Strategi Pembangunan Pada Ekonomi Kelembagaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: SUSILO AMBARWATI



PRODI



: MAGISTER ILMU EKONOMI



MATA KULIAH



: EKONOMI KELEMBAGAAN



EKONOMI KELEMBAGAAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI Peran ekonomi kelembagaan dalam tingkat makro adalah untuk menyiapkan dasar produksi, pertukaran, dan distribusi dari berbagai macam aspek, baik hukum, ekonomi, politik dan sosial. Karena peran kelembagaan ini berada pada titik yang sangat krusial, maka negara perlu membuat strategi pembangunan ekonomi dengan cermat sebagai dasar penyusunan kelembagaan ekonomi. Strategi pembangunan ekonomi ini harus selaras dengan kelembagaan yang disusun dan tujuan yang ingin dicapai. Setiap negara perlu memiliki strategi pembangunan yang jelas sebagai dasar penyusunan kelembagaan ekonomi yang lebih detail.   Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Keunggulan komparatif dan kompetitif merupakan tolok ukur yang populer digunakan negara sebagai menentukan strategi pembangunan ekonomi. Strategi ini lebih banyak digunakan untuk negara negara yang hendak menyiapkan proses industrialisasi (transformasi struktural) . Pergerseran dari sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri) kemudian ke sektor jasa-jasa. Pengukuran keunggulan tersebut umumnya digunakan dalam negara yang sedang melakukan proses industrialisasi karena proses industrialisasi sendiri merupakan proses yang sangat bergantung pada kapasitas produksi dari semua faktor produksi, terutama tenaga kerja. Teori tentang keunggulan komparatif berkembang seiring dengan terjadinya perdagangan internasional, yakni melalui tokoh-tokohnya seperti John Stuart Mill dan David Ricardo. Dalam konsep “tradisional”, teori keunggulan komparatif ini didefinisikan sebagai bentuk keunggulan nilai produk suatu negara yang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk memproduksi barang tersebut. Sehingga cara pandang ini lebih menekankan unsur “produktivitas” sebagai faktor pentingnya. Apabia suatu negara produktivitas tenaga kerjanya tinggi, dan dengan begitu biaya produksinya murah, maka negara tersebut bisa dikatakan memiliki dua sumber keunggulan komparatif.



Nicolini menyebut dua sumber keunggulan



komparatif: modal dan tenaga kerja terampil. Tetapi, dalam perkembangannya, pengertian itu relatif ketinggalan jaman akibat tidak bisa mengakomodasi dinamika perubahan yang terjadi.



Kondisi aktual memperlihatkan, bahwa letak keunggulan (komparatif) bukan hanya dikontribusikan oleh produktivitas tenaga kerja, melainkan juga faktor-faktor lain, seperti tingkat upah, sumber daya alam, ketersediaan infrastruktur ekonomi dan nilai tukar mata uang (kurs). Singkatnya, suatu negara memiliki keunggulan komparatif jika dalam kegiatan-kegiatan ekonominya banyak menggunakan faktor-faktor produktif yang relatif lebih tersedia atau murah terdapat di negara itu daripada negara-negara yang merupakan mitra perdagangannya. Adanya kritik terhadap teori komparatif, memunculkan strategi keunggulan kompetitif yang memperhitungkan seluruh faktor faktor pokok yang berpengaruh pada daya saing suatu perusahaan atau industri. Faktor daya saing tersebut yaitu : a. Persaingan sehat antar industri b. diferensiasi produk c. kemampuan teknologi Perkembangan tekonologi dianggap sebagai kekuatan utama dalam pembangunan tetapi terdapat perdebatan antara keunggulan komparatif dan kompetitif. 1. Teknologi dianggap sebagai variabel penting yang membentuk keunggulan kompetitif sustu negara 2. Pandangan makro, suatu negara yang memiliki perkembangan tekonologi artinya sudah memiili keunggulan komparatif bukan kompetitif Pandangan Neo Klasik dan Strukturalis Tentang Keunggulan Komparatif Jenis Sumber



