Sejarah》Nyi Ageng Serang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : AGIL SANTIKA Kelas : X. TAV II



Nyi Ageng Serang “Panglima Perang Wanita dari Tanah Jawa”



Seputar pertanyaan tentang Nyi Ageng Serang : 1. Who Siapakah Nyi Ageng Serang itu ? 2. Where Didaerah manakah Nyi Ageng Serang berjuang melawan Belanda ? 3. When Kapan Nyi Ageng Serang pindah ke Keraton Mataram ? 4. What Apa yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih dalam peperangan tersebut ? 5. Why Mengapa Nyi Ageng Serang dan Sultan Hamengkubuwono II tidak tinggal satu atap setelah menikah ? 6. How Bagaimana strategi dan siasat Nyi Ageng Serang saat berjuang melawan Belanda ?



Nama lahir Nama lain Tempat lahir Tahun lahir Meninggal Makam



Kewarganegaraan Agama Nama Ayah Nama Ibu Saudara Suami Anak



Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi Nyi Ageng Serang Serang (terletak 40 km sebelah utara Surakarta), Puwodadi, Jawa Tengah 1752 1828 Dusun Beku, Kelurahan Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta Indonesia Islam Pangeran Ronggo Natapraja (Panembahan Ageng Serang) Kyai Ageng Serang 1. Sultan Hamengkubuwono II 2. Pangeran Kusumawijaya 1. Sumawijaya Kusumawijaya 2. Kustinah Kusumawijaya



Nyi Ageng Serang adalah seorang pahlawan asal Serang banten yang menjadi salah satu pejuang wanita yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan penjajah di daerah Kulon Progo. Nyi Ageng Serang memiliki nama lengkap Raden Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Dilahirkan di Serang, Tahun 1752, sebuah wilayah di Kabupaten Sragen yang merupakan batas wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah ini berjarak sekitar 40 km dari Surakarta. Nyi Ageng Serang merupakan putri



dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa dari Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengku Buwono I. Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga. Selain itu, ia juga memiliki seorang cucu yang menjadi seorang pahlawan yakni, R.M Soewardi Surjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Sejak usianya kecil, beliau juga sempat mendapatkan didikan ilmu siasat dan keprajuritan. Dan beliau juga di kenal cerdas. Meski merupakan putra bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda. Nyi Ageng Serang bersama ayah (Panembahan Serang) dan kakaknya (Kyai Ageng Serang) termasuk pemberontak-pemberontak yang merobek-robek Perjanjian Gianti (13021755) dan meneruskan perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Belanda menyergap pasukannya di Semarang. Ayah dan saudaranya gugur dalam pertempuran. Setelah Perjanjian Giyanti, Nyi Ageng Serang pindah ke Jogja bersama Pangeran Mangkubumi. Namun perjuangan melawan pasukan penjajah terus dia lanjutkan. Saat itu Nyi Ageng Serang memimpin pasukan yang bernama Pasukan Siluman dengan keahlian Serang yang cepat hingga membuat pasukan musuh kerap kocar-kacir. Pasukan ini juga menjadi salah satu pasukan yang sangat diperhitungkan Belanda waktu itu. Pada usia 16 tahun, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi mengikuti anjuran dari bibi dan pamannya untuk pindah ke Keraton Mataram. Sampai di Keraton Mataram, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi di sambut dengan gembira oleh Sultan Hamengku Buwono II. Situasi kraton berbeda dengan ketika berada di lingkungan desa. Dengan pendidikan di kraton maka kepribadian dan pengetahuan beliau berkembang dengan pesat. Beliau tumbuh menjadi seorang yang luwes, cerdik pandai dan juga berwatak keras. Perkembangan pesat yang dialami oleh R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi membuat Sultan Hamengku Buwono II tertarik untuk menjadikan istri. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi tidak menolak maupun mengiyakan. Sultan Hamengku Buwono II tidak marah mengetahui hal tersebut. Melihat kemampuan R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi, Sultan Hamengku Buwono II mengutus R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi bertempat tinggal di Kademangan, agar bisa mengetahui situasi dan kondisi diluar kraton, sehingga nantinya akan menjadi masukan yang baik bagi Sultan Hamengku Buwono II dalam menentukan sikap. Setelah lama tinggal di Kademangan, atas permintaan Sultan Hamengku Buwono II , R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi kembali ke keraton. Selama di dalam keraton R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi selalu didesak untuk menjadi istri Sultan Hamengku Buwono II. Setelah lama selalu di desak, akhirnya R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi menerima Sultan Hamengku Buwono II dengan syarat setelah menikah tidak hidup satu atap. Ini dikarenakan beliau masih memikirkan tentang perjuangan membebaskan rakyat dari



