SEJARAH SUKU PADOE (Revisi 1) Ed [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TOMAGASA MANULE, ROMAN MANULE, MATHIUS MOTILAY



SEJARAH SUKU PADOE



MOKOLE /TADULAKO SALIWU ABAD XVI – XVII PAHLAWAN SUKU PADOE



BUPATI LUWU TIMUR KATA SAMBUTAN Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memahami dan mengetahui sejarah bangsanya. Begitupun suku yang besar adalah suku yang dapat memahami dan mengetahui sejarah sukunya. Tanpa memahami sejarah bangsa dan sukunya maka bangsa dan suku tersebut menjadi bangsa dan suku yang kerdil dan tidak mungkin dapat maju menjadi besar. Oleh karena itu pemahaman dan kesadaran sejarah perlu mendapat perhatian yang sungguh –sungguh dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Presiden Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, yaitu “JASMERAH” (Jangan sekali - kali melupakan sejarah). Oleh karena itu, dalam rangka menelusuri Sejarah Suku Padoe, maka Sejarah Suku Padoe disusun dan ditulis sebagai ilmu pengetahuan tentang peristiwa- peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia, untuk dijadikan pelajaran membangun manusia seutuhnya masa kini dan masa depan yang lebih baik. Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Tim penulis, yang telah mewujudkan terbitnya Sejarah Suku Padoe ini. Kami mengharapkan Sejarah Suku Padoe ini akan menambah khazanah Sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan di Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan, serta bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe dan bagi masyarakat bangsa dan negara Indonesia.



Malili, Februari 2022 BUPATI LUWU TIMUR.



Drs. H. BUDIMAN, M.Pd



i



KETUA DPRD LUWU TIMUR KATA SAMBUTAN Sejarah adalah percakapan yang tiada putus - putusnya antara masa kini dengan masa lampau. Mengandung makna bagi kita yang hidup masa kini, untuk senantiasa mempelajari peristiwa - peristiwa masa lampau untuk dijadikan pelajaran membangun masa kini dan masa depan yang lebih baik. Karena pentingnya sejarah itu dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, maka perlu disusun serta ditulis sejarah sukusuku di Luwu Timur, seperti sejarah Suku Padoe. Sejarah Suku Padoe, telah mencatat peristiwa- peristiwa masa lampau, yang sangat bermanfaat bagi pembangunan umat manusia dan merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi generasi penerus, yang akan melanjutkan pembangunan bangsa di segala bidang. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Tim Penulis Sejarah Suku Padoe, yang telah berusaha sedemikian rupa sehingga dapat menerbitkan suatu karya dalam bentuk Sejarah Suku Padoe. Kami mengharapkan agar Sejarah Suku Padoe ini akan menambah khazanah Sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan di Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe dan masyarakat bangsa dan Negara Indonesia tercinta.



Malili, Februari 2022 KETUA DPRD LUWU TIMUR



ARIPIN, S.Ag.



ii



LEMBAGA ADAT PADOE KATA SAMBUTAN Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Sejarah berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern. Untuk mengikuti perkembangan sejarah, diperlukan kesadaran sejarah bagi kita terutama bagi generasi penerus, supaya sejarah dapat dimanfaatkan bagi pembangunan manusia di segala bidang, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Suku Padoe hanya dapat dikenal melalui sejarahnya. Di dalamnya kita mendapat informasi tentang Suku Padoe masa lampau sampai masa sekarang. Sejak kehadiran Suku Padoe pada kurun waktu antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi di Tana Luwu, telah mencatat banyak peristiwa yang menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi Suku Padoe berikutnya. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada Tim Penulis yang telah bekerja keras menulis Sejarah Suku Padoe yang kita dambakan bersama. Dengan kehadiran Sejarah Suku Padoe ini, diharapkan akan menambah khazanah sejarah di Kabupaten Luwu Timur dan Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe khususnya dan masyarakat lainnya pada umumnya.



Wasuponda,



Juli 2021



LEMBAGA ADAT PADOE MOHOLA PADOE



MERIBAN MALOTU, BA



iii



DEWAN ADAT PADOE PUSAT KATA SAMBUTAN Kehadiran Sejarah Suku Padoe di tengah-tengah masyarakat yang sementara berkembang dan membangun, merupakan hal yang sangat penting, karena mendapat pelajaran dan pengataman dari peristiwaperistiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Dari Sejarah Suku Padoe, kita mengenal lebih dalam kapan Suku Padoe di Tana Luwu, di mana Suku Padoe berada pada waktu mula - mula di Tana Luwu, Siapa Suku Padoe, mengapa Suku Padoe dan bagaimana Suku Padoe. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk meneruskan citacita yang luhur dari para leluhur untuk membangun daerah kita yang tercinta, sehingga masa depan lebih baik dari pada hari ini dan hari ini lebih baik dari pada hah kemarin. Kepada Tim Penulis Sejarah Suku Padoe, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang telah bekerja keras menulis Sejarah Suku Padoe yang kita dambakan bersama. Kami mengharapkan agar Sejarah Suku Padoe ini, akan menambah khazanah sejarah di Kabupaten Luwu Timur, dan di Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe dan masyarakat umum lainnya.



Wasuponda, Juli 2021 DEWAN ADAT PADOE PUSAT KETUA,



MASARATI LAMAINDI



iv



KATA PENGANTAR PENULIS Buku Sejarah Suku Padoe tahun 2021 ini, merupakan Revisi dari Buku Sejarah Suku Padoe tahun 2018. Untuk mempersiapkan penulisan Buku Sejarah Suku Padoe ini, telah diadakan pengumpulan data, penelitian, analisa, melalui sumber data ( nara sumber), fakta sejarah, buku, dokumen, literatur, pengalaman penulis yang dialami langsung, yang kegiatannya dimulai sejak tahun 1995, sampai dengan tahun 2021. Sejarah adalah percakapan yang tiada putus-putusnya antara masa kini dengan masa lampau., mengandung makna bahwa manusia yang hidup masa kini senantiasa mempelajari peristiwa - peristiwa masa lampau untuk dijadikan pelajaran untuk membangun masa kini dan masa depan yang lebih baik. Sejarah Suku Padoe ini telah mencatat peristiwa - peristiwa penting masa lampau yang telah terjadi dan dialami, yang menceritakan dan menuliskan bermacam-macam kejadian yang menyangkut kehidupan dan penghidupan umat manusia. Dengan terbitnya Buku Sejarah Suku Padoe ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Tomanumpa Melalo, Tomasuku Ndelawa, S.Pd, Tomasede Mbotengu, Thomas Lasampa, Amd, Meriban Malotu, BA, Pdt. Dr. Asyer Tandapai Sigilipu, MTh, Pdt. Haritje Lombu’u, Sm.Th, Gaspar Tandumai, SH, Mertin Manule, S.Pd, Drs. Yasmon Lemako, M.Si, Masarati Lamaindi, yang telah membantu dalam penulisan Buku Sejarah Suku Padoe ini. Dengan harapan, agar Buku Sejarah Suku Padoe ini, menambah khazanah Sejarah di Tana Nuha, Kabupaten Luwu Timur dan di Tana Luwu Provinsi Sulawesi Selatan, dan bermanfaat bagi Masyarakat Hukum Adat Padoe dan masyarakat umum lainnya. Makassar, Juli 2021 Tim Penulis, Tomagasa Manule, Roman Manule,Matius Motilay



v



DAFTAR ISI HALAMAN KATA SAMBUTAN i KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI vi SEJARAH SUKU PADOE 1 BAB I PENDAHULUAN 1 A. PENGERTIAN SEJARAH 1 B. MANFAAT BELAJAR SEJARAH 2 C. JENIS-JENIS SEJARAH 3 D. CIRI-CIRI SEJARAH 5 E. METODOLOGI PENULISAN SEJARAH 6 F. DASAR-DASAR PENULISAN SEJARAH 7 G. TEORI KEHIDUPAN Dl BUMI. 11 H. PRINSIP DASAR DALAM PENELITIAN SEJARAH LISAN 13 I. ZAMAN BATU 13 J. BAHASA AUSTRONESIA DAN TEORI IMIGRASI 14 K. TEORI-TEORI IMIGRASI 15 L. TEORI-TEORI LAINNYA. 16 M. PERPINDAHAN ANTAR PULAU DAN ANTAR WILAYAH 18 BAB II SEJARAH SUKU PADOE 19 1. ASAL MULA SUKU PADOE 19 2. PENYEBARAN SUKU PADOE 29 3. PERISTIWA KANTA / KAYAKA 29 4. PERISTIWA TAWI BARU 33 5. KORONCIA 34 6. LAKARAI 34 7. PERISTIWA PALOPO 36 8. MATANGGOA 38 9. KAWATA. 41 10. LEMBO WEULA 41 11. WAWONDULA, LIOKA DAN MATOMPI 43 12. TABARANO 44 13. WASUPONDA 46 14. KERAJAAN LUWU 47 15. KERAJAAN MATANO 47 vi



16. PENDUDUKAN WILAYAH FAKTA SEJARAH



49 52



1. USSU



52



2. CEREKANG



53



3. BUKIT PUNSI MEWUNI



53



4. PABETA



54



5. ANGKONA



55



6. MALILI



56



7. KORE- KOREA



57



8. LARO'EHA



58



9. TOLE – TOLE



59



10. LASULAWAI



59



11. TOGO



60



12. TAWAKI



60



13. MOLIO



61



14. BALAMBANO



61



15. LIOKA



61



16. WAWONDULA



63



17. LINTUMEWURE



72



18. MATOMPI



74



19. TIMAMPU



75



20. DANAU TOWUTI



75



BAB IV. PENGALAMAN SUKU PADOE



78



BAB III



1. PENGHARGAAN DATU LUWU KEPADA PADOE 2. UPETI KEPADA ISTANA DATU LUWU



SUKU



78 79



3. TO KONDE



79



4. TO KINADU



80



5. TO WEULA



81



6. TO RO'UTA



81



7. SUKU - SUKU KECIL



81



8. MOKOLE/TADULAKO SALIWU PAHLAWAN SUKU PADOE 82 9. MASUKNYA INJIL KE TANAH NUHA 83 10. PERISTIWA PEMBERONTAKAN Dl /TII



vii



86



11. BATAS WILAYAH ADAT / TANAH ADAT SUKU PADOE 104 BAB V SEJARAH ORANG WEULA, ORANG RO'UTA DAN SUKU PADOE Dl TANA NUHA 107 1. ASAL MULA PENDUDUK LEMBO WEULA DAN DATA 2. RAN TlNGGl WEULA 107 3. ORANG WEULA Dl KEMOKOLEAN RAHAMPU'U MATANO 108 4. ORANG WEULA DAN ORANG RO'UTA Dl TANA NUHA 110 5. SUKU PADOE Dl TANA NUHA. 112 6. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA Dl LEMBO WEULA DAN DATARAN TlNGGl WEULA 115 7. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA Dl KEMOKOLEAN ANDOMO, LEWEHUKO, TULAMBATU DAN KUASI 118 8. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG EPE. 121 9. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG MORI Dl DOLUPO 124 10. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG RO'UTA Dl DANAU TOWUTI 124 BAB VI. ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA 126 1. HUKUM ADAT PADOE 126 2. ADAT ISTIADAT PADOE 126 3. FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN HUKUM 127 4. PEMINANGAN ADAT PADOE 127 5. PERKAWINAN ADAT PADOE 129 6. PELANGGARAN HUKUM ADAT PADOE 130 7. BUDAYA PADOE 133 8. TUJUAN MEMPELAJARI BUDAYA 133 9. MANFAAT MEMPELAJARI BUDAYA 134 10. RUMAH TRADISIONAL PADOE 134 11. RUMAH ADAT PADOE 135 12. MANFAAT RUMAH ADAT PADOE 140 13. PAKAIAN ADAT PADOE 140 14. BENDA-BENDA BUDAYA 143



viii



15. BENDA-BENDA BUDAYA ALAT PERANG 143 16. ALAT - ALAT OLAH RAGA TRADISIONAL 144 17. SENI TARI 145 18. MUSIK TRADISIONAL 148 19. MAKANAN DAN MINUMAN KHAS PADOE 149 BAB VII. KESIMPULAN 153 1. KAPAN SUKU PADOE BERADA Dl TANA LUWU (WHEN ) 153 2. Dl MANA SUKU PADOE BERADA Dl TANA LUWU (WHERE) 153 3. SIAPA SUKU PADOE (WHO ) 153 4. MENGAPA SUKU PADOE (WHY ) 154 5. BAGAIMANA SUKU PADOE ( HOW) 155 DAFTAR PUSTAKA 165 DAFTAR SUMBER DATA 167 TENTANG PENULIS 168



ix



SEJARAH SUKU PADOE BAB I PENDAHULUAN A. PENGERTIAN SEJARAH 1. Menurut I Wayan Badrika, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia dan Umum tahun 2004, kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti pohon. Menurut Bahasa Arab, sejarah artinya dengan sebuah pohon yang terus



sama



berkembang dari tingkat



yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju/modern. Sebuah pohon berkembang dari akar sampai ranting yang terkecil. Sejarah Arab diambil dari silsilah raja-raja Arab. Bagan /diagram dari silsilah raja itu mulai dari raja terus ke anak, cucu, cece dan seterusnya kalau dibalik menyerupai pohon. Dalam bahasa Inggris kata sejarah yaitu history berarti masa lampau umat manusia. Sedangkan dalam bahasa Jerman yaitu geschicht berarti sesuatu yang telah terjadi. Kedua kata ini dapat memberikan arti yang sesungguhnya tentang sejarah yaitu sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Dengan demikian sejarah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern. 2. Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terbitan Balai Pustaka menyebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian sebagai berikut: a. Sejarah berarti silsilah atau asal usul (keturunan). b. Sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. c. Sejarah berarti ilmu pengetahuan yaitu uraian tentang peristiwaperistiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Kesimpulan dari uraian-uraian tentang sejarah di atas ialah 1



sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. 3. Edward



Halett



Carr



merumuskan



pengertian



sejarah



adalah



percakapan yang tiada putus-putusnya antara masa kini dengan masa lampau. Pengertian rumusan sejarah ini adalah para sejarawan masa kini senantiasa mempelajari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian masa lampau untuk dijadikan pelajaran membangun masa depan yang lebih baik. 4. Sejarah



sebagai



ilmu



dan



sebagai



seni.Sejarah



adalah



ilmu



pengetahuan tentang peristiwa atau kejadian-kejadian yang telah terjadi



yang



disusun



menurut



hukum



sebab



akibat



dan



metode ilmiah atau alamiah. Sejarah mengandung rasa yang dapat disusun dengan baik dan indah, sehingga menimbulkan perasaan indah, mengasyikkan dan mengagumkan. B. MANFAAT BELAJAR SEJARAH 1. Dengan mempelajari sejarah kita dapat mengenal bagaimana kehidupan masyarakat atau bangsa terdahulu. 2. Memberikan gambaran dan dijadikan pedoman oleh masyarakat atau suatu bangsa untuk membangun kehidupannya pada masa kini dan masa yang akan datang. 3. Dapat membangkitkan kesadaran sejarah baik secara subyektif (perseorangan) maupun secara obyektif / kolektif (kelompok). Kesadaran sejarah adalah kesadaran bahwa pengetahuan akan peristiwa-peristiwa dan kejadian- kejadian yang telah terjadi pada masa lampau berguna untuk membangun masa kini dan masa depan yang lebih baik. 4. Sejarah dapat menjadi penghubung antara generasi sekarang dengan generasi terdahulu.



2



C. JENIS-JENIS SEJARAH Sejarah sebagai suatu ilmu pengetahuan mencatat berbagai peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam ruang lingkup manusia. Peristiwa-peristiwa itu atau kejadian-kejadian dalam sejarah itu dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis sejarah. Akibatnya pembahasan sejarah lebih terfokus pada suatu masalah walaupun pembahasannya itu meninggalkan masalah lainnya. Jenis-jenis sejarah yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut: 1. Sejarah lokal. Sejarah lokal mengandung pengertian bahwa suatu peristiwa sejarah yang terjadi itu tidak menyebar ke daerah-daerah lain. Peristiwa sejarah itu berlaku pada daerah sempit. Contoh: Kerajaan Luwu, Kerajaan Bone. Kerajaan Goa. Suku Padoe merupakan suku kecil yang terdapat di Tana Luwu. Jadi Sejarah Suku Padoe bisa disebut sejarah sub lokal. 2. Sejarah Nasional Sejarah Nasional mengandung pengertian bahwa peristiwa sejarah yang terjadi mencakup wilayah yang lebih luas dari sejarah lokal atau meliputi suatu negara misalnya Sejarah Indonesia. 3. Sejarah dunia. Sejarah



dunia



adalah



sejarah



yang



meliputi



seluruh



dunia,



(internasional). 4. Sejarah geografi. Sejarah geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang geologi (ilmu tanah), flora (ilmu tumbuhan) dan fauna (ilmu hewan). 5. Sejarah ekonomi. Sejarah ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari adanya usaha manusia untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Orang Indonesia mengembangkan ekonominya mulai dari masa bercocok tanam (zaman prasejarah sebelum masuknya pengaruh Hindu, Budha).Sistem pertukaran yang dilakukan pada saat itu adalah sistem barter, misalnya pisang ditukar dengan singkong. 3



6. Sejarah ketatanegaraan dan politik pemerintahan Sistem pemerintahan di Indonesia, berawal dari zaman prasejarah. Banyak ahli yang mencoba mengungkapkan melalui berbagai penafsiran karena pada zaman prasejarah bangsa Indonesia belum mengenal tulisan. Diperoleh kesimpulan bahwa sistem pemerintahan pada zaman prasejarah berbentuk sistem pemerintahan kesukuan yang dipimpin oleh Kepala Suku. Pemerintahan seorang Kepala Suku tidak dapat diturunkan kepada keturunannya. Para penggantinya haruslah berasal dari anggota kelompok suku bersangkutan setelah melalui proses pemilihan yaitu perang tanding antara para calon kepala suku. Yang menang dalam perang tanding itu, yang diangkat menjadi Kepala Suku. Syarat seorang Kepala Suku haruslah seorang yang tangguh atau kuat dan dapat berhubungan dengan roh nenek moyangnya. Alasannya Kepala Suku bertanggung jawab



terhadap keselamatan



dan ketenteraman kelompoknya, atau harus mampu mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kelompok sukunya. Akibatnya seorang Kepala Suku sangat dihormati dan perintahnya dipatuhi oleh kelompok sukunya. Setelah masuk pengaruh Hindu-Budha, sistem pemerintahan seorang Kepala Suku digantikan dengan sistem pemerintahan seorang raja. Wilayah kekuasaan Kepala Suku dijadikan wilayah kekuasaan seorang raja atau wilayah kerajaan. Penggantian raja tidak lagi melalui perang tanding melainkan secara turun temurun. Dalam



upaya



menjaga



keamanan



masyarakat,



terdapat



berbagai peraturan yang harus ditaati oleh semua warga masyarakat termasuk para pegawai istana kerajaan. Pelaku tindak kejahatan dikenakan hukuman badan yang berat, bahkan sampai hukuman mati. Pada masa perkembangan pengaruh Islam di Indonesia, sistem pemerintahan kerajaan disesuaikan dengan tradisi Islam, bahkan tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan zaman Hindu-Budha. Hanya saja gelar Raja disebut "Sultan " (gelar ini biasanya dipakai oleh Raja-raja dari Arab Saudi). 4



Selanjutnya ketika Wilayah Indonesia dijajah oleh bangsabangsa Eropa (Belanda, Inggris) sistem pemerintahan dipegang langsung oleh pemerintah Kolonial, sedangkan raja dan bangsawan di bawah



pengawasan



pemerintah



Kolonial.



Sedangkan



setelah



Indonesia Merdeka, maka pemerintahan dipegang langsung oleh seorang Presiden dan seorang wakil Presiden dibantu oleh para Menteri yang duduk dalam Kabinet yang dipimpin oleh Presiden. 7. Sejarah sosial. Sosial



berarti



masyarakat.



Sejarah



Sosial



mengalami



proses



perkembangan dan tingkat yang paling sederhana ke tingkat yang lebih maju seperti sekarang ini. Misalnya ketika manusia hidup bercocok tanam dan jumlahnya bertambah besar, sistem sosial masyarakat mulai tumbuh gotong royong dirasakan sebagai kewajiban yang mendasar dalam menjalani berbagai kegiatan hidup seperti merambah hutan , menanam padi dan memotong padi dan lain sebagainya. Kisah di atas ini hanya sebuah contoh Sejarah Sosial. D. CIRI-CIRI SEJARAH Dalam kehidupan manusia, peristiwa sejarah merupakan suatu peristiwa yang abadi, unik dan penting. 1. Peristiwa yang abadi. Peristiwa sejarah merupakan suatu peristiwa yang abadi, karena peristiwa tersebut tidak berubah-ubah dan tetap dikenang sepanjang masa. 2. Peristiwa yang unik. Peristiwa sejarah merupakan



peristiwa yang unik karena hanya



terjadi satu kali dan tidak pernah terulang persis sama untuk kedua kalinya. 3. Peristiwa penting. Peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang penting karena dapat dijadikan



momentum



dan



mempunyai



kehidupan orang banyak. 5



arti



dalam



menentukan



E. METODOLOGI PENULISAN SEJARAH Mencari jejak-jejak sejarah, Sejarah sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan manusia di masa lampau akan meninggalkan goresan-goresan atau bekas-bekas baik positif maupun negatif. Goresan yang bersifat positif atau negatif itu membekas dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada yang sudah diceritakan secara turun temurun. Kadang-kadang menjadi cerita rakyat legenda atau mitos informasi sejarah dimulai dari ceritacerita rakyat, legenda atau mitos. Sumber-sumber sejarah itu kadangkadang



ditemukan



begitu



saja



tanpa



sumber-sumber



lain



yang



mendukungnya. Kebanyakan sumber-sumber sejarah itu tidak dapat ditemukan tanpa adanya sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Pengumpulan sumber-sumber sejarah dapat dilakukan melalui sumber lisan, sumber tertulis maupun sumber benda. Goresan atau bekas-bekas peristiwa sejarah yang terdapat dalam masyarakat itu disebut jejak-jejak sejarah, yang di Indonesia terdiri dari: 1. Folklore yaitu adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dibukukan (lisan).Pada zaman tulisan sudah dikenal, folklore berbentuk tulisan. 2. Mitologi Masyarakat Indonesia sebelum mengenal tulisan atau sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha, telah mengenal cerita-cerita mitologi.



Mitologi



adalah



ilmu



tentang



kesusasteraan



yang



mengandung konsep tentang dongen suci, kehidupan para dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan. Mitologi juga berarti cerita tentang asal mula alam semesta, manusia, dan bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti sangat dalam. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki mitologi biasanya terkait dengan sejarah kehidupan di suatu daerah. Umumnya dimitoskan bahwa ada tokoh yang kuat dan sakti yang dulu memimpin masyarakat menempati daerah itu.



6



3. Legenda. Legenda adalah sebuah cerita rakyat pada masa lampau yang masih memiliki hubungan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau dengan dongeng-dongeng, seperti cerita tentang terbentuknya suatu negeri, danau, gunung dan sebagainya. Legenda itu diwariskan secara turun temurun. Legenda biasanya berisi petuah atau petunjuk mengenai apa yang salah dan apa yang benar. Dalam legeng da dimunculkan berbagai karakter manusia dalam menjalani kehidupannya Contoh Legenda di Indonesia: Legenda Banyuwangi Legenda Gunung Tangkubanperahu, Legenda Sangkuriang. 4. Upacara Sebelum mengenal tulisan dan sebelum masuknya pengaruh HinduBudha masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai upacara. Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu berdasarkan adat istiadat agama ataupun kepercayaan. Jenis-jenis upacara di Indonesia yang dikenal adalah: Upacara penguburan, upacara perkawinan upacara pengukuhan Kepala Suku, upacara sebelum perang. Upacara penguburan merupakan upacara yang pertama kali muncul dalam kehidupan manusia di Indonesia



sebelum mengenal tulisan atau sebelum



masuknya pengaruh Hindu- Budha. Upacara penguburan muncul karena kepercayaan bahwa roh orang yang meninggal akan pergi ke suatu tempat yang tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal dan sewaktu – waktu roh itu dapat dipanggil untuk menolong apabila masyarakat berada dalam keadaan bahaya misalnya wabah penyakit.



F. DASAR-DASAR PENELITIAN SEJARAH 1. Tahap penelitian sejarah. Sejarah sebagai ilmu pengetahuan mempelajari peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau dalam ruang lingkup kehidupan umat manusia. Peristiwa-peristiwa atau kejadian-



7



kejadian itu menjadi unsur utama dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli sejarah. Biasanya ahli-ahli peneliti sejarah membuat tahaptahap penelitian seperti berikut: a. Mencari jejak-jejak sejarah, seperti diuraikan dalam metodologi penulisan sejarah diatas. b. Mengumpulkan sumber-sumber sejarah. 2. Heuristik dalam sejarah Heuristik merupakan bagian dari penelitian sejarah. Heuristik adalah upaya penelitian yang mendalam untuk menghimpun jejak-jejak sejarah



atau



mengumpulkan



dokumen-dokumen



agar



dapat



mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian-kejadian bersejarah di masa lampau. Jejak-jejak atau dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkan itu merupakan data-data yang sangat berharga sehingga dapat dijadikan dasar untuk menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau. Namun untuk menemukan jejakjejak sejarah atau dokumen-dokumen bersejarah itu tidaklah mudah. Para ahli atau sejarawan mulai dengan mengumpulkan peristiwa sejarah yang akan ditelitinya. Mencari jejak sejarah tidak jauh berbeda dengan mencari jejak binatang buruan. Seorang pemburu hendaknya telah mengetahui kearah mana binatang buruannya berjalan sehingga mereka dapat melakukan penghadangan pada jalan-jalan yang akan dilalui oleh binatang buruan itu. Begitu pula dalam mencari jejak sejarah. Seorang ahli atau sejarawan hendaknya telah memiliki suatu informasi yang akurat tentang keberadaan dan kebenaran suatu peristiwa sejarah. Jejak-jejak sejarah biasanya dapat ditemukan secara kebetulan oleh masyarakat . Banyak benda-benda budaya peninggalan masa lampau ditemukan secara tidak sengaja. Jejak-jejak sejarah masa lampau yang berupa berbagai bentuk perhiasan, peralatan



rumah



tangga,



peralatan



kerja



bahkan



puing-puing



bangunan kuno seperti candi yang masih berserakan sering ditemukan secara kebetulan. Dari informasi penemuan itulah akhirnya para ahli atau sejarawan melakukan penelitian lebih lanjut. Bahkan tanpa 8



informasi yang berhasil diterima dari masyarakat para ahli atau sejarawan sangat sulit untuk menemukan jejak-jejak sejarah tentang masa lampau. 3. Verifikasi dalam sejarah. Verifikasi dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Untuk mengetahui kebenaran sejarah itu dibentuk panitia yang bertugas meneliti dan menentukan kebenaran suatu laporan. Verifikasi diperlukan untuk meneliti kembali data-data atau laporan-laporan dari suatu peristiwa yang telah terjadi. Para peneliti diharapkan dapat bersikap obyektif jangan bersikap subyektif. Contoh dalam sejarah Indonesia, kalau orang Belanda yang ditanya, Siapa itu Diponegoro, jawabannya: Diponegoro adalah pemberontak. Kalau orang Indonesia yang ditanya jawabannya: Diponegoro adalah pejuang. 4. Interpretasi dalam sejarah Interpretasi dalam sejarah memiliki arti penafsiran terhadap suatu peristiwa sejarah atau memberikan pandangan teoritis terhadap suatu peristiwa sejarah. 5. Sumber-sumber sejarah Peristiwa yang terjadi di masa yang lalu dapat terungkap jika ada sumber-sumber sejarah yang mendukungnya. Sumber-sumber sejarah terdiri atas: a. Sumber lisan yaitu keterangan langsung dari para pelaku dan saksi-saksi sejarah. Pelaku sejarah adalah



orang yang terlibat



langsung dalam peristiwa sejarah. Sedangkan saksi-saksi sejarah adalah orang-orang yang melihat langsung atau mendengar tentang suatu peristiwa sejarah. Bekas-bekas yang ditinggalkan sejarah disebut jejak-jejak sejarah terdiri dari: a.1. Folklore (lisan dan tulisan), a.2. Mitologi . a.3. Legenda



9



a.4. Upacara a.5. Lagu-lagu daerah. b. Sumber-sumber



tertulis



yaitu



peninggalan



tertulis,



misalnya



prasasti, dokumen, naskah dan rekaman. c. Sumber benda-benda budaya seperti kapak ( dari batu ),berbagai perhiasan dan manik-manik. 6. Bukti dan fakta sejarah Bukti dan fakta sejarah dari sumber primer yaitu bukti dan fakta sejarah yang diuraikan oleh pelaku atau saksi sejarah yang mengalami atau menyaksikan, mendengar, melihat tentang peristiwa sejarah. Bukti dan fakta sejarah yaitu peristiwa sejarah itu bukan diuraikan oleh pelaku atau saksi-saksi sejarah, akibatnya kebenaran dari peristiwa sejarah semakin berkurang. 7. Artefak dalam sejarah. Artefak adalah peralatan atau alat-alat yang dibuat oleh manusia untuk membantu kehidupannya. Peralatan atau alat-alat itu merupakan hasil kebudayaan manusia yang dapat menunjukkan bahwa manusia memiliki kelebihan dari makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki oleh manusia itu adalah berupa akal dan pikiran untuk berkembang melebihi generasi terdahulunya. Hal ini tampak dari perkembangan hasil kebudayaannya yang semakin maju dan terus berkembang. Lihat perkembangan kebudayaan BATU. 1. Kebudayaan Paleolitikum a. Kebudayaan Pacitan b. Kebudayaan Ngandong. 2. Kebudayaan Mesolitikum. a. Kjokken Moddinger b. Bacson Hoabinh c. Abris Sous Roche d. Kebudayaan Bandung e. Kebudayaan Toala



10



3. Kebudayaan Neolitikum a. Kapak persegi b. Kapak lonjong. 4. Kebudayaan Megalitikum a. Menhir, tugu dari batu peringatan nenek moyang b. Dolmen (budaya prasejarah berupa batu datar ditopang tiang) c. Sarkofugus (peti mayat dari batu) d. Kubur batu e. Waruga (badan, tubuh) f. Arca (patung dari batu) g. Punden berundak-undak (kuburan keramat bertingkat-tingkat). G. TEORI KEHIDUPAN Dl BUMI Bumi



sebagai



tempat



berpijak



manusia,



telah



lama



ada.



Perkembangan bumi ini dapat diketahui melalui penelitian geologi, yaitu penelitian tentang lapisan kulit bumi. Berdasarkan penelitian tentang lapisan kulit bumi atau menurut geologi dilakukan pembagian zaman sebagai berikut: 1. Zaman Arkaekum, kurang lebih 2500 Juta tahun lalu. 2. Zaman Palaeozoikum, kurang lebih 340 juta tahun lalu. 3. Zaman Mesozoikum, kurang lebih 140 juta tahun lalu. 4. Neozoikum, kurang lebih 60 juta tahun lalu Zaman Arkaekum yaitu zaman tertua diperkirakan 2500 juta tahun lalu. Pada zaman ini keadaan bumi belum stabil. Kondisi bumi dan udara masih panas. Kulit bumi masih dalam proses pembentukan. Dalam keadaan seperti itu maka pada zaman ini, belum ada tanda-tanda kehidupan. Zaman Palaeozoikum berusia sekitar 340 juta tahun. Pada zaman ini, keadaan bumi masih belum stabil dan masih terus berubah-ubah. Namun demikian tanda-tanda kehidupan sudah mulai tampak yaitu mahluk hidup bersel satu atau mikro organisme. Di samping itu pada



11



zaman itu, sudah mulai muncul makhluk lainnya sejenis ikan ampibi, reptil dan Iain-Iain. Sehingga zaman ini disebut zaman primer atau zaman pertama. Zaman Mesozoikum berusia sekitar 140 juta tahun. Pada zaman ini kehidupan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Makhluk hidup yang hidup pada zaman ini adalah binatang-binatang dalam bentuk yang sangat besar seperti jenis-jenis binatang dinosaurus, atlantosaurus, serta jenis-jenis burung dalam bentuk yang sangat besar. Zaman mesozoikum disebut juga zaman reptil, karena makhluk hidup yang muncul dan berkembang pada zaman ini adalah sejenis reptil. Zaman ini disebut zaman sekunder atau zaman ke dua. Zaman Neozoikum atau Kainozoikum berusia sekitar 60 juta tahun lalu. Zaman ini dibedakan dalam dua zaman yaitu : 1 .Zaman tertier atau zaman ke tiga. Pada zaman ini kehidupan dari jenis-jenis binatang besar mulai berkurang dan telah hidup jenis-jenis binatang menyusui yaitu sejenis kera dan monyet. 2. Masa kuarter atau masa ke empat. Zaman ini berusia sekitar 600.000 tahun lalu. Pada zaman ini mulai muncul tanda-tanda kehidupan dari manusia purba. Zaman ini dibagi dua kala: a. Kala Plestosin atau dilluvium berlangsung sekitar 600.000 tahun lalu. Zaman ini disebut juga zaman es atau glasial. Pada zaman es atau glasial wilayah Indonesia bagian Barat menjadi satu dengan Asia. Sedangkan wilayah Indonesia bagian Timur menjadi satu dengan daratan Australia. Pada zaman es/glasial karena suhu sangat rendah Asia Utara, Amerika Utara dan Eropa Utara ditutupi es. Pada waktu suhu bumi naik, es yang menutupi kutub utara mencair lalu mengalir ke laut dan menyebabkan permukaan air laut naik dan wilayah bagian Barat dan bagian Timur menjadi terpisah dengan Asia dan Australia. Bagian bekas darat yang menghubungkan Indonesia Barat dengan daratan Asia disebut Paparan Sunda dan bekas daratan yang



12



menghubungkan Indonesia Timur dengan dataran Australia disebut Paparan Sahal. b. Kala Hoiosin atau zaman Alluvium, berlangsung sejak 20.000 tahun lalu. Pada zaman ini mulai hidup jenis Homo Sapiens yaitu jenis manusia seperti manusia sekarang.



H. PRINSIP DASAR DALAM PENELITIAN SEJARAH LISAN 1. Sumber berita dari pelaku sejarah. 2. Sumber berita dari saksi sejarah 3. Tempat peristiwa sejarah 4. Latar belakang munculnya peristiwa sejarah 5. Pengaruh dan akibat dari peristiwa sejarah. Yang dimaksud dengan sejarah lisan adalah suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, diberitakan secara lisan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dalam pengumpulan peristiwa-peristiwa sejarah, peiaku sejarah memegang peranan penting yang mengerti benar peristiwa itu. Pelaku peristiwa sejarah lebih tahu sebab-sebab terjadinya peristiwa itu tahu pengaruh dan akibatnya. Saksi sejarah lain sedikit dari pelaku sejarah. Pelaku sejarah lebih akurat dari saksi sejarah. Saksi sejarah lebih besar kemungkinan lupanya dari pada pelaku sejarah. Satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan adalah tempat terjadinya peristiwa sejarah. Dengan mengetahui tempat peristiwa maka sejarawan akan bertanya – tanya pada penduduk yang tinggal di sekitar tempai itu.



I. ZAMAN BATU Prasejarah Indonesia diwarnai oleh zaman batu dan Zaman logam. Karena zaman batu cukup panjang maka para ahli membaginya menjadi: 1. Zaman Batu Tua (Palaeolitikum) 2. Zaman Batu Madya ( Mesolitikum) 3. Zaman Batu Muda (Neolitikum) 13



4. Zaman Batu Besar (Megalitikum). Sedangkan zaman logam dibagi: 1. Zaman Tembaga 2. Zaman Perunggu 3. Zaman Besi Karena zaman tembaga tidak pernah berkembang di Indonesia, maka Indonesia mengenal zaman Logam, berasal dari zaman Perunggu. J. BAHASA AUSTRONESIA DAN TEORI IMIGRASI Bahasa Austronesia dan teori-teori imigrasi perlu diketahui karena dapat dipakai untuk menentukan asal usul bangsa Indonesia atau asal usul suku-suku bangsa Indonesia. Bahasa Austronesia adalah salah satu bahasa yang diturunkan dari klasifikasi berdasarkan genetis atau geneologis atau berdasarkan garis keturunan bahasa-bahasa itu. Artinya suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa proto (bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa bam atau lebih. Lalu bahasa-bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa-bahasa lain. Kemudian bahasa-bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa-bahasa berikutnya. Umpamanya, katakanlah ada bahasa proto A .Bahasa A ini misalnya terpecah menurunkan tiga bahasa baru , yaitu bahasa A1,A2 dan A3.Kemudian bahasa-bahasa A1.A2 dan A3 ini pecah lagi dan menurunkan bahasa-bahasa baru. Dari A1 terpecah menjadi A1.1.A1.2, A1.3. Dari A2menjadi A2.1.A2.2, A2.3. Dari A3 menjadi A3.1, A3.2 dan A3.3 .dan seterusnya. Bahasa proto A pecah jadi banyak karena pemakai bahasa proto A itu pindah tempat/ bermigrasi. Batas-batas wilayah bahasa Austronesia. 1. Sebelah Utara



: Pulau Taiwan.



2. Sebelah Selatan : Kepulauan .Indonesia 3. Sebelah Barat



: P. Madagaskar



4. Sebelah Timur



: P.Paskah di pantai Amerika Latin.



14



K. TEORI-TEORI IMIGRASI Untuk menentukan asal usul bangsa Indonesia termasuk sukusuku bangsa di seluruh Indonesia , teori- teori imigrasi yang dikemukakan oleh ahli-ahli linguistik memegang peranan penting. Untuk asal usul bangsa Indonesia ada dua pendapat. Pertama : Asal usul



penduduk Indonesia adalah dari Ras pulau



Mongoloid yang berbahasa Austronesia dan berasal dari Yunan, Cina Selatan. Kedua



: Menyebutkan bahwa penduduk asli Indonesia adalah Ras Negrito dan Ras Widdide.



