Tasawuf [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sufisme Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: ‫ تصوف‬, ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.[1]



Etimologi Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (‫)صوف‬, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf, yakni barisan dalam sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (‫)صصص‬, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.[2] Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.



Sejarah paham Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan. Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[3]. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi. Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl alsuffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [4].



Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[5] Definisi Sufisme  



Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne). Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).



Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam: 



















Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [6] Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [7]. Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada ALLAH). Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran seperti : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain ALLAH adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis, sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan dirinya kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dll). Dalam Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada ALLAH. Karena jika memang mereka percaya ALLAH adalah yang paling kuat dan berharga, maka menggantungkan kepada selain ALLAH adalah taghut (sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan ALLAH sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis). Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dll sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis (bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam ajaranajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status Tasawuf karena tentunya



harus ada garis merah antara agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam. Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam: 







Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne). (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).







Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencaricari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).







Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980)[8].







Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar



dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) [9].



Tokoh tasawuf di Indonesia Tokoh –tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fasuri, Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[10] Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[1] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.[11]



Contoh paham Berikut contoh paham Sufi atau paham tasauf:



Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual



Empat tingkatan kedalaman beragama



Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut. Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.



Paham kesatuan wujud Paham kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh Al Ghazali dan Ibnu Taymiah. Ketika tidak ada gerak bagimu untuk dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [2] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu, karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah sempurna tauhidmu. Karena hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut para muwahhidiin muhaqqiqiin para petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya. [3] Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan arRaniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.



Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini. Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [4] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [5]



Tasawuf dan ilmu pengetahuan Ilmu pengetahuan yang pada zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.[12]



Kesenian sufi Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli. Di Cirebon, kesenian yang berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf tersebut. Beberapa buku yang telah di tulis oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini. Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis oleh Rokhmin Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga 2004.



Jika seni dan kesenian dijadikan sebagai media dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya. [6] tasawuf itu sulit didefinisikan agar dapat dipahami dengan mudah



ILMU TASAWUF RESUMAN ILMU TASAWUF Oleh : SHOLIKHATUN



TARBIYAH PAI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2012 DAFTAR ISI Contents DAFTAR ISI KERANGKA TEORI BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN ASAL-USUL ISTILAH TASAWUF DAN DASAR-DASAR QUR’ANINYA A. PENGERTIAN TASAWUF SECARA LUGHAWI B. PENGERTIAN TASAWUF BERDASARKAN ISTILAH C. DASAR-DASAR TASAWUF DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF: KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB A. UNSUR NASRANI (KRISTEN) B. UNSUR HINDU-BUDHA C. UNSUR YUNANI D. UNSUR PERSIA E. UNSUR ARAB SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI), FALSAFI, DAN SYI’I A. PERKEMBANGAN TASAWUF AKHLAQI DAN FALSAFI B. AJARAN TASAWUF AKHLAQI C. TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI SERTA KARAKTERISTIKNYA KERANGKA BERPIKIR IRFANI: DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT A. MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF B. HAL-HAL YANG DIJUMPAI DALAM PERJALANAN SUFI



C. METODE IRFANI HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA A. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA B. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH C. KETERKAITAN ILMU TASAWUF DENGAN FILSAFAT D. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU JIWA (TRANSPERSONAL PSIKOLOGI) TASAWUF AKHLAKI A. HASAN AL-BASHRI B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN TASAWUFNYA C. AL-QUSYAIRI D. AL-GHAZALI TASAWUF IRFANI A. RABIAH AL-ADAWIAH B. DZU AL-NUN AL-MISHRI C. ABU YAZID AL-BUSTAMI D. ABU MANSHUR AL-HALLAJ TASAWUF FALSAFI I A. IBN ARABI B. AL-JILLI C. IBN SAB’IN D. IBN MUSARRAH TAREKAT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA A. PENDAHULUAN B. HUBUNGAN TAREKAT DENGAN TASAWUF C. SEJARAH TIMBULNYA TAREKAT D. PENGARUH TAREKAT DI DUNIA ISLAM TASAWUF DI INDONESIA A. HAMZAH AL-FANSURI B. NURUDDIN AR-RANIRI C. SYEIKH ABDUR RAUF AL-SINKILI D. SYEIKH YUSUF AL-MAKASARI BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA



KERANGKA TEORI



BAB I PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan umat islam. Ia merupakan unsur spiritual dari ajaran islam yang menyebabkan kehidupan lebih bermakna. Tasawuf memang belum terdefinisikan secara tegas dimasa awal ke;ahiran islam. Namun, indikasi adanya tasawuf sudah



dirasakan sejak zaman Nabi. Tasawuf berkembang setelah islam tersebar keberbagai pelosok dunia, bahkan kemudian menjadi unsur yang dominan dalam islam. Makalah ini merangkum hal-hal yang berkaitan dengan tasawuf, mulai dari tokoh-tokoh yang merumuskan dasar-dasarnya, pandangan mereka tentang hakikat hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, pengaruh terhadap kehidupan politik umat islam, hingga perkembangannya dewasa ini.



BAB II PEMBAHASAN ASAL-USUL ISTILAH TASAWUF DAN DASAR-DASAR QUR’ANINYA A. PENGERTIAN TASAWUF SECARA LUGHAWI Barmawie Umarie, mengatakan bahwa belum ada yang menggoyahkan pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul, yaitu: tafa’ala-yatafa’alu-tafa’ulan dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan. Barmawie Umarie lebih lanjut menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan “tashawwafa al-Rajulu”, artinya: seorang laki-laki telah men-tasawwuf. Maksudnya, seorang laki-laki telah pindah dari kehidupan biasa menuju kehidupan sufi. Apa sebabnya? Sebab para sufi, bila telah memasuki lingkungan tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol pakaian dari bulu, tentunya belumlah wol, melainkan hampir-hampir menyamai goni dalam kesederhanaannya. B. PENGERTIAN TASAWUF BERDASARKAN ISTILAH Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya, (Harun Nasution, 1992: 58) C. DASAR-DASAR TASAWUF DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS 1. Landasan Al-Qur’an Secara umum, ajaran islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan As-sunnah serta praktek kehidupan nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal itu misalnya difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 54 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orangorang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui”. Kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan dan keadaan yang dilalui para sufi (yang ada pada dasarnya merupakan objek tasawuf), kita banyak menemukan landasannya dalam Al-Qur’an. Berikut ini akan kami kemukakan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan sebagian tingkatan dan keadaan para sufi. Tingkatan zuhud, misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal beranjaknya tasawuf), telah dijelaskan



dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 77 yang artinya: “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa”. Sementara tingkatan takwa berlandaskan pada firman Allah pada surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”. Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allah antara lain surat AtThalaq ayat 3 yang artinya: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan (keperluan)nya”; dan surat Az-Zumar ayat 39 yang artinya: “Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman itu bertawakal”. Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allah surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu”. Tingkatan sabar berlandaskan pada firman Allah surat Al-M’minun ayat 55 yang artinya: “Maka bersabarlah kamu karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. dan surat Al-Baqarah ayat 155 yang artinya: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. Tingkatan rida berdasarkan pada firman Allah surat Al-Maidah ayat 119 yang artinya: “Allah rida terhadap mereka, dan merekapun rida terhadap-Nya”. 2. Landasan Hadis Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF: KONTAK KEBUDAYAAN HINDU, PERSIA, YUNANI, DAN ARAB A. UNSUR NASRANI (KRISTEN) Bagi mereka yang beranggapan bahwa tasawuf berasal dari unsur Nasrani, mendasarkan argumentasinya pada dua hal: pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliah maupun zaman islam. kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di Padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilahkafilah yang lewat. Kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman, dan mereka memberikan makanan bagi musafir yang kelaparan. Atas dasar hal ini, ada yang mengatakan bahwa zahid dan sufi Islam ketika meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana



dan mengasingkan diri, serta dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen ini. Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah: 1. Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah... Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang”. 2. Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatakan dalam Injil, “perhatikan burung-burung di langit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekuatan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?” 3. Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa. 4. Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan. 5. Penyaksian, bahwa sufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan. B. UNSUR HINDU-BUDHA Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis AlBirawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah. Namun, Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalu diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu. C. UNSUR YUNANI Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk ke dunia islam pada akhir Daulah Amawiyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Dikalangan penerjemah ternama, terdapat seorang tabib Nestori (Kristen) bernama Jurjis bin Bakhtisy (George Bakhtishu, wafat 771 M). Khalifah Al-Mansur mengundangnya ke Yundi Shapur untuk dijadikan tabib pribadinya. Di samping jabatan itu, ia juga aktif dalam kegiatan penerjemahan. Dengan kegiatan penerjemahan, banyak buku-buku filsafat, di samping buku-buku lainnya, yang dipelajari umat islam. ini dapat diartikan sebagai proses pengenalan umat Islam pada metode berpikir yang filosofis. Metode-metode berpikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain sebagainya. Apabila diperhatikan, cara kerja filsafat adalah mengukur segala sesuatu menurut akal pikiran. Namun, dengan munculnya filsafat aliran Neo-Platinisme, filsafat lebih menjauhi wewenang akal dan mulai menyentuh hal yang lebih metafisik atau supra-natural, terutama dalam persoalan pengenalan diri manusia di hadapan Tuhan. Ungkapan Neo-Platoisme, misalnya, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Hal ini bisa jadi mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak dapat diasingkan lagi bahwa cara berpikir kelompok Neo-Shopi (Sufi



berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat. D. UNSUR PERSIA Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra. Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind). Seorang orientalis moderat, Reynold A. Nicholoson, menolak adanya generalisasi yang menganggap bahwa tasawuf sebenarnya merupakan bentuk reaksi pemikiran Arya terhadap agama Semit, yang hasilnya adalah adanya pemikiran India atau Persia. Pernyataan semacam ini, walaupun benar sebagiannya, telah mengabaikan prinsip bahwa dalam menetapkan kaitan historis antara fakta-fakta A dan B tidaklah cukup dengan mengemukakan kesesuaiannya antara satu dengan lainnya, tanpa menunjukkan: 1. Hubungan nyata antara B dengan A sedemikian rupa, sehingga memiliki kemungkinan keterkaitan, dan; 2. Hipotesis yang mungkin bersesuaian dengan fakta-fakta yang diperoleh dan yang relevan. Nicholoson menambahkan, apabila sufisme hanyalah sebuah revolusi dari semangat Arya, bagaimana kita dapat menjelaskan fakta yang tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar perintis terkemuka dari mistik Islam ini adalah orang-orang yang berasal dari Syria dan Mesir, yang secara ras adalah orang-orang Arab? Demikian pula, orang yang mengemukakan adanya pengaruh agama Budha dan Hindu, ia melupakan satu fakta penting bahwa pengaruh (budaya) India terhadap peradaban Islam baru terjadi agak belakangan, yakni tatkala Ilmu Kalam (teologi), filsafat, dan sains di kalangan umat Islam telah berhasil menunjukkan keunggulannya ketika lahan budaya yang ada telah jenuh dengan budaya Hellenistik. E. UNSUR ARAB Selama masa Rasulullah hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktek ibadah tasawuf. Pada tahun 657 M, ‘Uways Al-Qaranini (wafat 657 M) mengadakan pertemuan besar pertama kaum sufi. Untuk mengenang dan menghormati Nabi Muhammad yang kehilangan dua buah giginya di Perang Uhud, ia mencabut giginya sendiri dan mengajak segenap pengikutnya untuk melakukan hal serupa. Untuk melihat sejarah tasawuf, perlu ditinjau perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Hal ini karena pada hakekatnya kehidupan rohani telah ada pada diri beliau sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan upayanya untuk menghindari bentuk-bentuk kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang. Ini tergambar dalam kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya yang berada dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadis dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani. Dalam perjalanan sejarahnya, benih-benih tasawuf mulai mengkristal dan mulai terlihat pada seorang tabi’in bernama Hasan Al-Bashri yang benar-benar mempraktekkannya. Di masa hidupnya,



