3 0 124 KB
3.1 Intellectual Disability 3.1.1 Pengertian ID Intellectual disability (intellectual developmental disorder) ditandai dengan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang dimulai sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan fungsi intelektual secara umum seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan belajar dari pengalaman. Sedangkan keterbatasan fungsi adaptif meliputi area konseptual, sosial, dan praktis baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Intellectual disability bukan suatu gangguan mental ataupun gangguan medis. (American Psychiatric Association, 2013; Mash, & Wolfe, 2013). 3.1.2 Karakteristik ID Intellectual disability (intellectual developmental disorder) adalah gangguan yang muncul selama periode perkembangan yang meliputi defisit fungsi intelektual dan adaptif dalam konseptual, sosial, dan kegiatan praktis (American Psychiatric Association, 2013). Tiga kriteria berikut harus terpenuhi: A. Defisit dalam fungsi intelektual seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan pembelajaran dari pengalaman dikonfirmasi oleh penilaian klinis dan individual, pengujian standar kecerdasan. B. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar perkembangan dan sosial budaya untuk kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan yang berkelanjutan, batas defisit fungsi adaptif dalam satu atau lebih kegiatan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri, di beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dan masyarakat. C. Awal kemunculan defisit fungsi intelektual dan adaptif selama periode perkembangan.
Penetapan tingkat keparahan (lihat Tabel 1): Tabel 3.1 Tingkat Keparahan Pada Intellectual Disability Tingkat Keparahan Mild (ringan)
Area Konseptual
Area Sosial
Area Praktis
Untuk anak pra
Dibandingkan
Individu dapat
sekolah, mungkin
dengan
merawat dirinya
tidak ada
perkembangan
secara tepat
perbedaan
anak seusianya
sesuai anak
konseptual yang
pada umumnya,
usianya. Namun
jelas. Untuk anak
individu terlihat
dibandingkan
usia sekolah dan
belum matang
anak seusianya,
dewasa, terdapat
dalam berinteraksi
individu
kesulitan dalam
sosial. Contohnya
membutuhkan
kemampuan
seperti kesulitan
beberapa bantuan
akademik yang
dalam memahami
dalam melakukan
melibatkan
petunjuk dari
tugas sehari-hari
membaca,
kelompok sosial.
yang lebih
menulis,
Komunikasi,
kompleks. Pada
berhitung, konsep
percakapan, dan
orang dewasa,
waktu, dan
bahasa harus
biasanya
konsep uang
lebih konkret atau
dukungan terkait
dengan dukungan
tidak sesuai
dengan proses
yang diperlukan
dengan usianya.
berbelanja,
dalam satu atau
Individu juga
transportasi,
beberapa area
mengalami
rumah tangga,
untuk memenuhi
kesulitan dalam
perawatan anak,
ekspektasi yang
meregulasi emosi
nutrisi makanan,
terkait usia. Pada
dan perilaku
dan pengelolaan
orang dewasa,
berpakaian;
keuangan.
berpikir abstrak,
kesulitan ini dapat
Keterampilan
fungsi eksekutif
dilihat pada situasi
rekreasi mirip
(seperti
sosial. Ada
dengan
perencanaan,
batasan
seusianya,
strategi, setting
memahami resiko
walaupun
prioritas,
dalam situasi
penilaian
fleksibilitas), dan
sosial; penilaian
berhubungan
memori jangka
sosial adalah
dengan
pendek sama
individu
kesejahteraan dan
lemahnya dengan
mengalami
dukungan
penggunaan
ketidakmatangan
kelompok. Pada
fungsional
untuk seusianya,
orang dewasa,
kemampuan
dan beresiko
kompetisi kerja
akademik (seperti
mudah tertipu
sering terlihat
membaca,
dalam pekerjaan
pengelolaan
oleh orang lain.
keuangan).
yang tidak menekankan kemampuan konseptual. Secara umum individu membutuhkan dukungan untuk membuat keputusan perawatan kesehatan dan keputusan hukum, serta untuk belajar menampilkan kemampuan secara kompeten. Dukungan biasanya dibutuhkan untuk membangun sebuah keluarga.
