Skripsi Via [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I. PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang masalah Actio Pauliana adalah hak yang dimiliki oleh para kreditur, bahwa para



kreditur dalam keadaan-keadaan tertentu dapat memandang batal perbuatan perbuatan yang telah dilakukan oleh debitur yang merugikan mereka. Azas ini memberikan jaminan bagi kreditur terhadap debitur yang mengalihkan harta kekayaannya yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Achmad Yani dan Gunawan Widjaja, (2002:62) Actio Pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan putusan Hakim Pengadilan. Dengan demikian berarti setiap pembatalan perjanjian, apapun juga alasannya, pihak maupun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan. Dengan dijatuhkannya putusan putusan yang membatalkan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan kreditur (khususnya harta kekayaan debitur), maka seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan seperti semula dalam perihal kepailitan, Actio Pauliana penting sebagai salah satu alasan yang dapat diajukan oleh kreditur untuk membatalkan perbuatan hukum debitur pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diumumkan. Pengaturan tentang Actio Pauliana di dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 49. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan: (1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.



1



2



(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditur dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut (Pasal 41 huruf a, huruf b, dan huruf c UndangUndang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang): a. merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban b. pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat; c. merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang d. belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih; e. Dilakukan oleh debitur perorangan, Dengan atau untuk kepentingan: 1. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga; 2. Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal di setor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. Segala tuntutan hukum yang bertujuan untuk meminta pembatalan dan pengembalian atas segala sesuatu yang telah diserahkan berdasarkan pembatalan tersebut harus diajukan sendiri oleh kurator, dalam kapasitasnya sebagai pengurus harta pailit dan untuk kepentingan harta pailit. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa (1) Tuntutan hak



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



3



berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 diajukan oleh kurator ke Pengadilan. (2) Kreditur berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 dapat mengajukan bantahan terhadap tuntutan kurator. Tuntutan Actio Pauliana gugur apabila kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian. Namun apabila perdamaian tersebut berisi pelepasan atas harta pailit maka tuntutan Actio paulina tidak gugur, untuk itu tuntutan dapat dilanjutkan atau diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan kreditur. Hal ini sebagamana ditentukan dalam Pasal 48 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada kasus yang lain Actio Pauliana yang diajukan oleh Kurator yaitu Sardjana Orba Manulang, kasus ini tentang Actio Pauliana yang diajukan oleh kurator karena kurator menemukan bukti bahwa debitur yaitu Dayu Handoko melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit, yaitu dengan membeli sebidang



tanah



dengan



Sertifikat



Hak



Milik



(SHM)



Nomor



13795/Purwomartani,seluas 3.266 m2 (Tiga Ribu Duaratus Enam Puluh Enam Meter Persegi),dengan diuraikan dengan surat ukur tanggal 15 juni 2014,nomor 00566/Purwomartani/2014,yang diatas namakan Tergugat I adalah harta pailit yang



dapat



dimasukkan



kedalam



daftar



beodel



pailit



nomor



07/pailit/2011/PN.Niaga,Smg; Menyatakan Perjanjian Kredit Nomor 83,tertanggal 10 November 2017 dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017 tertanggal 16 November 2017 di hadapan Turut Tergugat I Aloyysius Yossi Ariwibowo, S.T., S.H., M.kn., selaku Notaris dan PPAT di kabupaen sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta antar Tergugat I dan Tergugat II,atas persetujuan Debitur Pailit Dayu Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum; Pada kasus ini Pengadilan Niaga memutuskan menolak permohonan Actio Pauliana yang diajukan kurator dengan alasan-alasan yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama. PT Bank Perkreditan Rakyat Madani Sejahtera Abadi selaku pihak ketiga adalah kreditor separatis yang sah dari PT



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



4



Bank Perkreditan Rakyat Madani Sejahtera Abadi Tbk. Selanjutnya kurator mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi yang diajukan kurator dengan pertimbangan, bahwa debitur yaitu Dayu Handoko melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit, yaitu dengan membeli sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani,seluas 3.266 m2 (Tiga Ribu Duaratus Enam Puluh Enam Meter Persegi),yang kemudian Oleh Tergugat dijadikan jaminan hutang pada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit sebesar Rp. 1.200.000.000,00 (Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah),Perjanjian Kredit Tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami sah Tergugat I. Bahwa perjanjian pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu Handoko tidak di daftarkan pada pencatatan nikah, sehingga hanya berlaku kepada mereka berdua saja yang menandatangani perjanjian itu serta tidak berlaku mengikat kepada pihak ketiga,dengan demikian mengakibatkan harta yang di peroleh selama pekawinan menjadi harta bersama,sehingga menjadi harta beodel pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko Dimana perjanjian tersebut menurut kurator adalah merugikan kreditor Pada kasus ini Pengadilan Niaga memutuskan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi SARDJANA ORBA MANULANG,S.,M.H., M.Kn tersebut dengan Nomor Putusan 461K/pdt.susPailit/2019. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai masalah tuntutan Actio Pauliana dalam kepailitan dengan menyusun Skripsi berjudul : “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP GUGATAN ACTIO PAULIANA PADA BOEDEL PAILIT SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG



KEPAILITAN



DAN



PENUNDAAN



KEWAJIBAN



PEMBAYARAN UTANG (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 461 K/Pdt.sus-pailit/2019’’). 1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan diatas yang berkaitan dengan judul skripsi, yaitu: Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



5



1.2.1 Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur melalui Actio Pauliana berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tetang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang ? 1.2.2 Bagaimana kesesuaian hukum dalam putusan nomor 461 K/pdt.suspailit/2019 jika dikaitan dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang ? 1.3



Batasan Masalah Memudahkan suatu penelitian yang dilakukan tidak menyimpang dari hal



pokok yang dikaji oleh peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada proses akibat hukum tentang Actio Pauliana dalam kepailitan tersebut yang dilakukan kurator pailit Sardjana Orba Manulang,S.H., M.H., M.Kn., dalam kepailitan tersebut apakah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 yang berlaku. 1.4



Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian



sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum 1.



Skripsi ini berguna untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan akademik untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi;



2.



Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perdata;



3.



Untuk



menambah



perbendaharaan



refrensi



di



perpustakaan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi. 1.4.2 Tujuan Khusus a.



Untuk mengetahui perlindungan hukum kreditur melalui Actio pauliana berdasarkan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;



b.



Untuk mengetahui kesesuaian hukum terkait putusan Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 jika dikaitkan dengan kitab Undang-Undang



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



6



Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 1.5



Manfaat Penelitian



1.5.1 Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran, dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus dalam ruang lingkup perlindungan hukum perlindungan hukum terhadap kreditur Actio Pauliana Menurut Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 1.5.2 Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, Untuk mengkaji mengenai permohonan Actio Pauliana dan perannya dalam melindungi hak–hak kreditur sehubungan dengan Boedel pailit yang dimiliki Debitur,termasuk pihak yang berwenang dan masyarakat pada umumnya dalam rangka pengetahuan tentang perlindungan hukum terhadap kreditur Actio Pauliana Menurut Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Penelitian Terdahulu Dalam kontek sebuah penelitian tidak lepas dari penelitian terdahulu yang



pernah dilakuakan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Dimana penelitian yang dibuat oleh penulis ini merupakan pengembangan dari penelitian terdahulu oleh : a)



Astrid Fauzia Zahra Astrid Fauzia Zahra, Tahun 2015 dengan Judul Gugatan Actio Pauliana



Oleh Kurator Terhadap Debitor Yang Telah Melakukan Penjualan Sebelum Dinyatakan Pailit (Studi Putusan Nomor 61 PK/Pdt.SusPailit/2015) Jurnal Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Adapun rumusan masalah yang dibahas pada skripsi ini : 1.



Bagaimana



pertimbangan



hakim



dalam



Putusan



Nomor



61



PK/Pdt.SusPailit/2015? 2.



Bagaimana akibat hukum yang timbul atas dikeluarkannya Putusan Nomor 61 PK/Pdt.SusPailit/2015?tanah yang belum didaftarkan? Untuk tata cara penulisan dalam penelitian skripsi tersebut, penulis



menggunakan Metode Yuridis Normatif yaitu metode penulisan yang didukung dengan data-data serta perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam skripsi yang meliputi : 1.



Sumber Data



Penulis menggunakan tiga bahan hukum yaitu : 1)



Bahan Hukum Primer;



2)



Bahan Hukum skunder;



3)



Bahan Hukum Tersier.



2.



Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Tehnik



pengumpulan



bahan



hukum



Penulis



menggunakan



Study



Kepustakaan (library Research) yaitu dengan mempelajari Buku-Buku Hukum, Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal dan Artikel dari Internet serta bahan bacaan lainnya.



7



8



3.



Analisi Hukum Analisi Hukum yang digunakan Penulis dalam penulisan skripsi ini :



1)



Mengumpulkan bahan hukum premier dan sukunder, serta memilah bahan hukum skunder untuk menjawab rumusan masalah berdasarkan data-data diatas, serta legal opinion penulis;



2)



Melakukan pola pengambilan kesimpulan degan pola piker induktif, yakni pengambilan kesimpulan dari khusus ke umum;



3)



Menarik saran dan kritik atas isu hukum diatas sebagai penutup. Adapun hasil dari Penelitian dan Pembuatan Skripsi ini, Penulis



mengambil 2 (dua) Kesimpulan sebagai berikut : 1.



Terdapat unsur yang perlu dibuktikan oleh kurator dalam perkara Actio pauliana adalah membuktikan bahwa aset yang menjadi obyek gugatan merupakan bagian dari harta pailit debitur dan membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh debitur telah melanggar salah satu ketentuan Actio paulina yang terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang



2.



Akibat hukum yang timbul atas dikeluarkannya Putusan Nomor 61 PK/Pdt.SusPailit/2015 adalah kewajiban bagi pihak yang menguasai obyek gugatan untuk menyerahkan obyek tersebut kepada kurator.