penjajah Belanda. Atas perkawinan tersebut beliau mendapat nama Bendoro Raden Ayu Kustiah Wulangningsih Retno Edi. Beberapa berselang akhirnya mereka berpisah dan BRA. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi memilih tinggal di bumi Serang. Setelah tinggal disana, masyarakat memanggil beliau dengan nama Bendoro Ayu Nyi Ageng Serang. Di bumi Serang itulah beliau selalu menyebarkan bibit-bibit nasionalisme dengan selalu membakar semangat melawan penjajah. Bendoro Nyi Ageng Serang akhirnya menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya dan atas persetujuan keraton beliau diangkat sebagai Panembahan dan mempunyai puteri bernama R.A Kustinah Kusumawijaya. R.A Kustinah diambil menantu oleh Sultan HB II, dijodohkan dengan B.R.M. Mangkudiningrat dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Papak dan bergelar G.P.A. A. Notoprojo. Pada masa itu di keraton Mataram sedang terjadi konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda karena ke sewenangan pihak Belanda terhadap rakyat. Pada tanggal 20 Juli 1825, pihak Belanda mengirimkan serdadu –serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Ini di picu ketegangan antara kedua belah pihak dengan akan di bangunnya jalan raya di dekat Tegal rejo. Segera meletus pertempuran terbuka. Tegal rejo direbut dan dibakar, tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri. Pangeran Diponegoro lalu mencanangkan panji pemberontakan. Perang Jawa / Diponegoro (1825 – 1830 ) pun dimulai. Pasukannya semakin besar karena dibantu oleh kalangan bawah, khususnya petani yang banyak bergabung dengan pasukannya. Nyi Ageng Serang juga dikenal sebagai ahli siasat dan negosiasi. Ketika pecah perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang kehilangan suaminya yang tewas dalam pertempuran. Selain memimpin perang, Nyi Ageng serang juga merupakan pemimpin masyarakat yang sangat bijaksana. Pandai berperang dari atas kuda dan merupakan perempuan yang berperan ganda sekaligus sebagai pejuang dan ibu yang mendidik putra putrinya. Semakin lama berjuang, nama Nyi Ageng serang mulai terdengar oleh belanda dan didesak untuk menyerahkan diri melalui Perjanjian Giyanti. Meskipun awalnya menolak, akhirnya Nyi Ageng Serang tertangkap dan dijadikan tawanan belanda. Setelah di bebaskan dari tawanan belanda, Nyi Ageng serang bertirakat/semedi di Jogjakarta dan baru kembali ke serang, Jawa tengah saat perang diponegoro meletus. Saat itu usianya sudah tua dan tidak bisa berperang langsung, maka ia memimpin perang dari atas tandu. Pernyataan perang terhadap Belanda tersebut tentu saja mendapat dukungan sepenuhnya dari Nyi Ageng Serang dengan Laskar Semut Irengnya. Nyi Ageng Serang dengan laskarnya ikut berperang melawan penjajah Belanda.



