Teori Perkembangan Sosial Erikson [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI PERKEMBANGAN SOSIAL/PSIKOSOSIAL ERIK HOMBERGER ERIKSON Ode Yahyu Herliany Yusuf1, La Ode Abdul Salam Al Amin2 STAI YPIQ Baubau [email protected], [email protected]



Abstrak Manusia merupakan makhluk hidup yang pertumbuhan dan perkembangannya diteliti oleh banyaknya peneliti di dunia, salah satunya Erik H. Erikson yang menghasilkan teori psikososial. Erikson meyakini bahwa setiap tahapan perkembangan manusia merupakan pergulatan psikososial spesifik memberikan kontribusi bagi pertumbuhan kepribadian. Artinya bahwa tahapan-tahapan kehidupan seseorang dimulai dari lahir sampai kematian dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme, sehingga menjadikannya matang secara fisik dan psikologis. Dalam teori Erikson, ada 8 tahap perkembangan yang berkembang sepanjang kehidupan dimana tiap tahap terdiri dari Kepercayaan versus ketidakpercayaan, Otonomi versus rasa malu dan ragu–ragu, Inisiatif versus rasa bersalah, Kerja keras versus rasa inferior, Identitas versus kebingungan identitas, Keintiman versus isolasi, Generativitas versus stagnasi, dan Integritas versus keputusasaan. Kata Kunci : Teori Erikson, Perkembangan Sosial, Psikososial A. PENDAHULUAN Erik Erikson lahir pada tahun 1902 di kota Frankfurt, Jerman, dari orang tua berkebangsaan Denmark. Sebelum Erik lahir, orang tuanya berpisah dan ibunya meninggalkan Denmark untuk hidup di Jerman. Saat berumur 3 tahun, Erik sakit, dan ibunya membawanya ke dokter anak bernama dr. Homberger. Ibu Erik, yang masih muda, jatuh cinta pada dokter tersebut, menikahinya, dan mengubah nama Erik dengan nama ayah tirinya yang baru (George Boeree, 2006:4). Erik menempuh sekolah dasar dari umur 6 sampai 10 tahun dan kemudian sekolah menengah dari umur 11 hingga 18 tahun. Ia mempelajari seni dan sejumlah bahasa. Erik tidak menyukai sekolah formal, dan sikap ini tercermin dalam nilai– nilainya. Alih–alih mendaftar ke perguruan tinggi, Erikson yang masih remaja berkelana keliling Eropa menyimpan buku harian tentang pengalaman– pengalamannya. Setelah setahun, ia kembali ke Jerman dan mendaftar ke sekolah seni, merasa tidak puas, dan mendaftar ke sekolah lain. Kemudian ia bepergian ke Florence, Italia. Dia sedang melewati fase yang sekarang disebut moratorium, sebuah periode di mana anak muda berusaha menemukan jati diri dengan caranya sendiri. tingkah laku tersebut dianggap lumrah oleh anak-anak Jerman kala itu. Menurut psikiater Robert Coles, bagi penduduk Italia, Erikson adalah “pendatang dari negara Skandinavia yang muda, tinggi, kurus dengan rambut pirang panjang”, sedang bagi keluarga dan teman– temannya, ia adalah “seniman pengelana yang mencoba menghadapi dirinya sendiri”. Pada usia 25 tahun, Erikson mulai mengajar anak-anak di sekolah baru di Wina yang didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Kemudia dua tahun kemudian, Erikson meninggalkan Eropa tepatnya tahun 1933 dan menetap di Boston, menjadi analis anak pertama di kota tersebut. Dorongan untuk berkelana nampaknya tertanam kokoh dalam diri Erikson. Pindah lagi ke kota-kota lainnya dan berujung di Harvard sampai ajal menjemputnya. Di Harvard lah Erikson mendapat gelar profesor 58 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



