The King's Bride [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

                                   



Setelah bertahun-tahun mendekam di penjara bawah tanah Kerajaan Selencia, Verity akhirnya diberikan kesempatan bebas dengan syarat harus berpura-pura menjadi Putri Clementine Selencia, pengantin Raja Alastair Austmarr yang tidak pernah terlihat sebelumnya.  



Berbekal sebilah belati dan misi membunuh Raja Alastair, Verity pun pergi menuju Austmarr untuk menikahi sang Raja yang terkenal tak punya hati. Namun, semua di luar dugaan. Di tengah kekalutan, Verity perlahan mengungkap sesuatu yang telah terkubur sekian tahun, termasuk siapa jati dirinya.  



Dapatkah Verity meraih kebebasan dan mengungkap siapa ia sebenarnya?        



Inkarnate Map and Family Tree  



Map of Inkarnate - The Five Kingdom  



   



House of Austmarr  



House of Selencia  



 



House of Colthas  



 



House of Raria  



House of Thaurin  



House of Dragør



Status: Destroyed



Prolog



 



Dia Harus Membunuh sang raja sekarang. Verity menelan ludah dengan susah payah, tangannya gemetar ketika mengambil belati bertatah permata yang diberikan Ratu Amaranta. Ia akan membunuh Raja Alastair dan meraih kebebasan. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikat dan memaksanya menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli



bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang selama ini menjadi pemimpin utama.  



Verity menggenggam belati lebih erat, ia hanya perlu menusuk jantung raja yang tengah terlelap. Kebebasannya sudah depan mata. Verity menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu menancapkan belati di dada raja.  



"Bukan begitu caramu memegang belatinya, Ratuku." Mata Verity membelalak kaget melihat sang raja sudah memegang tangannya yang gemetaran.  



"Begini caranya." Raja Alastair menekan tangan Verity, menancapkan belati semakin dalam ke dadanya. "Kau bukan pembunuh handal seperti yang mereka kirimkan sebelumsebelumnya."  



Verity melepaskan genggaman dari belati secara tiba-tiba. la harus lari secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa ia sebenarnya. Sayangnya ia memang bukan pembunuh andal, hanya seorang budak yang diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar menjadi putri dan membunuh pemimpin Kerajaan Austmarr. Raja Alastair lebih gesit. Ia meraih pinggang Verity dan membantingnya ke kasur. Belati yang tadinya menancap di dada, kini berada di leher Verity.  



"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang menyebar di pakaian Raja Alastair. Bagaimana mungkin sang raja tidak mati? Verity yakin sudah menancapkan belati cukup dalam, bahkan sang raja sendiri membantu dengan menancapkan belati lebih dalam lagi.  



"Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair menyelidik.  



Verity mengatupkan bibir, tidak peduli apa yang akan terjadi berikutnya. Pria yang baru ia nikahi ini akan memberi hukuman mati karena melakukan



percobaan pembunuhan, ditambah Ratu Amaranta akan membunuhnya karena gagal melaksanakan tugas.  



"Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu, Clementine? Apakah itu benar-benar namamu? Siapa namamu yang sebenarnya?"              



I THE QUEEN  



Verity Menatap Jeruji besi, menunggu seseorang datang membawakan makanan. Sudah tiga hari terakhir ia tidak diberi makan sedikit pun. Demi mengurangi rasa lapar, ia meminum air hujan yang berhasil masuk melalui celah jendela.  



Ratu Amaranta selalu mempunyai cara dalam menghukum. Membiarkan kelaparan hingga di ambang kematian bukan lagi hal baru bagi Verity. Ratu Amaranta mungkin suka menyiksa, tapi wanita itu mempunyai satu prinsip yang tidak pernah dilanggar, yakni selalu memastikan kalau Verity tidak akan memiliki bekas luka dari setiap hukuman. Bukan karena siksaannya tidak seberapa, melainkan selalu ada tabib yang mengobati Verity. Verity tidak tahu alasan jelas di baliknya, satu-satunya yang terpikir hanyalah karena Ratu Amaranta tidak ingin terlihat seperti ratu sadis nan keji dari Selencia.  



