Teori Test Klasik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



Dewasa ini ada dua macam teori tentang pengukuran, yakni Teori Tes Klasik dan Teori Tes Modern (Suryabrata, 2005) di dalam buku Azwar (2007) menambahakan Teori Skor Murni Kuat, teori ini mirip dengan Teori Tes Klasik mengenai nilai harapan skor tampak yang merupakan skor murni, akan tetapi dalam Teori Skor Murni Kuat terdapat asumsi-asumsi tambahan mengenai probabilitas skor tampak yang diperoleh seorang subjek yang merupakan skor murni tertentu sehingga kelayakkan Teori Skor Murni Kuat dapat diuji.



Universitas Sumatera Utara



Teori Tes Klasik disebut juga dengan Classical True-Score Theory, dinamakan Teori Tes Klasik karena unsur-unsur teori ini sudah dikembangkan dan diaplikasikan sejak lama, namun tetap bertahan hingga sekarang (Suryabrata, 2005). Teori Tes Modern disebut juga dengan Latent-Trait Theory karena teori ini berasumsi bahwa performansi subjek dalam mengerjakan suatu tes dapat diprediksi dari kemampuannya yang bersifat laten atau menetap. Teori Tes Modern juga sering disebut dengan Item Response Theory, artinya respon subjek terhadap suatu aitem menunjukkan kemampuan kognitifnya. Teori Tes Modern muncul untuk menjawab keterbatasan dari Teori Tes Klasik yakni, parameter dalam Teori Tes Klasik merupakan karakteristik aitem tergantung pada kelompok sampel yang digunakan untuk menghitungnya selain itu Teori Tes Klasik juga memerlukan kesetaraan eror pengukuran bagi semua subjek yang dikenai tes, definisi paralel dalam Teori Tes Klasik juga sangat sulit untuk dipenuhi dalam prakteknya, dengan hadirnya Teori Tes Modern dapat menjawab semua keterbatasan ini, namun perlu diingat bahwa Teori Tes Modern ini tidak praktis, dari semua keterbatasan Teori Tes Klasik tersebut perlu dilihat juga kelebihan dari Teori Tes Klasik yakni, Teori Tes Klasik telah dikembangkan sejak dulu sehingga telah berhasil dalam meletakkan konsep-konsep dasar pengukuran, selain itu Teori Tes Klasik juga memiliki nilai praktis yang tinggi sehingga dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan Teori Tes Klasik dalam proses analisis yang dilakukan.



Universitas Sumatera Utara



A. Teori Tes Klasik 1. Pengertian Teori Tes Klasik Teori Tes klasik berkembang sedikit demi sedikit melalui unsur-unsur yang kemudian secara akumulatif merupakan bangunan teori yang utuh. Inti Teori Tes Klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu yang lama. Skor tampak disimbolkan dengan huruf X merupakan nilai performansi individu pada alat tes yang dinyatakan dalam bentuk angka, skor murni yang dilambangkan dengan huruf T merupakan performansi individu sesungguhnya yang tidak pernah dapat kita ketahui besarnya karena tidak dapat diungkap secara lansung oleh alat tes, dan eror pengukuran yang diberi simbol huruf E (Azwar, 2005).



2. Asumsi-Asumsi dalam Teori Tes Klasik Allen & Yen (dalam Azwar, 2005) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut: a. Asumsi 1 X=T+E



(1)



Asumsi ini menjelaskan bahwa sifat aditif berlaku pada hubungan antara skor tampak, skor muni, dan eror. Skor tampak (X) merupakan jumlah skor murni (T) dan eror (E), jadi besar skor tampak akan tergantung oleh besarnya eror pengukuran, sedangkan besarnya skor murni individu pada setiap pengukuran yang sama diasumsikan selalu tetap. b. Asumsi 2:



Universitas Sumatera Utara



ε(X) = T



(2)



Asumsi ini menyatakan bahwa skor murni merupakan nilai harapan dari skor tampaknya, jadi T merupakan harga rata-rata distribusi teoretik skor tampak apabila orang yang sama dikenai tes yang sama berulang kali dengan asumsi pengulangan tes itu dilakukan tidak terbatas banyaknya dan setiap pengulangan tes adalah tidak bergantung satu sama lain. c. Asumsi 3: =0



(3)



Asumsi ini menyatakan bahwa bagi populasi subjek yang dikenai tes, distribusi eror pengukuran dan distribusi skor murni tidak berkorelasi. Implikasinya, skor murni yang tinggi tidak selalu berarti mengandung eror yang selalu positif ataupun selalu negatif. d. Asumsi 4: =0



(4)



Bila E1 melambangkan eror pada pengukuran atau tes pertama dan E 2 melambangkan eror pada tes yang kedua maka asumsi ini menyatakan bahwa eror pengukuran pada dua tes yang berbeda, yaitu E 1 dan E2 tidak berkorelasi satu sama lain. e. Asumsi 5 =0



(5)



