Swamedikasi Anemia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRAKTIKUM COMPOUNDING & DISPENSING MAKALAH SWAMEDIKASI “ANEMIA”



Dosen Pengampu : apt. Ghani Nurfiana Fadma Sari, M.Farm.



Disusun oleh : Syielly Neelam Purnama Putri



2120414677



PROGAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2021



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Usia anak sekolah dasar di Indonesia lazimnya yaitu umur 7-12 tahun, sedangkan WHO menyebutkan bahwa anak sekolah dasar adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun, kelompok ini rentan terhadap empat masalah gizi di Indonesia. Masalah gizi di Indonesia yang muncul sebagai akibat kebiasaan makan yang salah pada anak usia sekolah adalah Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kekurangan Energi Protein (KEP) dan Anemia (Moehji, 2003). Anemia masih merupakan masalah tertinggi di dunia, di Negara berkembang prevalensi anemia diperkirakan 27% dan 6% pada Negara maju. Anemia banyak dijumpai di masyarakat terutama pada remaja dan ibu hamil, menurut data World Health Organization (WHO) menunjukkan penderita anemia di dunia sebesar 40%88% dialami oleh remaja puteri. WHO menyatakan jika kasus kejadian anemia lebih dari 40% maka termasuk anemia kategori buruk di suatau Negara, terdapat 9 dari 10 orang yang mengalami anemia di Negara berkembang. Data hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi anemia di Indonesia sebesar 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, anemia pada laki-laki sebesar 18,4% dan perempuan sebesar 23,9%. Berdasarkan tempat tinggal, penderita anemia yang tinggal di perkotaan sebesar 20,6% dan 22,8% di pedesaan (Kemenkes RI, 2014). Dampak anemia bagi siswa sekolah dasar adalah dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang fisik, rendahnya daya tahan terhadap penyakit, tingkat kecerdasan yang kurang dari seharusnya, prestasi belajar/kerja dan prestasi olahraga yang rendah. Selain itu, anemia pada anak akan berdampak pada menurunnya



kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak sehingga menimbulkan gejala muka tampak pucat, letih, lesu dan cepat lelah sehingga dapat menurunkan kebugaran dan prestasi belajar (Nirmala, 2012). Anemia defisiensi besi dapat juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis, kehilangan darah karena menstruasi, dan infeksi parasit (cacing). Di Indonesia, penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia defisiensi besi karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setiap harinya (Proverawati, 2009). Masyarakat Indonesia masih banyak yang belum membiasakan sarapan. Padahal dengan tidak sarapan akan berdampak buruk terhadap proses belajar di sekolah, menurunkan aktivitas fisik, dan meningkatkan risiko jajan yang tidak sehat. Melewatkan sarapan pagi menjadi isu kesehatan masyarakat di dunia. Kebiasaan memberikan anak-anak sarapan merupakan salah satu faktor utama untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan perilaku anak di sekolah. Hanya 27,7% dari orangtua siswa yang anaknya mengalami defisiensi besi menyadari bahwa sarapan dapat meningkatkan konsentrasi belajar di sekolah, sementara 22,4% dari orangtua siswa tidak tahu tentang pentingnya sarapan dan efeknya pada kesehatan anak (Kemenkes, 2014). B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan anemia? 2. Apa yang menyebabkan terjadinya anemia? 3. Bagaimana tatalaksana terapi anemia?



C. Tujuan 1. Mengetahui yang dimaksud dengan anemia. 2. Mengetahui penyebab terjadinya anemia. 3. Mengetahui tatalaksana terapi anemia.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Pengertian Anemia World Health Organization (2011) menyebutkan anemia adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis seseorang bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, tempat tinggal, perilaku merokok dan tahap kehamilan. Penyebab anemia umumnya karena kekurangan zat besi, kekurangan asam folat, vitamin B12 dan vitamin A. Peradangan akut dan kronis, infeksi parasit, kelainan bawaan yang mempengaruhi sintesis hemoglobin, kekurangan produksi sel darah merah dapat menyebabkan anemia.



Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin hemotokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal yang dipatok untuk perorangan (Arisman, 2014). Anemia sebagai keadaan bahwa level hemoglobin rendah karena kondisi patologis. Defisiensi Fe merupakan salah satu penyebab anemia, tetapi bukanlah satu-satunya penyebab anemia (Ani, 2016). B. Etiologi Anemia Beberapa faktor yang menyebabkan anemia, dikelompokkan menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung meliputi kecukupan



makanan dan infeksi penyakit, sedangkan penyebab tidak langsung antara lain perhatian terhadap wanita yang masih rendah di keluarga. Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh kurang makan sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup namun yang dimakan bioavailabilitas besinya rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap kurang, dan makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorbsi besi (Roosleyn, 2016). Anemia disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit normal terutama zat besi, vitamin B12, dan asam folat (Stropler, 2017). Selain defisiensi zat gizi, Reactive Oxygene Species (ROS) pada sel darah merah merupakan salah satu faktor penyebab utama anemia. Peningkatan ROS pada sel darah merah dapat terjadi baik dengan aktivasi ROS atau dengan penekanan sistem antioksidan. Saat sel darah merah mengalami peningkatan ROS yang berlebihan, maka menyebabkan stres oksidatif (Iuchi, 2012). C. Patofisiologi Anemia Anemia defisiensi besi ditandai dengan produksi sel darah merah (mikrositik) dan kadar hemoglobin dalam darah yang kurang. Anemia mikrositik ini adalah tahap terakhir dari defisiensi besi, dan ini merupakan titik akhir dari periode kekurangan zat besi yang lama. Ada banyak penyebab anemia defisiensi besi (stropler, 2017). Menurut Iuchi Yoshihito tahun 2012 bahwa anemia dapat disebabkan oleh adanya Reactive Oxygene Species (ROS) dalam sel darah merah. ROS dalam sel darah merah dapat menimbulkan stres oksidatif. Keseimbangan zat besi sangat penting untuk mempertahankan eritropoiesis normal. Kerusakan zat besi dapat dipengaruhi oleh adanya lipid yang teroksidasi. Lipid yang mengalami oksidasi yaitu asam lemak tak jenuh ganda akibat dari reaksi yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Radikal hidroksil (OH-) yang mengektraksi satu hidrogen dari lemak tak jenuh ganda sehingga membentuk radikal lemak (Sari, 2016). Peringkatan hidroperoksida menyebabkan kerusakan sel darah merah dan akhirnya menyebabkan kematian sel darah merah tersebut (Iuchi, 2012).



D. Klasifikasi Anemia Anemia dapat diklasifikasikan dari tiga sudut pandang: patogenesis, morfologi sel darah merah, dan presentasi klinis. Semua penting untuk memandu diagnosis. Mekanisme patogen yang terlibat dalam produksi anemia sangat sederhana: produksi dan hilangnya eritrosit yang tidak memadai akibat perdarahan atau hemolisis. Berdasarkan mekanisme patogenik ini, anemia dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (Chulilla et al. 2009): 1. Hipo-regeneratif: bila produksi sumsum tulang menurun akibat fungsi gangguan, penurunan jumlah sel prekursor, berkurangnya infiltrasi sumsum tulang, atau kekurangan nutrisi. 2. Regeneratif: ketika sumsum tulang merespons secara tepat pada massa eritrosit rendah dengan meningkatkan produksi eritrosit. Dalam prakteknya, klasifikasi berdasarkan parameter dasar morfologi sel darah merah seperti mean corpuscular volume (MCV), memungkinkan dilakukannya pendekatan diagnostik lebih cepat. Anemia juga dapat diklasifikasikan menurut bentuk presentasi klinis sebagai akut (biasanya perdarahan atau hemolisis) atau kronis. Anemia dapat diklasifikasikan sebagai mikrositik, normositik atau makrositik, tergantung pada MCV. Seperti yang dinyatakan di atas, dapat berupa hipo-regeneratif atau regeneratif, yang bergantung pada jumlah retikulosit. Kedua parameter tersebut dapat dipasok secara rutin oleh sebagian besar penghitung sel hematologi otomatis (Chulilla et al. 2009). Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan haemoglobin yang dikandungnya, yaitu sebagai berikut (Masrizal, 2007): 1. Makrositik Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu : a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan sintesis DNA.



b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan peningkatan luas permukaan membran. 2. Mikrositik Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya. 3. Normositik Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati. E. Kriteria Anemia Adapun kriteria anemia menurut WHO dapat dilihat pada tabel dibawah: Usia dan Jenis Kelamin Lahir (atern) Anak-anak : 2 - 6 tahun (perempuan) Anak-anak : 2 - 6 tahun (laki-laki) Anak-anak : 6 - 12 tahun Laki-laki dewasa Perempuan dewasa tidak hamil Perempuan dewasa hamil Sumber : WHO (2014)



Hb Normal (gr/dl) 13,5 - 18,5 9,5 - 13,5 11,0 - 14,0 11,5 - 15,5 13,0 - 17, 0 12,0 - 15,0 11,0 - 14,0



Anemia (gr/dl)