Verity bukan satu-satunya penghuni di penjara bawah tanah kerajaan Selencia, tapi ialah yang bertahan hingga satu dekade lamanya. Ratu Amaranta memberikan sebuah perlakuan spesial yang lebih mirip siksaan. Ratu Amaranta mengajarinya membaca dan menulis lewat utusan setiap hari, juga siksaan di saat bersamaan. Verity ingat pertama kali masuk ke kerajaan saat baru berusia delapan tahun. la bersembunyi di salah satu kereta yang membawa makanan, hendak mencuri satu atau dua potong roti untuk dirinya yang kelaparan.  



Namun, malang baginya. Tidak ada satu pun pencuri yang selamat dari sang ratu. Verity menerima lima cambukan sebelum Ratu Amaranta datang dan menghentikan hukuman. Untuk sesaat Verity mengira kalau wanita cantik itu akan menyelamatkannya, ternyata Ratu Amaranta mengurungnya di penjara bawah tanah.  



Verity menghentikan lamunan ketika mendengar deritan pintu besi. Seorang sipir penjara menatapnya bosan.  



"Di mana makananku?" Tidak ada satu pun makanan yang dibawa si sipir.  



"Ratu Amaranta memanggilmu, Tikus Kecil." Sipir itu menarik tangan Verity dan memaksanya berjalan cepat ke tempat di mana sekelompok pelayan wanita menunggu. "Kuharap kali ini Ratu Amaranta benar-benar membunuhmu." Ia mendecih kesal dan berlalu pergi.  



"Kau harus mandi." Maisie, ketua pelayansekaliguswanita tertua di kelompok, menatap jijik Verity.  



Verity menghidu aroma tubuhnya. la memang tidak pernah mandi kecuali saat Ratu Amaranta memanggil. Bila saat itu tiba, maka ia harus dimandikan dengan bersih bahkan mengenakan pakaian terbaik seperti gaun biru tua yang dikenakan, yang kini sudah kehilangan warna.  



"Ratu Amaranta sudah menunggumu di ruang makan."  



Verity berjalan tidak nyaman akibat sepatu yang dikenakan. Rambutnya dicuci bersih sampai tidak lagi berbau seperti kotoran kuda, kemudian dipotong lebih pendek oleh Maisie. Salah satu pelayan lain berusaha menjalin rambut hitam Verity agar terlihat lebih rapi.  



Verity mendekati Ratu Amaranta yang duduk di kursi paling ujung meja makan. Wanita itu tidak mendongakkan kepala atau berusaha menatap ketika seseorang mengumumkan kedatangan Verity. Verity memperhatikan setiap tingkah Ratu Amaranta yang tengah menikmati kue dengan anggun, membuat perutnya semakin terasa nyeri karena menahan lapar.  



"Rat," Ratu Amaranta mendesis ketika Verity mendekat dan berhenti di kursi sebelah kanannya, menunggu dipersilakan duduk.  



"Silakan," Verity akhirnya menarik kursi, lalu duduk.  



Salah satu peraturan kerajaan adalah dilarang keras menatap anggota kerajaan, tetapi ini bukan lagi hal yang ditakutkan Verity. Ketika Ratu Amaranta mempersilakan duduk, Verity segera ambil kesempatan untuk melihat sang ratu dari dekat. Wajah Ratu Amaranta tidak berubah sedetik pun sejak sepuluh tahun lalu, ia masih cantik dengan aura aristokrat nan anggun. Mahkota emas berhias berlian dan rubi duduk manis di kepala, sementara rambut keemasan miliknya dikepang dengan jalinan rumit.  