B.



Eki Nurjanah Eki Nurjanah, 2017 dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Putusan



Pengadilan Niaga Nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio Pauliana Dalam kepailatn”. Adapun rumusan masalah yang dibahas pada skripsi ini : 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio Pauliana Dalam Kepailitan? 2. Bagaimana prosedur permohonan Actio pauliana Pertimbangan hakim dalam memutus perkara mendasarkan pada ketentuan Pasal 41 dan Pasal



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



9



42 Undang-undang Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? Untuk tata cara penulisan dalam penelitian skripsi tersebut, penulis menggunakan Metode Diskriptif Normatif yaitu metode penulisan yang didukung dengan data-data serta perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam skripsi yang meliputi: 1.



Sumber Data



Penulis menggunakan dua bahan hukum yaitu : a.



Bahan Hukum Primer;



b.



Bahan Hukum skunder;



2.



Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Tehnik



pengumpulan



bahan



hukum



Penulis



menggunakan



Study



Kepustakaan(library Research) yaitu dengan mempelajari Buku-Buku Hukum, Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal dan Artikel dari majalah hukum serta bahan bacaan lainnya. 3.



Analisis Hukum Analisis Hukum yang digunakan Penulis dalam penulisan skripsi ini,



Metode analisis hukum yang dilakukan dengan cara menggunakan, menafsirkan, serta



menggambarkan



kejadian



(studi



kasus



yang



diangkat)



dengan



memperhatikan dan/atau bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian diambil suatu kesimpulan dan saran-saran yang bermanfaat. Adapun hasil dari Penelitian dan Pembuatan Skripsi ini, Penulis mengambil 2 (dua) Kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa tergugat tidak pernah mengetahui bahwa tindakan hukum yang dilakukannya akan merugikan pihak lain. Tindakan mereka didasarkan dengan haknya selaku orang yang berhak atas obyek sengketa dan bukan merupakan tindakan yang beritikad tidak baik. 2. Berdasarkan Undangundang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang perkara Actio pauliana adalah perkara yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit sehingga pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara Actio paulian.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



10



2.2



Landasan Teori



2.2.1 Tinjauan Umum Tentang Kepailitan Indonesia Kepailitan di Indonesia pertama kali diatur dalam Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening atau Undang-Undang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kendala besar bagi perekonomian nasional Indonesia, ditambah lagi dengan munculnya kondisi dimana sejumlah pelaku usaha sebagai debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada lembaga pembiayaan sebagai kreditor. Keadaan ini sudah tidak relevan lagi apabila tetap beracuan pada Verordening terinvoering van de Faillissementsverordening, sehingga pada tanggal 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Mula-mula kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), Buku Ketiga, yang berjudul Van de Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Aslinya peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348). Sebagai upaya memahami terjadinya perubahan terhadap Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening hingga menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, perlu diketahui latar belakang mengapa perubahan tersebut dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan di bagian pertimbangan dari undang-undang kepailitan tersebut adalah sebagai berikut. Remy Sjahdeini, (2003:18.)



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



11



1.



Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh debitor dan para kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan;



2.



Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utangpiutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya;



3.



Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;



4.



Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 bukan merupakan undang-undang kepailitan yang baru di Indonesia, melainkan hanyalah sekedar mengubah dan menambah Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348;



5.



Sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan disahkan menjadi undang-undang, telah terjadi suatu perdebatan akibat perbedaan pendirian antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



12



Republik Indonesia. Alasan pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang tentang Kepailitan adalah karena tenggang waktu yang ditetapkan dalam Letter of Intent yang telah ditandatangani antara International Monetary Fund dan pemerintah mengenai keharusan bagi Indonesia untuk segera mengundangkan undang-undang kepailitan telah terlampaui waktunya. Remy Sjahdeini,(2003:19-20.) Istilah berhenti membayar ini tidak mutlak diartikan debitur sama sekali berhenti membayar utang-utangnnya,tetapi diartikan dalam keadaan tidak dapat membayar utang-utangnnya ketika diajukan permohonan pailit ke pengadilan. Berhubung pernyataan pailit harus melalui proses pengadilan, maka segala sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit itu disebut dengan istilah ”Kepailitan”. Keadaan debitur yang perusahaannya dalam keadaan berhenti membayar utangnnya disebut dengan insolvable. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankruptcy. Zainal Asikin,(2016:27). Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Sedangkan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menginginkan agar materi yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut untuk diubah, karena terdapat banyak hal yang tidak memadai pengaturannya. Sehingga pada akhirnya, jalan keluar sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut adalah disepakati bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diundangkan (9 September 1998), akan menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Kepailitan yang baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



13



hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Mengutip pendapat Siti Soemarti Hartono(1993:3), kepailitan adalah suatu lembaga hukum perdata Eropa sebagai asas realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata Hukum formal yang saat ini berlaku di Indonesia berkenaan dengan kepailitan antara lain sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut KUHPerdata, khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; dan 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang di antara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Remy Sjahdeini (2003:3) Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Remy Sjahdeini (2003:3) Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, seorang kreditor dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan terhadap pada kreditor lain apabila tagihan kreditor yang bersangkutan merupakan : 1. Tagihan yang berupa hak istimewa; 2. Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; dan 3. Tagihan yang dijamin dengan hipotek. Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, jika tidak dengan tegas ditentukan lain oleh undang-undang, maka kreditor pemegang hak jaminan harus didahulukan daripada kreditor pemegang hak istimewa untuk memperoleh pelunasan dari hasil



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



14



penjualan harta kekayaan debitor yang menurut Pasal 1131 KUHPerdata menjadi agunan atau jaminan bagi utang-utangnya. Remy Sjahdeini (2003:4) Selain pengaturan tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing piutang para kreditor dalam KUHPerdata, perlu ada undang-undang lain yang mengatur tentang bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor untuk melunasi piutang-piutang masing-masing kreditor berdasarkan urutan tingkat prioritasnya, serta pengaturan mengenai siapa yang melakukan pembagian harta kekayaan debitor dan bagaimana cara melakukan pembagian tersebut. Undang-Undang tentang kepailitan yang pada saat ini berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur beberapa ketentuan mengenai kepailitan dalam Pasal 104 dan Pasal 142. Remy Sjahdeini (2003:4) Di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1): Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Berdasarkan beberapa pengertian kepailitan yang diberikan oleh para sarjana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepailitan mengandung unsurunsur sebagai berikut : 1. Adanya sita umum atas seluruh kekayaan si debitor; 2. Untuk kepentingan semua kreditur; 3. Debitur dalam keadaan berhenti membayar utang; 4. Debitur tidak kehilangan hak keperdataannya; 5. Terhitung sejak pernyataan pailit,debitur kehilangan hak untuk mengurus 6. harta kekayaannya; 7. merealisasikan asas yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal1132 KUH Perdata 2.2.2 Pihak-Pihak Dalam Kepailitan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



15



Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain sebagai berikut: a. Pihak Pemohon Pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. Kemudian berdasarkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak pemohon pailit tersebut, pengadilan akan mengeluarkan putusan pernyataan pailit apabila unsur-unsur pailit telah terpenuhi. Berdasarkan pada Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit atas permohonan: 1. Debitor itu sendiri; 2. Salah satu atau lebih pihak kreditor; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum; 4. Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank; 5. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitornya adalah perusahaan efek,bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian. 6. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Munir Fuadi (2005:35) b. Pihak Debitor Pailit Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa debitor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Orang (persoon) adalah pembawa hak dan kewajiban atau setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki,memperoleh, dan menggunakan hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum yang disebut sebagai subjek hukum. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:7)



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



16



Subjek hukum dalam hukum perdata terdiri dari manusia biasa (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Orang yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah orang (persoon) sebagai subjek hukum, yakni manusia biasa dan badan hukum. Pengaturan mengenai orang (persoon) sebagai debitor diatur dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa : Dalam hal debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggarannya. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:10) Pihak debitor pailit adalah pihak yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga. Putusan pernyataan pailit tersebut dikeluarkan oleh pengadilan niaga setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan. Debitor yang dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga adalah debitor yang memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) kreditor dan tidak membayar setidaknya 1 (satu) utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. c.



Hakim Niaga Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim



tunggal), baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. d.



Hakim Pengawas Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga juga



mencakup penunjukkan kurator dan hakim pengawas yang menangani perkara kepailitan terkait. Hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator. e.



Kurator



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



17



Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan cukup penting dalam suatu proses perkara pailit. Hal-hal yang berkenaan dengan kurator diatur dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang



f.



Panitia Kreditor Pada prinsipnya, suatu panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak



kreditor, sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditor. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:38) Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit menurut ketentuan UndangUndang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah debitur, debitur yang dimaksud adalah Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun yang belum menikah. Jika orang-perorangan yang telah menikah maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan dengan ijin suami atau istri yang bersangkutan, kecuali antara mereka tidak ada percampuran harta; 1.



Harta Peninggalan, dari seorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnnya.



2.



Perkumpulan Perseroan (Holding Company) dan anak-anak perusahaannnya dapat diajukan dalam satu permohonan, tetapi dapat juga diajukan terpisah sebagai dua permohonan.



3.



Penjaminan (Guarantor) kewajiban untuk membayar utang debitur pada kreditur ketika si debitur lalai atau cidera janji. Penjaminan baru menjadi debitur/kewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya cidera janji dan harta benda milik debitur utama/debitur yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai/cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



18



4.



Badan Hukum, diwakili oleh organ yang hanya dapat mengikatkan badan hukum jika tindakan-tindakannya didalam batas wewenangnya yang ditentukan dalam anggaran dasar, ketentuan-ketentuan lain dan hakikat dari tujuannya.



5.



Perkumpulan bukan badan hukum, harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.