Nyi Ageng Serang meneruskan perjuangan, dan meskipun sudah lanjut usianya, ketika itu berumur 73 tahun, mendapat kepercayaan memimpin pasukan. Pasukannya membawa Panji "Gula Kelapa" (warna Merah Putih) daerah Jawa Tengah bagian timur laut. Selama perang tersebut Nyi Ageng Serang menggunakan taktik kamuflase daun keladi atau daun lumbu. Daun lumbu wajib di bawa oleh setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang yang nantinya di gunakan sebagai payung ataupun bersembunyi. Dengan daun itu Nyi Agen Serang memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi jika di lihat dari kejauhan. Musuh akan di serang dan di hancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran. Nyi Ageng Serang berjuang di daerah Grobogan, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, Pati, Semarang, Magelang. Dalam perang gerilyanya akhirnya beliau sampai di pinggiran sungai Progo di daerah Dekso dan bermarkas di bukit Traju Mas. Sebuah bukit yang sekarang di namakan dengan bukit Menoreh. Akhirnya tempat tersebut dijadikan markas komando Nyi Ageng Serang. Nyi Ageng Serang oleh Pangeran Diponegoro dianggap sesepuh dan ahli/penasehat strategi perang. Nyi Ageng Serang bersama Pangeran Diponegoro selain meningkatkan taktik daun keladi/lumbu juga membentuk pasukan khusus berani mati yang dinamakan pasukan Sesabet. Pada saat mesanggrah di Prambanan, Nyi Ageng Serang juga mengamati perkembangan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Pada waktu di tempat itulah beliau mengetahui bahwa Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) sudah kembali dari pengasingan atas usaha Belanda dan diangkat menjadi Wali Raja di Yogyakarta. Oleh sebab itu Jendral Van de Cock menggunakan Sultan Sepuh sebagai umpan agar Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang berkunjung ke keraton dan mau mengadakan perjanjian damai antara Sultan Sepuh, Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang dan Jenderal Van de Cock. Tetapi niat tersebut tidak tercapai. Perjuangan Nyi Ageng Serang di wilayah Kulon Progo tidak hanya melawan Belanda saja, tetapi yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih adalah bahwa dia harus melawan antek-antek Belanda yang merupakan bangsanya sendiri. Salah satu antek Belanda yang paling dibenci adalah Ki Simbar Jaya, karena dia adalah antek Belanda yang sangat kejam terhadap bangsanya sendiri. Dia tega merampas harta rakyat, adu domba, menyiksa sampai memperkosa. Pertempuran demi pertempuran di menangkan oleh Nyi Ageng Serang. Tetapi sekali lagi, yang membuat sangat sedih adalah membunuh bangsanya sendiri, sedangkan pasukan Belanda berada di belakang mereka. Ki Simbar Jaya berhasil ditaklukkannya dengan senjata Cundrik dan Selendang yang selalu menyertai Nyi Ageng Serang. Karena kesaktiannya oleh masyarakat Serang, Nyi Ageng Serang dijuluki juga Djayeng Sekar. Antek-antek Belanda lain yang berhasil di bunuhnya adalah Kyai Aras Langu dan Kyai Penther.



Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan Pahlawan Wanita ini antara lain ialah kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan bagi penganut-penganutnya. Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti penjajahan yang kuat dan konsekuen. Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang sekalligus istri/ibu rumah tangga dan pendidik utama putraputranya. Pada akhir tahun 1828, Nyi Ageng Serang sudah berusia lanjut. Atas permintaan kraton serta bujuk rayu abdi terdekatnya akhirnya Nyi Ageng Serang bersedia untuk kembali ke kota. Beliau lalu bertempat di Notoprajan. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan Nyi Ageng Serang di sana, terlebih ketika mendengar bahwa Pangeran Diponegoro berhasil di tangkap oleh Belanda di Magelang dengan menggunakan tipu muslihat yang sangat licik. Dengan perjuangan gigihnya untuk memerdekakan Serang dari penjajah Belanda. Pada tahun 1828, Nyi Ageng Menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 76 tahun. Ia meninggalkan Serang sebagai daerah Merdeka. Atas jasa-jasanya terhadap Negara, Nyi Ageng Serang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Untuk menghormatinya perjuangan beliau di buatlah monumen patung Nyi Ageng Serang yang bertengger di pusat perlimaan jalan utama Kulon Progo. Patung Nyi Ageng Serang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak ber bendera di tangannya. Wajahnya yang cantik-manis tidak saja menonjolkan keunggulan sisi kewanitaannya, namun juga menonjolkan sosok ketegasan dan sifat pemberaninya.