ia terkenal sebagai orang yang berpegang teguh pada Sunah Rasul dalam menilai setiap masalah rohaniah. Ia mendasarkan pikirannya pada rasa “takut” kepada Allah, tetapi tidak terlepas dari rasa “harap” atas kasih Allah, sehingga keseimbangan antara sikap takut dan harap selalu terwujud. Dengan istilah lain, Hasan Al-Bashri berpegang teguh pada khauf dan raja’. Khauf dan raja’ inilah yang pada perkembangan selanjutnya menjadi salah satu ajaran dalam tasawuf. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI), FALSAFI, DAN SYI’I A. PERKEMBANGAN TASAWUF AKHLAQI DAN FALSAFI Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi. Pembagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga mempunyai jalan sendiri-sendiri. Untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu ditinjau lebih jauh tentang gerak sejarah perkembangannya. Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pengalaman aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek “luarnya” yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek “dalam”, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan Tuhan, dan kebebasan dari egoisme. Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengalaman Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengalaman ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika



mereka menyaksikan ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak. Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaki. Kemudian, tasawuf akhlaki ini identik dengan tasawuf Sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf Sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari tasawufnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunah. Dengan demikian, aliran tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf Sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak, dan tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapanungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul. B. AJARAN TASAWUF AKHLAQI 1. Takhali Takhali adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak pada kenikmatan duniawi. 2. Tahalli Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain berikut: a. Tobat b. Cemas dan harap (khauf dan raja’) c. Zuhud d. Al-Farq e. Al-Shabru f. Rida g. Muraqabah 3. Tajalli Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. C. TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FALSAFI SERTA KARAKTERISTIKNYA 1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan Al-Sunah 2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapanungkapan syathahat 3. Lebih bersifat mengerjakan dialisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia 4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at 5. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan jiwa dengan cara riyadah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli dan tajalli. KERANGKA BERPIKIR IRFANI: DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT A. MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF 1. Tobat 2. Zuhur



3. Faqr (fakir) 4. Sabar 5. Syukur 6. Rela (rida) 7. Tawakal B. HAL-HAL YANG DIJUMPAI DALAM PERJALANAN SUFI 1. Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Murawabah) Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya. 2. Cinta (huBb) Mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. 3. Berharap dan takut (Raja’ dan Khauf) Dalam surat al-baqarah ayat 218 Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Raja’ menurut tiga perkara, yaitu : a. Cinta kepada apa yang diharapkannya b. Takut bila harapannya hilang c. Berusaha untuk mencapainya Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri si masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan. Khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan perimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan. 4. Rindu (Syauq) Yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan, ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. 5. Intim (Uns) Dalam pandangan kaum sifu, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. C. METODE IRFANI Untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam-nya: “Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk ma;rifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban.” 1. Riyadhah Riyadhah yang sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya.



Para sufi menggolongkan riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan sifat-sifat buruk termasuk di dalamnya adalah pendidikan akhlak dan pengobatan penyakit hati. 2. Tafakur Tafakur penting dilakukan bagi mereka yang meninginkan ma’rifat sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi Alalbab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham. 3. Tazkiyat An-Nafs Tazkiyat An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. 4. Dzikrullah Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA A. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, FIQIH, DAN ILMU JIWA Ilmu Kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pada Ilmu Kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara itu, pada Ilmu Tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketenteraman, serta upaya untuk menyelamatkan diri dari kemunafikan. B. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH Ilmu tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Alsannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah. C. KETERKAITAN ILMU TASAWUF DENGAN FILSAFAT Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia islam tidak dapat dinafikan dari sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara jujur harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh itu sendiri sesungguhnya terminologi yang banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga banyak mengkaji tentang jiwa dan roh, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. D. HUBUNGAN ILMU TASAWUF DENGAN ILMU JIWA (TRANSPERSONAL PSIKOLOGI) Dalam pandangan akum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, perilaku yang tampiladalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah perilaku insani pula. Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat, zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual atau kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama



jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Pandangan kaum sufi mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental, yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (Psikologi). TASAWUF AKHLAKI Menurut Amin Syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Berikut ini adalah contoh sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam aliran tasawuf akhlaki. A. HASAN AL-BASHRI 1. Riwayat Hidup Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M), dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). 2. Ajaran-ajaran Tasawufnya Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh kebesaran jiwa akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya itu. Sikap itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”. B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN TASAWUFNYA Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. 1. Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut: a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya. c. Pada tahap ketiga ini Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah. d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’. 2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’. Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.



Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah. C. AL-QUSYAIRI 1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi. Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 di Istiwa. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (w. 405 H). Dari situlah Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh dari aliran tersebut dalam menentang doktrin aliranaliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Menurut Ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan akidah. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H. 2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah. Tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah. Dalam hal ini jelas bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang beralifiasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada gagasan AlQusyairi itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun Al-Junaidi, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan yang ganjil. D. AL-GHAZALI 1. Biografi Singkat Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us AthThusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Al-Ghazali dilahirkan di Ghazlah, Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan demikian, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil. Karyakarya itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. 2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syiah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lain. Corak tasawuf Al-Ghazali adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti Ihya ‘Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan (sa’adah) a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat



Menurut Al-Ghazali, sebagaimana telah dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Kenikmatan qalb –sebagai alat memperoleh ma’rifat- terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati karena qalb dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang. TASAWUF IRFANI A. RABIAH AL-ADAWIAH 1. Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah. Nama lengkap Rabi’ah Al-Adawiyah adalah Rabi’ah bin Ismail Al- Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/ 801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan AlQaisiyah dan Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. 2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rani’ah yaitu hub Al-hawa dan hub anta ahl lahu. Hub Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Hub Al-hawa yang ditunjukkan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai. B. DZU AL-NUN AL-MISHRI 1. Riwayat Hidup Dzun Al-Mishri Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim pada tahun 180 H/ 796 M dan wafat pada tahun 246 H/ 856 M. Jilukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan



ibu dari anak tersebut. 2. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu Al-Mishri Pengertian Ma’rifat Menurut Dzu Al-Nun Al-Mishri, Ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Al-Mishri menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi 3. Pandangan Dzu An-Nun Al-Mishri tentang Maqamat dan Ahwal. Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Menurutnya tanda-tanda orangorang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW. C. ABU YAZID AL-BUSTAMI 1. Riayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. nama kecilnya adalah Taifur. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali. 2. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’. D. ABU MANSHUR AL-HALLAJ 1. Riwayat Hidup Al-Hallaj Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, Persia pada tahun 244 H/ 855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. Ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq” yang tidak dapat dimaafkan para ulama fiqih dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hajj dihukum gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Namun sebelum dipancung, ia meminta shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Dan akhirnya Al-Hajj wafat pada tahun 922 M. 2. Ajaran Tasawuf Al-Hajj Diantara ajaran tasawuf Al-Hajj yang paling terkenal adalah Al-hulul dan wahdat Asy-syuhud. Kata Alhulul berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu



tasawuf, Al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Persatuan antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Dengan demikian, agar dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.



TASAWUF FALSAFI Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah Iaslam sejak abad ke-6 H meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Menurut beliau, ciri umum tasawuf tasawuf adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada pantheisme. Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn’Masarrah. A. IBN ARABI 1. Biografi Singkat Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Namanya biasa disebut “Al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Seville (Seville), ia mempelajari Al-Qur’an, hadist serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hamz Al-Zhahiri. Ketika berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di antara gurunya tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan Al-Ghauts Al-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah(seorang wali dari kalangan wanita). Diantara karya monumentalnya adalah Al-futuhat Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. 2. Ajaran-ajaran tasawufnya. Ajaran sentral Ibn ‘Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud) namun ajaran ini berasal dari Ibnu Taimiyah. Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam. Menurutnya, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan. Menurut Ibn ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud yang baru yang