pada tahun 1960, padahal tidak pernah memperoleh gelar formal sebelumnya, bahkan diploma sekalipun. Karya terpenting Erikson adalah Childhood and Society. Dibuku tersebut memetakan delapan tahap kehidupan dan menunjukkan bagaimana tahap-tahap tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda di dalam budaya yang berbeda-beda pula. Maka dari itu, Erikson dikenal dengan teorinya tersebut, yakni teori perkembangan identitas. Erikson mengatakan bahwa kita berkembang dalam tahap psikosoisal, daripada dalam tahap psikoseksual seperti yang dinyatakan oleh teori Sigmund Freud. Bagi Freud, motivasi utama perilaku manusia bersifat seksual secara alami, bagi Erikson motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan suatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. 1. Tahap-tahap Perkembangan Sosial/Psikososial Erik Erikson Teori Erikson (Dunkel & Sefcek, 2009:13) tentang pengembangan psikososial didasarkan pada prinsip epigenetik, yang menyatakan bahwa perkembangan terkuak dalam berbagai tahapan yang telah ditentukan, bahwa ada waktu yang optimal untuk peningkatan tahap, dan bahwa resolusi tahap awal sangat memengaruhi hasil tahap selanjutnya. Berdasarkan prinsip ini, Erikson (1950) mengemukakan bahwa ada delapan tahap atau krisis psikis dan mereka menjadi yang paling menonjol pada waktu yang berbeda sepanjang masa hidup. Tahap– tahap perkembangan tersebut adalah: a. Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust): masa bayi (tahun pertama) Rasa percaya melibatkan rasa nyaman secara fisik dan tidak ada takut atau kecemasan akan masa depan. Rasa percaya yang dirasakan bayi akan menjadi fondasi kepercayaan sepanjang hidup bahwa dunia akan menjadi tempat yang baik dan menyenangkan untuk ditinggali. Kepercayaan pada bayi tumbuh ketika mereka memahami bahwa orang tua/pengasuh layak untuk mereka percayai dan mereka juga membangun kepercayaan bahwa dirinya juga mampu untuk dipercayai orang lain. Hal ini tercermin ketika orang tua/pengasuh menghilang dari pandangannya, mereka tidak cemas atau marah yang tidak perlu karena bayi percaya dan bisa mentolerir ketidakhadiran orang tua/pengasuh. Berbeda dengan bayi yang menganggap orang tua/pengasuhnya tidak bisa diandalkan dan si bayi tidak percaya dirinya sendiri ketika ditinggalkan, mereka cenderung cemas dan terserang panik bila memaksa pergi juga. Erikson bayi juga harus mengalami rasa tidak percaya tertentu agar mereka bisa belajar percaya lewat kepekaan dan ketepatan (Dunkel&Sefcek, 2009: Namun adalah krusial bagi bayi yang bisa keluar dari tahapan ini dengan keseimbangan rasa percaya lebih dari rasa tidak percaya. Karena jika mereka berhasil melakukannya, maka mereka akan mengembangkan kekuatan inti ego pada periode ini: harapan. Harapan adalah sebuah ekspektasi yang sekalipun terdapat rasa frustasi, marah atau kecewa, hal–hal yang baik tetap akan terjadi di masa depan. Harapan akan memampukan anak bergerak maju ke dunia luar, menyambut tantangan–tantangan baru (Erikson, 1982, hal.60). b. Otonomi versus rasa malu dan ragu–ragu (autonomy versus doubt and shame): masa bayi (1-3 tahun) Setelah mendapatkan rasa percaya pengasuh bayi mulai mengetahui bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan kemandirian mereka, atau disebut otonomi. Mereka menyadari keinginan 59 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



