SSS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Arif Budiman Kelas : IX A



Selama Langit Masih Berwarna Biru Oleh : Renika Septiani



Persahabatan memang tak mengenal status sosial. Perbedaan yang ada justru menjadikan tali persahabatan semakin erat. Sekecang apapun badai yang mencoba untuk menggoyahkan atau bahkan menghancurkan, sebuah persahabatan yang kokoh tidak akan mudah untuk tumbang. Seperti halnya karang ditepi pantai yang tidak mudah hancur meski terus dihantam ombak. Aku mungkin terlalu berlebihan menggambarkannya, tapi memang begitulah adanya persahabatan yang terjalin antara aku dan sahabatku tentunya. Aku putri khumayrah yang lebih akrab dipanggil ayrah dan sahabatku vriestika azzahra yang biasa dipanggil rere adalah siswi kelas XI disebuah sekolah bernama SMA Medika Aksara. Kami merupakan sahabat yang sejak kecil selalu bersama, berbagi suka dan duka.rere adalah seorang anak semata wayang yang berasal dari keuargamapan dan kaya raya. Semua kebutuhan dan keinginannya dalam sekejap mata selalu terpenuhi meskipun demikian, ia adalah anak yan baik hati dan tidak milih-milih teman dalam bergaul. Sedangkan aku berasal dari keluarga kurang mampu. Aku hanyalah anak seorang pedagang es cendol ditepi jalan raya, disamping sekolah kami. Berbeda dengan rere yang selalu tepenuhi keinginannya. Aku harus menabung sendirir jika ingin memiliki sesuatu. Tapi dalam hal limpahan perhatian dari oarang tua, aku bisa dibilang sepuluh kali lebih beruntung dari rere. Untuk hal yang satu ini, aku sama sekali tidak meras kekurangan. Sedangkan sahabatku rere bisa dihitung dengan jari momen makan satu meja dengan kedua orangtuanya yang super sibuk. Tuhan memang adil. Kolaborasi antara kelebihan dan kekuarangan dalam perjalanan hidup setiap orang inilah, yang selalu mengingatkan kita untuk bersyukur. Diantara aku dan rere ada seorang teman yang bernama karina. Entah mengapa dia sangat membenciku. Mungkin karena ia berpikir kalau aku yang miskin ini tak pantas berteman dengan rere yang bergelimang harta. Tapi dan aku dan rere tetap menganggapnya teman dan selalu berbaik hati padanya. Hujan masih menitik diluar sana. Hujan diminggu pagi ini pula yang membuat ayahku memutuskan tidak untuk berjualan es cendol seperti biasanya. Diingin yang menggit membuatku tak berniat untuk melepas sweater coklat bermotif helokity pemberian rere. Sepertinya aku masih enggan untuk beraktifitas pagi ini. Namun, tiba-tiba suara ketukan pintu memaksaku juga untuk beranjak dari kursi malasku. 1



Nama : Arif Budiman Kelas : IX A Begitu pintu terbuka, dihadapanku berdiri seseorang yang sangat kukenal. Seorang yang hampir tak pernah bersikap ramah terhadapku. Karina. Aku terkejut. Mau apa karina datang kesini pagi-pagi apalagi hujan masih turun cukup deras. “ eh, karina. Tumben kesini. Mari masuk!”. Aku tak bisa menyembunyikan keherananku. “ nggak usah, ra. Aku Cuma da perlu sebentar aja,” jawabnya. Karina kemudian menyampaikan maksud kedatangannya. Aku kembali terkejut saat dia membujukku untuk meminta uang kepada rere sebesar Rp. 2.000.000,-. Terang saja aku menolak. Meskipun rere sahabatku, tapi aku tak pernah meminta apapun kepadanya apalagi uang. “ ra, aku butuh sekali uang itu. Sekarang adiku ada dirumah sakit dan kami butuh tambah 2 juta lagi untuk membayar biaya administrasinya. Hanya kamu yang bisa menolongku, ra. Sekali ini saja, please !” bujuk karina kepadaku. Aku sempat tak percaya dengan apa yang dikatakan karina, mana mungkin keluarga karina yang cukup berada tak mampu membiayai biaya rumah sakit adiknya. Namun, karena karina terus membujuku dan air matanya terus meleleh membasahi pipinya akupun akhirnya luluh. “ ya sudah, aku akan lakuin itu semua demi kamu dan adikmu. Kamu yang sabar ya? Aku akan coba bilang sama rere,” aku mencoba menenangkan karina sambil mengusapngusap pundaknya.” Ra, tapi kamu jangan bilang kalau yang nyuruh aku, ya. Aku mohon, karena mungkin jika kamu bilang rere gak akan ngasih ke kamu,.” Kata karina melemas. Dan seperti terhipnotis, aku mengiyakan kemauannya. Karina kemudian memohon pamit dan pergi dengan maticnya tanpa memakai jas hujan. Kira-kira setelah 2 jam karina pergi, hujan mulai reda, tapi raja siang sepertinya masik tanpak malu-malu untuk menampakan sinarnya. Setelah mandi singkat. Ya, mandi singkat. Karena kalau aku berlama-lama dengan air pagi ini, bisa-bisa aku membeku dikamar mandi. Aku lalu memutuskan untuk pergi kerumah rere. Cukup dengan mengendrai speda akumenuju kerumah rere. Selainnya hanya karena speda inilah yang aku punya sebagai tungganganku sehari-hari, rumah rere tak begitu jauh dari rumahku, sehingga aku tidak akan pingsan dijalan hanya gara-gara kecapean mengayuh speda.



