Silvikultur Hutan Mangrove [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya bergantung kepada adanya aliran air laut dan aliran sungai. Hutan mangrove tumbuh berbatasan dengan darat pada jangkauan air pasang tertinggi, sehingga ekosistem ini merupakan daerah transisi yang tentunya eksistensinya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor darat dan laut. Komponen flora hutan mangrove, sebagian besar berupa jenis- jenis pohon yang keanekaragamannya lebih kecil dan mudah dikenali bila dibandingkan dengan hutan darat. Sedangkan komponen faunanya, sebagian besar adalah kelompok avertebrata, dan hidup dalam ekosistem mangrove, namun sebagian kecil dari biota tersebut juga hidup di ekosistem sekitar perairan mangrove. Faktor yang mengontrol sebaran hutan mangrove adalah tersedianya habitat yang cocok untuk setiap jenis mangrove dan pasang surut. Pasang surut memiliki peranan, baik itu langsung (seperti gerakan air, tinggi dan frekuensi), maupun tidak langsung (antara lain salinitas, sedimentasi dan erosi) terhadap perkembangan hutan mangrove sendiri maupun perairan disekitarnya (Pramudji, 2000). Hutan mangrove di Indonesia sekitar 8,6 juta hektar, terdiri atas 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau 44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau 87,50 persen. Luas hutan mangrove di Indonesia yang tersisa antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan



faktor lingkungan dan penebangan



yang



berlebihan. Hutan mangrove yang menjaga agar hal ini tidak terjadi.Dengan adanya hutan mangrove sebagai tameng dari suatu daratan dari air laut. Rehabilitasi hutan mangrove dengan cara menanam selama ini sangat tidak sebanding dengan laju perusaknya yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk merehabilitasinya. Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh peningkatan



2



penggunaan lahan pantai serta pengelolaannya ekosistem mangrove yang belum dapat memperhatikan aspek kelestariannya (Utomo dkk, 2017). Fungsi dan manfaat hutan mangrove secara fisik antara lain penahan abrasi pantai, penahan intrusi (peresapan) air laut ke daratan, penahan dan



badai



angin yang bermuatan garam, menurunkan kandungan karbondioksida



(CO2) di udara (pencemaran udara), dan penambat bahan-bahan pencemar (racun) diperairan pantai. Fungsi dan manfaat hutan bakau secara biologi antara lain, tempat hidup biota laut, baik untuk berlindung, mencari makan, sebagai sumber makanan bagi spesies- spesies yang ada di sekitarnya, dan empat hidup



berbagai



manfaat



hutan



satwa



lain, misal kera, buaya, dan burung. Fungsi



dan



bakau secara ekonomi antara lain, tempat rekreasi dan



pariwisata, sumber bahan kayu untuk bangunan dan kayu bakar, penghasil bahan pangan seperti ikan, udang, kepiting, dan lainnya dan penghasil bahan obat-obatan dapat



digunakan



sebagai



obat penghambat tumor dan sumber



mata pencarian masyarakat sekitar, seperti menjadi nelayan penangkap ikan dan petani tambak. Hutan mangrove merupakan daerah yang sangat penting bagi masyarakat yang hidup disekitarnya, karena secara langsung mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan, arang bahkan dapat juga dimafaatkan (Karuniastuti, 2011).



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana Sejarah Sistem Silvikultur di Indonesia 2. Bagaimana kondisi terkini hutan mangrove? 3. Apa kelemahan dan kelebihan hutan mangrove? 4. Apa Permasalahan yang terjadi dalam hutan mangrove? 5. Apa Tantangan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove?



1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui Sejarah Sistem Silvikultur di Indonesia. 2. Untuk mengetahui Kondisi terkini Hutan Mangrove. 3. Untuk mengetahui Kelemahan dan Kelebihan Hutan Mangrove. 4. Untuk mengetahui Permasalahan yang terjadi dalam Hutan Mangrove. 5. Untuk mengetahui Tantangan masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove.



3



BAB II ISI 2.1. Sejarah Sistem Silvikultur Di Indonesia a. Sistem Silvikultur Hutan Mangrove sebelum tahun 1978 1. Tahun 1933: Kantor Besar Dinas Kesehatan Rakyat mengeluarkan SP No. 669/c tanggal 7 Januari 1933 dilarang menebang mangrove pada lahan hutan sejauh ≤3 km dari desa yang ditujukan untuk mengontrol populasi nyamuk malaria. 2. Tahun 1938: Peraturan pertama tentang silvikultur mangrove berupa SP Jawatan Kehutanan No. 13062/465/BIR tanggal 1 Juli 1938 untuk mengontrol pemanfaatan mangrove Cilacap. Hutan mangrove dibagi menjadi 3 wilayah manajemen: –



Hutan produksi mangrove dengan Rhizophora sebagai jenis dominan. Di areal hutan ini diberlakukan sistem tebang habis dengan meninggalkan 60 s.d 100 pohon induk yang berdiameter > 20 cm per ha.







Hutan mangrove yang tidak layak untuk produksi kayu.







Hutan lindung sepanjang garis pantai dan pinggir sungai dengan



Avicennia Dan asosiasinya merupakan jenis mangrove utama. Tahun 1972: Divisi Produksi dan Perencanaan Hutan, Dirjen Kehutanan merekomendasikan sistem silvikultur Modified Clear - Cutting System atau Stripwise - Selective - Felling System. Beberapa rekomendasi dari sistem ini adalah: a. Dilarang adanya aktivitas logging diareal hutan selebar 50 m dari garis pantai atau 10 m sepanjang pinggir sungai. b. Logging hanya dipebolehkan pada jalur selebar 50 m dengan posisi tegak lurus garis pantai. Sementara itu suatu jalur selebar 20 m diantara jalur yang ditebang tidak boleh diganggu karena fungsinya sebagai penghasil biji/buah untuk menjamin regenerasi alam. c. Penebangan hanya dilakukan terhadap pohon-pohon berdiamer 7 cm keatas didalam jalur tebangan.



4



d. Bila ketersediaan permudaan alam diareal hutan tidak cukup, maka harus dilakukan penanaman pengkayaan dengan jarak2 x 3 m. e. Log harus diangkut dengan rakit, boat dan kanal f. Rotasi ditetapkan selama 20 tahun. Sistem ini dipraktekkan oleh HPH, walaupun secara formal tidak pernah tertuang dalam suatu peraturan yang resmi. a.



Sistem Silvikultur mangrove tahun 1978 sampai sekarang Tahun 1978 Dirjen Kehutanan: SK No 60/Kpts/DJ/1978 tentang Pedoman



Sistem Silvikultur Hutan Mangrove Sistem Pohon Induk( Seed Tree Method). 1. Rotasi tebang adalah 30 tahun dengan RKT dibagi kedalam 100 ha blok tebangan dan setiap blok dibagi lagi kedalam10 sampai 50 ha petak tebangan. Rotasi tebangan dapat dimodifikasi oleh pemegang konsesi yang didasarkan pada kondisi habitat, keadaan ekologi dan tujuan pengelolaan hutan setelah mendapat persetujuan dari Dirjen Kehutanan 2. Sebelum penebangan, pohon-pohon dalam blok tersebut harus diinventarisasi dengan menggunakan sistematic strip sampling dengan sebuah jalur selebar 10 m dan jarak diantara rintisan jalur± 200 m. Inventarisasi harus dilakukan oleh pemegang konsesi. Berdasarkan hasil Inventarisasi tsb, DirjenKehutanan akan menetapkan apakah hutan tsb layak ditebang atau tidak. Bila hutan tsbl ayak ditebang, maka Dirjen Kehutanan akan menentukan Annual Allowable Cut (AAC). Th 1990 Dirjen Pengusahaan Hutan: SE No.507/IV-BPHH/1990 penentuan LJH mangrove selebar 200 m di sepanjang garis pantai, dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Hasil studi ekologi LJH, mangrove ditetapkan selebar minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, 2.2. Kondisi Terkini Hutan Mangrove Ruang lingkup sumberdaya mangrove secara keseluruhan terdiri atas : (1) satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidupnya terbatas hanya di habitat mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut pohon, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain), baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, atau terbatas hanya