Neo Klasik SDA, modal dan jumlah penduduk



Hasil



Strukturalis pembelajaran



Keunggulan



pengalaman yang berbeda,



kompartaif



infrastuktur,



tekonologi



yang berlainan dan pasar Cara pelestarian



Deplesi/SDA



yang



lokal yang progresif diperbaharui, Pengembangan kemampuan



akumulasi modal fisik, pertumbuhan pembangunan dan industri penduduk alamiah dan kenaikan upah



pemula



melalui



infrastuktur pelatihan



investasi teknologi,



dan



penerapan



kebijakan yang tepat



Dasar Kebijakan Tingkat tabungan, instrumen makro Penekanan turunan



ekonomi



pemilihan



strategi yang bertumpu pada pembangunan



infrastuktur



yang spesifik Pemahaman teoritik tentang keunggulan komparatif, masih terdapat perspektif lain yang juga berupaya untuk mendalami makna keunggulan komparatif tersebut dari sudut yang lain yaitu 1. perbedaan cara pandang terhadap sumber-sumber keunggulan komparatif. 2. perbedaan cara pelestarian atas sumber-sumber keunggulan. Sebagai akibat dari perbedaan terhadap sumber-sumber keunggulan komparatif, selanjutnya berimplikasi kepada penanganan pelestariannya. 3. perbedaan dalam menciptakan dasar (pondasi) kebijakan. Dalam hal ini, paradigma neoklasik memilih memakai peranti-peranti tingkat tabungan dan instrumen makro lainnya untuk memaksimalkan pencapaian tujuan. Perbedaan neoklasik dan strukturalis membawa dampak pada penentuan kebijakan industrialisasinya. Contoh : Dari pengalaman di banyak negara, sektor pariwisata berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi sehingga akan dapat memperbaiki kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Untuk meningkatkan peran sektor pariwisata bagi perekonomian, peningkatan daya saing sektor ini menjadi kuncinya. Bagi Indonesia yang mempunyai potensi besar dalam bidang pariwisata, dibutuhkan strategi pengembangan pariwisata yang tepat agar dapat meningkatkan daya saing pariwisatanya. Daya saing pariwisata Indonesia dalam beberapa aspek masih rendah walaupun kondisi ini sudah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Diperlukan strategi khusus agar upaya yang dilakukan tepat sasaran. Pasar India, Australia, China dan Korea merupakan target pasar potensial yang layak diberi perhatian dalam pengembangan pariwisata Indonesia. Masing-masing pasar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga positioning yang dilakukan juga perlu dibedakan. Hambatan yang utama dalam meningkatkan daya saing pariwisata Indonesia yaitu pada konektivitas penerbangan khususnya masalah direct flight dari Indonesia ke sebagian besar pasar potensial Indonesia serta kurangnya promosi



destinasi pariwisata di Indonesia selain Bali. Selain itu, beberapa pengembangan lainnya yang perlu



dilakukan



dalam



meningkatkan



daya



saing



pariwisata



Indonesia



yakni



pengembangan pada: infrastruktur dan fasilitas angkutan laut di Indonesia khususnya guna mendukung pengembangan wisata kapal pesiar; pintu masuk wisman di Jakarta, Batam dan Medan; jenis pariwisata Adult dengan konsep Deluxe Tourism dan mendorong kunjungan wisman pada non-high season month. Pertumbuhan sektor pariwisata di ASEAN yang tinggi memiliki pengaruh positif dalam mempercepat pertumbuhan perekonomian anggota. Berbagai perjanjian dan hubungan kerjasama antar anggota ASEAN khususnya dalam bidang pariwisata guna mewujudkan ASEAN sebagai tujuan pariwisata tunggal di dunia merupakan faktor utama yang telah mendorong tingginya pertumbuhan pariwisata di kawasan tersebut. Salah satu peluang yang dapat dimanfaatkan dengan berlakunya MEA di Indonesia yaitu dalam meningkatkan standar pekerja pariwisata profesional sehingga dapat meningkatkan kualitas pariwisata serta daya saing pariwisata Indonesia, dimana dengan berlakunya MEA akan membawa kemudahan dalam arus tenaga kerja profesional.