6.



Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.



7.



Perusahaan Efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.



8.



Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara, permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Munir Fuady (1999:36).



2.2.3 Asas dan Prinsip dalam Hukum Kepailitan Terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan oleh undang-undang kepailitan suatu negara agar undang-undang tersebut dapat memenuhi beberapa kebutuhandunia usaha, baik nasional maupun internasional. Demikian pula seharusnya dengan undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia. Suatu undang undang kepailitan, termasuk undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia, seyogianya memuat asas-asas, baik dinyatakan secara tegas maupun secara tersirat,sebagai berikut : 1.



Asas Mendorong Investasi dan Bisnis;



2.



Asas Memberikan Manfaat dan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor;



3.



Asas Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan terhadap Debitor yang Masih Solven;



4.



Asas Persetujuan Putusan Pailit Harus Disetujui oleh Para Kreditor Mayoritas;



5.



Asas Keadaan Diam (Standstill atau Stay);



6.



Asas Mengakui Hak Separatis Kreditor Pemegang Hak Jaminan;



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



19



7.



Asas Proses Putusan Pailit Tidak Berkepanjangan;



8.



Asas Proses Putusan Pernyataan Pailit Terbuka untuk Umum;



9.



Asas Pengurus Perusahaan Debitor yang Mengakibatkan Perusahaan Pailit Harus Bertanggung Jawab Pribadi;



10. Asas Memberikan Kesempatan Restrukturisasi Utang Sebelum Diambil Putusan Pernyataan Pailit kepada Debitor yang Masih Memiliki Usaha yang Prospektif; 11. Asas Perbuatan-Perbuatan yang Merugikan Pailit adalah Tindak Pidana. M. Hadi Shubhan(2015:27-28) Kemudian penjelasan umum Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas, yakni sebagai berikut: a) Asas Keseimbangan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur



beberapa



ketentuan



yang



merupakan



perwujudan



dari



asas



keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di pihak lain terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. b) Asas Kelangsungan Usaha Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang sedang prospektif tetap dilangsungkan. c) Asas Keadilan Asas keadilan dalam kepailitan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan Asas keadilan mencegah terjadinya kesewenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memerdulikan kreditor lainnya. d) Asas Integrasi



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



20



Asas integrasi dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan sistem hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Hadi Shubhan(2015:30) Terdapat beberapa prinsip yang berlaku dalam hukum kepailitan. Prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan tersebut antara lain sebagai berikut: e)



Prinsip Paritas Creditorium Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan



debitor,baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dimiliki debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Prinsip paritas creditorium tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan terhadap para kreditor. Ketidak adilan yang dimaksud terletak pada kedudukan para kreditor yang dianggap sama antara satu kreditor dengan kreditor yang lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors. Hadi Shubhan(2015:31) f)



Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata parte terdiri dari istilah pari passu yang berarti



bersamasama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yakni dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masingmasing dibandingkan dengan piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor. Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional di antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



21



utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proposionalnya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya. Terdapat pengaturan tersendiri berkenaan dengan prinsip pari passu pro rata parte dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yakni tertuang dalam Pasal 189 ayat (4) dan ayat (5), serta di dalam penjelasan Pasal 176 huruf a. Hadi Shubhan(2015:32) g)



Prinsip Structured Pro Rata (Structured Creditors) Prinsip structured pro rata atau prinsip structured creditors merupakan



prinsip yang mengklasifikasikan berbagai macam kreditor dengan kelasnya masingmasing. Berdasarkan tingkatannya kreditor kepailitan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) Kreditor Separatis; 2) Kreditor Preferen; dan 3) Kreditor Konkuren. Kreditor separatis adalah kreditor yang dapat melaksanakan haknya seolaholah tidak terjadi kepailitan. Termasuk kreditor separatis misalnya pemegang gadai, pemegang jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, agunan kebendaan lainnya. Kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Kreditor konkuren atau kreditor bersaing adalah kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan



sehingga



kedudukannya



satu



sama



lain



sama.



Hadi



Shubhan(2015:32) Ketiga jenis kreditor berdasarkan tingkatannya atau dapat disebut tingkatan para kreditor kepailitan tersebut berbeda dengan jenis atau macam kreditor dalam kepailitan.



Adapun



macam-macam



atau



jenis-jenis



kreditor



kepailitan



berhubungan dengan inventarisasi kurator terhadap piutang kreditor yang akan dibahas dalam rapat pencocokan piutang. Jenis-jenis kreditor yang dimaksud adalah:



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



22



1)



Kreditor yang diakui yang kemudian akan dimasukkan ke dalam daftar piutang yang diakui;



2)



Kreditor yang diakui sementara yang kemudian akan dimasukkan ke dalam daftar piutang yang diakui sementara;



3)



Kreditor yang dibantah yang kemudian akan dimasukkan ke dalam daftar piutang yang dibantah.



h)



Prinsip Debt Collection Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang



dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin



untuk



menghindari



itikad



buruk



dari



debitor



dengan



cara



menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya. Berkaitan dengan hukum kepailitan yang pada saat ini berlaku di Indonesia, prinsip debt collection terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hanya terdapat 2 (dua) persyaratan yang harus dipenuhi agar debitor dapat dipailitkan, yakni debitor memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta memiliki sedikitnya 2 (dua) kreditor. Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan jumlah minimum utang debitor untuk dapat dipailitkan ataupun persyaratan keadaan insolven Prinsip Debt Pooling Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle). Hadi Shubhan(2015:33) Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifatsifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures), pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



23



dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara yang spesifik. Hadi Shubhan(2015:34) 2.2.4 Tinjauan Umum Akibat Hukum Kepailitan Akibat hukum yang diakibatkan dengan adanya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan niaga diantaranya sebagai berikut: 1. Berlakunya sita umum atas seluruh harta debitor Kepailitan terhadap debitor merupakan peletakkan sitaan umum terhadap seluruh aset debitor. Karena apabila terdapat sitaan-sitaan lain terhadap aset yang dimiliki oleh kreditor, maka harus dianggap gugur demi hukum. Sitaan umum berlaku terhadap seluruh harta debitor, yakni harta yang telah ada saat adanya pernyataan pailit dan harta yang diperoleh debitor selama berada dalam keadaan pailit tersebut. Debitor pailit tidak lagi memiliki hak atas harta kekayaannya sampai dengan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator selesai. Debitor pailit demi hukum akan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk ke dalam aset pailit sejak diucapkannya putusan pernyataan pailit. 2. Akibat Hukum bagi Kreditor yang Memegang Hak Jaminan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. (Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Kemudian diatur lebih lanjut bahwa hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) 3. Kewenangan Kurator terhadap Harta Pailit Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



24



atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).Kemudian keberadaan kurator dipertegas kembali melalui Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa: Dalam melaksanakan tugasnya, kurator: a.



Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;



b.



Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan harta pailit.



4.



Permohonan Pembatalan Perbuatan Hukum Debitor Pailit Permohonan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang tidak wajib



dilakukan debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitor bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kreditor dapat dimohonkan oleh kurator kepada pengadilan. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Kemudian, diperjelas dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Hal-hal lain” adalah antara lain, Actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor, kreditor, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



25



perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) Dengan



adanya



putusan



pailit



oleh



pengadilan,



si



pailit



masih



diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum dibidang harta kekayaan apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta kekayaan si Pailit, sebaliknya apabila dengan perbuatan hukum itu justru akan merugikan harta kekayaan si Pailit maka kerugian kerugian itu tidak mengikat harta kekayaan tersebut. Zainal Asikin(2017:45-46) Menurut Fred Tumbuan, pernyataan pailit berakibat bagi kreditur dan debitur yaitu: a). Akibat hukum bagi debitur pailit dan hartanya Akibat pernyataan pailit bagi debitur adalah sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang dimasukkan kedalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan pailit itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan meliputi seluruh kekayaan milik debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, pengawasan dan pemberesan boedel pailit ditugaskan pada kurator (Pasal 16 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Imran Nating, (2017:46) b). Akibat hukum bagi kreditur pailit Akibat pernyataan pailit bagi kreditur adalah kedudukan para kreditursama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passa pro rata parte). Namun demikian asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



26



Pembayaran Utang dan peraturan perundang-undangan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata). Dengan demikian, asas paritas creditorium berlaku bagi para kreditur kongkuren saja. Imran Nating,(2017:46) Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut kreditur separatis tidak dapat mengeksekusi boedel pailit karena dalam hal ini ada jangka waktu 90 hari yang disebut dengan masa stay, baru setelah tenggat waktu 90 hari tersebut lewat, kreditur separatis baru dapat mengeksekusi boedel pailit. Adanya lembaga penangguhan pelaksanaan hak eksekusinya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan,dalam pelaksanaan hak eksekusinya harus mendapat persetujuan dari curator atau Hakim Pengawas pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitur pailit. Ahmad Yani,(2002:62)



Kewenangan Kurator terhadap Harta Pailit Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. Kemudian keberadaan kurator dipertegas kembali melalui Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa: 1. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; 2. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan harta pailit”. Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



27



Permohonan Pembatalan Perbuatan Hukum Debitor Pailit Permohonan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang tidak wajib dilakukan debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitor bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kreditor dapat dimohonkan oleh kurator kepada pengadilan. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan



dan/atau



diatur



dalam



Undang-Undang



ini,



diputuskan



oleh



pengadilan,yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) 2.3 Tinjauan Umum Tentang Kurator Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.) 2.3.1 Dasar Hukum Kurator Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan, dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat: (Sutan Remy Sjahdeini,2002: 205). a. Kurator; dan b. Seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan Kemudian, hal-hal berkenaan dengan kurator diatur dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2.3.2 Persyaratan Kurator Tidak semua orang dapat menjadi kurator. Dahulu, sewaktu masih berlakunya peraturan kepailitan zaman Belanda, hanya Balai Harta Peninggalan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



28



saja yang dapat menjadi kurator tersebut. Akan tetapi, sekarang ini oleh UndangUndang Kepailitan diperluas sehingga yang dapat bertindak menjadi kurator adalah sebagai berikut: (Munir Fuady,2017:41) a.