5



di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah dinamis yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, (5) mud flat (dataran lumpur) yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut, dan (6) penduduk yang tinggal, baik di dalam maupun di sekitar hutan mangrove. Luas mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 9,2 juta ha yang terdiri atas 3,7 juta ha di dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan hutan. Selanjutnya dilaporkan bahwa saat ini sekitar 43 % (1,6 juta ha) mangrove di kawasan hutan dan 67 % (3,7 ha) mangrove di luar kawasan hutan sedang mengalami kerusakan akibat eksploitasi yang kurang terkendali, konversi ke bentuk pemanfaatan lain, pencemaran, bencana alam, dan lain-lain. Struktur dan komposisi mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan wilayah lain. Di Indonesia dapat ditemukan tegakan Avicennia marina dengan ketinggian 1-2 m pada pantai yang tergenang air laut terus menerus, hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops dengan tinggi lebih dari 30 m. Pada pantai terbuka, dapat ditemukan jenis Avicennia alba dan Sonneratia alba, sementara di sepanjang sungai yang mempunyai salinitas yang lebih rendah banyak ditemukan jenis palem Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Dilain pihak kawasan mangrove sekunder, didominasi oleh anakan mangrove dan berbagai jenis semak atau herba, misalnya Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum. Di Indonesia sendiri terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis mangrove antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dari 202 jenis mangrove yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian Jaya (Papua), 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Nusa Tenggara. Sebaran jenis mengrove di pulau-pulau di Indonesia dapat dilihat pada Tabel berikut.



6



Kondisi lingkungan yang mempengaruhi mangrove adalah struktur fisiografi wilayah, daya akresif atau erosif dari laut atau sungai, pengaruh pasang surut, kondisi tanah, serta kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan oleh eksploitasi. Dalam hal fisiografi, kondisi yang menguntungkan untuk mangrove adalah adanya teluk dangkal yang terlindung, estuaria, laguna, dan sisi semenanjung atau pulau dan selat yang terlindung. Selain itu, banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi rawa-rawa mangrove, tetapi faktor yang terpenting adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus air. 2.3. Kelemahan dan Kelebihan Hutan Mangrove Ekosistem mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Ekosistem mangrove selain berperan sebagai penahan abrasi, ekosistem mangrove juga dapat



7



berperan sebagai penyedia makanan bagi mahkluk hidup yang mendiami ekosistem mangrove. Terdapat 38 jenis mangrove yang terdapat di Indonesia, jenis-jenis yang tumbuh di Indonesia antara lain Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Barringtonia, Lumnitzera, dan Ceriops. Keberadaan suatu ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi makluk hidup dilihat dari ekologis kawasan maupun sosial ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi fisik yaitu menjaga kestabilan pantai, menyerap polutan yang terkandung di dalam air, pembenihan udang, areal budidaya ikan tambak serta sebagai kawasan ekowisata dan sumber kayu. Adapun Kelebihan dari Hutan mangrove adalah sebagai berikut: 1. Membuat wilayah pantai stabil – Akar dari pohon bakau dapat menjaga wilayah tepian pantai tetap stabil. Ombak yang menghantam bisa ditangkal oleh akar-akar tanaman bakau yang mencuat ke permukaan sehingga pantai terhindar dari pengikisan (abrasi). 2. Memberikan nutrisi bagi makhluk hidup di sekitarnya – Adanya hutan bakau dapat memberikan nutrisi kepada ikan-ikan dan binatang yang hidup di perairan hutan tersebut. Tak hanya itu, hutan bakau dapat memberi mereka perlindungan dari hewan pemangsanya. 3. Awal rantai makanan – Daun-daun bakau yang rontok atau jatuh akan masuk ke air dan diuraikan oleh mikroorganisme yang berupa bakteri atau jamur agar tidak menjadi penyebab pemanasan global. Hasil dari penguraiannya adalah makanan bagi larva dan hewan-hewan kecil di sekeliling hutan bakau. Hewan kecil dan larva tersebut dapat menjadi makanan hewan lebih besar yang habitatnya juga di sekitar hutan bakau. 4. Menambatkan kapal – Ketika cuaca buruk terjadi, pohon bakau dapat menjadi pelindung bagi kapal yaitu dengan cara mengikat kapal ke batang bakau. Akan tetapi jangan sering-sering dilakukan karena bisa membuat batang tanaman bakau rusak dan akan memberikan dampak akibat kerusakan hutan. 5. Penjernih air – Akar yang mencuat ke permukaan (akar tunjang) tidak hanya berfungsi sebagai alat pernapasan pohon bakau, tetapi juga mampu menyaring zat-zat kimia, polutan, endapan yang terkandung dalam air laut sehingga menjadi jernih dan bersih. Air sungai yang masuk ke laut kebanyakan membawa berbagai macam sampah yang menjadi penyebab banjir dan zat kimia. Dengan adanya



8



hutan bakau di sekitar perairan tersebut, maka kebersihan air di pantai akan terjaga. 6. Pengawet dan pewarna – Buah pohon tancang berguna untuk mengawetkan dan memberi warna kain atau jaring. Air rebusan buah ini memberi efek warna cokelat tua atau cokelat kemerahan pada kain batik. Air rebusan dari kulit pohon tingi bisa dipakai sebagai pengawet jaring payang (oleh nelayan daerah Labuhan, Banten). 7. Bahan makanan – Daun pohon api-api yang masih muda bermanfaat untuk diolah menjadi sayur. Sedangkan daun lain dari api-api bisa jadi pakan ternak. Buahnya pahit, akan tetapi masih bisa dikonsumsi bila dimasak dengan baik dan hati-hati. Nektar bunga api-api dihisap oleh tawon-tawon dan dapat menjadi madu. 8. Bahan bakar dan bangunan – Kayu pohon mangrove bisa dipakai sebagai kayu bakar atau arang. Jika sudah cukup besar, berguna untuk bangunan rumah (sebagai tiang atau balok konstruksinya). Sangat cocok sebagai balok konstruksi rumah karena sifat kayunya yang tahan air dan kokoh. 9. Obat – Tanaman mangrove dapat digunakan untuk membuat aneka macam obat-obatan. Mengobati radang kulit dan gatal-gatal dapat memakai campuran kulit batang beberapa spesies mangrove. Tanaman ini juga bermanfaat mengatasi gangguan pencernaan, rheumatik, dan gigitan ular. 10. Menahan air asin supaya tidak merembes ke darat – Adanya hutan atau pohonpohon bakau dapat menjadi benteng agar air asin tidak merembes jauh ke daratan. 11. Pariwisata – Luasnya hutan bakau yang masih alami dapat dikelola dengan baik sehingga menjadi destinasi wisata yang menarik dan banyak orang yang mengunjungi kawasan mangrove ini untuk berlibur bersama keluarga atau temanterdekat. 12. Tempak berkembangbiak dan berlindung aneka hewan dan ikan – Udang, ikan kecil, dan kepiting banyak yang tinggal di wilayah perairan hutan bakau. Mereka dapat berkembangbiak dengan baik dan terhindar dari predator (hewan pemangsanya), juga ombak kuat. 13. Membantu perekonomian masyarakat sekitar pantai – Salah satu contohnya adalah membuat makanan dari buah mangrove (seperti cake mangrove) sehingga buahnya tidak terbuang sia-sia, tetapi bisa diolah untuk membantu ekonomi warga sekitarnya.



9



14. Dapat hidup di darat dan air – Mangrove yang mulanya tubuh di bibir pantai, dapat tumbuh hingga ke laut. Mangrove adalah tanaman yang khas karena bisa tumbuh di antara daratan dan laut untuk mengurangi terjadinya erosi tanah dan sementara tanaman lainnya tidak dapat bertahan. Hutan mangrove sangat bermanfaat tidak hanya bagi kehidupan manusia, tapi juga untuk hewan, seperti ikan, udang, dan kepiting. Mangrove melindungi mereka dari hewan pemangsanya dan merupakan habitat hidup hewan-hewan itu. Kekurangan hutan mangrove hampir tidak ada. Namun beberapa berpendapat bahwa hutan mangrove adalah tempat yang kotor, tempat berkembangbiak nyamuk (utamanya malaria), dan perkembangbiakan berbagai serangga yang dapat menyebarkan bibit penyakit. Sehingga banyak terjadi penebangan mangrove berlebihan guna menangkal munculnya wabah penyakit. 2.4. Permasalahan yang terjadi di Hutan Mangrove Dampak dari semua kegiatan dengan cara memanfaatkan hutan mangrove ini umumnya akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik, yakni akan merusak dan pada akhirnya dapat menyebabkan hilangnya sumberdaya tersebut. Permasalahan ekologis yang muncul dari pemanfaatan areal hutan mangrove yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain adalah pencemaran. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove mempunyai peranan sebagai filter terhadap bahan bahan polutan yang berupa limbah rumah tangga, limbah industri maupun tumpahan minyak. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hutan mangrove memiliki peranan terhadap ekosistem perairan disekitar hutan mangrove, karena mangrove merupakan penghasil bahan organik yang diperlukan oleh berbagai larva ikan, kepiting, udang dan berbagai biota laut lainnya. terlihat bahwa konversi hutan mangrove dalam skala besar akan menimbulkan masalah, yaitu menyebabkan menurunnya produksi udang. Permasalahan ini muncul karena konversi hutan mangrove menjadi tambak udang akan merusak sumberdaya tersebut, yang pada akhirnya akan terjadi pemutusan rangkaian proses ekologis maupun biologis yang akan menyebabkan menurunnya produktivitas perairan. Konversi areal hutan mangrove merupakan penyebab utama terhadap rusak dan berkurangnya areal hutan mangrove. konversi hutan mangrove di Indonesia untuk tambak pada tahun 1977 adalah sekitar 175.606 ha, kemudian sampai dengan tahun 1993



10



diperkirakan meningkat menjadi 268.743 ha, atau meningkat sebesar 47%. Meningkatnya pemanfaatan lahan mangrove ini, karena dipacu tingginya harga udang dipasaran internasional. Dengan meningkatnya penyakit udang tambak, sebagian besar lahan tambak terbengkelai dan ditinggal oleh petani, sehingga dampaknya adalah rusaknya ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya. Disamping itu, pembukaan areal hutan man-grove ternyata dapat menimbulkan masalah kesehatan, hal ini telah dibuktikan bahwa populasi nyamuk meningkat sebagai akibat di- tebangnya hutan mangrove, bahkan akan me-nimbulkan kerawanan terhadap wabah malaria. 2.5. Tantangan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Beberapa tantangan yang dialami saat ini dan kemungkinan akan berdampak pada masa yang akan datang diantaranya adalah: 1.



Alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman dan lain-lain.



2.



Pengetahuan masyarakat yang masih minim mengenai manfaat mangrove.



3.



Tumpang tindih kebijakan hokum dari berbagai tingkat



4.



Illegal logging.



5.



Pencemaran limbah plastik, limbah rumah tangga dan pencemaran lainnya. Tantangan langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya



diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai. Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat



11



untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri. Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi. Barangkali tantangan yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram. Kondisi ini tentunya diharapkan dapat diperbaiki oleh pemerintah (daerah dan pusat) maupun masyarakat, dalam pengelolaan hutan bakau (mangrove) perlu ada kesepakatan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat lokal atau masyarakat setempat dalam hal