Dari kedua Ras tersebut terjadi percampuran, yang selanjutnya terjadi lagi percampuran dengan pendatang lainnya sehingga dapat dikatakan tidak ada lagi penduduk asli Indonesia. Pendapat pertama didasari antara lain oleh pendapat DR.J.L. Brandes ahli bahasa dari Belanda yang melakukan penelitian linguistik pada tahun 1884.1a berpendapat bahwa penduduk yang berdiam di daerah- daerah antara pulau Taiwan di Utara Indonesia di Selatan, Madagaskar di Barat, dan pulau- pulau di Samudra Pasifik sampai Amerika Latin di Timur, semuanya berbahasa dengan akar kata yang sama. Penelitian yang sama dilakukan oleh Prof. DR.H.Kern pada tahun 1889.1a berpendapat bahwa semua penduduk di wilayah tersebut diatas,



dahulu



adalah



satu,



mereka



adalah



pendukung



bahasa



Austronesia dan tempat kediaman mereka yang terakhir adalah di Tonkin. Kesimpulan Kern didasarkan atas perbandingan penyebutan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Menurut Kern terdapat kemiripan vokal dalam penyebutan tersebut. Sebagai contoh kemiripan dalam penyebutan padi (Melayu, Indonesia dan Batak), pari (Jawa), page (Sunda), pare (Makassar) page (Nias), pae (Bare'e,Mori,Bungku,Tolaki, Padoe) dan lain sebagainya. Peneliti lainnya Von Heine Geldern berkesimpulan bahwa pendukung kebudayaan yang menggunakan peralatan kapak persegi



15



adalah bangsa Austronesia. Mereka tersebar di Yunan, Cina Selatan dan di hulu sungai-sungai besar seperti Yang Tse Kiang, Mekong. Minan dan Salwin. Pendukung kebudayaan kapak persegi kemudian berpusat di Tonkin yang letaknya dekat pantai. Hal ini kemudian melakukan kepandaian dalam membuat perahu bercadik, yang merupakan ciri khas dari pendukung kebudayaan kapak persegi. Melalui kepandaian membuat perahu, mereka melakukan imigrasi secara bertahap ke arah Selatan. Imigrasi tersebut diperkirakan berlangsung secara bergelombang dan dimulai lebih kurang 200 SM. L. TEORI-TEORI LAINNYA 1. Max Muller menyatakan bahwa bangsa



Incdonesia berasal dari



Asia Tenggara. Namun dari pendapat Max Muller ini tidak begitu jelas alasannya. Barangkali Max Muller hanya terpengaruh pada pendapat orang lain. 2. Willem Smith menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Willem Smith membagi bahasa-bahasa yang dipakai di Asia yaitu bahasa Togon (bangsa yang berbahasa Togon), bangsa berbahasa Jerman, dan bangsa yang berbahasa Austria. Kemudian bangsa yang berbahasa Austria dibagi dua yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia. Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia, Melanesia dan Polinesia. 3. Hogen mengatakan bahasa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal dari Sumatra. Bangsa itu bercampur dengan bangsa Mongol yang kemudian disebut bangsa Proto Melayu dan Dentro Melayu



(Melayu Muda).Proto



Melayu (Melayu Tua)



menyebar di wilayah Indonesia sekitar tahun 1300 SM - 1500 SM. Sedangkan Detro Melayu (Melayu Muda) menyebar di wilayah Indonesia sekitar tahun 1500 SM-500 SM. 4. Drs. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan. Pendapat Moh. Ali ini dipengaruhi oleh pendapat



16



Mens yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol dan terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Akibat terdesak mereka menyebar ke arah Selatan hingga sampai ke wilayah Indonesia. Namun menurut Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari hulu sungai-sungai besar di Asia dan kedatangannya di Indonesia secara bergelombang. Gelombang pertama dari tahun 3000 SM-1500 SM. Dan gelombang kedua dari tahun 1500 SM-500 SM. Ciri-ciri



gelombang



pertama



adalah



berkebudayaan



Neolitikum dengan jenis perahu bercadik satu. Gelombang kedua menggunakan perahu bercadik dua. 5. Prof.DR.Kern menyatakan bahwa asal usul bangsa Indonesia dari daerah Cina Tengah, karena pada daerah Cina Tengah terdapat sumber-sumber sungai besar mereka menyebar ke Indonesia sekitar tahun 2000 SM-1500 SM. 6. Mayundar menyatakan bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, kemudian menyebar ke Indo Cina terus ke daerah Indonesia dan fasifik. Pendapat Mayunder ini didukung oleh penelitiannya berdasarkan bahasa Austroasia, yang merupakan bahasa Muda di India Timur. 7. Prof. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Moh. Yamin berpendapat bahwa asal bangsa Indonesia dari daerah Indonesia sendiri. Bahkan bangsa-bangsa lain yang ada di wilayah Asia, ada yang berasal dari daerah Indonesia. Pendapat Moh Yamin didukung oleh pernyataannya tentang Blood und Breden Unchro yang berarti adalah darah dan tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri. la menyatakan bahwa fosil dan artefak itu lebih banyak dan lebih lengkap ditemukan di Indonesia, dibandingkan dengan daerahdaerah lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba



17



sejenis Homo Soloensis, Homo Wajakensis dan sebagainya. M. PERPINDAHAN ANTAR PULAU DAN ANTAR WILAYAH Selain perpindahan yang terjadi dari daerah luar seperti dari Yunan, Tonkin, India Madagaskar ke Indonesia. Adalagi perpindahan antar pulau di Indonesia karena datangnya ke Indonesia secara bergelombang dan saling menggusur. Ada lagi perpindahan antar wilayah yang masih luas seperti dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah dan sebaliknya. Juga perpindahan lokal seperti dari Luwu Utara ke Luwu Timur. Albertus Christian Kruyt, pada zaman megalistik mencatat tiga tahap perpindahan penduduk dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah dan dari Sulawesi Tengah ke Sulawesi Selatan: 1. Dari Pilipina menuju Minahasa, terus melalui darat lewat Gorontalo, lalu melalui Teluk Tomini sampai di Poso. Dari Sulawesi Tengah berpindah ke Sulawesi Selatan 2. Diperkirakan dari sungai Sadang menuju daerah Palu, Padang Besoa, Napu, Donggala. Didukung oleh kebudayaan yang oleh Kruyt disebut Steen Houwers (pemecah batu ). 3. Dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah dari suatu tempat antara Malili-Wotu menuju Sulawesi Tengah membawa kebudayaan keramik (depotten bekkers).



18



BAB II SEJARAH SUKU PADOE 1. ASAL MULA SUKU PADOE Pada zaman prasejarah, penyebaran populasi penutur bahasa Austronesia yang memiliki warisan genetik Mongoloid diperkirakan mulai berlangsung sekitar tahun 4000 Sebelum Masehi (SM). Saat itu beberapa kelompok orang, bermata pencaharian sebagai peladang melakukan ekspansi ke arah Selatan dari Taiwan melalui Filipina (BELLWOOD, PRE HISTORY : 88 ) Pendatang Austronesia Ras Sulawesi



Mongoloid pertama yang



tiba di



Selatan kemungkinan berasal dari Filipina Selatan, lewat



Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah kira-kira pada tahun 3000 - 2500 Sebelum Masehi. (BELLWOOD, PRE HISTORY : 223-8). Menurut Christian Pelras mengungkapkan bahwa dari Analistis linguistik menunjukkan bahwa penghuni Austronesia pertama di Sulawesi Selatan itu memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni Bagian Tengah dan Bagian Tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan bahasa yang tergolong ke dalam kelompok bahasa Kaili-Pamona, Bungku-Mori dan Muna-Buton. Bahasa mereka itu merupakan substratum bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan. Menurut Ahmad Faidi1 mengatakan bahwa ditinjau dari bentuk tubuh seperti mata, rambut, warna kulit dan bahasa, Suku Tolaki hampir sama dengan penduduk yang pindah pada zaman prasejarah yang berasal dari Yunan (China Selatan) dan Riukiyu (Jepang). Mereka berpindah ke Selatan menuju Taiwan dan Filipina, kemudian ke Sulawesi Utara dan pesisir Sulawesi Timur. Lalu menuju daratan Sulawesi Tenggara melalui muara sungai Lasolo dan sungai Konawe'eha, menuju permukiman pertama di hulu sungai itu, yaitu pada suatu lembah yang luas dinamakan Andolaki di Sulawesi Tenggara ( Sarasin 1905 : 374 ; 1



Ahmad Faidi, Suku Tolaki, Suku seribu kearifan, Tahun 2015 h.51 - 54 19



Kruyt 1921: 428) Mereka yang bermukim di Andolaki tersebut menamakan dirinya Orang Tolaki. Pada mulanya Tolaki menamakan dirinya Tolahianga, yang memiliki arti bahwa mereka adalah orang-orang dari langit atau China, karena ada kemiripan bahasa Tolaki dengan bahasa China oleh M.Granat ( Needhan 1973 : 53). Orang Tolaki mengadakan penyebaran dari Andolaki, karena pertama, di daerah tersebut sudah sering terjadi peperangan antar kerajaan. Kedua, karena bencana yang membawa penyakit menimpa kerajaan besar Konawe dan Mengkoka yang digambarkan berupa biawak raksasa, kerbau berkepala dua dan burung garuda (kongga). Ketiga, karena bencana alam. Sesuai dengan teori perpindahan penduduk lokal yang mengatakan bahwa perpindahan penduduk lokal disebabkan oleh bencana alam, epidemi penyakit dan peperangan antar suku, hal tersebut dikemukakan oleh Wolter Kaudern. Diperkirakan pada zaman prasejarah (sebelum Masehi) dari Andolaki terjadi penyebaran orang Tolaki, ada yang ke Utara sampai Ro’uta. Ke Selatan sampai di Olo - Oloho atau Konawe, lewat Ambekaefi dan Asinua, meliputi wilayah Kendari Selatan di Pu'unggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo, dan ada yang menyeberang ke Pulau Wawoni'i. Ke Timur sampai di Latoma dan Asera meliputi wilayah muara sungai Konawe'eha dan sungai Lasolo. Ke Barat sampai Konde'eha, lewat Mowewe dan Lambo kemudian ada yang sampai di Mekongga (Kolaka) Sulawesi Tenggara (Pingak 1963). Dari orang Tolaki yang ke Barat tersebut ada kelompok Tolaki dari Kolaka terus ke pantai Teluk Bone, meneruskan perjalanan berlayar sepanjang pantai ke Utara Timur Teluk Bone. Lalu mendarat di daerah Bukit Punsi Mewuni di pinggir pantai Teluk Bone. Kemudian masuk ke Ussu, melalui Sungai Ussu, masuk ke Lakarai (Cerekang) melalui Sungai Cerekang. Terakhir kelompok tersebut bermukim di daerah



Bukit



Punsi



Mewuni



Sulawesi



menamakan dirinya orang / Suku Padoe.



20



Selatan



dan



mereka



Peta Penvebaran orang Tolaki dari Andolaki



PETA: 4. PENYEBARAN ORANO TOLAKl



21



SKALA 1.2000000



Peta Penyebaran orang Tolaki ke Bukit Punsi Mewuni



22



Orang Tolaki yang berdiam di wilayah Kerajaan Mekongga di Kabupaten Kolaka sekarang, menamakan dirinya orang Mekongga, dan mereka yang berdiam di wilayah Kerajaan Konawe, yakni bagian wilayah Kabupaten Kendari sekarang, menamakan dirinya orang Konawe, dan mereka yang berdiam di wilayah pesisir hulu sungai Konawe'eha bagian utara Kerajaan Konawe dan bagian utara Kerajaan Mekongga menamakan dirinya orang Laiwui. Perpindahan pendatang Austronesia Ras Mongoloid ke Sulawesi Tenggara secara singkat perjalanannya diurut sebagai berikut: 1. Dari Yunan (China Selatan) dan Riukiyu (Jepang ), terus ke Taiwan. Ke Filipina Selatan, ke Sulawesi Utara, ke pantai pesisir Sulawesi Timur, lalu ke pantai pesisir Sulawesi Tenggara. 2. Kemudian dari pesisir pantai Sulawesi Tenggara, masuk ke daratan Sulawesi Tenggara, melalui muara Sungai Lasolo dan Sungai Konawe'eha, kemudian bermukim di Andolaki, mereka menamakan dirinya orang Tolaki. 3. Dari Andolaki, orang Tolaki menyebar ke sebelah Utara, ke sebelah Selatan, ke sebelah Timur dan ke sebelah Barat, menjadi orang Ro'uta, orang Laiwui, orang Konawe, dan orang Mekongga (Mengkoka). Kebiasaan orang Tolaki, kalau menyebar, selalu dalam bentuk kelompok sekitar tiga puluh atau empat puluh orang/keluarga dan setelah berada di wilayah yang baru, nama suku Tolaki berubah nama sesuai dengan wilayah di mana mereka berada. Suku Padoe, pada mulanya berasal dari orang Tolaki di daerah Andolaki Sulawesi Tenggara. Mereka menyebar ke Barat sampai di Mekongga dengan ibukota Kolaka, kemudian dari Kolaka terus berlayar ke Utara Timur Teluk Bone kemudian mendarat di daerah Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan, dalam kurun antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Di sana mereka menamakan dirinya sebagai orang / suku Padoe. Tempat tersebut kemudian terkenal dengan nama daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni.



23



Suku Padoe berada di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu yaitu dalam kurun antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Berdasarkan hasil penelitian dalam buku Kedatuan Luwu Edisi kedua, Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi halaman 155. Lebih lanjut hal tersebut dapat diketahui dan dapat dipelajari berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan hasil – hasil penelitian Ali Fadillah2 (1998 : 12) dengan merujuk telaah Pelras (1995/1996) yang meletakkan periode proto sejarah dalam kurun antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Rentang periode yang sangat panjang ini, masih cukup gelap karena hampir semua tidak dilukiskan teks klasik. Dari bukti arkeologis sebelum dinasti Kerajaan Luwu terbentuk, di banyak titik telah ada sejumlah kantong pemukiman masyarakat kecil (bands) sejak periode neolitik. Kantong komunitas kecil dalam wilayah Luwu diantarany terdapat di zona Matano yaitu Wotu, Padoe, Bajo, Toraja, Rongkong dan beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara dan Tengah yang sekarang dikenal sebagai suku Tolaki, Mekongga, To Limolang. Kantong komunitas kecil ini mendapat pembuktian arkeologis sejak zaman neolitik dan semakin jelas dalam fase paleometalik. Menurut Nawawi Sang Kilat3 suku Padoe di kerajaan Luwu, berasal dari Kerajaan mula-mula yaitu dari kerajaan Ware pertama era To ManurungE berlokasi didaerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni di Kecamatan Malili dan Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur sekarang ini. Tempat mula-mula Suku Padoe di daerah Luwu Sulawesi Dari buku Kedatuan Luwu.edisi ke 2, Perspektif Arkeologi, sejarah dan Antropologi, 2006, hal. 155, Ali Fadillah (1998:12) dengan merujuk telaah Pelras (1995 /1996) meletakkan periode proto sejarah dalam kurun awal abad Masehi sampai abad X Masehi, rentang periode yang sangat panjang ini, masih cukup gelap, karena hampir semua tidak dilukiskan teks klasik. Dari bukti arkeologis sebelum Dinasti kerajaan Luwu terbentuk, di banyak titik telah ada sejumlah kantong permukiman masyarakat kecil ( bands) sejak periode neolitik. Kantong komunitas kecil dalam wilayah Luwu di antaranya terdapat di Zona Matano, Wotu, Padoe, Bajo, Toraja, Rongkong dan beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara, dan Tengah yang sekarang dikenal sebagai suku Tolaki, Mekongga, To Limolang. Kantong komunitas kecil ini, mendapat pembuktian arkeologis sejak zaman neolitik dan semakin jelas dalam fase Paleo metalitik 3 Catatan ringan Tana Luwu, makalah pada hari Peringatan Perjuangan Rakyat Luwu menentang penjajah tanggal 23 Januari 1946 2



24



Selatan, yaitu berada di daerah Bukit Punsi Mewuni. Hal tersebut dapat diketahui, setelah mempelajari tradisi lisan yang bisa membantu mengetahui lokasi dan memahami pentingnya tempat-tempat yang disebut dalam teks I La Galigo. Salah satu tempat seperti itu adalah Bukit Punsi Mewuni yang dipercaya sebagai tempat Batara Guru, pendiri Kerajaan Luwu, turun dari kayangan. Bukit Keramat tersebut terletak di kawasan Ussu. (Bagian atas Teluk Bone), di antara Sungai Cerekang dengan Sungai kecil Keramat Wae Mami. Bukit ini4 dijaga oleh Komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh dimasuki oleh orang luar, terdiri atas sekitar 40 keluarga yang hidup di permukiman kecil di Cerekang. Penutur bahasa Bugis itu, yang tinggal di tengah - tengah penutur Mori ( Bahasa Kinadu dan Padoe) membentuk inti sebuah jaringan pengikut yang disebut Tossu' (dari kata To Ussu' yang berarti orang Ussu) dan tersebar di seluruh Luwu. Dari uraian tersebut di atas, menyatakan bahwa Suku Padoe pada mulanya terdapat dan bermukim di daerah Bukit Punsi Mewuni. Di sekitar Bukit dan Pantai Ussu, terdapat beberapa tempat yang berhubungan dengan beberapa Episode I La Galigo, menyusul turunnya BATARA GURU dari langit, tumbangnya pohon raksasa Welenreng, maupun tenggelamnya perahu Sawerigading ke dasar laut. Menurut tradisi lisan, Istana Batara Guru dulu berdiri di Puncak Bukit Punsi Mewuni itu, yang hanya boleh didatangi oleh To ussu lapisan atas. Sementara hutan yang mengelilingi Bukit, merupakan hutan Keramat, dan tidak boleh ditebang oleh siapapun. Menurut Christian Pelras, mengatakan bahwa bahasa Mori termasuk kelompok bahasa Bungku-Mori, yang merupakan substratum bahasa di Sulawesi Selatan, di mana bahasa Padoe di Sulawesi Selatan hampir sama dengan bahasa Mori di Sulawesi Tengah. Bukit ini dijaga oleh komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh dimasuki orang luar, terdiri atas sekitar 40 buah keluarga yang hidup dipermukiman kecil di Cerekang. Penutur bahasa Bugis itu yang ditengah - tengah penutur Mori (bahasa Kinadu dan Padoe ).Dalam buku Manusia Bugis yang ditulis Christian Pelras pada masalah Siklus I La Galigo dan tradisi lisan hal. 68. 4



25



Dari daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni, Suku Padoe untuk pertama kali menyebar ke daerah sekitamya mencakup Pabeta, Angkona. Tampina, Lakarai (Cerekang), Ussu, Laa Mao, Matanggoa, Kawata, Malili, Kore-Korea, Laro'eha, Labose, Lampia, untuk berkebun dan bersawah. Menurut para peneliti asing yang meneliti buku I La Galigo, mengatakan bahwa penduduk yang mendiami dataran rendah di daerah sekitar Malili sampai dataran sekitar Wotu dan Takolekaju, dan daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni terdiri dari empat suku yaitu suku Wotu, suku Pamona, suku Padoe dan suku Mengkoka (Mekongga). Menurut Anthon A.Pangerang Opu Daeng Malipu5 dan Andi Abdullah Sanad Kaddiraja6 menyatakan bahwa Luwu merupakan suatu kerajaan yang memiliki dua belas Suku dan mempunyai sembilan bahasa sebagai berikut:To Ware,To Ala, To Ugi, To Raja, To Rongkong. To Seko, To Limolang / To Sassa, To Pamona, To Padoe, To Wotu, To Bajo, To Mengkoka. Menurut penelitian David E.Mead (1999) waktu mengadakan penelitian terhadap rumpun budaya dan bahasa di wilayah Sulawesi Tengah, Timur dan Tenggara. Khususnya antara budaya dan bahasa Padoe



yang



telah berakulturasi



dengan



budaya



dan



bahasa



Mengkoka (Mekongga), Pamona, Wotu dan Bugis.Perkembangan budaya dan bahasa telah terjadi dalam ratusan tahun sampai terbentuknya budaya dan bahasa Padoe. To Padoe berasal dari kata To, Paado dan E. To berarti orang/suku, Paado berarti jauh (di sana), sedangkan E berarti kata panggilan (kata sandang) yang menunjukkan keakraban relasi yang lebih dekat dengan orang lain. Jadi To Padoe artinya orang/suku yang berasal dari tempat Anthon A.Pangerang Opu Daeng Mallipu,"Mappacekke Wanua sub judul Mappatarenre Onro Tune Lipu'e tahun 2008. 6 Andi Abdullah Sanad Kaddiraja," Perjuangan Rakyat Luwu" tahun 2018. 5



26



yang jauh dari pusat kekuasaan, yang dipanggil sangat akrab relasinya dengan orang lain. Sehingga akhirnya To Padoe terkenal dipanggil saudara/sahabat dari jauh. Dalam bahasa Bugis.To Padoe, disebut To Belae yang artinya orang/saudara dari tempat jauh. Akhirnya To Padoe terkenal disebut To Belae. Suku Padoe merupakan salah satu suku yang tertua di Sulawesi Selatan yang pusat permukiman mula-mula berada di daerah Segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Suku Padoe sudah berada di daerah Luwu pra Kedatuan Luwu pada kurun waktu antara awal Abad Masehi sampai abad X Masehi. Setelah penyebaran pertama, kemudian Suku Padoe menyebar dari Matanggoa ke Kawata, membangun Kawata sebagai kampung pertama Suku Padoe di Tana Nuha. Kemudian dari Kawata Suku Padoe menyebar kembali secara luas ke Lasulawai, Wasuponda, Togo, Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula, Matompi, Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha dan Larona di Kabupaten Luwu Timur. Dan sebahagian migran ke Mayakeli dan Taliwan di Sulawesi Tengah dan tempat - tempat lain di Indonesia, karena kekacauan yang diakibatkan pemberontakan DI/TII di daerah Nuha dan Sulawesi Selatan 1950-1965. Pernah ada pendapat yang mengatakan bahwa Suku Padoe, berasal dari Tana Mori yaitu dari Kanta dekat Tomata Sulawesi Tengah. Pendapat tersebut hanya berdasarkan pada lokasi dan keberadaan suku Padoe pada saat itu. Tidak memperhatikan asal usul suku Padoe dari mana datangnya sebelum ada di Tana Mori. Suku Padoe berada di daerah tersebut, tidak secara tiba-tiba atau turun dari kayangan, tetapi ada asal usulnya. Mereka hanya mengetahui bahwa Suku Padoe pernah berada di Tana Mori sejak abad XIV-XV. Dan karena peristiwa perang dengan orang Pamona tahun 1450, Suku Padoe mengundurkan diri kembali ke Lakarai bergabung dengan keluarga besar Suku Padoe yang sudah ada



27



antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi di Sulawesi Selatan. Dengan adanya kehadiran Suku Padoe dari Tana Mori tersebut, mereka menganggap bahwa Suku Padoe berasal dari Tana Mori. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa kelompok Suku Padoe yang berada di Tana Mori, sebenarnya pada mulanya berasal dari segi tiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan yang migran ke Sulawesi Tengah sekitar abad XII—XIV, karena daerah asalnya sudah padat, dan keadaan tidak nyaman karena adanya saling mengayau antara suku Padoe dengan orang Pamona. Jadi pendapat tersebut yang mengatakan bahwa Suku Padoe berasal dari Tana Mori Sulawesi Tengah, hanya berdasarkan kata orang dan cerita dari mulut ke mulut. Tidak berdasarkan hasil penelitian ilmiah, dan bukti arkeologis, serta bersumber pada bukti sejarah dan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekaligus membetulkan panggilan Mori Padoe, yang artinya Padoe berasal dari Mori juga tidak benar, dan yang benar adalah panggilan Suku Padoe, karena Suku Padoe (To Padoe) berasal dari Bukit Punsi Mewuni yang terkenal disebut daerah segi tiga UssuCerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan. Kesimpulannya pendapat tersebut yang mengatakan Suku Padoe berasal dari Tana Mori Sulawesi Tengah, terbantahkan dan tidak benar berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Ali Fadillah (1998 :12 ) dengan merujuk telaah Pelras (1995 /1996) dalam Buku Kedatuan Luwu, Edisi ke 2, Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi oleh editor Iwan Sumantri yang dilakukan oleh Lembaga penelitian Dalam Negeri (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Balai Arkeologi, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan Lembaga Penelitian Luar Negeri (Wennergren Foundation, Australian National University dan University of Hull). Serta referensi dari Buku Manusia Bugis halaman 68 oleh Christian Pelras tahun 2006.



28



2. PENYEBARAN SUKU PADOE Menurut Dr. A.C.KRUYT, di zaman batu, ada dua kali migran dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah: Pertama, dari Sungai Sadang, terus melalui daerah Mamuju, terus masuk ke Sulawesi Tengah. Kedua, dari Teluk Bone bagian Utara melalui sungai-sungai yang terdapat antara Malili-Wotu masuk ke Sulawesi Tengah, Yang melakukan migrasi tersebut adalah pendukung Potten Bekkers (Pembuat Tembikar). Karena di daerah segi tiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni sudah padat maka sekitar abad ke XII sampai abad XIV, sekelompok suku Padoe migran ke Sulawesi Tengah. Kelompok migran tersebut mengikuti sungai Kalaena sekitar Wotu sampai ke hulu, lalu mengikuti sungai-sungai ke arah Danau Poso. Dari Danau Poso lalu ke kampungkampung di sekitar Danau Poso. Sekelompok suku Padoe pada mulanya tinggal di daerah Kanta atau daerah sungai Kala'e. Setelah sekian lama bersama-sama dengan orang Kala'e kemudian suku Padoe memisahkan diri, naik ke Bukit Kayaka untuk berkebun dan membangun kampung Kayaka dipimpin oleh Kepala Suku Laonga, yang tinggi badannya dua setengah meter. Suku Padoe hidup berdampingan dengan orang Kala'e yang letaknya di Kanta dekat Tomata, Mori Atas Sulawesi Tengah. Menurut Masi Langguna7 kehidupan nenek moyang pada waktu itu masih saling kayau mengayau, sehingga Suku Padoe di Kanta mendirikan Komali (Tondoha), yaitu tempat penempaan alat-alat perang seperti ponai, kasai, kanta berbesi dan Iain-Iain. Kesiapan Kanta ini terdengar sampai ke daerah Pebato (Pamona) dan daerah sekitarnya.



3. PERISTIWA KANTA / KAYAKA Untuk mengetahui kesiapan Komali di Kanta, Pebato mengutus mata-mata bernama Tetembu Malegongga untuk menyelidiki semua 7



Masi Langguna, Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu, tahun 1998 h.1 29



keadaan. Hal ini diketahui oleh rakyat Kanta dan Kayaka, dan keadaan ini sangat berbahaya. Akibatnya Tetembu Malegongga dibunuh, agar rahasia kerja Komali jangan bocor. Menurut Santona Tamu'u8, Tetembu Malegongga ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam lubang yang selesai digali dan ditimpa dengan tiang tengah Langkanae yang sedang dibangun dalam rangka pesta sesudah panen (Padungku). Karena Tetembu Malegongga belum kembali ke Pebato, maka Pebato mengirim penyelidik ke Kanta dan Kayaka. Kegiatan penyelidik ternyata berhasil, setelah mendengar dalu-dalu dari anak-anak yang mengatakan : Ohayo-Ohayo Tetembu Malegongga Naruncu Nono ri Tongonya, secara singkat artinya, bahwa Tetembu Malegongga sudah mati dibunuh. Para penyelidik segera kembali melaporkan keadaan ini kepada pemimpin mereka. Berdasarkan laporan ini Pebato menyiapkan pasukan penyerang, kemudian mereka berangkat menuju Kanta dan Kayaka. Setelah tiba di Kanta dan Kayaka, mereka menyerang tiba-tiba, menyebabkan banyak korban dan keadaan kocar kacir di kedua belah pihak. Sebahagian penduduk Kanta mengundurkan diri ke Wawombau dan penduduk Kayaka mengundurkan diri ke Selatan. Akhir perang ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, terjadi tahun 1450. Menurut Santona Tamu'u9, mengatakan bahwa Kepala Suku Padoe yang bernama Laonga, memiliki tinggi badan dua setengah meter, terbunuh sebelum perang Kanta dan Kayaka terjadi dengan cara orang Pebato mengambil daun sagu tengah malam dan ditumpuk di depan rumah Laonga secara berlapis - lapis. Kemudian pukul tiga malam mereka datang dengan senjata lengkap sambil berteriak memaki - maki Laonga. Laonga marah sambil membawa pedangnya lalu melompat di depan rumahnya. Laonga terjatuh di tengah - tengah daun sagu dan tidak 8 9



Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3 Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3 30



bisa bergerak karena tumpukan daun sagu. Orang Pebato (orang Pamona) merampas pedangnya dan membunuhnya dengan pedangnya. Setelah perang, sisa orang Pebato, kembali ke Pebato, yang mengundurkan diri ke Wawombau, kembali ke Kanta dan menjadi penduduk Mori Atas hingga sekarang ini. Mereka inilah kemudian dinamai suku Molio'a. Yang mengundurkan diri ke Selatan adalah suku Padoe. Sebagai bukti fisik bahwa di daerah itu pernah ada kampung Kayaka, peninggalan suku Padoe tahun 1500, pertama kali ditemukan oleh Lahuse Labaro tahun 1985 berupa satu tiang rumah masih berdiri dan satu rumpun sagu. Selain itu sampai sekarang masih ada padi To Padoe yang dikembangkan terus oleh suku Molio'a yang disebut Benggiwata dari kampung Tanduweangga (Kayaka). Kemudian ada Tim kedua tanggal 26 Agustus 2006, menemukan satu tiang rumah bekas peninggalan suku Padoe tahun 1500. Tim tersebut terdiri dari sembilan orang sebagai berikut: 1. R.Mpila (pensiunan Polisi), 2. T.Mbaro (Sekretaris Dewan Hadat Kp.Tabarano), 3. M.Paliono, 4. T.Latendengan, (Ketua Hadat Kp.Wawondula), 5. M.R.Sepena, 6. Y.Melalo, 7. Lahuse Labaro, (beliau penemu tiang), 8. M.P.Sepena, 9. L.Labaro.



31



Tim Penemu Tiang Rumah dan Rumpun Pohon Sagu



Foto Tiang Rumah abad XV



32



Menurut Santona Tamu'u10 mengatakan bahwa perjalanan suku Padoe ke Selatan dipimpin oleh Singka Liwu ayah dari Saliwu, melalui hutan rimba, gunung dan lembah, sungai melewati Gunung Takolekaju dan akhirnya tiba di Tawi Baru. Di Tawi Baru suku Padoe mengalami perlakuan yang kurang baik dengan penduduk Tawi Baru. Dan selanjutnya mereka ke Koroncia dekat Mangkutana, terakhir mereka tiba di Lakarai (Cerekang), Tampina dan Angkona sekitar tahum 1600. Berdasarkan sejarah perjalanan migran sekelompok suku Padoe dari Lakarai Sulawesi Selatan sekitar abad XlI sampai dengan abad XIV, menuju ke Kanta dan Kayaka Mori Atas Sulawesi Tengah. Setelah suku Padoe selama ratusan tahun berada di Kanta dan Kayaka, terjadi Peristiwa peperangan antara suku Padoe dengan orang Pamona di Kanta dan Kayaka, sehingga mereka mengundurkan diri ke Selatan dan kembali ke Lakarai, bergabung dengan keluarga besar Suku Padoe saudara lama sebelum berpisah memang sudah ada di sana.Selama perjalanan itu Saliwu diperkirakan lahir di Koroncia pada tahun 1590. 4. PERISTIWA TAWI BARU Setiba suku Padoe di Tawi Baru, suku Padoe bertemu dengan penduduk Tawi Baru, yang bernama To Lampu , suku Bare'e pedalaman. Pada mulanya suku Padoe merasa aman bergaul dengan Suku Bare'e ini.Sehingga suku Padoe menanam sagu di pinggir Sungai Maliwongi. Kehidupan suku Padoe di tempat ini belum begitu baik, dibandingkan dengan kehidupan To Bare'e. Sedangkan yang mengatur Tata Hukum dan Tata Hidup agama suku, sangat berbeda dengan To Bare'e. Suku Padoe dipimpin oleh seorang koordinator yang bernama Singka Liwu. Akhirnya pergaulan hidup berujung saling mencurigai, bahkan sampai saling menyerang kecil-kecilan. Untuk menghindari hubungan tegang yang lebih parah, maka koordinator memerintahkan suku Padoe untuk meneruskan perjalanan menuju Lakarai. 10



Santona Tamu'u, Sejarah Suku Padoe, tahun 2007, h.3 33



5. KORONCIA Karena perjalanan cukup melelahkan melalui hutan rimba, naik turun gunung dan lembah di pegunungan Takolekaju dan jaraknya yang cukup jauh maka rombongan suku Padoe memutuskan singgah di Koroncia dekat Mangkutana. Rombongan suku Padoe menetap di Koroncia, sambil berkebun, menanam tanaman jangka pendek untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka tinggal sekian lama, untuk memulihkan kesehatan dan kelelahan mereka dari perjalanan panjang, lama dan melelahkan dari Kayaka-Tawi Baru dan tiba di Koroncia. Diperkirakan perjalanan masih sepertiga perjalanan lagi sampai di Lakarai. Perjalanan suku Padoe dibagi menjadi tiga etafe. Pertama, Kayaka-Tawi Baru, Kedua, Tawi Baru - Koroncia dan ketiga, Koroncia-Lakarai. Pada waktu suku Padoe di Koroncia. Saliwu lahir diperkirakan tahun 1590.Setelah Saliwu berumur lima tahun baru suku Padoe melanjutkan perjalanan ke Lakarai dan tiba di Lakarai tahun 1600. Mereka tiba di Lakarai dan di daerah Angkona sekarang. Semua kegiatan diatur oleh Koordinator, sehingga dapat dilihat dan dirasakan oleh pengikutnya. Karena keberhasilan tersebut memberikan kegembiraan yang luar biasa kepada pengikutnya. Umur Saliwu pada waktu itu sekitar tiga puluh tahun dan telah mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pembinaan dari ayahnya yang bernama Singka Liwu di Lakarai. Karena kehebatan dan keperkasaan Saliwu sehingga mereka memberi gelar yang tidak resmi kepada Saliwu sebagai Mokole Ntii. Hal tersebut terdengar sampai ke Datu Luwu di Palopo. Istilah Mokole Ntii (dari kayangan) lebih tinggi dari Raja di dunia. Datu Luwu marah dan memanggil Saliwu menghadap di Palopo. 6. LAKARAI Kampung Lakarai, sekarang namanya Cerekang sangat penting posisinya dalam keberadaan dan perjalanan suku Padoe, karena menyimpan sejarah suku Padoe:



34



1. Antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi, suku Padoe sudah berada di segitiga Ussu-Cerekang (Lakarai)-Bukit Punsi Mewuni, Tana Luwu, pra Kedatuan Luwu. 2. Karena daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni sudah padat maka sekelompok suku Padoe, migran dari Lakarai ke Kanta dan Kayaka dekat Tomata Mori Atas Sulawesi Tengah. Tetapi karena peristiwa perang Suku Padoe dengan orang Pamona di Kanta dan Kayaka, maka suku Padoe mengundurkan diri kembali lagi ke Lakarai bergabung dengan keluarga besar suku Padoe saudara lama yang sudah ada dan sudah menyebar ke daerah sekitarnya. 3. Sebagian besar Suku Padoe, tetap berada di Lakarai dan sekitarnya menjadi suku penyanggah kerajaan To ManurungE yang dipimpin Batara Guru Ware I dan Batara Lattu Ware II. Batara Lattu II menata kembali



kerajaan,



pertama,



menetapkan



Ussu



sebagai



pusat



pemerintahan dan Lakarai (Cerekang) dijadikan pusat keagamaan. Kedua, Lakarai sebagai daerah keramat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, kecuali para santri, Pemerintah, dan orang-orang yang ditunjuk untuk memelihara lingkungan, ketiga, menetapkan batas-batas pemerintahan Ware I yaitu sampai di Kolaka dan sampai di Poso. Ware II berpusat di Wotu dan istananya di Bukit Lampenai. 4. Saliwu dipanggil dari Lakarai oleh Datu Luwu Pattipasaung ke Palopo karena Datu Luwu marah sebab Saliwu dielu-elukan sebagai Mokole Ntii. Setelah selesai diadili dan berhasil Saliwu memotong pohon Langkanae dengan pedangnya sendiri sekali tebas, kemudian Saliwu pulang kembali ke Lakarai 5. Saliwu membawa rakyat, rombongan/pasukan Suku Padoe dari Lakarai, ke Matanggoa kemudian terus ke Kawata. Selanjutnya dari Kawata ke arah Timur mulai dari, Lasulawai, Wasuponda, Togo, Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula, Matompi,



Timampu,



Petea'a,



Lere'ea,



Lengkobale, Lo'eha dan Larona.



35



Epe,



Bea'u,



Lambatu,



7. PERISTIWA PALOPO Pada saat Saliwu berada di Lakarai, Saliwu dielu-elukan rakyatnya sebagai Mokole Ntii. Berita itu terdengar oleh Datu Luwu Pattipasaung di Palopo. Karena itu Datu Pattipasaung marah lalu memanggil Saliwu menghadap Datu Pattipasaung di Palopo sekitar tahun 1620. Pada saat itu pemerintahan Raja Pattipasaung (1615-1637) Raja Pattipasaung, memindahkan ibu kota kerajaan Luwu dari Malangke ke Palopo tahun 1619. Menurut Seketi Samuda11, Saliwu memenuhi panggilan Datu Luwu di Palopo, dan ditemani Lamara tiba di Palopo, kemudian menghadap Datu Luwu tahun 1622. Saliwu menghadapi persidangan berat mengenai kedudukannya sebagai Mokole Ntii. Saliwu diancam hukuman berat dan divonis hukuman mati. Saliwu minta keringanan tapi ditolak. Kemudian Saliwu minta grasi, tetapi tetap tidak diterima Datu Luwu, kecuali jika Saliwu dapat memotong pohon kayu besar (Langkanae) di halaman Istana Datu Luwu di Palopo sekali tebas dengan pedangnya sendiri, maka Saliwu tidak akan dihukum mati. Kalau begitu Saliwu terima tapi mohon diberikan waktu sembilan hari. Bahasa Padoenya: Moiko kaa au tai pinepate bau impahio kau langkanae ako owumu pihe kaa. Sumangki ai Saliwu moiko kanggo ai poweaku tempo osio olo. Setelah itu Saliwu mulai hari pertama sampai dengan hari ke sembilan momomaani mengelilingi pohon langkanae. Dan pada hari kesembilan pohon langkanae terlihat besarnya seperti dui kemudian Saliwu memotong pohon langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri, pohon tumbang dan Saliwu berhasil dan menang. Keadaan dan situasi ini menggemparkan Kedatuan Luwu di Palopo. Kedatuan Luwu mengadakan sidang luar biasa, karena kematian berubah menjadi kehidupan. Sidang luar biasa dipimpin langsung oleh Datu Luwu Pattipasaung di Palopo dan dihadiri oleh: 11



Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007,h.2-3 36



1. Opu Patundrung, yang mewakili raja dalam menjalankan kebijakan umum 2. Opu Tomarilalang, yang mengurus segala keperluan istana. 3. Opu Pabicara yang menegakkan keadilan. 4. Opu Balirante, yang mengatur sendi-sendi kesejahteraan rakyat, memegang



kendali



Pemerintahan



Rakyat,



memegang



kendali



Pemerintahan di daerah pelosok, dibantu oleh Kepala Wilayah dengan hak otonomi yang disebut Anak TelluE yakni Madika Porang, Madika Bua, dan Madika Baebunta. Madika Bua ditunjuk sebagai koordinator. 5. Opu Mincara. Keputusan Sidang luar biasa : 1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi. 2. Saliwu dengan orang-orangnya diterima oleh Datu Luwu dan rakyatnya sebagai sahabat dari jauh (To Belae). 3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di sebelah Timur Daerah Luwu. 4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole Motaha Ngangano. Setelah kesemuanya selesai, Saliwu dengan Lamara, pulang dari Palopo tahun 1622 ke Lakarai, dan tiba di Lakarai tahun 1624. Dalam perjalanan pulang ini mereka singgah di Masamba. Mereka tidak



dengan



sengaja



bertemu



dengan



orang



Rongkong



tahun



1623.Mereka dicurigai orang Rongkong tentang keberadaan mereka, setelah Mokole Saliwu menceritakan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, kemudian orang Rongkong paham dan mengerti, malah sebaliknya orang Rongkong meminta kepada Mokole Saliwu, untuk bergabung bersama dua puluh orang Rongkong lainnya. Usul orang Rongkong itu diterima Mokole Saliwu. Dalam perkembangannya orang Rongkong kemudian ditempatkan Mokole Saliwu di daerah Balambano sebagai tempat permukiman. Setiba Saliwu di Lakarai tahun 1624, Mokole Saliwu mengambil 37



keputusan untuk membawa rombongan/pasukan suku Padoe ke sebelah Timur Daerah Luwu, sesuai dengan perintah Datu Luwu pada waktu Saliwu berada di Palopo. Mokole Saliwu akan membawa rakyatnya, rombongan/pasukannya ke suatu daerah yang terbentang dari Kawata sampai ke danau Towuti yang belum padat penduduknya. Untuk persiapan migran ke tempat tersebut Mokole Saliwu memilih dan menyiapkan 400 orang tenaga yang kuat bersama keluarganya untuk bersama-sama pindah ke Kawata.12 Dari perjalanan tersebut Mokole Saliwu membawa rombongan/ pasukan dari Lakarai ke Matanggoa tiba tahun 1626 untuk mengadakan pertemuan dengan seluruh rakyat dari kampung-kampung suku Padoe untuk membicarakan masa depan, wilayah dan strategi yang dipakai sebagai pedoman untuk perjalanan selanjutnya ke Kawata dan daerahdaerah lain disebelah Timur Daerah Luwu. 8. MATANGGOA Mokole/Tadulako Saliwu mengumpulkan suku Padoe di Matanggoa tahun 1629 yang letaknya antara Malili dengan Ussu. Mereka mengadakan pertemuan dan berdiskusi tentang masa depan dan wilayah mereka, dan menyepakati nama suku adalah suku Padoe, tidak boleh yang lain, tidak boleh memisahkan diri dan membentuk suku sendiri. Tidak boleh melepaskan diri dari pimpinan Mokole/Tadulako Saliwu. Pertemuan dihadiri oleh suku Padoe dari Lakarai (Cerekang), Angkona, Pabeta, Ussu, Malili, Kore-Korea, Laro'eha dan Kawata. Menurut Santona Tamu'u13, mereka mengadakan pertemuan di Matanggoa, dengan keputusan: Yang pertama, mengenai Suku Padoe 1. Nama suku yang di bawah pimpinan Mokole/Tadulako Saliwu bernama suku Padoe (To Padoe). 2. Di manapun mereka mendirikan kampung, biarpun terpisah-pisah tetapi tetap satu bernama suku Padoe (To Padoe), karena nama berfungsi 12 13



Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007, h.3 . Santona Tamu'u Sejarah Suku Padoe, thn 2007, h.3 38



sebagai alat pemersatu. 3. Mokole Saliwu, ditetapkan merangkap sebagai Tadulako (Panglima Perang) suku Padoe. Yang kedua, mengenai pembagian kelompok/pasukan. Mokole/Tadulako Saliwu, membagi suku Padoe yang ada di Matanggoa, menjadi empat kelompok/pasukan: Kelompok/Pasukan I



:



Dipimpin/Komandan oleh Saliwu merangkap Koordinator semua kelompok / pasukan.



Kelompok/Pasukan II



:



Dipimpin/ Komandan oleh Paerako.



Kelompok/Pasukan III



:



Dipimpin / Komandan oleh Kalende.



Kelompok/Pasukan IV :



Dipimpin / Komandan oleh Nggalene



Mokole/Tadulako Saliwu, meminta kepada pimpinan kelompok menemaninya mengadakan penelitian dan survey ke daerah - daerah antara Kawata sampai dengan Danau Tuwuti, untuk mencari tempat yang baik dan subur untuk pertanian dan strategis untuk pertahanan dan keamanan. Mokole/Tadulako Saliwu membawa kelompok/pasukannya ke daerah Kawata dan mendirikan benteng pertahanan di Wawo Une. Paerako,



membawa



kelompok/pasukannya



ke



daerah



Togo,



dan



mendirikan benteng pertahanan di Bukit Amasi. Kalende, membawa kelompok/pasukannya ke daerah Tabarano, dengan mendirikan benteng pertahanan di Bukit Umodo dan di Bukit Wawontamba. Nggalene membawa



kelompok/pasukannya



ke



daerah



mendirikan benteng pertahanan di Bukit Langkea.



39



Wawondula,



dengan



Mokole / Tadulako Saliwu



40



9. KAWATA Setelah suku Padoe mengadakan pertemuan di Matanggoa tahun 1629



dengan



membuat



keputusan



strategis



mereka



melanjutkan



perjalanan tahun 1631 ke Kawata, dan tiba tahun 1632 di Kawata. Di Wawo Une Kawata mereka mengadakan pertemuan, sebelum bergerak selanjutnya dengan keputusan: a. Mokole Saliwu ditetapkan menjadi Panglima Perang disebut Tadulako, untuk seluruh orang Padoe. b. Tariondo,



ditunjuk



sebagai



Sulia,



yang



memegang



semua



aturan/Gau/Hukum Adat dan Gaumpesomba Lahumoa (agama suku) pada saat itu. c. Para, ditunjuk menjadi Mia Mohola. d. Lagampi, ditunjuk menjadi Pongkiari. e. Mencari tempat- tempat yang strategis. Kawata merupakan kampung Padoe yang pertama dan sekaligus sebagai Ibu kota Pertama. Suku Padoe membangun dan mengatur Kawata menjadi kampung besar, padat dan ramai serta teratur. Saliwu menjadi Mokole dan sekaligus sebagai Tadulako (Panglima Perang), pembangunan selesai tahun 1637. Daerah kekuasaannya dari Kawata sampai ke Danau Towuti. Setelah sekian lama di Kawata, Suku Padoe bergerak ke arah Lembo Weula/dataran tinggi Weula, tahun 1637 yang sekarang ini disebut Wasuponda. Dalam perjalanan ini mereka memakai petunjuk sesuai dengan keputusan bersama di Matanggoa dan hasil penelitian serta survey yang telah dilakukan. 10. LEMBO WEULA Setelah pertemuan dan pembangunan Kawata selesai, maka perjalanan rombongan dan pasukan suku Padoe tahun 1637 ke daerah Lembo Weula dan dataran tinggi Weula, di daerah Wasuponda dan sekitarnya sekarang ini. Lembo Weula berasal dari kata Lembo artinya tanah rata dan



41



Weula artinya orang Weula. Lembo Weula terkenal karena daerah ini sebagai pusat kemokolean Weula masa silam. Orang Weula ini berasal dari Tolaki Sulawesi Tenggara. Sifatnya sangat bengis, jahat dan suka berperang. Mereka migran secara berkelompok dan bersenjata. Akhir sejarahnya, di mana-mana mereka tercerai berai, lemah dan kalah perang, sehingga punah. Mokole/Tadulako Saliwu menghadap Mokole Weula bernama TeiTei tahun 1640 di Konda-Kondara untuk meminta agar Mokole Weula mengizinkan rakyat Saliwu, bermukim di wilayah orang Weula, serta mencari penghidupan dengan menggarap tanah pertanian, memelihara ternak dan mengambil hasil hutan. Mokole Weula meminta kepada Mokole/Tadulako Saliwu, agar Mokole/Tadulako Saliwu mencari sendiri tempat, supaya sesuai dengan keinginan, tetapi harus membayar upeti (inda wute). Mokole/Tadulako Saliwu menyatakan persetujuannya, maka terjadilah kesepakatan antara kedua Mokole. Persetujuan bersama 10% untuk pemilik tanah (orang Weula) dan 90% untuk penggarap tanah (suku Padoe). Kemudian



pada



tahun



1642



Mokole/Tadulako



Saliwu



dan



kelompok/pasukannya mengadakan penelitian dan survey wilayah dipimpin Mokole/Tadulako Saliwu yang tetap tinggal di Kawata. Sedangkan kelompok yang dipimpin Paerako bermukim di Bukit Amasi Togo, kelompok yang dipimpin Kalende bermukim di Bukit Umudo dan di Bukit Wawontamba Tabarano, sedangkan kelompok yang dipimpin Npgalene bermukim di Bukit Langkea Wawondula. Setelah ada hasil penelitian dan survey lokasi, suku Padoe mulai menempati tempat-tempat yang subur dan strategis kemudian mulai menanam tanaman dan mengolah pertanian sehingga mulai berproduksi sekitar tahun 1646. Menurut Sipantu Larobu14 orang Weula dan suku Padoe hidup berdampingan selama lima tahun dan membayar upeti secara teratur, 14



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, tahun 1982.h.2 42



tetapi kemudian hubungan tidak baik karena kecemburuan, dan kejahatan orang Weula terhadap suku Padoe berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengingkari kesepakatan antara Mokole/Tadulako Saliwu dengan Mokole Weula di Konda-Kondara yaitu suku Padoe membayar upeti (Inda Wute) kepada Mokole Weula 10% dari penghasilan, Mokole Weula menaikkan secara sepihak menjadi 50% 2. Kalau suku Padoe mengambil kayu atau rotan di hutan harus dibagi dua, sebelah disimpan untuk orang Weula dan sebelah dibawa pulang suku Padoe. 3. Kalau suku Padoe berburu, maka buruan yang didapat harus dibagi dua antara orang Weula dengan suku Padoe 4. Kalau binatang buruan suku Padoe lari dan mati, di wilayah orang Weula, buruan itu menjadi milik orang Weula. 5. Kalau orang Weula meletakkan tongkatnya melintang di jalan yang sering diialui suku Padoe, dan kalau tongkat itu dilangkahi suku Padoe, maka suku Padoe itu dipukuii dan barang yang dibawanya dirampas orang Weula. Berdasarkan perbuatan tersebut, terjadilah Perang antara suku Padoe dengan orang Weula sekitar tahun 1651, yang dimenangkan suku Padoe.Orang Weula kalah dan punah, dan semua tanah Weula di Lembo Weula dan di dataran tinggi Weula dikuasai oleh suku Padoe. 11. WAWONDULA, LIOKA DAN MATOMPI Menurut Seketi Samuda15 mengatakan bahwa kemokolean kecil Weula terdiri dari kemokolean Andomo merupakan kemokolean palili dari kemokolean Weula di Lembo Weula. Kemokolean Lewehuko, di bawah kemokolean Andomo. Kemokolean Tulambatu di bawah kemokolean Kuasi, dan Kemokolean Kuasi. Mereka diserang oleh suku Padoe dari Wawondula 15



Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe, Tahun 2007 43



yang dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu sekitar tahun 1700. Peperangan dimenangkan oleh suku Padoe. Banyak orang Weula yang mati, sisanya ditawan dan Mokolenya dikirim ke Ternate (atas permintaan Mokole tersebut) Dengan kemenangan ini seluruh tanah orang Weula di daerah Lioka, Wawondula, Matompi sampai dengan separuh Danau Towuti dikuasai oleh suku Padoe 12. TABARANO Menurut penutur lokal mengatakan bahwa Tabarano berasal dari kata Tebora yang artinya terbelah, hal tersebut terjadi karena peristiwa goncangan gempa bumi yang dahsyat, sehingga di daerah tersebut terbelah dua, kemudian air dari danau ( rano ) Wasuponda mengalir keluar, melalui tanah yang terbelah sehingga airnya mengering. Pada akhirnya daerah yang tanahnya terbelah tersebut disebut Tabarano. Menurut Malupu Meoko dan Laribu Meoko, menuturkan bahwa dahulu hampir tiap hari masyarakat di Bukit Wawontamba, mencuci daging Anoang di kali yang mengalir ke arah Halu Morini (Tabarano sekarang), dan terus mengalir ke Rano (rawa berbentuk danau) di sekitarnya. Di atas air yang ada di Rano, banyak Taba yang mengambang.



Dari



kata



Taba



dan



Rano



akhirnya



menjadi



Tabarano.Kemudian tempat tersebut disebut Tabarano. Sebelumnya tempat tersebut bernama Halu Morini (air pancuran yang dingin), kemudian berubah namanya menjadi Tabarano. Pemerintah Hindia Belanda, mengganti Mokole Andi Halu tahun 1927 dengan Mokole Lasemba Malotu sebagai Mokole Kerajaan Nuha. Mokole Andi Halu telah memerintah sebagai Mokole Kerajaan Nuha berpusat di Sorowako kemudian pindah ke Timampu. Mokole Andi Halu berkuasa dari tahun 1905 - 1927. Setelah pergantian Mokole dari Mokole Andi Halu kepada Mokole Lasemba Malotu, kemudian ibukota Kerajaan Nuha dipindahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Timampu ke Tabarano. Mokole Lasemba Malotu dibantu oleh Sulewatang Sangkedapo Tengkano yang



44



dilantik sejak tahun 1925. Beliau pernah dialihtugaskan menjadi Mantri Pertanian untuk mengisi kekosongan pada saat itu maka jabatan Sulewatang dipegang oleh Mompe Bokilo. Ketika Mompe Bokilo berhenti, maka jabatan Sulewatang dipegang kembali oleh Sangkedapo Tengkano. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari terutama pemungutan pajak masyarakat, Mokole dibantu pula oleh Kepala Kampung Tomange Manule, setelah berhenti diganti oleh Landangi Meoko. Pada tahun 1950, Mokole Lasemba Malotu, dibunuh pada peristiwa pemberontakan DI/TII. Selanjutnya diganti oleh putranya Tinampa Malotu.yang memerintah dari 1950 -1953. Pada tahun 1953, Tinampa Malotu dibunuh pada peritiwa DI/TII. Selanjutnya diganti oleh Mesa Mariesa. Setelah pemerintahan Distrik Nuha dipusatkan di Tabarano, maka seluruh kegiatan pemerintahan berlangsung di tempat ini. Kampung Tabarano menjadi pusat administrasi Distrik, yang menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. Selain itu menyelesaikan perkara tingkat lokal. Tetapi apabila tidak bisa diselesaikan di tingkat Distrik, maka proses penyelesaian lanjutan akan dilakukan di Malili, sebagai pusat Onder Afdeling. Di Malili seluruh keputusan final tentang perkara peradilan dan sanksi hukum diputuskan. Untuk kelancaran komunikasi, maka Tabarano satu-satunya kampung di Distrik Nuha yang memiliki sambungan telpon langsung dari Malili dan dari Makassar. Pada waktu perubahan pemerintahan menjadi Kecamatan Nuha maka Tabarano, tetap menjadi Ibu kota Kecamatan Nuha. Dan setelah berbagai pertimbangan maka Kecamatan Nuha dipindahkan dari Tabarano ke Wasuponda. Dahulu Tabarano selain pusat Pemerintahan tingkat Distrik juga sebagai pusat pendidikan dan adat, budaya serta kesenian.



Sering



dilaksanakan



perlombaan



musik



bambu



dan



perlombaan permainan tradisional. Pada saat itu Sekolah Rakyat tingkat kelas Empat sampai dengan kelas Enam yang terkenal disebut Sekolah Sambungan, hanya ada di Tabarano, di tempat lain hanya ada kelas Satu sampai dengan kelas Tiga Sekolah Rakyat.



45



Dahulu kampung Tabarano sangat ramai dan padat karena kedudukannya sebagai ibukota Kerajaan Nuha kemudian menjadi Distrik Nuha pada waktu itu. 13. WASUPONDA. Wasuponda berasal dari kata Wasu dan Ponda (bahasa Padoe).Di tempat itu ada batu besar dan di atasnya tumbuh nenas. Biarpun tidak ada tanah di atas batu, tetapi nenas tetap tumbuh baik musim panas maupun



musim



hujan.



Akhirnya



kampung



tersebut



dinamakan



Wasuponda. Artinya nenas yang tumbuh di atas batu yang besar. Nenas yang tumbuh diatas batu tersebut, sudah menjadi ikon budaya bagi Suku Padoe di Wasuponda. Wasuponda pada mulanya berasal dari Danau yang luas dan dalam yang luasnya hampir sama dengan Danau Maholona. Danau tersebut menjadi kering, karena peristiwa gempa bumi yang sangat dahsyat, sehingga danau menjadi kering karena airnya keluar melalui tanah yang terbelah dan runtuh, sehingga menjadi suatu dataran yang luas, yang dalam bahasa Padoe disebut Lembo. Menurut penutur lokal, ketika gempa bumi terjadi sangat dahsyat sehingga mengakibatkan orang-orang yang duduk muntah-muntah karena bumi bergoncang sangat dahsyat. Gunung yang ada disekitar daerah tersebut berguncang-guncang, sehingga batu-batu dari gunung berjatuhan



dan



berhamburan.



Begitupun



pepohonan



tumbang



bergelimpangan. Akibatnya gunung dekat Mohainga bergoyang-goyang dan berbunyi, akhirnya gunung tersebut dinamakan Gunung Ledu-Ledu, yang artinya berguncang-guncang. Peristiwa gempa itu mengakibatkan air danau Wasuponda keluar melalui tiga jurusan. Pertama melalui tanah terbelah di Tabarano, kedua melalui tanah yang runtuh di Tawaki Togo, ketiga, melalui tanah yang runtuh di Tete Beta (wute tebeta), yang artinya tanah yang runtuh. Setelah peristiwa itu Danau Wasuponda kering dan berubah menjadi dataran rendah yang rata (Lembo) dan dataran tinggi



46



yang luas. Orang yang pertama menduduki wilayah tersebut adalah orang Weula, sehingga tempat tersebut terkenal dengan nama Lembo Weula/dataran



tinggi



Weula.



Kemudian



tempat



tersebut



disebut



Wasuponda. Lembo Weula/dataran tinggi Weula, merupakan pusat permukiman orang Weula yang luas dan tempat peperangan antara suku Padoe melawan orang Weula yang pertama. Orang Weula kalah dan punah dan seluruh tanah orang Weula di Lembo Weula dan dataran tinggi Weula dikuasai Suku Padoe. Wasuponda kemudian menjadi ibu kota Kecamatan Nuha, pindahan dari Tabarano. Seiring dengan perkembangan pemerintahan Luwu Timur, kemudian Wasuponda menjadi Ibu kota Kecamatan Wasuponda sampai sekarang. 14. KERAJAAN LUWU Menurut Sipantu Larobu16, pada abad XVIII terjadi peperangan antara Baebunta, Larompong dan Malangke, melawan Kerajaan Luwu, karena kerajaan Luwu mau mengadakan ekspansi ke Pamona Poso dihalangi oleh Baebunta, Larompong dan Malangke. Suku Padoe dengan kekuatan pasukan 1000 orang yang dipimpin Panglima Perang Nike anak dari Mokole Saliwu, membantu kerajaan Luwu, atas permintaan kerajaan Luwu, untuk berperang melawan Baebunta, Malangke dan Larompong. Berkat bantuan suku Padoe tersebut., perang dimenangkan oleh Kerajaan Luwu. 15. KERAJAAN MATANO Pada tahun 1700 Datu Luwu menugaskan anaknya yang bernama Andi Opu untuk menjadi Raja di daerah Padoe wilayah Matano Nuha Sulawesi Selatan. Wilayah Matano telah dikuasai suku Padoe pada tahun 1600-an. Sedangkan sebelum tahun 1600-an Wilayah Matano dikuasai 16



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.11 47



oleh orang ToLaki dari Kerajaan Lelewawo dan Kerajaan Kendari. Raja Andi Opu memilih tempat dan membangun rumah kediaman yang diberi nama Rahampu'u yang artinya rumah pertama. Raja Andi Opu tinggal di rumah Rahampu'u sebagai istana Raja bersama budaknya orang Bugis. Kebiasaan orang Padoe di tempat itu, setiap selesai panen, selalu membuat pesta Padungku, yang upacaranya harus diadakan di Bantaea (langkanae ). Tetapi pesta belum bisa dilangsungkan sebelum ada kepala orang musuh yang diambil sebagai dasar pesta. Pada suatu waktu suku Padoe pergi monga'e (memenggal kepala) di kampung Ronta Mori, lalu mengambil satu kepala yang dipenggal mati, dan seorang gadis yang bernama Wenamba dibawa hidup-hidup, kemudian.



baru



pesta



padungku



dilaksanakan.



Gadis



Wenamba



ditempatkan di Subario, di antara kampung Sorowako dengan kampung Matano. Kemudian Wenamba kawin dengan suku Padoe bernama Tarampu'u dan anak pertama mereka bernama Mbe'ae. Pada tahun 1800, penduduk makin bertambah banyak karena ada tambahan penduduk dari Mori yaitu To Karunsi'e dan To Tambee. Raja memerintahkan kepada rakyatnya untuk mengumpulkan beras. Untuk kepentingan Raja, mereka bergotong royong berkebun menanam padi. Setelah selesai panen, dan padi sudah kering, rakyat bergotong royong kembali mengumpulkan bahan bangunan untuk membangun



lumbung



tempat



padi



tersebut



(si'e/tuo’ra)



dengan



pembagian tugas: To Karunsi'e, bertugas mengambil tiang lumbung (karu) To Tambee, bertugas mengambil gelagar lumbung (tambei) To Padoe, bertugas mengambil tiang penyanggah lumbung (salambei) Setelah semua bahan bangunan terkumpul, kemudian lumbung dibangun secara bergotong royong dan menyimpan padi di lumbung. Suatu keajaiban yang pernah terjadi di rumah Andi Opu Rahampu'u Matano pada tahun 1800, pada waktu Raja Andi Opu memerintahkan rakyat (masyarakat) suku Padoe, agar setiap rumah



48



tangga mengumpulkan potongan-potongan besi dan diisi pada tiga keranjang besar (landaka), sampai penuh dan diletakkan diatas lantai. Pada waktu Raja Andi Opu bangun pagi, Raja kaget, karena melihat tiga pucuk senjata besar tergeletak di atas lantai, sedangkan tiga keranjang besar yang berisi potongan-potongan besi lenyap (sudah tidak ada lagi). . Nama-nama tiga pucuk senjata besar itu ialah: 1 Tanduwo'a, untuk suku Padoe di Selatan. 2. Lagulandi, untuk Raja Marunduh dibawa ke Mori. 3.Toringgoko, untuk anak Raja Andi Opu yang menjadi Raja di Kendari, Pada pemerintahan Hindia Belanda, Andi Halu diangkat sebagai Mokole Kerajaan Nuha tahun 1905,berkedudukan di Sorowako. Kemudian digantikan oleh Mokole Lasemba Malotu pada tahun 1927. Mokole Lasemba Malotu berakhir tahun 1950. Selain sebagai Mokole, Lasemba Malotu juga melakukan tugas sebagai Kepala Distrik, dibantu oleh seorang Sulewatang, yang berfungsi sebagai Wakil Kepala Distrik yang bernama Sangkedapo Tengkano. lbukota Kerajaan Nuha pertama di Sorowako, kemudian dipindahkan ke Timampu pada saat Mokole Andi Halu berkuasa. Pada saat Pemerintahan Mokole Lasemba Malotu, Ibukota Kerajaan Nuha dipindahkan Hindia Belanda ke Tabarano. Setelah perubahan Pemerintahan, Kerajaan Nuha berubah menjadi Distrik Nuha berkedudukan di Tabarano. Kemudian dengan perubahan pemerintahan selanjutnya



Distrik



Nuha



menjadi



Kecamatan



Nuha.



Dengan



pertimbangan tertentu melalui musyawarah, Ibukota Kecamatan Nuha dipindahkan dari Tabarano ke Wasuponda. 16. PENDUDUKAN WILAYAH Menurut Johan Kruyt17 tahun 1924, mengadakan penelitian mengenai suku-suku yang ada di seluruh Mori, dengan membagi Mori De Merenstreek van Malili. Tenslotte widen we in het derde gebiedivier stammen wonen. Aan den oever van het Matano meer wonen de To Matano. Het noordelijkste deel van dit gebied bezetten de To Tambee, deze zijn geheel dezelfde menschen als de zooeven genoemde To Oeloe Oewoi, zij zijn echter naar het zuiden uit de bergen getogen, de laatstgenoem den near het oosten. De To Karoensi’e bewonen de hooge bergen, die aan den zuidwestelijken oever van het Matano - meer liggen, terwijihet woongebied der To Padoe zich van de Weoela vlakte tot aan het Towoeti - meer uitstrekt Terdapat dalam buku "De Mories van Tinompo (Oostelijk Midden Celebes) hal.35 17



49



menjadi tiga kawasan yaitu Mori bawah, Mori Atas dan Mori Selatan (sekitar Danau Matano). Menurut Johan Kruyt, menyatakan bahwa ada empat suku yang mendiami kawasan Matano: Yaitu pertama, suku Matano, yang mendiami daerah pinggir danau Matano. Kedua, suku Tambee, yang mendiami daerah Barat Laut Danau Matano, ketiga, suku Karunsi'e yang mendiami atas gunung daerah Selatan Danau Matano, Keempat, Suku Padoe, yang mendiami daerah Lembo Weula, sampai dengan Danau Towuti. Hal tersebut diketahui pula dalam buku tulisan terjemahan W.F.Taroreh18 tahun 1992. Menurut Seketi Samuda19 dan Masi Langguna20, Suku Matano, migran dari Tinompo, Ngusumbatu Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Suku Tambee, migran dari Ulu Uwoi, Undoro, Dolupo, Poona, Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Suku Karunsi'e, migran dari Mobahono, Lintumewure, Ulu Anso, Kumpi Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Sedangkan Suku Padoe migran dari Lakarai (Cerekang) yaitu daerah segitiga UssuCerekang-Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan ke daerah Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVI.



Daerah danau Malili. Akhimya kita mendapati empat suku yang mendiami kawasan yang ke tiga ini. Di tepi danau Matano, terdapat suku To Matano. Di bagian paling utara kawasan ini, bermukim suku To Tambee, mereka ini sama asal usulnya dengan suku To Ulu Uwoi, hanya saja mereka berpindah ke arah selatan dari pegunungan, yang tersebut akhir berpindah ke arah Timur. Suku To Karunsi'e menghuni pegunungan yang tinggi terletak pada tepi Selatan Barat Daya danau Matano. Sedang suku To Padoe mendiami dataran yang terbentang dari dataran weula sampai danau Towuti. Terdapat dalam buku Himpunan bahan tentang negeri dan kepahlawanan rakyat Mori Sulawesi Tengah melawan penjajahan. 19 Seketi Samuda, Asal Usui Suku Mori Padoe, tahun 2007,h.11. 20 Masi Langguna, Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu, tahun 1998,h. 11 18



50



Peta wilayah Suku Matano, Suku Tambee, Suku Karunsi’e, Suku Padoe di Kawasan Matano oleh Johan Kruyt, 1924



51



BAB III FAKTA SEJARAH 1. USSU Ussu terletak sekitar 10 km dari kota Malili. Terkenal akan posisi istimewanya dalam Epik I La Galigo, dan kedudukan magisnya bagi penguasa Luwu (REID 1990 :108) sebagai pusat nyata Luwu (BULBECK dan PRASETYO 1997). Lokasinya berada di dasar kaki Bukit di pedalaman di mana sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi sungai Malili. Survai sebelumnya (BULBECK 1995) mengidentifikasikan bahwa Tamalipa (daerah Keramat) yang membentang di kedua sisi sungai Ussu, begitu meninggalkan kaki Bukit adalah Pusat Ussu Lama. Usu merupakan tempat permukiman awal dibuktikan dengan artefak pekuburan islam tua dan serpih keramik. Menurut tutur lokal mengatakan bahwa kampung Ussu masa sekarang, dulu adalah pelabuhan merupakan terminal bagi perdagangan hulu dan hilir sungai Ussu, sebab sungai ini lumayan lebarnya, Ussu terkenal karena tempat suku Padoe yang mula-mula berada yang tercakup daiam segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni dalam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi. Di Desa Ussu, terdapat satu pertigaan (simpang tiga), di mana di tempat itu ada peristiwa sejarah yang dialami suku Padoe pada tahun 1946, ratusan pemuda dari berbagai kampung termasuk pemuda-pemuda Padoe dari Distrik Nuha berkumpul di sekitar jembatan yang terletak di simpang tiga Ussu, untuk menghadang Tentara Belanda (NICA) yang ingin berkuasa lagi di Indonesia. Gerakan ini disebut Gerakan merah putih. Pada tahun 1954, penduduk Distrik Nuha yang terdiri suku Padoe, Karunsi'e, Tambee dan Iain-Iain, karena ada pergolakan DI/TII, mengungsi, ke Malili dan ditempatkan di Malaulu sekitar 5 km sebelah Selatan Ussu, atas bantuan Tentara Brawijaya.



52



2. CEREKANG Cerekang masa sekarang berbatasan dengan sederetan tempattempat keramat, hutan primer hingga sekunder, yang berasosiasi dengan peristiwa dalam epik I LA GALIGO, (CALDWELL, 1993, 1994) perhatiannya tertarik tentang bagaimana Sungai Cerekang dapat dilayari kapal besar ke hulu hingga Bukit Pensimoni, di mana Sawerigading turun dari langit, menurut kepercayaan lokal, dan diduga bahwa bukit ini adalah sebuah bukit alami, sebuah tempat terlindung dengan baik untuk mengadakan perdagangan dengan orang dari seberang laut, dan dengan dataran-dataran tinggi di belakang Cerekang. Di Cerekang sampai sekarang masih dijumpai adanya tradisi yang bercitra Hindu-Budha yang dicirikan adanya kepercayaan terhadap gunung dan sungai yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya para Dewa. Di daerah ini epik I La Galigo yang isinya banyak mengadopsi istilah-istilah Hindu-Budha yang masih sangat kuat mempengaruhi konsep hidup



masyarakatnya.Tempat-tempat



Keramat



selalu



dihubungkan



dengan tokoh-tokoh legenda seperti To Manurung, Sawerigading, dan Sangiang Seri, Daerah Cerekang yang dahulu disebut Lakarai, sebagai tempat keberadaan suku Padoe yang mula-mula di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu, dalam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi yang meliputi daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Daerah ini menjadi pusat perkembangan dan penyebaran suku Padoe ke daerahdaerah sekitarnya, 3. BUKIT PUNSI MEWUNI Dalam teks I La Galigo, pada buku Manusia Bugis yang ditulis oleh Chritian Pelras, terdapat tempat yang disebut Bukit Punsi Mewuni, yang dipercayai sebagai tempat Batara Guru pendiri Kerajaan Luwu, turun dari Kayangan. Bukit Keramat itu terletak di kawasan Ussu, di antara sungai Cerekang dengan sungai kecil keramat Wae Mami. Bukit



53



ini di jaga oleh komunitas mistis yang tertutup dan tidak boleh dimasuki oleh orang luar, terdiri dari sekitar 40 keluarga yang hidup di permukiman kecil di daerah Cerekang. Penutur bahasa Bugis, yang tinggal di tengah-tengah penutur Mori (bahasa Kinadu dan Padoe) membentuk inti sebuah jaringan pengikut yang disebut Tossu' (dari kata To Ussu yang berarti orang Ussu) dan tersebar di seluruh Luwu. Menurut tradisi lisan, Istana Batara Guru, dulu berdiri di puncak Bukit Punsi Mewuni, yang hanya boleh didatangi oleh To Ussu lapisan atas. Bukit tersebut dikelilingi oleh hutan keramat dan pohon -pohonnya tidak boleh ditebang oleh siapapun. Menurut penulis, yang dimaksud orang Mori, adalah orang Padoe karena bahasanya hampir sama dengan orang Padoe. Sedangkan orang Mori sendiri berada di Tana Mori Sulawesi Tengah. yang waktu itu Kerajaan Mori belum terbentuk. Karena Kerajaan Mori baru terbentuk pada tahun 1580 dengan Raja/Mokole Marunduh I, Mokole Moiki yang memerintah tahun 1580-1620. Begitupun mengenai To Kinadu yang sebenarnya adalah orang Padoe juga. To Kinadu adalah orang Padoe yang pernah terkurung pada saat peperangan antar suku. Jadi yang ada di daerah Bukit Punsi Mewuni pada waktu itu adalah orang / suku Padoe. Dengan kehadiran penutur bahasa Padoe di tempat itu membuktikan bahwa daerah Bukit Punsi Mewuni adalah tempat mula- mula suku Padoe berada di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu daiam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi, Menurut ALI FADILLAH (1998 :12) dengan merujuk telaah PELRAS (1995 /1996) 4. PABETA Di daerah Pabeta, muncul anggapan yang keliru seakan-akan ada perbedaan,



antara



orang



Padoe



dengan



orang



Kinadu,



namun



sesungguhnya orang Kinadu adalah orang Padoe juga. To Kinadu bukan nama suku melainkan nama tempat/lokasi yang muncul karena situasi



54



perang pada saat itu. Mereka adalah suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar suku. Perang terjadi di daerah Pabeta, Angkona dan Laro’eha. Pada saat perang sebagian kecil suku Padoe yang terpaksa karena terkurung/dikurung (tekadu/kinadu) pada waktu perang dan tidak bisa keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/kelompok induk suku Padoe. Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/julukan bagi suku Padoe yang tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada saat perang waktu itu, bukan nama suku. Dan bahasanya adalah bahasa Padoe, adatnya adalah adat Padoe, budayanya adalah budaya Padoe, tanahnya/wilayahnya adalah tanah Padoe. Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri Oleh karena pengaruh akulturasi budaya setempat maka suku Padoe yang berada di Pabeta, dipengaruhi budaya Bugis, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat memakai dua bahasa, yaitu bahasa Padoe dan bahasa Bugis. Pabeta adalah tempat/lokasi yang dekat dengan pusat pengembangan/penyebaran suku Padoe mula-mula di tanah Luwu pra kedatuan Luwu, dalam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi menurut ALI FADILLAH (1998 :12), dengan merujuk telaah PELRAS (1995/1996). 5. ANGKONA Di daerah Angkona muncul pula anggapan yang keliru seakan-akan ada perbedaan antara orang Padoe dengan orang Kinadu. Namun sesungguhnya orang Kinadu adalah orang Padoe juga. To Kenadu bukan nama suku melainkan nama tempat/lokasi yang muncul karena situasi perang pada saat itu. Mereka adalah sekelompok suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar suku. Hal tersebut terjadi di daerah Pabeta dan Laro’eha. Pada saat perang sebagian kecil suku Padoe yang terpaksa terpisah karena tekadu/kinadu (terkurung,dikurung) pada waktu



55



perang dan tidak bisa keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/ kelompok induk suku Padoe. Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/ julukan bagi suku Padoe yang pernah tekadu/kinadu (terkurung/dikurung pada saat perang waktu itu. Dengan demikian jelas bahwa To Kinadu bukan nama suku. Bahasanya adalah bahasa Padoe, Adatnya adalah adat Padoe, budayanya adalah budaya Padoe, tanahnya adalah tanah Padoe. Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri. Oleh karena pengaruh akulturasi budaya setempat, maka suku Padoe yang berada di Angkona, dipengaruhi budaya Pamona Sehingga dalam hidup bermasyarakat memakai dua bahasa, yaitu, bahasa Padoe dan bahasa Pamona. Angkona adalah tempat/lokasi yang dekat dengan pusat pengembangan/ penyebaran suku Padoe mula-mula di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu, dalam kurun antara awal abad Masehi sampai Abad X Masehi menurut ALI FADILLAH (1998 : 12 ) dengan merujuk telaah PELRAS (1995/1996). 6. MALILI Malili terletak di sisi sungai yang berasal dari Larona, tepatnya sebelum bertemu dengan sungai Ussu, untuk membentuk sungai Malili, yang muaranya terdapat pelabuhan dalam, terlindung dan dalam, Kapal yang cukup besar dapat berlayar masuk hingga Malili, bahkan lebih jauh lagi ke hulu. Suku Padoe dari daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni menyebar ke Malili pada abad XII - XIV Setelah ada peristiwa gerombolan DI / TII yang menimbulkan kekacauan, pembunuhan, pemaksaan agama dari agama Kristen masuk agama Islam dan pembakaran kampung/Desa di daerah Distrik Nuha mulai tahun 1950 sampai 3 Februari 1965, dimana Qahar Mudzakkar berhasil ditembak mati oleh TNI dalam operasi penumpasan di muara Sungai Lasolo, dekat Desa Lawali Sulawesi Tenggara. Maka Malili menjadi pusat perhatian dan terkenal karena menjadi pusat penampungan



56



pengungsi masyarakat dari Distrik Nuha, tempat permukiman suku Padoe. Menurut Latupu Sinampu21 dengan bantuan keamanan TNI, Masyarakat berbondong-bondong mengungsi ke Malili dengan beberapa rombongan seperti berikut: 1. Desa Kawata, pada tanggal 17 Oktober 1953 2. Desa Lasulawai, pada tanggal 23 Oktober 1953 3. Desa Landangi, pada tanggal 30 Mei 1954 4. Desa Dongi, pada tanggal 1 Juni 1954 5. Desa Tabarano, pada tanggal 4 Juni 1954, 6. Desa Togo, pada tanggal 4 Juni 1954, 7. Desa Balambano, pada tanggal 4 Juni 1954, 8. Desa Matompi, pada tanggal 4 Juni 1954, 9. Desa Wasuponda, pada tanggal 8 Juni 1954, 10.Desa Wawondula, pada tanggal 10 Juli 1954, 11.Desa Lioka, pada tanggal 10 Juli 1954, 12.Desa Koropansu, pada tanggal 20 Juli 1955. Kota Malili digempur dan dibumihanguskan oleh DI/TII bergabung Dengan PERMESTA, pada tanggal 9 Januari 1959, pertempuran berlangsung selama 40 jam, dan menguasai Malili selama 8 hari 8 jam, kemudian mereka diusir oleh TNI dengan bantuan pesawat terbang tanggal 17 Januari 1959. Masyarakat Nuha yang masih tinggal pada saat peristiwa Malili terdiri dari Desa Togo, Balambano dan Lasulawai, kemudian diangkut dengan kapal laut mengungsi ke Padang Alipan, 12 km dari kota Palopo. 7. KORE-KOREA. Kore-Korea terletak di sisi kiri Sungai Malili tetangga dekat dengan Malili. Perkembangan Kore-Korea seirama dengan perkembangan Malili, karena masyarakatnya saling kait mengait dan merupakan satu rumpun bertetangga namun tempatnya terpisah satu sama lain, karena Sungai 21



Latupu Sinampu, Sejarah Desa resetlemea, Tahun 1994, h,15 57



Malili. Oleh karena pengaruh akulturasi budaya Bugis, maka suku Padoe yang berada di Kore-Korea, dipengaruhi budaya Bugis, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat, memakai dua bahasa, yaitu Bahasa Padoe dan Bahasa Bugis. Kore-Korea adalah suku Padoe, hasil penyebaran pada abad XII sampai abad ke XIV dari pusat suku Padoe mula-mula di daerah segitiga Ussu-Cerekang-Bukit Punsi Mewuni. Suku Padoe menyebar melalui Matanggoa, Malili dan kemudian Kore-Korea. 8.



LARO'EHA Laro'eha, terkenal karena berada di dekat empang/kolam/rawa ikan



yang luas dan hutan sagu yang disebut Tambunga. Menurut cerita penutur lokal kolam ikan dan hutan sagu tersebut disiapkan oleh pemerintah Distrik Nuha untuk mengatasi kalau ada paceklik terjadi. Kalau ada paceklik, masyarakat dengan bebas mengambil ikan dan mengolah sagu untuk dimakan. Laro'eha terkenal dengan istilah Bou Bengko. Karena ikan yang sudah ditangkap, dibengkokkan dan dikeringkan / dijemur / ditapa, lalu dibawa kemana - mana atau dijual di pasar. Hal yang sama di Epe, Togo dan Lioka ada hutan sagu, untuk mengatasi paceklik. Suku Padoe yang berada di Laro'eha berasal dari penyebaran suku Padoe dari suku Padoe mula-mula di daerah segitiga UssuCerekang-Bukit Punsi Mewuni. Menurut ALI FADILLAH (1998 : 12) merujuk telaah PELRAS (1995/1996) dalam kurun antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi suku Padoe sudah berada di Tana Luwu pra Kedatuan Luwu. Isu yang berkembang adanya To Kinadu, sebenarnya masyarakat salah pengertian karena To Kinadu bukan nama suku melainkan nama tempat/lokasi yang muncul karena situasi perang antar suku pada saat itu. Mereka adalah suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar suku. Perang terjadi pula di daerah Angkona, dan Pabeta . Pada saat perang sebagian kecil suku Padoe yang terpaksa terpisah karena



58



tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada waktu perang dan tidak bisa keluar bergabung/bersatu dengan pasukan/kelompok induk Suku Padoe. Jadi To Kinadu adalah nama panggilan/julukan bagi suku Padoe yang tekadu/kinadu (terkurung/dikurung) pada saat perang waktu itu, bukan nama suku. Bahasanya adalah bahasa Padoe, adatnya adalah adat Padoe, budayanya adalah budaya Padoe, Persyaratan utama suatu suku harus memiliki bahasa sendiri, adat sendiri, budaya sendiri dan tanah sendiri. Oleh karena suku Padoe di Laro'eha , sudah mengalami akulturasi dengan budaya suku Bugis, maka dalam hidup masyarakat memakai dua bahasa yaitu bahasa Padoe dan Bahasa Bugis. 9. TOLE-TOLE Tole-Tole, adalah kampung kecil yang terletak pada persimpangan jalan ke Laro'eha dan ke Kawata serta persimpangan ke Landangi dan ke Kawata. Kampung tersebut sebahagian besar terdiri dari suku Bugis. Dan sudah terjadi akulturasi budaya antara suku Bugis dan suku Padoe, karena berada dekat kampung Kawata, sebagai kampung pertama suku Padoe. 10. LASULAWAl. Lasulawai adalah kampung pengembangan atau pindahan dari kampung Kawata, karena Kawata sudah terlalu padat. Sehingga untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal sudah sangat sulit dan hampir tidak ada tanah yang tersedia. Apalagi setelah diadakan pembangunan kampung Kawata yang dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu sebagai kampung pertama suku Padoe dan sekaligus menjadi Ibukota pertama Suku Padoe. Pada mulanya Lasulawai berada di daerah padang yang dalam bahasa Padoe disebut sebagai daerah konde, dan dalam bahasa Padoe Kawata disebut pada. Setelah kampung terbentuk, maka yang menjadi Kepala Kampung pertama adalah D. Sinaba, bapaknya Sinaba Ntahu. 59



Ini berarti bahwa suku Padoe yang ada di Lasulawai, adalah suku Padoe yang berpindah dari Kawata. Memang ada julukan pada saat itu, mengatakan bahwa suku Padoe yang berada di padang (konde), karena Lasulawai berada di daerah yang masih dikelilingi padang luas, mereka dipanggil to konde, artinya orang yang berada di konde (padang luas). Jadi konde menandakan situasi lokasi di mana mereka berada. Bukan merupakan suku tapi panggilan/julukan terhadap suku Padoe yang berada di padang. Kawata dan Lasulawai adalah suku Padoe. 11. TOGO Togo terkenal karena di dekatnya ada Benteng pertahanan suku Padoe yang bernama Bukit Amasi, sebagai tempat pertahanan yang dipimpin oleh Paerako sebagai Pemimpin kelompok suku Padoe di daerah Togo dan sekitarnya. Terutama menghadapi orang Weula di Lembo Weula dan dataran tinggi Weula Wasuponda. Setiap saat dapat bergerak dengan cepat sesuai dengan perintah Pemimpin kelompok., Sebelah Timur Togo kurang lebih satu setengah kilo meter dari Togo dahulu ada kampung kecil namanya See- See. Kampung itu merupakan tempat pertama Pendeta Yakob Ritsema membangun Pos Pekabaran Injil, sekarang kampung See-See sudah tidak ada lagi, dan sudah menyatu dengan kampung Togo. Kemudian tahun 1926, Pos pekabaran Injil di See-See di pindahkan ke Kawata. 12. TAWAKI Tawaki, artinya bagian kami yang diberikan Mokole Lasemba Malotu adalah kampung yang berstatus sebagai batas tanah antara orang Rongkong Balambano dengan suku Padoe di daerah Togo. Kampung Tawaki berada di sebelah Barat Togo, dan sudah ditinggalkan penduduknya setelah peristiwa pergolakan DI/TII tahun 1950, sehingga sekarang ini kampung Tawaki sudah menjadi hutan, sisa ada beberapa pohon kelapa sebagai tanda bahwa di tempat itu pernah ada kampung Tawaki 60



13. MOLIO Molio adalah kampung yang berada di lembah yang rata, subur ada sungai dan mata air yang sangat cocok untuk perkampungan dan pertanian. Di sana banyak pohon sagu dan buah-buahan. Suku Padoe yang berada di Tabarano, Wasuponda dan Togo, ada juga yang tinggal di kampung Molio. Pada Perkembangannya sebagai kampung suku Padoe, Molio pernah menjadi Ibu Kota III, Kerajaan Suku Padoe, dengan Mokole Ta'elu. Karena Mokole Ta'elu, diminta orang Mori, menjadi Raja di Mori, maka Molio ditinggalkan tanpa ada Mokole. Kemudian Ibu kota pindah kembali ke Langkea Wawondula. Sejak itu Molio sudah mulai sepi, dan sebahagian masyarakatnya pindah ke Togo, Tabarano, Lioka dan Wasuponda. 14. BALAMBANO Balambano, adalah daerah yang diberikan oleh Suku Padoe melalui Mokole Saliwu pada waktu pertemuan orang Rongkong dengan Mokole Saliwu di Masamba sekitar tahun 1623. Waktu itu Mokole Saliwu yang didampingi Lamara pulang dari Palopo hendak ke Lakarai. Mereka singgah di Masamba dan secara tidak sengaja bertemu dengan orang Rongkong. Pada mulanya orang Rongkong curiga akan keberadaan Mokole Saliwu, tetapi setelah Mokole Saliwu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, orang Rongkong mengerti bahkan orang Rongkong minta bergabung dengan Mokole Saliwu. Mokole Saliwu menyetujui dan menerima dua puluh orang Rongkong resmi bergabung dengan Mokole Saliwu. Kemudian Mokole Saliwu, memberi tanah daerah Balambano sebagai tempat permukiman orang Rongkong. 15. LIOKA Di sebelah Selatan Langkea terpampang sebuah hamparan memanjang dari Palatua (Lioka) sampai Timampu, kurang lebih 12 km. Hamparan ini diduduki 4 Kerajaan kecil Weula. Keempat kerajaan kecil 61



ini, mempunyai Daerah dan Pemerintahan sendiri. Untuk Kerajaan Andomo di Palatua, (Lioka sekarang) Inie Mpu'uno



: Nangka Olota



Sungai – Sungainya



: Sungai Meruruno, S. Mata, Buntu,S. Mata Tabarano, S. Mpu'u Wesu, S.Mosilu, S.Sule.



Batas



: Tamungku Tinambo dengan Konda - Kondara. Kerajaan Andomo bersama tiga kerajaan kecil lainnya kalah,



hancur lebur pada saat perang melawan suku Padoe yang dipimpin Mokole/Tadulako Saliwu tahun 1700. Menurut Seketi Samuda 22. Hal ini terjadi karena pada masa kegiatan pertanian bersamaan, rakyat Kuasi membakar lahan pertanian secara bersama-sama mengakibatkan udara penuh abu pembakaran mengotori udara di atas hamparan itu, dari atas Bakara sampai di atas Kerajaan Andomo. Kebetulan raja Andomo sementara makan dalam suatu pesta syukuran terganggu karena makanan tercemar kotoran asap. Keadaan ini menjadikan Raja Andomo marah kepada Raja Kuasi. Raja Kuasi juga tidak terima baik kemarahan raja Andomo. Maka hubungan kedua kerajaan menjadi tegang yang akhirnya berujung pada perang total. Berdasarkan kesetiakawanan maka kerajaan Lewehuko membantu kerajaan Andomo, sedang kerajaan Tulambatu membantu kerajaan Kuasi. Dengan keperpihakan kedua kerajaan ini maka perang total lebih ganas. Memperhatikan



keadaan



perang



ini



pemerintah



Suku



Padoe



di



Wawondula menyarankan agar berdamai, tetapi tidak dihiraukan, malah mereka membalas dengan kata-kata menjengkelkan dan menyinggung perasaan suku Padoe. Kejengkelan suku Padoe ini diterima Mokole/ Tadulako Saliwu dengan memerintahkan suku Padoe untuk siap berperang. Selanjutnya suku Padoe menyerang keempat kerajaan kecil Weula dan semua rakyatnya. Keempat kerajaan kecil Weula itu kalah. Dan 22



Seketi Samuda, Asal Usui Mori Padoe, Tahun 2007, h.7 62



seluruh tanah milik Weula dikuasai dan dimiliki oleh Suku Padoe. Tanah tersebut meliputi daerah Lioka. Langkea, Wawondula dan Matompi sampai dengan Danau Towuti. Di sekitar Lioka ada Mpu'u Wesu sebuah tempat yang dikenal sebagai gua Andomo. Di gua tersebut Mokole Saliwu dan pongkiari Lagampi dikuburkan. Mokole Saliwu digantikan oleh anaknya Nike dan Pongkiari Lagampi digantikan anaknya Taluari. Selain itu Gua Andomo, juga tempat penguburan tokoh - tokoh nenek moyang suku Padoe lainnya, seperti Kalende, Manule dan lain - lain. Sementara Kalende berkuasa di Umodo, dia didatangi dua orang Karua utusan dari Mori Sulawesi Tengah yaitu Tarumba - Rumba dan Rorahako. Mereka disuruh untuk meminta tenaga yang bisa menjadi raja karena selalu kacau akibat tidak ada yang mampu untuk mengatur mereka, jadi dibutuhkan orang yang bisa mempersatukan seluruh Mori. Kalende menyetujui dan memberikan seorang suku Padoe yang bernama Ta'elu. 16. WAWONDULA Wawondula terdiri dari kata Wawo dan Mandula. Pohon Mandula yang tumbuh diatas bukit yang berbentuk dula. Akhirnya tempat itu diberi nama Wawondula oleh Mokole / Tadulako Saliwu. Menurut Kate Dewi, Tolesa dan Karumi, mengatakan bahwa ketika Mokole/ Tadulako Saliwu dengan rombongannya menyusuri Bangkano Asuli, mereka sampai pada suatu tempat yang paling strategis untuk permukiman, yaitu satu bukit yang berbentuk dula dinui diatasnya rata dan tumbuh di tengah - tengahnya pohon mandula yang besar. Mokole / Tadulako Saliwu memberi nama tempat itu Wawondula. Mokole/Tadulako Saliwu menyuruh Para mengatur Wawondula menjadi kota pusat kekuasaan Suku Padoe, terjadi pada tahun 1700. Pada zaman Belanda Wawondula dipindahkan oleh Belanda ke Lembah Koro Apundi dan



Koro Lingaru, dan Langkea dijadikan lapangan bola kaki



63



(pasar



sekarang). Menurut Matius Motilay mengatakan, Bukit Wawondula, sebagai benteng pertahanan pada waktu itu, bukit itu dikelilingi bulutui yang ditanam sebagai benteng. Di dalamnya banyak pohon kelapa dan langsat ( lasa ue ) Menurut Noo dan Dewi seorang karyawan Belanda yang pekerjaannya menggali tambang Nikel, mereka mendengar dari orang Belanda, mengatakan bahwa di dalam Bukit Wawondula ada emas sebesar kerbau. Menurut Lagoi, mengatakan bahwa di dataran Bukit Pinuai ada batu yang berbunyi gong dan di dekatnya ada batu mesau. Menurut penutur lokal, apabila ada musuh (uweli) datang, Pongkiari segera berlari pergi memukul batu (wasu meuni) dan orang yang ada di kebun lari ke Pa'ano Wawondula. Bunyi batu ini kedengaran sampai di Tabarano, Lioka, Langkea, Matompi. Semua orang lari ke kubu pertahanan masing-masing. Wasu Mesau berputar ke arah musuh yang datang ketika Pongkiari duduk di bawahnya. Menurut Kate, Tolesa, mengatakan Mokole Saliwu dari Pa'ano Wawondula, dan rombongannya menyusuri Koro Mo'are (sungai hanya berair pada waktu musim hujan) bermuara di Para'ahua. Tiba di Para'ahua di sana mereka mendapatkan dataran rendah yang terhampar, yang cocok untuk dijadikan persawahan. Di tempat itu muncul mata air besar dari mulut Gua Taiponiki yang merupakan hulu Koro Apundi. Perjalanan diteruskan sampai di Langkea, disana Mokole/Tadulako Saliwu



melihat



tempat



itu



baik



untuk



Mokole/Tadulako



Saliwu



membangun



tempat



rumah



perburuan.



tempat



istirahat



mengayun-ayunkan kaki ke depan (ulua melangkea soe- soe nggare), dan dibuat juga tempat mandi Mokole/Tadulako Saliwu di Koro Noei. Menurut Dasangko Larobu23, pada zaman dahulu suku Padoe mengalami beberapa kali perpindahan Ibukota di daerah kerajaan 23



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nahu, Tahun 1986, h. 7 64



Nuha. Begitupun perubahan bentuk pemerintahan mulai dari kerajaan, lalu menjadi Distrik dan kemudian menjadi Kecamatan. . Pada zaman itu mulanya adalah zaman Kerajaan Suku. Raja kerajaan Suku disebut Mokole. Oleh karena itu Raja Kerajaan yang ada pada saat itu disebut Mokole. Ibukota I adalah Kawata, Kawata adalah kampung pertama suku Padoe. Kemudian dalam perkembangannya berkedudukan sebagai ibukota I kerajaan Nuha dengan Mokole Saliwu. Mokole Saliwu merangkap sebagai Tadulaku (Panglima Perang). Sebagai Mohola adalah Horobata. Ibukota II adalah Wawondula, menurut Dasangko Larobu24 Ibu kota ini adalah pindahan dari Kawata didirikan oleh Mokole/Tadulako Saliwu, setelah peperangan suku Padoe dengan orang Weula di Lembo Weula selesai, ketika Mokole/Tadulako Saliwu masih berada di Kawata. Sebagai Mohola adalah Lamehawa. Pimpinan agama suku (Melahumoa) adalah Sipantu. Pada saat Ibu kota di Wawondula, Sumba Oleo turun sebagai Mia Ntii di Matano di daerah kekuasaan Kerajaan Nuha di Wilayahnya Mokole Saliwu. Sumba Oleo datang bersama 7 orang bawahannya jadi semuanya 8 orang di Matano mendirikan kerajaan Federasi yang berpusat di Matano. Istananya bernama Rahampu'u di Matano..Sumba Oleo sebagai Mokole I Kerajaan Federasi di Matano. Mereka berasal dari Kerajaan Lelewawo dan Kerajaan Kendari, Tolaki, To Landewa/Mopute, To Wawonii/ Kulisulu. Opu Toparalasa / Opu Totondiaji, sebagai Mokole II, orang Bugis, di Kerajaan Federasi di Matano. Andi Halu, sebagai Mokole III, seorang perempuan Bugis, di kerajaan Federasi Matano. Raja Latulambi ( adik / bawahan Sumba Oleo), dari Matano menjadi Raja Longgohu dan kemudian menjadi Raja Kerajaan Baebunta dengan ibukotanya Baebunta. Sebab pada saat itu di Kerajaan Baebunta, 24



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nahu, Tahun 1986, h. 7- 8 65



tidak ada yang berketurunan Raja. Sehingga Raja Latulambi yang namanya diubah menjadi Labombo artinya Sisetan dalam bahasa Rongkong, Latulambi akhirnya menjadi Raja Kerajaan Baebunta yang pertama. Pada saat Ibukota di Wawondula, perpindahan Suku Tambee, Suku Karunsi'e dan Taipa Matano, pada abad XVIII dari Tana Mori Sulawesi



Tengah



migran



ke



daerah



Nuha



di



wilayahnya



Mokole/Tadulako Saliwu (suku Padoe) kampung Matano, berada di daerah Nuha, termasuk seluruh Danau Matano. Ketika ke tiga suku ini ke daerah itu, daerah itu sudah dikuasai Saliwu (Suku Padoe) Dan semua nama-nama tempat daerah Weula itu yang sudah direbut Suku Padoe, nama aslinya diganti dengan nama bahasa Padoe. Menurut Dasangko Larobu25, Tambee, artinya orang-orang yang dipindahkan. Pindah dari Ulu Uwoi, Undoro, Dolupo Tana Mori Sulawesi Tengah, pada abad XVIII. Karunsi'e, artinya menghasilkan banyak padi, lumbung beras, gudang padi. Pindah dari Mobahono, Lintumewure, Ulu 'Anso, Kumpi. Tana Mori Sulawesi Tengah, pada abad XVIII. Taipa, disebut Taipa sebab di kampung Taipa terdapat satu pohon mangga yang bila berbuah lebat hanya terdapat satu buah saja yang mempunyai biji untuk ditanam. untuk satu kali berbuah, pada abad XVIII. Matano, disebut Matano karena di tempat itu terdapat mata air di hulu Danau Matano, mengairi Danau Matano. Taipa Matano pindah dari Tinompo, Ngusumbatu, Tana Mori Sulawesi Tengah, pada abad XVIII.. Menurut Dasangko Larobu26, Suku Padoe berperang dengan suku Tambee, di Tamungku Sinambi. Suku Tambee dikalahkan suku Padoe. Tambee memasang benteng kuat di gunung itu, dipagari dengan susunan batu, yang berpintu hanya satu. Perang terjadi karena dua orang suku 25 26



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.9 Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.9 66



Padoe dibunuh suku Tambee di tengah hutan pada waktu tidur malam di tempat mengolah pohon sagu menjadi sagu, miliknya sendiri. Perang ini terjadi dengan masing-masing Pongkiari Padoe bernama Taluari, sedangkan dari Tambee bernama Kadoena. Pada mulanya mau diselesaikan secara musyawarah, namun menemui jalan buntu, karena Kadoena tetap bersikeras. Akhirnya perang terjadi. Tambee bertahan di dalam bentengnya di Tamungku Sinambi. Karena tempat itu tinggi di gunung, maka Padoe memutuskan hubungan makanan dan air kebutuhan Tambee. Sehingga timbul kelaparan dan kehausan di dalam benteng. Dengan keadaan ini akhirnya Tambee menyerah kalah. Perang lokal berlangsung selama 6 bulan.Sesudah perang itu berakhir kemudian diadakan pertemuan orang tua kedua belah pihak. Terakhir dengan perdamaian kedua belah pihak. Menurut Dasangko Larobu27, Suku Padoe berperang dengan suku Karunsi'e di Benteloba. Benteloba itu kampung suku Karunsi'e di Gunung, Kampung I. Dalam perang lokal itu, Karunsi'e dikalahkan Padoe, tanpa melawan. Penyebabnya adalah seorang perempuan suku Padoe, bernama Ungke, tinggal seorang diri di kebunnya, kebunnya berbatasan dengan kebun Lamandesa suku Karunsi'e. Lamandesa itu laki-laki. Sengketa mereka timbul, oleh karena sebatang pohon jagung rebah di perbatasan kebun mereka, ketika hujan angin keras di malam hari. Jagung itu rebah melintas hingga jatuh di kebunnya Ungke, jagung itu milik Lamandesa. Ketika Lamandesa tiba di tempat itu pada waktu siang, mereka berdebat. Ungke seorang perempuan dan seorang diri, terpencil, terdesak, lalu Lamandesa ikat tangannya, kakinya dan seluruh badannya dari kaki hingga di leher dilingkari ikatan tali ijuk, diikat di tiang dapur, lalu Lamandesa menyalakan api besar di sampingnya Ungke. Ungke dipanasi dengan api besar itu sebagai jagung dibakar, sebagai pengganti setongkol jagung rebah itu, sehingga seluruh badan Ungke, bengkak27



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986 h-10 67



bengkak akibat panas api besar itu, sudah hampir mati, lalu seorang lakilaki suku Padoe mendapati Ungke, yang sedang tersiksa, kemudian anak itu melaporkan secepatnya kepada Pongkiari Padoe bernama Taluari. Taluari datang di tempat kejadian itu, Taluari langsung membuka semua tali ikatan di badan Ungke serta menyelamatkannya. Ungke tak dapat berkata -kata lagi pada saat itu, sebab hampir mati, bengkak - bengkak, merah - merah terbakar, di samping tekanan kejiwaan yang menekan dan menghantuinya. Sesudah Ungke selamat, lalu Taluari mengadakan persesuaian pendapat



dengan



Lamandesa.



Tetapi



hasilnya



buntu.



Taluari



mengundang seluruh tenaga - tenaga kuat dari suku Karunsi'e, bertemu di tempat kejadian itu untuk berkelahi, dengan menyuruh Lamandesa ke kampung Karunsi'e menyampaikan permintaan Taluari. Maksud berkelahi di tempat itu, agar tidak dilakukan di dalam kampung, sebab jika di dalam kampung Karunsi'e, bukan lagi disebut berkelahi, tetapi disebut perang lokal. Perang tidak memilih mana anak - anak, nenek - nenek, kakek kakek, orang sakit, orang hamil, bila bertemu bisa saja dibunuh. Tetapi orang-orang kuat dari Karunsi'e tidak mau datang di tempat itu dan juga orang tua suku Karunsi'e tidak mau mengadakan penyelesaian urusan Ungke itu. Mereka memandang remeh dan memandang enteng masalah itu. Beberapa hari kemudian Taluari bersama pasukannya berusaha untuk mengembalikan harga



dirinya



dengan



memasuki



kampung



Benteloba, berperang memusnahkannya. Anak - anak, nenek - nenek dll dibunuhnya, karena orang kuat mereka di pagi buta telah sepakat menyingkir ke kebun dengan alasan pergi menugal padi, sehingga Taluari dengan pasukannya hanya menemui anak - anak, nenek - nenek, perempuan hamil, penjaga kampung, orang sakit, kakek -kakek berada di dalam kampung Benteloba itu. Korban nyawa berhamburan, tanpa perlawanan apa - apa. Perang hanya 6 jam dan dipandang sudah selesai. Sesudah



kejadian



itu,



barulah



68



orang



tua



suku



Karunsi'e



mendatangi orang tua suku Padoe untuk memohon maaf dan sekaligus menyampaikan permohonan agar peristiwa semacam itu tidak berulang kembali pada masa yang akan datang. Dan berakhir dengan perdamaian kedua belah pihak. Menurut Dasangko Larobu28, pada saat itu ada juga peristiwa Perjanjian Perdamaian di Lintumewure antar suku Padoe dengan suku Mori pada tahun 1800-an, untuk menghindari perang lokal secara terbuka. Penyebabnya adalah bahwa pada suatu waktu ada sembilan orang suku Padoe, datang di sekitar Londi Tana Mori, untuk membeli kerbau. Mereka membeli empat puluh delapan ekor kerbau. Pada waktu sudah jauh malam mereka tertidur, besok rencana berangkat kembali ke daerah Nuha. Pada saat mereka ketiduran pada malam hari, mereka dibunuh oleh banyak orang, termasuk anak - anak dan ibu - ibu menyaksikannya, sehingga tersisa satu orang yang bernama Landusa, seorang kebal tidak bisa dimakan parang, tidak bisa dimakan pedang, tombak, besi dan lain - lain. Kemudian Landusa berusaha membunuh membabi buta, sehingga menewaskan dua puluh satu orang laki - laki dan tiga orang perempuan, pada akhirnya Landusa sangat lelah. Sebab Landusa sangat sedih karena temannya yang delapan orang sudah mati dibunuh, maka ia merasa tidak ada gunanya lagi pulang ke Nuha seorang diri. Lalu Landusa menyuruh mereka membunuhnya dengan cara yang Landusa tunjukkan. Selanjutnya empat puluh delapan ekor kerbau yang telah dibeli oleh Landusa dan kawan- kawan diambil kembali oleh pemiliknya. Sudah lama sembilan orang ini ditunggu - tunggu di Wawondula, tapi tak juga kembali. Karena curiga maka Larobu seorang diri diutus dari daerah Nuha ke daerah Mori, untuk menyelidiki masalah tersebut. Setelah penyelidikannya



cukup



data,



Larobu



kembali



Ke



Nuha.



Dalam



perjalanannya ke Nuha ia menewaskan dua orang laki - laki yang sedang 28



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h.10 -11 69



mengolah sagu di tengah hutan, dan kepala dua orang itu dibawa ke Wawondula sebagai saksi. Setelah tiba di Wawondula, daerah Nuha, semua bersatu berangkat menyerang ke daerah Londi Tana Mori Sulawesi Tengah. Perang lokalpun berkobar untuk yang pertama kali. Setelah perang lokal yang pertama berlalu, Mori menyerang kembali ke Wawondula, Inilah perang lokal yang kedua. Mori mengintai orang-orang kuat yang sedang ramai menugal padi di kebun Asuli Wawondula. Kebun itu terletak di gunung dan sementara orang-orang kuat Padoe minum mabok ketika makan siang sesudah selesai menugal padi, lalu serangan Mori tiba- tiba datang dari pinggir hutan kebun itu. Orang-orang yang lagi mabok itu, tak terkendalikan lagi, lalu tewas tujuh puluh dua orang, sementara pasukan Mori yang tewas tiga orang. Lalu kepaia tiga orang itu dibawa ke Wawondula dipestakan. Perang lokal kedua ini sangat parah karena banyak suku Padoe yang tewas. Ibu kota III, adalah Molio, terletak di sebelah Tenggara Tabarano. Mokolenya adalah Ta'elu. Di Molio, Ta'elu mengangkat Kalende sebagai Mia Mohola dan Mia Mosu’o (Hukum Tua), yang bertugas di Molio, Tabarano, Togo, dan Lioka. Sedangkan pimpinan agama Melahumoa (agama suku) adalah Sipantu. Ibukota di Molio ini tidak lama, sebab Mokole Ta'elu dipinjam oleh Kerajaan Mori, atas permintaan tokoh-tokoh masyarakat kerajaan Mori, Dengan Utusan Kerajaan Mori, dua orang Karua yaitu Tarumbarumba dan Rorahako. Alasannya adalah di daerah Mori, tidak ada Raja yang mempunyai darah keturunan Raja, sudah tujuh orang Raja di Mori dari suku Mori yang mereka lantik sendiri tetapi selalu mereka bunuh, karena tidak bisa memerintah sebagai seorang Raja. Hal itu membuat pemuka-pemuka masyarakat Mori sangat sedih, sehingga mereka mempunyai kesepakatan, untuk meminjam seorang Raja dari kerajaan lain yang berdarah bangsawan dan berkepribadian menonjol untuk menjadi Raja Kerajaan Mori yang dapat mempersatukan seluruh keinginan masyarakat kerajaan Mori.Ta'elu menjadi Raja



70



Kerajaan Mori, sampai umur tua. Kemudian digantikan anaknya Marunduh. Setelah Marunduh wafat digantikan anaknya Owolu. Ibukota IV, adalah Wawondula di Bukit Langkea Wawondula. Menurut Dasangko Larobu29,lbukota di Molio dipindahkan kembali ke Wawondula, karena Mokole Ta'elu dipinjam dan ditugaskan menjadi Mokole Kerajaan Mori. Kampung Molio menjadi bubar dan rakyatnya berpindah kebeberapa kampung di sekitarnya.Wawondula menjadi ibukota kerajaan Nuha hingga tahun 1906. Sesudah itu Belanda masuk dengan politik imperialnya, kolonialnya dan politik Devide Et Impera (politik pemecah belah). Ibukota V adalah Sorowako. Pada tahun 1906 Belanda sudah mulai



berkuasa



memerintah,



dengan



Kontroleur



Tuan



Petor



berkedudukan di Malili.Atas politik Belanda, Raja kerajaan Federasi di Matano dipecat Belanda, dan Kerajaan Federasi di Matano dibubarkan Belanda, juga Raja / Mokole Andi Halu disuruh Belanda agar meninggalkan Matano, dan Andi Halu pindah ke Sorowako. Raja/Mokole Andi Halu adalah Raja terakhir di Matano. Kemudian Andi Halu diangkat menjadi raja/Mokole Kerajaan Nuha yang berpusat di Sorowako. Pusat Kerajaan Nuha di Sorowako tidak lama, kemudian pindah ke Timampu sekitar tahun 1920. Kampung Timampu berdiri tahun 1902, oleh pedagang-pedagang damar orang Bugis. Ibukota VI, adalah Timampu (asalnya Timampu'u) yang artinya pelabuhan pertama suku Padoe di Danau Towuti sebagai tempat bongkar muat damar. Andi Halu, memerintah Kerajaan Nuha dan tinggal di Timampu. Kemudian Andi Halu diberhentikan oleh Belanda pada tahun 1927. Ibukota VII adalah Tabarano. Menurut Dasangko Larobu30, Ibukota Kerajaan Nuha berpusat di Tabarano dari tahun 1927 hingga 17 Agustus 1945. Karena pada 17 Agustus 1945, telah berubah dari Kerajaan menjadi Republik. 29 30



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuhajahun 1986, h.17 Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1986, h. 18 -19 71



Pada tahun 1927 Belanda mengangkat Lasemba Malotu sebagai Mokole Nuha, menggantikan Mokole Andi Halu yang diberhentikan tahun 1927. Mokole Lasemba Malotu berkedudukan di Tabarano. Jabatan sebagai Mokole dipegang hingga tahun 1950, karena sesudah itu nama Mokole diganti namanya menjadi Kepala Distrik. Ibukota VIII adalah Wasuponda. Setelah sekian lama Ibukota Distrik berada di Tabarano, kemudian sesudah tgl 17 Agustus 1950, diadakan



musyawarah



mengenai



tempat



ibu



kota



Distrik.



Hasil



musyawarah menetapkan Wasuponda sebagai tempat Ibukota Distrik Nuha dengan pertimbangan terletak ditengah-tengah dan strategis serta bentuk permukaan tanah yang mendatar mudah dibangun. Selanjutnya diadakan Pembentukan Kecamatan dalam persiapan pada tahun 1962 sampai tahun 1966,sebelum Kecamatan Nuha pindah ke Wasuponda. Pada tahun 1966 daerah Nuha sudah aman, maka Distrik Nuha berubah menjadi Kecamatan yang diperintah oleh Camat. 17. LINTUMEWURE Menurut Dasangko Larobu31, terjadi Perjanjian Perdamaian antara Suku Mori dengan Suku Padoe, sekitar abad XVIII dengan tujuan untuk menghindari perang lokal terbuka terjadi lagi seperti yang pernah terjadi pada perang lokal pertama di Londi dan perang lokal kedua di Asuli Wawondula. Lintumewure terletak di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan. Pada saat Raja Marunduh, memerintah di Kerajaan Mori, terjadi perjanjian di Lintumewure antara Kerajaan Mori dengan Kerajaan Nuha (antara Suku Mori dengan suku Padoe). Kedua Raja dan kedua kerajaan ini (Marunduh & Tengkano) membuat Perjanjian Perdamaian yang diperkuat dengan nazar dan sumpah agar tetap aman dan damai terpelihara dengan baik yang berlaku untuk selamanya. 31



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, h.13-14 72



Kedua raja dari Kedua kerajaan ini, ditumpangkan tangan di atas kepalanya, dipegangkan sebutir telur ayam putih bersih, kemudian dipecahkan bersama, Sulia Larobu berdiri di samping kedua Raja, sebagai ahli agama suku, memberi aba-aba pemecahan. Sesudah itu Sulia Larobu membacakan sumpah. Isi sumpah: Tinanga (nazar), Tinonao (janji), Tando ( sumpah). Su'ului manu pineha kontuwua, Sowi tinanu, nazar, janji, sumpah. Telur ayam dipecahkan, sowi tinanu. Barang siapa melanggar sumpah akan terkutuk (motopu lahumbeuno). Barang siapa pergi menyerang mereka akan dikalahkan. Barang siapa yang memasuki wilayah temannya atau merampas wilayah temannya itu akan punah (roopu). Sumpah ini dikenakan pada seluruh wilayah Mori dan wilayah Padoe, dan dikenakan sampai anak cucu (ana ue) yang tidak mematuhinya bahkan sampai akhir zaman. Acara perdamaian selesai dengan damai, dan sebagai tanda persaudaraan mereka makan bersama. Untuk memberi tanda perdamaian itu Raja Marunduh menanam balongkere di sebelah sungai di wilayah Mori, dan Mokole Tengkano menanam balongkere di sebelah sungai di wilayah Padoe. Setelah selesai acara, mereka berpisah. Sejak itu tidak ada lagi perang antara Mori dengan Padoe. Pada waktu Perjanjian Perdamaian itu dibuat, kedua Raja dari kedua Kerajaan itu masing-masing membawa pasukannya yang banyak, membawa pengawalnya yang lengkap dengan peralatan perang, pasukan pilihan siap perang, untuk sekaligus sebagai pengamanan terlaksananya Perjanjian Perdamaian itu, agar dapat terlaksana dengan baik. Pimpinan pasukan perang dari Kerajaan Mori, dipimpin oleh Pongkiari bernama Saluente, orang dari Ronta/To Watu. Pimpinan pasukan perang dari Kerajaan Nuha, dipimpin oleh Pongkiari bernama Adipu dan Taluari, dari Wawondula suku Padoe. Taluari sudah tua, tetapi harus hadir. Raja dari Kerajaan Mori, bernama Marunduh. Mokole/Tadulako dari Kerajaan Nuha bernama Tengkano. Mereka semua itulah yang hadir



73



di tempat Perjanjian Perdamaian itu dilaksanakan. Hadir pula Pimpinan Upacara Perjanjian Perdamaian itu bernama Larobu. Awal dari Perjanjian Perdamaian itu, sedikit ruwet. Sebab Saluente sengaja datang terlambat, karena menurutnya belum setuju untuk dibuat Perjanjian Perdamaian antara Kerajaan Mori dengan Kerajaan Nuha, Saluente terkenal hebatnya menghadapi peperangan, demikian juga Taluari dan Adipu. Ketiga orang Pongkiari ini, sama - sama terkenal hebatnya. Adipu mempunyai kehebatan bawaan lahiriah yang tidak dimiliki oleh dua orang lainnya itu, yaitu mempunyai kesanggupan mendengus sekuat bunyi sembilan ekor kerbau dan dengan perisainya dipasangnya melintang dapat menubrukkan ke depan lawan-lawannya sebagai buldozer yang tak tertahankan,sehingga membuat kacau-balau dan tungganglanggang, di samping dengusnya yang menyebabkan bulu roma berdiri, suaranya menggemuruh keras bagai halilintar, karena itu sering menghalau musuh begitu saja dan pergi melarikan diri karena takut. 18. MATOMPI Matompi adalah Pos terdepan bagian Timur yang dipimpin oleh Mbomua terletak di wilayah Pekaloa (Tompatete). Pada saat itu dikuasai oleh Kemokolean Kuasi dari Kerajaan Weula. Kemokolean Kuasi Inie mpu'uno Batas dengan Tulambatu Sungai – sungainya



: : Bakara : Koro Mpewasu'a : Koro Noel, Koro Ngkonduwe, Laa Momapu dan separuh Danau Towuti.



Matompi merupakan kampung suku Padoe di bagian Timur Wawondula di mana ada tanah adat yang bernama One-One, yang terletak antara Wawondula dengan Matompi. Matompi memiliki wilayah kekuasaan ke Timur yaitu Timampu sampai separuh Danau Towuti, sebelum perang Epe. Tetapi setelah perang Epe, kita menguasai sampai ke Gunung perbatasan antara Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan.



74



Wilayah kekuasaan Matompi, meliputi Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambantu, Lengkobale, Lo'eha dan Larona. 19. TIMAMPU Menurut Dasangko Larobu32, Timampu pada awalnya disebut Timampu'u yang artinya adalah pusat pelabuhan pertama suku Padoe. Berasal dari bahasa Padoe terdiri dari kata tii, ma dan pu'u. Di mana tii artinya turun atau pelabuhan, sedangkan pu'u artinya tempat pertama, sehingga artinya menjadi pelabuhan pertama. Pelabuhan tersebut sangat terkenal dengan hasil damar.Timampu didirikan oleh pedagang Bugis tahun 1902. Tetapi ada juga hasil-hasil lain seperti kelapa, pinang, sirih, nangka dan sukun. Wilayah Timampu dan Danau Towuti adalah wilayah kekuasaan Suku Padoe. Kemudian suku Bugis berkampung di Timampu tahun 1902, ketika datang membeli hasil - hasil dari suku Padoe di pelabuhan pertama di Timampu. Jadi Timampu adalah kampung pertama dari suku Bugis di Nuha. 20. DANAU TOWUTI Menurut Sipantu Larobu33,Towuti berasal dari bahasa Padoe, yang terdiri dari kata Towu dan tii, yang artinya tebu yang tiba-tiba ada. Jadi Towuti, adalah rumpun tebu yang ada tanpa ditanam orang. Tebu tumbuh sekeliling Danau Towuti, antara Timampu, dengan Lengkono Burangga (teluk dengan pasir halus hitam). Di dalam Danau Towuti, ada tujuh pulau yaitu : 1. Pulau Lo'eha yaitu Tanjung memanjang, pulau terbesar di Danau Towuti. 2. Pulau Boko yaitu Tanjung Bulat. 3. Pulau Molaa yaitu Tanjung Bundar telur 4. Pulau Olepe yaitu Tanjung Lipan 5. Pulau Otede yaitu Tanjung Kecil. 32 33



Dasangko Larobu, Bagaimanakah Daerah Nuha, Tahun 1985, h.17 Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.10 -11 75



6. Pulau Sau yaitu Tanjung Topi. 7. Pulau Bilo yaitu Tanjung Kerdil Penghuni Danau Towuti yaitu orang Kuasi ( orang Weula ) di bagian Barat dan orang Ro'uta di bagian Timur pada saat itu. Hasil - hasil Danau Towuti adalah: Ikan gabus, Gete - gete, ikan Botini, ikan Bungo, ikan Pangkila, ikan Mboe - mboe, ikan Mokonui, ikan Opudi, udang, kepiting dan banyak buaya. Arti / Tempat-tempat bersejarah / istilah-istilah: 1. Petea'a artinya tempat perkelahian/pertempuran suku Padoe melawan orang Ro'uta, 2. Kadeapi artinya musuh dikepung dan dibakar sehingga semua pedang terbakar dan orang Ro'uta mati, 3. Paka artinya kayu, 4. Lenea, artinya semacam kayu, 5. Larona, artinya hol panjang. 6. Lengko, artinya jantan yang terkenal dalam penyabungan ayam. 7. Pomea, artinya tanah merah. 8. Lengkobale, artinya teluk yang banyak patok tinggi, dan sebagai tempat orang menyelam mencari ikan, siput dan kepiting, 9. Bea'u, artinya ada pohon kemiri besar, 10. Lambatu, artinya banyak bulu batu, 11. Lemo-lemo, artinya dahulu ada di situ lemo pae yang tumbuh sendiri, 12. Lamobeta, artinya sungai runtuh, 13. Lono, artinya nama satu teluk, bahasa Bugis, 14. Tapu Manu, adalah suatu nama tempat di mana orang Ro'uta dibunuh oleh suku Padoe. Tapu Manu adalah tempat Kramat, 15. Tominanga, adalah orang yang dibunuh oleh Lahere orang Padoe dari Wawondula (anak dari Tarakai dengan Tapu Landuwe), 16. Lo'eha, adalah pulau terbesar dari beberapa pulau di tengah Danau Towuti. Artinya Tanjung memanjang dan berkeramat bahasa Padoe, 76



17. Tanjung Sumombo berarti mengintip musuh-musuh dari Ro'uta, 18. Tanjung Pesumea yaitu tempat mengintai musuh-musuh, 19. Hol (teluk ) Lengko Mesombori dari Pulau Lo'eha yaitu tempat Panglima Perang orang Ro'uta bernama Lawuruane dan keluarganya sekitar tahun1800. Lawuruane dibunuh suku Padoe pada waktu perang di tengah Danau ia jatuh ke Danau lalu lehernya dipotong suku Padoe. Sejak itu Pulau Lo'eha dikuasai oleh suku Padoe. 20. Tanjung Biu- biu yaitu tempat kayu kuning yang banyak daunnya Lengko bentuknya karena ada taku yang hidup sendiri, tanjung ini terdapat di dalam Pulau Lo'eha, yang berisi damar kurang lebih sepuluh ribu pohon kepunyaan Larobu (Suku Padoe). Selain itu ada hasil lainnya seperti nangka, kelapa, pinang, sirih dan sukun, 21. Tapu Limbo yaitu Tanjung yang sunyi karena musuh - musuh dari Ro'uta tidak berani lagi datang mengintai, 22. Tu'ora yaitu lumbung tempat penampungan ikan- ikan, yang terbanyak ikan pangkila.



77



BAB IV PENGALAMAN SUKU PADOE 1. PENGHARGAAN DATU LUWU KEPADA SUKU PADOE Menurut Sipantu Larobu34, Datu Luwu memberi penghargaan kepada Suku Padoe karena pertama, keberhasilan Saliwu memotong pohon Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman istana Datu Luwu pada tahun 1622 Karena peristiwa tersebut Datu Luwu Pattipasaung melalui Sidang Luar Biasa yang dihadiri oleh Opu Patundrung, Opu Tomarilalang, Opu Pabicara, Opu Balirante, Opu Mincara memberi keputusan kepada Saliwu ( Suku Padoe ) sebagai berikut: 1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi, 2. Saliwu dengan orang - orangnya diterima oleh Datu Luwu dan rakyatnya



sebagai sahabat dari jauh (To Belae),



3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di sebelah Timur Daerah Luwu, 4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole Motaha Ngangano. Kedua, karena jasa-jasa Suku Padoe membantu Datu Luwu dalam perang melawan Baebunta, Malangke dan Larompong pada abad XVIII. Sehingga peperangan dimenangkan oleh Kedatuan Luwu. Karena peristiwa tersebut Datu Luwu mengangkat Suku Padoe, sebagai saudara dan sahabat. Datu Luwu memberi gelar kepada Suku Padoe, sebagai orang kuat, tetap setia kepada Datu Luwu di Palopo dan sebaliknya Datu Luwu mengharapkan bantuan kepada Suku Padoe pada saat diperlukan. Atas



keberhasilan



penghargaan



dan



kepada



jasa-jasa



suku



tersebut



Padoe,



apabila



Datu



Luwu



Suku



memberi



Padoe



mau



menghadap Datu Luwu, maka Suku Padoe bebas masuk Istana Datu Luwu kapan saja, dengan segala perlengkapan yang ada dan tidak 34



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.11-12 78



perlu duduk bersila (mesuleka) dan boleh berbicara sambil berdiri di hadapan Datu Luwu dan duduk di samping Datu Luwu pada acara acara tertentu. 2. UPETI KEPADA ISTANA DATU LUWU. Menurut Sipantu Larobu35,pada zaman dahulu, upeti (mekasuwia) yang diserahkan kepada Istana Datu Luwu setiap tahun berupa: makanan, seekor ayam betina putih yang putih kakinya, beras pulut putih, sebutir telur ayam putih, damar dimasak dalam bambu satu ruas putih sekali, beras biasa satu kg, macam-macam hasil kebun. Juga bersama pinang muda, buah sirih, kapur dan tembakau.Yang menyerahkan upeti adalah Ketua Adat / sando atau ahli Dewa, sambil memakai pakaian Adat. Jikalau baju warna putih, maka merah di pinggir di bawah, leher baju, ujung tangan baju, juga merah, Kalau celana atau bajunya merah maka pinggirnya putih, demikian juga pakaian perempuan semuanya berpakaian putih. Khusus untuk Suku Padoe, dibebaskan dari kewajiban menyerahkan upeti kepada Datu Luwu, karena jasa-jasanya, kepada Datu Luwu. 3. TO KONDE Menurut Sejarah Suku Padoe dari dahulu tidak pernah ada Suku Konde. Dan sudah diputuskan melalui pertemuan Suku Padoe, tahun 1629 di Matanggoa, bahwa tidak boleh ada Suku lain hanya ada satu suku namanya suku Padoe Pertemuan dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu. Kemudian menurut hasil survey dan pengumpulan data dari orang - orang tua, tokoh -tokoh masyarakat dan tua-tua Adat yang berumur tujuh puluh tahun keatas pada saat itu yang ada di Kawata, maupun di luar Kawata, tanggal 10 Maret 2018, terdiri dari ST.Barapadang, 84 tahun, Galio Palunsu, 83 tahun, M.Luke, 81 tahun, Halima, 81 tahun, Karima Pobuti, 77 tahun, M.Laula, 76 tahun, Redy Palunsu, 71 tahun, Hasina, 71 35



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.12 79



tahun, Jhon Palunsu, 70 tahun, Padema Laula, 71 tahun menyatakan bahwa to konde tidak ada dari dahulu kala sampai sekarang, to konde hanyalah panggilan sindiran atau ejekan suku Padoe yang berada di daerah padang di luar kampung Kawata, bukan suku. Jelasnya To Konde bukan nama suku tapi nama panggilan sindiran pada saat itu, bagi suku Padoe yang berlokasi di padang (mia henu moia ai konde) Sebagai perkampungan baru yang pindah dari Kawata karena Kawata sudah padat pada saat itu, apalagi setelah Kawata dibangun dan dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu. Jadi To Konde adalah suku Padoe. Kehadiran to konde, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18 B ayat (2), Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup, sedangkan fakta di lapangan to konde tidak ada sejak dahulu di Kawata dan sekitarnya, baru dibentuk yang baru dengan rekayasa tertentu. Ini berarti Negara hanya mengakui suku atau masyarakat hukum adat yang ada sejak dahulu dan sampai sekarang masih hidup berdasarkan fakta di lapangan, bukan bentukan baru. 4. TO KINADU Menurut Sejarah Suku Padoe dari dahulu tidak ada To Kinadu. Dan sudah diputuskan melalui pertemuan Suku Padoe tahun 1629 di Matanggoa bahwa tidak boleh ada suku lain, hanya ada satu Suku namanya suku Padoe. Kemudian menurut tokoh-tokoh masyarakat di Angkona, Pabeta dan Kore-Korea, menyatakan tentang nama to Kinadu. Mereka menceritakan bahwa to Kinadu adalah nama panggilan /sindiran ejekan suku Padoe terhadap suku Padoe yang terkurung pada saat peperangan antar suku terjadi. Mereka tidak bisa keluar pada saat itu, mereka terkurung (mia henu tekadu).Sehingga suku Padoe memanggil suku Padoe yang terkurung namanya to kinadu (mia henu tekadu). Jadi



80



bukan suku tetapi keadaan lokasi yang terkurung karena situasi yang bersifat sementara dan situasional. Jadi to kinadu bukan suku tetapi nama panggilan suku Padoe yang terkurung pada saat perang antar suku ( Tekadu). Jadi To Kinadu adalah suku Padoe. 5. TO WEULA Berdasarkan sejarah, orang Weula adalah orang yang bersifat jahat, bengis, dan suka berperang, telah kalah dan punah setelah perang melawan suku Padoe baik di Lembo Weula dan dataran Tinggi Weula, tahun 1651, di daerah Lioka, Wawondula, Matompi tahun 1700 dan di daerah Matano dan Sorowako tahun 1600- an. Sejak itu orang Weula sudah tidak ada lagi di Tanah Nuha. Orang Weula adalah orang Tolaki dari Sulawesi Tenggara. 6. TO RO'UTA Berdasarkan sejarah orang Ro'uta adalah orang yang bersifat jahat, bengis dan suka berperang, telah diusir oleh Mokole Rahampu'u Matano dari Tana Nuha. Kemudian orang Ro'uta dikalahkan suku Padoe pada saat perang di Danau Towuti pada tahun 1800, Panglima Perangnya yang bernama Lawuruane dipotong lehernya pada saat pertempuran antar perahu di tengah Danau Towuti. Orang Rou'ta kalah oleh suku Padoe dan sejak itu orang Ro'uta sudah tidak ada lagi di Tana Nuha. Orang Ro'uta adalah orang Tolaki dari Sulawesi Tenggara. 7. SUKU-SUKU KECIL Dahulu setelah peperangan suku Padoe melawan orang Weula di Lembo Weula dan Dataran tinggi Weula, di Kemokolean Andomo, Lewehuko, Tulambatu, Kuasi dan daerah Matano / Sorowako serta perang Suku Padoe dengan orang Epe, serta perang dengan orang Ro'uta di Danau Towuti maka semua tanah-tanah Weula dan tanah Ro'uta dikuasai Suku Padoe. Begitupun semua tanah orang Ro'uta di seberang Danau Towuti sampai puncak Gunung perbatasan Sulawesi



81



Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan dikuasai oleh Suku Padoe. Jadi semua namanama kampung, sungai, Tanjung, Teluk, dan tempat-tempat lain yang pakai bahasa Ro'uta dan Weula, diganti dengan nama bahasa Padoe. Jadi kampung-kampung itu bukan suku, tapi hanya nama kampung. Jadi nama suku berbeda dengan nama kampung, dengan demikian tidak benar kalau nama kampung dijadikan menjadi nama suku. Sedangkan untuk menjadi Suku harus memenuhi persyaratan memiliki bahasa sendiri, Adat dan budaya sendiri, Hukum Adat sendiri, Lembaga Adat sendiri, sejarah sendiri dan tanah Adat / wilayah Adat sendiri, bukan menumpang di Wilayah Adat orang lain. 8. MOKOLE /TADULAKO SALIWU PAHLAWAN SUKU PADOE. Atas keberhasilan / kemenangan dan jasa Mokole / Tadulako (Panglima Perang) Saliwu dalam memimpin suku Padoe berperang melawan orang Weula pada abad XVI - XVII, dan keberhasilan Saliwu memotong sekali tebas pohon Langkanae di halaman Istana Datu Luwu di Palopo pada tahun 1622, dan pelantikan Saliwu sebagai Mokole dengan gelar Mokole Motaha Ngangano 1622 oleh Datu Luwu Pattipasaung, sebagai seorang pejuang dan patriotis, maka Suku Padoe memberi gelar kepada Mokole / Tadulaku Saliwu sebagai Pahlawan Suku Padoe Mokole/Tadulako Saliwu, selama hidupnya, selalu berjuang untuk kepentingan rakyatnya, pasukannya dan rombongannya, tidak pernah mengenal lelah, sampai tuanya. Mokole/Tadulako Saliwu, mengemban perintah dari Datu Luwu Pattipasaung yang mengatakan bahwa "pergilah bawa rakyatmu, pasukanmu mencari sendiri tempat yang subur untuk pertanian dan yang baik untuk mencari kehidupan dan penghidupan ke sebelah Timur Daerah Luwu".



Dan ternyata



kesemuanya itu Mokole/Tadulako Saliwu telah melaksanakannya dengan baik dan membawa Suku Padoe menjadi suku yang berhasil, besar, kuat dan terkenal.



82



Salah satu semboyan Suku Padoe, yang dipegang teguh dalam menghadapi perjuangan, pergumulan serta tantangan yaitu bersatu kita teguh bercerai kita runtuh (Tepo'aso Kato Memoroso, Teposuangako Kato



Tekokale).



Itulah



salah



satu



semboyan



yang



dipakai



Mokole/Tadulako Saliwu dalam memimpin peperangan melawan musuh. 9. MASUKNYA INJIL KE TANA NUHA Menurut Tomagasa Manule36, menceritakan dan menguraikan perkembangan masuknya Injil ke Tana Nuha secara singkat sebagai berikut: a. Pada tahun 1913-1914, Albertus Christian Kruyt, mengunjungi daerah Wotu, Malili dan Lembo, memutuskan menjadi wilayah pelayanannya. A.C. Kruyt seorang penginjil yang berasal dari Negeri Belanda, yang memimpin penginjilan di Sulawesi Tengah dan daerah Wotu serta Malili di Sulawesi Selatan. b. Pada tahun 1913 penginjil J.Ritsema. ditempatkan di Taripa ( Onda'e ) dan Van Eenlen di Sampalowo (Mori). c. Pada tahun 1915 Kytenbelt ditempatkan di Wotu dan J.Ritsema dipindahkan dari Taripa ke Kawata (Malili). d. Pada tahun 1920 -1924, anak A.C.Kruyt, Johan Kruyt bertugas di daerah pelayanan Malili ( Kawata), dan berkedudukan di See-See dekat Togo. e. Pada tahun 1921 A. Kooistra mendampingi J.Ritsema di Kawata. f. Pada tahun 1927, dilakukan pembaptisan pertama empat orang Padoe, yaitu Lasemba Malotu, Ntara'i Tadehari, Tangkeku Komile dan Labebu



Masu'u. Beberapa



bulan setelah pembaptisan, Lasemba



Malotu diangkat menjadi Mokole Nuha dan Kepala Distrik Nuha . g. Pengaruh dari empat orang tersebut diatas, terutama pengaruh Mokole, pada tahun 1930, mulai diadakan pembaptisan besar besaran 36



yang



dilakukan



oleh



J.Ritsema



Tomagasa Manule, Silsilah Orang Padoe, Tahun 2008, h. 144-147 83



terhadap



orang



tua, pemuda dan anak - anak. Kemudian disusul dengan pemberian pelajaran katekisasi. h. Setelah Sangkedapo Tengkano dibaptis dan diangkat jadi Sulewatang (Wakil Mokole), ia diminta oleh J.Ritsema untuk mendekati orang Karunsi'e dan Tambee, supaya mereka secepatnya dibaptis, supaya tidak terpengaruh oleh agama lain. Hasilnya orang Karunsi'e dan Tambee menerima baptisan secara besar- besaran sekitar tahun 1930, i. J.Ritsema sudah mengenal Sangkedapo Tengkano di Taripa. Karena itu sesudah tamat Sekolah Rakyat, Sangkedapo Tengkano, Landangi Meoko dan Mompe Bokilo pergi ke Taripa dengan maksud mau Sekolah Pendeta. Untuk itu J.Ritsema mempersiapkan Sekolah Guru dan Sekolah Pendeta di Taripa. Tetapi karena persiapan Sekolah Guru dan Sekolah Pendeta belum selesai, maka mereka pulang ke Tabarano, dengan tidak ada hasil. Sebagai oleh-oleh Mompe Bokilo, membawa istri gadis Taripa. Sedang Sangkedapo Tengkano, membawa tiga nama yang akan dipakai menjadi nama anaknya yang laki- laki. Temyata tiga nama anak itu berkaitan dengan asal usul orang Padoe yang didengar dari orang-orang tua Taripa. Nama-nama itu ialah Padoe, Saliwu dan Onda'e. j. Pada tahun 1939, J.Ritsema pulang cuti ke Negeri Belanda, dan tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena Perang Dunia. Semua penginjilan asal Negeri Belanda pulang ke Negerinya. k. Untuk menyelamatkan Jemaat yang ditinggal, diambil tindakan semua Jemaat mengangkat Majelis Jemaat dan semua wilayah pelayanan mengangkat Ketua Klassis. l. Pada tahun 1942 -1946, guru S. Mokalu diangkat menjadi Ketua Klassis pertama di wilayah Malili / Lembo, berkedudukan di Kawata. m. Pada tahun 1947, S. Mokalu meninggal, dan digantikan oleh Pendeta dari Mori. n. Pada tahun 1949, Pendeta dari Mori meninggal dan digantikan oleh guru sekolah Tangkeku Komile.



84



o. Pada tahun 1939, dua pemuda kepercayaan lama (agama suku), menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya, yaitu seorang Sese Wute, bernama Tonabu dan seorang Woli'e Mpu'u bernama Boloki Ngginoo (seorang wanita). Mereka dibaptiskan oleh S.Tanonggi, guru Jemaat Wawondula karena Misionaris J.Ritsema sedang cuti ke Eropa. p. Setelah J.Ritsema ditempatkan di Kawata tahun 1915, pada tahun 1917, ia mulai mendirikan Sekolah Rakyat di Tabarano dan di Sorowako, kemudian menyusul kampung-kampung lain seperti Kawata, Landangi, Kaporesa, (kemudian menjadi Pae - Pae) dan Wawondula. Guru - guru didatangkan dari Minahasa yang sudah menjadi Kristen. Mereka mempunyai tugas rangkap, di sekolah mereka mengajar dan pada hari Minggu mengadakan pertemuan kampung



di



gedung



Sekolah.



Pertemuan



itu



bermaksud



memperkenalkan Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan penebus dosa, sesuai dengan yang tertulis dalam Alkitab, q. Pada tahun 1922, sudah mulai ada anak-anak tamatan Sekolah Rakyat, dari suku Padoe, Karunsi'e dan Tambee dikirim untuk belajar menjadi guru Kristen di Sekolah Guru Pendolo, yang dipimpin oleh Dr. Albert Christian Kruyt. Hal tersebut dipersiapkan untuk menggantikan guru - guru yang berasal dari Minahasa. Nama - nama guru yang tamat dari Pendolo adalah Lahuntangge Hode, Tangkeku Komile, Mowendu,



Ntahu,



Solewai



Tanonggi,



Pongkede



Tongko



dan



Tomasada Tamu'u, r. Di zaman penjajahan Jepang, guru - guru sekolah tidak diperbolehkan merangkap menjadi gembala Jemaat. Juga dilarang menggunakan gedung sekolah untuk tempat kebaktian atau pertemuan keagamaan yang lain. Untuk mengatasi larangan Pemerintah Jepang tersebut maka setiap kampung (Jemaat) memilih seorang Penatua yang senior dan berpengalaman dan mengangkatnya menjadi gembala. Untuk dapat beribadah mereka menggunakan Gedung Gereja darurat.



85



Berikut ini adalah daftar nama - nama penatua yang diangkat menjadi gembala Jemaat dan yang menyampaikan Firman Tuhan setiap Hari Minggu di gedung Gereja darurat. Penatua Pora



Gembala Jemaat Matompi.



Penatua Tawoti



Gembala Jemaat Lioka



Penatua Tara'i



Gembala Jemaat Tabarano



Penatua Tosingke



Gembala Jemaat Wawondula



Penatua Paparako



Gembala Jemaat Kawata



Penatua Koru



Gembala Jemaat Landangi



Penatua Ranti



Gembala Jemaat Wasuponda



Penatua Masolu



Gembala Jemaat Dongi



Penatua Kamude



Gembala Jemaat Tawaki



s. Pada masa Kemerdekaan kebebasan kembali diberikan kepada guruguru untuk bekerja secara rangkap, mengajar dan menjadi guru Jemaat dan gembala Jemaat. 10.PERISTIWA PEMBERONTAKAN DI/TII. Gerakan perjuangan kedaerahan yang menentang kekuasaan Pemerintah Indonesia



Pusat, (DI/TII),



seperti disatu



perjuangan pihak



Darul



merupakan



Islam/Tentara rongrongan



Islam



terhadap



Kedaulatan Negara dan pihak lain yang tidak terhindari bahwa gereja menjadi pihak yang dijadikan korban. Khusus Sulawesi Selatan yang menjadi pusat gerakan perjuangan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia di bawah pimpinan Qahar Mudzakkar, bencana kemanusiaan telah menjadi identitas peradaban. Gereja mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, bangunan-bangunan Gereja, sekolah - sekolah dibumi hanguskan, bahkan dipaksakan untuk beralih keyakinan pindah ke agama Islam serta tidak sedikit dari mereka yang memilih mengorbankan nyawanya demi mempertahankan keyakinan iman mereka sebagai penganut agama Kristen.



86



Menurut Asyer Tandapai Sigilipu 37, Pimpinan DI/TII di Sulawesi Selatan, Qahar Mudzakkar yang nama aslinya La Domeng, lahir di Luwu, tahun 1920. la masuk ke sekolah Desa di daerah kelahirannya dekat Palopo, Ibu kota Luwu, dan kemudian pergi ke Solo (Surakarta) untuk masuk sekolah guru Islam, Muallimin Muhammadiyah. Di sana ia memperoleh nama yang membuat terkenal, yang digubah dari nama seorang guru kesayangannya, seorang Pemimpin Muhammadyah Abdul Qahar Mudzakkir. Setelah menikah dengan puteri Solo, Qahar kembali ke kota kelahirannya, dan aktif dalam gerakan kepanduan Islam. Di



Luwu,



Qahar



memimpin



gerakan



penghapusan



sistem



aristokrasi dalam masyarakat feodal. Akibat perbuatannya, pada tahun 1943, ia diusir dari Tana Luwu, yang oleh Hukum Adat masyarakat Bugis disebut" ripaoppangi tana ", yang mengandung ancaman adikodrati bahwa kalau ia menginjakkan kaki di Tana Luwu, Tuhan akan menghancurkannya. Dari Luwu, Qahar kembali ke tempat keluarga istrinya di Solo. Selama perang Kemerdekaan (1945 1950) Qahar Mudzakkar memainkan peran terkemuka dalam Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang didirikan di Jakarta, pada 8 Oktober 1945 oleh A.Zus Ratulangie, Mr. Maramis, termasuk Qahar Mudzakkar dan mayoritas Pengurusnya dinominasi pemuda-pemuda asal Minahasa. Anhar Gonggong dalam tulisannya juga memberi riwayat tentang Qahar, yakni di tengah upaya perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi Belanda bulan April 1949 Qahar Mudzakkar berinisiatif melakukan reorganisasi kelaskaran pejuang Sulawesi Selatan dengan mengutus Letnan Satu Saleh Sjaban. Bulan Agustus 1949 dalam konferensi di Maros, terbentuklah Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) yang berkekuatan 10 Batalyon dan menetapkan Qahar Mudzakkar sebagai Komandan Divisi. Qahar menginginkan anggota gerilya yang tergabung dalam KGSS Asyer Tandapai -Sigilipu,Pergumulan GKST di Luwu masa Darul Islam - Tentara Islam Indonesia, Tahun 2005, h.26-29 37



87



diterima secara keseluruhan tanpa mempersoalkan persyaratan yang dapat diterima sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Proposal penyelesaian Laskar KGSS menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan. Dan untuk mencari jalan penyelesaian atas izin Pimpinan APRI sekitar bulan Juni 1950, Qahar Mudzakkar kembali ke Makassar bersama Letkol Mursito. Setelah bertemu dengan Kolonel Alex Kawilarang, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah-daerah pedalaman menemui kelompok-kelompok gerilya yang berada dalam satu organisasi yang bernama Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Kelompok gerilya yang telah ikut berjuang dalam perang dan mempertahankan kemerdekaan. Kehadiran Qahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan memunculkan pertentangan dengan Panglima Daerah Militer Kolonel Alex Kawilarang mengenai anggota-anggota laskar, sebab tidak semua dari mereka yang memenuhi syarat untuk diterima menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pendekatan-pendekatan



yang



dilakukan



kelihatannya



akan



membawa hasil, setelah Qahar Mudzakkar sendiri diberi pangkat Letnan Kolonel. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1951, dipersiapkan upacara kebesaran Militer untuk menggabungkan Qahar Mudzakkar dengan pasukan gerilya yang dikendalikannya. Tetapi menjelang pelantikan, mereka melarikan diri dengan membawa sejumlah truk, senjata dan amunisi lalu melanjutkan perjuangan dengan membuat kekacauan di banyak tempat dan berlangsung hingga tahun 1965. Pada tanggal 20 Januari 1952, Qahar Mudzakkar mengirim surat kepada Kartosuwiryo yang isinya "menerima pengangkatan sebagai Panglima Tentara Islam Indonesia, untuk Sulawesi." Dalam disertasi Pergumulan Islam di Indonesia, B.J. Boland, mengutip catatan Bahar Mattalioe, mengatakan bahwa mungkin tanggal 7 Agustus 1953 yaitu pada ulang tahun pertama Negara Islam, barulah gerakan perjuangan Qahar Mudzakkar mendapat legalitas menjadi Tentara Islam Indonesia



88



yang



dinyatakan



sebagai



bagian



dari



Negara



Islam



Indonesia



Kartosuwiryo di Jawa Barat. Wilayah perjuangan DI/TII Sulawesi Selatan-Sulawesi Tenggara dan juga pengaruhnya sangat terasa di Sulawesi Tengah, secara resmi pendeklarasiannya dilaksanakan di Makalua daerah Palopo Selatan (daerah Wajo sekarang), sebagaimana terungkap dalam beberapa bagian dalam keputusan yang termuat dalam Piagam Makalua. Suku Padoe yang diundang dalam Deklarasi di Makalua sebagai berikut: 1. Tinampa Malotu (Kepala Distrik Nuha), 2. Tangkeku Komile (Pendeta Klasis Malili-Nuha), 3. Mangania (Penatua Jemaat Tabarano), 4. Poko Podengge (Penatua Jemaat Wasuponda) Rapat berlangsung mulai tanggal 10-20 Agustus 1953 dengan keputusan: 1. Terhitung mulai tanggal 25 Agustus 1953, semua agama lain sudah di islamkan, 2. Bagi agama Kristen diberi waktu seminggu memotong babinya dan dimakan. Tetapi lewat tanggal 25 Agustus 1953, masih ada babi atau daging dihukum mati. Selain itu pembakaran gedung-gedung gereja dan buku-buku berbau kerohanian mulai tanggal 17-25 Agustus 1953. Gedung Gereja yang tidak hangus dibakar adalah Gedung Gereja Wawondula dan alkitab yang tidak hangus dibakar adalah alkitab di Wawondula. Lebih lanjut kegiatan DI/TII, dalam perjuangannya memiliki semboyan DAS yang artinya Dunia Akhirat Satu, menyebabkan penderitaan dan kekacauan masyarakat di daerah Nuha, Kabupaten Luwu pada saat itu, Sulawesi Selatan. Telah terjadi peristiwa - peristiwa yang sangat memilukan seperti tersebut sebagai berikut:



89



1. Pembunuhan tokoh-tokoh / pimpinan-pimpinan Masyarakat. Menurut kisah Rambaga Tomana38 mengatakan, langkah pertama kegiatan DI/TII, mengadakan pembunuhan pemimpin masyarakat tanggal 16 Desember 1950 di sekitar sungai Petea'a sebagai korban pertama adalah : a. Lasemba Malotu, Mokole (Kepala Distrik Nuha), b. Mantade Lasampa, penatua di Jemaat Tabarano, c. Rio-Rio, pemimpin Pandu, d. Pongkede Tongko, Kepala Sekolah di Timampu. e. Dg. Mangaliki, beragama Islam, korban tertuduh bahwa ada kerjasama dengan orang Kristen dan membocorkan rencana pembunuhan tersebut. Selanjutnya disusul pembunuhan kedua, pada tahun 1951 bagi para Penatua di Jemaat Tabarano dibantai di Jln. Setapak ke Larona. Kemudian disusul Dara Sumba, wakil Kepala Kampung Wawondula, bersama seorang penatua dari Kawata dan Lagasi, pegawai Kehutanan. Mereka disiksa dan kemudian dicincang, mayatnya ditemukan di padang, di luar kampung Wawondula. 2. Pemaksaan agama. Menurut Rambaga Tomana39, mengatakan, tepat pada tanggal 17 Agustus 1953, bertempat di Timampu, saat itu rakyat dikumpulkan dari kampung-kampung yang ada di Nuha, ketika itu dikumandangkan proklamasi perjuangan DI/TII, bahwa seluruh wilayah Distrik Nuha tidak ada lagi agama lain selain agama Islam. Serangkaian deklarasi tersebut, juga dikeluarkan amanat yang berlaku efektif selama seminggu, bahwa hingga batas akhir tanggal 25 Agustus 1953, semua telah masuk Islam, karena itu harus segera dilaksanakan antara lain: 1. Bagi mereka yang memelihara babi, diberikan kesempatan untuk dipotong, 38 39



Rambaga Toman a, seorang Tokoh masyarakat yang mengalami langsung peristiwa 1950. Rambaga Tomana, seorang Tokoh masyarakat yang mengalami langsung peristiwa 1953. 90



2. Semua buku-buku yang berbau Kristen harus dikumpulkan dan dibakar, 3. Para imam akan masuk ke kampung-kampung melaksanakan upacara massal masuk Islam yang disebut " Dipasyada " yaitu imam mendiktekan ayat Al Qur'an, kalimat syahadat, kemudian diikuti oleh orang-orang, dengan selesainya upacara demikian, maka seseorang dianggap sah sebagai orang Islam, kemudian diwajibkan untuk melaksanakan sembahyang. 3. Pembantaian Aksi penangkapan tokoh-tokoh masyarakat di Nuha diperkirakan berjumlah 78 orang. Mereka ditawan di dua tempat yaitu Lambatu dan Bea'u (di pesisir Danau Towuti) dan berlangsung selama tiga bulan, Menurut informasi dari Marambangi Lakapi 40 yang juga ikut ditawan, mereka dicurigai sebagai pengkhianat karena itu berada dalam status sebagai tahanan politik. Pada tanggal 17-23 Desember 1953, satu persatu para tahanan menjalani proses penyidikan, yang dipisahkan atas tiga golongan, yaitu : tawanan politik, tawanan mata-mata musuh, tawanan kejahatan sosial agama. Berdasarkan hasil penyidikan maka pada tanggal 21 Desember 1953, sejumlah



19



orang



tahanan



dijatuhi



hukuman



mati.



Tempat



pelaksanaan eksekusi untuk pertama mengambil lokasi di Lengkobale yang dilangsungkan tanggal 24 Desember 1953, para korban adalah : Tonese, Deledele, Kontao, Lahuoruo, Tapehe, Taganti, Bengesi, Kilo, Koro, Ngiwa, Soali, Hanapia, Pombale, Padiri, Siali, Wai. Eksekusi kedua bertempat di Bea'u pada tanggal 25 Desember 1953, antara lain mereka yang korban adalah : Tinampa Malotu (Kepala Distrik Nuha), Landangi Meoko, (Kepala Kampung Tabarano), Sarita Tudon (Mantan Polisi). Marambangi Lakapi, mantan pejabat sementara Kepala Distrik Nuha yang menggantikan sementara Tinampa Malotu. Pada saat penculikan tokoh - tokoh masyarakat, beliau minta bantuan keamanan ke Malili. 40



91



Menurut



Rambaga



Tomana



yang



menyaksikan



peristiwa



pembantaian tersebut, dalam catatannya, menuliskan ucapan terakhir Landangi Meoko, pada saat bersama para sahabat berjalan beriringan menuju lubang yang telah disiapkn untuk menjadi tempat pembantaian mereka, " Inilah kami diperlakukan seperti kerbau, digiring ke tempat pembantaian sebagai buah salib Kristus " Keyakinan mereka menunjukkan konsistensi hidup sebagai pemimpin, sekalipun bayangan kematian telah di depan mata untuk tidak berhianat. Mereka menjadi bukti sejarah sebagai pemimpinpemimpin yang rela dikorbankan demi keselamatan masyarakatnya. 4. Gelombang kekacauan dan pengungsian. Menurut Asyer Tandapai Sigilipu41 tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII, mengakibatkan kerugian yang besar, rumah-rumah penduduk, Gedung Gereja, gedung-gedung sekolah, gedung-gedung pemerintah dibakar, hingga pembantaian manusia yang tidak mengerti apa-apa. Pada bulan April 1954, tentara Brawijaya mengadakan operasi pengamanan di kampung-kampung yang ada. Kawata merupakan kampung yang pertama dijangkau. Kemudian pada bulan Juni 1954, Tentara



Brawijaya,



berhasil



menguasai



Tabarano,



Timampu,



Sorowako, dan kampung - kampung sekitarnya. Saat itu masyarakat sedang dalam persiapan untuk menuju satu lokasi di sebelah Utara Danau Towuti yang bernama Buangin, wilayah yang disiapkan oleh gerombolan untuk menjadi tempat pengungsian. Bahkan sudah ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyeberang, seperti kelompok yang dikoordinir Guru Ruru yang bertugas di Sorowako. Kehadiran Tentara Brawijaya, akhirnya berhasil mengevakuasi masyarakat untuk mengungsi ke Malili. Gelombang kekacauan oleh aksi gerombolan menciptakan deretan panjang iring - iringan masyarakat terpaksa Asyer Tandapai-Sigilipu, Pergumulan GKST di Luwu masa Darul Islam - Tentara Islam Indonesia, Tahun 2005, h.42-43 41



92



meninggalkan tanah tumpah darah tempat mereka dilahirkan dan hidup. Di Malili mereka ditempatkan di kamp- kamp pengungsian yang tersebar di dalam hingga di luar kota yaitu perkampungan pengungsi di Malaulu, sekitar tujuh kilometer dari kota Malili. Selain memberi perlindungan keamanan dan mengurus pemukiman, Juga bagi masyarakat yang sebelumnya memeluk agama Kristen namun telah diislamkan, oleh gerombolan Dl /TII, Pemerintah memberi pilihan kepada mereka untuk tetap bertahan sebagai pemeluk agama Islam atau kembali ke agama Kristen. Menurut Rambaga Tomana, keseluruhan masyarakat Nuha yang diungsikan ke Malili menyatakan diri untuk kembali, kecuali sekelompok masyarakat Padoe yang tinggal di kampung Matompi, kampung yang berbatasan dengan Timampu, tetap memeluk agama Islam. 5. Aksi Bumi Hangus. Dalam aksi gerombolan DI/TII menaklukkan wilayah, tempat dan kampung mereka bertindak sapu rata dengan cara membakar atau membumihanguskan tempat atau kampung sehingga masyarakat setempat kehilangan tempat tinggal dan ekonomi masyarakat hancur, rakyat menderita, kacau dan lari menyelamatkan diri. Perjuangan gerombolan DI/TII, cukup lama sejak tahun 1950 dan berakhir tanggal 3 Februari 1965, setelah Qahar Mudzakkar berhasil ditembak mati di Muara Sungai Lasolo, dekat Desa Lawali Sulawesi Tenggara. Kematian Qahar Mudzakkar, menjadi simbol berakhirnya perjuangan DI/TII. 6. Pengungsian masyarakat Nuha ke Malili dan ke Pakatan. Menurut



Latupu



Sinampu42



Di



Malili



dibentuk



Panitia



pemindahan rakyat Distrik Nuha ke Malili,dengan susunan sebagai berikut: 1. Pobinti Latendengan (Guru), 2. Solewai Tanonggi (guru) 42



Latupu Sinampu, Sejarah Desa Resetlemen, Tahun 1994, h.13,15,16,22,23 93



3. PH. Ndeira (PU), 4. Malupu Meoko 5. Mesa Mariesa ( Kepala Distrik) 6. Rambaga Tomana (Guru) 7. Siampe Sinampu Setelah ada pertemuan antara utusan dari Nuha : 1. T. Latendengan,



3. Ade Samuda,



2. Nggaro Samuda,



4. Barumbu Samuda.



Dengan Panitia Pemindahan Rakyat Distrik Nuha bersama dengan Tentara Nasional Indonesia memutuskan memindahkan masyarakat Nuha ke Malili secara bertahap sebagai berikut: 1.



Desa Kawata



17 0ktober 1953



2.



Desa Lasulawai



23 Oktober 1953



3.



Desa Landangi



30 Mei 1954



4.



Desa Dongi



1 Juni 1954



5.



Desa Tabarano



4 Juni 1954



6.



Desa Togo



4 Juni 1954



7.



Desa Balambano



4 Juni 1954



8.



Desa Matompi



4 Juni 1954



9.



Desa Wasuponda



8 Juni 1954



10.



Desa Wawondula



10 Juli 1954



11.



Desa Lioka



10 Juli 1954



12.



Desa Koropansu



20 Juli 1954



Pemerintahan Distrik Nuha di Malili sebagai berikut: 1.



Kepala Distrik Nuha



2.



Sulewatang



3.



Kepala Kantor



Mesa Mariesa Sangkedapo Tengkano Marambangi Lakapi



94



Kelompok Pemerintahan dibagi dua Desa yaitu: I. Desa Malaulu 1. Kepala Kampung Tabarano



Roba Sinta.



2. Kepala Kampung Togo



Tonangi Malanti



3. Kepala Kampung Wasuponda



Denge Bambu



4. Kepala Kampung Matompi



Rage Maso



Dengan Gembala Jemaat



Poko Podengge



II. Desa Malili: 1. Kepala Kampung Kawata



R. Laula



2. Kepala Kampung Lasulawai



Tangke Pesi



3. Kepala Kampung Landangi



Larota Koleba



4. Kepala Kampung Koropansu



Dangari Paliwo



5. Kepala Kampung Balambano



Katapi Mabarang



6. Kepala Kampung Wawondula



Goronti Nggalene



7. Kepala Kampung Lioka



Gaporo Lemako



8. Kepala kampung Dongi



Towue Lanande



Dengan Gembala Jemaat



Pilipus Ndeira



Dibantu



Pobinti Latendengan



Di Wotu/Mangkutana dibentuk Panitia Pemindahan masyarakat Nuha untuk penempatan di Pakatan. 1. PE. Latendengan 2. S.Tengkano 3. S.Tanonggi 4. Letnan Sinaga (Bagian Pengangkutan) Di Desa Pakatan, Pemerintahan sebagai berikut: 1.



Kepala Distrik Nuha



Mesa Mariesa



2.



Tata Usaha



Thomas Kenda (Tomarepe)



95



Dengan kampung - kampung sebagai berikut: 1.



Kepala



Kampung Malupu Meoko.



Kepala



Kampung Denge Bambu



Tabarano 2.



Wasuponda 3.



Kepala



Kampung Tomalena Kombu



Wawondula 4.



Kepala



Kampung Dangari Paliwo



Landangi 5.



Kepala Kampung Lioka



6.



Kepala



Gaporo Lemako



Kampung Rage Maso



Matompi 7.



Kepala Kampung Kawata Laga Doinga.



8.



Kepala



Kampung Ruben Laula



Lasulawai Dengan Majelis Jemaat sebagai berikut: 1.



Gembala Jemaat



Labiasa Tandumai



2.



Penatua



Pako Podengge



3.



Penatua



Rambaga Tomana



4.



Penatua



Hama Tudon



5.



Penatua



Sigilipu Tadehari



6.



Penatua



Laposu Lantiunga



7.



Penatua



Daha Maso



8.



Penatua



Ruben Laula



9.



Penatua



Randi Mbano



10.



Penatua



Basa



Dengan terbentuknya SDN Pakatan:



96



1.



Kepala Sekolah



Solewai Tanonggi



2.



Pembantu



Rambaga Tomana



3.



Pembantu



Tomasada Tamu’u



4.



Pembantu



Peturu Montalili



5.



Pembantu



Barahi



6.



Pembantu



Manggeta Palunsu



7. Penyebaran masyarakat Nuha Menurut Asyer Tandapai Sigilipu 43, Penderitaan, ketakutan dan kemiskinan menjadi realitas hidup para pengungsi selama berada di kamp-kamp



pengungsian.



Situasi



di



pengungsian



yang



dekat



pengawasan pihak keamanan tetap beium memberi rasa aman. Masyarakat tetap ketakutan untuk mencari bahan makanan, karena gerombolan masih sering mengintai mereka. Beberapa orang korban di lokasi pengungsian Malaulu, antara lain: Magumagu, Butahi, Lambatu, Metusalah, Kube, Wedame, Bato, Kadoena, Lasuni, Mono, Langgo, umumnya ditemukan tewas ketika mencari bahan makanan. Untuk menolong mengurangi beban masyarakat dari keadaan yang memprihatinkan, khusus pengungsi masyarakat Nuha di Malili, Pemerintah Kecamatan Malili, yang bekerjasama dengan pihak keamanan mengambil kebijakan untuk memindahkan para pengungsi ke



daerah



Mangkutana



yang



memungkinkan



untuk



berusaha.



Kebijakan tersebut disambut baik oleh sebagian besar pengungsi dan sebagiannya bertahan di Malili. Pada tanggal 14 Agustus 1955, pemberangkatan pertama dilaksanakan. Pada awal Januari 1956, pemberangkatan kedua dilaksanakan. Lokasi penampungan yang menempati wilayah Desa Maleku, mulanya diberi nama Kampung Gotong Royong, karena latar belakang Asyer Tandapai-Sigiiipu, Pergumuian GKST di Luwu masa Darul Islam-Tentara Islam Indonesia, Tahun 2005, h.49-50 43



97



terbentuknya berkat partisipasi dari berbagai pihak. Setahun kemudian, yaitu 17 Juli 1957, ketika masyarakat berangsur-angsur bangkit berusaha membangun kehidupan yang lebih baik,



dilaksanakan



Ibadah



Pengucapan



Syukur



Jemaat



dirangkaikan peresmian tanggal 17 Juli 1957, lokasi yang diberi nama PAKATAN sebagai singkatan dari Padoe, Karunsi'e, Tambee, Nuha, yaitu inisial kelompok-kelompok suku



di Nuha



yang menempati lokasi tersebut. Tetapi gerombolan masih terus melakukan pembakaran, penculikan, dan pembunuhan, sehingga akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1958, Mangkutana, dan Wotu yang menjadi pusat konsentrasi pengungsi



dan



gerombolan



kekuatan



DI/TII



yang



pengamanan, telah



mendapat



bekerjasama



serangan



dengan



Tentara



PERMESTA membakar perkampungan penduduk. Masyarakat panik dan berlari menyelamatkan diri ke hutan - hutan Sebagian besar masyarakat Pamona, Nuha dan Jawa yang ada di Mangkutana, mengungsi ke Sulawesi Tengah. Dan masyarakat Pamona di Wotu diangkut oleh kapal milik Tentara ke Kota Palopo. Gerombolan DI/TII yang telah bersekutu dengan Tentara PERMESTA dan memiliki persenjataan lengkap, melakukan gerak cepat menyerang kota Malili dan tanggal 9 Januari 1959 Malili yang menjadi Pusat Koordinasi Pengamanan dan Pemerintahan jatuh ke tangan



pemberontak.



membedakan



identitas



Seluruh



masyarakat



agama,



mereka



dengan



tidak



lagi



berhamburan



lari



menyelamatkan diri di hutan-hutan. Seminggu kemudian, tanggal 17 Januari 1959 pihak keamanan yang dikirim dari Palopo bersama kekuatan rakyat, kembali merebut Malili. Dan untuk menghindari korban yang lebih besar, Pemerintah mengambil kebijakan untuk memindahkan semua masyarakat ke kota Palopo, termasuk pengungsi dari Nuha yang sudah lima tahun meninggalkan kampung halaman mereka. Setelah Malili dikosongkan gerombolan melampiaskan nafsu kebiadaban mereka dengan membakar bangunan-bangunan yang 98



ada. Kota Malili menjadi lautan api yang menyisakan reruntuhan dan puing-puing. Dalam peristiwa di Malili, bangunan yang disisakan hanyalah Mesjid Raya dan Rumah Sakit. Masyarakat Nuha dan Pamona yang beragama Kristen yang diungsikan ke Palopo ditempatkan di Padang Alipan (diluar kota Palopo). Masyarakat Nuha yang ikut dalam pengungsian, tersebar di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah 44 yang hingga saat ini tidak kembali ke kampung halaman mereka. Wilayah - wilayah penyebaran mereka meliputi: Kecamatan Poso Kota, mulanya mereka bermukim di daerah pegunungan yaitu kampung Patende Sayo kemudian turun membaur dengan masyarakat lainnya. Mayoritas berdiam di lorong Sawerigading Sayo, Poso. Kecamatan Mori Atas, mulanya mereka membangun permukiman di Kampung Dangkati, lalu tersebar lagi ke beberapa perkampungan baru di Tomata. Kepala Distrik Tomata R.Ento bersama tokoh - tokoh pengungsi yang terdiri dari: D. Bambu, Mesa Mariesa dan Pilipus Ndeira, berangkat Ke Kolonodale, melaporkan kedatangan masyarakat Nuha di Tomata, pada Asisten Wedana Kolonodale Mainda Rumampou dan KPN Abdul Rabie. Kedatangan



utusan



ini



disambut



baik



oleh



Pemerintah



Kolonodale serta memberikan kebebasan untuk memilih tempat dalam wilayahnya. Sekembalinya utusan, sebagian besar pengungsi memilih wilayah Distrik Tomata, sebagian lagi di Desa Londi dan Ensa. Dan keluarga yang pulang adalah Mesa Mariesa dan Malupu Meoko. Untuk memikirkan masa depan pengungsi Masyarakat Nuha, dibentuk suatu organisasi yang disebut Panitia Pengumpulan Rakyat Distrik Nuha disingkat PAPERDIN dengan susunan Pengurus sebagai berikut: Penasihat 44



M.Rumampou (Wedana Kolonodale)



Latupu Sinampu, Sejarah Desa Resetlemen, 1994, h.31-42 99



Ketua I



S.Tanonggi



Ketua II



D. Bambu.



Sekretaris I



R.Tomana



Sekretaris II



M.Ruka



Bendahara



S.Tamu'u



Pengangkutan



R.Ento ( Kepala Distrik Tomata)



Pembantu Umum,



Semua mantan Kepala Kampung di Pakatan



Desa TALIWAN Berdasarkan hasil survey untuk Desa Tabarano, Lioka dan Wawondula, hasilnya sebagai berikut: 1. Dataran Pekolo cukup luas,



sebagai areal pertanian dan diairi oleh



sungai Korodolo, untuk persawahan. 2. Sungai Korodolo, airnya cukup untuk keperluan penduduk. 3. Dataran Pekolo, cukup dekat dengan Tomata ibu kota Distrik Tomata Mori Atas. Taliwan diresmikan oleh R.Ento Kepala Distrik Tomata, 10 Oktober 1960 dengan Nama Taliwan (Tabarano, Lioka , Wawondula, Nuha). Taliwan terdiri atas tiga Desa yaitu, Desa Tabarano, Desa Lioka dan Desa Wawondula tahun 1960. Tetapi atas kehendak sendiri Lioka bergabung dengan Wawondula tahun 1961, pada saat ditinjau Kepala Distrik Tomata pada penetapan pajak kepala pada tahun 1961. Sejak itu tinggal dua Desa di Taliwan, yaitu Desa Tabarano dan Desa Wawondula. Tugu di Taliwan Tugu di Taliwan dibangun, untuk mengenang isi hati orang tua kita setelah mengalami betapa Agungnya dan indahnya perbuatan Allah yang telah menolong dan membimbing sepanjang perjalanan yang penuh dengan tantangan sejak dari Nuha hingga tiba di Taliwan untuk memulai dan menatap hidup di tempat yang baru. Keyakinan dan isi hati para orang tua itulah yang diungkapkan seperti tertulis pada Tugu Peringatan Berdirinya Desa Taliwan (UE YESU BABA KAMI UMBU I NUHA HAWE 100



ENDEA MOTILALO HAWE I SURUGA), tanggal 10 Oktober 1960. Di daerah Tomata mereka menyebar menurut rumpun suku mereka masing masing seperti: Taliwan, singkatan dari Tabarano, Lioka, Wawondula (umumnya suku Padoe). Kampung Lanumor dan kampung Ta'ende, bahagian Barat (umumnya suku Tambee ) serta kampung Tiwaa (umumnya suku Karunsi'e). Kecamatan Pamona Utara, kampung Mayakeli (umumnya suku Padoe). Setelah Tentara yang dibantu oleh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) perlahan - lahan berhasil memulihkan keamanan dan melakukan



pengejaran



terhadap



gerombolan



DI/TII



dan



Tentara



PERMESTA, awal tahun 1960-an Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu di Palopo mengizinkan rakyatnya untuk kembali ke daerahnya masingmasing. Khusus masyarakat Nuha yang mengungsi ke Padang Alipan, karena daerah Nuha masih dikuasai gerombolan, mereka diberi kebijakan untuk mengisi kampung Pakatan di Mangkutana, yang telah ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka yang mengungsi ke Sulawesi Tengah. Menurut Santona Tamu'u dan Laribu Meoko 45 secara singkat dapat disampaikan masa pengungsian masyarakat Nuha sebagai berikut: 1. Pada bulan September 1953, warga Desa Kawata, Lasulawai, Tole Tole, mengungsi ke Malili kota. Disusul warga Desa Ussu, Kore Korea, Pabeta dan Angkona. 2. Pada bulan Juni 1954, warga Desa Tabarano, Wawondula, Togo, Tawaki, Lioka, Matompi, Landangi, Koropansu, mengungsi ke Malili, dan ditempatkan di Malaulu, 3. Pada bulan Juli 1954, warga Desa Wawondula yang ketinggalan, mengungsi ke Malili, 4. Pada tahun 1955, warga Desa Dongi mengungsi ke Soluro, dan tahun 1956, di jemput Tentara di Soluro, lalu diungsikan ke Pakatan, 5. Pada tahun 1956, Suka Damai dibangun, kemudian diresmikan 17 Juli 1957, menjadi Desa PAKATAN (Padoe, Karunsi'e, Tambee, Nuha), 6. Pada tahun 1957, warga Dongi pindah dari Pakatan ke Sulawesi 45



Santona Tamu'u dan Laribu Meoko, tokoh masyarakat dan tokoh Adat Padoe 101



Tengah dan menetap di Desa Gontara, 7. Desa Pakatan yang sudah diresmikan tanggal 17 Juli 1957, diserang lagi tanggal 23 Oktober 1958 oleh DI/TII. Demikian juga Wotu dan Mangkutana, terjadi lagi pengungsian. Sebagian mengungsi ke Padang Alipan, dekat Palopo, dan yang lebih banyak mengungsi ke Sulawesi Tengah. Sebagian mengarah ke Poso, dan sebagian menuju Tomata dan Pamona Utara. 8. Di Daerah Tomata dan Pamona Utara berdiri Desa baru yang terdiri dari: a. TALIWAN (Padoe, Lioka, Wawondula, Nuha) diresmikan 10 Oktober 1960; b. LANUMOR (Landangi, Nuha, Mori), perkampungan mayoritas Tambee c. Tiwaa (perkampungan orang Karunsi'e); d. Mayakeli (perkampungan orang Padoe), diresmikan 16 Oktober 1962. Desa Mayakeli. Pada mulanya Desa Mayakeli Kelurahan Sangele Tentena, didiami oleh tujuh keluarga asal Matompi sekitar tahun 1957, dan diterima secara resmi oleh Pemerintah Kelurahan dan Kepala Distrik. Kehadiran mereka ini mengikuti pendahulu mereka Tahe Lara 1953 dan Sipantu Larobu 1954 yang telah lebih dahulu berada di Tentena Tanah Pamona Poso. Untuk kehidupan dan penghidupan masa depan, masyarakat Padoe memerlukan tanah dan tempat untuk dijadikan kampung/Desa dan tanah pertanian. Hal tersebut diinisiasi oleh Tahe Lara, Sipantu Larobu dan Masi Langguna, BA. tahun 1958. Mereka menemui Kepala Distrik Tentena, untuk meminta ditunjukkan dan diberi tanah untuk dijadikan kampung/Desa dan tanah pertanian. Dan mereka memberikan pemyataan sikap yang terdiri dari 15 Kepala Keluarga dan 66 jiwa, yang telah datang secara bertahap, untuk siap diterima menjadi warga Pamona. Dari hasil inisiasi tersebut, Pemerintah telah menunjukkan dan



102



memberikan sebagian Wilayah Desa Buyumpondoli untuk permukiman dan tempat bertani dan berkebun. Atas kerjasama Kepala Distrik Tentena dan Kepala Desa Buyumpondoli, maka ke 15 KK dengan 66 jiwa orang Padoe, diterima oleh Kepala Desa dan masyarakat Pamona sebagai saudara



dan



saudara



seiman,



yang



telah



mengungsi



karena



mempertahankan iman dan kepercayaan kepada Tuhan Yesus. Setelah itu ada pula keluarga pengungsi yang datang menyusul. Setelah penunjukan wilayah untuk Desa, maka masyarakat Padoe berusaha untuk membentuk Jemaat dan Desa yang definitif. Masyarakat Padoe yang ada segera membentuk Kelompok Kebaktian di bawah Jemaat Induk Buyumpondoli, dan langsung mengadakan kebaktian/ lbadah rutin. Untuk



menjalankan



roda



Pemerintahan



maka



dibentuklah



Pemerintah Desa di bawah Desa Induk Buyumpondoli. Masyarakat menunjuk Rage Maso, sebagai Kepala Desa Pertama, karena beliau mantan Kepala Desa Matompi di Distrik Nuha Sulawesi Selatan. Setelah kehidupan dan penghidupan masyarakat Padoe berjalan dengan baik, kemudian masyarakat mengadakan rapat umum untuk menentukan



dan



menetapkan



waktu



berdirinya



Desa



Mayakeli.



