22 0 144 KB
Superovulasi Ternak A. Tinjauan Umum Superovulasi Produktivitas ternak di Indonesia pada saat ini ditandai dengan rendahnya angka kelahiran, masih tingginya angka kematian, sering berkecamuknya wabah penyakit hewan menular, dan penyakit reproduksi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2001). Ditinjau dari aspek reproduksi ternak, tidak terjadi efisiensi pada sel gamet betina. Untuk menghasilkan 1 zigot dalam suatu proses fertilisasi hanya dibutuhkan 1 buah ovum. Di pihak lain dalam setiap terjadi ovulasi, banyak ova yang mengalami degenerasi berarti banyak ova yang terbuang percuma, sehingga secara ekonomis telah terjadi pemborosan dan kerugian material genetik jika berasal dari betina unggul (Sumaryadi, 2003). Kedua ovarium betina mengandung ratusan ribu ova, namun selama hidupnya hanya beberapa ovum yang diovulasikan, sehingga sisanya sebagai sumber daya biologis masih belum termanfaatkan secara optimal. Teknologi pemanfaatan kelimpahan folikel baik sebagai penghasil ovum untuk produksi embrio maupun sebagai penghasil corpus luteum untuk produksi hormon reproduksi endogen (progesteron, estrogen) dapat dilakukan dengan teknik superovulasi. Teknik superovulasi yang dilakukan pada ternak domba, kambing dan sapi rata-rata dapat mencapai 12 ova yang diovulasikan, sedangkan pada babi 12 sampai 20 ova (Sumaryadi, 2003). Superovulasi adalah suatu prosedur untuk memberikan perlakuan pada ternak betina agar terjadi peningkatan jumlah ovulasi. Pada sapi yang
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 1
disuperovulasi rata-rata dapat mencapai 12 ova yang di ovulasikan (Bearden and Fuquay, 1987; dan Hafez, 1987). Sapi betina secara normal hanya mampu menghasilkan 1 ovum pada setiap ovulasi dalam 1 siklus birahi , kecuali 2 ova yang menyebabkan kembar, tetapi keadaan ini jarang terjadi. Dalam pelaksanaan produksi embrio, salah satu segmen utama adalah upaya melipatgandakan jumlah ova yang diovulasikan dalam 1 daur, menggunakan stimulasi hormon pada betina donor yang berkualitas tinggi serta memiliki kenormalan fungsi alat reproduksinya, proses ini dinamakan superovulasi (Hafez, 1987). Bearden and Fuquay, (1987) menyatakan bahwa superovulasi berasal dari kata super yang berarti luar biasa, dan ovulasi adalah pelepasan ovum dari folikel de Graaf. Superovulasi adalah suatu proses saat hewan diberi perlakuan FSH secara eksogen, yang menyebabkan hewan betina tersebut memproduksi ovum lebih dari 1 yang dihasilkan secara normal tiap berahi . Perlakuan superovulasi dalam interval waktu 45 – 60 hari setelah perlakuan superovulasi sebelumnya. Superovulasi (multiple ovulation) dapat terjadi secara alamiah dan buatan.