disebut makhluki. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Menurut Ibn ‘Arabi, tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya adalah sebagai berikut : 1. Tajalli Dzat tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah 2. Tanuzul Dzat tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas-realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujarrad. 3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir. 4. Tanazul tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal. 5. Alam materi, yaitu alam inderawi. B. AL-JILLI 1. Riwayat hidup Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Ia lahir pada tahun 1365 M. Di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417 M. Beliau pernah belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir A-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (yaman) pada tahun 1393-1403 M. 2. Ajaran Tasawuf Al-Jilli Ajaran terpentingnya adalah paham Insan kamil(manusia sempurna), menurutnya insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan. Al-jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali dengan cermin itu. Demikian pula dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama tuhan, sebagaimana tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Berkaitan dengan insan kamil, Al jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Dalam istilahnya, maqam itu disebut Al- Martabah(jenjang/tingkatan). Martabah-martabahnya sebagai berikut : 1. Islam 2. Iman 3. Ash-Shalah 4. Ihsan 5. Syahadah 6. Shidduqiyah 7. Qurbah C. IBN SAB’IN 1. Riwayat hidup Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Beliau dipanggil Ibn Sab’in dn digelari Quthbuddin. Terkadang dikenal pula dengan Abu Muhammad. Beliau di lahirkan tahun 614 H (1217-1218 M) dikawasan Murcia dan meninggal tahun 611 H. Beliau berguru pada Ibn Dihaq. Dan beliau meninggalkan karya sebanyak 41 buah. 2. Ajaran tasawufnya Beliau adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.



Wujud-wujud ,lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. D. IBN MUSARRAH 1. Riwayat hidup Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Masarrah (269-319 M). Beliau adalah seorang sufi dari Andalusia. 2. Ajaran tasawufnya Ajarannya adalah sebagai berikut : a. Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa, zuhud, dan mahabbah yang merupakan asal dari semua kejadian. b. Dengan penakwilan ala philun atau aliran Isma’iliyyah terhadap ayat-ayat Al qur’an, Ibn Masarrah menolak adanya kebangkitan jasmani. c. Siksa neraka bukanlah dalam bentuk yang hakekat. TAREKAT: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA A. PENDAHULUAN Asal kata tarekat dalam bahasa arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang di tempuh sufi. Pembahasan tasawuf ini mengacu pada pengertian tarekat yang terakhir, yaitu tarekat sebagai organisasi sufi. B. HUBUNGAN TAREKAT DENGAN TASAWUF Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Uasaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbingan seorang Syaikh/guru. Ajaran tasawuf yang harus ditempuh yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya. C. SEJARAH TIMBULNYA TAREKAT Dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yangn disebut ribat (disebut zawiyah, hangkah dan pekir). Ini merupakan tempat para murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran walinya, dan ajaran tasawuf syaikhnya. Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu khurasan (iran) dan Mesopotamia (irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa, yakni: 1. Tarekat yasaviyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasavi. 2. Tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awasi AlBukhari. 3. Tarekat khalwatiyah yang didirikan oleh umar Al Khalwatiyah. 4. Tarekat safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin Al Ardabili. 5. Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan. D. PENGARUH TAREKAT DI DUNIA ISLAM Tarekat mempengaruhib dunia islam mulai dari abad ke-13. Kedudukan tarekat pada saat itu sama



dengan parpol (Partai Politik). Bahkan, banyak tentara juga menjadi anggota tarekat. Penyokong tarekat Bektashi,dibubarkan oleh Sultan Mahmud II, tentara Turki yangh disebut jenissari menentangnya. Jadi, tarekat tidak hanya bergerak dalam persoalan agama, tetapi juga bergerak dalam persoalan dunia yang mereka pikiran. Disamping itu, tarekat umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia. Tarekat menganjurkan banyak beribadah dan jangan mengikuti dunia ini karena “ Dunia ini adalah bangkai dan yang mengejar dunia adalah anjing.” TASAWUF DI INDONESIA A. HAMZAH AL-FANSURI 1. Riwayat hidup Nama Hamzah Al-Fansuri tidak asing lagi di kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman di Indonesia. 2. Ajaran tasawufnya Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi dalam dalam paham wahdat wujudnya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri, dan bahwa tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada di mana-mana. B. NURUDDIN AR-RANIRI 1. Riwayat hidup Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-hamid Al-Syafi’i Al-Syafi’i Al-raniri. Diantara karya-karya yang pernah di tulis Ar-Raniri adalah : a. Ash-Shirah Al-Mustaqim b. Bustam As-Salatin fi Dzikr Al-awwalin wa Al-Akhirin c. Durrat Al-Fara’idh bi Syarhi Al-Aqa’id d. Syifa’ Al-Qulub 2. Ajaran tasawufnya. a. Tentang tuhan Beliau berpendapat bahwa ungkapan “ wujud Allah dan Alam Esa”. b. Tentang Alam Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini di ciptakan Allah melalui tajalli. c. Tentang manusia Menurut Ar-raniri, bmanusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citranya. d. Tentang wujudiyyah Inti ajaran wujudiyyah, menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat Al-wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyyah dengan arti kemanunggulan Allah dengan alam. e. Tentang hubungi Syari’at dan Hakikat Pemisahan antara syari’at dan hakikat, menurut Ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antara adalah Syekh Abdullah Al-Aidrusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui syari’at yang merupakan pokok dan cabang islam. C. SYEIKH ABDUR RAUF AL-SINKILI



1. Riwayat Hidup Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada abad ke-17 (16061637). Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali Fansuri. Sejarah telah mencatat bahwa AsSinkili merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di mekah dan madinah. Ia sempat menerima bai’at tarekat Syathariah di samping ilmu-ilmu Sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan byang ada hubungan dengannya. 2. Ajaran tasawufnya As-sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Naruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Zikir, dalam pandangan As-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. D. SYEIKH YUSUF AL-MAKASARI 1. Riwayat hidup Syeikh yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H. Pengetahuan tarekat yang dipelajarinya cukup banyak bahkan melebihi ulama-ulama di masanya maupun masa kini. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya adalah berikut ini: a. Tarekat Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin Al-Raniri di Aceh. b. Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah. c. Tarekat As-Saadah Al-Baalawiyah diterimanya dari Sayyid Ali di Zubeid/Yaman. d. Tarekat Syathariyah diterimanya dari Ibrahim Al Kurani Madaniah. e. Tarekat Khalwatiyah diterima dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Al-khalwati Al-Quraisyi di Damsyiq. Syeikh ini adalah imam di Mesjid Muhyiddin Ibnu Arabi, dan lain-lain. 2. Ajaran tasawufnya. Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi. Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran isalm meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu tidaklah harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju tuhan. Gejolak hawa nafsuharus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju tuhan, ia membaginya dalam 3 tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al Qur’an, naiuk haji, dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara mujahadat Asy-Syaqa’(orang-oragn yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga, cara ahli ad-dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.



BAB III



PENUTUP Setelah memahami pembahasan diatas kita dapat mengerti hal-hal yang berkaitan dengan tasawuf, mulai dari tokoh-tokoh yang merumuskan dasar-dasarnya, pandangan mereka tentang hakikat hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, pengaruh terhadap kehidupan politik umat islam, hingga perkembangannya dewasa ini.



DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia Ghozali, M. Bahri. 1994. Konsep ilmu menurut al-Ghozali. Jakarta: CV Pedoman ilmu Khuarsyid, Ibrahin Zaki. 2002. Tassawuf. Mesir: Dairah al-Ma,arif al-Islamiyah Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufisti. Bandung: Mizan Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 3, Jakarta: PT chtiar baru van hoeve,2002 Depak RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Jembatan, 1993



ILMU TASAWUF DALAM ISLAM



A. PENDAHULUAN Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayatayat al-Qur’an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi makalah ini. Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama, selain ilmu Tauhid



(Ushuluddin)dan



ilmu



Fiqih.



Yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas membahas tentang soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan, kerasulan, hari akhir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir), seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf lebih membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang bertalian dengan masalah bathin (hati), seperti: cara-cara ihlash, khusu’, taubat, tawadhu’, sabar, redhla (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.



Dari paparan diatas, materi yang akan dibahas dibatasi pada beberapa hal: 1. Apa pengertian dan bagaimana sejarah perkembangan ilmu Tasawuf? 2. Apa saja pokok-pokok ajaran Tasawuf? 3. Bagaimana kedudukan ilmu Tasawuf dalam Islam?



B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Ilmu Tasawuf Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: ‫تصوف‬, ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (‫)صوف‬, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (‫)صفا‬, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad SAW yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa. 2. Sejarah Kemunculan Ilmu Tasawuf Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.



Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.[1] Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi. Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[2] Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf, dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw, beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku



dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan alHakim). Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw. terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan lain-lain. Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di



sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan. Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”. Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin arRumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.[3] 3. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu: a. Tasawuf Aqidah



yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (halhal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya). b. Tasawuf Ibadah yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1)



Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.



2)



Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.



3)



Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga. Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’). Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:



1)



Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.



2)



Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.



3)



Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.



4)



Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT. Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.



c. Tasawuf Akhlaqi Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain: 1)



Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik.



2)



Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmatNya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;



3)



Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.



4)



Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan.



5)



Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan. Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan).



Bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi. Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama dengan agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk mendapat hakikat ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan), “Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan kedua Hijriyah. Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.[4] 4. Kedudukan Ilmu Tasawuf dalam Islam Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal, tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama. Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah AlQur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir



inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq. Tasawuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawuf itu menghendaki manusia harus menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik dan sifat yang terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim. Maka dengan bertasawuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan mempunyai kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh atau tergoda oleh kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap qonaah, yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah diberikan Allah walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawuf betul-betul mendapatkan perhatian yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih menentang tasawuf ini, karena dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah berbuat syirik, karena tidak berpedoman kepada AlQuran dan Sunnah.[5] Banyak ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan manusia supaya bertobat, sabar, tawakal, bersikap zuhud, ikhlas dan ridha kepada Allah swt, serta membersihkan diri dengan berzikir kepada Allah. Sebagaimana Allah swt, berfirman:



“Sesungguhnya berbahagialah orang yang membersihkan diri, dan ia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (QS. Al- A'la: 14-15) Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi:



“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tiin: 4-5)



“Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(Q.S. Al-Ahzab: 41-42)



“Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. (H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah) Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udzkurullah Dzikran Katsiira”… Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …). Bukankah kita ingin dekat dengan Allah sedekat-dekatnya, serta merasa dekat dengan-Nya? Oleh karena harus ada penyucian diri dengan selalu berusaha membersihkan hati, supaya kita memperoleh jiwa yang tenteram dan menjadi orang yang bahagia hidup di dunia dan akhirat. Seperti halnya Rasulullah saw, beliau adalah pembesar dari seluruh ahli tasawuf yang berdaya upaya dengan sangat kepada kesucian hati serta menjauhi dari sifat-sifat hati yang jelek. Jadi, seorang hamba bisa dekat dengan Allah, yaitu dengan bertasawuf. Dengan demikian tasawuf memiliki Kedudukan yang penting dalam ajaran Islam tergantung kita dalam mempelajari dan memahaminya. C. PENUTUP



Kesimpulan Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Pada awalnya tasawuf merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, yang dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam yang mempunyai kedudukan sangat penting dalam ajaran islam itu sendiri. Dalam hal ini kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi Syari’ah Islam.



DAFTAR RUJUKAN



Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers Solihin, dkk. 2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa Mahmud, Abdul Halim. 2001. Tasawuf di Dunia Islam Bandung: Pustaka Setia http://masBied.com/2010/02/ilmu-tasawuf.html di download pada 22 Mei 2012 pukul