mereka. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri- mengontrol otot perut mereka sendiri, berdiri di atas kaki mereka sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan ragu– ragu sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia. Jika anak terlalu dibatasi atau dihukum dengan keras, mereka mungkin memunculkan rasa malu dan ragu–ragu. Harapan idealnya anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturanaturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi. Bagi anak yang sanggup menyelesaikan krisis ini dengan positif, yaitu menyeimbangkan rasio otonomi lebih dari rasa malu dan ragu–ragu, maka mereka mengembangkan kekuatan ego dalm bentuk kehendak yang kokoh. Kehendak adalah kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih pilihan bebas dan pengendalian diri (Erikson, 1964: hal.119). c. Inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt): masa kanak–kanak awal/prasekolah (3-5 tahun) Begitu anak memasuki usia pra sekolah, anak mulai memasuki dunia sosial yang lebih kompleks yang meminta anak untuk memikirkan tanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka. Mengembangkan rasa tanggung jawab meningkatkan inisiatif. Anak memiliki inisiatif hal–hal apa saja yang mau dan dapat mereka lakukan, termasuk rencana–rencana dan harapan–harapan. Namun kemudian, mereka dihadapkan pada larangan–larangan sosial. Rasa bersalah yang tidak nyaman muncul jika anak tidak bertanggung jawab dan dibuat cemas. Karena inilah maka anak mengembangkan kemampuan pengendalian diri agar inisiatifnya dapat tatap diterima demi menjaga impuls dan fantasi berbahaya tetap terkendali. Erikson memiliki pandangan positif terhadap tahap ini bahwa sebagian besar rasa bersalah dengan cepat digantikan oleh rasa ingin berprestasi. Orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan “keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan–tujuan yang bernilai yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan (1964, hal.122) d. Kerja keras versus rasa inferior (industry versus inferiority): masa kanak–kanak tengah dan akhir (usia SD 6 tahun–remaja) Inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak pengalaman baru. Saat mereka berpindah ke masa kanak–kanak tengah dan akhir, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Anak lebih aktif belajar, namun dapat memunculkan rasa inferior–merasa tidak kompeten dan tidak produktif. Erikson percaya bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan keaktifan anak. Guru harus “dengan lembut tetapi tegas mengajak anak ke dalam petualangan menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya” (Erikson, 1968, hal.127) e. Identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion): masa remaja (10–20 tahun) Pada masa ini individu dihadapkan pada penemuan diri, tentang siapa mereka sebenarnya, kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini, banyak peran baru dan status kedewasaan–pekerjaan dan cinta misalnya. Orang tua perlu 60 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



mengiinkan remaja untuk menjelajahi peran–peran tersebut dan jalan yang berbeda–beda di setiap peran. Jika remaja menjelajahi peran tersebut dengancara yang baik, dan sampai pada jalan positif untuk diikuti dalam hidup, maka identitas positif akan tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan pada remaja oleh orang tua, jika remaja tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika di masa depan yang positif belum jelas, maka terjadilah kebingungan identitas. f. Keintiman versus isolasi (intimacy versus isolation): masa dewasa awal (20-an, 30-an) Pada masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yaitu membentuk hubungan akrab dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai menemukan jati diri dan sekaligus kehilangan diri dalam diri orang lain. Jika para dewasa muda membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan akrab dengan orang lain, keintiman akan tercapai, jika tidak, akibatnya adalah isolasi diri. Isolasi diri merupakan bahaya yang bisa terjadi pada tahap ini. Di psikopatologi, gangguan ini dapat menyebabkan “masalahmasalah karakter” berat. Orang dewasa muda, yang lahir dari pencarian dan insistensi identitas, sangat berhasrat dan ingin meleburkan identitasnya dengan identitas orang lain. Ia siap untuk intimasi, artinya kapasitas untuk mengkomitmenkan dirinya pada afiliasi-afiliasi dan partner konkret dan untuk mengembangkan kekuatan etis untuk ditaati oleh komitmen-komitmen tersebut meskipun mereka mungkin membutuhkan berbagai pengorbanan dan kompromi. Sebaliknya dari intimasi adalah penjauhan atau isolasi, artinya kesiapan untuk mengasingkan diri dan, bila perlu, merusak kekuatan-kekuatan dan orang-orang yang esensinya tampak berbahaya bagi eksistensi orang yang bersangkutan. Penelitian yang dilakukan oleh Christiansen dan Palkovitz (1998:1) bahwa identitas ayah adalah prediktor yang baik dari generativitas memberikan dukungan untuk proposisi penggabungan peran-orang, di mana investasi seseorang dalam suatu peran dapat memengaruhi perkembangan. Yang artinya, ayah sangat berperan penting dalam hubungan anak dalam menghadapi masa depan, kurang kepedulian anak mampu membuat anak mengisolasi dirinya sendiri. g. Generativitas versus stagnasi: masa dewasa tengah (40-an , 50-an) Pada tahap ini kepedulian utamanya adalah membantu generasi yang lebih muda dalam mengembangkan dan mengarahkan kehidupan menjadi berguna, ini yang disebut generativitas. Perasaan bahwa dirinya tidak berbuat apa–apa untuk membantu generasi mendatang disebut stagnasi. Jadi, generativitas terutama adalah perhatian dalam membentuk dan membimbing generasi berikutnya, meskipun ada individu-individu, yang melalui kemalangan atau akibat bakat khusus dan tulennya diarah yang lain, tidak menerapkan dorongan ini kepada keturunannya sendiri. Generativitas adalah salah satu tahap yang esensial di dalam psikoseksual maupun daftar psikososial. h. Integritas versus keputusasaan (integrity versus despair): masa dewasa akhir (60 tahun ke atas) Dalam tahap ini, seseorang bercermin pada masa lalu dan menyimpulkan bahwa ia telah menjalani hidup dengan baik, atau sebaliknya menyimpulkan bahwa hidupnya belum dimanfaatkan dengan baik. Dengan banyak cara, orang berusia lanjut dapat mengembangkan pandangan positif pada tahap–tahap perkembangan sebelumnya. Jika demikian, kilasan retrospektifnya akan memunculkan gambar kehidupan yang dapat dimanfaatkan dengan baik, dan orang tersebut akan merasakan kepuasan–integritas dapat tercapai. Jika orang 61 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