Balai Harta Peninggalan; atau



b.



Kurator lainnya. Kurator lainnya, selain Balai Harta Peninggalan yang selanjutnya dalam



penelitian ini disebut Balai Harta Peninggalan adalah mereka yang memeliki persyaratan sebagai berikut: 1. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan 2. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman sebagai kurator. Apabila debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan niaga, maka Balai Harta Peninggalan otomatis bertindak sebagai kurator debitor pailit. Akan tetapi, apabila diangkat kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan, kurator tersebut haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan apapun dengan pihak debitor maupun kreditor. 2.3.3 Harta Pailit Debitor Pengaturan mengenai harta pailit debitor dan akibat kepailitan terhadap harta pailit dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Pasal 22 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kemudian mengatur lebih lanjut bahwa, Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap: a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



29



b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang”. Definisi harta pailit telah jelas diuraikan dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Undang- Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut. Apabila debitor adalah suatu perseroan terbatas, maka organ perseroan tersebut tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut menyebabkan berkurangnya harta pailit, maka pengeluaran uang yang merupakan bagian harta pailit adalah wewenang kurator. Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, semua wewenang debitor untuk menguasai dan mengurus harta pailit, termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan,catatan, rekening bank, dan simpanan debitor dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator. 2.3.4 Tugas dan Kewenangan Kurator Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.(Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Kurator berwenang melaksanakan tugas tersebut sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali, tugas kurator terus berjalan. Pengurusan harta pailit yang menjadi tugas dari kurator diatur dalam Pasal 15 ayat (4), Pasal 100, Pasal 86 ayat (3), dan Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Uraian penjelasan mengenai pengurusan harta pailit yang merupakan tugas dari kurator berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut: 1. Mengumumkan Status Kepailitan Debitor Pailit Pasal 15 ayat 4 UndangUndang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



30



bahwa,dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas. kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut : a) Nama, alamat, dan pekerjaan debitor; b) Nama hakim pengawas; c) Nama, alamat, dan pekerjaan kreditor; d) Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditor sementara,apabila telah ditunjuk; dan e) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor. Kemudian, penjelasan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan 2 (dua) surat kabar harian adalah surat kabar yang beredar secara nasional dan surat kabar harian lokal yang beredar ditempat domisili debitor. 2. Melakukan Pencocokan Piutang Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa kurator wajib: a) Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitor pailit; atau Berunding dengan kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. b) Kemudian, Pasal 117 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. c) Melakukan Pencocokan Utang Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap. Sehingga, berdasarkan pasal tersebut, kurator memiliki tugas untuk melakukan pencocokan utang.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



31



Melakukan Pencatatan Harta Pailit Berdasarkan pada Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator. Kurator menginventarisasi atau melakukan pencatatan atas harta pailit yang dimiliki oleh debitor pailit dan memisahkan barang-barang yang cepat rusak atau membusuk agar dapat secepatnya dijual (dengan persetujuan hakim pengawas), sehingga tidak akan terjadi kerugian atas harta pailit. 3. Memanggil Para Kreditor Pasal 86 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator wajib memberitahukan penyelenggaraan rapat kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, dan dengan iklan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). Kurator memanggil para kreditor dan debitor dari debitor pailit untuk melakukan penagihan atau pembayaran terhadap piutang atau utangnya dengan membawa bukti-bukti tagihan, sehingga kurator dapat membuat daftar utangpiutang debitor pailit. Melaksanakan Rapat Verifikasi Pasal 113 ayat (1) UndangUndang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan: a) Batas akhir pengajuan tagihan; b) Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; c) Hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang. Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



32



(dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) Pasal 113 ayat (1) dan Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU merupakan ketentuan yang mendasari tugas kurator untuk mengadakan rapat verifikasi atau rapat pencocokan piutang. Kurator dapat mengajukan hari, tanggal dan tempat rapat verifikasi kepada hakim pengawas untuk ditetapkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Kurator dapat melakukan hal-hal lain yang dapat memperlancar proses pengurusan harta pailit debitor dengan seizin hakim pengawas. Hal-hal lain yang dimaksud antara lain sebagai berikut: a) Melakukan pemanggilan debitor pailit untuk meminta keterangan mengenai sebab-sebab pailit, ada atau tidaknya perjanjian perkawinan, dan lain sebagainya berkenaan dengan status dari debitor pailit; b) Mengirimkan surat kepada kantor-kantor pengiriman surat, agar setiap surat yang ditujukan kepada debitor pailit dikirimkan ke alamat kurator, hal ini dapat dilakukan oleh kurator mengingat dalam Pasal 105 ayat (3) diatur bahwa perusahaan pengiriman surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitor pailit; c) Membuat daftar kreditor dan debitor sementara; d) Membuat daftar tetap utang-piutang debitor pailit (dalam keadaan insolven) yang terdaftar dan diakui debitor pailit yang disahkan oleh hakim pengawas; e) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven. (Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) 2.3.5 Tanggung Jawab Kurator Berdasarkan pada Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Kemudian, Pasal 78 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa untuk melakukan perbuatan terhadap pihak ketiga, kurator memerlukan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



33



kuasa atau izin dari hakim pengawas tetapi ternyata kuasa atau izin tersebut tidak diperolehnya



atau



kurator



dalam



melakukan



perbuatan



tersebut



tidak



mengindahkan ketentuan Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka perbuatan terhadap pihak ketiga tersebut dapat dikatakan sah, namun sebagai konsekuensinya kurator harus bertanggung jawab sendiri secara pribadi terhadap debitor pailit dan kreditor. Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 72 dan Pasal 78 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian apabila karena kelalaiannya, lebih-lebih lagi karena kesalahannya (dilakukan dengan sengaja) telah menyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit,terutama tentunya adalah para kreditor konkuren, dirugikan. 2.4 Tinjauan Umum Tentang Actio Pauliana Actio Pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitor untuk kepentingan debitor tersebut yang dapat merugikan kepentingan para kreditornya. Misalnya menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak dapat lagi disita, dijaminkan oleh pihak kreditor. Jadi perbuatan perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan dan perbuatan hukum debitor tersebut merugikan kepentingan kreditor. Pada dasarnya Actio Paulina adalah suatu cara yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit sebelum pernyataan pailit dijatuhkan. Apabila kurator menganggap bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilaksanakan oleh debitor pailit tersebut merugikan kepentingan kreditor-kreditor lain. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Actio Paulina juga telah di sebutkan dalam Faillissements Verordening (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348), hanya saja bedanya dengan ketentuan Undang–Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), adalah mengenai jangka waktunya adalah 40 (empat puluh) hari, sedangkan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jangka waktunya adalah 1(satu) tahun.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



34



Actio Pauliana dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pengaturan tentang Actio Pauliana diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 44. Dibandingkan dengan pengaturan tentang Actio Pauliana dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang dalam hal ini UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 (Pasal 41 samapi dengan Pasal 44) pengaturan tentang Actio Pauliana dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mendapatkan penambahan 3 Pasal yaitu Pasal 45, 46 dan 47. Selain itu perbedaan yang dapat kita temukan dalam Pasal-Pasal tersebut adalah adanya penegasan dalam Pasal 41 ayat (1) yaitu : dikatakan bahwa pembatalan tersebut dimintakan “kepada pengadilan” yang dalam hal ini sudah barang pengadilan niaga pada pengadilan negeri tersebut dan selanjutnya dikatakan pula dalam kalimat terakhir pasal tersebut” dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan“ yang dalam peraturan terdahulu (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998) tertulis dengan kata-kata ” dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan“, yang seolah-olah putusan tersebut berbentuk penetapan bukan putusan. Berbagai kasus yang dapat ditemukan, menunjukkan putusan–putusan pengadilan Niaga tentang Actio Pauliana yang ada upaya hukum Actio Pauliana yang dilakukan oleh kreditor untuk melindungi boedel pailit dari perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor, berawal dari perbuatan debitor yang tidak diwajibkan untuk dilakukannya atau dilarang sebelum putusan pailit diucapkan. Atau dengan kata lain merupakan suatu perbuatan curang dalam hal ini sengaja dilakukan oleh debitor untuk mengalihkan hartanya sebelum putusan pailit diucapkan. Putusan pailit oleh Pengadilan tidak mengakibatkan Debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Dengan demikian, Debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum berupa misalnya menikah, atau membuat perjanjian kawin atau menerima hibah, atau bertindak menjadi kuasa atau mewakili pihak lain, dan lain sebagainya. Akibat dari kepailitan hanyalah terhadap harta kekayaan debitor. Sutan Remy Sjahdeini,(2002:256)



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



35



Debitor bukan



di bawah pengampuan.



