannya  Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan. Rasulullah bersabda : ‫ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم‬ “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”   Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguhsungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah. Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut : “Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar. Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia. Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran  Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah. Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).



Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumurkumur.(3)   1. 2.           PERIODE SAHABAT Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.(2)                 (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung (2) sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqh _files (google), 6 Oktober 2012     Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sahabat seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.(2) Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum. Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :  



‫ضةً َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْال ُمو ِس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر قَ َد ُرهُ َمتَاعًا‬ َ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم إِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء َما لَ ْم تَ َمسُّوه َُّن أَوْ تَ ْف ِرضُوا لَه َُّن فَ ِري‬ َ ‫ جُ ن‬ ‫ال‬ ًّ ْ ّ َ َ‫ُوف َحًق®ا َعلى ال ُمحْ ِسنِين‬ ِ ‫بِ ْال َم ْعر‬ Artinya : “Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (AlBaqarah : 236).   Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.(4)         (2) sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqh _files (google), 6 Oktober 2012 (4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996  



1. 3.         PERIODE TABI’IN DAN IMAM MAZHAB Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerahdaerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak. Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad. Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.(3)     TAHAP PERKEMBANGAN USHUL FIQH secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu: 1. 1.          Tahap awal (abad 3H) pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(w.218H), AlMu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah



terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan  Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh. Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.(4)         (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung (4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996 Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’I, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi;I, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya. Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(w.221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w.221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya. Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 h ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahanpermasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha pada zaman itu. Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia



ditanya tentang kemungkinan adanya dua hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja(4)   1. 2.          Tahap perkembangan (abad 4 H) Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual. Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu. Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain: 1. 1.                Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij 2. 2.                Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah. 3. 3.                Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf(3)       (4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996 (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung



Akan tetapi tidak bisa di ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut: 1. 1.          Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya. 2. 2.          Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uaraian yang sungkat 3. 3.          Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan. Keadaan tersebut sangat, jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh. Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terekenal adalah: 1. 1.                Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu AlHusain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.) 2. 2.                Kitab Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.) 3                    Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4h yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagiansebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu. Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4h., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.(3)   1. 3.       Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H ) kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia  Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu



disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban. Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam AlHaramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran. Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.(4)       (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung (4) Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996 Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan alira  fuqoha, dan aliran Mutakalimin       PEMBUKUAN USHUL FIQH Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah  Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.



  Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidahkaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asySyafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh. Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah-mursalah.                    Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam,                 Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.(3)        



    (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung   Sebenarnya,jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih. Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra’yu. Dan Abu Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum AsSyafi’ie, bahkan As-Syafi’i berguru kepadanya. Golongan As-Syafiiyah juga mengklaim bahwa Imam As-Syafi’i lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd ArRohman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, “tidak diperselisihkan lagi “Imam Syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2 Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni. Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya. Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh AlQur’an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).(3)  



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBAGAN FIQH DAN USHUL FIQH DI INDONESIA Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul fiqh, sedangkan pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untujk mempelajari ilmu fiqh mazhab Imam Syafe’I dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga hal-hal yang berhubungan dengan ilmu Nahu dan Sharaf.                                Orang  yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat. Sedangkan sebhagioan para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkanbermacam-macam Ilmu.sesampai mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di masjidil Haram.                                                                          Yang pertama kaliu mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun sebagai imam Syafe’I di Mesjid Haram dalm belajar.         Alm Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist, BAyan, Ma’aniy, Badi’Arud, Qawafiy, dan lain-lain.(5)                              (3) Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung (5) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh _ hariswandi_files Selesainya mereka mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan mulailah mereka menebarkan  ilmu-ilmu tersebut, di antar mereka yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, sayekh Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil JAbo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdullah HAlaban, serta beberapa ulam lainnya.Semenjak itu tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1310 H (±1890).                                                                                                      Walaupun ilmu Ushul Fiqh sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulamaulama di waktu itu bertekun mempelajarinya.mengharapkan masalah-masalah fiqh, sehingga mereka tidak langsung menerima apa yang di katakn oleh Fuqaha sebelumnya, tetapi adalah



dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat dalam undangundang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqh dalam bermacam-macam tingkatan. Seperti:Tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain . (5) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh _ hariswandi_files BAB III KESIMPULAN Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan 1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri 2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih . 3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam,Pustaka Pelajar Offset, 1996,Jakarta Djazuli, Ilmu Fiqh, Prenada Media Group,2007,Jakarta