Contoh :



i



Substitusi Impor dan Promosi Ekspor Pemahaman terhadap keunggulan komparatif dalam praksis mempengaruhi pilihan kebijakan ekonomi di suatu negara. Secara ekstem, pilihan kebijakan tersebut dapat dipilah dalam dua kategori yaitu 1. kebijakan industrialisasi orientasi promosi ekspor (outward oriented/export promotion) 2. kebijakan orientasi substitusi impor (inward oriented/import subtitution) Kedua pilihan tersebut diterapkan umum oleh seluruh negara, khususnya negara berkembang. Pola yang biasa digunakan negara berkembang yaitu memakai orientasi substitusi impor dan baru kemudian memakai orientasi promosi ekspor setelah perekonomian dianggap cukup kuat. Pola tersebut tidak tunggal tetapi bervariasi, tergantung dari jenis sumber daya yang dimiliki, percepatan yang diinginkan, dan kapasitas sumber daya dan fisik yang dimiliki masing-masing negara. Secara spesifik, setidaknya terdapat beberapa alasan pokok negara-negara berkembang perlu menerapkan kebijakan promosi ekspor:



1. Pilihan negara berkembang untuk memperkuat posisi eksternal, baik untuk memperkuat penerimaan devisa atau untuk meredam gejolak pekekonomian internasional 2. Memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor dengan pencarian peluang pasar yang luas di berbagai negara 3. Memperkuat dan memperluas kedudukan ekspor komoditas tradisional yang telah dikembangkan sejak lama dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi 4. Meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang, industriawan) maupun eksportir dalam kegiatan ekspor 5. Meningkatkan tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir melalui pencarian pasar yang tidak terbatas di luar negeri 6. Meningkatkan tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk ekspor komoditas tradisional maupun komoditas industri manufaktur 7. Pengembangan industri untuk tujuan ekspor secara tidak langsung merupakan proses untuk mensubstitusi barang-barang manufaktur Industrialisasi yang tepat hendaknya bertumpu pada dua hal yaitu : 1. Penerapan strategi industrialisasi yang tepat bertumpu eksport (outward oriented) 2. Pemahaman konsep keunggulan komparatif yang tepat Aspek kelembagaan untuk memperkuat orientasi eksport yaitu rendahnya tingkat korupsi, birokasi yang efisisien dan jaminan hak kepemilikan yang baik. Ketiga aspek tersebut mampu mengurangi biaya produksi dan biaya transaksi sehingga indutri memiliki peningkatan daya saing Contoh : Pemerintah sedang giat mendorong peningkatan investasi di Indonesia, baik dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Upaya strategis ini berperan penting untuk menumbuhkan industri substitusi impor dan berorientasi ekspor sehingga dapat menguatkan struktur perekonomian nasional saat ini. Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, salah satu program prioritasnya adalah menarik minat investasi asing. Hal ini dapat memberikan transfer teknologi ke perusahaan lokal, terutama dalam penerapan digitalisasi seiring dengan kesiapan kita memasuki era industri 4.0. Pemerintah terus



memfasilitasi kemitraan antara perusahaan global dengan pelaku industri lokal. Melalui transfer teknologi akan



terjadi peningkatan pengetahuan dan keahlian bagi tenaga kerja sehingga



menjadi kompeten dan kompetitif serta dapat memperluas jaringan usaha termasuk untuk pasar ekspor. Peningkatan investasi khususnya di sektor industri manufaktur, selama ini konsisten membawa efek berantai yang luas bagi perekonomian seperti pengoptimalan pada nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa dari ekspor. Kementerian Perindustrian juga mendorong tumbuhnya industri hilirisasi batubara agar dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan substistusi impor seperti urea, Dimethyl Ether (DME), serta polypropylene. Langkah strategis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan pupuk, bahan bakar (substitusi impor LPG), dan plastik yang akan digunakan di dalam negeri hingga mengisi permintaan pasar ekspor. Pencanangan Industri Hilirisasi Batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hilirisasi batubara berperan penting memperkuat struktur industri dan mengoptimalkan perolehan nilai tambah. Upaya ini terkait dengan peningkatan daya saing sektor manufaktur dan penguatan kemandirian industri. Industri generasi pertama yang masih ada di Indonesia, di antaranya berada di sektor agrikultur atau



