Sejarah Singkat Kehutanan Indonesia [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Adnan
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas : EKONOMI PERUSAHAAN HUTAN “Sejarah Pengelolaan Hutan Di Indonesia”



Oleh: RONI KUSMAN M1A1 14 196 MANAJEMEN HUTAN A



JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017



Latar belakang politik dan ekonomi maupun sosial budaya di balik terjadinya fenomena sejarah perlu diketahui dengan benar. Hal ini sangat penting dalam memepelajari sejarah kehutanan Indonesia karena ketiga aspek tersebut mengalami perubahan yang begitu ruwet, mengingat sejarah Indonesia mengalami perubahan yang besar dari waktu ke waktu. Dalam menggali informasi dari sejarah, mengambil jangka waktu yang panjang ke belakang akan memberi gambaran yang terbaik. Informasi tersebut selalu bersifat kompleks, kait-mengkait antara aspek satu dengan yang lain. Hubungan antara aspek satu dengan aspek lain dalam kurun waktu sejarah tidak selalu bersifat linier, melainkan dapat merupakan perubahan yang bolak-balik (spiral). Mempelajari hubungan antar aspek yang demikian harus dilakukan dengan sangat hari-hati, sebab kalau tidak kesimpulannya dapat menyesatkan.



1. SEBELUM PENJAJAHAN Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan



kesaktian,



sari



kesaktian,



sang



hyiang



kesaktian,



dan pengantara kesaktian. Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman. Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah



kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara. Kerajaan Mataram Hindu tersebut telah ikut dalam jaringan perdagangan internasional, sehingga hutan alam jati Jawa yang menghasilkan kayu dengan nilai tinggi juga mulai dijamah. Serupa dengan kayu oak di Eropa, kayu jati sangat cocok untuk memenuhi berbagai macam kepentingan, termasuk untuk membuat kapal. Oleh karena itu di samping dijual pada pasar internasional, penebangan kayu jati dari hutan Jawa telah pula mendorong tumbuhnya industri perkapalan, sehingga dengan industri kapal para pedagang Jawa mampu mengarungi samudra untuk berdagang ke segenap penjuru Asia dan Afrika yang menjadikan kemakmuran Jawa semakin meningkat. Penebangan kayu jati di Jawa terus berlanjut sampai kedatangan bangsa Belanda di akhir abad ke-16. 2. MASA PENJAJAHAN Perkembangan hukum kehutanan selama masa penjajahan dapat diklasifikasikan dalam tiga masa, yaitu masa penjajahan oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan Penjajahan Hindia Belanda. a. Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799) Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka. Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.



Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timber extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC. Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya. Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih



dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente). Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan



untuk



kepentingan



kompeni



dalam



mengeksploitasi



dan



mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni. Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini. Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir. Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut. b. Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942) Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal



pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati. Koesnadi HHHardjasoemantri mengemukakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Pada tahun 1897 diganti lagi dengan Reglement voor het beheer der bosschen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor de beheer de boscchen van den Lande op java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonantie voor Java en Madoera 1927. Berdasarkan reglemen 1865 atas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu: Pertama. Reglemen Hutan 1865 tersebut merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. Sekalipun reglemen tersebut mulanya hanya berlaku untuk wilayah sebagian besar daerah di Pulau Jawa, tetapi pola penguasaan seperti ini yang menghilangkan keberadaan hutan desa gemeente, menjadi model untuk merampas kekuasaan masyarakat adat atas hak ulayat terhadap hutan adatnya. Kedua, Kekayaan hutan kita telah menjadi komoditi penting dan potensi ekonomi strategis, yang mengundang minat kaum kapitalis dan imperalis untuk melakukan penjajahan. Apalagi kemampuan sumber daya manusia dan kekuatan persenjataan rakyat Jawa pada masa itu berada jauh di bawah kemampuan imperalis dari Eropah, sehingga pada masa itu tak ada perlawanan gigih yang dilakukan oleh raja-raja dan kaula kerajaan Jawa untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah hutan yang dimilikinya. Setelah diberlakukan selama sembilan tahun, ternyata Reglemen Hutan 1865 ditemukan beberapa kelemahan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan



Reglemen Hutan 1865, yaitu: (1) musnahnya hutan yang dikelola secara tidak teratur, disebabkan adanya pemisahan hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur, dan (2) banyaknya keluhan mengenai pembabatan hutan guna pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar, dan lain-lain. c. Masa Penjajahan Jepang 1942-1945 Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan



Madura,



dimaklumatkan



bahwa



seluruh



wewenang



badan-badan



pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan-peraturan Militer Jepang. Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undangundang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hukum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932). 3. MASA SETELAH KEMERDEKAAN Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu : a. Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965) Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang (2009), terdapat tiga pergantian rezim yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum kita, yaitu Rezim Orde Lama, Rezim Orde Baru, dan Rezim Reformasi. Ketiga-tiga rezim tersebut memiliki karakteristik dan perpsektif masing-masing dalam hubungannya dengan



masalah kehutanan. Karenanya, ketiga masa kekuasaan tersebut telah melahirkan tipikal hukum kehutanan yang berbeda-beda. Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik



segera saja



“mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto. Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun. Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku. b. Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998) Tahun 1967 merupakan tonggak sejarah besar bagi kehutanan Indonesia. Sebelum itu, kegiatan kehutanan hanya terpusat pada hutan jati di Jawa, yang sudah mengalami penebangan kayu selama berabad-abad. Kerusakan hutan alam jati oleh VOC selama abad ke-17 dan 18 berhasil diperbaiki oleh pemerintah Hindia Belanda sepanjang abad ke-19. Selama paroh pertama abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda sudah mulai mempersiapkan pengelolaan hutan di luar Jawa. Batas-batas kawasan hutan sudah hampir seluruhnya dirancang di atas kertas dan untuk itu diterbitkanlah register kawasan hutan. Hukum adat yang sangat bervariasi juga sudah selesai dibukukan dengan judul Adat Recht sebanyak dua jilid yang masing-masing tebalnya mencapi sekitar 1000 halaman. Namun sebelum bangsa Belanda melaksanakan pengelolaan hutan besar-besaran di luar Jawa, balatentara Dai Nippon memaksa bangsa Belanda keluar dari Nusantara, dan peluang itu menyebabkan bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945. Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh kerajaan Belanda pada bulan Desember 1949 merupakan babak baru pemerintahan, termasuk pengelolaan hutan.



Selama dekade 1950-an, kebijakan pengelolaan hutan hanya melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Belanda. Sampai dengan tahun 1957, pejabat teras di Jawatan Kehutanan juga masih banyak ditempati oleh sarjana kehutanan bangsa Belanda. Pengelolaan hutan tanaman jati diteruskan tanpa inovasi, dan itu menyebabkan sedikit demi sedikit kualitas pengelolaan hutan di Jawa mengalami kemunduran. Di luar Jawa, penebangan kayu dilakukan oleh perusahaanperusahaan kecil dan masyarakat yang masih menggunakan teknologi sederhana. Pemerintah membentuk Dinas Kehutanan, sebagai lanjutan organisasi Dienst vor Boschbeheer pada jaman pemerintah Hindia Belanda. Dengan organisasi itu, sampai dengan tahun 1967 hasil kayu bulat dari luar Jawa hanya mencapai satu sampai satu setengah juta meter kubik setiap tahun. Di Sumatera kegiatan penebangan



masyarakat



didorong



oleh



adanya



perusahaan-perusahaan



penggergajian yang pada umumnya milik orang China. Perusahaan penggergajian tersebut lebih terkenal dengan istilah panglong. Sepanjang dekade 1950 dan 1960 pasar kayu dari Kalimantan Barat dan Sumatera banyak mengalir ke Singapura. Oleh karena itu konsentrasi lokasi panglong terdapat di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Sejak tahun 1952, di Kalimantan Tengah (Sampit) dan Kalimantan Timur (Berau, Tarakan) ada perusahaan dengan skala produksi agak besar, yaitu Bruinzeel dari Negeri Belanda yang menebang kayu sekitar 300.000 m3/tahun. Perusahaan ini membikin pintu yang pernah menguasai pasar pintu untuk Amerika Latin dan Eropah Timur. Produksi dari Bruinzeel dan panglong itulah yang menghasilkan kayu bulat sebesar satu setengah juta per tahun tersebut. Namun selama bertahun-tahun produksi kayu bulat dari luar Jawa tidak pernah meningkat, karena kelangkaan sarana produksi, baik jalan dan alat angkutan, teknologi maupun tenaga terampil. Oleh karena itu Dinas Kehutanan yang dibentuk pemerintah juga hanya berfungsi mengawasi kegiatan penebangan tradisional tersebut. Dinas Kehutanan belum pernah berinisiatif untuk mengembangkan pengelolaan hutan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam yang melinpah itu.