Makalah sejarah perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih



BAB II PEMBAHASAN



A. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada beberapa periode yaitu : 1.      Periode pertumbuhan Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang dibagi kepada 2 masa[1] : Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberi penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan



dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat hukum yang di turunkan. Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada masa ini terbentuklah Negara islam yang dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat yang berisi hukum turun, baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya kaum muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul terjadi. Sumber hukum pada periode ini adalah Al Quran dan Hadist.[2] 2.      Periode sahabat Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat) sampai abad pertama hijriyah ( kurang lebih 101 H ) Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul. Tetapi tidak semua orang memahami materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber tersebut. Karena : 1.      Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi. 2.      Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah. 3.      Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya tidak di temukan dalam nash syariat.[3] Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini bertambah dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan Hadist. Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan pendapat di kalangan sahabat karena : 1.      Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari sudut pengertiannya. 2.       Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan menyeluruh.



3.      Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang di alami dan di hadapi sahabat itu berbeda beda.[4] 3.  Periode Kesempurnaan Perode ini d sebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqih Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke Andalusia(spanyol) sebelah barat. Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya[5], seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing. Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut: 1.  Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya. 2.  Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama. 3.  Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan muridnya Mujahid(wafat 104H) dan kitab-kitab lainnya.[6] 4. Periode Kemunduran             Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode



kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan hadist. Mereka  puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran yang jumud dan statis.[7]             Semenjak pertengahan abad VI sampai akhir periode ini, umat islam benar-benar berada dalam suasana taklid,statis,dan jumud. Meraka meninggalkan ijtihad dalam segala tingkatnya. Sehingga perkembangan ilmu fiqih terhenti, statis dan semakin lama semakin tertinggal jauh dari arus perkrmbanga jaman. Masa inilah disebut sebagai masa kemunduran, di mana duania islam bagaikan tenggelam ditelan kemajuan dunia lainnya(terutama barat) yang semakin hari semakin cemerlang dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemuduran adalah : a.  Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh ulama-ulama sebelumya, baik itu persoalan yang benar-benar telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu. Ketergantungan seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas dan hanya mencari yang mudah-mudah. b.  Fanatisme mahab yang sempit Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil untuk menguatkan mazhabnya saja, berupaya menangkis setiap serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya , mereka tenggelam dalam suasana chauvinisme yang tinggi,  jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber hukum islam yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist. c.  Pengangkatan hakim-hakim muqallid Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertaklid, bukan para ulama mujtahid seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu. Sehingga kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.[8] 5.   Periode Kebangkitan kembali



Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya.[9]



B.  Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode yaitu: 1.  Zaman Rasulullah 2.  Zaman sahabat 3.  Zaman tabi’in



1.      Zaman Rasulullah



Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul [10]. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:



َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ َع‬ َ َ‫ضي فَق‬ َ ِ ‫أَ َّن َرسُو َ®ل هَّللا‬ ِ ‫ب هَّللا‬ ِ ‫ضي بِ َما فِي ِكتَا‬ ِ ‫ال أَ ْق‬ ِ ‫ث ُم َعا ًذا إِلَى ْاليَ َم ِن فَقَا َل َك ْيفَ تَ ْق‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ َ‫ق‬ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ال فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ِكتَا‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ُسنَّ ِة َرس‬ ِ ‫ب هَّللا ِ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرس‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم‬ ®َ َّ‫ال أَجْ تَ ِه ُد َر ْأيِي قَا َل ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّ ِذي َوف‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ق َرس‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ِ ‫ُول َرس‬ “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi) Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.[11]



Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguhsungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.



Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut: ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.” Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut. Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya[12]. Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud). Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.[13] 2.    Zaman Sahabat Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50 H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus



baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat mursalah[14]. Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan. Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik [15], penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah ayat 228:



‫س ِهنَّ ثَالثَةَ قُ ُرو ٍء‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَت ََرب‬ ِ ُ‫صنَ بِأ َ ْنف‬ “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru”



            Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci.[16] itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi). Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.