pertanian. Kemudian, industri generasi kedua



seperti sektor pembuatan



rokok



kretek



tangan dan industri batik yang menggunakan canting, hingga saat ini masih tetap eksis. Terhadap sektor-sektor tersebut, pemerintah berkomitmen untuk memberikan proteksi, tidak ada investor asing yang masuk serta pemerintah



mendorong pengembangannya agar mereka lebih



produktif, inovatif, dan kompetitif. Di industri generasi ketiga, yang telah menggunakan mesin otomatis dengan melibatkan hubungan antara manusia dan mesin pun tidak akan ditinggalkan. Saat ini, Indonesia sedang siap memasuki revolusi industri keempat, dengan pemanfaatan teknologi



digital, yang diproyeksikan



akan



menjadi



lompatan



besar



bagi



semua



sektor manufaktur Sentralisasi dan Desentralisasi Secara teoritis, desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penciptaan badan yang terpisah (bodies seperated) oleh aturan undang-undang dari pemerintah pusat, yang pemerintah lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang lingkup persoalan publik. Jadi, basis politik berada di tingkat lokal, bukan nasional. Prinsip desentralisasi dalam literatur ekonomi, percepatan dan intensitas desentralisasi dapat berjalan dengan merujuk dua model berikut yaitu :



1. mengubah secara drastis karakter sentralisasi pengelolaan negara dan menerapkan dalam tempo singkat (shock therapy approach). Model tersebut dipercaya mampu untuk mewujudkan tujuan. 2. pemerintah menjalankan program terpadu dalam rentang waktu tertentu dengan cakupan yang terukur dan terorganisir (gradual approach). Model tersebut memiliki kelemahan dalam jangka panjang. Dalam ekonomi kelembagaan untuk melihat seberapa efisien kelembagan yaitu melalui indentifikasi besaran magnitude



dari biaya transaksi. Desentralisasi akan berjalan jika



kelembagaan diurus dengan baik yang tergantung pada desain makro dan mikro yang dibuat. Contoh : Semenjak tahun 2001 Bangsa Indonesia mulai menghadapi era baru yakni desentralisasi melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market failure) dalam hal ini menyediakan barang publik (public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme pasar. Kendala yang dihadapi dalam otonomi daerah yaitu masih terdapat berbagai kendala di dalamnya seperti tarik-menarik keuangan antara daerah dan pusat melalui penetapan bagi hasil, penetapan pajak serta jenis retribusi. Secara makro masyarakat dapat merasakan perubahan yang cukup signifikan bila dibandingkan pada masa orde baru dimana pengelolaan pembangunan masih sangat bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat. Saat ini, desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah untuk merespon setiap perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.



Statisasi dan Privatisasi Privatisasi merupakan agenda reformasi ekonomi penting yang dijalankan oleh banyak negara, khusunya di negara-negara berkembang. Sperenger menyatakan privatisasi merupakan agenda paling penting dari kontroversial dari transisi negara-negara sosialis menuju ekonomi pasar. Tentu saja, privatisasi tersebut juga tidak lepas dari dorongan dari lembaga donor, seperti World Bank dan IMF, yang sejak dekade 1980-an mempromosikan kebijakan penyesuaian sturktural bagi negara berkembang, di mana tujuan dari kebijakan tersebut salah satunya adalah merangsang pengalihan kegiatan ekonomi dari semula dikelola negara menjadi milik swasta. Ada lima tujuan yang bisa dindetifikasikan dari proses privatisasi: 1. Sebagai instrumen mengingkatkan pendapatan negara/pemerintah; 2. Menyebar bagian kepemilikan (aset) di sebuah negara; 3. Diharapkan berimplikasi pada perbaikan distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; 4. Mengurangi masalah yang timbul dalam hal pembayaran di sektor publik; dan 5. Mengatasi kinerja yang buruk pada industri (perusahaan) nasional (negara). Begitulah tujuan dari privatisasi membentang mulai dari sebagai alat meningkatkan pendapatan negara sampai pada tujuan perbaikan distribusi pendapatan. Tetapi dari seluruh tujuan tersebut, semangat inti yang hendak diraih dari proses privatisasi adalah meningkatkan kinerja perekonomian nasional secara keseluruhan. Indonesia sendiri tidak lepas dari tren privatisasi tersebut, lebih karena diidorong oleh realitas kinerja BUMN yang buruk. Beberapa hal yang disaran kan dalam pelaksanaan privatisasi yaitu : 1. Pemerintah dalam jangka pendek harus menyediakan informasi dan transparasi sehingga setiap pelaku ekonomi memiliki kesempatan yang sama 2. Dalam jangka menegah pemerintah harus membuat institusi formal berupa regulasi yang mengatur kemudahan regulasi 3. Dalam jangka panjang, pemerintah harus menyiapkan strategi ekonomi nasional untuk memperbaiki struktur pasar yang masih oligopolis Contoh :