"Lancang!" Sang Ratu menampar pipi Verity ketika keduanya bertatapan. Ratu Amaranta memiliki semua karakteristik warga Selencia: rambut pirang keemasan, kulit seputih salju, juga tubuh ramping. Semuanya, kecuali mata sang ratu yang tidak berwarna biru seperti warga Selencia lainnya, ia memiliki mata ungu violet seperti Verity.  



"Maafkan Hamba, Yang Mulia." Verity menyebutkannya dengan nada mencemooh, mencobaperuntungan. Bila ia beruntung, Ratu Amaranta mungkin akan membunuhnya saat itu juga.  



"Beraninya kau menatapku! Seorang narapidana sepertimu!" Ratu Amaranta berusaha kembali tenang dengan mengatur napas. la meraih dagu Verity, lalu menatap jeli setiap inci wajah gadis di depannya. Kali ini Verity menghindari tatapan Ratu Amaranta.  



"Sudah berapa lama kau berada di bawah perlindunganku?" Mungkin lebih tepatnya, di bawah tiranimu. Verity berbicara dalam hati, lalu menyuarkan dengan tenang. "Sepuluh tahun, Yang Mulia."  



"Berapa umurmu sekarang?" Ratu Amaranta kembali bertanya sembari melepaskan cengkraman dari dagu Verity. la kemudian terlihat berpikir.  



"Delapan belas tahun, Yang Mulia."  



Seorang pelayan datang menghampiri dan meletakkan secangkir teh di hadapan Verity.  



"Bagus. Sekarang minum ini!" Verity menatap cairan cokelat pekat di hadapan, Ratu Amaranta menyuruhnya minum teh tersebut, dan meskipun perutnya berteriak nyeri minta diisi, sebuah perasaan tak enak melingkupi hati. Ini bukan kali pertama Ratu Amaranta memberikan racun berdosis kecil yang membuatnya sangat tersiksa hingga memohon untuk mati saat itu juga. Sayangnya, penyiksaan seperti inilah yang paling disukai sang ratu.  



"Minum sekarang!"  



Verity mengambil cangkir, lalu menyesap teh sedikit. Rasa lega memenuhi hati, tetapi segera hilang tergantikan sesal. Rasa panas seumpama api mulai



membakar tenggorokan. Ratu Amaranta lagi-lagi meracuninya. Kali ini Verity memilih diam dan tidak mengucap sepatah kata pun, apalagi memohon kepada sang ratu untuk membunuhnya. Racun itu menyiksa, membuat paru-parunya panas membara seperti akan meledak. Verity terbatuk, segumpal darah keluar dari mulutnya. Sebelum kesadaran benar-benar hilang, Verity melihat senyuman sinis terpasang di bibir sang ratu.  



"Kau benar-benar naif, Tikus Kecil.  



"Tuan Putri!"  



Verity bangun dengan kepala yang berdentum hebat. Perutnya terasa perih dan mual luar biasa, matanya berkunangkunang ketika berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Cahaya. Verity diam sejenak. Ratu Amaranta tidak mengembalikannya ke penjara bawah tanah yang selalu minim cahaya.  



"Tuan Putri! Apa Anda baik-baik saja?"  



Rasa mual itu kembali. Verity memiringkan tubuh, lalu memuntahkan cairan bening ke wadah yang disediakan seseorang.  



"Dia membutuhkan istirahat." Verity mendongakkan kepala, melihat sesosok tabib mendekat dan menempelkan tangannya ke dahi Verity. "Ia hanya membutuhkan makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan kesehatannya."  



"Baiklah, Tabib." Punggung Verity menegak ketika mendengar suara kepala pelayan wanita, Maisie.  



Wanita itu berjalan mendekati Verity setelah tabib pergi meninggalkan ruangan, lantas berdeham keras. "Tuan Putri Clementine membutuhkan



istirahat, pergilah kalian!"  



Para pelayan yang tadinya berkerumun di sekitar Verity segera mengangguk dan pergi.  