berusia lanjut membentuk setiap tahap perkembangan sebelumnya secara negatif, kilasan retrospektifnya mungkin akan memunculkan keraguan atau kegelapan–keputusasaan yang dimaksud Erikson. Erikson tidak percaya bahwa solusi yang baik bagi krisis tahapan seluruhnya selalu positif. Beberapa kontak atau komitmen dengan sisi negatif krisis tersebut kadang tidak dapat dihindari. Anda tidak dapat mempercayai semua orang di bawah situasi apa pun dan kemudian bertahan hidup, misalnya. Di sisi lain, dalam solusi sehat terhadap krisis tahapan, jawaban positif mendominasi. Kegagalan untuk berhasil menyelesaikan suatu tahap dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan tahap lebih lanjut dan karena itu kepribadian dan rasa diri yang lebih tidak sehat. Namun, tahap-tahap ini dapat diselesaikan dengan sukses di lain waktu. Menurut teori tersebut, keberhasilan penyelesaian setiap tahap menghasilkan kepribadian yang sehat dan perolehan kebajikan dasar. Keutamaan dasar adalah kekuatan karakteristik yang dapat digunakan ego untuk menyelesaikan krisis selanjutnya.



2. Perubahan dalam Masa Perkembangan Bagi Erikson (1958, 1963), krisis-krisis ini bersifat psikososial karena melibatkan kebutuhan psikologis individu (mis., psiko) yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat (mis., sosial). Menurut teori tersebut, keberhasilan penyelesaian setiap tahap menghasilkan kepribadian yang sehat dan perolehan kebajikan dasar. Keutamaan dasar adalah kekuatan karakteristik yang dapat digunakan ego untuk menyelesaikan krisis selanjutnya. Hal yang terpenting dalam perkembangan identitas pada masa remaja terutama masa remaja akhir adalah bahwa anak pertama kalinya perubahan yang Nampak adalah fisik, kognitif, dan emosional. Sampai pada satu titik dimana individu dapat memilah-milah dan mensistesiskan identitas dan identifikasi kanakkanak untuk mengkonstruk jalur yang dapat di gunakan untuk mencapai kedewasaan sehingga mampu mengambil keputusan. Meskipun begitu selama masa remaja ini akan membentuk inti dari individu tersebut sebagai manusia yang biasa disebut dengan identitasnya. Ada 4 status identitas menurut teori Erikson (Santrock, 2007:71) yaitu: a. Identity Diffusion, individu yang belum mengalami krisis dan belum membuat komitmen. Belum ada keputusan mengenai pilihan pekerjaan atau ideologis, namun tidak menunjukkan minat terhadap masalah tersebut. b. Identity Foreclosure, individu yang sudah membuat komitmen, tetatpi belum mengalami krisis. Hal ini paling sering terjadi ketika orangtua memaksa komitmen tertentu pada anak remaja, biasanya dengan cara otoriter, sebelum remaja memiliki kesempatan mengeksplorasi berbagai pendekatan ideology atau karir. c. Identity Moratorium, individu yang tengah berada pada masa krisis tetapi belum memiliki komitmen, atau kalaupun adamasih sangat kabur. d. Identity Achievement, individu yang sudah melaluikrisi dan sudah sampai pada sebuah komitmen