Bila secara alami, akibat superovulasi dapat menyebabkan kelahiran
kembar apabila sel-sel telur itu dibuahi spermatozoa. Sedangkan secara buatan diinduksi dengan pemberian hormon gonadotrophin eksogen. Superovulasi biasanya digunakan preparat Gonadotrophin Releazing Hormone (GnRH), yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH), dan Luteinizing Hormone (LH), dengan merk dagang, antara lain pluset dan follotrophin. Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin (PMSG), Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dengan merk
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 2
dagang foligon, chorulon, pregnecol. Superovulasi akan memberikan respon terhadap jumlah ovum, corpus luteum, embrio yang dikoleksi dan jumlah embrio yang layak ditransfer. Embrio yang layak ditransfer dalam program transfer embrio (TE) merupakan tolok ukur dari keberhasilan superovulasi (Yusuf, 1990). Sampai saat ini superovulasi secara komersial dilakukan pada ternak betina unggul (donor) dengan menyuntikkan FSH atau PMSG. Melalui penyuntikan hormon-hormon tersebut diharapkan akan meningkatkan jumlah ova yang diovulasikan, sehingga ova yang dibuahi akan menjadi bertambah dan jumlah anak per kelahiran dapat meningkat (Supriyanto, S., 2004). Superovulasi pada sapi bertujuan untuk meningkatkan jumlah ova yang diovulasikan, bila dibuahi dengan spermatozoa akan menjadi embrio dan dapat ditransfer dengan berbagai tingkat kebuntingan (Mafletoft and Pierson, 1993). Superovulasi merupakan faktor pendukung utama dalam kegiatan transfer embrio sebagai sarana untuk perbaikan mutu genetik sapi (Amstrong, 1993). Sapi
merupakan
hewan
monotokus
yang
secara
normal
hanya
menghasilkan 1 ovum dalam setiap siklus birahinya. Superovulasi diharapkan meningkatkan produksi ovum yang telah dibuahi oleh spermatozoa untuk menjadi embrio. Superovulasi dan transfer embrio telah dikembangkan terutama sebagai sarana untuk mempercepat perbaikan mutu genetik sapi. Tingkat keberhasilan program superovulasi dan transfer embrio tergantung pada perlakuan superovulasi yang elemen utamanya adalah pemberian FSH (Dielmen, et al., 1993).
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 3
Kadar hormon progesteron yang tinggi pada saat berahi dapat mengganggu pembebasan LH, transportasi, dan kapasitasi spermatozoa. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan kadar progesteron plasma, kurvanya menjadi lebih naik sesuai dengan peningkatan jumlah corpora lutea pada sapi yang disuperovulasi (Mapletoft dan Pierson, 1993). Kadar progesteron plasma meningkat dalam waktu 24 jam setelah perlakuan PMSG atau FSHp (Purified FSH) pada sapi dengan satu CL fungsional, menunjukkan adanya aksi luteotropik dari hormon gonadotrophin tersebut. Umumnya penurunan kadar progesteron plasma terjadi dengan cepat setelah perlakuan dengan sediaan PGF2 α (Mikel – Jenson et al., 1982). Supriatna dan Pasaribu (1992), menyatakan bahwa waktu paruh umur atau half life FSH sekitar lima jam.
Dalam program produksi embrio untuk
memperoleh hasil superovulasi yang optimal diperlukan penyuntikan ulang. Tetapi banyak peneliti menganggap bahwa penyuntikan berulang, sehari dua kali dengan selang waktu 12 jam selama empat sampai lima hari dapat menimbulkan pengaruh negatif pada hasil superovulasi. Perlakuan superovulasi dengan satu kali suntikan per hari menghasilkan laju ovulasi, jumlah embrio terkoleksi, dan jumlah embrio layak transfer lebih rendah dibandingkan dengan dua kali penyuntikan per hari. Pada donor yang sedang berahi secara alami perlakuan superovulasi dengan FSH dimulai antara hari ke-9 sampai hari ke-14 sejak awal berahi. Penyuntikan dilakukan selama empat hari berturut-turut pada dosis menurun yaitu pagi hari dan sore hari. Elsden dan Seidel (1985) menyarankan penyuntikan FSH
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 4
dengan dosis menurun 6, 6, 4, 4 ,2 ,2, 2 mg dengan interval 12 jam. Pada hari ketiga pemberian FSH diinjeksi dengan hormon PGF2α untuk menginduksi estrus. Satu hari setelah pemberian dosis FSH terakhir adalah hari ke nol saatnya IB dilakukan dan tujuh hari kemudian donor di-flushing. Menurut Boediono (1995), penyuntikan FSH untuk merangsang maturasi ova muda dilakukan antara hari ke-9 dan ke-13 dari daur berahi (hari ke nol = saat sapi berahi). Teknik penyuntikan hormon dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Dosis tunggal (30 mg FSH).
Hormon dicampur dengan polyvinyl
pyrrolidone (PVP) sebagai adjuvan yang bersifat membantu memperlambat penyerapan hormon oleh tubuh,. 2. Dosis majemuk (total 28 mg FSH) selama empat hari, sehari dua kali dengan dosis sekali penyuntikan masing-masing 5 mg (hari ke-satu), 4 mg (hari kedua), 3 mg (hari ke-tiga) dan 2 mg (hari ke-empat). Pada sapi jenis Holstein dosis yang diberikan sebanyak 36 mg, tetapi pada sapi Japanese Black yang digunakan sebagai donor, dosis yang digunakan di antara 20 mg (4, 4 ; 3, 3 ; 2, 2 ; 1, 1) hingga 28 mg (5, 5; 4, 4; 3, 3; 2, 2) dengan interval penyuntikan 8 sampai 12 jam. Dalam penggunaan gonadotrophin untuk superovulasi, harus dihindari overdosis guna mencegah efek tidak baik dan pemborosan. Anti PMSG yang diberikan pada saat superovulasi yang pertama menghasilkan angka ovulasi yang tinggi dari kejadian folikel anovulasi rendah. Sediaan gonadotrophin harus diinjeksikan secara intramuskular, dan harus dihindari injeksi ke jaringan lemak.
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 5
Injeksi
subkutan
tunggal
FSH
dengan
bahan
pelarut
khusus
perlu
dipertimbangkan pada donor yang sensitif, untuk menghindari stres berlebihan akibat injeksi multiple (Mapletoft and Pierson, 1993). Perlakuan superovulasi secara normal dimulai pada hari ke-8, ke-9, atau ke-10 siklus birahi. Adanya panjang siklus birahi yang sedikit bervariasi menyebabkan waktu awal perlakuan sedikit bervariasi pula. Sapi dengan panjang siklus birahi 21 – 23 hari, perlakuan superovulasi dimulai pada hari ke-10, sedangkan sapi dengan panjang siklus birahi 18 – 20 hari dimulai pada hari ke-9 dari siklus birahi (Dielmen, et al., 1993). Keuntungan metode superovulasi adalah dapat meningkatkan produksi anak melalui pemanfaatan betina unggul, yang berhubungan dengan pelaksanaan transfer embrio dari betina donor (genetik unggul) ke betina resipien (genetik rendah). Apabila terjadi kelahiran kembar kemungkinan dapat menimbulkan abnormalitas, seperti kasus freemartin pada sapi. Menurut Toelihere (1993), terdapat 3 hambatan dalam penggunaan superovulasi, yaitu: (a) respon terhadap penggunaan tidak konsisten karena adanya variasi individual; (b) jumlah ova yang diperoleh dari superovulasi yang berturut-turut dari hewan yang sama akan menurunkan pengaruh balik ovaria dan pembentukan hormon; dan (c) angka fertilitas yang rendah. Superovulasi merupakan faktor pembatas utama TE, jika terjadi kegagalan dalam proses superovulasi maka embrio tidak akan diperoleh dalam jumlah yang diharapkan atau tidak ada sama sekali. Untuk menghindari kegagalan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: (a) pelaksanaan superovulasi
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 6
harus orang yang telah berpengalaman, terampil, dan ahli terutama dalam mendeteksi keberadaan dan ukuran corpus luteum; (b) nutrisi donor harus dalam keadaan baik dengan Body Condition Score (BCS) 2,8 – 3,5; dan (c) donor harus terbebas penyakit reproduksi yang dapat menurunkan respon superovulasi (Supriyanto, S., 2004).
B. Teknik Superovulasi Superovulasi adalah ovulasi sejumlah besar ovum dari seekor betina pada suatu saat dengan penggunaan berbagai hormone. Hormone-hormon tersebut adalah Pregnant Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk merangsang pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau human chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992) Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996). Menurut Hunter (1995), hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 7
yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormone glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut: 1. Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari. 2. Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan). Faktor intrinsik meliputi genetika (keturunan dan individu hewan yang lebih atau kurang sensitif terhadap gonadotropin), fisiologis karakteristik (termasuk usia, kondisi ovarium atau folikular dominasi, dan populasi folikel pada saat superovulasi), status gizi (tubuh kondisi dan defisit atau kelebihan zat gizi) dan kondisi sanitasi (ovarium, rahim dan saluran telur patologi). Faktor ekstrinsik mencakup penggunaan berbeda komersial persiapan FSH (rekombinan atau hipofisis yang diturunkan FSH dengan berbagai jumlah LH, EKG, HMG, dan inhibin), dosis, rute dari aplikasi, musim, dan manajemen pertanian (Sorensen, 1979). Ketat evaluasi pengaruh ini faktor produksi embrio dapat memberikan kontribusi yang lebih baik merencanakan program transfer embrio, dengan lebih perhatian diberikan kepada faktor yang paling relevan. Inisiasi sebuah folikel gelombang menggunakan perawatan
ini
memungkinkan awal superstimulation pada tahap acak dari oestrous siklus (Lauria, 1982). GnRH pengobatan dan ablasi folikel pada setiap tahap dari siklus oestrous menawarkan keuntungan dari initiating superstimulatory pengobatan segera dan memastikan bahwa pengobatan bertepatan dengan saat munculnya gelombang folikel sehingga suatu respon superovulatory yang optimal dapat
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 8
dicapai. Selanjutnya, siklus oestrous seluruh tersedia untuk superstimulation, menghilangkan kebutuhan untuk deteksi estrus dan menunggu 8 sampai 12 hari sebelum memulai pengobatan gonadotropin (Amstrong, 1983.). Jumlah embrio ditransfer dikumpulkan tidak meningkat oleh pengobatan GnRH dan follicular aspirasi 2 hari sebelum superstimulation, meskipun respon ovulasi meningkat perawatan ini (Lauria, 1982). Efeknya sinkronisasi folikular dengan GnRH pada horMonal dan folikel respon sebelum dan selama superovulasi telah ditandai (Lauria, 1982.) tetapi pengaruhnya terhadap produksi embrio memilikibelum didefinisikan dengan jelas. C. Pengaturan Fungsi Reproduksi Betina (Siklus Estrus dan Aplikasi Superovulasi) Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung kepada kehadiran FSH dan LH, karena kedua hormon tesebut sangat essensial dalam sintesa estrogen sedangkan bila LH secara
tunggal
tidak
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan folikel (Donald dan Pineda, 1980). Level hormon reproduksi bersifat fluktuatif sesuai dengan pola reguler dan tetap, pola tersebut merupakan hasil interaksi dari sejumlah organ dengan hormon. Pada
ternak
mamalia
dewasa
fluktuasi
berbagai
hormon
reproduksi dikenal sebagai siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, mesestrus dan diestrus atau secara global umunya dikenal dengan phase folikel (fase pertumbuhan, yang ditandai dengan level estrogen tinggi, sedangkan fase luteal memiliki waktu yang cukup panjang ditandai dengan perkembangan corpus luteum dan kadar progreteron tinggi) sekresi FSH terjadi secara ritmis selama 4-5 hari Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 9
sebelum birahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan folikel (2-4 hari pada sapi) Folikel akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup singkat dibawah pengaruh FSH dan estradiol 17 ß terjadi pembentukan reseptorreseptor untuk kedua macam hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel granula juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH. Folikel ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang (threshold) akan berespon terhadap hipothalamus untuk menekan pelepasan FSH dan selanjutnya memfasilitasi pelepasan LH untuk menandai proses ovulasi (Donald dan Pineda, 1980; Intervet, 1998). Pada saat tersebut sel-sel granulosa memproduksi inhibin yang bekerja khusus untuk menghambat produksi FSH (feedback negatif), tingginya kadar estrogen merupakan sinyal untuk pelepasan LH dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi. Hipothalamus, hipofisa, gonad dan plasenta merupakan kelenjar endokrin reproduksi, kelenjar ini akan bekerja sama secara konser dan membuat suatu putaran interkoneksi yang dikenal sebagai poros Hipothalamus-hipofisagonadal Hipothalamus
bagian
(Iman
median
dan
Fahriyan,
eminentia
dan
1992).