"Apa yang terjadi?" Verity mendesis marah kepada Maisie.  



"Tutup mulutmu, Tikus Kecil!" Maisie menampar keras pipi Verity. "Diamlah! Sebelum Ratu Amaranta menyelipkan racun lagi di minumanmu. Kali ini aku sendiri yang akan memastikan kalau kau tidak akan selamat. Siksaanmu akan begitu panjang dan lama!"  



Verity menatap Maisie nyalang. "Bagaimana bisa aku berakhir sebagai Putri Clementine di sini!" Verity tidak pernah bertemu Clementine dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana rupa putri satu-satunya Ratu Amaranta sekaligus penerus kerajaan Selencia.  



"Dengar kata-kataku, Rats. Kau akan berperan sebagai Putri Clementine-"  



"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang putri!" Verity memekik frustrasi. Sepuluh tahun hidupnya dihabiskan dalam penjara bawah tanah kerajaan Selencia. Ia tidak bisa membaca dan menulis bila bukan karena Ratu Amaranta yang berbaik hati mengirimkan seseorang untuk mengajarinya. la bahkan masih tidak tahu cara berjalan mengenakan sepatu yang benar. Ia bukan Putri Clementine!  



Rahang Maisie mengeras, tangannya mengepal bulat, menahan diri untuk tidak menampar Verity sekali lagi. "Berarti kau harus belajar."  



Verity berusaha mencerna perkataan Maisie. Pelayan tua yang congkak, sombong, dan suka menyiksanya hingga di ambang kematian tentu saja atas perintah Ratu Amaranta.



 



"Kenapa?"  



"Apakah aku harus menjelaskan semuanya kepadamu?" Maisie memekik kesal. "Matthias akan datang dan mengajarimu seperti biasa."  



Wajah Verity semakin memucat mendengar nama Matthias, pria tua itulah yang dikirimkan Ratu Amaranta untuk mengajari membaca dan menulis. Verity melihat telapak tangannya, sebuah garis panjang tipis nyaris tak terlihat merupakan bekas luka yang diberikan Matthias.  



Satu-satunya bekas luka akibat Matthias menghukum dengan menjadikan darahnya sebagai tinta karena tidak juga bisa menulis.  



Maisie tersenyum semakin lebar ketika melihat wajah pucat Verity. "Seharusnya Ratu Amaranta tidak memberimu makanan, kau tidak layak untuk itu. Tapi karena ia memerintahkanku, kau bisa mengambilnya sendiri di sana." Dagu lancipnya mengarah ke baki berisi aneka makanan di sudut ruangan.  



Mata Verity menatap baki di sudut ruangan. Apakah Ratu Amaranta memberikan racun lain kepadanya? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Memakannya atau tidak? Rasa perih serta suara perut yang menjera membuatnya melupakan kekhawatiran. Ratu Amaranta tidak mungkin membuatnya menyamar menjadi Putri Clementine jika tanpa alasan, juga dia tidak mungkin meracuninya sekarang. Dengan tekad bulat, Verity menggeser tubuhnya agar berpindah dari kasur. Anehnya, seberapa keras pun berusaha, ia tidak dapat menggerakkan kaki.  



"Apa yang terjadi pada kakiku?" Verity menatap Maisie yang tersenyum angkuh.  



"Racun itu membuatmu lumpuh. Sayangnya, kakimu akan kembali seperti semula besok." Maisie melemparkan senyuman sinis sebelum pergi meninggalkan Verity sendiri di kamar besar dengan ornamen indah.  



Verity berusaha menggeser badannya lagi, hingga akhirnya ia terjatuh menimpa karpet tebal di sekitar kasur. Dengan menggunakan kedua tangannya, Verity merangkak ke sudut ruangan tempat baki berisi makanan diletakkan. Ia menarik napas gusar, kedua kakinya lumpuh dan baki itu di meja yang cukup tinggi. Ia akhirnya menarik baki hingga jatuh, pecahan kaca dan tumpahan makanan mengotori lantai. Verity mengambil daging dan roti yang berserak, lalu segera menyantapnya.  