Moderate
Melalui semua
Individu
Individu dapat
(sedang)
perkembangan,
menunjukkan
merawat
kemampuan
perkembangan
kebutuhan
konseptual
yang berbeda
personal seperti
individu tertinggal
dengan anak
makan,
di belakang anak
seusianya dalam
berpakaian,
seusianya. Untuk
perilaku sosial dan buang air, dan
anak pra sekolah,
komunikasi.
menjaga
bahasa dan
Bahasa pada
kebersihan
kemampuan pra
umumnya
selayaknya orang
akademik
digunakan
dewasa,
berkembang
sebagai alat untuk
walaupun
lambat. Untuk
berkomunikasi,
memerlukan
anak usia
tetapi individu
waktu yang lebih
sekolah, progres
hanya sedikit
lama untuk
dalam membaca,
menggunakannya.
mengajarkan
menulis,
Kapasitas untuk
kemandirian pada
berhitung,
menjalin
individu. Sama
pemahaman
hubungan di
halnya dengan
konsep waktu dan
seputar keluarga
pekerjaan rumah
uang terjadi
dan teman,
yang biasa
secara lambat
individu juga
dilakukan oleh
berlawanan
dapat menjalin
orang dewasa,
dengan tahun
hubungan
individu
sekolahnya jika
persahabatan dan
memerlukan
dibandingkan
percintaan di
waktu yang lebih
anak seusianya.
masa dewasa.
lama untuk
Untuk orang
bagaimanapun
diajarkan agar
dewasa,
juga, individu tidak
dapat mandiri dan
perkembangan
dapat melihat
dukungan
kemampuan
petunjuk sosial
berkelanjutan
akademik pada
secara akurat.
biasanya terjadi
umumnya setara
Penilaian sosial,
untuk kinerja
dengan tingkat
dan kemampuan
tingkat dewasa.
sekolah dasar,
membuat
Kerja independen
bantuan
keputusan
dalam pekerjaan
diperlukan saat
terbatas, dan
yang
belajar dan bina
pengasuh harus
membutuhkan
diri. Bantuan
membantunya
batasan
tersebut
membuat
konseptual dan
berdasarkan pada
keputusan.
keterampilan
kebutuhan untuk
Persahabatan
komunikasi dapat
melengkapi tugas
pada umumnya
tercapai, tetapi
konseptual sehari-
berkembang
dukungan yang
hari.
dipengaruhi oleh
cukup dari rekan
komunikasi dan
kerja, supervisor,
pembatasan
dan lainnya
sosial. Dukungan
dibutuhkan untuk
sosial dan
mengelola
komunikasi
ekspektasi sosial,
dibutuhkan agar
kompleksitas
individu dapat
pekerjaan, dan
sukses dalam
tanggung jawab
lingkungan
tambahan seperti
pekerjaan.
penjadwalan, transportasi, manfaat kesehatan, dan pengelolaan keuangan. Kegiatan keterampilan dapat dibangun. Pada umumnya membutuhkan dukungan tambahan dan kesempatan belajar yang membutuhkan waktu lebih lama. Perilaku maladaptif sedikit terjadi dan menyebabkan permasalahan sosial.
Severe (berat)
Pencapaian
Bahasa lisan
Individu
kemampuan
terbatas dalam hal
membutuhkan
konseptual
tata bahasa dan
dukungan untuk
terbatas. Secara
kosa kata.
semua aktifitas
umum individu
Berbicara dengan
sehari-hari seperti
hanya sedikit
satu kata dan
makan,
memahami
dapat dilengkapi
berpakaian,
bahasa tulisan
melalui cara
mandi, dan buang
atau konsep yang
augmentatif. Cara
air. Individu
melibatkan angka,
bicara dan
membutuhkan
jumlah, waktu,
komunikasi
supervisi dalam
dan uang.
berfokus pada
setiap waktu.
Pengasuh perlu
sekarang dan saat
Individu tidak
mengurus secara
ini dalam kejadian
dapat
ekstensif sebagai
sehari-hari.
bertanggungjawab
dukungan untuk
Bahasa
dalam
menyelesaikan
digunakan untuk
menyejahterakan
permasalahan.
komunikasi
hidupnya. Pada
sosiallebih dari
orang dewasa,
penjelasannya.
partisipasi dalam
Individu
tugas di rumah,
memahami cara
hiburan, dan
bicara dan bahasa
pekerjaan
tubuh yang
membutuhkan
sederhana.
dukungan.