Universitas Sumatera Utara



Asumsi ini menyatakan bahwa eror pada suatu tes (E 1) tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes lain (T2). Asumsi ini tidak dapat bertahan apabila tes yang kedua mengukur aspek yang mempengaruhi eror pada pengukuran yang pertama. Selain dua asumsi yang telah disebutkan, dalam buku Suryabrata (2005) menuliskan dua asumsi sebagai berikut: f. Asumsi 6 Asumsi ini menyatakan jika ada dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur atribut yang sama mempunyai skor tampak X dan X’ yang memenuhi asumsi 1 sampai 5, dan jika untuk setiap populasi subjek T = T’ serta varians eror kedua tes tersebut sama, kedua tes tersebut disebut sebagai tes yang paralel. g. Asumsi 7 Asumsi ini menyatakan jika ada dua tes yang dimaksudkan untuk mengukur atribut yang sama mempunyai skor tampak X dan X’ yang memenuhi asumsi 1 sampai 5, dan jika untuk setiap populasi subjek T1 = T2 + C, dengan C sebagai suatu bilangan konstan, maka kedua tes tersebut dapat disebut sebagai tes yang setara (equivalent test). Asumsi-asumsi teori klasik sebagaimana disebutkan di atas memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan pengukuran psikologis. Indeks daya beda, indeks kesukaran, efektivitas distraktor, reliabilitas dan validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik.



Universitas Sumatera Utara



B. Analisis Karakteristik Psikometri Alat tes yang efektif dan bermanfaat tergantung kepada kualitas aitem yang terdapat di dalam alat tes tersebut (Kumar, 2009). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Anwar (2006) bahwa kualitas tes bergantung kepada kualitas aitem yang menyusunnya yang dapat diketahui melalui beberapa parameter diantaranya adalah, taraf kesukaran aitem, daya pembeda aitem dan untuk tes objektif jawaban selain kunci haruslah dapat berfungsi secara efektif (efektivitas distraktor). 1. Indeks Kesukaran Aitem a. Pengertian Indeks Kesukaran Aitem Indeks kesukaran aitem adalah proporsi jumlah subjek yang menjawab benar pada suatu aitem berbanding jumlah subjek yang menjawab pada aitem tersebut (Azwar, 2007). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Tate (dalam Kumar, 2009) indeks kesukaran aitem dapat diukur dengan mengetahui proporsi jumlah subjek yang menjawab aitem dengan benar dengan jumlah subjek yang menjawab aitem tersebut. Berdasarkan dari pengertian ini dapat dilihat bahwa indeks kesukaran aitem sama dengan nilai rata-rata subjek dalam kelompok. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Suryabrata (2005) bahwa presentase subjek yang menjawab benar suatu aitem itu sama dengan nilai rata-rata kelompok subjek yang dites, karena itu indeks kesukaran aitem sering juga disebut indeks kesukaran rata-rata. Indeks kesukaran aitem ditentukan oleh seberapa banyak peserta tes berhasil menjawab aitem dengan benar. Semakin banyak peserta tes menjawab dengan benar,



Universitas Sumatera Utara



semakin mudah aitem tersebut. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit peserta menjawab dengan benar, maka semakin sulit aitem tersebut. Indeks kesukaran aitem disimbolkan dengan p. Rumusan ini dituangkan dalam formula. p=



(6)



Keterangan: p = Indeks kesukaran aitem ni = Banyak peserta tes yang menjawab benar N = Banyak peserta tes yang menjawab aitem Indeks kesukaran aitem dapat membantu dalam menyusun aitem, aitem mana yang harus diletakkan di awal, di tengah hingga di akhir (Kumar, 2009). Pernyataan ini didukung oleh Murphy & Davidshofer (2003) disarankan untuk menyusun aitemaitem dalam tes secara sistematis, dengan menempatkan aitem-aitem berdasarkan tingkat kesukarannya, mulai dari aitem yang paling mudah hingga yang paling sulit. Sehingga pola penyusunan aitem-aitem dalam tes dimulai dari aitem dengan harga p yang paling tinggi hingga aitem dengan harga p yang paling rendah (Murphy & Davidshofer, 2003). b. Analisis Indeks Kesukaran Aitem Tes disusun bertujuan untuk melihat perbedaan individu sehingga jika tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan dengan benar, dalam artian soal sangat susah (p = 0) bahkan sebaliknya jika soal sangat mudah sehingga semua dapat menjawab pertanyaan dengan benar (p = 1) tentu tujuan alat tes tidak dapat dipenuhi (Murphy & Davidshofer, 2003).



Universitas Sumatera Utara



Menurut Azwar (2005), tingkat kesukaran yang terbaik bergantung pada tujuan dari tes tersebut, untuk tes prestasi yang bertujuan untuk evaluasi formatif misalnya, tidak jarang diperlukan aitem-aitem yang mudah atau aitem-aitem dengan harga p tinggi, namun demikian untuk tes yang bertujuan untuk proses seleksi masuk, terlebih dalam tes masuk yang bertujuan untuk proses pendidikan, harus diusahakan tes yang memiliki harga p yang rendah atau aitem yang sulit, sehingga individu yang dinyatakan lulus selanjutnya adalah individu yang benar-benar menguasai serta mampu untuk mengikuti proses pendidikan selanjutnya (Suryabrata, 2005). Tabel 1. Kategorisasi Batasan Nilai p No 1 2 3



P P