Skripsi Pembatalan Perkawinan Menurut Uu No 1 Tahun 1974 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah SWT, terdiri atas dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur itu, masing-masing menopang untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di



akhirat.



Allah



menjadikan



makhluk-Nya



berpasang-pasangan,



menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan karena manusia merupakan makhluk sosial. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur, demikian pula



di



antara



tanda-tanda



kekuasaan-Nya



manusia



diciptakan



berpasang-pasangan supaya mereka cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara suami dan isteri itu kasih sayang. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan perkawinan tersebut merupakan rumusan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diterangkan dalam Pasal 1 dengan penjelasan disebutkan : ” Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan



1



mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peran penting membentuk keluarga yang bahagia, rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua”. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya



persetujuan



dari



calon



mempelai



untuk



melangsungkan



perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan bahwa perkawinan itu adalah salah satu sunnatullah, hidup berpasang-pasangan adalah naluri semua makhluk Tuhan baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia (Djaman Nur, 1993:5). Oleh karena itu, untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Al Qur’an dan Sunnah



2



Rasul merupakan salah satu manifestasi ibadah bagi umat Islam, terjadinya



perkawinan



adalah



cikal



bakal



adanya



kehidupan



bermasyarakat yang teratur. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004:206). Perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, di mana antara suami dan isteri harus saling menyantuni, kasih-mengasihi, terdapat keadaan aman dan tenteram penuh kebahagiaan baik moral, spritual dan materiil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada prinsip dalam pokok-pokoknya perkawinan itu hendaklah: 1. Terdapat pergaulan yang makruf antara suami isteri itu dan saling menjaga rahasia masing-masing, serta saling membantu. 2. Terdapat pergaulan yang aman dan tenteram (sakinah). 3. Pergaulan yang saling mencintai antara suami isteri (mawaddah). 4. Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah tua mendatang (warahmah) (M. Idris Ramulyo, 1996:287). Di dalam masyarakat hukum adat, perkawinan itu di samping harus dilakukan menurut tata cara dan syarat-syarat yang berlaku dalam masyarakat tersebut juga pengesahannya dilakukan menurut hukum



3



agama dan kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan. Demi menciptakan keteraturan dalam masyarakat sehingga tidak terjadi pola perkawinan yang menyimpang. Pemerintah Republik Indonesia mengatur masalah perkawinan dalam sebuah undang-undang yaitu undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan. Diciptakannya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan yang



selanjutnya



disebut



UUP,



dengan



seperangkat



peraturan



pelaksanaannya merupakan suatu upaya yuridis untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap pola-pola perkawinan dalam masyarakat



yang



menimbulkan



akibat



negatif



pertama



terhadap



perkembangan mental dan psikologis anak dalam keluarga tersebut. Dari perkawinan yang semula bebas dan seenaknya menjadi perkawinan yang dilakukan dengan syarat-syarat formal yang pasti, serta dengan prosedur yang baik dan teratur. Seperti diketahui pelaksanaan perkawinan didahului kegiatankegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Calon mempelai atau orang tuanya atau walinya memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan, dalam proses ini kadang ada pemalsuan identitas dan dibutuhkan ketelitian pegawai pencatat. Selanjutnya pegawai tersebut meneliti apakô¤˜ö(²áqP¸À5uÓš チ Ò®îÂ3™3š«$9qZqü¢²œJ¾„ý©-@£“Š…çã˜b’a×ZQ¦ÞáÌEsz ƺ¼gïZ’Ø3 UIì§ç“Zûµ%3¤,y5©¦¾ä÷³f







i«zl







\)E¤i&Ír™§N|



©«ªxª×#5’ÔÞåd“=êÌmTlŠµeûÔÕúî^ŒäóVPã½RG©Ñýêâšè6‹¨Æ¦ Žµ@OŽ†Ÿö®95{¸—Œ€w¤ó



¬öº\u¦



O¥ f˜8æ¬Fþõ ン µÛ…XW÷©D²ø”t¨ン òj%!lÓ“@íU¤5+チ ÍMÇ©N~k"ðÕœžk-ìõ ¬Ý®WC"àŽjˆ ン c“$Õ›¦Æy¬;‡!ëH-51œ®\½¹W^ d–ù¹43Í$·8Ï5 マ yz9Á¦¬Ð7`¼ºÀ#5ÎÞ\ï'ン utd'šÎwÎi¨˜NWØc19$Ó¤8À§.t¨$b婈zTè€v¥ OÎ*Ôl&õâ€y¦ ±ÀsOȦチ šv57©apÍ&rij6=qB§±Žj¬€ƒ‘SqQHxZ׶·P f´"@)ƒ¥=O4íaÀ«–



éÞ«B›ˆÍ_jÐ1ÀaºÕˆÏ§L¶¤5–RNà3X /œ¶«Úr»2;§†§&Y/áÖ³Õ-ÄRšyš¾Íœ€©\§6{.~£`ン? ñ,



Ÿ¯³ûŸh]öú½`ѵ”!



\V¤cG€×Ï‚&ä™ô4ô–@ÙPyˆÆùú†ºJ



ú2aìbç チ zµõ?マ ó!AB({bZ”˜ò—Œ2«¤áž"¤



98



:Íl¤¥¹Ã¼TÅK;[ÌŠVCž¶ÙÉ\ƧÌå¿:#üM>"‰¥~SŽ99¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶







µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ104¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ109¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ114¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ119¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ124¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ129¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ134¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ c¶ ミ



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ139¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q











µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ144¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§



µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ149¥ マ Á– iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q 5§ µÇ¦Uü‡v¡ð'[97"‰¥~SŽ154¥







Á–



iÙŒ^âÆÆ•³ä ン Ašº¿,L§4ƒhÖB•Íw¸Q











µÇ¦Uü‡v¡ð'[97