Pada tahun 1963, pada waktu pengelolaan hutan di Jawa dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PN Perhutani, beberapa daerah di Kalimantan ditetapkan menjadi bagian dari areal yang dikelola oleh PN Perhutani. Areal tersebut sebagian besar berdekatan dengan kawasan yang sebelumnya dikelola Bruinzeel. Untuk mengemban tugas itu, PN Perhutani membuat kerjasama dengan perusahaan Jepang untuk mendapatkan alat-alat modern seperti gergaji rantai (chain-saw) dan traktor berikut tenaga operatornya. Dengan demikian PN Perhutani dapat belajar menggunakan alat-alat modern dalam pengelolaan hutan, karena sampai saat itu kehutanan di Jawa masih bekerja dengan alat-alat tradisional. Namun karena belum mampu menghandel alat-alat modern tersebut, ternyata proyek kerjasama itu akhirnya dinyatakan tidak menguntungkan sehingga pada tahun 1972 PN Perhutani Unit Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah itu dilikuidasi dan organisasinya berturut-turut berubah status menjadi PT Inhutani I, PT Inhutani II dan PT Inhutani III. Pada waktu itu pengelolaan hutan di luar Jawa belum lama mengalami perubahan dengan masuknya para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut dinyatakan bahwa, UUPK ini merupakan suatu langkah untuk menuju kepada univikasi hukum nasional di bidang kehutanan, dan merupakan induk peraturan perundangan yang mengatur berbagai bidang dalam kegiatan kehutanan. Untuk melaksanakan UUPK tersebut, telah dikeluarkan serangkaian peraturan pelaksanaannya. Jika ditelaah terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUPK tersebut dan peraturan pelaksanaannya, dapatlah dipahami bahwa keberadaan undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan upaya konservasi lingkungan.



Hal ini sebagaimana tersurat dalam Penjelasan Umumnya, yaitu;Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikarunia oleh Tuhan yang maha Esa tanah air yang kaya raya dengan sumber kekayaan alam, antara lain dengan hutan yang masih sangat luas sekali. Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan modal pembangunan merupakan prioritas utama pada saat itu. Pengusahaan hutan tropika dalam beberapa hal telah berhasil menopang pembangunan nasional dalam hal pendapatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan pembangunan regional dan pembangunan industri hasil hutan. Sumber daya alam (hutan, tambang, air, mineral) dipandang dalam konteks economic sense dan belum dipahami sebagaiecological dan sustainable sense. c. Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006) Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 – 2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, serta oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009). Rezim pemerintahan baru ini dinamakan dengan Rezim Reformasi. Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). Ditinjau dari bagian menimbang UUK, yang juga merupakan alasan hukum pembentukan suatu undang-undang, disatu sisi, bahwa undang-undang ini dibentuk dengan semangat kesadaran pemihakan kepada lingkungan hidup yang



berkelanjutan dan berwawasan dunia. Sementara di lain sisi, adanya pernyataan harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat, menunjukkan keberpihakan undang-undang ini pada masyarakat hukum adat dengan segala kearifan tradisionalnya. Sehingga dari alasan hukum ini dapat dipahami bahwa keberadaan undang-undang ini tidak lagi semata-mata bersifat economicentris, tetapi



bersifat ecologycentris yang



berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan mengembalikan kualitas hutan, meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. 4. PENGERTIAN HUTAN DAN KAWASAN HUTAN Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi : a) Suatu kesatuan ekosistem b) Berupa hamparan lahan c) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. d) Mampu memberi manfaat secara lestari. Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia.