Berdasarkan kesepakatan melalui rapat umum, ditetapkan bahwa Desa Mayakeli mulai berdiri pada 16 Oktober 1962. Yang bertepatan dengan hari Padungku sebagai hari pengucapan syukur Jemaat, dengan Kepala Desa I adalah Rage Maso. Atas segala tuntunan dan penyertaan Tuhan, masyarakat Desa Mayakeli, baik yang telah berpulang ke pangkuan Bapa di Sorga, dan bagi yang ada sekarang, menyampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak antara lain; a. Pemerintah Kabupaten Poso, b. Kepala Distrik Tentena, c. Kepala Desa Buyumpondoli, d. Gembala Jemaat Buyumpondoli,



103



e. Masyarakat Pamona di Tana Poso, f. Semua pihak yang telah menerima kami, orang Padoe menjadi warga Kabupaten Poso. Orang Padoe yang ada di Desa Mayakeli sekarang ini adalah sekitar 700 jiwa terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sebagai tanda penerimaan dari penduduk asli (Pamona) : Madago, katarima komi ri kalau'ka raya mami yang artinya baik, kami menerima kalian dengan suka cita, gembira penuh ketulusan. Ucapan terima kasih dari orang /suku Padoe: Tarima kase oto ai tarima kami ka ai powekami wute gagi po'ianga mami,



Umbori I Ue tumulungi kito lowo yang artinya Terima kasih



karena sudah menerima kami dan memberikan tanah untuk tempat tinggal, Tuhan Yesus menolong kita semua. 9. Pada tanggal, 9 Januari 1959, DI/TII bergabung dengan Permesta membumi hanguskan kota Malili. 11.BATAS WILAYAH ADAT / TANAH ADAT SUKU PADOE Berdasarkan Sejarah Suku Padoe dari dahulu kala, di mana berkembang dan mengalami kemenangan dalam peperangan baik antar suku, maupun bantuan perang yang diberikan kepada Kedatuan Luwu, atas permintaan Datu Luwu. Setelah Saliwu berhasil memotong pohon Langkanae di Istana Datu Luwu, kemudian Datu Luwu, mempersilakan mencari sendiri tempat yang cocok untuk pertanian dan mencari penghidupan dan kehidupan sesuai dengan keinginan masyarakat suku Padoe, kesebelah Timur Daerah Luwu. Kampung - kampung / permukiman suku Padoe sejak kurun antara awal Masehi sampai abad X Masehi menurut Ali Fadillah (1998 : 12 ) dan merujuk telaah Pelras (1995/1996) meliputi Angkona, Pabeta, Tampina, Lakarai (Cerekang), Bukit Munsi Mewuni, Ussu, Matanggoa, Malili, Kore-



104



Korea, Kawata, Laro'eha, Lasulawai, Wasuponda, Togo, See-See, Amasi, Tawaki, Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Wawondula, Langkea, Asuli, One - One, Matompi, Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha dan Larona. Berdasarkan wilayah perkampungan dan tempat - tempat tersebut di atas maka batas -batas wilayah Adat dan Wilayah tanah Adat, Suku Padoe, berdasarkan Sejarah Suku Padoe sejak dahulu, sebagai berikut: Sebelah Utara: Meliputi



wilayah



Angkona,



Pabeta,



Cerekang,



Laro'eha,Tole-Tole,



Kawata, Lasulawai, Tetenona, Sungai Tanggoloe (Koro Langkai), Wasuponda, Koro Manu-Manu, Pobingkua, Lembololo, Palumba, Asuli, Enggano, terus melaiui pinggir Danau Maholona, Petea'a, Lere'ea, Epe, lalu ke pegunungan mengikuti patok Batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah. Sebelah Selatan: Meliputi pegunungan mengikuti patok batas wilayah Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara, mengikuti patok batas dari Timur ke Barat, sampai ke pinggir pantai wilayah Lampia. Sebelah Timur : Meliputi pegunungan mengikuti patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah, sampai dengan patok batas, Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara. Sebelah Barat : Meliputi wilayah pantai Angkona, wilayah pantai Pabeta, Wilayah pantai Bukit Punsi Mewuni wilayah pantai Cerekang, wilayah pantai Ussu, Wilayah pantai Malili, Wilayah panta Lembo Lemao, Wilayah pantai KoreKorea, Wilayah pantai Labose, Wilayah pantai Lampia, sampai dengan patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara.



105



PETA BATAS WILAYAH ADAT/TANAH ADAT SUKU PADOE



106



BAB V SEJARAH ORANG WEULA, ORANG RO'UTA DAN SUKU PADOE DI TANA NUHA 1. ASAL MULA PENDUDUK LEMBO WEULA DAN DATARAN TINGGI WEULA Pada mulanya kata Weula tidak dikenai di daerah ini, karena orang Tolaki yang berasal dari Andolaki ( Sulawesi Tenggara ) datang di daerah ini, tidak ada yang bernama Weula, baik nama suku / kelompok maupun nama daerah. Begitu juga nama Lembo Weula / Dataran tinggi Weula. Pertama menempatkan



kali,



daerah



atau



penjahat-penjahat



tempat



yang



tersebut



ditangkap



dipakai



oleh



untuk



Pemerintah



Kedatuan Luwu dan Pemerintah Daerah Malili, yang banyak ditampung di daerah Wotu / Takolekaju dan daerah Ussu dengan kaki dirantai, menurut J.Kruyt dan Ritsema. Yang kedua, untuk menempatkan sekelompok orang dari Andolaki (orang Tolaki) eks perang yang jiwanya sudah terganggu menjadi orang jahat bersifat garang, kejam dan suka berperang. Mengingat akan teman-teman mereka yang sudah berhasil di rantau di daerah Lere'ea yartu orang Ro'uta, mereka berangkai ke arah Utara, menuju daerah Ro'uta. Setiba mereka di Lere'ea, Pemerintah Ro'uta yang sudah mengenal tempat - tempat yang masih luas untuk permukiman, mengantarkan teman - teman mereka yang baru. Sebagian mengantarkan teman mereka ke daerah Lembo Weula / dataran tinggi yang luas yang kemudian disebut sebagai Lembo Weula / dataran tinggi Weula. Dalam rombongan tersebut, terdapat Mokole yang akan menjadr Mokole di daerah tersebut.Perjalanan mereka mengikuti jalur Wawondula, Molindowe, mengikuti sungai ke arah Ledu-Ledu, Mohainga, melalui Modaso, tembus ke Konda-Kondara. Mokole I bernama Labunta mendirikan tempat permukimannya di Mohainga, karena banyak lubang batu sebagai pertahanan. Mokole II mendirikan tempat permukimannya di Konda-Kondara karena tempat itu



107



cocok untuk pertahanan yang dilengkapi dengan benteng dari tanah. Sebahagian orang Ro'uta mengantar sekelompok orang Tolaki ke daerah Mori. Di daerah Mori mereka mendirikan kampung Watu Api. Sifat mereka yang jahat, kejam dan garang dan suka berperang, mereka sering menyerang kampung-kampung orang Mori tetangga mereka, merampas harta terutama bahan makanan. Mereka mencuri sagu di hutan sagu yang disebut tambunga, dengan pengawalan bersenjata. Orang Mori melaporkan peristiwa tersebut kepada para Pongkiari yang punya pasukan yang kuat. Mereka diserang, senjata mereka dirampas, akhirnya mereka lemah dan tidak kuat lagi berperang. Mereka diusir lalu tercerai berai di antara kampung-kampung di Mori. Ada yang masuk kampung, termasuk di kampung Tinompo, untuk minta perlindungan pada Pongkiari yang ada di kampung itu. Mereka dipanggil-panggil dengan ejekan Wionggo yang berarti tercerai-berai karena diusir (Johan Kruyt). Orang Mori memanipulasi kata Wionggo dengan cara mencari sinonim kata Wionggo dalam bahasa To Molongkuni, karena bahasa orang-orang yang diejek dengan nama orang Wionggo itu mirip bahasa To Molongkuni. Dua kata sinonim yang mereka ketemukan yaitu Tewiangka dan Wianga, yang artinya tercerai berai karena diusir. Orang Mori memanipulasi kata Wionggo, Tewiangka dan Wianga menjadi kata-kata yang tidak enak didengar seperti kata Meonggo, Inonggo dengan tali (ula), sehingga kata Wionggo menjadi kata Wiula. Wianga menjadi Wenga, sehingga menjadi Weule. Seterusnya dengan kata Weule berubah menjadi kata Weula. Akhirnya Mori Bawah, Mori Atas dan Mori Selatan sudah terbiasa memanggil orang Wionggo (ejekan) menjadi orang Weula. 2. ORANG WEULA DI KEMOKOLEAN RAHAMPU'U MATANO Orang Ro'uta ingin kembali ke daerah mereka di Lere'ea melalui Matano dan diikuti oleh orang Weula. Setiba mereka di Matano, mereka



108



diterima oleh Mokole Rahampu'u Matano dan mereka diberi kesempatan mencari penghidupan di daerah kemokolean Rahampu'u Matano asal tidak mengganggu keamanan Setelah beberapa lama Orang Weula mendirikan kampung di Mohainga sebelah Selatan Matano. Mereka menculik seorang' perempuan keturunan Mia Ntii yang dijadikan Mokole mereka. Perempuan itu disembunyikan di istana supaya tidak dilhat orang. Mokole perempuan itu belum bersuami, diketahui oleh Karua Numunuo di Mori. Ketika Mia Ntii yang menjadi Mokole di Mori ingin kawin dengan turunan Mia Ntii. Karua Numunuo membawa pasukan untuk menculik Mokole perempuan itu (Johan Kruyt). Peristiwa inilah yang menyebabkan ada hubungan antara kemokolean Rahampu'u Matano dengan kemokolean di Mori. Penguasa kampung Mohainga yaitu orang Weula, sering menyerang kampumg-kampung di tetangganya dan merampas harta benda mereka. Akibatnya kampung bersatu menyerang Mohainga dan menghancurkan sampai rata tanah,orang Weula banyak mati. Orang Weula yang masih hidup melarikan diri ada yang menuju ke Ussu lalu berdiam antara Ussu dengan Tole-tole dan sebahagian ke Lembo Weula /dataran tinggi Weula bergabung dengan teman-temannya. Orang Ro'uta yang diikuti oleh orang Weula meninggalkan Matano terus sampai ke daerah Sorowako dan Otuno. Dari Otuno sepanjang pesisir danau Matano sampai dekat ke arah Sorowako Sedangkan orang Weula yang ikut, juga ikut berkebun menyambung kebun orang Ro'uta sampai suatu tempat yang bernama Helai dekat Sorowako. Demikian juga orang Ro'uta bersama orang Weula yang pulang dari Mori melalui Bungku tembus ke danau Maholona sebagian terus ke Lere'ea dan sebagian lagi berkebun bersama-sama teman mereka dari Otuno sampai ke Helai. Orang Matano dan suku Padoe yang mencari ikan di cabangcabang sungai yang keluar dari danau Maholona, menuju danau Towuti sering diserang secara tiba-tiba oleh orang Ro'uta dan orang Weula. Mokole Rahampu'u Matano marah lalu mengusir orang Ro'uta dan orang



109



Weula. Orang Ro'uta lari ke Lere'ea dan mengundurkan diri mendiami pesisir Timur danau Towuti. Orang Weula melarikan diri ke arah Lembo Weula /dataran tinggi Weula Wasuponda karena mereka tahu sudah ada teman mereka di sana. Setelah berkumpul dengan teman mereka, mereka menjelaskan bahwa di Mori mereka diberi nama Weula dan menganjurkan supaya orang Tolaki yang tinggal di Lembo / dataran tinggi Wasuponda dinamai orang Weula. Seterusnya dipakai nama-nama seperti orang Weula, Mokole Weula dan Lembo Weula. Ada juga suatu peristiwa ketika suku Padoe pergi mencari / menangkap ikan di salah satu anak sungai dari sungai yang keluar dari Maholona. Mereka membawa senjata lengkap. Ketika orang Ro'uta datang mengganggu, mereka melawan dan berhasil menewaskan beberapa orang Ro'uta. Anak sungai tersebut diberi nama Koro Petea'a ( sungai perkelahian, atau tempat pertempuran) 3. ORANG WEULA DAN ORANG RO'UTA Di TANA NUHA Sebelum terjadi kekacauan di daerah Andolaki, Konawe dan Mekongga orang Ro'uta sudah meninggalkan daerah itu menuju daerah Kemokolean Ro'uta dengan inia mpu'u Lere'ea. Setelah terjadi kemelut di daerah tersebut antara beberapa kerajaan kecil maka sekumpulan orang Tolaki yang sudah terganggu jiwanya menuju ke Utara mencari teman mereka orang Ro'uta . Setelah mereka tiba mereka diantar sebahagian ke dataran tinggi Wasuponda dan menetap disana. Sebahagian diantar ke daerah Mori dan pertama kali mereka berkampung di Watu Api.Mereka sering menyerang kampung-kampung orang Mori, merampas makanan, harta benda dan mencuri sagu dihutan sagu (tambunga) dengan pengawalan bersenjata. Kejadian ini dilaporkan kepada Pongkiari yang memiliki banyak pasukan. Para pencuri itu diserang dan dikalahkan dan senjata mereka dirampas. Dalam keadaan tidak berdaya pencuri-pencuri diusir sehingga mereka tercerai berai diantara kampung-kampung orang Mori.



110



Orang Weula yang tidak bermukim di kampung Mohainga mengikuti orang Ro'uta yang pulang ke daerahnya melalui Sorowako Otuno sampai ke Lere'ea. (Johan Kruyt). Sesampai di Otuno, orang Ro'uta berkebun dari Otuno mengikuti tepi danau Matano dan disambung dengan kebun orang Weula sampai dekat Sorowako. Kemudian orang Ro'uta kembali ke daerahnya melalui Bungku tembus ke danau Maholona. Mereka juga bergabung berkebun. Orang Weula adalah orang Tolaki dari Sulawesi Tenggara yang masuk ke Lembo Weula Tana Nuha dan sebagian lagi ke Mori. Kemudian ada lagi orang Weula yang datang dari Mori ke Tana Nuha karena diusir dari Mori. Mereka migran secara berkelompok dengan membawa senjata, mencari tempat untuk permukiman, pertanian, perburuan, pengumpulan hasil hutan, makanan dan lain sebagainya. Sifat orang Weula jahat, bengis, dan suka berperang. Wilayah orang Weula di daerah Nuha sebelah Barat meliputi pertengahan Ussu-Tole-Tole sampai dengan separuh Danau Towuti. Orang Weula berasal dari Suku Tolaki, Sulawesi Tenggara. Wilayah orang Ro'uta, di daerah Nuha sebelah Timur meliputi separuh Danau Towuti sampai dengan puncak gunung tinggi perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan. Orang Rou'ta berasal dari Suku Tolaki Sulawesi Tenggara. Pusat kemokolean Weula di Tana Nuha berada di Lembo Weula sekarang ini disebut Wasuponda. Memiliki



benteng



pusat



pertahanan



di



Wawo



Ao



dengan



membawahi benteng pertahanan di Mohainga daerah Modaso. Menurut Todarisa46 Mokolenya bernama Labunta. Mokole ini adaiah kakak, yang sifatnya sangat jahat, dia yang membuat peraturan yang mempersulit Suku Padoe, seperti kalau suku Padoe mengambil rotan di hutan, maka hasilnya harus dibagi 50% untuk orang Weula dan 50% untuk suku Padoe dibawa pulang. 46



Todarisa, seorang tokoh masyarakat dan tokoh Adat Wawondula 111



Menurut Masi Langguna, Benteng pertahanan di Konda - Kondara, Mokolenya bemama Tei-Tei adalah adik dari Labunta. Selanjutnya Benteng pertahanan yang ketiga berada di Kasidula di sebelah Barat Wasuponda (antara Wasuponda dengan Tanggoloe). 4. SUKU PADOE DI TANA NUHA Pada tahun 1620, Saliwu dipanggil oleh Datu Pattipasaung, Datu Luwu. Datu Luwu marah karena Saliwu dielu-elukan rakyatnya sebagai Mokole Ntii. Tindakan tersebut seakan-akan ingin menyaingi Kedatuan Luwu.Saliwu dipanggil sekaligus mau diuji apakah betul memiliki darah kebangsawanan yang punya kesaktian. Kemudian tahun 1622, Saliwu tiba di Palopo memenuhi panggilan Datu Pattipasaung menghadap Datu Luwu di Palopo, ditemani oleh Lamara. Saliwu diadili dan dihukum mati. Kecuali Saliwu tidak dihukum mati kalau Saliwu dapat memotong pohon Langkanae dengan sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman Istana Datu Luwu. Saliwu minta waktu persiapan sembilan hari. Setelah sembilan hari momomaani mengelilingi pohon Langkanae di halaman istana, setelah pohon Langkanae terlihat seperti dui kemudian Saliwu memotong pohon Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri dan berhasil. Kedatuan Luwu geger dan kemudian mengadakan sidang luar biasa yang dipimpin oleh Datu Pattipasaung sendiri dan dihadiri oleh: Opu Patundrung, Opu Tomarilalang, Opu Pabicara, Opu Balirante, dan Opu Mincara, dengan keputusan sidang sebagai berikut: 1. Kemenangan Saliwu disaluti dan disanjung tinggi, 2. Saliwu dengan orang-orangnya diterima oleh Datu Luwu dan rakyatnya sebagai sahabat dari jauh (To Belae), 3. Saliwu dengan pengikutnya dibebaskan mencari permukiman di sebelah Timur Daerah Luwu, 4. Saliwu dilantik kembali menjadi Mokole dengan gelar Mokole Motaha Ngangano.



112



Datu Luwu Pattipasaung yang berkuasa pada tahun 1615-1637 memerintahkan kepada Mokole Saliwu pada saat Saliwu di Palopo, agar membawa rombongan/pasukan dari Lakarai ke arah Timur Daerah Luwu untuk mencari tempat pertanian yang baik dan subur. Berdasarkan perintah Datu Luwu ini, setiba Mokole Saliwu di Lakarai dari Palopo tahun 1624, kemudian Mokole Saliwu membawa rombongan / pasukan ke Matanggoa. Menurut Santona Tamu'u selama di Matanggoa Mokole Saliwu mengadakan pertemuan tahun 1629 dengan semua suku Padoe dari Angkona, Tampina, Pabeta, Lakarai (Cerekang) Ussu, Malili, Kore-Korea, Laro'eha, Kawata dan kampung-kampung lainnya untuk membicarakan masa depan dan wilayah serta hal-hal yang penting sebelum berpencar menjadi beberapa kampung, mereka memutuskan: Yang pertama mengenai suku Padoe. 1. Nama suku yang di bawah pimpinan Mokole / Tadulako Saliwu bemama Suku Padoe. 2. Di manapun mereka mendirikan kampung, biarpun terpisah-pisah tetapi tetap satu bernama Suku Padoe (To Padoe), karena nama suku Padoe berfungsi sebagai alat pemersatu. 3. Mokole Saliwu ditetapkan sebagai Tadulako. atau Panglima Perang Suku Padoe. Yang kedua mengenai pembagian kelompok/ pasukan Membagi kelompok/pasukan suku Padoe menjadi empat yaitu: 1. Kelompok / pasukan l dipimpin oleh Mokole/Tadulako Saliwu, merangkap koordinator semua kelompok/ pasukan dengan mendirikan kampung Kawata dilengkapi benteng pertahanan di Wawo Une 2. Kelompok/pasukan II dipimpin oleh Paerako dengan mendirikan kampung di Togo dengan benteng pertahanan di Bukit Amasi kemudian dipindahkan ke Togo. 3. Kelompok/pasukan III dipimpin oleh Kalende, mendirikan kampung /



113



benteng pertahanan di Bukit Umodo dan Bukit Wawontamba kemudian dipindahkan ke Tabarano. 4. Kelompok/Pasukan IV dipimpin Nggalene, mendirikan kampung Langkea, dengan benteng pertahanan Bukit Langkea kemudian dipindahkan ke Wawondula. Sebagai penjelasan bahwa pada waktu zaman Belanda, semua kampung yang berada di atas bukit dipindahkan ke tanah datar yang di pinggir jalan. Seperti Amasi di pindahkan ke Togo, Umodo dan Wawontamba dipindahkan ke Tabarano. Dan Langkea dipindahkan ke Wawondula. Setelah selesai pertemuan Suku Padoe di Matanggoa, kelompok/ pasukan berpindah ke Kawata, dan menjadikan Kawata sebagai kampung pertama suku Padoe. Mereka membangun Kawata menjadi kampung yang ramai dan teratur. Kemudian sesudah itu mereka meneruskan perjalanan ke daerah Lembo Weula / dataran tinggi Weula Wasuponda. Sebelum Mokole/Tadulako Saliwu, membawa kelompok/pasukan memasuki Lembo Weula /dataran tinggi Weula Wasuponda, Mokole / Tadulako Saliwu menghadap Mokole Weula di Konda-Kondara yang bernama



Tei-Tei,



sekitar



tahun



1640.



Dalam



pertemuan



itu



Mokole/Tadulako Saliwu meminta kepada Mokole Weula, supaya mengizinkan suku Padoe bermukim di wilayah orang Weula, serta mencari penghidupan dengan menggarap tanah pertanian, memelihara ternak dan mengambil hasil hutan. Kemudian Mokole Weula mengatakan kepada Mokole/Tadulako Saliwu, untuk mencari sendiri tempat supaya sesuai dengan keinginan, tetapi dengan syarat harus membayar upeti (Inda wute), sebesar 10 % untuk pemilik tanah (orang Weula) dan 90 % untuk penggarap tanah (suku Padoe). Mokole/Tadulako



Saliwu



menyatakan



persetujuannya,



maka



terjadilah kesepakatan antara dua Mokole. Pada sekitar tahun 1642 Mokole/Tadulako Saliwu dan rombongannya mengadakan penelitian



114



untuk mendapatkan tempat dan wilayah yang baik dan subur untuk pertanian dan strategis untuk pertahanan dan keamanan. Sesudah kesepakatan tersebut, hubungan antara suku Padoe dengan orang Weula berjalan dengan baik. pertanian Suku Padoe mulai berproduksi dan mulai membayar upeti kepada Mokole Weula pada tahun 1646 Di daerah Wawondula, Lioka dan Matompi ada empat kemokolean kecil Weula yang terdiri dari Mokole Andomo, Mokole Lewehuko, Mokole Tulambatu, dan Mokole Kuasi. Kemudian ada pula wilayah orang Ro'uta di Lere'ea, yang berada dari separuh Danau Towuti sampai dengan puncak Gunung tinggi di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan. Sebagian orang Ro'uta yang ada di daerah tersebut, adalah suku Tolaki yang diusir dari Matano dan Otuno, oleh Mokole Rahampu'u Matano, karena perbuatannya yang jahat, bengis dan suka berperang. 5. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG WEULA DI LEMBO WEULA DAN DATARAN TINGGI WEULA Menurut Sipantu Larobu47 setelah lima tahun suku Padoe bersamasama dengan orang Weula, maka sekitar tahun 1651 pecah perang antara suku Padoe dengan Orang Weula selama sembilan bulan lamanya. Penyebabnya adalah karena kejahatan-kejahatan orang Weula terhadap Suku Padoe. Mokole Weula mengingkari kesepakatan antara Mokole/Tadulako Padoe dengan Mokole Weula di Konda-Kondara Pelanggaran tersebut meliputi: 1. Mokole Weula menaikkan upeti dari 10% menjadi 50% secara sepihak; 2. Kalau suku Padoe mengambil kayu atau rotan di hutan maka hasilnya harus dibelah dua, sebelah disimpan untuk orang Weula dan sebelah dibawa pulang oleh suku Padoe, 47



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3 115



3. Kalau suku Padoe berburu, maka hasil buruan harus dibagi dua antara suku Padoe dengan orang Weula, 4. Kalau binatang buruan suku Padoe lari dan mati di wilayah orang Weula. maka binatang tersebut menjadi milik orang Weula, 5. Kalau orang Weula meletakkan tongkatnya melintang di jalan yang biasa dilalui suku Padoe, jikalau tongkat itu dilangkahi suku Padoe, maka suku Padoe dipukuli dan barang yang dibawanya dirampas oleh orang Weula. Setelah lima tahun suku Padoe membayar upeti (inda wute), kepada Mokole Weula, Mokole Weula mulai iri hati, karena pertanian dan peternakan suku Padoe sangat berhasil. Begitu juga suku Padoe sangat rajin mengumpulkan hasil hutan. Mokole Weula menaikkan upeti secara sepihak menjadi 50 %. Berdasarkan hal tersebut Mokole/Tadulako Saliwu menghadap Mokole Weula, meminta supaya upeti diturunkan kembali seperti perjanjian semula 10 % untuk orang Weula. Terjadi perdebatan antara dua Mokole, dan akhirnya Mokole/Tadulako Saliwu mengatakan kalau upeti tidak diturunkan kembali seperti semula yaitu 10%, untuk orang Weula, akan terjadi peperangan antara suku Padoe dengan orang Weula. Tantangan Mokole/Tadulako Saliwu tersebut diterima Mokole Weula dengan optimis pasti menang kalau perang. Orang Weula mengadakan ritual kepada Dewa-dewa mereka, dengan menyembelih seorang budak Mokole Weula, yang bernama Karedui.



Sebelum



Karedui



disembelih,



Karedui



minta



bicara,



mengucapkan sumpahnya Kalau benar ada aturan adat orang Weula dari dulu mempersembahkan manusia kepada dewa-dewa kalau mau berperang, dan untuk kepentingan orang Weula, bukan untuk kesombongan, maka orang Weula akan memenangkan peperangan, dan orang Weula akan semakin berkembang dan jaya. tapi kalau tidak ada aturan adat mempersembahkan manusia kepada dewa-



116



dewa sebelum perang dan hanya untuk kesombongan, maka orang Weula akan kalah perang dan punah. Mokole/Tadulako Saliwu, mengerahkan pasukannya dari Laro'eha, Kawata, Wawo Une ditambah dengan pasukan suku Padoe yang sudah ada di Lembo Weula, seperti Amasi, Togo, See-See, Molio, Umodo, Wawontamba, Tabarano, Langkea, Lioka, Wawondula dan Matompi sebanyak 2000 orang Mereka membawa meriam pendek (80 cm sampai 1 meter), dan senapan-senapan laras panjang, yang dibeli dari orang Portugis yang berkunjung ke daerah Malili, Ussu dan Cerekang, untuk menggempur pertahanan orang Weula. Menurut Sipantu Larobu48 dalam peperangan selama Sembilan bulan lamanya, semua kediaman Mokole Weula hancur luluh berantakan dan lenyap. Dan orang Weula mengalami kekalahan total



mayat orang



Weula yang mati di mana-mana karena perang sapu rata oleh pasukan suku Padoe .Benteng pertahanan di Mohainga dibakar, sehingga mereka terkurung dalam lubang batu persembunyian, sehingga orang Weula mudah diserang oleh pasukan suku Padoe, mencincang dan menusuk orang Weula dilubang batu persembunyian. Benteng pertahanan Weula di Konda - Kondara, hancur akibat lemparan batu - batu besar oleh seorang suku Padoe yang tinggi besar bernama Latowo, orang Weula kalah total. Setelah itu semua tanah milik orang Weula, dikuasai oleh suku Padoe. Pada peperangan tersebut dilakukan sendiri oleh pasukan suku Padoe yang dipimpin Mokole/Tadulako Saliwu, tanpa bantuan dari suku-suku lain. Menurut Sipantu Larobu49, menjelaskan bahwa dalam peperangan itu semua orang Weula mati dan punah karena kalah perang dan sesuai dengan sumpah (tonao) Karedui. Kecuali satu keluarga karena menyerah bernama Nampera beserta istri dan dua orang anaknya. Setelah peperangan di Lembo Weula / Dataran tinggi Weula dan sekitarnya, sudah selesai, maka semua tanah milik orang Weula dikuasai 48 49



Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3 Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982, h.3-4 117



oleh suku Padoe. Selanjutnya tanah di Lembo Weula dibagikan kepada suku Padoe oleh Saliwu dan Kalende. Sedangkan di daerah Togo, Amasi dibagikan oleh Paerako. Di daerah Mohainga dibagikan Kalende kepada Lawati dan Sinta. Daerah Modaso dan Wawo Ao dibagikan Kalende kepada Manule. Sedangkan daerah Konda-Kondara dibagikan Kalende kepada Mbotengu. 6. PERANG



SUKU



PADOE,



MELAWAN



ORANG



WEULA



DI



KEMOKOLEAN ANDOMO,LEWEHUKO,TULAMBATU DAN KUASI Menurut Seketi Samuda50, menjelaskan bahwa kemokolean Andomo,



kemokolean



Lewehuko,



kemokolean



Tulambatu



dan



kemokolean Kuasi, diserang oleh suku Padoe dari Wawondula sekitar tahun 1700, yang dipimpin oleh Mokole /Tadulako Saliwu. Setelah perang antara suku Padoe dengan orang Weula di Lembo Weula / dataran tinggi Weula antara Wasuponda dengan Tabarano, Mokole/Tadulako Saliwu, mencari daerah perluasan ke daerah lembah, menuruni Bangkano Asuli menuju dataran Apundi. Mokole/Tadulako Saliwu menempati dua tempat yaitu Apundi dan Langkea. Mokole/Tadulako Saliwu mendirikan rumah di Langkea dekat mata air Koro Lingaru, tempatnya mandi. Rakyat Mokole/Tadulako Saliwu, menempati kedua tempat itu yang dipimpin oleh Para, sebagai kepala Pemerintahan, menjadikan Wawondula sebagai kota pusat kekuasaan suku Padoe pada saat itu. Pada sekitar tahun 1700,mereka mendapatkan sebuah hamparan yang memanjang dart Palawatua (Lioka sekarang) sampai denganTowuti (Timampu sekarang) sepanjang kurang lebih 12 km. Hamparan ini diduduki orang Weula, yang terdiri dari empat kemokolean kecil Weula, yaitu



kemokolean



Tulambatu,



dan



Andomo, kemokolean



kemokolean Kuasi.



Lewehuko,



kemokolean



Masing-masing



kemokolean



mempunyai daerah dan pemerintahan sendiri meliputi: a. Kemokolean Andomo di Palawa Tua ( Lioka sekarang ). 50



Seketi Samuda, Asal Usul Mori Padoe Tahun 2007, h.6-7 118



Inie mpu'uno



: Nangka Olota



Sungai-sungainya : S. Meruruno, S.Mata Buntu, S.Mata Tabarano, S.Mpu'u Wesu, S.Mosilu, S. Sule, dengan Bukit Tinambo, batas Konda- Kondara. b. Kemokolean Lewehuko Inie mpu'uno



: Lapoko



Batas Andomo



: Sungai Sule



Sungai-sungainya : S. Sora, S. Apundi, S. Inie, S.Balaba Membayar upeti 10 % ke Weula Pusat c. Kemokolean Tulambatu Inie mpu'uno



: IU - IU



Batas Lewehuko



: Sungai Lewehuko



Sungai-sungainya : S. Wua Remo, S.Rowa, S.Lolowi, S.Raa-Raa, S.Haluntinako Batas Kuasi : S. Mpewasu'a. Tidak menyetor upeti d. Kemokolean Kuasi Inie mpu'uno



: Bakara



Batas Tulambatu



: Sungai Mpewasu'a



Sungai-Sungainya : S. Noei, S. Ngkonduwe, Laa Momapu dan D.Towuti. Suatu waktu, rakyat Kuasi membakar lahan pertanian secara bersamasama mengakibatkan udara menjadi kotor karena abu dan arang pembakaran, meliputi hamparan dari atas Bakara sampai dengan wilayah Andomo. Pada saat itu Mokole Andomo sementara makan dalam suatu pesta syukuran menjadi terganggu, karena makanan tercemar dengan abu dan kotoran asap dan makanan menjadi rusak. Keadaan ini menjadikan Mokole Andomo marah kepada Mokole Kuasi. Mokole Kuasi 119



tidak terima baik kemarahan Mokole Andomo. Maka hubungan kedua Mokole ini tegang yang akhimya berujung menjadi perang total. Berdasarkan kesetiakawanan, maka Mokole Lewehuko membantu Mokole Andomo. Sedangkan Mokole Tulambatu membantu Mokole Kuasi. Dengan keberpihakan kedua Mokole ini, maka terjadi perang total yang semakin lebih ganas, diantara ke empat kemokolean kecil Weula itu saling menghancurkan dan saling membunuh. Memperhatikan keadaan perang ini, maka Mokole / Tadulako Saliwu, menyarankan agar mereka berdamai. Tetapi tidak dihiraukan, malah mereka membalas dengan kata-kata yang menjengkelkan dan menyinggung



perasaan



Mokole/Tadulako



Saliwu



suku



Padoe.



memimpin



Berdasarkan perang



hal



tersebut



menyerang



dan



menghancurkan keempat kemokolean kecil Weula yang terdiri dari Andomo,



Lewehuko,



Tulambatu



dan



Kuasi.



Saliwu



dan



pasukannya.menyerang dengan sistem sapu rata, sehingga banyak sekali yang korban dan sebagian melarikan diri ke Lere'ea, dan ada Mokole yang ditawan dan mereka minta dikirim ke Ternate. Dengan kemenangan ini, maka seluruh daerah hamparan sampai dengan separuh Danau Towuti menjadi daerah kekuasaan orang Padoe. Kemudian Para sebagai Pemerintah yang berkedudukan di Wawondula mengadakan pembenahan wilayah, dengan membagi wilayah kekuasaan menjadi: 1. Wilayah Pekaloa/Tompatete (Matompi sekarang), sebagai pos depan Bagian Timur, dipimpin Mbomua. 2. Wilayah Apundi (Wawondula), menjadi Pusat Pemerintahan, dipimpin oleh Para sendiri, sebagai Mia Mohola. 3. Wilayah Palawa Tua, adalah Lioka sekarang. 4. Wilayah Halu Morini, adalah Tabarano - Umodo sekarang. Untuk mengatur Pemerintahan di Umodo , Saliwu melantik Kalende sebagai Mohola, memerintah di Umodo dan Bangkano Kalende.



120



Setelah kesemuanya seiesai diatur, Mokole/Tadulako Saliwu meninggal dunia, maka jabatannya diteruskan oleh Nike anaknya. Demikian pula Pongkiari Lagampi meninggal, maka jabatannya diteruskan oleh Taluari anaknya. Saliwu dan Lagampi dikuburkan di Gua Andomo di kaki gunung Molindowe. 7. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG EPE Menurut



Seketi



Samuda51,



Panglima



Perang



Nike



bersama



Pongkiarinya Taluari mengatur kehidupan masyarakat suku Padoe di daerah Wawondula dan sekitarnya. Tiba-tiba datang utusan dari Mokole Ro'uta Lere'ea untuk menyampaikan permintaan bantuan kepada suku Padoe untuk membantu mereka berperang melawan Mokole Epe dan pasukannya. Perang ini terjadi karena orang Epe yang berasal dari Bungku dan Tolaki, telah merampas tanah pertanian kepunyaan orang Ro'uta Lere'ea yang paling subur. Panglima Perang Nike bersama Pongkiarinya Taluari mengadakan pertemuan dengan Pasukan orang Padoe, dan memutuskan untuk menerima permintaan bantuan, tetapi dengan syarat tidak bergabung dengan pasukan Ro'uta Lere'ea, hanya minta satu orang mata jalan. Sebelum peperangan dilaksanakan, Mokole Ro'uta Lere'ea berjanji, kalau Epe bisa dikalahkan dan tanah yang dirampas Epe,bisa dikembalikan Epe, maka akan menyerahkan sebagian tanah milik Mokole Ro'uta Lere'ea kepada suku Padoe, yang terletak di sebelah Timur dan Timur Laut Danau Towuti, mulai dari pertengahan Danau Towuti sampai ke puncak Gunung perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan. Sesudah itu Panglima Perang Nike mengatur pasukannya berangkat menuju sasaran. di suatu tempat strategis mereka membuat markas sementara. Pada malam pertama sementara tidur, datanglah seorang nenek memberikan suatu benda keramat kepada Panglima Perang Nike dan 51



Seketi Samuda, Asal Usul Suku Mori Padoe, 2007, h, 8-9 121



mengatakan kepada Panglima Perang Nike, supaya pergilah ke medan perang dan bawa benda keramat itu. Lalu Panglima Perang Nike membangunkan temannya Pongkiari Taluari dan Mbala adiknya serta seorang mata jalan. Mereka berangkat menuju sasaran, melewati pos penjagaan, yang penjaganya semua tertidur lelap, sehingga tidak ada kegaduhan. Mereka langsung menuju ke suatu tempat yang sementara ramai-ramai, karena orang sementara dalam pesta Pewoli'ea yaitu pesta mengiring arwah nenek moyang menuju ke Wawonango I Nirwana menurut adat agama suku. Pesta itu dipusatkan pada suatu bangunan besar berlantai dua. Lantai bawah tempat kegiatan masak dan makan, sedangkan lantai atas tempat bangsawan - bangsawan dan orang- orang terhormat seperti tua - tua suku menyaksikan dan mendengarkan pemukulan gong yang memilukan kedengarannya. Dari lantai bawah ada tiga tangga untuk naik ke lantai atas. Panglima Perang Nike memberikan instruksi rahasia kepada temannya, bahwa Panglima Perang Nike naik ke lantai atas dan bilamana dia mulai beraksi, mereka masing-masing menjaga satu tangga, dan langsung mencincang setiap orang yang lari turun. Maka naiklah Panglima Perang Nike ke lantai atas langsung meminta mengganti pemukul gong yang paling besar. Setelah Panglima Perang Nike mulai memukulnya dan sangat memilukan sehingga suasana tenang sekali dalam ruangan itu. Kesempatan itu digunakan Panglima Perang Nike memadamkan lampu damar yang besar dan terang sekali di tengah, sehingga seluruh ruangan itu menjadi gelap, kemudian Panglima Perang Nike mulai memarangi semua orang yang ada di dalam ruangan. Kegaduhan dan keributan terjadi, orang berebutan menuruni tangga, sedangkan penjaga tangga menjemput mereka dengan cincangan. Beberapa saat kemudian suasana sunyi sekali di tempat itu. Panglima Perang Nike turun menanyakan keselamatan teman-temannya dan semua selamat. Mereka segera kembali membawa satu orang anak lakilaki namanya Damera. Mereka pulang ke markas mereka, di mana teman-teman mereka sudah menyediakan makanan.



122



Sesudah mereka makan, mereka bersiap berangkat menyerang Epe. Mereka tiba di ujung jalan masuk kampung, telah berdiri disitu Mokole Epe, mengangkat tangan berarti ia sudah menyerah, serta alatalat perang seperti tombak ditancapkan ke tanah. ponai dan kanta diletakkan terbalik di tanah, tanda tidak melawan serta berkata \silakan masuk dan ambil apa saja yang mau diambil, tetapi janganlah bunuh kami lagi karena sudah cukup banyak tadi malam yang korban. Jalan-jalan di dalam kampung itu sudah dibabari dengan kain putih, di sisi jaian sudah disediakan kelapa muda siap diminum airnya dan makanan-makanan lain, penyampaian Mokole ini diterima Panglima Perang Nike bersama pasukannya, mereka masuk ke dalam kampung Epe menjarah alat-alat perhiasan dari tembaga seperti gong, belanga kuningan, sempedawa dan alat-alat perhiasan lain dari kuningan. sebelum mereka kembali, Panglima Perang Nike menyampaikan kepada Mokole Epe, bahwa tanah rakyat Ro'uta Lere'ea yang dirampas Epe harus dikembalikan kepada Routa Lere'ea, dan jangan mengganggu Ro'uta Lere'ea. Setelah itu pasukan suku Padoe pimpinan Panglima Perang Nike kembali langsung ke Wawondula. Kemudian diadakan pembicaraan dengan Mokole Ro'uta Lere'ea mengenai kemenangan perang suku Padoe melawan orang Epe. Hasilnya semua tanah milik Mokole Ro'uta Lere'ea, yang dirampas Epe dikembalikan oleh Epe, dan berjanji tidak akan mengganggu Ro'uta Lere'ea lagi. Mokole Ro'uta Lere'ea memenuhi janjinya dan menyerahkan sebagian daerahnya termasuk Danau Towuti menjadi kekuasaan Suku Padoe dan batas wilayah dipindahkan ke puncak gunung dengan ketentuan bila hujan, air mengalir dari puncak ke arah dataran Nuha menunjukkan daerah wilayah suku Padoe. Pada tahun 1906,Belanda masuk tanah Nuha dan demi kepentingan wilayah, Belanda mengukur luas daerah Tana Nuha dari puncak Gunung kelilingnya, 2936 km dan semua batas di puncak gunung dibuat patok dari beton.



123



Setelah kemenangan peperangan suku Padoe melawan orang Epe, pihak Mokole Ro'uta Lere'ea menyerahkan sebagian tanahnya kepada suku Padoe dan menjadi hak milik suku Padoe dan semua nama tanjung, gunung, bukit, lereng, dataran, rawa, mata air, sungai, danau, pulau, teluk, dll, diubah namanya dari bahasa Ro'uta, menjadi bahasa Padoe, sebagai bukti bahwa tanah di daerah tersebut telah dikuasai oleh suku Padoe. 8. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG MORI DI DOLUPO Menurut Masi Langguna52, menyatakan bahwa terjadi peperangan antara orang Mori dengan suku Padoe, di Dolupo Sulawesi Tengah pada abad XVIII. Perang itu terjadi Karena orang Mori dan Raja Mori tidak senang, curiga dan marah kepada suku Padoe dan menuduh sebagai penyebab sehingga terjadi perpindahan orang Karunsi'e dan orang Tambee, dari Tana Mori Sulawesi Tengah ke daerah Rahampu'u Matano Tana



Nuha



Sulawesi



Selatan.



Oleh



karena



peristiwa



tersebut



menyebabkan ketegangan antara orang Mori dengan suku Padoe akibatnya



peperangan



tidak



dapat



dihindarkan,



maka



terjadilah



peperangan antara suku Padoe dengan orang Mori di Dolupo. Dalam peperangan tersebut Suku Padoe dibantu oleh orang Rongkong dari Balambano. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh Suku Padoe. Sejarah mencatat bahwa Suku Karunsi'e dan Suku Tambee migran dari Tana Mori Sulawesi Tengah ke Matano Tana Nuha Sulawesi Selatan pada abad XVIII. Sedangkan Suku Padoe migran dari daerah Segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni Sulawesi Selatan ke Tana Nuba Sulawesi Selatan pada abad XVI 9. PERANG SUKU PADOE MELAWAN ORANG RO'UTA DI DANAU TOWUTI Menurut Sipantu Larobu53 telah terjadi peperangan antara suku 52 53



Masi Langguna, Sejarah Suku Mori Padoe, tahun 2007,h.11-12 Sipantu Larobu, Sejarah Asli Suku Padoe, Tahun 1982 h 8-9 124



Padoe, melawan orang Ro'uta pada abad XVIII di tengah Danau Towuti. Panglima Perang orang Ro'uta, yang tinggal di Lengko Mesombori pulau Lo'eha, bernama Lawuruane, memimpin perang melawan suku Padoe. Lawuruane orangnya tinggi besar, berani dan mempunyai pedang yang panjangnya tujuh meter. Peperangan terjadi antar dua puluh perahu Suku Padoe melawan perahu orang Ro'uta. Karena perahu suku Padoe banyak, maka perahu Lawuruane, dikepung dan diumpan ke tengah Danau Towuti yang dalam. Air Danau Towuti yang dalam berombak besar pada saat itu, mengakibatkan perahu Lawuruane terbalik, sehingga ia jatuh ke Danau Towuti. Kesempatan itu digunakan suku Padoe memotong leher Lawuruane Panglima Perang Ro'uta, orang Ro'uta kalah. Sejak kekalahan orang Rou'ta tersebut, pulau Lo'eha dikuasai Suku Padoe. Begitupun semua daerah dan kampung orang Ro'uta yang berada disebelah Timur Danau Towuti sampai di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan dan perbatasan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Seiatan dikuasai suku Padoe. Orang Ro'uta lainnya melarikan diri ke Sulawesi Tenggara.



125



BAB VI ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA 1. HUKUM ADAT PADOE Suku Padoe, memiliki Falsafah adat, yaitu nilai, norma atau kaidah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Adat sejak dahulu kala yang dijunjung tinggi sebagai aturan dan petunjuk yang mengandung inti: a. Etika adalah aturan dan petunjuk tentang nilai dan perilaku. b. Moral adalah aturan dan petunjuk tentang pola hidup dan pola tindak yang baik (budi pekerti yang baik). c. Etiket adalah aturan dan petunjuk tentang sopan santun dan akhlak dalam pergaulan. d. Adab adalah aturan dan petunjuk tentang tatakrama kesopanan dan akhlak yang baik. e. Jati diri adalah aturan dan petunjuk tentang identitas dan kpribadian. f. Harga diri adalah aturan dan petunjuk tentang martabat dan kehormatan. Falsafh Adat adalah pandangan hidup (ponggito'a tuwua) atau way of life yang menjadi panutan, aturan dan petunjuk dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak masyarakat Adat. 2. ADAT ISTIADAT PADOE Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan



dan



perkembangan



masyarakat



dan



atau



satuan



masyarakat lainnya, serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat adat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan



yang



merupakan



kebiasaan-kebiasaan



dalam kehidupan



masyarakat Adat. Adat istiadat Masyarakat Hukum Adat Padoe, adalah nilai, norma atau kaidah yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu kala yang dijunjung tinggi karena mengandung etika, moral, adab, etiket, jati diri dan harga diri sebagai perwujudan peranan Hukum Adat yang sangat 126



luas dalam pelestarian dan pengembangan Adat istiadat Masyarakat Hukum Adat Padoe, maka lebih lanjut pada perkembangannya memiliki Hukum Adat Padoe, sebagai dasar dan petunjuk dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak sehari - hari. Hukum Adat Padoe ini, memuat aturan dan petunjuk tentang Peminangan Adat Padoe, Perkawinan Adat Padoe, dan penyelesaian masalah dalam masyarakat Adat Padoe, seperti Pelanggaran suami istri, pelanggaran karena kesalahan, pelanggaran karena tindakan, pemberian sanksi denda, hubungan orang muda dengan orang tua, hubungan suami istri, hubungan sesama manusia. tatakrama, sopan santun, larangan, etika, etiket, moral, adab, jati diri, harga diri, dan budaya (kebiasaankebiasaan masyarakat). 3. FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN HUKUM Dalam masyarakat Hukum Adat, kita mengenal beberapa fungsi pokok Hukum Adat dalam pembangunan Hukum, yaitu: a. Hukum Adat atau hukum tidak tertulis, berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi dalam masyarakat, b. Hukum Adat tetap berfungsi secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat, walaupun Hukum tertulis dalam perkembangannya telah mengatur bagian terbesar dalam aspek kehidupan masyarakat. c. Hukum Adat memegang peranan merumuskan keteraturan perilaku, dengan segala akibat-akibatnya, d. Hukum Adat memberikan solusi dalam pola penyelesaian sengketa yang kadang-kadang bersifat simbolis. 4. PEMINANGAN ADAT PADOE a. Peminangan Adat Padoe adalah kegiatan yang mengupayakan terjadinya hubungan perjodohan antara seorang laki - laki dengan seorang perempuan, b. Peminangan Adat Padoe dilaksanakan apabila ada persetujuan 127



antara seorang laki - laki dan seorang perempuan. Juga harus ada persetujuan antara anak laki- laki dan anak perempuan dengan orang tua kedua belah pihak, c. Sebelum peminangan Adat Padoe dilaksanakan, orang tua laki laki mengunjungi orang tua perempuan untuk membicarakan rencana pelaksanaan Peminangan Adat Padoe, dan persiapan lainnya yang harus diketahui bersama. d. Cara peminangan Adat Padoe Orang tua dan keluarga laki-laki berkunjung ke orang tua dan keluarga perempuan membawa/menaikkan/menyerahkan materi peminangan Adat Padoe (posoro pesikeno) dengan memakai tatacara peminangan Adat Padoe yang telah baku, e. Materi peminangan Adat Padoe Materi peminangan Adat Padoe, terdiri



dari buah pinang, daun



sirih, kapur sirih, tembakau/rokok yang diletakkan dalam suatu bingka (taru-taru). Selain itu kalung emas, cincin emas, antinganting emas dan gelang emas yang diletakkan dalam suatu salapa. Kemudian pisau dapur, yang diletakkan di luar/di samping salapa, Kesemuanya diletakkan di dalam sempedawa dan dibungkus dengan kain putih, disiapkan terlebih dahulu dan dibawa keluarga laki-laki pada waktu pelaksanaan peminangan Adat. Sedangkan arti materi peminangan Adat dan sanksi sesudah peminangan Adat, akan dijelaskan pada waktu pelaksanaan peminangan Adat. f. Pelaksanaan Peminangan Adat Padoe. Pada saat pelaksanaan peminangan Adat Padoe, laki-laki dan perempuan harus hadir karena ada acara pemasangan cincin dan kalung dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Setelah selesai peminangan Adat Padoe ditanda tangani Berita Acara Serah Terima Materi Peminangan Adat Padoe.



128



5. PERKAWINAN ADAT PADOE a. Tujuan perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. b. Perkawinan dapat dilakukan dengan syarat berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. c. Suami istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. d. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. e. Perkawinan Adat Padoe ialah ikatan lahir batin antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Dan menurut Hukum Adat Padoe tentang perkawinan, maka sebagai masyarakat Adat, dilakukan Perkawinan Adat Padoe sesuai dengan Hukum Adat Padoe dengan maksud memperkokoh dan melengkapi Perkawinan melalui Pencatatan Sipil, Gereja maupun KUA. f.



Materi perkawinan Adat Padoe Dalam pelaksanaan perkawinan Adat Padoe disiapkan materi perkawinan Adat Padoe (mas kawin) atau Pentoroano Gau Pesombori'a yang terdiri dari: *



Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain rok, satu potong kain baju, satu lembar handuk dan satu lembar kain sarung untuk Ibu (tia ine).



*



Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain celana, satu potog kain baju, satu lembar handuk, satu lembar kain sarung untuk ayah (tia uma)



*



Satu ikat mas kawin berisi satu potong kain rok, satu potong



129



kain baju, satu lembar handuk, satu lembar kain sarung untuk istri (tia sombori) *



Kesemuanya dibungkus menjadi satu dengan kain putih.



*



Arti materi perkawinan Adat Padoe dan sanksi, akan dijelaskan pada saat pelaksanaan perkawinan Adat Padoe.



g. Pelaksanaan perkawinan Adat Padoe Penyerahan bungkusan mas kawin atau materi perkawinan Adat dari Ibu laki-laki kepada pelaksana Adat Padoe. Pelaksana Adat Padoe membuka bungkusan mas kawin lalu menghitung



dan



member!



penjelasan



dan



tuntunan.



Dan



selanjutnya acara dipimpin langsung oteh Pelaksana Adat Padoesampai selesai. Dalam pelaksanaan perkawinan Adat Padoe ditandatangani Surat Kawin Adat Padoe 6. PELANGGARAN HUKUM ADAT PADOE. a. Pelanggaran karena perzinaan. Apabila seorang laki-laki atau perempuan yang belum kawin berzina dengan seorang istri atau suami orang lain, suaminya atau istrinya



keberatan



dan



menjadikan



perkara,



tetapi



dalam



penyelesaian perkara, masih bersedia menerima kembali istrinya atau suaminya (tidak cerai), maka laki-laki atau perempuan yang berzina dikenakan sanksi denda dua ekor kerbau/sapi. Kalau terjadi perceraian, maka dikenakan sanksi denda, sekurangkurangnya tiga ekor kerbau/sapi dan setinggi-tingginya lima ekor kerbau/sapi. b. Pelanggaran karena penghamilan Apabila seorang laki-laki yang belum kawin menghamili seorang perempuan yang belum kawin dan tidak mau mengawininya, maka dikenakan sanksi denda setinggi-tingginya tiga ekor kerbau/sapi, sekurang-kurangnya dua ekor kerbau/sapi. c. Pelanggaran karena merusak nama baik masyarakat / kampung. 130



Apabila seorang laki-laki belum kawin tapi sudah kawin kumpul kerbau



(suami



istri



yang



tidak



resmi),



dengan



seseorang



perempuan yang belum kawin, atau sebaliknya (perempuan belum hamil), maka harus segera dikawinkan, namun kalau tidak mau, maka laki-laki atau perempuan yang tidak mau dikawinkan, akan dikenakan denda dua ekor kerbau/sapi. Tetapi kalau perempuan sudah hamil, maka ditambah sanksi denda satu ekor kerbau/sapi berbulu kain yang ditanggung oleh laki-laki dan perempuan yang mau kawin, karena sama-sama sudah melakukan pelanggaran, sehingga perempuan menjadi hamil. Apabila suami istri yang masih terikat dalam perkawinan, mereka mau cerai, karena ada pelanggaran yang dilakukan suami atau istri, maka yang melanggar akan



dikenakan



sanksi



denda



menurut



berat



ringannya



pelanggaran yang diputuskan oleh Dewan Adat. Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki telah melakukan hubungan sebagai suami istri, tetapi belum kawin secara resmi, sehingga perempuan hamil, tetapi mereka sama-sama tidak mau kawin secara resmi, maka laki-laki dan perempuan dikenakan sanksi denda, satu ekor kerbau/sapi hidup yang ditanggung bersama, dan satu ekor kerbau / sapi berbulu kain. Apabila seorang laki-laki membawa lari seorang perempuan, padahal mereka belum kawin resmi di hadapan orang tua dan keluarga kedua belah pihak dan di hadapan Dewan Adat, biarpun kemudian mereka kawin, tapi mereka sudah melakukan pelanggaran berat. Untuk itu laki-laki dikenakan sanksi denda tiga ekor kerbau/sapi. d. Pelanggaran karena perselingkuhan. Apabila seorang suami/istri masih terikat dalam perkawinan berselingkuh



dengan



istri/suami



yang



masih



terikat



dalam



perkawinan dan apabila suami/istri berkeberatan dan menjadikan perkara, tetapi suami/istri yang berselingkuh masih mau diterima kembali oleh suami/istri masing-masing, maka yang berselingkuh



131



dikenakan sanksi denda tiga ekor kerbau/sapi yang ditanggung oleh yang berselingkuh. Apabila suami dan istri yang berselingkuh, tidak mau lagi diterima oleh



suami



dan



istri



masing-masing



(cerai),



maka



yang



berselingkuh dikenakan sanksi denda berat, lima ekor kerbau/sapi yang ditanggung oleh yang berselingkuh. e. Pelanggaran karena pencurian. Apabila salah seorang suami/istri mencuri dan yang tidak mencuri mengadukan untuk minta cerai, namun yang mencuri bersedia didenda asalkan tetap sebagai suami istri, artinya mereka berdamai, maka yang mencuri akan dikenakan sanksi denda berupa satu lembar kain sarung sebagai penutup malu, dan barang curian dikembalikan atau diganti kalau sudah dipakai. Apabila salah seorang suami/istri mencuri dan yang tidak mencuri mengadukan untuk minta cerai, dan tetap tidak mau damai berarti tetap minta cerai, maka yang mencuri akan dikenakan sanksi denda berupa satu ekor kerbau/sapi berbulu kain yang nilainya sama dengan empat potong kain, masing-masing dua meter dan satu lembar kain sarung serta tinggalkan rumah tanpa membawa apa-apa. f. Pelanggaran karena merusak hewan dan tanaman. Apabila seseorang menciderai/membunuh/mencuri hewan orang lain, maka orang tersebut dikenakan sanksi denda dengan mengganti atau membayar hewan yang diciderai, dibunuh, dicuri kepada pemilik hewan. Apabila ada hewan seseorang merusak/memakan tanaman orang lain, maka pemilik hewan tersebut dikenakan sanksi denda dengan mengganti atau membayar tanaman yang dirusak/dimakan kepada pemilik tanaman. Apabila seseorang merusak tanaman orang lain, maka orang tersebut



dikenakan



sanksi



132



denda



dengan



mengganti



atau



membayar tanaman yang dirusak kepada pemilik tanaman. 7. BUDAYA PADOE Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi atau akal. Jadi budaya adalah daya dari budi berupa karya, cipta dan rasa. Kebudayaan



berasal



dari



kata



budaya



(budhayah).



Jadi



kebudayaan adalah hasil dari karya, cipta dan rasa manusia yang hidup bersama. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan dan digunakan manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Cipta



merupakan



kemampuan



mental,



kemampuan



berpikir



manusia menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Rasa meliputi jiwa manusia mewujudkan kaidah dan nilai - nilai kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang / masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang bersifat kompleks/ rumit berupa segala kegiatan manusia mencakup mengolah dan menguasai alam, akal budi, pikiran, agama / kepercayaan, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, pengetahuan, moral, hukum, hasil karya, rasa dan cipta masyarakat, olah raga, makanan, tabiat, akhlak, watak, daya upaya, kebaikan dan kemampuan kemampuan lainnya. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, kompleks, abstrak, luas, bertujuan membantu manusia untuk menimbang mana yang baik dan yang buruk dan membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 8. TUJUAN MEMPELAJARI BUDAYA. Kita perlu mempelajari budaya, agar kita mengenal perilaku dan 133



keragaman



budaya,



dengan



pengertian



dan



pemahaman



yang



mendalam, tentang apa yang sudah dimiliki, dipakai dan diterapkan sejak dahulu kala oleh nenek moyang atau para leluhur. Dengan maksud



untuk melestarikan, memberdayakan, dan



mengembangkan budaya yang ada, sehingga budaya yang telah ada, tetap dipertahankan, dan dipelihara disesuaikan dengan perkembangan zaman. 9. MANFAAT MEMPELAJARI BUDAYA 1. Untuk mengetahui dampak akulturasi, adalah suatu proses yang timbul manakala suatu kelompok manusia, dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. 2. Untuk mengetahui dampak modernisasi, adalah perubahanperubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan tradisional atau dari masyarakat pra modern, menuju masyarakat modern, dengan kemajuan yang rasional dan tinggi nilai peradabannya. 3. Untuk mengetahui dampak multiculturalisme, adalah pandangan manusia tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman dan berbagai macam budaya, dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai - nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik. 10. RUMAH TRADISIONAL PADOE Rumah tradisional Padoe, adalah rumah yang dipakai oleh nenek moyang orang Padoe, dahulu kala. Memiliki bentuk, ukuran, motif khas yang konstruksinya sangat erat hubungannya dengan zaman dan lokasi pada waktu dibangun. Rumah tradisional Padoe, memiliki ciri khas, yaitu memiliki ruang 134



bawah kolong (totodolo), serambi bawah depan (topoka), serambi atas depan ( ulua ), ruang tamu ( ulu kombia), ruang keluarga (kombia), ruang dapur (ponahua, awu, tonga), tingkap (tinungga), pintu (ono), jendela (pemoa), tangga (ise), kayu batas antara ulu kombia dengan kombia (tudua), lantai (horo), dinding (rere), tempat barang di bagian atas dinding (sambi), loteng (tonete), atap (ato), bubungan (wuwunge), batu / beton dudukan (umpak), serta listplank. Rumah tradisional yang berada di kebun, sawah bentuk dan konstruksinya sangat sederhana. Tiang dan tangganya dari kayu bulat, Lantainya dari bahan bambu dan batang pinang, dinding dan atapnya dari daun rumbia atau bahan bambu, mempunyai pintu, jendela, tingkap, dan ukurannya relatif lebih kecil. Tinggi tiang rumah antara dua meter sampai dengan tiga meter, jarak antara lantai dengan plafon antara dua setengah meter sampai dengan tiga meter, dan jarak antar tiang antara tiga meter sampai dengan tiga setengah meter. Panjang dan lebar bangunan tergantung kebutuhan dan situasi. Rumah tradisional Padoe, yang berada di kampung, bentuk dan konstruksinya lebih baik dari pada yang di kebun atau di sawah, halus dan kuat. Tiang dan tangganya dari kayu balok dan papan tebal. Lantainya dan dindingnya dari papan. Atapnya dari daun rumbia tua yang dijahit, ditata / disusun secara rapat, sehingga tebal dan tahan lama, tidak rusak bertahun-tahun lamanya. Tetapi sebahagian lagi masyarakat mulai memakai atap seng (Rumah Mokole). Mempunyai pintu dan jendela dari papan yang tebal dan kuat. Bentuk konstruksinya ukurannya lebih besar dan kuat dibandingkan dengan rumah tradisional Padoe yang ada di kebun/sawah. 11. RUMAH ADAT PADOE Rumah Adat Padoe, bentuknya rumah panggung, tiangnya tinggi tiga meter dari tanah/lantai dasar ke lantai dua. Asal mulanya pada zaman dahulu, kuda berada di bawah kolong



135



rumah dan kalau pemilik kuda mau naik kuda untuk bepergian atau mau berperang, maka ia naik kuda langsung dari bawah kolong rumah. Begitupun kalau pemilik kuda pulang dari bepergian atau berperang, maka ia turun langsung di bawah kolong rumah. Supaya kepala tidak kena lantai, maka tiang rumah harus memiliki tinggi tiga meter. Selain itu pula untuk kepentingan keamanan para pemangku Adat/pemilik rumah pada saat itu, sehingga terhindar dari gangguan musuh. Bagian-bagian serta bentuk Rumah Adat Padoe, mempunyai nilai filosofi, makna dan simbol yang menggambarkan ciri khas Adat, budaya, seni dan peradaban masyarakat Adat Padoe. Rumah



Adat



Padoe



dibangun



berdasarkan



arsitek



yang



mengandung filosofi angka sebagai berikut: Tinggi tiang, tiga meter dari lantai dasar sampai lantai dua mengandung filosofi bahwa angka tiga melambangkan jiwa dan surga, melambangkan sifat venus, cinta, artistik, pengertian dan sebagai alat pemersatu, perlindungan, ketenangan, keamanan dan keselamatan. Tinggi bangunan dari lantai dua sampai plafon, empat meter mengandung filosofi bahwa angka empat melambangkan bumi dan tubuh, melambangkan sifat bumi, sabar, telaten, kreatif dan cekatan. Tinggi bangunan dari lantai dasar sampai plafon, tujuh meter, mengandung



filosofi



bahwa



angka



tujuh



melambangkan



angka



kesempurnaan dari maha sempurna, keamanan dan keselamatan, penopang, sebagai simbol alam rohani dan spiritualitas, angka yang memperlihatkan dimensi metafisika, angka kepenuhan, angka syukur dan tiang syukur serta sebagai simbol yang menyatakan langit dan bumi. Mempunyai banyak tiang yang tingginya tiga meter dari lantai dasar/tanah ke lantai dua bangunan dengan ukuran tiang, lebar 25 x 25 cm, 20 x 20 cm, 18 x 18 cm (bisa dipilih) dan jumlahnya disesuaikan dengan panjang dan lebar bangunan. Kalau panjang tiang masih ada kayu yang panjangnya 7 meter dapat dibuat tiang langsung dari lantai dasar sampai ke plafon yang



136



tingginya, tujuh meter, Mengandung makna bahwa Rumah Adat berdiri dengan kokoh karena didukung tiang yang banyak. Mengandung filosofi, bahwa kita kuat kalau didukung orang banyak. Bangunan terdiri dari tangga, serambi bawah depan (topoka), yang tingginya satu setengah meter dari lantai dasar, bangunan serambi atas depan (ulua), bangunan tengah dan bangunan belakang. Ukuran bangunan Rumah Adat Padoe (panjang x lebar), disesuaikan dengan keadaan dan luas tanah serta biaya yang tersedia. Ukuran bangunan dapat dipilih 15mx6m; 15mx7m; 17,5mx7m; 18mx9m; 21mx9m, 21mx12m Jumlah tiangnya tergantung pada panjang dan lebar bangunan dengan jarak antar tiang 3 m x 3 m atau 3,5 m x 3,5 m (bisa dipilih). Tiang rumah memakai alas/dudukan (umpak) dari beton dengan tinggi 20 cm atau 30 cm (bisa dipilih)sesuai dengan kebutuhan. Mempunyai tangga naik ke serambi bawah depan (topoka) dan ke serambi atas depan (ulua) dan naik ke bagian belakang bangunan (untuk bangunan yang panjangnya di atas dua puluh meter). Mempunyai serambi bawah depan (topoka) yang tingginya satu setengah meter dari dasar dan serambi atas depan (ulua) yang tingginya satu setengah meter dari serambi bawah depan (topoka). Mulanya tujuan serambi bawah depan (topoka), sebagai tempat lesung untuk menumbuk padi dan menampi beras. Filosopinya menyatakan bahwa untuk naik ke Rumah Adat harus melalui proses, penyaringan dan pengawasan kemudian naik ke lantai dua Rumah Adat, mengikuti tangga serta bertahap, dan berurutan, harus meminta izin sebelumnya dan menghormati tatakrama yang ada pada Rumah Adat. Mempunyai serambi atas depan (ulua) untuk tempat menerima tamu dan meminta izin sebelum masuk ke dalam Rumah Adat. Filosopinya menyatakan bahwa harus meminta izin sebelum masuk ke dalam Rumah Adat sesuai dengan tatakrama yang ada.



137



Mempunyai pintu yang lebar dan tinggi di depan dan di belakang (untuk



bangunan



yang



panjangnya



di



atas



dua



puluh



meter),



melambangkan hati yang lapang, terbuka dan memiliki harga diri. Mempunyai jendela yang lebar dan tinggi, di dinding sebelah kiri kanan, depan dan belakang , melambangkan hati yang lapang, terbuka dan memiliki harga diri. Mempunyai tingkap, di sebelah kiri dan kanan atap, yang berfungsi sebagai lubang penerangan, ventilasi udara dan tempat menikmati panorama/pemandangan dari tempat ketinggian. Juga digunakan untuk tempat memantau, mengintip, mengawasi apa yang terjadi disekitarnya. Filosopinya, tingkap merupakan lambang pengayoman, perhatian, perlindungan dan pengawasan serta pemantauan. Mempunyai atap, di mana punggung/bubungan rumah berbentuk pelana. Atap berfungsi untuk mengayomi dan melindungi orang atau barang yang ada di dalamnya/ dibawahnya. Filosofinya adalah sebagai pengayoman dan perlindungan. Atap bubungan mempunyai listplank berbentuk tanduk kerbau. Di mana kerbau sering dipakai petani pada saat membajak. Filosopinya adalah sebagai lambang kerja keras, tangguh dan suka menolong. Pada zaman dahulu, atap dibuat dari daun rumbia, kemudian menyusul atap sirap (atap dari kayu ulin), dan terakhir dari atap seng, sesuai dengan perkembangan zaman. Rumah Adat Padoe bagian depannya berbentuk payung yang terbuka. Atap bagian atas dekat bubungan berbentuk segitiga kecil sama kaki, sedangkan atap bagian bawahnya berbentuk trapesium. Tepi ujung atap rumah induk bersambung langsung dengan tepi atap depan yang berbentuk trapesium. Yang bentuknya seperti payung terbuka.



138



Rumah Adat Padoe



139



12.



MANFAAT RUMAH ADAT PADOE. Rumah Adat Padoe dimanfaatkan sebagai tempat acara dan atau



upacara Adat Padoe, tempat menerima tamu khusus, tempat peminangan Adat Padoe, tempat perkawinan Adat Padoe, dan tempat penyelesaian masalah pelanggaran Hukum Adat Padoe, tempat pertemuan khusus dan musyawarah Adat Padoe. Selain itu Rumah Adat Padoe dapat pula digunakan untuk kegiatan sanggar seni dan budaya serta pagelaran Adat, budaya dan seni. Disamping itu Rumah Adat Padoe, sebagai tempat memamerkan benda benda budaya (museum), peralatan dan perlengkapan Adat, budaya, kesenian dan menjadi tujuan wisata . Rumah Adat Padoe adalah lambang, simbol atau ikon peradaban dan Adat budaya Masyarakat Hukum Adat Padoe. 13.



PAKAIAN ADAT PADOE Pakaian Adat Masyarakat Hukum Adat Padoe, dipakai pada saat



acara / upacara Adat, peminangan Adat, perkawinan Adat, acara-acara resmi, acara kesenian, pagelaran budaya dan kesenian. Pakaian Adat Mohola, Baju model jas tutup, warna merah maron, pakai asesoris/renda mas/hiasan lain, celana hitam dan pakai pasapu. Pakaian Adat Dewan Adat (pemangku Adat). Untuk laki - laki, baju model jas tutup, warna hitam, pakai asesoris/renda mas/hiasan lain, celana hitam, pakai pasapu. Untuk perempuan, baju model jas tutup, warna hitam, pakai asesoris/renda mas/hiasan lain, pakai topi khusus. Rok dari kain sarung warna kehitam-hitaman dan motif menyesuaikan. Filosofi pakaian Adat Pemangku Adat (Dewan Adat): 1. Dua renda emas yang melingkari keliling leher, dada, perut, lengan tangan menggambarkan pagar yang merupakan koridor yang membatasi segala sesuatu. Yang memiliki filosofi yang menyatakan bahwa segala tindakan dan perbuatan harus sesuai dengan Hukum Adat Padoe.



140



2. Batu permata putih dan bambu ulir kuning yang menghubungkan permata-permata



tersebut,



yang



ada



di



dalam



dua



pagar,



menggambarkan orang -orang yang sedang bergandengan tangan molaemba. bahwa



Hal tersebut



memiliki



filosofi



yang



menyatakan



setiap pekerjaan/kegiatan dilakukan secara bersama-sama,



bersifat gotong royong, mengutamakan kebersamaan, persatuan dan kesatuan. 3. Daun Matanggoa yang bergerigi enam yang ada di dada, perut dan lengan tangan menggambarkan enam buah falsafah Adat, meliputi moral, etika, adab, etiket, jati diri dan harga diri. Hal tersebut memiliki filosofi yang menyatakan bahwa dalam setiap tindakan dan perbuatan harus selalu memperhatikan Hukum Adat Padoe yang menjunjung tinggi moral, etika, adab, etiket, jati diri dan harga diri. 4. Renda



putih



yang



menghubungkan



dua



daun



Matanggoa,



menggambarkan hubungan yang lurus, bersih antara dua daun Matanggoa. Hal ini memiliki filosofi, yang menyatakan bahwa dalam setiap tindakan dan perbuatan harus dilakukan dengan jujur, bersih dan bijaksana. 5. Mengapa memakai daun Matanggoa, karena nama Matanggoa.ada hubungannya dengan sejarah suku Padoe, sebagai tempat pertemuan pertama suku Padoe untuk membicarakan rencana masa depan suku Padoe sekitar abad ke enam belas. Daun Matanggoa sangat berguna bagi manusia, sebagai alat pembungkus sayuran dan Iain-Iain biar awet, dan sebagai tudung apabila hujan atau panas. Filosofinya adalah sebagai alat pemersatu dan pelindung. Pakaian Adat Pengantin, untuk laki- laki, baju model jas tutup, warna putih/merah/kuning/hitam, pakai asesoris, renda mas hiasan lain dan topi khusus. Celana panjang menyesuaikan, dengan warna putih/merah/kuning/hitam. Untuk perempuan, baju model kebaya, warna menyesuaikan, dengan pasangannya dan kain sarung, pakai asesoris, renda mas dan hiasan lainnya dan topi khusus. Pakaian Adat, untuk masyarakat umum suku Padoe, Laki - laki,



141



baju model jas, tanpa renda mas dan hiasan lainnya, Warna hitam, celana hitam dan pakai topi khusus atau pasapu, Celana hitam. Untuk perempuan, baju model jas, tanpa renda mas dan hiasan lainnya. Rok warna kehitam - hitaman atau menyesuaikan, dengan topi khusus. Pakaian Adat untuk kesenian Padoe, untuk laki-laki, baju model biasa, tangan pendek atau tangan panjang, warna merah atau kuning, atau warna lainnya sesuai kebutuhan dengan asesoris dan celana pendek atau panjang warna merah, kuning atau hitam, pakai topi khusus. Untuk perempuan, baju model kebaya, tangan pendek atau tangan panjang, warna kuning, merah, putih, hitam atau warna lainnya sesuai kebutuhan dan pakai asesoris. Pakai topi khusus. Pakaian Adat Padoe



142



14. BENDA - BENDA BUDAYA. Dari sekian banyak benda-benda budaya, ada beberapa benda budaya yang sering digunakan antara lain: Taru-taru (bingka), yaitu sejenis anyaman yang pada bagian atas (mulutnya) bundar dan pada dasarnya persegi empat. Terbuat dari daun pandan hutan. Gunanya sebagai tempat beras, sayur dan bahan - bahan lainnya. Salapa, yaitu sejenis peralatan rumah tangga berbentuk kotak persegi panjang dan ada juga yang bulat, ada yang besar dan ada yang kecil. Terbuat dari kuningan/tembaga dan perak. Digunakan untuk tempat daun sirih, buah pinang yang sudah dibelah-betah, kapur sirih, dan tempat materi peminangan (kalung emas, anting-anting emas, cincin emas, dan gelang emas) pada waktu peminangan Adat 15. BENDA - BENDA BUDAYA ALAT PERANG Benda-benda budaya alat perang Padoe, sudah langka ditemukan, sehingga sekarang ini sudah dilindungi (cagar budaya). Yang masih ada sampai sekarang: a. Ponai (pedang besar dan panjang), sejenis peralatan perang, berbentuk parang panjang yang dibuat khusus dari besi khusus, memakai hulu (tangkai) dari tanduk atau kayu. Besi khusus berbeda dengan besi biasa, karena tidak bisa ditempa lagi. Gunanya untuk senjata berperang dan untuk mempertahankan diri b. Kasai (tombak), yaitu sejenis peralatan perang berbentuk lembing dengan ujung besi yang tajam, ada yang lurus, dan ada pula yang berkait. Ujung besi yang tajam disambung dengan kayu lurus, yang panjangnya kira - kira 1,5-2 meter, sebagai tangkainya untuk tempat memegang pada waktu menombak. Bahannya terbuat dari besi yang berujung tajam atau berkait dan sepotong kayu lurus sebagai tangkai atau tempat pegangan. Gunanya sebagai alat berperang, dan berburu binatang. 143



c. Tobo (badik), yaitu sejenis peralatan perang atau pertahanan diri, berbentuk keris, dengan tangkai dan tampi (sarung badik) khusus yang ujungnya tajam dan kiri kanan tajam tapi ada juga yang hanya kiri atau kanan yang tajam. Ukurannya lebih kecil atau lebih pendek dari keris. Bahannya dari besi khusus dengan tangkai dan tampi khusus. Gunanya dipakai alat perang dan pertahanan diri, d. Kawali (keris), yaitu sejenis peralatan perang atau pertahanan diri, berbentuk tobo (badik), tapi ukurannya lebih besar dan lebih panjang, memilki bentuk dan tangkai khusus. Kiri kanan matanya tajam berukir dan ujungnya tajam. Bahannya dari besi khusus dan tangkai kayu khusus. Gunanya untuk pertahanan diri dan membunuh lawan. e. Kanta (perisai), yaitu sejenis peralatan perang, berbentuk tameng. Bentuknya seperti segitiga panjang yang memiliki pegangan sebagai tempat berpegang orang yang berperang sambil memegang ponai atau kasai pada tangan lainnya. Bahannya dari papan keras dilapisi kulit kayu khusus atau kulit binatang yang kering dan diberi hiasan ukiran khusus. Gunanya sebagai pelindung diri (perisai) pada waktu perang atau berkelahi 16. ALAT - ALAT OLAH RAGA TRADISIONAL Alat - alat olah raga tradisional yang sering dipakai antara lain : a. Huloi (gasing), Huloi adalah sejenis alat permainan menggunakan sepotong kayu keras yang dibentuk khusus dan menggunakan koloro ewi yang dibuat dari kulit kayu wunu yang dipintal sebagai alat pemutar huloi (gasing). Ada gasing tinggi (Huloi medongke) dan gasing pendek (huloi kadepe). Bahannya dari sepotong kayu keras seperti kayu hitam, kayu langara, kayu gampu dan lain - lain serta seutas tali khusus (koloro ewi huloi). Gunanya dipakai sebagai alat permainan masyarakat pada saat selesai panen, pesta rakyat dan lain sebagainya. b. Sambalako (Enggran),



144



Sambalako adalah seperangkat alat permainan menggunakan dua batang kayu atau dua batang bambu, yang diberi tempat injak pada batang tersebut yang diikat kuat dengan rotan atau tali.Orang naik dengan kaki menginjak pada tempat injak yang tersedia dan berjalan cepat atau lari bahkan bisa juga dipakai bermain bola sesuai dengan aturan permainan yang tefah disepakati. Bahannya terbuat dari dua potong kayu atau bambu yang kuat dengan ukuran sedang. Panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan.Tinggi rendahnya tempai injak yang diikat pada kayu atau bambu disesuaikan dengan kebutuhan. Tempat injak dibuat dari cabang kayu kuat dan diikat dengan rotan atau tali yang kuat. Gunanya, dipakai alat permainan untuk Iari dengan jarak tertentu atau untuk main bola. c. Logo ( Melogo). Logo adalah sejenis alat permainan bentuknya seperti gambar jantung,(bentuk biasa), metindu satu, metindu dua, yang dibuat dari tempurung kelapa, dan memiliki singku dari kayu atau belahan bambu patu yang tebal sebagai alat pendorong / pemukul logo. Bahannya terbuat dari tempurung kefapa yang tua, dan sepotong kayu atau belahan bambu khusus sebagai singku (pendorong / pemukul logo). Gunanya sebagai alat permainan laki - laki pada acara selesai panen. 17. SENI TARI Beberapa seni tari, yang masih sering dipakai atau masih populer dewasa ini: a. Tari Ende ( Mo'ende) yaitu sejenis tarian yang hampir sama dengan tari Laemba. Peserta / penari yang melakukan gerakan I tarian (mo'ende) berbentuk lingkaran. Tari ende tidak berpegang tangan, dan gerakan kakinya berbeda dengan laemba. Penarinya diiringi oieh musik atau orang bernyanyi sambil berpantun yang diiengkapi dengan tabuhan gendang dan gong. Gunanya untuk mengungkapkan rasa gembira dan suka cita pada acara tertentu seperti padungku, pesta



145



kawin, pengucapan syukur, penerimaan tamu dan lain sebagainya. b. Tari Laemba (Molaemba), kalau sudah melakukan tarian Laemba disebut Molaemba,



merupakan kata kerja yaitu sejenis tarian



tradisional yang populer dan sangat digemari oleh orang muda dan orang tua Masyarakat Hukum Adat Padoe, bahkan sudah banyak masyarakat umum yang tertarik akan tarian ini. Tarian ini hampir sama dengan tarian ende, menari berbentuk lingkaran. Tari laemba berpegang tangan, tangan digerakkan naik turun serta kaki menari ke arah kanan, ikut irama musik. Diiringi tabuhan gendang dan gong. Tarian bersifat masal dan bergembira ria. Dapat diikuti oleh banyak orang terdiri dari orang muda, orang tua, laki - laki dan peremuan. Tarian laemba diiringi musik, dengan tabuhan gendang dan gong, sedangkan peserta menyanyi sambil berpantun, berbalasan dengan beberapa orang. Gunanya untuk mengungkapkan rasa gembira dan sukacita pada acara tertentu seperti, pada saat padungku, pesta kawin, pengucapan syukur, penerimaan tamu dan lain sebagainya. c. Tari Riringgo (Moriringgo). Tarian ini sangat populer dan disenangi anak muda, sering ditampilkan pada acara - acara tertentu. Pada mulanya tarian Riringgo adalah tarian syukuran kepada sang pencipta, pemberi hasil pertanian seperti padi. Pada saat panen, petani menumbuk padi, sebagian menapis padi, sebagian lagi menari dengan memakai alu. Untuk mengantar tarian supaya lebih meriah, maka lesung diketuk - ketuk dengan alu sebagai gendang. Pada menghalangi



perkembangannya, merupakan



tarian



tarian sukacita



Riringgo /



atau



kegembiraan



tarian atas



kemenangan atau keberhasilan tertentu dan menyambut tamu misalnya menyambut pasukan perang yang menang. Tarian dan materinya dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi. Penari terdiri dari dua pasang muda mudi, atau lebih, yang meloncat loncat di antara tiga pasang alu, yang dipukul - pukulkan menutup



146



dan membuka (menghalang - halangi para penari yang meloncat di antara tiga pasang alu). Gendang dan gong yang ditabuh untuk memberi semangat kepada para penari. Juga diiringi nyanyian yang berisikan syair puja dan puji serta syukur kepada sang pencipta atas kemenangan dan keberhasilan serta kekayaan alam yang dimiliki. Selain itu diiringi nyanyian dengan syair lagu yang berisikan puja dan syukur kepada sang pencipta yang telah menganugerahkan tanah kelahiran yang indah, damai dan tidak pernah dilupakan. Tarian Riringgo ditampilkan karena ada kegembiraan dan syukur pada saat selesai panen. Selain itu ditampilkan karena ada kegembiraan dan syukur pada saat menyambut pasukan perang menang. Dewasa ini digunakan pula untuk menyambut tamu, para pejabat, atau pada acara perayaan tertentu, seperti HUT Proklamasi dan lain -lain. d. Tari Kaliboe ( Mongkaliboe ) yaitu tarian berbentuk barisan bersaf, berbanjar dan lingkaran. Mula - mula lingkaran kecil dan akhirnya berbentuk lingkaran besar. Diiringi teriakan keras secara bersama sama. Pada saat penampilan, diiringi oleh satu orang pemegang tombak, satu orang pemegang ponai, untuk momomaani. Para penari memakai rambuti. Juga disiapkan babi untuk diinjak dan ditusuk pada saat menari. Mongkaliboe, berarti menari sambil menginjak babi. Tarian ini ditampilkan untuk menyambut pasukan dari medan perang. Kalau menang (membawa kepala orang), suara teriakannya besar. Dan kalau kalah suara teriakannya kecil. Juga dipakai untuk menyambut Mokole atau tamu terhormat. Gerakan -gerakan tarian menggambarkan walaupun kita berbeda - beda tetapi kita tetap satu. Tepo'aso kato memoroso, teposuangako kato tekokale. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. e. Tari Momaani. ( Momomaani). Tari momaani, adalah sejenis tarian perang yang memainkan ponai (pedang) dan kasai (tombak) serta kanta (perisai) di tangannya serta



147



berjongkok sedikit dan meloncat-loncat sambil mengayung-ayungkan pedang dan tombak serta perisai diiringi teriakan yang menyeramkan seperti orang berkelahi. Memakai pakaian Adat tradisional dan pasapu. Diiringi tabuhan gendang dan gong, yang memberi semangat kepada penari. Tarian momaani, ada dua macam yaitu, momomaani ponai dan momomaani kasai. Pada saat menari, satu orang penari memegang ponai, dan satu orang penari memegang kasai. Selain memegang ponai atau kasai, juga memegang kanta dan berpakaian adat tradisional serta diiringi satu orang penabuh gendang dan seorang penabuh gong. Momomaani ponai, dipakai pada waktu menyambut pejabat, Datu, pembesar, mokole, dan lain-lain. Sedangkan momomaani kasai, dipakai pada waktu menyambut pasukan yang pulang dari medan perang. Dan biasanya dilaksanakan momomaani bersamaan dengan tarian mongkaliboe. 18. MUSIK TRADISIONAL. a. Tambolo (musik bambu ) Tambolo, adalah seperangkat musik yang dibuat dari bambu, yang terdiri dari suling kecil, suling besar, naturel, kruis, mol, bas kecil, bas besar, kontra bas, terang bone, gendang dan dirigen. Musik ini menyanyikan lagu mars, umum, dan lain sebagainya. Musik ini terdiri dari tiga buah suling kecil, lima buah suling besar, lima buah naturel (tenor), tiga buah kruis, tiga buah mol, tiga buah kontra bas, lima buah bas setengah, lima buah bas kecil, satu buah terang bone, satu buah gendang, seorang pembawa panji, dan seorang dirigen. Pemain musik jumlahnya antara 34 -37 orang. Musik ini ditampilkan pada saat menjemput tamu, pesta panen, pesta rakyat, pesta Adat dan perlombaan kesenian. b. Siloli (suling) Siloli adalah alat musik dari bambu, yang memiliki satu lubang, dekat ujung sebagai tempat meniup, dan di bagian tengah, memiliki enam 148



lubang dengan jarak tertentu, untuk mengatur nada, dengan memainkan jari menutup dan membuka ke enam lubang. Terbuat dari bambu yang kecil dan lurus, bulat dengan panjang tertentu. Untuk



mesiloli,



(bersuling),



menyanyikan



lagu-lagu



tertentu,



dilaksanakan dengan jalan meniup lubang yang pertama dan memainkan jari - jari diatas enam lubang berikutnya sesuai dengan nada yang ada. Mesiloli dapat dilaksanakan secara tunggal atau bisa bergabung dengan Tim Tambolo. Mesiloli diharapkan dapat menghibur diri sendiri, maupun orang yang mendengar. 19. MAKANAN DAN MINUMAN KHAS PADOE 1. Lehodo (Nasi dimasak di dalam bambu). Lehodo adalah makanan yang terbuat dari beras ketan putih, merah, atau ketan hitam, direndam, ditiriskan kemudian dimasukkan ke dalam bambu yang telah diisi daun pisang yang muda Ialu diberi santan yang telah diberi garam, dan perasan daun pandan. Kemudian bambu yang



berisi



beras



santan



diangkat untuk dibakar pada



tempat



pembakaran khusus yang sudah disiapkan. Nasi bambu yang sudah matang, dibelah kemudian nasinya di taruh di piring siap dimakan. 2. Winalu (nasi bungkus dimasak di dalam bambu). Winalu adalah beras dibungkus dengan daun khusus (lewe), kemudian dimasukkan ke dalam bambu, Ialu dibakar. Beras yang dibungkus ukurannya satu genggam satu bungkus. Setelah beberapa bungkus selesai diisi beras, kemudian disatukan/diikat Ialu dimasukkan ke dalam bambu secara bersusun. Ukuran bambunya lebih besar, dari pada bambu lehodo. Setelah diisi air, kemudian bambunya dibakar sampai matang. Setelah matang, bambunya dibelah dan nasi bungkusnya disuguhkan di piring siap dimakan. 3. Winuho. Winuho adalah makanan yang dimasak di dalam bambu, yang terdiri dari bahan daging dicampur dengan daun ubi, tiwo dan sayur



149



lainnya ditambah dengan bumbu seperlunya. Selain winuho tersebut ada juga winuho ikan. Winuho daun ubi, adalah winuho dengan bahan dasar daging dengan daun ubi. Daging dan daun ubi dipotong kecil-kecil, kemudian daun ubi diojok, lalu daging, daun ubi, bawang merah, bawang putih, lombok, serai muda dan jahe yang kesemuanya dihaluskan kemudian ditambah daun jeruk, daun kemangi, dan daun bawang diiris-iris halus, lalu dicampur dengan garam dan bumbu penyedap. Setelah kesemuanya sudah dicampur, baru dimasukkan ke dalam bambu yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bambu lehodo. Lalu bambunya dibakar sampai winuho matang. Setelah matang, isinya dikeluarkan dan disuguhkan di piring, siap untuk dimakan. Winuho Tiwo, adalah winuho dengan bahan dasar daging dengan tiwo (batang pisang muda). Daging dipotong kecil-kecil dan batang pisang muda (pisang kapok/manurung, pisang Australia, pisang monyet) diiris halus, kemudian diojok dengan garam sedikit. Lalu daging, tiwo, bawang merah, bawang putih, lombok, serai muda, jahe yang kesemuanya dihaluskan kemudian ditambah daun jeruk, daun kemangi, dan daun bawang diiris-iris halus, kemudian dicampur dengan bumbu penyedap. Setelah kesemuanya sudah dicampur, bam dimasukkan ke dalam bambu yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bambu lehodo. Lalu bambu winuho dibakar sampai matang. Setelah matang, isinya dikeluarkan dari bambu dan disuguhkan di piring, siap untuk dimakan. 4. Sayur Padole Adalah sayur, dari bahan pucuk muda pohon kelapa, pohon enau, pohon sagu, yang diiris dan dipotong-potong halus. Kemudian dimasak campur santan dan daging labu dll kemudian bumbu seperlunya. 5. Dinui (modui). Dinui (kapurung) adalah makanan khas tradisional yang terbuat dari tepung sagu (rombia) yang diseduh/dicampur dengan sedikit air minum dingin di dalam baskom atau dulang (baskom kayu pada saat itu),



150



kemudian cairan tepung sagu disiram dengan air mendidih, sampai matang lalu diaduk sampai tercampur secara merata. Pada saat menyiram cairan sagu dengan air mendidih harus diatur sedemikian rupa supaya jangan terlalu encer dan jangan terlalu kental. Kemudian kita makan dinui dengan istilah yang dikenal modui, dengan memindahkan dinui dengan dui (sumpit), dahulu dui dibuat dari belahan bambu atau kayu yang dibuat halus seperti sumpit, ke dalam piring yang diisi kuah sayur / ikan yang dicampur dengan garni (sambal). Dinui diputar-putar dengan sumpit agar bentuknya bulat-bulat dan tidak jatuh, kalau dipindahkan ke piring, kemudian dipotong-potong di dalam piring yang sudah diberi sambal. Lalu bulatan dinui itu ditelan langsung tanpa dikunyah. Supaya lebih mantap disediakan ikan dan sayur secara terpisah untuk dimakan silih berganti dengan menelan bulatan dinui yang tersedia di piring . Begitu selanjutnya sampai kenyang. 6. Woke (tape). Woke adalah makanan yang terbuat dari beras ketan hitam, putih atau merah yang dimasak lalu di didinginkan di nyiru, lalu dicampur dengan ragi secukupnya. Setelah itu dimasukkan ke dalam bakul yang telah dialas pada dasar dan dindingnya, dengan daun pisang kemudian ditutup. Pada hari yang ketiga woke sudah matang, sedangkan airnya yang sangat manis ditampung di bawah bakul. Ada dua macam woke yaitu woke untuk dimakan dan woke untuk pongasi. Woke untuk dimakan. Woke untuk dimakan adalah woke yang dibuat dengan campuran ragi dengan perbandingan tertentu. Prosesnya sama dengan pembuatan woke pada umumnya. Woke untuk pongasi. Woke untuk pongasi adalah woke yang dibuat dengan campuran ragi dengan perbandingan tertentu untuk pongasi. Prosesnya sama dengan pembuatan woke pada umumnya. Hanya saja bahan woke dimasukkan kedalam guci dan ditutup dengan daun pisang. Pada hari ketiga, woke



151



sudah matang. Kemudian wokenya diambil lalu diperas dan disaring, kemudian airnya dimasukkan ke dalam botol, terkenal dengan nama mata pongasi. Kemudian wokenya dimasukkan kembali ke dalam guci dan ditambah air minum yang matang dan dibiarkan satu malam. Kemudian ditutup dan setelah dibiarkan satu malam, baru dibuka, kemudian wokenya diperas dan disaring lalu airnya dimasukkan ke dalam botol, terkenal dengan nama pongasi klas dua.Setelah itu diulang lagi untuk ketiga kalinya dan airnya terkenal dengan nama pongasi klas tiga. Pongasi adalah minuman khas suku Padoe, pada acara padungku (pesta panen).



152



BAB VII KESIMPULAN Sejarah Masyarakat Hukum Adat Padoe, dengan nama Sejarah Suku Padoe secara singkat disimpulkan sebagai berikut: 1. KAPAN SUKU PADOE BERADA DI TANA LUWU (WHEN ) Suku Padoe berada di Tana Luwu pada kurun waktu antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi pra Kedatuan Luwu bersama - sama dengan masyarakat kecil lainnya ( bands) yaitu suku Wotu, Bajo, Toraja, Rongkong, Padoe, Pamona dan beberapa suku di Sulawesi Tenggara dan Tengah yang sekarang dikenal sebagai Tolaki. Mekongga dan To Limolang, menurut Ali Fadillah (1998 12) dengan merujuk telaah Pelras (1995/1996) dalam Buku Kedatuan Luwu, Edisi kedua Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, halaman 155 tahun 2006 2. DI MANA SUKU PADOE BERADA DI TANA LUWU (WHERE ). Suku Padoe berada di Tana Luwu di daerah Bukit Punsi Mewuni yang terkenal disebut daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni, Sulawesi Selatan, sebagai tempat suku Padoe mula - mula, menurut Christian Pelras, dalam Buku Manusia Bugis, halaman 68, tahun 2006. 3. SIAPA SUKU PADOE (WHO). a. Suku Padoe pada abad XVI disebut Datu Luwu sebagai To Belae artinya saudara / sahabat dari jauh. b. Suku Padoe pada abad XVIII, diangkat Datu Luwu sebagai saudara dan memberi arti khusus kepada suku Padoe, sebagai orang kuat yang tetap setia kepada Datu Luwu di Palopo dan sebaliknya Datu Luwu bergantung (medoe) serta berharap penuh kepada suku Padoe di tana Nuha. c. Suku Padoe atau To Padoe, berasal dari kata To, Paado dan E. To 153



berarti orang / suku, Paado berarti jauh (disana), sedangkan E berarti



kata



panggilan



(kata



sandang)



yang



menunjukkan



keakraban relasi yang lebih dekat dengan orang lain. Jadi To Padoe artinya suku yang berasal dari tempat yang jauh dari pusat kekuasaan yang dipanggil sangat akrab relasinya dengan orang lain. Hingga akhirnya To Padoe terkenal dipanggil saudara / sahabat dari jauh. Dalam bahasa Bugis, To Padoe disebut To Belae, yang artinya saudara / sahabat dari jauh. Sehingga akhirnya To Padoe terkenal juga disebut To Belae. d. Suku Padoe pada mulanya berasal dari orang Tolaki di daerah Andolaki Sulawesi Tenggara, yang menyebar ke Kerajaan Mekongga



yang



dahulu



disebut



Mekongka



di



Kolaka,



Kemudian dari Kolaka terus ke Bukit Punsi Mewuni Tana Luwu Sulawesi Selatan pada zaman prasejarah (Wolter Kaudern). e. Suku Padoe memiliki Mokole pertama yang dilantik Datu Luwu Pattipasaung di Palopo tahun 1622. 4. MENGAPA SUKU PADOE (WHY) a. Suku Padoe berstatus sebagai penyanggah / pendukung Kedatuan Luwu bersama – sama suku - suku lainnya tergabung dalam 12 suku dan 9 bahasa sebagai berikut: To Ware, To Ala, To Ugi, To Raja, To Rongkong, To Seko, To Limolang / To Sassa, To Pamona, To Padoe, To Wotu, To Bajo, To Mengkoka. b. Suku Padoe membantu Kedatuan Luwu dalam peperangan melawan Baebunta, Malangke dan Larompong, dan Kedatuan Luwu menang. Karena itu suku Padoe mendapat penghargaan dari Datu Luwu, pada abad XVIII. c. Suku Padoe melalui Saliwu, berhasil memotong pohon Langkanae, sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman Istana Kedatuan Luwu, pada tahun 1622. Saliwu dan suku Padoe mendapat penghargaan dari Kedatuan Luwu. 154



d. Suku Padoe berperang melawan orang Weula, di daerah Lembo Weula dan Dataran tinggi Weula, tahun 1651. Weula kalah dan punah, semua tanah Weula dikuasai Suku Padoe. e. Suku Padoe berperang melawan orang Weula di daerah Lioka, Wawondula dan Matompi tahun 1700. Weula kalah dan punah, semua tanah Weula dikuasai Suku Padoe. f. Suku Padoe berperang melawan orang Epe di daerah Lere'ea, pada abad XVII. orang Epe kalah dan tanah milik Ro'uta diberikan kepada suku Padoe. g. Suku Padoe berperang melawan orang Mori pada abad XVIII, di Dolupo, dimenangkan oleh suku Padoe. h. Suku Padoe berperang melawan orang Ro'uta pada abad XVIII di Danau Towuti, dimenangkan oleh suku Padoe, semua tanah Ro'uta dikuasai suku Padoe. 5. BAGAIMANA SUKU PADOE ( HOW). a. Menyebar. Suku Padoe menyebar dari Bukit Punsi Mewuni yang terkenal dengan sebutan daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni,



ke



Angkona,



Pabeta.



Cerekang



(Lakarai),



Ussu,



Matanggoa, Malili, Kore - korea, Kawata dan Laro'eha. Oleh karena daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni, sudah padat, maka sekelompok suku Padoe migran ke Kanta dan ke Kayaka, Mori Atas dekat Tomata Sulawesi Tengah. Tetapi karena ada peristiwa peperangan dengan orang Pamona di Kanta dan Kayaka, sekelompok suku Padoe tersebut kembali lagi ke Lakarai Sulawesi Selatan bergabung kembali dengan keluarga besar suku Padoe kawan lama. Tahap selanjutnya menyebar dari Kawata ke Lasulawai, Wasuponda, Togo, Molio, Umodo, Tabarano, Wawontamba, Lioka, Langkea, Wawondula, Matompi, Timampu, Petea'a, Lere'ea, Epe, Bea'u, Lambatu, Lengkobale, Lo'eha, dan Larona. Karena peristiwa DI / TII, ada yang ke Pakatan, kemudian



155



ke Taliwan dan Mayakeli Sulawesi Tengah. b. Memiliki batas wilayah Adat / tanah Adat berdasarkan sejarah suku Padoe. Sebelah Utara. Meliputi Wilayah Angkona, Pabeta, Cerekang, Laro'eha, Tole Tole, Kawata, Lasulawai, Tetenona, Sungai Langkai (Koro Langkai), Wasuponda, Koro Manu - Manu, Pobingkua, Palumba, Lembololo, Asuli, Enggano, terus lewat pinggir Danau Maholona, Petea'a, Lere'ea, Epe, terus kepegunungan patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah. Sebelah Selatan. Meliputi pegunungan patok batas wilayah Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara, ikut patok batas dari Timur ke Barat, sampai ke pinggir pantai wilayah Lampia. Sebelah Timur. Meliputi pegunungan patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah, sampai dengan patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara. Sebelah Barat. Meliputi wilayah pantai Angkona, Wilayah Pantai Pabeta, wilayah Pantai Cerekang, Wilayah pantai Bukit Punsi Mewuni, Wilayah pantai Ussu, pantai Malili, Lembo Lamao, Kore - Korea, Labose, Lampia sampai dengan patok batas Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara. c. Suku Padoe menerima penghargaan dari Kedatuan Luwu. 1. Karena jasa - jasa suku Padoe membantu Kedatuan Luwu dalam



peperangan



dengan



Baebunta,



Malangke



dan



Larompong, pada abad XVIII. 2. Karena keberhasilan Saliwu Suku Padoe, memotong pohon Langkanae sekali tebas dengan pedangnya sendiri di halaman Istana Kedatuan Luwu pada tahun 1622, maka Datu Luwu



156



memberi penghargaan kepada Suku Padoe yaitu memanggil Suku Padoe, sebagai Saudara / Sahabat dari jauh (To Belae), dan apabila suku Padoe mau menghadap Datu Luwu, maka suku Padoe bebas masuk kapan saja, dengan memakai perlengkapan yang ada dan tidak perlu duduk bersila (mesuleka) dan boleh berbicara sambil berdiri di hadapan Datu Luwu, dan duduk di kursi di samping Datu Luwu, pada acara - acara tertentu. d. Suku Padoe memiliki persyaratan utama sebagai suatu suku. 1. Suku Padoe, memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Padoe. 2. Suku Padoe, memiliki Adat sendiri, yaitu Adat Padoe. 3. Suku Padoe, memiliki budaya sendiri, yaitu Budaya Padoe. 4. Suku Padoe, memiliki Sejarah sendiri, yaitu Sejarah Suku Padoe. 5. Suku Padoe, memiliki Hukum Adat sendiri, yaitu Hukum Adat Padoe. 6. Suku Padoe, memiliki Kamus sendiri, yaitu Kamus IndonesiaPadoe 7. Suku Padoe, memiliki Lembaga Adat sendiri, yaitu Lembaga Adat Padoe. 8. Suku Padoe, memiliki Struktur Lembaga Adat sendiri, yaitu Struktur Lembaga Adat Padoe. 9. Suku Padoe, memiliki Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga sendiri, yaitu Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Lembaga Adat Padoe. 10. Suku Padoe, memiliki wilayah Adat / Tanah Adat sendiri, yaitu yang tercakup dalam peta wilayah Adat Padoe, berdasarkan Sejarah Suku Padoe masa lalu, sejak penyebaran Suku Padoe mulai abad XI - XIX. 11. Suku Padoe, memiliki Rumah Adat sendiri, yaitu Rumah Adat Padoe, yang bernama "PATUDU "di Wasuponda.



157



e. Mengalami perkembangan Kerajaan Suku Padoe masa lalu sejak antara awal Abad Masehi sampai abad XIX Masehi 1. Antara awal abad Masehi sampai abad X Masehi, suku Padoe disebut komunitas kecil (bands) berada di Bukit Punsi Mewuni, yang disebut daerah Segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni. 2. Abad XI - abad XV, suku Padoe menyebar ke daerah - daerah sekitar daerah segitiga Ussu - Cerekang - Bukit Punsi Mewuni, lalu terbentuk kampung - kampung. 3. Abad XVI - abad XVIII, terbentuk kerajaan Suku Padoe. 4. Abad XIX, terbentuk Kerajaan Nuha (tahun 1905-1945). 5. Abad XIX, terbentuk Distrik Nuha (tahun 1945 -1966) 6. Abad XIX, terbentuk Kecamatan Nuha (mulai tahun 1966) f. Ibukota Kerajaan Suku Padoe, Kerajaan Nuha, Distrik Nuha, pada abad XVI – XIX 1.



2.



3.



Kawata Ibu Kota I Mokole / Tadulako



Saliwu



(1632-1651)



Mohola



Para dan Horobata.



Pongkiari



Lagampi



Sulia



Tariondo.



Wowondula Ibu Kota II Mokole / Tadulako



Saliwu



(1651-1750)



Mohola



Lamehawa



Pongkiari



Lagampi



Sulia



Sipantu



Molio Ibu Kota III Mokole / Tadulako



Ta'elu



Mohola



Kalende



Mia Mosu’o



Kalende



Pongkiari



Taluari



Sulia



Sipantu



158



(1750-1760)



4.



5.



Wowondula Ibu Kota IV Mokole / Tadulako



Tengkano (1760-1905)



Mohola



Para



Pongkiari



Taluari dan Adipu



Sulia



Sipantu



Sorowako Ibu Kota V Mokole Nuha



6.



7.



8.



9.



Andi Halu (1905-1920)



Timampu Ibu Kota VI Mokole Nuha



Andi Halu (1920 - 1927)



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano (1925-1927)



Tabarano Ibu Kota VII Mokole Nuha



Lasemba Malotu (1927-1945)



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano (1927-1945)



Kepala Distrik Nuha,



Lasemba Malotu



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano (1945-1950)



Kepala Distrik Nuha,



Tinampa Malotu (1950 -1953)



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano (1950-1953)



(1945 -1950)



Tabarano Ibu Kota VIII Kepala Distrik Nuha,



Mesa Mariesa (1953-1954 )



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano 1953-1954 )



Malili/Pakatan Ibu Kota IX Kepala Distrik Nuha,



Mesa Mariesa (1954-1966)



Sulewatang



Sangkedapo Tengkano(1954-1966)



159



g. STRUKTUR KEPEMIMPINAN KERAJAAN SUKU PADOE ABAD XVI-XIX MOKOLE



MIA MOHOLA



MIA MOSU’O



TADULAKO



SULIA



SESEWUTE



PONGKIARI



SANDO



Penjelasan: Garis Komando Garis Koordinasi



160



Penjelasan 1. Mokole adalah Raja, sebagai kepala Pemerintahan dan Pimpinan tertinggi Angkatan Perang dan Keamanan. 2. Tadulako adalah Panglima Perang, sebagai Pimpinan Angkatan Perang,



yang



bertugas



memimpin



Perang



dan



mengatur



Keamanan. Bertanggung jawab langsung kepada Mokole. 3. Dalam kepemimpinan Kerajaan suku Padoe, Mokole merangkap sebagai



Tadulako



untuk



mempercepat



proses



pengambilan



keputusan baik rencana maupun pelaksanaan perang. 4. Mia Mohola adalah Kepala Suku yang bertugas mengatur Pemerintahan, mengatur rakyat dan masyarakat agar dapat melakukan kegiatan kemasyarakatan dengan baik. Mia Mohola diberi wewenang sebagai Jaksa Agung / Mahkamah Agung, yang bisa mengadili siapa saja. Bertanggungjawab langsung kepada Mokole.. 5. Mia Mosu'o adalah orang tua atau yang dituakan dalam masyarakat, berkedudukan sebagai Pemimpin Adat, Tua-tua Adat, Tua-tua masyarakat yang bertugas mengatur Adat istiadat, tatakrama, ketertiban dan yang dapat memberikan nasihat, petuah dan pemecahan masalah. Bertanggungjawab langsung kepada Mia Mohola. 6. Dalam



Kepemimpinan



Kerajaan



Suku



Padoe,



Mia



Mohola



membawahi langsung Mia Mosu’o. Dalam hal - hal tertentu, Mia Mohola merangkap menjadi Mia Mosu’o 7. Pongkiari adalah seorang hulubalang, jago perang, hebat, pintar, kuat berperang dan berkelahi, mempunyai ilmu gaib dan mistik, serta ilmu kebal sehingga tidak terkalahkan. Bertugas sebagai pemimpin dalam pertempuran dan perkelahian serta penyerangan terhadap musuh. Bertanggungjawab langsung kepada Tadulako. 8. Dalam Kepemimpinan Kerajaan Suku Padoe, Pongkiari di bawah Komando langsung Tadulako.



161



9. Sulia, bertugas untuk mengatur agama suku (Melahumoa) yaitu mengadakan penyembahan kepada Lahumoa ( Dewa ), mewolie, montuila, meloboti. Sulia bertanggungjawab atas pelaksanaan upacara - upacara besar agama suku. Bertanggungjawab langsung kepada Mia Mohola. 10. Sesewute, bertanggungjawab di bidang pertanian, mengadakan ritual berkaitan denge-kegiatan pertanian, tata tanam misalnya sebelum mengerjakan sawah, dan sebelum menuai padi, moimo, meruru manu, padungku, tanam padi, motasu dan Iain-lain. Bertanggungjawab langsung kepada Sulia. 11. Sando,



bertanggungjawab



mengadakan



ritual



/doa,



seperti



montuila, di pangkal pohon besar, di batu besar, di mata air, dan lain - lain untuk menolak bala, supaya setan – setan tidak mengganggu manusia. Bertanggungjawab langsung kepada Sulia. 12. Dalam Kepemimpinan Kerajaan Suku Padoe, Sulia membawahi langsung Sesewute dan Sando.



162



h. STRUKTUR LEMBAGA ADAT PADOE ABAD XIX SAMPAI SEKARANG MOHOLE PADOE



WAKIL MOHOLA PADOE



BIDANG PERENCANAAN



BIDANG SOSIAL



DEWAN ADAT PADOE PUSAT



DEWAN-DEWAN ADAT PADOE WILAYAH



163



Penjelasan: 1. Mohola adalah Kepala Suku, sebagai pimpinan tertinggi Lembaga Adat Padoe, membawahi langsung Dewan Adat Padoe Pusat. Dalam tugasnya dibantu oleh Wakil Mohola. 2. Wakil Mohola adalah wakil Kepala Suku, sebagai wakil pimpinan tertinggi Lembaga Adat Padoe membawahi langsung Dewan Adat Padoe Pusat. Dalam tugasnya membantu dan bekerjasama dengan Mohola. 3. Dalam tugas Mohola dan Wakil Mohola dibantu oleh Bidang Perencanaan dan Bidang Sosial.. 4. Bidang Perencanaan meliputi kegiatan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan. 5. Bidang Sosial meliputi kegiatan Pendidikan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Sosial. 6. Dewan Adat Padoe Pusat adalah Pimpinan Dewan Adat Padoe di tingkat Pusat dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan Hukum Adat Padoe di tingkat Pusat. Bertanggungjawab kepada Mohola dan Wakil Mohola. 7. Dewan Adat Padoe Wilayah terdiri dari beberapa Dewan Adat Padoe Wilayah, adalah Pimpinan Dewan Adat Padoe di tingkat Wilayah dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan Hukum Adat Padoe di tingkat Wilayah. Bertanggungjawab kepada Dewan Adat Padoe Pusat.



164



DAFTAR PUSTAKA 1. Christian Pelras (2006)," Manusia Bugis" 2. Iwan SumantrI (2006), " Kedatuan Luwu " Edisi ke- 2 Perspektif Arkeologi, Sejarah dan AntropologI 3. Anthon A. Pangerang Opu Daeng Mallipu ( 2008 ), " Mappacekke Wanua sub Judul Mappatarenre Onro tune' Lipu'e “ 4. Edward L Poelinggomang (2008) “ Kerajaan Mori" Sejarah dari Sulawesi Tengah. 5. J.Kruyt (1924) " De Moriers van Tinompo" (Oostelijk Midden Celebes). 6. W.F. Taroreh ( 1992 ) "Himpunan Bahan tentang Negeri dan Kepahlawanan Rakyat Mori Sulawesi Tengah melawan Penjajahan". 7. M. Akil AS (2008), "Luwu" Dimensi Sejarah, Budaya dan Kepercayaan. 8. M Akil AS (2008),” Batara Guru ManurungE Ri Luwu" 9. Nawawi Sang Kilat ( 2008 ), " Catatan Ringan Tana Luwo " Makalah pada Hari Peringatan Perjuangan Rakyat Luwu menentang penjajah tanggal 23 Januari 1946. 10. Andi Abdullah Sanad Kaddiraja (2018)," Perjuangan Rakyat Luwu" 11. Abdurrauf Tarimana (2015 )," Kebudayaan Tolaki". 12. Ahmad Faidi ( 2015)," Suku Tolaki" Suku Seribu Kearifan”. 13. I Wayan Badrika (2004)," Sejarah Nasional Indonesia dan Umum". 14. Kamus



Besar



Bahasa



Indonesia



Edisi



Kedua



Departemen



Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1989. 15. Roman Manule dkk, (2012)," Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe. 16. Tahe Lara, Sipantu Larobu, Paula Vuorinen, Marjo Karhunen (1991), Program Kerjasama (UNHAS - SIL," Kamus Padoe - Indonesia Inggris ". 17. Sipantu Larobu, (1982)," Sejarah Asli Suku Padoe “ 18. Dasangko Larobu, (1986 )," Bagaimanakah Daerah Nuha". 19. Santona Tamu'u, (2007)," Sejarah Suku Padoe".



165



20. Masi Langguna, (2007)," Sejarah Suku Mori Padoe". 21. Seketi Samuda, (2007), "Asal Usul Mori Padoe". 22. Masi Langguna, (1998)," Siapa dan dari mana Suku Mori Padoe itu " 23. Latupu Sinampu, (1994)," Sejarah Desa Resetlemen" 24. Tomagasa Manule, (2008)," Silsilah Orang Padoe" 25. Tomagasa Manule, (2011)," Selayang Pandang Sejarah Kerajaan Luwu". 26. Tomagasa Manule, (2015), "Sejarah Singkat Padoe", 27. Musyawarah Adat Padoe, (2015)," Hukum Adat Padoe". 28. Roman Manule dkk, (2015)," Buku Budaya Padoe". 29. Asyer Tandapai Sigilipu, (2005)," Pergumulan GKST di Luwu masa DI/TII 1950-1965".



166



DAFTAR SUMBER DATA ( NARA SUMBER). 1. IPDA Tomagara Manule, sesepuh suku Padoe, Luwuk. 2. Malupu Meoko, sesepuh Adat Padoe, Pakatan. 3. Marota Balea, sesepuh suku Padoe, Toli-Toli. 4. Pdt. Sumanda Mbotengu, S.Th, sesepuh suku Padoe, Manado 5. Pdt. Yohanes Lasampa, S.Th, sesepuh suku Padoe, Palu 6. Saliwu Tengkano, sesepuh Adat Padoe, Wasuponda. 7. Laribu Meoko.BA, sesepuh suku Padoe, Jakarta. 8. Pasoni Lagamu, BA, sesepuh suku Padoe, Makassar. 9. Torama Malotu, BA, sesepuh Adat Padoe, Makassar.



167



Tentang Penulis Tomagasa Manule, lahir di Tabarano Malili, Kabupaten Selatan,



Luwu 07



Timur



Agustus



Provinsi



1933.



Sulawesi



Menyelesaikan



pendidikan Jurusan Bahasa Indonesia tahun 1964 dan Jurusan Ekonomi tahun 1973 di Universitas Indonesia Jakarta. Memiliki putera puteri 1). Satriani Siskawati



Martasari Manule,



Manule,



ST,



SE,Ak,MSi,



2). 3).



Merry Martina



Yudianti Manule, SE, 4).Oscar Kumiawan Manule, S.Kom. Bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai guru SMP Negeri dan SMP Swasta, Guru SMA Negeri dan SMEA Swast a. Jabatan terakhir sebagai Wakil Direktur SMA Negeri 8 Bukit Duri Jakarta (tahun 1983 - 1993 ) dan Direktur SMEA Rahmani Manggabesar Jakarta (tahun 1993 - 2001). Pensiun sebagai PNS tahun 1993. Hasil karya dan kegiatan Kemasyarakatan meliputi : Penyusun / Penulis Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis Sejarah Suku Padoe, Penyusun / Penulis Silsilah Suku Padoe, Ketua Dewan Adat Padoe Wilayah Jakarta yang pertama ( pelopor), Penasihat Dewan Adat Padoe Wilayah Jakarta,, Pendiri Ikatan Keluarga Masyarakat Nuha (IKMAN ) Jakarta dan Majelis Jemaat GPIB Salom Depok 1978 – 1988.



168



Tentang Penulis Roman Manule, lahir di Malili Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1940.



Menyelesaikan



Teknik



Sipil



Ketataniagaan



tahun dan



Pendidikan 1968



dan



Ketatanegaraan



Jurusan Jurusan tahun



1979, UNTAG Jakarta. Memiliki putera puteri: 1). Doktor Rhommy Reynald Macley Manule, S.Sos, M.Si, 2 ). Recky Wilson Manule, SE, MM. 3). Rolan Manule, SE,Ak. 4 ). Dokter Yolanda



Manule,



Sp.PA.



Bekerja



di



Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan tahun 1969 -1999. Berpengalaman di bidang Counterpart pada Konsultan IBRD, Survey and Design, Superviser, Hidrologist, Instruktur for Training Audio Visual, Training Officer, Evaluation and monitoring, Finance and Administration. Pensiun sebagai PNS tahun 1999. Hasil karya dan kegiatan kemasyarakatan meliputi: Penyusun / Penulis Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis Sejarah Suku Padoe, Penyusun / Penulis Silsilah Suku Padoe, Penyusun / Penulis Hukum Adat Padoe, Penyusun / Penulis Buku Budaya Padoe. Perencana dan Pengawas Pembangunan Rumah Adat Padoe, Bidang Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Lembaga Adat Padoe, Ketua Dewan Adat Padoe Wilayah Makassar, mulai tahun 2000 sampai sekarang, Wakil Mohola Padoe mulai tahun 2004 sampai sekarang. Majelis Jemaat GPIB tahun 1973 -1998 dan Majelis Jemaat GPIL di Tabarano 2003 - 2007.



169



Tentang Penulis Matius



Motilay,



lahir



di



Wawondula



Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan,



15



Mei



1948.



Menyelesaikan



Pendidikan Agama Kristen tahun 1970 di Tentena Sulawesi Tengah Memiliki putera puteri: 1).Fitri Nela Motilay, S.Pd., 2 ). Windra Wati Motilay, A.Ma Pus. 3). Oktavin Motilay, S.Kep.Ns. 4 ). Lina Theresia Motilay, S.Hut. Bekerja sebagai Guru Injil ( 1971 -1974 ) dan sebagai Gembala Jemaat ( 1974 -1976 ). Sebagai Guru agama PNS ( 1978 – 2009 ).Pensiun sebagai PNS tahun 2009. Hasil karya dan kegiatan kemasyarakatan meliputi: Penyusun / Penulis Kamus Bahasa Indonesia - Bahasa Padoe, Penyusun / Penulis Sejarah Suku Padoe, Penyusun / Penulis Buku Budaya Padoe. Ketua Dewan Adat Padoe Wilayah Mayakeli, mulai tahun 2010 sampai sekarang, Anggota Tim Penerjemah Alkitab Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Padoe, mulai tahun 2019 sampai sekarang.



170



171