2



Nama : Arif Budiman Kelas : IX A Sesampainya dirumah rere, aku langsusng mengetuk pintu. Seperti biasa rumah nan megah itu tanpak sepi. Orang tua rere memang tak mengenal hari libur. Setiap hari adalah jam kerja bagi mereka. Kasihan rere. Beberapa saat kemudian, rere membuka pintu. Dia selalau ramah menyambutku. Rere mempersilahkan aku masuk dan kami ngobrol panjang lebar dikamarnya yang rapi dan mewah. Hingga akhirnya, aku menyampaikan maksud kedatanganku. Aku meminta uang Rp 2.000.000,- kepada rere, seperti apa yang disuruh karina. Dan baru kali ini aku membohongi sahabatku. Aku mengatakan kepadanya bahwa orangtuaku sedang butuh uang untuk modal usaha. Tanpa berpinggir panjang rere langsung menyanggupi. Uang Rp 2.000.000,- dari hasil tabungan rere, kini sudah berpindah ditanganku. “ re. “ kataku lirih, “makasih ya; kamu baik banget.” Rere tersenyum “iya, ra. Aku senang bisa membanu keluargamu,” jawabnya. Ada rasa bersalah yang sangat besar didadadku terasa sesak. Maafkan aku rere. Sore harinya, aku langsung menghubungi karina. Mengatakan bahwa aku telah berhasil mendapatkan uang itu. Ya, berhasil membohongi sahabatku sendiri. Karina mengajaku untuk ketemuan disebuah kafe yang terletak dipusat kota. Tanpa menaruh curiga, aku langsung menuju ke kafe itu dengan naik angkutan umum. Sesampainya disana, aku langsung disambut mita dan sasa, teman sekelasku yang juga sahabat karina. Aku mulai merasa aneh. Dikafe itu sepeti sedang ada pesta. Siapa yang ulang tahun? Apa mungkin karina? Tapi, bukan kah sebulan yang lalu karina baru saja merayakan ulang tahun? Lantas bagaimana dengan adiknya yang sedang sakit? Berjuta pertanyaan mengerumuni pikiranku saat itu. Mita dan sasa langsung menariku untuk bergabung aku sempat menolak karena harus bertemu karina. Tetapi mereka mengatakan bahwa karina sebentar lagi datang dan pesta ini sengaja dibuat karina untuku sebagai ungkapan terimakasih. Ini berlebihan, batinku. Sambil menunggu, aku mencoba makanan dan minuman yang disodorkan sasa. Tibatiba sepintas aku seperti melihat rere berjalan keluar kafe. Tapi apa benar itu rere? Ah, pasti aku salah lihat. Begitu karina datang aku langsung menyerahkan uang itu padanya, dan segera pamit pulang karena sudah malam. Keesokan harinya, tanpa kutahu sebabnya, sikap rere berubah 1800 kepadaku. Sikap rere yang bisanya hangat dan ceria. Kini mendadak dingin seperti es. Aku mencoba 3