Hubungan dengan
Akuisisi
anggota keluarga
keterampilan
dan orang yang
dalam seluruh
familiar adalah
area melibatkan
sumber
pengajaran dan
kesenangan dan
bantuan dalam
bantuan.
waktu yang panjang. Perilaku maladaptif termasuk melukai diri sedikit terjadi.
Profound (sangat berat)
Secara umum
Individu sangat
Individu
kemampuan
terbatas dalam
bergantung pada
konseptual
memahami
orang lain dalam
melibatkan proses
komunikasi
segala aspek
fisik daripada
simbolis baik
kehidupannya
proses simbolik.
dalam bahasa
seperti bina diri,
Individual
lisan maupun
kesehatan, dan
menggunakan
bahasa tubuh.
keamanan
obyek dengan
Individu dapat
meskipun individu
tujuan merawat
memahami
dapat dilibatkan
diri, perkerjaan,
beberapa instruksi
dalam aktifitas
dan hiburan.
yang sederhana.
tersebut dengan
Individu memiliki
Individu
baik. Individu
kemampuan
mengekspresikan
tanpa defisit fisik
visual spasial
perasaan dan
yang berat dapat
seperti
emosinya melalui
melakukan
memasangkan
bahasa non
beberapa
dan mengurutkan
verbal, komunikasi pekerjaan rumah
berdasarkan
non simbolis.
seperti mengelap
karakteristik.
Individu
meja. Partisipasi
Namun defisit
menikmati
dalam tugas
fungsi motor dan
hubungan dengan
sederhana
sensori pasti
anggota keluarga
dengan obyek
terjadi.
yang dikenal baik
dasar dalam
olehnya,
beberapa
pengasuh, dan
kegiatan tingkat
orang lain yang
tinggi memerlukan
familiar dan
dukungan yang
merespon
berkelanjutan.
interaksi sosial
Aktifitas hiburan
dengan bahasa
dapat dilibatkan
tubuh dan emosi.
seperti
Defisit fungsi fisik
mendengarkan
dan sensoris
musik, menonton
dapat terjadi
film, pergi
dalam berbagai
berjalan-jalan,
aktifitas sosial.
atau aktifitas di dalam air, yang tentunya semua itu memerlukan bantuan orang lain. Defisit fungsi fisik dan sensoris yang terjadi sering menghambat keterlibatan individu dalam
beraktifitas. Perilaku maladaptif sedikit terjadi.
3.1.3 Komorbid Intellectual disability memiliki prevalensi populasi umum keseluruhan sekitar 1%, dan tingkat prevalensi bervariasi menurut usia. Prevalensi untuk intellectual disability tingkat severe (berat) sekitar 6 per 1.000. Komorbiditas permasalahan mental, perkembangan saraf, dan kondisi fisik medis sering terjadi pada individu yang mengalami intellectual disability dengan beberapa tingkat kondisi (misalnya, gangguan mental, cerebral palsy, dan epilepsi) tiga sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum (American Psychiatric Association, 2013). Prognosis dan hasil diagnosis dapat dipengaruhi oleh kehadiran intellectual disability. Prosedur penilaian mungkin memerlukan modifikasi karena gangguan yang terkait, termasuk gangguan komunikasi, gangguan autism spectrum, sensorik-motorik, atau gangguan lainnya. Peran informan sangat penting untuk mengidentifikasi gejala seperti mudah marah, disregulasi emosi, agresi, masalah makan, masalah tidur, dan untuk menilai fungsi adaptif di berbagai kehidupan masyarakat (American Psychiatric Association, 2013). Komorbiditas permasalahan mental dan perkembangan saraf yang paling umum terjadi pada individu dengan intellectual disability adalah attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD); Depressive and bipolar disorders; anxiety disorders; autism spectrum disorder (ASD); stereotypic movement disorder (dengan atau tanpa perilaku melukai diri sendiri); impulse-control disorders; dan major neurocognitive disorder. Gangguan dapat terjadi sepanjang
rentang
keparahan
intellectual
disability.
Perilaku
melukai
diri
sendiri
membutuhkan perhatian diagnostik yang cepat dan diagnosa yang berbeda dari stereotypic movement disorder. Individu dengan intellectual disability, khususnya individu dengan intellectual disability tingkat berat, memungkinkan untuk menunjukkan agresi dan perilaku mengganggu, termasuk membahayakan orang lain atau merusak barang (Mash, & Wolfe, 2013).
3.1.4 Etiologi Intellectual disability mulai terlihat pada periode perkembangan. Usia dan karakteristik yang muncul tergantung pada etiologi dan tingkat keparahan disfungsi otak. Pada individu yang mengalami intellectual disability tingkat profound (sangat berat), keterlambatan perkembangan motorik, bahasa, dan sosial diidentifikasi dalam dua tahun pertama kehidupan. Sementara tingkat mild (ringan) tidak dapat diidentifikasi sampai individu usia sekolah, ketika mengalami kesulitan dengan pembelajaran akademis. Semua kriteria (termasuk kriteria C) harus dipenuhi (American Psychiatric Association, 2013). Penyebab intellectual disability dibagi menjadi dua kelompok, yaitu organic group dan cultural-familial group. Penyebab dari organic group berdasarkan biologis yang meliputi faktor genetik dan konstitusional, seperti abnormalitas kromosom, kondisi gen tunggal, dan pengaruh neurobiologis. Organic group biasanya berasosiasi dengan intellectual disability dengan tingkat keparahan severe (berat) dan profound (sangat berat). Sedangkan culturalfamilial group bukan berdasarkan biologis, namun meliputi faktor resiko dalam ragam sosial, perilaku, dan pendidikan (Mash & Wolfe, 2013). Cultural-familial group biasanya berasosiasi dengan intellectual disability tingkat keparahan mild (ringan). Beberapa faktor resiko dari intellectual disability meliputi minuman alkohol, timbal, atau racun lain dan cedera yang mempengaruhi masa kehamilan dan perkembangan
pasca
kelahiran.
Faktor
resiko
lain
yang
mempengaruhi
kualitas
perkembangan fisik dan emosional dalam menstimulasi masa bayi seperti tingkat perekonomian dan dukungan keluarga yang tidak memadai (Mash & Wolfe, 2013). 3.1.5 Down Syndrome Banyak masalah atau gangguan lain pada individu, baik anak-anak atau dewasa, dengan gangguan mental atau intellectual disability. Down syndrome merupakan gangguan yang paling umum terjadi pada gangguan mental. Kromosom yang abnormal pada individu merupakan penyebab umum dan utama pada individu dengan gangguan mental, serta gangguan ini umum terjadi pada individu dengan intellectual disability pada taraf moderate (Mash & Wolfe, 2013).
A. Pengertian Down Syndrome Down syndrome merupakan gangguan yang paling sering ditemukan pada anak dengan gangguan mental dan gangguan perkembangan. Studi penelitian menemukan bahwa gangguan ini disebabkan oleh terdapatnya kelainan kromoson yang disebut sebagai trisomy
21, yang dikarenakan kegagalan kromosom dalam tubuh yang tidak berpisah ketika di dalam kandungan, sehingga anak memiliki 47 kromosom atau 3 kromosom 21 di dalam sel tubuhnya (Beirne-Smith, Ittenbach & Patton, 2002). Anak dengan down syndrome umumnya mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Soetjiningsih, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Cate dan Ball (dalam Beirne-Smith, Ittenbach & Patton, 2002) menemukan bahwa prevalensi down syndrome terjadi pada 1 dari 1.000 kelahiran dan umumnya 5% - 6% individu dengan down syndrome teridentifikasi memiliki gangguan mental. Diperkirakan bahwa 20% anak dengan down syndrome dilahirkan oleh ibu yang berumur di atas 35 tahun (Soetjiningsih, 1995). Terdapat 2 hipotesis penting pada proses perkembangan pada anak dengan down syndrome. Bennett-Gates dan Zigler (dalam Mash & Wolfe, 2013) mengemukakan hipotesis pertama adalah simple sequence hypothesis, yang berpendapat bahwa semua anak, dengan atau tidak dengan gangguan mental, akan dapat mencapai tahap-tahap perkembangan kognitif dengan urutan yang sama; yang membedakan adalah batas pencapaian individu pada perkembangan kognitif. Misalnya saja A adalah individu normal dengan usia remaja dengan perkembangan kognitif tahap formal operations, namun perkembangan kognitif B yang merupakan seorang individu remaja yang memiliki gangguan mental hanya mencapai tahap concrete operational dan tidak mampu berkembang lagi. Hipotesis ke dua adalah similar structure hypothesis, yang berpendapat bahwa anak dengan gangguan mental akan menampilkan perilaku dan kemampuan yang sama dengan anak normal yang usia mentalnya sesuai. Misalnya saja seperti yang terjadi pada Dan, seorang anak laki-laki usia 15 tahun dengan down syndrome, yang memiliki proses perkembangan yang sama dengan anak normal, hanya saja lebih lambat (Mash & Wolfe, 2013). Ketika usia kronologis Dan 15 tahun, dengan usia mental 2 tahun, perkembangan kognitif Dan mencapai tahap yang sama dengan adiknya yang normal dan memiliki usia kronologis 2 tahun. Bukti ini menampilkan bahwa anak dengan gangguan mental akan mengalami perkembangan sesuai dengan usia mental mereka, sehingga nantinya mereka juga akan mencapai tahapan-tahapan perkembangan kognitif, seperti memecahkan masalah, mengeja dan memahami moral, namun lebih lambat. Terdapat pandangan lain yang berargumen tentang dua hipotesis tersebut, yang disebut sebagai difference viewpoint, yaitu bahwa perkembangan kognitif anak dengan gangguan mental dan anak normal akan tetap berbeda pada hal yang lebih spesifik. Misalnya seperti yang terjadi pada Dan serta adiknya, yaitu walaupun usia mental Dan sesuai dengan kronolgis adiknya, secara kualitatif Dan akan memiliki perbedaan kemampuan pada hal yang lebih spesifik, seperti misalnya dalam memecahkan masalah. Pada kasus Dan,
kemampuan yang berbeda dari Dan dan adiknya adalah dalam kemampuan berbahasa, yang kurang berkembang dibandingkan dengan adiknya (Mash & Wolfe, 2013). B. Etiologi Down Syndrome Sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada down syndrome pada tahun 1959, kini penyebab down syndrome lebih dipusatkan pada kejadian non-disjunctional, yaitu 1) genetik, 2) radiasi, 3) infeksi, 4) autoimun, 5) umur ibu dan 6) umur ayah (Soetjiningsih, 1995). Hasil penelitian epidemiologi menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan down syndrome. Prevalensi down syndrome diturunkan secara genetik berkisar antara 4,8-6,3%. Apabila anak dengan down syndrome disebabkan oleh faktor genetik, maka sebaiknya kromosom orangtuanya diteliti untuk menentukan adanya karier atau tidak.
Uchida (dalam Soetjiningsih, 1995) menyatakan
bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Terdapat perkiraan bahwa infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya down syndrome, tetapi sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat memaastikan terjadinya non-disjunction. Penelitian yang dilakukan oleh Fialkow (dalam Soetjiningsih, 1995) di tahun 1966, secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan down syndrome dengan ibu yang melahirkan anak normal, namun dengan usia yang sama. Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunction pada kromosom. Selain pengaruh umur ibu terhadap down syndrome, juga dilaporkan adanya pengaruh dari umur ayah (Soetjiningsih, 1995). Penelitian sitogenik pada orangtua dari anak dengan down syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, namun korelasinya tidak setinggi dengan faktor usia ibu. C. Karakteristik Down Syndrome Karakteristik anak dengan down syndrome dapat terlihat dari berat badan pada waktu lahir dan pada umumnya bayi dengan down syndrome memiliki berat badan kurang dari normal (Soetjiningsih, 1995). Diperkirakan 20% kasus anak dengan down syndrome mempunyai berat badan lahir 2500 gram atau kurang. Pueschel (dalam Soetjiningsih, 1995) membuat suatu table tentang frekuensi secara karakteristik fenotif dan paling sering terdapat pada bayi dengan down syndrome, yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.1 Karakteristik down syndrome Karakteristik Sutura sagitalis (belahan pada puncak tempurung otak) yang
Persentase (%) 98
terpisah Fisura palpebralis (ruang antara pinggiran kelopak mata) yang
98
miring Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II Fontanela (ubun-ubun kepala) “palsu” Plantar crease jari kaki I dan II Hiperfleksibilitas Peningkatan jaringan sekitar leher Bentuk palatum (langit-langit mulut) yang abnormal Hidung hipoplastik (tulang hidung kecil) Kelemahan otot Hipotonia Bercak Brushfield pada mata Mulut terbuka Lidah terjulur Lekukan epikantus “Single palmar crease” (garis telapak tangan) pada tangan kiri “Single palmar crease” pada tangan kanan “Brachyclinodactily” (kelainan pada tulang jari) tangan kiri “Brachyclinodactily” tangan kanan Jarak pupil yang lebar Tangan yang pendek dan lebar Oksiput (belakang kepala) yang datar Ukuran telinga yang abnormal Kaki yang pendek dan lebar Bentuk/struktur telinga abnormal Letak telinga yang abnormal Kelainan tangan lainnya Kelainan mata lainnya Sindaktili (kelainan jari berupa pelekatan 2 jari atau lebih,
96 95 94 91 87 85 83 81 77 75 65 58 57 55 52 51 50 47 38 35 34 33 28 16 13 11 11
sehingga telapak tangan menjadi berbentuk seperti kaki bebek atau angsa) Kelainan kaki lainnya Kelainan mulut lainnya Sumber: Soetjiningsih (1995).
8 2
Peneliti lain mungkin akan mendeskripsikan fenotif yang berbeda, terutama jika ditemukan pada anak dengan down syndrome dengan usia yang lebih besar, karena karakteristik dapat berubah dengan bertambahnya usia anak. Masalah yang sering terjadi dengan anak yang memiliki down syndrome adalah gangguan tidur dan banyak insiden yang terjadi ketika tidur (Wood & Sacks, 2004). Terdapat 2 masalah utama dalam tidur pada anak dengan down syndrome, yaitu masalah tidur yang berkaitan fisik atau pernapasan dan masalah perilaku ketika tidur. Anak dengan down
syndrome umumnya mengalami masalah pernapasan ketika tidur, yang disebut sebagai apnoea, yaitu anak akan terdengar seperti mengorok atau nafas tercekik dan menampilkan tanda-tanda tampak kurang tidur, posisi tidur yang tidak umum, keringat berlebihan dan terdapat jeda ketika bernafas, seperti Nampak berhenti bernafas (Wood & Sacks, 2004). Masalah perilaku ketika tidur dapat tampil dalam 2 hal, yaitu kesulitan untuk tidur dan seringkali terbangung tengah malam atau lebih cepat. Anak dengan down syndrome umumnya sulit tidur jika harus sendirian, dan mereka akan ingin tidur bersama orangtua mereka atau orang lain yang dikenal. Ketika mereka sulit tidur, maka hal ini akan menyebabkan mereka tidur larut malam. Banyak anak dengan down syndrome memiliki masalah dalam berbahasa, namun penelitian yang dilakukan Cologon (2013) membuktikan bahwa anak dengan down syndrome mampu diajarkan untuk membaca. Ketika anak down syndrome diajarkan untuk membaca, maka kosakata yang mereka miliki akan semakin banyak dan otomatis mereka akan mampu mengembangkan kemampuan berbahasa. D. Penanganan pada anak down syndrome Anak dengan down syndrome memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang baik melalui kondisi internal dan eksternal anak tersebut. Penanganan secara medis. Mereka memerlukan pemeliharaan medis yang sama dengan anak normal, yaitu dengan diberikan imunisasi, penanganan darurat secara medis, serta dukungan dan dan bimbingan dari keluarganya. Walau demikian, terdapat beberapa keadaan ketika anak dengan down syndrome memerlukan perhatian khusus, yaitu dalam hal 1) Pendengaran, karena 70-80% anak dengan down syndrome dilaporkan terdapat gangguan pendengaran, sehingga diperlukan pemeriksaan telinga sejak kecil dan pemeriksaan berkala oleh ahli THT; 2) Penyakit jantung bawaan, ditemukan bahwa 30-40% anak dengan down syndrome disertai penyakit jantung bawaan, sehingga mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh seorang ahli jantung; 3) Penglihatan, anak dengan down syndrome sering mengalami gangguan penglihatan atau katarak, sehingga perlu evaluasi ruitn oleh ahli mata; 4) Nutrisi, terjadi pada beberapa kasus yang disertai kelainan berat badan, maka biasanya akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi atau prasekolah, atau terjadi obesitas pada masa remaja atau setelah dewasa, sehingga diperlukan kerja sama dengan ahli gizi; 5) Kelainan tulang, anak dengan down syndrome dapat mengalami kelainan tulang yang mencakup dislokasi patela (tempurung), subluksasio (dislokasi sebagian) pangkal paha atau ketidakstabilan atlantoaksial (otot penghubung pada leher bagian atas dengan tulang belakang), sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis; 6) Masalah lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahli dalam masalah imunologi, fungsi metabolisme atau biokimiawi (Soetjiningsih, 1995).
Penanganan melalui pendidikan. Anak dengan down syndrome mampu berpartisipasi dalam belajar melalui intervensi dini, taman kanak-kanak dan melalui sekolah dengan pendidikan khusus yang akan berpengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Intervensi dini yang dilakukan pada bayi dengan down syndrome dan keluarganya akan menyebabkan kemajuan yang tidak mungkin dicapai oleh mereka yang tidak mengikuti program tersebut. Intervensi dini pada anak akan mencakup manfaat dari stimulasi sensoris dini, latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasa dan halus, serta petunjuk agar anak mampu berbahasa (Soetjiningsih, 1995). Demikian juga dengan mengajari anak agar mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar buang air kecil atau besar, mandi, berpakaian dan lainnya. Anak yang masuk ke taman kanak-kanak juga memperoleh manfaat berupa peningkatan keterampilan motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Anak juga dapat melakukan interaksi sosial dengan temannya. Program pendidikan khusus pada anak dengan down syndrome akan membantu anak melihat dunia sebagai suatu tempat yang menarik untuk mengembangkan diri dan bekerja. Program pendidikan khusus yang umumnya diberikan adalah melalui SLB-C, yaitu sekolah yang diperuntukkan bagi anak dengan kebutuhan khusus. Pengalaman yang diperoleh di sekolah akan membantu mereka memperoleh perasaan tentang identitas personal, harga diri dan kesenangan. Lingkungan sekolah akan memberikan kepada anak tentang dasar kehidupan dalam perkembangan keterampilan fisik, akademis dan kemampuan sosial. Kebanyakan anak dengan down syndrome adalah mampu didik, sehingga selama di sekolah anak akan diajarkan untuk biasa bekerja dengan baik dan menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya (Soetjiningsih, 1995). Penyuluhan
pada
orangtua.
Menyampaikan
masalah
down
syndrome
akan
menyakitkan bagi orangtua, tetapi ketidakjujuran dalam menyampaikan masalah akan dapat meningkatkan isolasi atau harapan-harapan yang tidak mungkin dari orangtuanya. Orangtua perlu diberi penjelasan tentang down syndrome, karakteristik fisik yang ditemukan dan antisipasi dalam masalah tumbuh kembangnya. Orangtua juga perlu diberi penjelasan bahwa fungsi motorik, perkembangan mental dan bahasa biasanya terlambat jika dibandingkan dengan anak seusianya yang normal. Hal penting lainnya yang perlu ditekankan adalah bahwa bukan ibu atau ayah yang dapat dipersalahkan tentang kasus ini. Akan lebih baik jika orangtua yang memiliki masalah yang sama bertemu dan saling saling berbagi. Mendengar tentang pengalaman dari orang yang berada pada kondisi dan situasi yang sama biasanya akan lebih menyentuh perasaannya, serta lebih dapat menolong secara efektif, sehingga orangtua akan lebih tegar dalam menghadapi kenyataan yang dihadapi dan menerima anaknya sebagaimana adanya. 3.1.6 Penanganan Pada Anak ID
Bentuk penanganan yang dapat dilakukan pada individu dengan intellectual disability ada berbagai cara, tergantung pada tingkat keparahannya. Hal yang pertama dapat dilakukan adalah prenatal education and screening, yaitu pendidikan dan pemeriksaan pada masa kehamilan. Walaupun tidak semua bentuk dari intellectual disability disebabkan saat masa kehamilan, namun berbagai bentuk kelemahan berhubungan dengan janin yang mengandung alkohol, keracunan timbal, atau rubella dapat dicegah jika diambil tindakan pencegahan yang tepat (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013). Pada penanganan ini, wanita yang sedang hamil harus memeriksakan kandungan ke dokter secara berkala hingga masa kelahiran serta mencari informasi tambahan terkait kehamilan, baik dari membaca buku ataupun informasi dari orang lain. Pemeriksaan pada masa kehamilan sebagai bentuk pemeriksaan genetis untuk melihat apakah terdapat abnormalitas genetik pada janin, seperti down syndrome atau permasalahan keterbatasan fisik (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013). Psychosocial treatment juga dapat dilakukan dengan cara keterlibatan secara intensif dan intervensi dini untuk keluarga dengan anak-anak yang didesain untuk menurunkan faktor resiko dan meningkatkan perkembangan anak. keterlibatan secara intensif dapat dilakukan dengan behavioral treatment, pertama kali muncul sebagai bentuk untuk mengontrol atau megarahkan perilaku negatif seperti agresi dan perilaku melukai diri sendiri. Pelatihan berbahasa sering dianggap sebagai dasar untuk mengajarkan kemampuan yang lebih sulit pada anak dengan intellectual disability (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013). Olahraga dan interaksi sosial juga cara penting untuk mendorong kemandirian, kompetensi sosial, dan self-esteem pada individu dengan intellectual disability. Beberapa teori perkembangan kognitif yang menjelaskan mengenai teknik terapi untuk anak dengan permasalahan belajar dan perilaku juga dapat diterapkan pada anak intellectual disability. Metode ini efektif digunakan untuk anak dengan gangguan bahasa secara reseptif atau ekspresif (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013). Self instructional training mengajarkan anak untuk menggunakan isyarat verbal yang pada awalnya diajarkan oleh terapis untuk meproses informasi, untuk menjaga ketahanan mereka mengerjakan tugas, dan mengajarkan mereka bagaimana memulai tugas yang baru. Anak dengan intellectual disability menggunakan lebih sedikit kemampuan kognitif dan pasif dalam menggunakan memori serta dalam mempelajari situasi (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013). Teknik terapi yang paling berhasil dan paling luas untuk anak-anak intellectual disability adalah behavior modification. Teknik ini meliputi prinsip operant dengan mengubah perilaku yang tidak menyenangkan dengan mengubah konsekuensi spesifik yang
memperkuat mereka dan dengan penguatan baru, respon yang lebih dapat diterima secara sosial. Teknik ini telah digunakan untuk meningkatkan kesatuan yang luas dari perilaku: perilaku self-help (pergi ke toilet, makan, berpakaian), perilaku yang berorientasi pada pekerjaan (produktivitas, pengumpulan tugas), perilaku sosial (kerjasama, aktivitas kelompok), perilaku kelas non-akademis (hadir, mengambil giliran, berbicara pada waktu yang tepat), pembelajaran akademis (aritmatika, perbendaharaan kata yang terlihat), sama seperti menurunkan perilaku yang tidak diinginkan seperti perilaku mendapatkan perhatian, agresif atau perilaku melukai diri sendiri. Keuntungan yang penting adalah orangtua dapat secara aktif berpartisipasi dalam program terapi di rumah. Keluarga merupakan pusat perkembangan pada anak, namun untuk anak intellectual disability keluarga harus memberikan komitmen yang lebih untuk memperhatikan anak dari segi waktu, energi, dan keterampilan (Haugaard, 2008; Mash, & Wolfe, 2013).