62 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



Dapat dilihat pada tabel berikut : Table 1 : Status Identitas



Apakah individu sudah mengeksplorasi alternative yang penting mengenai pertanyaan identitas



Ya



Tidak



Apakah individu sudah membuat komitmen? Ya Tidak Identity Identity Achievement Foreclosure



Identity Foreclosure



Identity Diffusion



Masing-masing tahap memiliki landasan biologis dalam pematangan fisik dan perkembangan kognitif individu. Demikian pula, masing-masing tahapan psikososial Erikson dibangun di atas yang lain, sebagai resolusi terhadap krisis psikososial tertentu, dan, karenanya, seimbang secara positif. Remaja yang belum sukses dalam dalam menghadapi krisis iniakan mengalami identity confussion. Kebingungan ini mengakibatkan individu akan menarik diri, dan mengisolasi diri dari teman dan keluarga B. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas tentang teori Eric Erikson bahwa ada 8 tahapan social/psikososial yang akan dihadapi oleh manusia yaitu Kepercayaan versus ketidakpercayaan, Otonomi versus rasa malu dan ragu–ragu, Inisiatif versus rasa bersalah, Kerja keras versus rasa inferior, Identitas versus kebingungan identitas, Keintiman versus isolasi, Generativitas versus stagnasi, dan Integritas versus keputusasaan. Yang sejatinya jika melewati tahap-tahap tersebut maka akan terjadi kepincangan dalam hidup yang mengakibatkan terlambatnya suatu perkembangan seorang anak. Erikson juga membagi status identitas menjadi empat bagian, antara lain Identity Diffusion, Identity Foreclosure, Identity Foreclosure, dan Identity Achievement. Empat tahap ini melihat dan sekaligus menilai sikap para remaja dalam mengambil keputusan. Anak yang mampu menghadapi konflik identitas ini akan muncul dengan pribadi yang baru, yang fresh, dan dapat diterima., dan sebaliknya jika anak tidak mampu melewati fase ini maka anak akan menarik diri atau mengisolasi dirinya dari lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Boeree George. 2006. Personality Theory Erik Erikson (1902-1994). Psychology Department Shippensburg University. www.social-psychology Crain, William. 2014. Teori Perkembangan. (Terjemahan Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Christiansen Shawn L., Palkovitz Rob. Exploring Erikson's Psychosocial Theory of Development: Generativity and its Relationship to Paternal Identity, Intimacy, and Involvement in Childcare. Volume: 7 issue: 1, page(s): 133-156. Issue published: October 1, 1998 63 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020



Dunkel Curtis S., Sefcek Jon A.. Eriksonian Lifespan Theory and Life History Theory: An Integration Using the Example of Identity Formation. Review of General Psychology, American Psychological Association. 2009, Vol. 13, No. 1, 13–23 Erikson, Erik H. 2010. Chilhood and Society. (Terjemahan Helly Prajitno & Sri Mulyantini Soedjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santrock. 2007. Perkebangan AnakEd11 (Jilid 2). Erlangga : Jakarta



64 JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020