3.    Zaman Tabi’in Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.[17] Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orangorang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. [18] Pada masa tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.



 a. Tahap-tahap perkembangan usul fiqh secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu: 1.      Tahap awal (abad 3H) pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(wafat 218H), Al-Mu’tashim(wafat 227H), Al Wasiq(wafat 232H), dan Al-Mutawakil(wafat 247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh. Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”.[19] Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjihkanya maka datanglah Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada AsySyafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya. Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(wafat 221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (wafat 221H\835M) menulis kitab An-Nakl [20] dan sebagainya. Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya



kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahanpermasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqaha pada zaman itu. 2.      Tahap perkembangan (abad 4 H) Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum intelektual. Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam halhal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap eksitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu. Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain: a. Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij b  Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah c.  Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab alkhilaf.[21] Sebagai tanda berembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara kitab yan terkenal adalah[22]: a.  Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi(wafat 340H)



b.   Kitab Al Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (wafat 305H) c.    Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu. Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul fi al ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4H., juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.[23] 3.      Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H ) kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban. Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, AlQhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain [24]. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hri senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.



Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih slanjutnya.[25] Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya alioran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.



b.   PEMBUKUAN USHUL FIQH Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum. Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.[26] Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.[27] Pada periode ini, metode penggalian hokum juga bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat



dengan dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam. Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”.



SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH



Pendahuluan                                                                                                                    Ulama sependapat bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan dan perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum islam islam yang hanya dalam bentu dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum diperlukan upaya yang sungguhsungguh  oleh para mujtahid untuk menggali hokum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam yang disebut dengan fiqh. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 1) Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada



Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw. (Ahmad Sahal Hasan, Lc, Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com) Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya. Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya. (Ahmad Sahal Hasan, Lc, Sejarah Ushul Fiqh, dakwatuna.com) Sejarah perkembangan ilmu fiqh terbagi kepada beberapa periode: periode pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode pembangunan kembali.



Sejarah  Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh A.    Sejarah Perkembangan Fiqh Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode. Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan(Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah alQur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 13)



Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw. (Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, hal. 43) Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai  dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. .(Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 15) Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka



para



faqih



ini



melakukan



ijtihad.



(http://www.cybermq.com/index.php?



pustaka/detail/6/1/pustaka-116. html) Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum. (Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah, I, hal. 12) Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 17).



Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya besarnya, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafe’I dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18) Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut: 1.       Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya. 2.      Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama. 3.      Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitabkitab lainnya. Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat alAhkam al-‘Adliyat tahun 1876M. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18) Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan berbagai factor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. Mereka  puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kea lam pkikiran yang jumud. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 18) Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung



semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 23). Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya. (Prof. Dr. H. Alaidin Koto MA, Ilmu fiqh dan Ushul Fiqh, 2004, Hal 24) 2. Sejarah Perkembagan Ilmu Ushul Fiqh Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang



dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya. (islamwiki.com18/05/10) Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan. (islamwiki.com18/05/10)  Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.  Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan selukbeluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah. Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam,jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat. (islamwiki.com18/05/10)



Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat. Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan. (islamwiki.com18/05/10) Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul. (islamwiki.com18/05/10) Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka. (islamwiki.com18/05/10) Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan. (ensklopediaislam.com/18/05/10) Menurut Abdul Al-Wahab Khalaf, Muhammad bin Idris Al-Syafi’I (150-102H) yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah ilmu ushul Fiqh yang disertai dengan alasan-alasanya dalam kitabnya ar-Risalah . Inilah kitab ilmu suhul fiqh pertama yang sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafe’ilah yang dipandang-oleh para ulama-sebagai pencipta ilmu ushul Fiqh dan dilanjutkan oleh pembahansan ulama-ulama generasi berikutnya. (Wahab Khallaf, op.cit, hlm 15-17)



Kesimpulan Untuk memahami hukum islam islam yang hanya dalam bentuk dalil-dalil dan kaidahkaidah secara umum diperlukan upaya yang sungguh-sungguh  oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam yang disebut dengan fiqh. Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Perkembangan ushul fiqh banyak mengalami periode-periodenya diantaranya: periode pertumbuhan, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama samapi pada masa Dinasti Amawiyyin, periode kesempurnaan, periode kemunduran, periode pembangunan kembali.



