Sistem Dan Organisasi Kemasyarakatan Suku Sunda [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan Suku Sunda 2.2.1 Sistem Kekerabatan Suku Sunda Sistem kemasyarakatan orang sunda banyak dipengaruhi oleh adat secara turun temurun dan oleh agama Islam yang telah lama di peluk sejak abad ke 16 masehi. Dalam soal perkawinan misalnya di pasundan dilaksanakan baik secara adat ataupun secara agama Islam. Dalam penyelenggaraan perkawinan itu terdapat upacara-upacara adat yang bercampur dengan unsurunsur agama. Mengenai sistem kekerabatan suku sunda dapat dikatakan bahwa kekerabatan suku sunda adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belah pihak orang tua. Berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarchal dan patriarchal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu saja dan garis keturunan bapak. Dimana hak dan kedudukan anggota keluarga dari pihak ayah sama dengan hak dan kedudukan anggota dari pihak itu. Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilah tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu : a. Tujuh generasi keatas : a. Kolot b. Embah c. Buyut d. Bao e. Janggawareng f. Udeg-udeg g. Gantung siwur b. Tujuh generasi kebawah : a. Anak b. Incu c. Buyut d. Bao e. Janggawareng f. Udeg-udeg g. Gantung siwur



2.2.2 Sistem Perkawinan Suku Sunda Orang sunda memandang perkawinan sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Umur yang paling baik menurut anggapan orang sunda untuk menikah ialah antara 16-20 tahun. Mereka berpendapat, bahwa perkawinan itu sakral atau suci dan merupakan proses inisiasi dari siklus kehidupan manusia, dimana seseorang yang berbeda dalam fase kehidupan remaja meningkat kepada fase kehidupan dewasa. Seseorang yang akan melaksanakan perkawinan tentu mendapat perhatian dari masyarakat lingkungannya, lebih-lebih dari keluarganya sendiri. Perkawinan bukan lagi dianggap sebagai ikatan antara dua individu yang berlawanan jenis, akan tetapi merupakan ikatan antara dua keluarga suami istri. Masyarakat Sunda mempunyai kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan menikah dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah dengan saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak diturunkan. Pepatah sunda mengatakan “lamun nyiar jodo kudu sawaja sabeusi” artinya dalam mencari jodo harus sesuai dan cocok. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, pengantin baru bisa tinggal ditempat kediaman istri atau suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal Bentuk terpenting dari keluarga sunda adalah keluarga batin yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang diperoleh dari perkawinan maupun yang diadopsi (anak angkat). Hubungan antara sesama anggota keluarga batin ini sangat erat. Biasanya terdapat pula di dalamnya mertua atau saudara-saudara yang lain dari pihak istri maupun suami. Keluarga batin merupakan tempat yang paling aman bagi anggota-anggotanya di tengah-tengah hubungan kekerabatan yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Disamping keluarga batin, terdapat pula kelompok kerabat sekitar keluarga batin itu yang masih sadar akan hubungan kekerabatanya, sehingga sering diundang pada perayaan penting seperti pada waktu sunatan atau perkawinan. Di desa-desa di suku sunda terdapat pembagian kerja yang lebih tegas antara keluarga batin. Dimana istri mengurus rumah dan mempersiapkan makanan untuk suami dan anak-anak. Kadang-kadang membantu suami bekerja di sawah dan ladang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh wanita seperti tandur, ngaramet, menuai padi, atau mu’uhan yakni memasukan padi atau jagung kedalam lubang tugal dan



sebagainya. Sedangkan suami melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mencangkul, ngawuluku, membuat pagar atau membuat selokan. Kadang-kadang ditemukan keluarga yang lebih besar. Seorang suami mempunyai beberapa seorang istri yang dalam istilah sunda disebut nyandung. Di sekitar keluarga batin, ada pula sekelompok kerabat yang masih sadar akan kekerabatannya, disebut dengan istilah sunda dulur, baraya deukeut, baraya jauh. Baraya deukeut datn baraya jauh yang biasaya diorientasikan oleh seorang ego kepada nenek moyangnya yang jauh di masa lampau disebut dengan istilah sunda “bondoroyot”. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilahistilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan. Dalam masyarakat sunda juga mengenal adanya pancakaki yang dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan silsilah, yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Akan tetapi, ada perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda. Sebab, pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda diproduksi karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin, jika kita tahu si A atau si B memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, kita mencla-mencle



berbicara tak sopan. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah membina silaturahim



dengan



setiap



orang.