Untuk dapat dikategorikan hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan organic/seresah yang sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat unsur-unsur lain yang berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai bentuk kehidupan fauna. Sedangkan kawasan



hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan



Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsurunsur meliputi: a)



suatu wilayah tertentu



b)



terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan



c)



ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan



d)



didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan,



dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesarbesarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan. Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi : a) wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap b) wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,



Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a) Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru. b) Hutan Lindung c) Hutan Produksi 5. ASAS DAN TUJUAN HUKUM KEHUTANAN 1)



Asas asas hukum kehutanan Sebelum membicarakan asas hokum kehutanan perlu dikemukakan



pengertian asas hokum.Menurut Van Eikema homes asas hokum itu tidak boleh dianggap sebagai norma hokum konkret.Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hokum yang berlaku.Pembentukan hokum praktis perlu beroreintasi pada asas hokum tersebut.Dengan kata lain, asas hokum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hokum positif. Asas bukanlah kaedah hokum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat konkrit dan bersifat umum atau abstrak,.Pada umumnya asas peraturan yang konkrit dan yang dalam peraturan hokum konkrit. Untuk menemukan asas-asas hokum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan konkrit.Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkrit itu.Dari hasil analisis terhadap berbagai peraturan prundang-undangan kehutanan, dapat dikemukakan asas hokum kehutanan yang paling menonjol antara lain: a)



Asas Manfaat Asas manfaaat mengandung makna bahwa pemanfaaatan sumber daya



hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk keakmuran rakyat banyak(lihat pasal 13 ayat (1) UU No 5 tahun 1967). b)



Asas kelestarian Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya



hutan harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar



mampu memberiakan manfata yang terus-menerus(lihat pasal 13 ayat (2) UU no % tahun 1967 jo. Pasal 3 peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990 Hak pengusahaan hokum tanaman industri).tujuan asas kelestarian hutan adalah: o Agar tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi (production gap) dari jenis kayu pergangan (commercial treepecies) pada rotasi(cutting cycle) yang berikut dan seterusnya o Untuk penyelamatan tanah dan air (soil and water) o Unutk perlindungan alam c)



Asas Perusahaan Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan



financial yang layak(lihat pasal 13 ayat(2) UU nomor 5 tahun 1967 jo peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990. d)



Asas Perlindungan hutan Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan



hokum harus ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. 2)



Tujuan Hukum kehutanan Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan



melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hokum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis). 6. KEHUTANAN DI JAWA Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan



tanaman. Selama tiga dasawarsa terakhir pengelolaan hutan jati di Jawa telah berupaya untuk mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial, namun sejauh ini belum menunjukkan hasil yang nyata. Secara singkat sejarah hutan jati di Jawa adalah sebagai berikut: 1. Ekstraksi Kayu: abad ke-8 sampai 19 a. Konvensional: oleh kerajaan-kerajaan Jawa abad ke-8 sampai tahun 1650 b. Modern: oleh VOC 1650-1800 dan Hindia Belanda 1808-1849 2. Pengelolaan Hutan Tanaman: a. Persiapan: Tim MOLLIER 1849-1890 b. Pelaksanaan: v Djatibedrijfs: 1890-1942: Jaman keemasan v Periode chaos: Pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, 1942-50. v Jawatan Kehutanan: 1950-1963: periode adem-ayem v PN Perhutani: 1963-1972: meningkatnya masalah sosial tak terdeteksi v Perum Perhutani: 1972-sekarang: potensi hutan terus menurun, jor-joran setor keuntungan uang oleh Direksi ke Departemen Keuangan. v Keamanan tak terkendali: 1998-sekarang 3. Percobaan social forestry: 1974-sekarang a. Persoperity Approach: 1974-1980 b. PMDH dan Perhutanan Sosial: 1976-2000 c. PHJO: uji-coba Fakultas Kehutanan UGM dan proyek setengah hati Direksi. d. PHBM: 2000-sekarang. Penebangan kayu jati atau ekstraksi (timber extraction) dari hutan alam jati di Jawa berlangsung lebih dari 10 abad. Dalam kurun waktu yang panjang itu hutan jati yang semula luasnya hanya 650.000 ha (Anonim 1986) itu telah memberi keuntungan ekonomi yang tinggi bagi penguasa, terutama ketika dilakukan oleh VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Selama ekstraksi kayu masih dilakukan secara konvensional oleh penguasa kerajaan bangsa Indonesia sendiri, kerusakan hutan belum terlihat karena laju penebangan masih dapat diimbangi oleh permudaan yang hanya



diserahkan kepada alam (permudaan alam, natural regeneration). Hal itu disebabkan karena pada waktu itu jumlah penduduk masih rendah dan teknologi belum berkembang. Walaupun ekspor kayu ke luar negeri sudah berlangsung, jumlahnya belum banyak karena kebutuhan masih relatif rendah dan kemampuan menebang masih sangat dibatasi oleh pengangkutan kayu dari bidang tebangan ke pelabuhan. Ketika bangsa Belanda dengan VOC-nya (berdiri tahun 1602) ikut dalam bisnis kayu jati ini, kapasitas menebang ditingkatkan. Alat-alat tebang yang lebih mutakhir untuk masa itu digunakan, misalnya gergaji tangan (hand-saw) dimasukkan untuk mengganti wadung (kapak). Dengan alat baru ini pekerjaan merebahkan pohon dan memotong batang maupun cabang menjadi lebih cepat dan rendemen meningkat. Dari segi pasar, VOC melihat ketrampilan penduduk Jawa yang sudah ahli membuat kapal dari kayu jati, dan telah digunakan untuk mengarungi samodra selama berabad-abad. Dengan memanfaatkan industri kapal yang telah lama berdiri di Jepara, Tuban dan Gresik, maka VOC membangun industri kapal di Amsterdam dan Rotterdam. Akhirnya jadilah dua kota pelabuhan besar di Eropa Barat, yang kemudian menjadi pintu gerbang masuk ke pedalaman Eropa Tengah melalui sungai Waal dan Rhein. Dengan industri kapal itu Negeri Belanda memperoleh devisa besar sebagai penjual sarana transport utama pada abad pertengahan tersebut. PELUSO (1993) mengibaratkan industri kapal bagi Negeri Belanda abad 17-18 itu seperti industri otomotif untuk Jepang pada pertengahan abad ke-20. Karena kayu jati telah memainkan peranan penting bagi perekonomian Negeri Belanda sejak pertengahan abad ke-17, maka salah satu misi penting yang harus dilaksanakan oleh DAENDELS, Gubernur Jenderal pertama pemerintah Hindia Belanda (1808-1811) setelah VOC bangkrut pada akhir apad ke-18, adalah membangun kembali hutan jati yang rusak akibat timber extraction modern oleh VOC selama 150 tahun itu. Untuk maksud tersebut DAENDELS harus belajar dari Jerman bagaimana membuat hutan tanaman yang baik. Jerman membangun hutan tanaman oak dari puing-puing kerusakan hutan akibat timber extraction



oleh kerajaan Romawi selama 3 abad, dan kemudian dilanjutkan oleh para kongsi kayu yang sudah terbentuk sejak abad pertama Masehi tersebut. DAENDELS sendiri memang belum sempat menyaksikan keberhasilan itu, tetapi dia telah berhasil meletakkan dasar-dasarnya, antara lain dengan membentuk organisasi pengelola hutan yang dinamakan Boschwezen (Sadikin Djajapertjunda, 2002). Setelah selama 20 tahun (1810-1830) tidak mengalami perkembangan yang berarti, masalah pembangunan hutan jati di Jawa justru terabaikan oleh adanya program baru yang hingar-bingar, yaitu program cultuurstelsel, progam pembangunan perkebunan. Program baru ini berhasil dengan baik, yaitu mendatangkan banyak devisa bagi negara, menyediakan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas, dan mendorong pembaharuan pertanian karena introduksi pengairan dan banyak jenis tanaman pertanian baru yang masuk. Oleh karena itu hutan jati tidak lagi menerima tekanan sosial ekonomi yang berat dari masyarakat sehingga pertumbuhan alami dapat berlangsung dengan baik. Akibatnya, ketika tim MOLLIER dibentuk pada tahun 1849, kondisi hutan jati justru menjadi penuh dengan tegakan (full-stocked) walaupun sebagian kualitasnya tidak bagus. Karena pada pertengahan abad ke-19 itu kondisi perekonomian pemerintah Hindia Belanda telah membaik karena memperoleh pendapatan dari perkebunan, maka pembangunan kehutanan telah dapat dimulai lagi. Selama itu praktek timber extraction memang tidak sepenuhnya berhenti. Kayu jati masih diperlukan untuk membangunan perumahan dan melanjutkan pembuatan kapal, akan tetapi volumenya menurun dibanding dengan era VOC. Ketika DAENDELS berkuasa, salah satu rekomendasinya adalah mengurangi jatah tebangan kayu jati tinggal separuh dibanding dengan era VOC. Rekomendasi ini cukup berpengaruh untuk mengurangi laju kerusakan hutan, walaupun pengurangannya tidak mencapai separoh tebangan. Tim MOLLIER berhasil dengan baik dalam mempersiapkan pembangunan hutan tanaman jati yang baik, namun memerlukan waktu yang cukup panjang. Hasil konkrit tim ini adalah keluarnya rancangan Undang-undang Kehutanan Jawa-Madura pada tahun 1965 dan rancangan penetapan batas kawasan hutan