preoptik
Pada diduga
Gonadotropin Releasing Factor (GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin
setelah
mendapat
rangsangan
dari
CNS,
GnRH
ditransportasikan melalui Hipothalamus-hipophyseal portal system menuju kelenjar pituitari anterior (Ganong, 1980). Pelepasan GnRH dari terminal syaraf dan median eminence ke dalam hipophyseal portal
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 10
darah merupakan sinyal neuroendokrin untuk terjadinya proses ovulasi (Karch et al., 1992). GnRH akan menstimulasikan sel-sel gonadotrpoh kelenjar pituari untuk mensekresikan follikel Stimullating Hormon (FSH) dan Luteiinizing Hormon (LH). GnRH, FSH dan LH akan dilepaskan dengan lonjakan-lonjakan tertentu (Intervet, 1998), FSH dan LH akan bekerja pada sel target dari gonad. FSH akan menstimulasikan sel-sel granulosa
untuk
memfasilitasi
proses
oogenesis
dan
bertanggungjawab atas perkembangan dan pematangan folikel, LH berfungsi menstimulasikan sintesa androstenedion dari kolesterol, dan selanjutnya dikonversi ke dalam testosteron, pada sel-sel granulosa terjadi aromatisasi estradiol-17ß dibawah pengaruh FSH membentuk Estrogen (Intervet, 1998). Hormon ataupun target organ memiliki suatu homeostatik feedback sistem, dimana semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri (Ganong, 1980; Intervet, 1998). Estrogen dapat menyebabkan feedback positif terhadap Hipothalamus dn pituari anterior,
yakni
kadar
estrogen
meningkat
akan
menyebabkan
peningkatan sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan kadar gonadotropin dari pituitari anterior. Superovulasi
merupakan
suatu
teknik
untuk
merangsang
pembentukan sejumlah besar folikel dalam ovarium dan mematangkan lebih cepat dari kemampuan alamiah (Toelihere, 1981). Lebih lanjut dikemukakan pemakaian
untuk
hormon
dapat
terjadinya
gonadotropin.
superovulasi
Superovulasi
secara
diperlukan komersial
dilakukan pada ternak betina unggul dengan menyuntikan hormon
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 11
gonadootrophin yang berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dan mematangkan lebih cepat, sehingga diharapkan jumlah sel telur yang dapat diovulasikan lebih baik dari keadaan normal (Jilela, 1982) Superovulasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yang berbeda, diantaranya dalam pemberian dosis, preparat hormon dan prosedur
pelaksanaan
(Iman
dan
Fahriyan,
1992).
Pemakaian
gonadotropin seperti FSH atau PMSG seringkali dilakukan pada superovulasi (Toelihere, 1989). Pemakaian FSH dalam pelaksanaan superovulasi, dari beberapa penelitian mempunyai respon yang sangat baik, namun mengingat waktu
paruh
biologiknya
sangat
singkat
+
2-5
jam,
sehingga
penyuntikan perlu dilakukan secara berulang kali (Donald dan Pineda, 1980; Hafez, 2000). PMSG merupakan hormon ganadotrophin yang dihasilkan oleh plasenta dengan aktivitas biologik menyerupai FSH dan LH (Bindon dan Piper, 1982). PMSG memiliki aktivitas biologis ganda, yaitu serupa dengan FSH dan LH sehingga sering disebut Gonadotrophin sempurna. Pengaruh yang ditumbulkan oleh PMSG antara lain : (1) merangsang pertumbuhan follikel; (2) menunjang produksi estrogen ; (3) ovulasi ; (4) luteinisasi; dan (5) merangsang sintesis progesteron pada ternak yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang 40125 jam (Iman dan Fahriyan, 1982 ; Hafez, 2000). PMSG sebagai glikoprotein yang terdiri atas sub unit a dan ß dengan kadar karbohidrat tinggi, yakni kadar asam sialat yang dapat mengakibatkan waktu paruh PMSG cukup panjang dibandingkan dengan gonadotropin Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 12
lainnya. (Bindon dan Piper, 1982 ; Reeves, 1987 ; Hafez, 2000 ). PMSG dengan dosis tunggal melalui intramuskuler cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda (Jillella, 1982). Penggunaan PMSG menimbulkan respon yang sangat variatif mulai
dari
tidak
berespon,
kadang-kadang
sampai
berespon
berlebihan. Apabila pemberian PMSG tidak disertai dengan pemberian hormon lain, PMSG harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke16 siklus uterus untuk domba. Untuk mengantisipasi waktu paruh yang panjang dapat diberikan anti PMSG (Iman dan Fahriyan, 1992) . Mekanisme
kerja
hormon
pada
superovulasi
belum
jelas,
pemakaian PMSG sebagai gonadotropin exogenous yang disuntikan, ternyata
di
dalam
tubuh
akan
menimbulkan
rangkaian
proses
pertumbuhan, perkembangan, pematangan folikel (Iman dan Fahriyan, 1992). Berdasarkan pernyataan tersebut di atas Gonadotropin essogen (PMSG) yang mempunyai aktivitas bilogik menyerupai FSH dan LH akan berperan menstimulasikan sel dan organ target dalam melancarkan fungsinya, pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari, pematangan folikel dan pembentukan hormon estrogen yang mana pada giliran terjadi peningkatan kadar estrogen., Kadar estrogen dalam peredaran darah, akan mencapai suatu keadaan yang telah melebihi yang diperlukan
(dalam
hal
ini
digunakan
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan serta pematangan sel-sel folikel) selanjutnya akan merupakan sinyal pada hipothalamus dan pituitari anterior untuk mengurangi / menghentikan produksi hormon gonadotropin. Pada
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 13
kasus superovulasi produksi hormon estrogen hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin exogenous. (Djoyoseobagio (1990). Iman dan Fahriyan (1992), mengemukakan bahwa LH eksogen tidak diperlukan untuk menginduksi ovulasi, karena ledakan pelepasan LH endogenous akan terjadi secara otomatis akibat superovulasi. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa FSH
dan PMSG merupakan
protein,
mempunyai potensi untuk menginduksi anaphylaxis, antigenisitas menunjukan penyuntikan berulang (khususnya ternak donor pada embrio
transper)
akan
menstimulasikan
terbentuknya
anti
gonadotropin yang berpeluang mereduksi respon berikutnya atau menggangu gonadotropin endogenous. Achyadi (1979), melaporkan bahwa pemberian PMSG untuk superovulasi pada domba Priangan sebanyak 750 IU setiap ekor secara intramuskuler pada hari ke-12 siklus berahi, disusul dengan pemberian 250 IU HCG empat hari kemudian, dapat menghasilkan 11 sel telur yang diovulasikan. Bila hanya diberikan PMSG saja dengan dosis yang sama jumlah sel telur yang diovolasikan hanya tujuh buah, sedangkan Sudjatmogo (1991) malaporkan rata-rata meningkat dari lima ke tujuh buah atau 40 persen jumlah ovum yang diovulasikan dengan super ovulasi menggunakan PMSG. Implantasi PMSG 2000 IU pada domba Pulibuey dengan bobot badan 35-40 Kg menghasilkan corpus luteum sebanyak 7,1 + 5,6 sedangkan yang diberi 3000 IU PMSG hanya menghasilkan corpus luteum sebanyak 4,5 + 3,7 (Gonzales-Reyna et al.,1999).
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 14
DAFTAR PUSTAKA Hernawan, Elvia. 2007. Peningkatan Kinerja Reproduksi pada Phase Kebuntingan Melalui Tehnik Superovulasi. http://peternakanuin.blogspot.com/2007/12/peningkatan-kinerja-reproduksipada.html Jauhari, Sumargono. 2014. Superovulasi. http://bbpkhcinagara.bppsdmp.deptan.go.id/component/k2/item/60superovulasi.html Putro, P.P. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bull. FKH UGM XIV(1):1-20. Saimina, Nanik Triyati. 2013. Makalah Superovulasi. http://naniksaimina.blogspot.com/2013/06/makalah-superovulasi.html Solihati, Nurcholidah, dkk. 2006. Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak.http://webcache.googleusercontent.com/search? q=cache:R6bcgwV4ReAJ:portalgaruda.org/download_article.php%3Farticle %3D23403%26val%3D1393+&cd=8&hl=id&ct=clnk&client=firefox-a
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 15
Bioteknologi Reproduksi Ternak
Page 16