BUMN merupakan pelaku ekonomi yang sangat vital perannya dalam pembangunan Nasional. Peran BUMN yang sangat vital tersebut ternyata tidak diikuti dengan kinerja BUMN yang membaik



justru sebaliknya, kinerja BUMN tidak efektif dan efisien. Salah satu cara



yang dapat ditempuh guna mengembangkan BUMN agar menjadi perusahaan yang kinerjanya baik, efisien, profesional dan transparan adalah melalui mekanisme privatisasi. Privatisasi BUMN merupakan salah satu bagian dari upaya pembenahan guna mendayagunakan dan mengembangkan BUMN sehingga BUMN dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada negara. Dalam pelaksanaan privatisasi hendaknya semua pihak yang terkait mampu untuk bekerja sama dan saling mendukung sehingga pelaksanaan program privatisasi dapat berjalan dengan efektif. Kasus privatisasi BUMN di Indonesia lebih ditujukan untuk mengurangi pinjaman sektor publik, mengurangi besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah, mendorong efisiensi dan inovasi, dan untuk mencapai popularitas politis. Secara umum, kegiatan privatisasi mengindikasikan bahwa ada kegagalan pasar yang disebabkan oleh adanya intervensi pada prosesnya oleh beberapa fungsi, informasi pasar yang kurang sempurna, dan beberapa asumsi dasar pasar persaingan sempurna tidak berjalan secara ceteris paribus (Dwijowijoto, & Wrihatnolo, 2008) Privatisasi



melalui



pasar



modal



dipandang paling transparan. Namun, privatisasi melalui



pasar modal tidak selalu menguntungkan dibandingkan melalui private placement atau mitra strategis (Moeljono, 2004). Pada strategi privatisasi melalui pasar modal, pemerintah menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui pasar modal. Pada umumnya, pemerintah hanya menjual sebagian dari saham yang dimiliki atas BUMN tersebut. Strategi ini akan menghasilkan perusahaan yang dimiliki bersama antara pemerintah dan swasta. Proporsi kepemilikan pemerintah atas BUMN ini akan menurun (Dwijowijoto, & Wrihatnolo, 2008). Privatisasi pasar modal hanya memberikan injeksi kapital kepada perusahaan, tidak lebih. Sedangkan melalui mitra strategis membawa injeksi kapital, teknologi, management competence, akses pasar dan akses modal, dan jaringan bisnis global. BUMN sebagai badan usaha yang dikelola oleh pemerintah menuntut peran aktif pemerintah dalam memecahkan persoalan ekonomi terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun di lain pihak, BUMN mempunyai tujuan ganda yaitu sebagai agen pembangunan nasional dan organisasi yang mencari keuntungan, dan keberhasilannya dilihat dari seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi pembangunan nasional.



Daftar Pustaka Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Malang: Erlangga. Dwijowijoto, R. N. & Wrihatnolo, R. R. (2008). Manajemen privatisasi BUMN. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Dewi Wuryandani, 2015, Kebijakan Privatisasi BUMN Melalui Pasar Modal (Privatization through Capital Market Policy on State-Owned Enterprises), Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 6 no 1. Kristian Widya Wicaksono, 2012, Barang Publik Dan Eksternalitas Pada Era Otonomi Daerah, Jurnal Bina Praja, Vol. 4 No 4 Siaran Pers Kementrian Perindustrian Republik Indonesia Selasa, 5 Maret 2019 Vonny Setianda, 2015, Menimbang daya Saing Pariwisata Indonesia (Dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 2 No 3