perencanaan, pelaksanaan,



pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi sehingga keberlanjutan hutan mangrove dapat tercapai. Untuk itu sudah saatnya kita semua bertindak pro aktif dalam menghadapi dan menyikapi hal ini. Diperlukan kerjasama dan komitmen bersama dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, industri, peneliti maupun praktisipraktisi terkait. Dalam hal ini ada beberapa tindakan atau langkah strtaegis yang dapat dilakukan untuk menyikapi secara positif keadaan tersebut, diantaranya: 1. Inventarisasi Data dasar keberadaan, jenis-jenis dan populasi mangrove yang ada di Indonesia sangatlah diperlukan untuk mengetahui kondisinya hingga saat ini. Kegiatan inventarisasi mangrove menjadi sangat penting untuk menunjang proses pemantauan, pengelolaan dan konservasi dari mangrove. Tanpa data inventarisasi kita tidak tahu mangrove di Indonesia ini kondisi seperti apa, apa terus berkurang menuju ke kepunahan atau stganan atau sudah berkembang lebih banyak lagi. Dengan melibatkan masyarakat setempat, LSM, praktisi, peneliti, maupun institusi terkait, sudah seharusnya ada kegiatan ini agar didapatkan data akurat tentang mangrove di Indonesia. Dengan mengetahui data tersebut, maka menjadi



12



dasar pijakan penting bagi strategi pengelolaan maupun kebijakan-kebijakan terkait pengembangan daerah pesisir yang notabene banyak dihuni mangrove. 2. Pemantauan berkala dan evaluasi Salah satu langkah dalam mencegah timbulnya kerusakan ekosistem mangrove, maka perlu dilakukan usaha pemantauan secara berkala dan evaluasi kondisi ekosistem. Yang selanjutnya hasil-hasil evaluasi yang diperoleh dari kegiatan pemantauan dapat dibuatkan rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi pengambil keputusan dalam mengelola wilayah pesisir dan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi di wilayah pesisir dan ekosistem mangrove, selain dilakukan secara manual, ternyata dibutuhkan teknologi yang efektif dan efesien. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik yang dewasa ini sudah terbukti dan banyak digunakan, yaitu metode pengindraan jarak jauh (remote sensing) melalui citra satelit yang dikombinasikan dengan data di lapangan. Dengan menggunakan citra satelit dapat dipantau perubahan-perubahan yang terjadi pada ekosistem mangrove pada suatu daerah dengan koordinat lokasi yang tepat dan catatan waktu yang berkesinambungan. Dari gambaran yang didapatkan tersebut maka selanjutnya dapat dianalisis dan dievaluasi kondisi real saat itu dan prediksi yang akan dating, serta rekomendasi dalam kegiatan-kegiatan terkait mangrove selanjutnya. 3. Pengelolaan berkelanjutan Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan sosio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut,



mendorong



terangkatnya



masalah



kebutuhan



konservasi



dan



kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.



13



BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Sistem-sistem hutan mangrove antara lain yaitu Sistem pohon Induk ( Seed Trees Method ), Sistem silvikultur Tebang Jalur dengan Permudaan Alam (TJPA), Sistem Rumpang. 2. Pada sistem pohon induk, pohon-pohon yang ditebang harus mempunyai diameter minimal 10 cm pada 20 cm di atas akar penunjang atau setinggi dada. Hanya kampak, parang dan gergaji mekanik digunakan untuk menebang pohon. 3. Permasalahan ekologis yang muncul dari pemanfaatan areal hutan mangrove yang tidak memperhatikan aspek pelestararian, antara lain adalah pencemaran. 4. Tantangan langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini. 5. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi mangrove adalah struktur fisiografi wilayah, daya akresif atau erosif dari laut atau sungai, pengaruh pasang surut, kondisi tanah, serta kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan oleh eksploitasi.



14



DAFTAR PUSTAKA Direktorat Bina Pesisir, 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, DKP. Jakarta Kusmana. Dkk., 2008. Manual Silvikultur Indonesia. Departemen Kehutanan Indonesia. Korea International Cooperation Agency (KOICA). Kusmana, 2000. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Institut Pertanian Bogor ; Bogor. Mulia,



F. 2009. Review Sistem Silvikultur Kalimantan Barat. Batu Ampar.



Mangrove



Batu



Ampar,



Onrizal, 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Fakultas Pertanian. Program Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Pramudji, 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya. Jakarta. Vol.XXV no.1. Purnobasuki. H., 2008. Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia dan Langkah Strategis Pencegahannya. Universitas Airlangga; Surabaya.