negara pada tahun 1870 yang diumumkan dalam Domeinverklaring, bagian dari Undang-undang Agraria (Agrarische wet). Setelah dilengkapi dengan tumpangsari sebagai sistem permudaan oleh BUURMAN yang melakukan percobaan tahun 1873-1883, dan konsep Houtvesterij yang diajukan oleh BRUINSMA, maka pada tahun 1890 berdirilah organisasi Djatibedrijfs di bawah Dinas Kehutanan (Boschwezen). Secara resmi konsep Houtvesterij baru diterima oleh pemerintah pada tahun 1892. Dengan konsep Houtvesterij tersebut, pada tahun 1898 Djatibedrijfs berhasil menyelesaikan Rencana Perusahaan yang pertama untuk Bagian Hutan Kradenan Utara. Setelah itu penataan Bagian Hutan demi Bagian Hutan terus dikerjakan, dan seluruh kawasan hutan jati dapat diselesaikan pada tahun 1932, yaitu Bagian Hutan Gunung Kidul (Soedarwono Hardjosoediro, 1977). Untuk menunjang pengembangan pengelolaan hutan tanaman jati, pada tahun 1913 didirikan organisasi Lembaga Penelitian Kehutanan (LPH), yang embrionya sudah dibuat oleh Tim MOLLIER. Organisasi ini giat mempersiapkan segala instrumen pengelolaan yang dibutuhkan oleh hutan jati. Pada tahun 1932 diumumkan tabel normal hutan tanaman jati, mengadopsi hasil karya WULFF VON WULFING yang melakukan penelitian untuk program doktornya tahun 1926. Pada tahun 1935 diumumkan Petunjuk Teknik Pembuatan Tanaman pada Hutan Jati, mengadopsi tulisan BUURMAN De Djaticultuur tahun 1883, setelah apa yang tertulis di dalamnya memperoleh pembenaran dari penelitian COSTER, juga untuk program doktor tahun 1932. Kemudian pada tahun 1937 diumumkan Petunjuk Teknik Penjarangan, mengadopsi penelitian program doktornya HART tahun 1928. Ketiga petunjuk teknik tersebut menjadi bagian Petunjuk Penyusunan Rencana Perusahaan Tetap (Definitive Bedrijfs Plan) yang diumumkan pada tahun 1938, yang terkenal dengan sebutan Instruksi 1938. Dengan diselesaikannya Instruksi 1938, maka tugas Djatibedrijfs dengan LPH-nya dianggap selesai. Instruksi 1938 merupakan puncak hasil karya Djatibedrijfs, yang berhasil membangun hutan tanaman jati di Jawa. Luas kawasan hutan jati yang semula hanya 650.000 ha meningkat menjadi sekitar satu juta hektar, dan pada umumnya dalam kondisi yang sangat bagus. Oleh karena itu,



ditinjau dari segi hardware maupun software yang telah dihasilkan, Djatibedrijfs telah menunjukkan hasil karya terbaiknya sehingga merupakan jaman keemasan kehutanan Indonesia hingga sekarang. Kalau dikaji lebih mendalam, kunci keberhasilan Djatibedrijfs adalah: 1. Dibangunnya organisasi perencanaan mandiri dan profesional sejak tahun 1892 yang dinamakan Brigade Planologi. Organisasi ini bertanggung-jawab langsung kepada Menteri Pertanian, tidak kepada Boschwezen, apalagi kepada pimpinan Djatibedrijfs. 2. Etos kerja rimbawan tinggi, jiwa korsa kuat dan kejujuran dikontrol ketat melalui moral rimbawan, organisasi dan sistem administrasi yang teratur rapi. 3. Djatibedrijfs selalu merespons positif setiap inovasi yang muncul, dengan memelihara hubungan baik dengan perguruan tinggi. Antara tahun 1919-1935 telah dihasilkan 11 Doktor yang melakukan penelitian pada hutan di Jawa, dan semuanya menghasilkan karya yag monumental. 4. Dengan dibentuknya LPH pada tahun 1913, walaupun sebelumnya kegiatan penelitian sudah dilaksanakan, maka penelitian dapat dirancang secara berkesinambungan dengan hasil-hasil antara lain seperti telah disampaikan di atas. Kiprah Djatibedrijfs berakhir pada tahun 1942 ketika Belanda harus meninggalkan Indonesia karena digusur oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang. Selama periode 1942-1949 pengelolaan hutan jati di Jawa dilaksanakan dalam situasi perang sehingga tidak ada inovasi baru. Setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda akhir tahun 1949, pengelolaan hutan di Jawa dilaksanakan oleh Jawatan Kehutanan. Dalam tanggung-jawab Jawatan Kehutanan inipun, yang berlangsung hingga tahun 1963, tidak ada inovasi yang muncul. Pada periode tersebut sebenarnya pengelolaan hutan jati di Jawa telah menghadapi problem baru, yaitu meningkatnya tekanan masalah sosial ekonomi masyarakat terhadap kawasan hutan. Akan tetapi masalah ini belum sempat diantisipasi oleh Jawatan Kehutanan karena dampak negatifnya belum nampak nyata. Itulah sebabnya SIMON (1999) menamakan periode 1950-63 itu dengan istilah adhem-ayem, merasa tenang karena tidak menghadapi masalah. Dampak



meningkatnya masalah sosial ekonomi masyarakat ini sebenarnya sudah dapat dilihat pada meningkatnya intensitas penebangan, tersedianya tenaga tanaman yang lebih banyak, dan meningkatnya intensitas pencurian kayu pertukangan. Karena tidak diantisipasi, maka ketika PN Perhutani menggantikan peranan Jawatan Kehutanan pada tahun 1963, pencurian kayu sudah mulai berat dan kegagalan dalam membuat tanaman sudah muncul di mana-mana. Issue Konggres Kehutanan Dunia VI di Seattle tahun 1960, yang mengambil tema Multiple Use of Forest Land, pun ditangkap keliru oleh para pengambil keputusan di lingkungan Jawatan Kehutanan maupun PN Perhutani. Hutan serba guna sebagai semangat dalam Konggres Kehutanan Dunia VI tersebut diartikan dengan merubah jenis tanaman di daerah-daerah yang jatinya sudah rusak lalu diganti dengan jenis cepat menghasilkan seperti murbei, kayu putih, dan kesambi untuk memelihara kutu lak. Dari tiga jenis pengganti jati itu, dua mengalami gagal total, dan yang masih bertahanpun, yaitu kayu putih, tidak mampu mencapai produktifitas yang tinggi. Pembangunan hutan kayu putih di tempat jati yang sudah rusak bukanlah membuat hutan serba guna, melainkan hanya mengganti jenis yang tetap tunggal. Dari tahun ke tahun masalah sosial ekonomi terus meningkat, tekanan terhadap lahan hutan terus bertambah, dan Perhutani tetap bertahan dengan paradigma timber management yang sebenarnya ingin direvisi oleh tema konggres Multiple Use of Forest Land, Hutan Serba Guna. Karena tema itu ditangkap keliru oleh praktisi, maka dalam Konggres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978 lebih ditegaskan lagi dengan tema Forest for People. Tema ini dielaborasi lebih lanjut dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari konvensional (conventional forestry strategy) menjadi kehutanan sosial (social forestry strategy). Perhutani mencoba untuk mewujudkan pengelolaan hutan dengan paradigma baru tersebut, tetapi hingga kini belum menunjukkan hasil nyata. Sebelum implementasi paradigma baru dapat diwujudkan, hutan jati di Jawa sudah keburu hancur oleh penjarahan yang terjadi tahun 1998 sampai sekarang. Namun penjarahan sebenarnya bukan satu-satunya sebab kerusakan hutan di Jawa. Di atas telah dikatakan bahwa sejak dasawarsa 1950-an pencurian



kayu pertukangan di hutan jati telah meningkat, karena perubahan masalah sosial tidak diantisipasi tepat pada waktunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perhutani gagal melanjutkan misi Jawatan Kehutanan untuk mempertahankan aset perusahaan berupa kondisi hutan tanaman yang bagus (full-stocked). Selama ditangani oleh Perhutani, cadangan tegakan di lapangan terus menurun, degradasi hutan terus berlangsung, konflik dengan masyarakat meningkat, dan akibatnya dari jangka ke jangka etat volume menurun. Sekarang pertanyaannya, mengapa Perhutani gagal dalam mengelola hutan tanaman jati di Jawa? Dari pengalaman selama 41 tahun (1963-2004) mengelola hutan jati, kegagalan Perhutani tersebut disebabkan karena: 1. Perencanaan tidak berkembang, tidak mandiri, dan oleh karena itu profesionalisme menurun. Di era Perhutani perencanaan menjadi bagian dari Direksi, sehingga keputusan perencanaan harus tunduk di bawah kemauan Direksi. Di tingkat Unit, Biro Perencanaan juga harus mengikuti kemauan Kepala Unit. Selama ditangani oleh Perhutanilah ada tebangan suplisi, yang berarti mengkhianati asas kelestarian. Di bidang teknik perencanaan sendiri, yang mestinya sudah lebih maju, pembaharuan SOEDARWONO tidak berlanjut. Hingga sekarang pun Perhutani masih menganut sistem perencanaan yang paling kuno, yaitu perencanaan instruktif. 2. Barangkali karena pengaruh global, dalam era Perhutani etos kerja, jiwa korsa dan kejujuran mengalami kemerosotan. Dengan dalih untuk kepentingan perusahaan, keuntungan uang dari tebangan diletakkan pada posisi paling tinggi, sedang pekerjaan tanaman justru berada pada gengsi yang paling rendah. 3. Dengan dalih kepentingan perusahaan pula maka hubungan Perhutani dengan dunia luar, termasuk dengan Perguruan Tinggi, menjadi kurang akrab. Penelitian tidak terbuka untuk umum karena banyak rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Akibatnya selama ini inovasi menjadi miskin, dan kalau ada inovasi pun cenderung ditolak bila sifatnya bertentangan dengan kebijaksanaan umum Direksi. Bagi pejabat Perhutani sendiri aturan dan pemikiran yang diikuti hanya yang berasal dari Direksi atau Kepala Unit.



Kata-kata Pak Dirut atau pak Kanit tidak ubahnya sebagai sabda “Dewa” yang pantang ditolak, tanpa ditelaah lebih dahulu benar-tidaknya kata-kata tersebut. Kata-kata “mengamankan kebijakan pimpinan” adalah sikap “mutlak” setiap pejabat Perhutani, setidaknya sampai tahun 2000. 4. Dalam era Perhutani, program penelitian seperti pada jaman LPH tidak dapat berkembang. Di tingkat Direksi memang ada Sub-Divisi Renbang, tetapi misinya hanya untuk mencari pembenaran terhadap kebijakan Direksi. Oleh karena itu selama era Perhutani tidak ada hasil penelitian yang monumental seperti hasil karya LPH dulu. 5. Karena menganut sistem sentralistik itu, dimana Direksi adalah segalagalanya, maka perkembangan sosial ekonomi masyarakat tidak diantisipasi dengan tepat. Direksi pun menutup mata akan meningkatnya konflik sosial yang sebenarnya memerlukan pemecahan konkrit. Adanya konflik sosial selalu diputuskan bahwa rakyat mulai mbalelo, yang kadang-kadang malah diembel-embeli sebagai sisa-sisa kekuatan G30S PKI yang harus ditumpas. 6. Seperti halnya Multiple Use of Forest Land, perubahan paradigma pengelolaan hutan yang ditawarkan oleh Konggres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 tidak cepat ditangkap. Percobaan social forestry yang dilakukan oleh Perhutani tetap bertumpu pada pandangan timber management dengan prosedur perencanaan instruktif. Dengan perencanaan instruktif yang bersifat top-down tidak mungkin paradigma social forestry dapat dikembangkan, karena paradigma ini memerlukan pendekatan perencanaan bottom-up.



DAFTAR PUSTAKA Adiputra H. 2013. Sejarah Pengelolaan Hutan Di Indonesia. Fakultas Kehutanan, Universitas Tadulako. Palu. Simon H. 2016. Sejarah Singkat Kehutanan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.