Debitor



tidak



kehilangan



kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanyayang telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan harta bendanya berada pada kurator, putusan pernyataan pailit sebaiknya diputuskan secepat mungkin dansecepatnya pula dapat dieksekusi harta kekayaan Debitor. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi . Cara lain adalah dengan menentukan bahwa putusan Pengadilan Niaga yang merupakan putusan tingkat pertama bersifat serta merta . Walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi putusan itu seketika dapat dilaksanakan. Oleh kurator sekalipun terhadap putusan itu dilakukan upaya-upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali (PK). Terhadap putusan Pengadilan Niaga baik yang menyangkut permohonan pernyataan pailit maupun menyangkut permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dapat dilakukan upaya hukum. Upaya hukum tersebut adalah kasasi kepada Mahkamah Agung. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi. Dasar hukum Actio Paulina diatur dalam pasal 1341 KUH Perdata, yang pada hakekatnya memberikan hak kepada setiap Kreditor untuk melakukan upaya hukum terhadap perbuatan debitor pailit atas harta (boedel) pailit yang dapat merugikan Kreditor. Actio Pauliana adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, perbuatan tersebut tidak di wajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut merugikan kepentingan kreditor. Pengertian lain dari Actio Pauliana adalah hak yang diberikan kepada seorang kreditor untuk memajukan dibatalkannya segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor tersebut, sedangkan debitor tersebut mengetahui bahwa dengan perbuatannya itu kreditor dirugikan. Hak tersebut merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditor atau perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor Tujuan dari Actio Pauliana adalah :



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



36



1) Melindungi hak Kreditor 2) Membatasi perbuatan hukum debitor pailit 3) Melindungi harta-harta debitor pailit untuk tidak disalahgunakan oleh debitor atau pihak ketiga Dalam hukum kepailitan perlindungan yang diberikan terutama kepada Kreditor apabila Debitor membayar utang-utangnya. Namun perlindungan yang diberikan tidak boleh sampai merugikan kepentingan Debitor. Suatu UndangUndang Kepailitan yang baik haruslah memberikan keseimbangan yang dilandaskan pada asas untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagisemua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kepailitan seseorang atau perusahaan. Salah satunya terhadap debitor yang mempunyai iktikad baik dimana debitor tersebut mempunyai keinginan untuk membayar dan melunasi utang utangnya. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan terhadap debitor yang beriktikad baik adalah melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Debitor menyelesaikan utang-utangnya tanpa membayar penuh sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa utang. Siti Anisah,(2017:23) Sejauh ini Actio Pauliana merupakan sarana yang efektif untuk menghindarkan kreditor pada kerugian yang lebih besar akibat dijual atau dialihkannya boedel pailit tanpa hak oleh debitor. Dari perkara-perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, dapat dijelaskan bahwa pengajuan Actio Pauliana umumnya dimintakan karena dikhawatirkan debitor akan melakukan perbuatan curang terhadap boedel pailit yang ada, sehingga piutang para kreditor menjadi tidak pasti dengan beralih atau dijualnya boedel pailit. Oleh sebab itu Actio Pauliana merupakan satu-satunya cara terbaik yang dapat dimohonkan pada Pengadilan Niaga agar boedel pailit dapat diselamatkan dari segala upaya curang yang dilakukan debitor. Permohonan Actio Pauliana lahir karena adanya kepailitan. Tanpa adanya kepailitan tidak mungkin ada permohonan Actio Pauliana, jadi permohonan Actio Pauliana itu dapat dimohonkan oleh kreditor manakala terjadi kepailitan. 2.5 Tinjauan Umum Boedel pailit



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



37



Boedel Pailit bisa juga disebut sebagai harta pailit, seperti definisi di atas, adalah kekayaan seseorang atau organisasi yang telah dinyatakan pailit. Pada akhirnya harta tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan. Selanjutnya harta peninggalan kepailitan ini akan dibereskan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Pelaksanaan pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitor pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar setelah adanya putusan pernyataan pailit atau dikenal dengan istilah insolvency. Parulian Aritohang, (2012:2) 2.5.1



Pemberesan Boedel Pailit Merujuk pada Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan



Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kewenangan kurator melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam melaksanakan penjualan harta Debitor pailit, Kurator harus menjual untuk harga yang paling tinggi, memutuskan apakah harta tertentu harus dijual segera dan harta yang lain harus disimpan terlebih dahulu, karena nilainya akan meningkat di kemudian hari, dan harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas harta debitor pailit. Selanjutnya hasil dari penjualan harta pailit akan ditambah hasil penagihan piutang dikurangi biaya pailit dan utang harta pailit. Lalu, hasil penjualan ini akan dibagikan kepada kreditur preferen dan kreditor konkuren (sisa tagihan Kreditor dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hipotek yang belum dilunasi). Aset-aset yang telah ditetapkan sebagai boedel pailit tidak dapat dijual dengan status non-boedel pailit sebelum ada penetapan hakim secara tertulis yang membenarkan perubahan status itu. Demi asas legalitas dan kepastian hukum penjualan boedel dengan status non-boedel tak dapat dibenarkan. Kalau kurator tetap melakukan penjualan, maka perbuatan itu tidak sah secara hukum. Menurut Parulian, seperti disampaikan jaksa, yang tidak sah bukan hanya penjualan, tetapi juga eksekusinya. “Segala tindakan hukum terhadap asset tersebut termasuk



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



38



eksekusi penjualan menjadi tidak sah, dan di depan hukum status asset tersebut secara sah dan meyakinkan masih termasuk asset boedel pailit,” Mengutip pasal 189 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, setiap tindakan dalam pengurusan dan pemberesan aset termasuk rencana daftar pembagian hasil penjualan boedel pailit harus mendapatkan persetujuan hakim pengawas. Jika kurator tetap menjual aset pailit dengan status non-boedel pailit, hakim pengawas seharusnya bisa melaporkan masalah itu ke hakim pemutus perkara. Termasuk mengusulkan penggantian kurator. Putusan hakim pengawas wajib dilaksanakan kurator. Kurator wajib menyampaikan segala tindakan yang diambil kepada hakim pengawas dalam periode tertentu. Kurator tak mempunyai kewenangan menerbitkan penetapan terhadap bodel pailit yang berakibat pada pihak ketiga. Meskipun demikian, hakim pengawas tidak boleh aktif mengatur pembagian hasil pengurusan bodel pailit. Pembuatan daftar pembagian adalah tugas kurator. Hakim pengawas berwenang mengubah nilai pembagian tersebut, tetapi tetap tidak lazim seorang hakim pengawas bersifat aktif.  



Tugas pokok seorang hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan



pemberesan harta pailit. Dalam praktik, kurator membuat pencatatan harta pailit, untuk kemudian dinyatakan sebagai daftar boedel pailit. Hakim pengawas menyatakan dan mengesahkan daftar bodel itu lewat penetapan tertulis. Penetapan seorang hakim pengawas bukan atas nama hakim pribadi, karena ia mewakili institusi pengadilan. Oleh karena itu, “hakim pengawas tidak diperbolehkan memberikan persetujuan secara tidak tertulis atau lisan”. Parulian Aritohang, (2012:3) Fakta bahwa hakim pengawas menerima laporan penjualan boedel pailit dengan status non-boedel menunjukkan adanya persetujuan diam-diam. Sikap hakim yang membiarkan tindakan kurator menjual boedel dengan status nonboedel patut diduga merupakan tindakan keberpihakan kepada salah satu pihak yang bersengketa Parulian Aritohang,(2012:3) 2.5.2 Pembagian Harta Boedel Pailit



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



39



Pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah tahapan pasca putusan pengadilan yang harus dilalui para pihak yang terlibat dalam sengketa kepailitan. Pihak yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas adalah kurator. Dimana salah satu bagian dari proses pengurusan dan pemberesan adalan pembagian boedel pailit. Merujuk pada Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kewenangan kurator melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pengurusan meliputi tindakan menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam jumlah dan nilai. Jika di kemudian hari, putusan pailit dibatalkan melalui mekanisme kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang dilakukan kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit. Sedangkan, pemberesan merupakan salah satu tindakan kurator terhadap pengurusan harta debitor pailit. Pelaksanaan pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitor pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar setelah adanya putusan pernyataan pailit atau dikenal dengan istilah insolvency. Secara teknis, insolvency adalah keadaan suatu perusahaan yang kondisi aktiva (harta) lebih kecil dari pasiva (kewajiban yang harus dibayar). Konsekuensi dari status insolvency debitor pailit adalah harta pailit akan segera dilakukan pemberesan oleh kurator. Selanjutnya, kurator akan segera menjual harta pailit di muka umum secara lelang atau di bawah tangan serta menyusun daftar pembagian dengan izin hakim pengawas. Pembagian hasil penjualan harta pailit didasarkan pada urutan prioritas dimana kreditor yang kedudukannya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah. Sementara, di antara kreditor yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata yang didasarkan pada besarnya tagihan masing-masing (kreditor konkuren).



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



40



Urutan pembagian harta pailit ditambah hasil penagihan piutang dikurangi biaya pailit dan utang harta pailit adalah sebagai berikut: 1.



Kreditor dengan hak istimewa (preferen)



2.



Sisa tagihan dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hipotek yang belum dilunasi dan untuk sisa tersebut para kreditor tersebut didaftar sebagai kreditor konkuren



3.



Kreditor konkuren. Kreditor preferen adalah kreditor yang mempunyai preferensi karena



undang-undang memberikan preferensi kepada tagihan mereka di luar pemegang jaminan (kreditor separatis). Kreditor preferen tidak memiliki hak untuk memulai prosedur hukum untuk melaksanakan hak mereka, kewajiban mereka hanya untuk mengajukan tagihan. Sementara, kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional yakni menurut perbandingan besarnya tagihan, dari hasil penjualan harta debitor pailit yang dibebani hak jaminan. Masing-masing kreditor memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian setelah dikurangi dengan kewajiban pembayaran piutang kepada kreditor pemegang hak jaminan dan kreditor preferen.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



BAB III. METODE PENELITIAN Menurut Peter Mahmud Marzuki (2011:35), “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu (Johny Ibrahim, 2006:26). Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004:57). Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai beriku: 3.1



Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum



normative atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai beriku: “doctrinal research: research wich provides a systematic exposition of the rules goverming a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficullty and perhaps, predicts future development.” (Penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis



aturan



yang



mengatur



suatu



kategori



hukum



tertentu,



menganalisis hubungan antara perturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan). (Peter Mahmud Marzuki 2011:32) Penelitian hukum normative yang nama lainnya adalah penelitian hukum doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004:14). Pada intinya penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti



41



42



bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar, kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya) dan norma hukum positif tertulis bentukan lembaga peradilan (judgemade law), serta hukum tertulis positif buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, catatan hukum, dan rancangan Undang-Undang). Penelitian ini memiliki objek kajian yang meliputi norma hukum positif tertulis bentukan lembaga peradilan (judgemade law), yakni Putusan Nomor 461 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019. Objek penelitian ini akan dianalisis dengan berdasarkan pada norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Kepailitan dan Peundaan Kewajibaan Pembayaran Utang. 3.2



Waktu dan Tempat Penelitian Waktu yang dilakukan penulis dalam pengumpulan sumber data baik



sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sedangkan tempat yang dituju penulis, dimana penulis melakukan obyek penelitian untuk mendapatkan data primer maupun sekunder adalah diperpustakaan daerah kabupaten banyuwangi dan Perpustakaan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi. 3.3



Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif,



praktis dan preskriptif (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005:1). “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan normanorma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum” (Peter Mahmud Marzuki 2011:22). Penelitian yang dikaji penulis dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



43



3.4



Pendekatan Penelitian Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan



dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki (2011) adalah sebagai berikut: 1.



Pendekatan kasus (Case Approach);



2.



Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach);



3.



Pendekatan historis (Historical Approach);



4.



Pendekatan perbandingan (Comparative Approach);



5.



Pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian



masalah melalui tahap-tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-terapan dengan tipe judicial case study, yakni pendekatan studi kasus hukum karena suatu konflik yang dapat diselesaikan melalui putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah Putusan Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 yang akan dianalisis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan persoalan kepailitan yang berlaku di Indonesia Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan diatas adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.



3.5 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum yaitu: 3.5.1 Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang dilakukan terdiri dari peraturan perundangundangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



44



putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai berikut: a)



Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;



b)



Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);



c)



Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;



d)



Putusan Nomor : 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019.



3.5.2 Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. (Peter Mahmud Marzuki 2011:22) Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi: a) Buku-buku ilmiah dibidang hukum b) Makalah-makalah c) Jurnal ilmiah d) Artikel ilmiah Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang digunakan meliputi:



3.6



a)



Kamus Besar Bahasa Indonesia



b)



Kamus Hukum



Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh



bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys (Peter Mahmud Marzuki 2011:22). Studi dokumen dalam pengumpulan data-data sekunder penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji informasi tertulis mengenai hukum yang tidak Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



45



dipublikasikan secara umum, tetapi diperbolehkan untuk diketahui (dalam hal ini putusan pengadilan). Studi dokumen yang dilakukan adalah mengkaji sekaligus melakukan Studi Kasus Putusan Nomor 461 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019. 3.7



Analisis Bahan Hukum Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M.



Hadjon memaparkan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan yang bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau Conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Putusan Nomor : 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019. Kemudian menginventarisasi dan mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kasus terkait dan peraturan perundang-undangan tersebut dengan melakukan penafsiran terhadap undang-undang, untuk kemudian ditarik kesimpulan dari analisis tersebut. Dalam penelitian hukum ini peraturan perundang-undangan yang penulis inventarisasi terdiri dari: 1.



Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;



2.



Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);



3.



Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;



Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1.



Penafsiran Gramatikal Penafsiran gramatikal adalah menafsirkan undang-undang menurut arti



perkataan (istilah). Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



46



sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya, tetapi ada kalanya pembuat undang-undang tidak dapat merangkai kata-kata yang tepat. Oleh karena itu, penulis wajib mencari kata yang dimaksud yang lazim dipakai sehari-hari, dan juga dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan langsung dari ahli bahasa. 2.



Penafsiran Sistematis Penafsiran sistematis adalah menafsirkan undang-undang dengan jalan



menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundangundangan atau dengan undang-undang lain. Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan. Selanjutnya data tersebut dicatat secara sistematis dan konsisten, sehingga data-data



yang



diperoleh



dalam



penelitian



ini



dapat



ditulis



dengan



penatalaksanaanya secara kritis, logis, dan sistematis, sehingga nantinya dapat mengungkap suatu norma dari suatu permasalahan.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penulis mengangkat kasus mengenai actio pauliana pada boedel pailit sebagai perlindungan terhadap kreditur menurut Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian ini di dasarkan pada sumber bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Agung Repblik Indonesia Nomor 461K/pdt.sus-pailit/2019 yang akan diuraikan sebagai berikut : 4.1.1 Para Pihak 1. Pihak Pemohon Sarjadna Orba Manulang, S.H., M.H., M.Kn., selaku advokat dan kurator, bertempat tinggal di Gedung ILP Lantai 3 (tnt 3-09) Jalan Raya Pasar Minggu Nomor 39 A, Pancoran, Jakarta, dalam 2. Pihak Penggugat I Rosaya Sri Wulandari, bertempat tinggal di Bromonilan RT.008//RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pihak Penggugat II PT Bank Perkreditan Rakyat Madani Sejahtera Abadi, diwakili oleh Widiatma Rahmadi, S.E., Direktur, berkedudukan di Jalan C Simanjuntak Nomor 26 Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta 55233, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3.Pihak Tergugat I Aloysius Yossi Ariwiowo, S.T., M.H., M.Kn., Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), beralamat di Jalan Tantular Nomor 316, Jembatan Merah Gejayan, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pihak Tergugat II Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sleman, berkedudukan di Jalan Rajimin, Sucen, Triharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, diwakili oleh Rio Sumardiyanto, S.H., M.H., Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, dalam hal ini memberi kuasa kepada Muhun Nugraha, S.H., M.Hum., Kepala Seksi



47



48



Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, 4.1.2 Putusan Pengadilan Niaga Terhadap permohonanpernyataan pailit, Pengadlan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memberikan puusan, bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memberikan Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018/PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018 yang amarnya sebagai berikut: 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini, sejumlah Rp2.566.000,00 (dua juta lima ratus enam puluh enam ribu rupiah) Permohonan kasasi pada tanggal 21 November 2018, sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 13/G.ActioPauliana/2018/PN.Smg., juncto Nomor 6/G.Actio-Pauliana/K/2018/PN.Smg., yang dibuat oleh Plh. Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, permohonan tersebut disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang pada tanggal itu juga. Memori kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut telah disampaikan kepada Para Termohon Kasasi dan Para Turut Termohon Kasasi pada tanggal 28 November 2018, kemudian Para Termohon Kasasi mengajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang masing-masing pada tanggal 6 Desember 2018 dan 11 Desember 2018 yang pada pokoknya menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi. 4.1.3 Alasan Pengajuan Kasasi 1. Bahwa Tergugat I adalah istri sah dari Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yang beralamat sama dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yaitu di Bromonilan RT.008/RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; 2. Bahwa Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko sebelum menikah dengan Tergugat I telah diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg., tertanggal 12 Oktober 2011 juncto



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



49



Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 807K/Pdt.Sus/2011, tertanggal 24 Januari 2012 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208 PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 28 Januari2013 3. Bahwa Tergugat I selama dalam pernikahan dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko pada tanggal 5 Desember 2014 membeli sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), yang kemudian oleh Tergugat I dijadikan jaminan utangnya kepada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dengan nilai kredit sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta rupiah), Perjanjian Kredit tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami sah Tergugat I; 4. Bahwa Perjanjian Pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu Handoko tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga hanya berlaku kepada mereka berdua yang menandatangani perjanjian itu serta tidak berlaku mengikat kepada pihak ketiga, dengan demikian mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi harta bersama, sehingga menjadi harta boedel pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko. 4.1.4



Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia



Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus-Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar sebagaimana akan disebutkan di bawah ini; 1. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka Para Termohon Kasasi harus dihukum untuk membayar semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan;



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



50



2. Memperhatikan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, maka Putusan Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut : 1. Mengabulkan pemohon kasasi dari Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., tersebut; 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.SusPailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018; 3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 4. Menyatakan sebidang tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), dengan diuraikan didalam Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014, yang diatasnamakan Tergugat I adalah harta Pailit yang harus dimasukkan kedalam daftar harta (boedel) Pailit Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg; 5. Menyatakan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017, tertanggal 16 November 2017, yang dibuat di hadapan Turut Tergugat I Aloysius Yossi Aribowo, S.T., S.H., M.Kn., selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara Tergugat I dengan Tergugat II atas persetujuan Debitur Pailit Dayu Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum; 6. Menyatakan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 yang diterbitkan Turut Tergugat II tidak mempunyai kekuatan hukum; 7. Menghukum Turut Tergugat II untuk mencoret catatan Hak Tanggungan dalam Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), dengan Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014 yang diatasnamakan Tergugat I;



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



51



8. Menghukum Tergugat II untuk menyerahkan kepada Penggugat Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani atas nama Tergugat I dan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 kepada Penggugat; 9. Menghukum Turut Tergugat II untuk menerbitkan Sertifikat pengganti atas Sertifikat Hak Milik Nomor 13795/Purwomartani yang dikuasai Tergugat II serta menyerahkan kepada Penggugat apabila Tergugat II tidak tunduk dan patuh atas isi putusan ini; 10. Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II patuh dan tunduk pada putusan Pengadilan Niaga Semarang dalam perkara ini; 11. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; -Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu, tanggal 3 Juli 2019 oleh Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H., dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M., Hakim-hakim Agung sebagai Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Para Hakim Anggota tersebut dan oleh Susi Saptati, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak 4.2



Pembahasan



4.2.1 Bagaimanakah Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Melalui Actio Pauliana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang Salah satu upaya perlindungan terhadap kepentingan kreditor dalam Undang-Undang Kepailitan adalah mencegah kecurangan yang dilakukan oleh debitor.Kecurangan yang dapat dilakukan oleh debitor misalnya seseorang yang beriktikad tidak baik membuat sebanyak mungkin utang untuk selanjutnya mengajukan permohonan pernyataan pailit agar tidak membayar utang-utangnya itu dengan terlebih dahulu menyembunyikan kekayaannya. Contoh lainnya,



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



52



seseorang menyalah gunakan pernyataan pailit sebagai “kamuflase” demi untuk menutupi iktikad tidak baiknya dengan cara mengalihkan modal dan kekayaan kepada perusahaan yang baru dibentuk atau pihak lain.Victor Situmorang, (1994:13) Tindakan-tindakan debitor tersebut dalam hukum kepailitan Indonesia termasuk



sebagai



actio



pauliana.



Actio



pauliana



diatur



baik



dalam



Faillissementsverordening, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kreditor mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada Pengadilan terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut tidak diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kepentingan kreditor. Victor Situmorang,(1994:13) Actio Pauliana merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor sebelum ia dinyatakan pailit, perbuatan hukum tersebut tidak diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditor. Kreditor mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada Pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit yang mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Debitor atau pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan dapat membuktikan sebaliknya bahwa mereka mengetahui atau patut mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dengan tegas melindungi kreditor dari debitor yang berlaku curang, yang dijelaskan dalam pasal 41- 49 Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang bunyinya sebagai berikut ini : Ketentuan pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 1. Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



53



2. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor, dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. 3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang. Ketentuan pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut: 1. Merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat; 2. Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih; 3. Dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan: a. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga; b. Suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. 4. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan: a. anggota direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat,



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



54



atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut; b. perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam, pengendalian badan hukum tersebut; c. perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. 5. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila: a. Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama; b. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor yang juga merupakan anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya; c. Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya; d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya; e. Badan hukum yang sarna, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal yang disetor; 6. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



55



badan hukum lain dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya; Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor, apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan penyertaan pailit diucapkan. Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan penyertaan pailit Debitor sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan Kreditor dengan maksud menguntungkan Kreditor tersebut melabihi Kreditor lainnya. Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 1. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali. 2. Dalam hal pembayaran tidak dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang yang mendapat keuntungan sebagai akibat diterbitkannya surat pengganti atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah uang yang telah dibayar oleh Debitor apabila: a. dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan; atau



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



56



b. penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan pemegang pertama. Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 1. Tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan. 2. Kreditor berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 dapat mengajukan bantahan terhadap tuntutan Kurator. Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 1. Dalam hal kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian maka tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 gugur. 2. Tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak gugur, jika perdamaian tersebut berisi pelepasan atas harta pailit, untuk itu tuntutan dapat dilanjutkan atau diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan Kreditor. Ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang 1. Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas. 2. Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi kepada harta pailit. 3. Hak pihak ketiga atas benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperoleh dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma, harus dilindungi. 4. Benda yang diterima oleh Debitor atau nilai penggantinya wajib dikembalikan oleh Kurator, sejauh harta pailit diuntungkan, sedangkan untuk kekurangannya, orang terhadap siapa pembatalan tersebut dituntut dapat tampil sebagai kreditor konkuren Permohonan pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



57



diajukan dalam rangka pemberesan harta pailit. Tujuannya adalah untuk memperbanyak harta pailit, agar para kreditor memperoleh pembayaran secara maksimal sesuai dengan jumlah piutang yang dimiliki oleh para kreditor. Elijana(2000:15) Actio pauliana sebagai lembaga yang melindugi kepentingan kreditor memiliki beberapa persyaratan yang bersifat kumulatif. Pertama, debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum. Kedua, perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitor. Ketiga, perbuatan hukum tersebut telah merugikan kepentingan kreditor. Keempat, pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum yang dilakukannya akan merugikan kepentingan kreditor; dan kelima, pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Fred B.G. Tumbuan(1998:3) Sebagai perbandingan pengaturan actio pauliana di Indonesia dapat dikemukakan pengaturan fraudulent transfer law di Amerika Serikat dan claw back di Italia. Sejarah fraudulent transfer law modern di Amerika Serikat berasal dari England’s Statute of 13 Elizabeth, yang disahkan pada 1571. Selanjutnya berkembang menjadi Uniform Fraudulent Conveyance Act (UFCA), the Bankruptcy Act of 1975, dan the Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA). Sejak awal, the Statute of 13 Elizabeth melarang transfer harta kekayaan yang dilakukan oleh debitor yang berniat untuk “menghalangi, menunda, atau menipu” kreditornya Dengan demikian, fraudulent transfer law dibuat dengan tujuan untuk mencegah debitor melakukan manipulasi dengan cara melakukan transfer harta kekayaan yang dibuat oleh debitor sebelum pernyataan pailit sehingga mengurangi atau menghabiskan harta kekayaan debitor. Thomas H. Jackson, (2008:674) Tujuan lain dari fraudulent transfer law adalah untuk mencegah debitor menutupi atau menjual harta kekayaannya untuk menipu para kreditornya dalam perkembangannya, the Bankruptcy Code memperluas fraudulent transfer hingga mencakup constructively fraudulent transfers. Constructive fraud terjadi ketika debitor menjual harta kekayaannya dengan harga rendah, dan dari hasil penjualan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



58



harta kekayaannya menyebabkan debitor menjadi pailit, atau jika debitor telah pailit ketika penjualan harta kekayaan yang tidak masuk akal itu dilakukan oleh debitor. Dengan demikian, constructive fraud termasuk didalamnya adalah melakukan bisnis yang undercapitalized. Selanjutnya fraudulent transfer juga termasuk actual fraud, yang terjadi apabila debitor berniat untuk menghalangi atau menunda pembayaran utangnya kepada kreditor. Apabila debitor melakukan perbuatan-perbuatan itu, maka perbuatannya dapat dibatalkan. Berdasarkan Bankruptcy Code dan undang-undang lain yang berlaku di Amerika Serikat, tidak jelas apakah kreditor yang menerima jasa dari debitor yang dilakukan tanpa mengurangi atau merugikan harta kekayaannya harus mengembalikan nilai dari jasa yang telah diterimanya. John D. Donell,(2010:37) Ketidak jelasan ini berasal dari pengaturan fraudulent transfer yang hanya berhubungan dengan transfer harta kekayaan, dan bukan transfer jasa. Dengan demikian, pertanggungjawabannya pun berkaitan dengan transfer harta kekayaan, dan bukan transfer jasa. Namun demikian Bankruptcy Court mengkategorikan jasa sebagai harta kekayaan sebagai objek fraudulent transfer law, sehingga kreditor mempunyai kekuasaan untuk menagih nilai jasa tersebut kepada pihak ketiga sebagai penerima transfer jasa. Penentuan apakah jasa dianggap harta kekayaan, berdasarkan fraudulent transfer law dapat diuji oleh Pengadilan dengan menggunakan salah satu tujuan Undang-Undang Kepailitan yaitu apakah maksimalisasi aset debitor untuk keuntungan kreditor terpenuhi.D. Donell, (2010:37) Pada kasus yang lain actio pauliana diajukan oleh kurator, karena kurator menemukan bukti debitor melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit. Namun, Mahkamah Agung menolak memeriksa actio pauliana yang diajukan oleh kurator, sebab actio pauliana sebagai pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga, merupakan suatu sengketa yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri, dan suatu permohonan tidak lah merupakan suatu sengketa. Dalam praktik penegakan Undang-Undang Kepailitan, ternyata ketentuan actio pauliana belum sepenuhnya dapat melindungi kepentingan kreditor dengan



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



59



beberapa alasan. Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan secara sederhana. Pembuktian actio pauliana berbeda dengan pembuktian sederhana dalam kepailitan. Apabila hal ini diperiksa di Pengadilan Negeri, dapat saja penyelesaian kepailitan menjadi berlarutlarut. Padahal, umumnya debitor langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnya yang ada di bank setelah adanya pernyataan pailit, dengan tujuan untuk menghindari pemberesan harta oleh kurator. Khusus untuk harta debitor yang berbentuk badan hukum yang pemilikannya atas nama pribadi tetap dipertahankan atas nama pemegang saham, dan dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain secara back date. Transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya penegakan hukum dalam bidang yang berkaitan dengan ketentuan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, khususnya kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan. (Pasal 42 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang) Pembuktian terhadap permohonan actio pauliana pada umumnya adalah tidak sederhana, sehingga pembuktian sederhana dalam Undang- Undang Kepailitan tidak mudah diterapkan. Namun, pendapat Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga tidak lah tepat, karena akan memperlama proses pemberesan harta pailit. Di samping pembuktiannya yang tidak sederhana, kendala lain dalam penyelesaian permohonan actio pauliana antara lain perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merugikan para kreditor sulit dideteksi, terbatasnya kewenangan curator untuk mengungkapkan hal tersebut, dan kurangnya kerjasama teknis dengan instansi penegak hukum lain dalam mengungkapkan actio pauliana. Agar perlindungan terhadap kepentingan kreditor melalui actio pauliana dapat dilakukan, maka diperlukan peraturan pelaksana tentang hukum acara pembuktian actio pauliana yang implementatif. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang maka yang dapat menjadi pemohon dalam suatu perkara kepailitan adalah salah satu dari pihak berikut ini : 1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



60



sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya; 2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum; 3. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia; 4. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. 5. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan bagi debitor harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana, yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan 2. KUH Perdata, misalnya, Pasal 1134, 1139, 1149, dan lain-lain. 3. KUH Pidana, misalnya, Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520, dan lain-lain. 4. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tenang Perseroan Terbatas. 5. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan. 6. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1996 tentang jaminan Fidusia. 7. Perundang-undangan di Bidang pasar Modal, Perbankan, BUMN, dan lain-lain. Perlindungan yang diberikan kepada kreditor dan stake holders-nya tidak boleh merugikan kepentingan stake holders debitor. Kendatipun Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 memperbolehkan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh salah satu kreditor saja, namun demi kepentingan para kreditor lain, tidak seyogyanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang membuka kemungkinan diucapkannya



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



61



putusan pailit, tanpa disepakati kreditor lain. Seyogyanya menentukan bahwa putusan pengadilan atas permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, harus berdasarkan persetujuan kreditor lain yang diperoleh dalam rapat para kreditor yang khusus diadakan itu. Perlindungan hukum yang diberikan Undang-undang kepailitan bagi kreditor salah satunya adalah dengan adanya actio paulina. Actio Paulina sejak semula telah diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata, dimana hal ini memberikan hak kepada kreditor untuk mengajukan pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan dilakukan oleh debitor, baik dengan nama apapun yang dapat merugikan kreditor. Ketentuan actio paulina dalam Pasal 1341 KUH Perdata ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatur prinsip Paritas creditorium.Hal ini karena dengan pasal 1131 KUH Perdata ditentukan bahwa semua harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang debitor. Dengan demikian debitor dalam hal ini tidak bebas terhadap harta kekayaan yang dimilki ketika memiliki utang kepada pihak kreditor . Terdapat beberapa hambatan-hambatan yang dialami kreditor dalam hal kepailitan, yaitu: 1) Belum ada dana untuk biaya pengurusan dan pemberesan harta pailit 2) Debitor pailit tidak kooperatif 3) Debitor pailit menjual atau menyembunyikan asetnya sebelum dinyakan pailit. Untuk mengajukan permohonan kepailitan asalkan dengan memenuhi syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, hal ini dapat merugikan kreditor yang lainnya. Dimana Undang-undang kepailitan tidak melarang pengajuan permohonan pailit oleh kreditor, walaupun besarnya tagihan kreditor pemohon hanya merupakan porsi yang sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan utang debitor. Untuk kedepannya diharapakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dapat mengatur lebih lanjut tentang pengajuan permohonan kepailitan oleh salah satu kreditor agar tidak merugikan kreditor lainnya dan di dalam mengambil keputusan harus berdasarkan persetujuan kreditor lain yang diperoleh dalam rapat kreditor.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



62



4.2.2 Bagaimana Kesesuaian Hukum Dalam Putusan Nomor 461K/pdt.suspailit/2019 Jika Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang Berdasarkan putusan pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam kasus kepailitan Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailt/2019. Sengketa antara pemohon pailit dan termohon pailit bermula dari adanya pembelian sebidang tanah yang mengatas namakan pemohon kasasi. Dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), dengan diuraikan di dalam Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014 yang diatas namakan Tergugat I adalah harta Pailit yang



dapat



dimasukkan



kedalam



daftar



harta



(boedel)



Pailit



Nomor



07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg Pembuktian terhadap permohonan actio pauliana pada umumnya adalah tidak sederhana, sehingga pembuktian sederhana dalam Undang-Undang Kepailitan tidak mudah diterapkan. Atas dasar tersebut,akta tanah dan bangunan itu di jadikan perjanjian kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017, tertanggal 16 November 2017, yang dibuat di hadapan Turut Tergugat I Aloysius Yossi Aribowo, S.T., S.H., M.Kn., selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara Tergugat I dengan Tergugat II atas persetujuan Debitur Pailit Dayu Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bahwa alasan alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan 1. Bahwa Tergugat I adalah istri sah dari Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yang beralamat sama dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yaitu di Bromonilan RT.008/RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Bahwa Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko sebelum menikah dengan Tergugat I telah diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg., tertanggal 12 Oktober 2011 juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 807K/Pdt.Sus/2011,



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



63



tertanggal 24 Januari 2012 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208 PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 28 Januari2013; 2. Bahwa Tergugat I selama dalam pernikahan dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko pada tanggal 5 Desember 2014 membeli sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), yang kemudian oleh Tergugat I dijadikan jaminan utangnya kepada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dengan nilai kredit sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta rupiah), Perjanjian Kredit tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami sah Tergugat I; 3. Bahwa Perjanjian Pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu Handoko tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga hanya berlaku kepada mereka berdua yang menandatangani perjanjian itu serta tidak



berlaku



mengikat



kepada pihak



ketiga,



dengan



demikian



mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi harta bersama, sehingga menjadi harta boedel pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko Namun, pendapat Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga tidak lah tepat, karena akan memperlama proses pemberesan harta pailit. Di samping pembuktiannya yang tidak sederhana, kendala lain dalam penyelesaian permohonan actio pauliana antara lain perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merugikan para kreditor sulit dideteksi, terbatasnya kewenangan kurator untuk mengungkapkan hal tersebut, dan kurangnya kerjasama teknis dengan instansi penegak hukum lain dalam mengungkapkan actio pauliana. Agar perlindungan terhadap kepentingan kreditor melalui actio pauliana dapat dilakukan, maka diperlukan peraturan pelaksana tentang hukum acara pembuktian actio pauliana yang implementatif. Kesesuaian hukum terkait putusan nomor 461K/pdt.sus-pailit/2019 Jika Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang dalam pasal 69 berbunyi : Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



64



1.Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator: a. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; b. dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. 2. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak tanggungan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. 3. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak tagunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang. 4. Untuk menghadap di sidang Pengadilan, Kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari Hakim Pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang atau dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 59 ayat (3). Selain itu, ada 3 (tga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahu 2004,yaitu: “Debitor yang mempuanyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, di nyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Jika dilihat, salam unsur pasal diatas terdiri dari beberapa unsur di antaranya : 1.



Adanya Debitor.



2.



Adanya dua kreditor atau lebih.



3.



Adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.2



Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan yang dapat



ditarik dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 5.1.1



Bahwa didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang



kepailitan, tidak menjelaskan secara rinci tentang perlindungan kepada debitur atas kesalahan kurator tetapi hanya menjelaskan beberapa debitur yang mendapatkan perlindungan. Kurator akan bertanggung jawab apabila melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas pengurusan dan pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, dan juga akan memberikan perlindungan kepada kreditur apabila terjadi kesalahan atau kelalian kurator dalam menjalankan tugasnya. 5.1.2



Kesesuian dasar pertimbangan hakim terhadap putusan kasasi pailit terkait



putusan Nomor 461K/Pdt.sus-pailit/2019 dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan secara garis besar telah sesuai, namun ada satu persepsi Mahkamah Agung yang harus disamakan tentang actio pauliana bukan kewenangan pengadilan Niaga. Padahal pengadilan Niaga mempercepat proses pemberesan harta pailit, dan pasal 7 Undang-undang kepailitan menjelaskan bahwa “pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum”. 5.2



Saran Berdasarkan atas penjelasan kesimpulan diatas, maka penulis dapat



memberikan saran sebagai berikut : 5.2.1 Perlu dibuat perbaikan aturan dalam Undang-Undang Kepailitan yang lebih komprehensif, dimana mewajibkan segala perbuatan hukum debitor terhadap segala aset yang berhubungan dengan kreditor dicatat dan dilaporkan kepada para kreditornya sebagai laporan pertanggungjawaban. Bila hal tersebut direalisasikan, maka bukan hanya pembuktian menjadi mudah untuk mengungkap perbuatan hukum yang termasuk dalam actio pauliana, tetapi juga sebagai tindakan preventif agar para pihak yang



65



66



beritikad tidak baik enggan untuk melakukan perbuatan yang dapat merugikan pihak lainnya. Sekaligus Perlu dilakukan perubahan berupa perbaikan pengaturan dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tetang kepailitan mengenai syarat-syarat palit 5.2.2 Untuk kedepannya diharapakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dapat mengatur lebih lanjut tentang pengajuan permohonan kepailitan oleh salah satu kreditor agar tidak merugikan kreditor lainnya dan di dalam mengambil keputusan harus berdasarkan persetujuan kreditor lain yang diperoleh dalam rapat kreditor.



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



67



DAFTAR PUSTAKA Shubhan, Hadi. 2015. Hukum Kepailitan. Edisi-1, Cetakan kelima(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group) Jono. 2013. Hukum Kepailitan. Cetakan ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika) Salim. 2003 Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,(Sinar Grafika) Bakarbessy, Leonora. 2010 Buku Ajar Hukum Perikatan,(Fakultas Hukum Universitas Airlangga) Bakarbessy, Leonora. 2004 Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti) Lim, Welly. 2017. Kewenangan Kurator untuk Mengajukan Pembatalan Perjanjian yang Dilakukan oleh Debitor Sebelum Pailit yang Merugikan Harta/Boedel Pailit (Universitas Airlangga). Syahrin, M. Alvi. 2017. Actio Pauliana Konsep Hukum dan Problematikanya Syahdeini, Sutan Remy. 2002, Hukum Kepailitan, Jakarta: Grafiti Hartono , Siti Soemarti. 1993. Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Elsi, Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, 2018. Hukum dalam Ekonomi, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Asikin, Zainal. 2017.



Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di



Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Prasetya, Rudhi, 1996. Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar Hukum Kebangkrutan Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI Nating, Imran, 2012. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Yani Achmad dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Siti Anisah, 2017, Perlindungan Kepentingan kreditor, Jakarta: Grafiti



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi



68



Victor Situmorang,Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia Jakarta: Rineka Cipta



Elijana, et. al., 2000 Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui Peradilan Niaga, Jakarta: BPHN dan Depkeh dan HAM, Fred B.G. Tumbuan,2008 “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan Douglas G. Baird & Thomas H. 2008, Jackson,Comprehensive Business Law Prinsiples and Cases, Boston: Kent Publishing Company, Shubhan,M Hadi. 2009 Hukum Kepailitan: Prisip, norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Nating, Imran. 2005, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, JURNAL HUKUM Sonata, Depri Liber. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakter Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia Jurnal Hukum Volume 8 No. 1 Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2014 Siti Anisah, 2009., “Perlindungan Terhadap Kepentingan Kreditor Melalui Actio Pauliana”, dalam Jurnal Hukum UNDANG-UNDANG Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Putusan Nomor : Nomor 749 K/Pdt.SusPailit/2019



Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi