Teori Penegakan Hukum Joseph Goldstein [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teori penegakan hukum Joseph Goldstein Joseph Goldstein dalam Goerge F. Cole (1975), melihat bahwa implementasi atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu ; 1). Total enforcement, 2). Full Enforcement, dan 3). Actual Enforcement. Penegakan hukum menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes), namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan hukum (Area of No Enforcement). Hampir sama dengan Total Enforcement, Full Enforcement merupakan ruang sisa dari Total Enforcement yang dikurangi oleh Area No Enforcement, merupakan ruang dimana penegak hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penegakan hukum itu sendiri. Pada Full Enforcement ini juga digunakan diskresi oleh penegak hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak terhadap kasus tersebut. Sementara Actual Enforcement adalah ruang penegakan hukum yang sesungguhnya. Orasi ilmiah Dr. Nurul Akhmad, S.H., M.Hum dalam Dies Natalies Fakultas Hukum UNNES 2009, dasar konstruksi pemikiran Joseph Goldstein di atas, memberi pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak mungkin dapat dilaksanakan secara total enforcement atau full enforcement karena pertama, secara substansial ketidakmungkinan hukum dapat menjangkau sampai pada tujuannya (ketertiban, keteraturan dan keadilan) karena adanya pengaruh dan intervensi dalam implementasinya, terutama implementasi hukum bidang politik. Kedua, adanya keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum. Ketiga, adanya intervensi atau campur tangan baik dari dalam maupun luar lembaga, terutama intervensi kekuatan kekuasaan dan politik. c. Teori Efektifitas Hukum Peranan peraturan hukum dapat menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk mewujudkan keadilan. Hukum memiliki sanksi tersendiri untuk memaksakan kehendaknya. Meski demikian posisi dan peranan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup tetap hanya sebagai sarana penunjang (Danusaputro 1985:116). Keberadaan hukum sebagai sarana penunjang akan berdayaguna bergantung pada siapa dan dengan bagaimana hukum digunakan. Sebaik dan sesempurna apapun hukum namun apabila pengguna hukum tidak mampu mengaplikasikannya dengan benar, maka hukum tersebut tidak ada gunanya. Oleh sebab itu dalam pengaturan lingkungan secara hukum dan untuk memperoleh tata pengaturannya sebaik mungkin, perlu dipatuhi sekurang-kurangnya tiga syarat, yaitu : 1) Bentuk dan isi peraturan hukum harus tepat dan jelas serta sesuai dengan syarat-syarat bagi hukum yang baik,



2) Para pelaksananya harus memiliki ketrampilan dan kemahiran yang diperlukan untuk menjamin agar pelaksanaan dapat terselenggara dengan tepat dan lancar, baik para pelaksana dibidang perumusan peraturan maupun pelaksana peraturan hukum tersebut secara nyata dalam kehidupan, 3) Cara-cara serta prosedur pelaksananya hendaknya jelas dan tegas serta mudah dimengerti, agar para pelaksana tidak akan mengalami kesalahpahaman dan keragu-raguan baik dalam tata orgaisasi maupun kewenangnya (Danusaputro 1985:116). Ketiga syarat tersebut akan menuju tata pengaturan yang baik apabila terkait dengan faktor yang baik dalam penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut menurut Soekanto (1983:5) adalah : a. Faktor hukum itu sendiri, b. Faktor penegak hukum, c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku dan diterapkan, e. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan, menurut Soerjono Soekanto (1983:3) secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa masalah yang berasal dari Undang-undang yang bisa menimbulkan gangguan terhadap penegakkan hukum, yaitu tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang digunakan untuk menerapkan Undang-undang yang dapat menimbulkan salah tafsir dan kesimpangsiuran penerapannya. Satjipto Raharjo (1983: 14) menyatakan bahwa berlakunya hukum secara lengkap melibatkan berbagai unsur, antara lain : a. Peraturannya sendiri, b. Warga negara sebagai sarana pengaturan, c. Aktivitas birokrasi pelaksana, d. Kerangka sosial politik ekonomi budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut diatas menjalankan apa yang menjadi bagiannya. Penegakan hukum apabila dikaitkan dengan hubungan sikap, nilai, dan cara warga negara memandangnya maka dengan sendirinya akan menghubungkan pada proses dan bidang-bidang di luar hukum seperti sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Hukum apabila terlalu dikaitkan pada bidang kehidupan yang lain, maka penegakan hukum sendiri akan bergeser dari sesuatu yang seharusnya menetapkan suatu kepastian menjadi subjektif dan bersifat relatif.