Nama : Arif Budiman Kelas : IX A mendekatinya, tapi dia selalu menghindar. Dan yang memebuatku semakin heran, hari ini rere tidak duduk disebelahku, melainkan memeilih untuk berseblahan dengan karina. Sepulang sekolah aku menghampiri rere untuk meminta penjelasan atas sikapnya hari ini. Ada guratan benci diwajah rere yang tak pernah sekalipun ku lihat sebelunya. Bukanya penjelasan yang kudapat tapi justru gertakan yang keluar dari mulut rere. “ aku telah salah mengganggapmu sebagai sahabat!!!” gertak rere penuh emosi. Aku tak membalas apa-apa, lidahku kelu kepalaku pening, dan kakiku seperti lumpuh mendengar kata-kata iu. Aku sedih, aku berpikir bahwa rere akan memberikan senyuman manis kepadaku. Namun, begitu sulitnya membentuk sebuah senyuman dari bibir manis rere yang entah mengapa kini seakan membenciku. Beberapa hari berlalu, tapi sikap rere masih tetap sama. Rere berubah menjadi seperti bayangan gelap yang selalu mondar mandir dihadapanku. Tak ada tegur sapa apalagi senyuman. Pikiranku mencoba menerawang jauh melewati lorong waktu, tapi tak ku temukan noktah penyebab semua ini. Aku ingin menyerah. Tapi tidak, aku tak boleh menyerah. Dia sahbatku. Suatu pagi ditepi jalan, aku melihat rere. kakiku ini kulangkahkan maju perlahan menuju kerahnya. Inilah saatnya aku bicara. Kuhirup udara pagi dalam-dalam berusaha untuk setenang mungkin menghadapi rere. Raut wajahnya masih sama. Guratan benci itu belum juga hilang. Aku sapa dia dengan sebuah senyuman manis yang tak lupa kuberikan. Namun, belum sempat aku berbicara, rere yang terlihat sangat marah dan kesal tiba-tiba mendorongku ketengah jalan hingga aku merasa tubuhku dihantam sesuatu dan terseret, sebelum akhirnya semuanya jadi gelap. Saat aku membuka mata, sekujur tubuhku terasa sangat sakit. Aku mencoba memendarkan pandanganku, banyak sekali alat-alat medis. Pandanganku terhenti saat aku melihat seseorang disampingku. Seseorang yang akhir-akhir ini tak pernah sekalipun tersenyum kepadaku dan kini dia tersenyum. “ rere,” sapaku lirih.” Kamu sudah tidak marah lagi?” aku mencoba berbicara ditengah kesakitanku.” Kamu jangan banyak bicara dulu, ra. Istorahat saja,” jawab rere. Aku yang merasa masih mampu untuk berbicara, menolak saran rere untuk istirahat. Aku menanyakan lagi alasan rere bersikap dingin terhadapku akhir-akhir ini. Rere pun menjawab



4



Nama : Arif Budiman Kelas : IX A “ karena aku marah dengan apa yang telah kamu lakukan kepadaku tentang uang itu.” Aku semakin tak mengerti. Rere marah hanya karena aku pernah meminta uang kepadanya? “ yang aku permasalahkan bukan uang itu, tapi alasan kamu membohongiku dan membuat pesta itu,” kata rere. “ pesta? Apa yang kamu maksud pesta yang dibuat karina seminggu yang lalu?” tanyaku penasaran. “ hah? Pesta karina?” tanya rere kanget. Aku menjelaskan semuanya kepada rere, termasuk alsan sebenarnya aku meminta uang itu. Rere pun mulai mengerti. Ternya ini semua adalah usaha karina untuk mengadu domba kami. Karina menyuruhku meminta uang kepada rere dan menjebaku seolah-olah aku menggunakan uang itu untuk membuat sebuah pesta. Saat aku masuk perangkapnya, ia menghubungi rere. Memanas-manasi dan menyuruh rere datang kepesta itu untuk membuktikan omongannya. Dan rere percaya, karena melihatku benar-benar ada dipesta itu. Pantas saja saat itu aku seperti melihat sosok yang mirip rere keluar dari kafe, ternyata orang itu memang benarbenar rere. Ah, karina. Dia begitu rapi menyusun rencananya. Setelah keluar dari rumah sakit dan dinyatakan sembuh, aku dan rere menemui karina dan memaksanya untuk mengakui perbuatanya. Tanpa perlawanan, karina akhirnya mengakui dan meminta maaf kepadaku dan juga rere. Sinar ketulusan terpancar dari matanya. Mulai saat ini, aku dan rere juga menggapnya sebagai sahabat. “ aku herandan salut pada kalian. Aku sudahberbuat jahat, tapi kalian malah mau mengagapku sebagai sahabat. Aku sekarang tau, ternyata persahabatan sejati tidak mudah untuk dihancurkan,” ucap karina dengan mata berkaca-kaca. Kami bertiga pun kembali bersama dengan menjalin sebuah tali persahabatan yang lebih erat. “ mudah-mudahan persahabatan kita terus terjalin dan kita terus bersama selama langit masih berwarna biru,” kata rere penuh semangat dan langsung mendapat persetujuan dariku dan karina.



5