Daftar Pustaka Koto, Alaidin, 2004, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Press Jakarta islam Wikipedia.com/18/05/10 Ensklopedia Islam.com/18/05/10 Google.com/18/05/10 Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, Dar Al Kutub Al Haditsah, http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116. html



SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ushul Fiqih Dosen Pengampu: Dr. Rustam Dahar Karnadi



Disusun Oleh:



Fanny Nurus Salam



113811009



Fatmawatur Rohmah



113811010



Laela Noer Faizah



113811011



M. Izzudin Fikri



113811013



Purwowidodo



113811016



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012 A.      PENDAHULUAN Hukum Islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa megalami dinamika. Masa perjalanan hukum Islam sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa Rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga disusul dengan masa tabi’it tabi’in. Pada masa Rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam terbilang belum begitu kompleks. Selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih diserahkan penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh umat Islam semakin komplek, dan terkadang suatu permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu belum dijumpai pada zaman Rasulullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ushul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Jika ditilik lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar besar dari kalangan ahli hukum Islam. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh. 36[1] Namun, 36[1] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 20.



Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai hal ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh. B.       RUMUSAN MASALAH 1.    Bagaimana Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in? 2.    Bagaimana Latar Belakang Terbentuk dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih? C.      PEMBAHASAN 1.    Periodisasi Embrio Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in a.    Periode Nabi Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi SAW hingga pada masa tersusunya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke2 H. Pada zaman Nabi SAW, sumber hukum Islam ada 2, yaitu Alqur’an dan sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun maka Nabi menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis dan sunah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang ada di zamanya, ulama ushul fiqh menyimpulkan ada isyarat bahwa Nabi melakukannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Nabi ini secara otomatis menjadi sunnah bagi ummat. Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW.37[2] b.    Periode Sahabat Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena Rasulullah 37[2] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, Jakarta: AMZAH, 2011, hlm. 6.



SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah SAW dan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman. “ketika Rasulullah SAW bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “ bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? ia menjawab: “ saya yakan putuskan berdasarkan sunah Rasulullah SAW ” beliau bertanya lagi: “jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun sunnah Rasulullah? Ia menjawab: “saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az : “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq utusan Rasulullah kepada apa yang di ridhai Rasul itu.” Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau, mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan memahami ayat-ayat Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas. Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak



ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.38[3] c.    Periode Tabi’in Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban , ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya. Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ashshahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’. Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)? 38[3] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, 2011, hlm. 20-23.



Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.39[4] 2.    Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Disamping itu secara fithri, ijtihad Rasul tidak memerlukan Ushul atau kaidahkaidah yang dijadikan sebagai istinbat dan ijtihad. Begitu pula dengan para sahabat, mereka memberikan fatwa hokum dan memutuskan suatu keputusan berdasarkan nash-nash yang dipahami lantaran kemampuan potensial mereka dibidang bahasa arab yang benar, tanpa memerlukan kaidah-kaidah bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman nash. Para sahabat juga melakukan istinbat terhadap hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan potensial mereka dalam membina hokum syari’at Islam yang terpusat di dalam jiwa mereka yang disebabkan akrabnya mereka dengan Rasulullah di dalam pergaulan. Selain itu, para sahabat juga ikut menyaksikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab dikeluarkannya hadits, serta memahami maksud dan tujuan syari’ (pembuat hokum, yakni Allah) disamping prinsip-prinsip pembentukan hokum Islam. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Maka terjadilah kerancuan dan kemungkinan yang terjadi di dalam cara memahami nash. Sehingga dianggap perlu menyusun batas-batas dan kaidah-kaidah bahasa yang dapat mendukung pemahaman nash, sebagaimana bangsa arab mampu memahami nash sesuai bahasa yang ia gunakan. Penyusunan kaidah itu tidak jauh berbeda dengan penyusunan kaidah-kaidah Nahwu yang dapat membantu kemampuan berbahasa secara baik. Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh. Namun, ilmu tersebut tumbuh dalam kondisi yang sangat sederhana, seperti halnya anak kecil yang baru lahir. Kemudian, secara bertahap ilmu tersebut tumbuh semakin meningkat sehingga mencapai usia 200 tahun. Sejak itu, mulailah ilmu itu berkembang dengan pesatnya, tersebar dan memencar bersama berkembangnya hukum Fiqh, sebab setiap Imam mujtahid , baik Imam yang empat atau yang lainnya, selalu memberi petunjuk dengan dalil hukum yang disertai dengan ilmu Ushul Fiqh dan arahan pengambilan dalil dengan ilmu itu juga. Sedang para mujtahid yang tidak menggunakan cara tersebut, berarti telah membuat hujjah dengan jalan yang 39[4] Abd. Rahman, Dahlan, Ushul Fiqih, hlm. 23-24.



menyimpang. Padahal, semua pengambilan dalil dan penggunaan hujjah selalu mengandung kaidah-kaidah Ushul.40[5] Orang pertama yang menghimpun kaidah-kaidah yang berserakan itu, ialah Imam Abu yusuf, seorang pengikut setia imam Abu Hanifah. Hal ini, dikatakan oleh Ibnu Nadim dalam kitabnya yang bernama Al Fahrasat . Namun sangat disayangkan catatan-catatan tersebut tidak sampai ketangan kita. Oleh ahli ushul fiqih dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama Ar-Risalah. Dan setelah itu, muncullah para penulis lain yang melengkapi dan menyempurnakannya seperti Imam Ghazali dalam kitabnya yang bernama Al-Mustasyfa, Al-Amidi dalam kitabnya yang bernama Al-Minhaj yang disyaratkan oleh Asnawi.41[6] Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal Abu Zaid Al Dabbas dalam kitabnya yang bernama Ushul, Fadhul Islam Al Basdawi dalam kitabnya yang bernama Ushul dan Nasafi dalam kitabnya yang bernama Al Manar. Disamping itu lahirlah pula kitab yang bernama Badi’un Nizam Al Jami Baina Bazdawi wal ‘itisom oleh Muzafaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab tahrir oleh kamal bin Humam dan kitab Jam’ul jawani oleh ibnu Subki. Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab yang ditulis oleh beberapa ulama’, diantaranya kitab Irsyadul Fuhul oleh Syaukani, kitab Ushul Fiqh oleh Hudari Bek, kitab Tahsilul wushul oleh Muhammad Abdurrahman Mahlawi. Dan masih banyak kitab-kitab Ushul Fiqh yang lainya. D.      PENUTUP 1.    Kesimpulan a.    Periodisasi embrio ushul fiqih pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in Periode Nabi SAW: para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW. Periode Sahabat Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusanrumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Periode Tabi’in: Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkahlangkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,



40[5] Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm. 29-30. 41[6]Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997, hlm. 46.



yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat. b.    Latar belakang terbentuk dan tumbuh berkembangnya ushul fiqih . Ilmu ushul Fiqih, lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan karena keberadaan Rasulullah SAW. masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alqur’an, Sunnah dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Namun ketika dunia Islam semakin berkembang luas dengan hasil kemenangan yang diraih, dan bangsa Arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sehingga timbul interaksi bahasa lisan dan tulis-menulis, maka beberapa sinonim dan gaya bahasa Arab tercampur dengan bahasa lain. Sebagai akibatnya, naluri bahasa mereka menjadi tidak murni lagi. Demikian setelah waktu lama dari awal pembentukan hukum Islam, banyak terjadi perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu. Banyak juga orang yang hanya berdasarkan keberanian mengeluarkan suatu hujjah yang tidak pantas sebagai hujjah, bahkan menolak hujjah yang sebenarnya. Kondisi ini mendorong peletakan batasan-batasan dan bahasa tentang dalil syar’iyyah dan syarat-syarat atau cara menggunakan dalil-dalil. Seluruh pembahasan tentang penggunaan dalil, batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa ini yang disebut sebagai ilmu ushul fiqh. 2.    Saran Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011. Dahlan , Abd. Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH. 2011. Karim A, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997. Wahab, Abdul khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.



Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook