Spinal Cord Injury [PDF]

  • Author / Uploaded
  • rani
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar belakang Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke



susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis. Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.1 Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medulla spinalis pada daerah servikal (leher) ke 5,6 dan 7, Torakal ke-12 dan lumbal pertama.1 Vertebra ini paling rentang karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis mengakibatkan defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang menimbulkan kematian.2



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Anatomi Medula Spinalis dan Dermatom Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang



terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui foramen intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).3,6



Gambar 1. Anatomi Medula spinalis 4



Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radiks anterior atau radiks motorik dan radiks posterior atau radiks sensorik. Masing-masing radiks melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-masing radiks saraf memiliki sebuah ganglion radiks posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu : 3,6 a. 8 pasang syaraf servikal b. 12 pasang syaraf torakal c. 5 pasang syaraf lumbal d. 5 pasang syaraf sakral e. 1 pasang syaraf koksigeal



Gambar 1. 31 pasang saraf spinal.4 Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea) yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari



saraf spinal. Substansi grisea mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, saraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian posterior sebagai input atau afferent, anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.



Fungsi medula Fungsi medula spinalis :3,5,6 a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis. b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral. c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum. d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.



2.1.1



DERMATOM Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh



yang dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organorgan dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.7



Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord



Injury7



2.2



Pengertian Cedera Medula Spinalis Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis



akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual.3,7,10 Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:7



Grade A Grade B



Grade C Grade D



Grade E



Hilangnya seluruh fungsi morotik dan sensorik dibawah tingkat lesi Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi. Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. Fungsi motorik dan sensorik normal.



Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel



Score.3,10 Frankel Score A



kehilangan fingsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss). Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh. Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan). Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan normal ”gait”). Tidak terdapat gangguan neurologik.



Frankel Score B Frankel Score C



Frankel Score D Frankel Score E



Skala kerusakan berdasarkan American spinal association/International medical society of Paraplegia (IMSOP) Grade



Tipe



A



Komplit



B



Inkomplit



C



Inkomplit



D



Inkomplit



E



Normal



injury



Gangguan spina ASA/IMSOP Tidak ada fungsi sensorik dan motorik sampai S4-5. Fungsi sensorik masih baik tapi fungsi motorik tergang sampai segmen sakral S4-5. Fungsi motoik tergangu dibawah level, tapi otot— otot motorik utama masih punya kekuatan < 3. Fungsi motorik tergang dibawah level, otot-otot motorik utamanya punya kekuatan > 3 Fungsi sensorik dan moto Normal



Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :7 a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik



karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral. b.Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal. Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu : 3,9,10



Nama Sindroma



Pola dari lesi saraf



Kerusakan



Central cord syndrome



Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral. sentral dan sebagian Kelemahan otot ekstremitas atas pada daerah lateral. dan ekstremitas bawah jarang terjadi pada ekstremitas bawah Dapat sering terjadi pada daerah servikal



Brown- Sequard Syndrome



Anterior dan posterior Kehilangan hemisection dari proprioseptiv dan medulla spinalis atau fungsi motorik. cedera akan menghasilkan medulla spinalis unilateral



Anterior cord syndrome



Kerusakan pada Kehilangan funsgsi motorik dan anterior dari daerah sensorik secara komplit. putih dan abu- abu medulla spinalis



Posterior cord syndrome



Kerusakan pada Kerusakan proprioseptiv anterior dari daerah diskriminasi dan getaran. Funsgis putih dan abu- abu motor juga terganggu medulla spinalis



Cauda equine syndrome



Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral samapi ujung medulla spinalis



ipsilateral kehilangan



Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi.



2.3



Epidemiologi Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Centre dari



University of Alabama yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden eidera medulla spinalis diperkirakan sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika Serikat atau 12.000 kasus per tahun. Cedera medulla spinalis seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada usia 16-30 tahun. Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah tetraplegia inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia komplit 18% dan tetraplegia komplit 11,6%.11



2.4



Etiologi



Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis : A.



Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 3,7,9,10



B.



Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan. 3,7,9,



2.5 A.



Faktor Resiko Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan : Cedera tulang tulang belakang mempengaruhi jumlah yang tidak proporsional pada pria. Bahkan, perempuan terhitung hanya sekitar 20 persen dari trauma cedera tulang belakang di Amerika Serikat. 3,7,9,10



B.



Terjadi antara usia 16 dan 30 : Banyak terjadi cedera tulang belakang traumatis berusia antara 16 dan 30. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera tulang belakang, sementara jatuh penyebab paling cedera pada orang yang lebih tua. 3,7,9,10



C.



Terlibat dalam perilaku berisiko : Menyelam ke dalam air terlalu dangkal atau bermain olahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau mengambil tindakan pencegahan yang tepat dapat menyebabkan cedera tulang belakang. 3,7,9,10



D.



Memiliki tulang atau kelainan sendi : Sebuah cedera yang relatif kecil dapat menyebabkan cedera tulang belakang jika Anda memiliki gangguan lain yang mempengaruhi tulang atau sendi, seperti arthritis atau osteoporosis. 3,7,9,10



2.6



Gejala Klinik Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada



daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya



kontrol



otot



dan



juga



hilangnya



sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol



otot sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 3,7,9,10 Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 3,7,9,10 Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.3,7,9,10 Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula



spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai kauda ekuina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 3,7,9,10 Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu : 3,7,9,10



1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia. 2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek tendon myotome. 3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic blader dan bowel. 4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri. 5. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed. 6. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan hipotensi. 7. Skin problem menyangkut adanya dekubitus.



Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera



pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhim. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektifitas kinerja otot pernafasan menurun. 3,7,9,10



2.7



Patofisiologi Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi



akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. 3,7,9,10 Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti- oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem



saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroksidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zatzat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet- activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4 yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil.



3,7,9,10



Tulang belakang yang



mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi,menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang



ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.3,7,9,10 Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.3,7,9,10 Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 3,7,9,10 1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan



trauma hiperekstensi. 2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia. 3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena. 4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior.



2.8



Komplikasi a. Ulker dekubitus : Merupakan komplikasi paling utama pada cedera medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan berkurang. 3,7,9,10



b. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal, tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 3,7,9,10 c. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat progresif sesuai keadaan.



3,7,9,10



d. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi yang normal daripada pembuluh darah.



e. Cardiovasculer disease : Komplikasi dari sistem kardiorespirasi merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis. f. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis. Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level lesi ke inervasinya. 3,7,9,10 g. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah paralisis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena. Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending, akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 3,7,9,10



h. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan menimbulkan paralisis otot inspirasi sehingga biasanya penderita membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen C5 – Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m. intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 3,7,9,10 i. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada konus medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sekral. Selama fase spinal syok, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa



adanya spastisitas, kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor,



dan refluks



urethral.



Lesi



pada conus



medullaris



menyebabkan tidak adanya refleks bladder, akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan adanya lesi pada cauda equina. 3,7,9,10 j. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan komplit atau inkompletnya trauma. Terdapat dua macam respon, reflekogenik atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada penderita dengan lesi UMN dan psikogenik, dimana timbul melalui aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN. Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai refleksif ereksi, tapi bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada kauda ekuina tidak memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi. 3,7,9,10 k. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan disrefleksia autonomik. 3,7,9,10



Anamnesis



1. Keluhan utama : Keluhan yang membawa pasien untuk berobat. Kebanyakan kasus cedera medulla spinal datang dengan keluhan kelemahan pada ektremitas. Tanyakan keluhan sudah berapa lama dirasakan.8,9,10 2. RPS : a. Keluhan kelemahan : Lokasi kelemahan (bagian sktremitas mana saja) paraplegia tau quadriplegi, kelmahan timbulnya tiba-tiba atau perlahan-lahan, gejala semakin parah atau tidak, timbul setelah



makan atau tidak, obat-obatan yang digunakan utnuk mengurangi gejala, hasil pengobatan. 8,9,10 b. Keluhan tambahan : Nyeri (lokasi, terus menerus atau hilang timbul, nyeri menjalar atau tidak, kapan nyeri bertambah, kapan nyeri berkurang. Kesemutan, sesak, nyeri pada perut, keluhan BAK (inkontinensia atau retensi urin), BAB (konstipasi). Hilangnya sensasi rasa. Gangguan fungsi seksual.



8,9,10



c. Tanya sebelumnya apakah pernah alami gejala yang sama, kegiatan sehari- hari (angkat yang berat-berat). Pola BAK dan BAB sebelum sakit. 8,9,10 3. RPD : Riwayat trauma sebelumnya, riwayat kelainan tulang belakang, riwayat DM, HT, Alergi, Low back pain, osteoporosis, osteoarthritis, riwayat TB. 8,9,10 4. RPK : Riwayat kelainan tulang belakang, osteoporosis, TB. 8,9,10



Pemeriksaan A. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi darah. Pada kasus cedera, sangat penting diperiksa keadaan jalan nafas dan pernafasannya karena pada trauma C1-C4. 8,9,10 1. Inspeksi : Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak, pengecilan otot ( atropi ), warna dan kondisi kulit sekitarnya, kemampuan beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas, posisi pasien, dll.8,9,10 2. Palpasi : Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subkutaneus untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya. 8,9,10



3. Pemeriksaan Fungsi Gerak : Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif, gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada pasien ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sebagainya. 8,9,10 4. Pemeriksaan



Fungsional



: Dalam



pemeriksaan



fungsional



meliputi



kemampuan pasien dalam beraktifitas baik itu posisi miring kanan-kiri (setiap 2 jam), transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya. 8,9,10 5. Pemeriksaan Khusus a. Kekuatan Otot : Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot dari keempat anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan menggunakan metode manual muscle testing ( MMT ). 8,9,10 b. ROM : Pemeriksaan ROM dilakukan dengan menggunakan goniometer dan dituliskan dengan menggunakan metode ISOM (International Standar Of Measurement ). 8,9,10 c. Pemeriksaan Nyeri dengan VAS ( Visual Analog Scale ) : VAS merupakan salah satu metode pengukuran nyeri yang dapat digunakan untuk menilai tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pasien diminta untuk menunjukan letak nyeri yang dirasakan. Pada garis yang berukuran 10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri (nilai 0) tidak ada nyeri dan pada ujung sebelah kanan ( nilai 10 ) nyeri sekali. 8,9,10



d. Pemeriksaan Sensoris : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan sinar, dengan kriteria penilaiannya sebagai berikut : 8,9,10 Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan (absent ). Nilai 1 : merasakan sebagian ( impaired ) dan hiperaestesia. Nilai 2 : dapat merasakan secara normal. NT ( not testable ) : diberikan pada pasien yang tidak dapat merasakan karena tidak sadarkan diri.



e. Pemeriksaan Motorik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan motorik levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian sebagai berikut : Nilai Huruf Skala Definisi : 8,9,10 0 (Zero) : Tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi. 1 ( Tr ) Trace : Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan 2



( P) Poor : Gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi.



3



(F) Fair : Gerakan penuh melawan gravitasi



4 (G) Good : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan. (N) Normal : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan maksimal. B. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : a. Osteocalsin : Suatu protein tulang yang disekresi oleh osteoblast. b. B-cross lap : parameter untuk proses rosorpsi (penyerapan tulang) untuk mengetahui fungsi osteoklas. c. Elektrolit : kalsium total. d. Darah lengkap : Hb, HT, Leukosit, trombosit. e. Kimia darah : Gula darah 2 jam pp, gula darah puasa.



2. Foto Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan- kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral. Foto polos posisi antero- posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2. 8,9,10 3. CT-scan Vertebra : Dapat melihat struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. 8,9,10 4. MRI Vertebra : MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan lunak. 5. Pungsi Lumbal : Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut. 8,9,10 6. Mielografi : Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis. 8,9,10



Diagnosis A. Cedera medulla spinalis Dalam menegakkan diagnosis pada Cedera medulla spinalis, dilakukan anamnesis yang lengkap, dimana keluhan dan riwayat adanya trauma atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis merupakan resiko terjadinya cedera medulla spinalis. Selain itu dilakukan pemeriksaan fisik yang lengkap, dan penunjang yang sesuai untuk menegaggakan diagnosis. Dengan menggunakan panduan American Spinal Scale Neurologi dapat menegakkan diagnosis, dan dapat menegakkan diagnose sementara bila hasil pemeriksaan penunjang belum keluar. 8,9,10 Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami cedera, maka akan ada 3 kelainan yang muncul yaitu : 8,9,10 1. Semua pergerakan volunteer dibawah lesi hilang secara mendadak dan bersifat permanen, sedangkan reflex fisiologis bisa menghilang atau meningkat. 2. Sensasi sensorik refleks fisiologis bisa menghilang atau meningkat. 3. Terjadi gangguan fungsi otonom. Cedera medulla spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih tanda-tanda klinis dibawah ini yaitu : 8,9,10



1. Nyeri menjalar 2. Kelumpuhan atau hilangnya pergerakan atau adanya kelemahan 3. Hilangnya sensasi rasa 4. Hilangnya kemampuan peristaltik usus. 5. Spasme otot atau bangkitan refleks yang meningkat 6. Perubahan fungsi seksual.



Penatalaksanaan Prinsip utama penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis 1. ABC : pertahankan jalan nafas, beri oksigen bila ada keadaan sesak, beri cairan infus 2 line untuk mencegah terjadinya syok. 2. Immobilisasi : Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat, yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau alas yang keras. 8,9,10



3. Stabilisasi Medis : Terutama sekali pada penderita tetraparesis atau tetraplegia. 8,9,10 a. Periksa vital signs b. Pasang NGT c. Pasang kateter urin d. Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenik shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone, Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setelah kecelakaan dapat memperbaiki kontusio medula spinalis. 8,9,10 4. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment) : Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau GardnerWells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan



dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi. 8,9,10 5. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal : Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior. 8,9,10 6. Rehabilitasi : Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. 8,9,10



A. Medika Mentosa 1. Methylprednisolone merupakan pilihan pengobatan untuk cedera tulang belakang akut. Jika metilprednisolon diberikan dalam waktu delapan jam dari cedera, beberapa orang mengalami perbaikan ringan. Tampaknya untuk bekerja dengan mengurangi kerusakan pada sel-sel saraf dan mengurangi peradangan di dekat lokasi cedera. Metil prednisolon mengurangi kerusakan membran sel yang berkontribusi pada kematian neuron, mengurangi infalamasi dan menekan aktifitas sel-sel imun yang mempunyai kontribusi serupa pada kerusakan neuron dan peningkatan sekunder asam arakidonat mencegah peroksidasi lemak pada membran sel. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi.8,9,10 2. Bila terjadi spastisitas otot, berikan : Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen 3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal yang menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.8,9,10 3. Bila ada rasa nyeri bisa diberikan : Analgetika golongan NSAIDs



(anti inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan gastrointestinal. 4. Antidepresan trisiklik : digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala. B. Non Medika Mentosa 1. Fisioterapi : Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma sampai pada tahap rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya. Berdasarkan hal tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi pun bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien dengan kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selama tahap awal rehabilitasi, terapis biasanya menekankan pemeliharaan dan penguatan fungsi otot yang ada, pembangunan kembali keterampilan motorik halus dan belajar teknik adaptif untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari. 8,9,10 2. Operasi : Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi : 8,9,10 a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal. b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat. 8,9,10 c. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan



pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya. 8,9,10 d. Fragmen yang menekan lengkung saraf. e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis. f. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma. 8,9,10



Prognosis Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal. 8,9,10



BAB III KESIMPULAN Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomik disebut spinal



syok. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal syok dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui syok sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hiporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai L2 sampai kauda ekuina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut. Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma sampai pada tahap rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya. Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu.



DAFTAR PUSTAKA 1. PERDOSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: Perdosi ; 2006.h.19-22. 2. Cedera medulla



Spinalis.



Diunduh



dari



:



http://www.artikelkedokteran.net/2011/01/cedera-medula-spinalis.html. 3. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h. 35-36.



4. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283. 5. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42. 6. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16. 7. ASIA. Spinal cord injury. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu. 8. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat; 2005.h.115-116. 9. Consortium



Member



Organizations



and



Steering



Committee



Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006. 10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23. 11. National spinal cord injury statistical centre. Spinal : Facts and figure at a glance.http://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Fact s%20213.pdf