2.2.3 Sistem Organisasi Politik Suku Sunda Seiring dengan keinginan untuk mengadakan perbaikan dalam bidang sosial dan ekonomi, Paguyuban Pasundan merasa perlu untuk turut berkecimpung dalam bidang politik untuk mencapai tujuan-tujuannya. Untuk itu, sejak tahun 1919, seiring dengan dibentuknya Volksraad, dilakukan upaya untuk mendudukkan wakilnya di lembaga tersebut. Selanjutnya dengan surat keputusan nomor 72, tanggal 13 Juni 1919, pemerintah juga mengesahkan Paguyuban Pasundan sebagai perkumpulan politik. Sejak Desember 1927, Paguyuban Pasundan masuk menjadi anggota PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia). Dengan bergabung dalam federasi itu, paguyuban tidak lagi menjadi perkumpulan lokal dengan perhatian hanya pada Pasundan atau Jawa Barat saja, tapi menjadi perkumpulan nasional dengan tujuan bersama yaitu untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Kegiatan dalam bidang politik semakin kuat saat kepemimpinan Oto Iskandar di Nata, yang dijuluki “Si Jalak Harupat”, seorang kelahiran Bojongsoang, Bandung tanggal 31 Maret 1897. Selain menjadi ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, ia juga menjadi wakil organisasi tersebut di Volksraad mulai tahun 1931 sampai 1942. 2.2.4 Sistem Kepemudaan dan Pemberdayaan Perempuan Suku Sunda Untuk mengurus masalah pemberdayaan perempuan, di dalam Paguyuban Pasundan didirikan Pasundan Istri (PASI). Sedangkan dalam kepemudaan, pada bulan Desember 1934 didirikan JOP (Jeugd Organisatie Pasoendan) dengan ketuanya yang pertama R. Adil Poeradiredja. Dalam kongresnya yang pertama tahun 1935 kepanjangan JOP diganti menjadi “Jasana Obor Pasundan”. Saat suhu politik memanas menjelang Perang Pasifik, didirikan “JOP Brigade” untuk menangkal kejadian-kejadian yang tidak dikehendaki. Beberapa tokoh, diantaranya Jenderal A. H. Nasution turut menyokong, seperti dengan membantu latihan baris berbaris bagi JOP Brigade. 2.2.5 Sistem Hukum Suku Sunda Dalam kehidupan masyarakat sunda selain hukum positif (hukum pemerintah) yang berkembang tetapi juga sistem hukum Islam. Namun dalam kehidupan masyarakat sunda hukum yang paling dominan berlaku adalah hukum islam.



Organisasi sosial/kemasyarakatan Dilihat dari sudut sejarah, organisasi sosial yang hidup dalam masyarakat di jawa barat ada yang mempunyai ciri-ciri lembaga/organisasi tradisional dan organisasi modern. Yang di maksud organisasi tradisional adalah organisasi yang muncul sebagai hasil inisiatif dan kreatif masyarakat desa,



yang



didorong



oleh



kebutuhan



dalam



mengatasi



masalah-masalah



yang



dihadapinya,sedangkan organsasi modern adalah lahir karena sengaja di bentuk, biasanya dari piahk atas desa dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Pada umumnya organisasi modern mulai ada pada awal abad ke-20, tatkala pemerintah kolonial secara formal memperkenalkannya kepada masyarakat desa, lembaga perkreditan,pegadaian dan susunan pemerintahan. Oganisasi tradisional yang masih banyak ditemui dan dilakukan masyarakat sunda adalah : 1. Organisasi tradisional yang merupakan ikatan hubunga antara pemilik tanah dengan penggarap tanah seperti : a.



Memaro yaitu bagian hasil panen sama



b. Mertelu yaitu bagian hasil panen 1 berbanding 2 c.



Mlayang yaitu bagian hasil panen 10 sangga untuk 3 bau sawah



d. Hejoan yaitu peminjaman uang yang dibayar dengan hasil panen 2. Organisasi tradisional yang erat hubungannya dengan kehidupan desa di priangan : a.



Hiras/ngahiras, biasanya ada dalam mendirikan ruah, tandur dan hajatan



b. Liliuran yaitu saling tukar tenaga dalam sesuatu pekerjaan A : B atau B : A c.



Kondangan/Ondangan/Uleman, biasanya terjdi dalam acara syukuran.



3. Organisasi tradisional didasarkan atas kepentingan ekonomi, seperti : a.



Sistem ijon yaitu peminjaman padi pada musim paceklik dan di bayar pada musim panen dengan bunga tinggi.



b. Ssitem nyambat yaitu permintaan bantuan tenaga dari tetangga dengan imbalan materi c.



Sistem ceblokan yaitu sistem kontrak penggarap sawah oleh satu kelompok petani sampai panen dan hasil panen di bagi sesuai kesepakatan.



d. Sistem pajegan yaitu siste kontrak tidak sampai panen



e.



Sistem sewa tanah yaitu menyewakan tanah kepada pemilik modal karena kebutuhan tertentu.



Pada abad 19 di banten masyarakat desa dibedakan atas dua lapisan sosial yaiu : 1. Golongan elit pada lapisan atas, seperti pemuka agama, pamong desa dan jawara 2. Golongan rakyat biasa pada lapisan bawah, seperti petani kecil, buruh tani dan bujang Dalamkehidupan masyarakat desa di masyarakat sunda pada umumnya ada dua kelompo msyarakat yaitu: 1. Jalma beunghar/jalma jagud aau jalama sugih 2. Jalma miskin/jalma masakat/jalma malarat atau jalma leutik. Penerapan tenggang rasa dapat kita rasakan ketika melihat realitas di atas. Namun, dalam beberapa kasus, masih ada peran pemuda yang memporsikan lebih dari perang orang tua. Misalnya, seorang anak menjadi penanggungjawab keutuhan dan kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja lebih dari pekerjaan orang tua. Terlepas dari hal ini, etika dalam sistem organisasi kemasyarakat Sunda merupakan potret ideal dalam menjalani kehidupan yang lebih dinamis. Kehidupan bersama dalam balutan gotong royong tampak terasa dalam kebiasaan nguyang, yaitu memberikan sesuatu (biasanya palawija) kepada orang lain dengan mengharap balasan yang lebih besar. Hubungan dalam masyarakat Sunda sifatnya subjektif. Artinya, kepentingan individu adalah kepentingan bersama dan kepentingan kelompok juga merupakan kepentingan individu (perseorangan) Menyangkut masalah internal keluarga, dalam masyarakat Sunda, ayah biasa dipanggil abah dan ibu dipanggil ema. Kakek dipangil aki dan nenek dipanggil nini. Adik ayah dan ibu yang laki-laki dipanggil amang sedangkan adik ayah dan ibu yang perempuan dipanggil bibi. Dalam perkawinan, suami biasa panggil salaki dan istri dipanggil pamajikan. Kampong bukanlah satu-satunya tempat tinggal masyarakat Sunda di desa. Pada masyarakat Baduy dan beberapa kelompok masyarakat di daerah Banten dan Sukabumi Selatan yang mayoritas berprofesi sebagai peladang (ngahuma) terdapat paling sedikit dua macam pola organisasi tempat tinggal, yaitu saung huma (dangau ladang) dan kampung. Di Jawa Barat sebenarnya hampir tidak ada desa yang perumahannya terkonsentrir di bangunan dan rumahrumah yang terkumpul dan berkelompok pada satu tempat saja. Desa tersebar dalam satu area tertentu dengan memiliki batas desa atau batas secara historis dan administratif disetujui oleh



bersama. Biasanya batas ini ditandai dengan gapura dan patok vertikal dari beton yang terdapat tulisan nama desa tersebut. Di daerah datar, jarak antara rumah makin besar, begitu juga pekarangannya. Pola kampung seperti ini lebih diperlukan untukmenjaga tanaman pekarangan dari gangguan binatang. Berdasarkan pengelompokan rumah-rumah dan sarana lainnya dihubungkan dengan jalan raya, sungai dan lembah, pantai sebagai indikator, maka pola desa di Jawa Barat (Sunda) dapat dibagi menjadi: 1. Desa linier; kampung desa yang berkelompok memanjang mengikuti alur jalan desa. 2. Desa radial; kampung desa yang berkelompok pada persimpangan jalan. 3. Desa di sekitar alun-alun atau lapangan terbuka; pola ini dianggap imitasi dalam bentuk kecil dari kota kabupaten atau kota kecamatan. Dalam pola desa yang menyebar, yang letaknya tersebar, biasanya penyediaan fasilitas desa terpusat di sekitar bale desa. Hal ini mengakibatkan warga desa memerlukan waktu yang cukup lama bila akan pergi ke sekolah, pasar, masjid, desa atau puskesmas. Selain itu, biasanya letak rumah penduduk berjauhan, sehingga hidup bertetangga agak terbatas pada rumah yang saling berdekatan. Baik kampong ataupun desa adalah suatu pemukiman yang mencakup sejumlah rumah dan bangunan-bangunan lainnya sebagai pelengkap dengan fungsi tertentu bagi kehidupan masyarakat dalam permukiman. Tempat bermukim yang terkecil ialah rumah dan yang terbesar adalah alam luar. Rumah dalam bahasa Sunda disebut imah, dan nu di imah berarti istri yang memiliki wewenang sebagai pengelola rumah. Umpi atau rumah tangga merujuk pada suatu keluarga inti, terdiri atas suami, istri, dan anak-anaknya yang belum menikah. Anak-anak yang sudah berkeluarga kemudian akan membentuk umpi baru yang dalam bahasa Sunda disebut bumenbumen atau imah sorangan, rarabi atau kurenan jika kemudian pasangan tersebut beranak. Itulah gambaran umum mengenai sistem organisasi kemasyarakatan pada masyarakat Sunda.