"Kau benar-benar seperti tikus kecil." Suara Matthias membuat gerakan Verity berhenti. Ia memang terlihat seperti hewan pengerat karena memakan makanan yang sudah terjatuh ke lantai menggunakan kedua tangan.  



Verity mengetatkan rahang, kedua tangannya menggenggam roti dan daging semakin erat. Ia berusaha mengabaikan Matthias dan menghabiskan makanan dengan cepat.  



"Ckck, Ratu Amaranta terlalu baik kepadamu." Matthias duduk di kursi dan membiarkan Verity menghabiskan makanannya. "Aku tidak tahu kenapa ia memilihmu menjadi pengantin Raja Alastair."  



"Apa?" Verity berusaha mencerna perkataan Matthias. "Apa maksudmu?"  



"Kau menggantikan Putri Clementine." Verity mengerti bagian itu, mengerti kalau sekarang ia tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Namun, ia tidak paham kenapa harus menjadi pengantin Raja Alastair.  



Melihat wajah bingung Verity, Matthias melanjutkan perkataannya. "Apa kau tidak tahu kalau kau akan menggantikan Putri Clementine untuk pergi



ke Austmarr?"  



"Austmarr?" Ada lima kerajaan dan Verity tidak tahu empat lainnya. Ia selama ini tinggal di penjara bawah tanah tanpa pernah menyentuh dunia luar.  



"Kau memang bodoh. Naif dan bodoh, seperti yang mereka katakan!" Matthias menatap jijik. Baju indah yang dikenakan Verity telah dikotori sisasisa makanan, begitu juga tangan dan mulutnya.  



"Mungkin ini akan menjadi pelajaran pertamamu, Tikus Kecil. Ada lima kerajaan: Raria yang dipimpin Ratu Rania,  



Thaurin yang dipimpin Raja Arthur, Colthas yang dipimpin Raja  



Zacharias, Selencia yang dipimpin Ratu Amaranta, dan yang terakhir Austmarr, dipimpin oleh Raja Alastair." Ini pertama kalinya Verity mendengar nama-nama para pemimpin lima kerajaan, sebuah pengetahuan umum bagi warga biasa, tetapi tidak untuk Verity yang tinggal dalam penjara selama sepuluh tahun terakhir.  



"Seperti apa Austmarr?" Seperti apa tempat yang akan ia datangi nanti?  



"Austmarr? Tempat sekumpulan orang barbar. Tidak seperti Selencia atau Thaurin tentu saja." Mendengar nama kagum Matthias pada Selencia dan Thaurin, Verity bisa menduga kalau kedua negara ini memiliki hubungan yang cukupdekat. "Kau harus berperan dengan baik sebagai Putri Clementine. Kalau tidak, raja dari sekumpulan orang barbar itu akan langsung membunuhmu. Dia tidak seperti Ratu Amaranta yang terus memberikanmu kesempatan untuk hidup." "Apa kau pernah bertemu Putri Clementine?"  



Mata Matthias menajam mendengar perkataan Verity. "Tidak, tapi dari rumor yang kudengar, dia sangat pintar dan cantik, bahkan melebihi ibunya sendiri." Ratu Amaranta sangat cantik, ia pasti sangat menyayangi Putri Clementine hingga tidak ingin putrinya itu dikirim ke Austmarr menjadi pengantin orang barbar seperti Raja Alastair.  



"Kau tidak bisa mengacaukan ini, Tikus Kecil. Selencia dan Austmarr bisa perang bila kau mengacaukannya. Kau harus berperan sebagai Putri Clementine dengan baik. Ada alasan kenapa Raja Alastair menjadi pemimpin lima kerajaan sekaligus Kerajaan Austmarr selama dua puluh tahun terakhir. Bukan hanya Selencia dan Austmarr, lima kerajaan bisa berusaha membunuhmu bila kau gagal."          



ii THE FIVE KINGDOMS  



VERITY TERSENTAK TIBA-TIBA ketika merasakan sengatan menyakitkan di punggungnya yang berasal dari tongkat panjang Matthias. Sudah nyaris sebulan ia harus berpura-pura menjadi Putri Clementine, belajar menggunakan perlengkapan makan, mengenakan sepatu, bahkan politik kelima kerajaan. Matthias menatapnya berang ketika menyadari Verity tertidur di salah satu kelasnya.  



"Bangun! Kau sudah harus bisa menghapal setiap nama kerajaan dan pemimpinnya!" Matthias memukul-mukul tongkat kayu di telapak tangannya. "Aku bisa saja menghajarmu habishabisan bila bukan karena Ratu Amaranta ingin melihat hasil belajarmu selama sebulan terakhir. Kau akan bertemu Raja Arthur sore nanti. Tidak sepertimu dan aku, Raja Arthur



pernah bertemu dengan Putri Clementine sebelumnya. Ratu Amaranta pernah menitipkan Putri Clementine saat tuan putri masih kecil, hubungan baik keduanya masih terjaga sampai sekarang,"  



Verity menegakkan badan dan menatap lurus ke arah Matthias. Seperti apa Putri Clementine yang sebenarnya? Kenapa ia tidak pernah bertemu putri itu selama sebulan terakhir di istana?  



"Ini peta Inkarnate, kelima kerajaan."  



"Letak Kerajaan Austmarr yang strategis membuatnya menjadi pemimpin lima kerajaan." Matthias mengetukngetukkan tongkat kayunya ke map tua yang terlihat begitu aneh. Verity menatap map itu kagum. Siapakah yang pernah menjelajahi Inkarnate hingga tahu seluruh letak kerajaan dengan tepat.  



"Apa itu?" Verity menunjuk pulau terpencil yang terletak di selatan lima kerajaan.  



'Kuil Merayang sudah lama ditinggalkan oleh lima kerajaan. Kuil itu masih ada tentu saja, dijaga oleh sekelompok pendeta yang tidak peduli dengan keadaan politik lima kerajaan.  



Pulau Mera merupakan satu-satunya daerah netral yang tidak berada di antara lima kerajaan." Verity menatap gambar-gambar itu dengan takjub "Bagaimana dengan yang di sana?" Verity menunjuk salah satu reruntuhan bangunan dengan gambar naga di atasnya.  



"Dragor, sisa reruntuhan kerajaan keenam yang katanya dihancurkan oleh naga." Matthias tersenyum sinis melihat raut wajah kagum yang begitu jelas di wajah Verity. "Naga itu tidak ada tentu saja, itu semua hanya rumor. Begitu juga rumor yang mengatakan kalau hanya keturunan langsung Kerajaan Colthas lah yang bisa mengendalikan naga."  



"Mengendalikan naga?" Verity memperhatikan peta itu baik-baik. "Tapi Colthas berada di ujung kiri, sementara Dragor berada di ujung sana. Apa untungnya bagi Colthas untuk menghancurkan Dragor?"  



"Seperti yang kukatakan, Tikus Kecil. Semua itu hanya rumor. Tidak ada gunanya kau mempelajari sebuah dongeng seperti naga atau memperdulikan Dragor yang sudah punah."  



Matthias kembali mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya, tetapi Verity masih menatap kagum kelima kerajaan itu.  



'Selencia menjadi lebih luas berkat kehancuran Dragor. Sayangnya, Selencia tetap tidak bisa menjadi pemimpin kelima kerajaan karena lokasinya yang kurang strategis." Matthias terus melanjutkan penjelasan, sementara Verity



kembali melamun. Ia tidak tahu kenapa harus mempelajari ini semua bila nanti hanya dijadikan tumbal menggantikan Putri Clementine.  



Verity menumpukan kedua tangannya di dada dan menatap Matthias yang terus membicarakan Selencia dan Thaurin dengan nada kagum, sementara Verity terjebak dalam rasa bosan. Apabila ia masih hidup setelah meninggalkan Austmarr, ia ingin menjelajahi setiap negara, lalu menemukan hal baru. Siapa tahu naga bukan rumor seperti yang Matthias katakan.  



Verity merapikan baju dan rambut berulang kali. Rambut hitamnya terlihat kontras dengan gaun ungu pucat yang dikenakan. Maisie mendesis marah kepadanya agar tetap berjalan anggun dan sopan meski kakinya sakit akibat mengenakan sepatu yang terlalu sempit.  



"Tidak ada yang peduli dengan kakimu, Tikus Kecil. Raja Arthur dari Thaurin akan menemuimu! Ini merupakan sebuah kehormatan besar untukmu." Maisie menyeret Varety menjauh dari para pengawal dan melontarkan serentetan makian kepadanya. "Seandainya saja rambutmu pirang seperti warga Selencia lainnya, mungkin ia tidak akan terlalu mencurigaimu.  



Rambutmu yang hitam membuatmu seperti bangsa lain! Warga Thaurin dan Selencia tidak memiliki rambut hitam sepertimu."  



Verity menarik napas gugup, ia tidak bisa melakukan apa pun kepada rambutnya bukan? Dia bukan penyihir yang bisa mengubah warna rambut sesuka hati.  



"Jangan kacaukan ini!"  



"Tidak akan!" ucap Verity lancang.  



Maisieberusaha menahan tangannya untuk tidak menampar wajah Verity. Pelayan tua itu mendorong Verity kembali ke depan pintu agar seseorang dapat mengumumkan kedatangannya.  



"Putri Clementine dari Selencia datang!" Dua orang pengawal membukakan pintu besar dan tinggi dengan ornamen rumit untuk Verity.  



Verity melangkah dengan hati-hati mendekati dua buah kursi kerajaan tinggi berwarna emas. Tiga undakan tangga dan sebuah karpet merah panjang menuju kursi telah ia lewati tanpa terjatuh atau tersandung.  



"Clementine." Ratu Amaranta tersenyum tulus untuk pertama kali dalam sepuluh tahun. Verity terpana sejenak, tidak menyangka sang ratu akan benar-benar tersenyum kepadanya. Sebuah senyuman yang tidak sinis atau mengejek seperti biasa. Namun, tentu saja karena saat itu ia tengah berperan sebagai Clementine, penerus takhta Kerajaan Selencia.  



"Hormat saya untuk Paduka Raja Arthur dari Thaurin dan Ratu Amaranta dari Selencia." Verity menundukkan kepala, berusaha keras untuk tidak kembali menatap wajah sang ratu.  



"Jadi ini Clementine?" Verity menundukkan kepala dalamdalam meski rasa penasaran menggerogoti hatinya. Suara Raja Arthur terdengar ringan, tidak berat seperti yang ia bayangkan.  



"Dulu dia teman main Alexander bukan?"  



Verity berusaha mengingat-ingat perkataan Matthias tentang Kerajaan Thaurin, tetapi tidak ada satu pun yang menyangkut di otaknya. Nama Alexander terdengar familier sekaligus ganjil baginya. Siapa Alexander?  



"Alexander pasti begitu kecewa ketika tunangannya berakhir menjadi pengantin Raja Alastair." Verity tersentak kaget. Siapa Alexander? la berusaha mengingat-ingat kembali. "Angkat kepalamu, Clementine!"  



Verity mengangkat kepala, matanya melebar melihat penampilan raja dari Thaurin ini. Raja Arthur terlihat muda meski ia yakin umurnya mungkin sudah akhir empat puluhan. Rambutnya pirang, tetapi lebih terang daripada rambut Ratu Amaranta, kulitnya putih pucat seperti kertas, serta ia memiliki ujung telinga yang sedikit lancip seperti kaum elf.  



"Kau terlihat kaget melihatku, Tuan Putri."  



"Sa-saya.... "Tatapan mata Ratu Amaranta yang tajam membuat Verity kembali membungkam mulut.  



"Thaurin disebut sebagai kaum elf. Ini bukan rumor karena konon katanya kami memang keturunan para elf yang bercampur dengan manusia." Raja Arthur tertawa kecil. "Sama seperti Colthas yang merupakan keturunan sang naga, atau Raria yang memiliki darah para pelaut. Tapi aku masih manusia tentu saja."  



"Maafkan kelancangan putri saya, Yang Mulia. Clementine tidak pernah menginjakkan kakinya keluar dari kerajaan, ia masih terlalu naif dan bodoh untuk mengetahui setiap isi lima kerajaan." Ratu Amaranta sedikit menundukkan kepalanya kepada Raja Arthur.  



Verity memperhatikan interaksi keduanya. Raja Arthur terlihat baik, sebuah kesan pertama terbentuk di benak Verity. Namun, setelah tinggal selama sepuluh tahun di penjara, Verity tahu ada banyak kebusukan yang tersimpan dalam wajah rupawan para pemimpin kerajaan ini.  



"Clementine .... " Verity melihat Raja Arthur dengan tatapan waspada. "Apa kau bisa melakukannya?"



 



"Melakukan apa, Yang Mulia?" Sebuah senyuman terbentuk di wajah Raja Arthur.  



"Membunuh Raja Alastair." Mata Verity terbelalak kaget, ia tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya. Apa maksud perkataan Raja Arthur? "Ini demi kebebasanmu bukan? Ratu Amaranta sudah menjelaskan semuanya. Aku tahu kalau kau hanya seorang penipu yang berperan sebagai Putri Clementine."  



Tangan Verity gemetar, entah karena marah atau takut. "Aku tak tahu apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia."  



"Hahahaha, kau pintar sekali memilih seseorang, Ratu." Raja Arthur tertawa keras, sementara Ratu Amaranta memiliki ekspresi yang sulit untuk Verity baca. "Kau hanya perlu membunuh Alastair. Maka kebebasan akan menjadi milikmu."  



Verity mengetatkan rahangnya, kedua tangannya mengepal marah. Para pemimpin kerajaan ini ternyata hanyalah orangorang pengecut yang bersembunyi di balik seorang budak sepertinya. "Bagaimana bila nanti sang raja mati?"  



"Kau akan bebas. Kau bisa menjadi ratu di Austmarr tentu saja."  



Verity tidak peduli dengan Austmarr, tapi kata 'bebas' membuatnya tertarik.  



"Apa jaminannya?" Raja Arthur melemparkan sesuatu yang jatuh tepat di hadapan Verity. Verity memungutnya dan melihat sebuah benda menyerupai sisik kehitaman yang lebih keras daripada baja. "Apa ini?"  



"Jaminanmu. Sisik sang naga yang kini berada di Dragor."



 



"Dragor?" Verity tidak percaya kalau Dragor dan naga itu benar benar nyata. "Apa ini ada hubungannya dengan kehancuran kerajaan keenam?"  



"Colthas mungkin bisa mengendalikan sang naga. Tapi bukan dia yang menghancurkan Dragor." Ratu Amaranta menatap Verity, mata violetnya terlihat berkilat licik. "Selencia lah yang menghancurkan Dragor."  



"Kenapa?"  



Ratu Amaranta menyunggingkan senyum sinis. "Karena begitulah caranya bertahan hidup, menghancurkan atau dihancurkan.?  



Verity menimbang-nimbang sisik sang naga yang berada di tangannya. Selencia dan Thaurin bekerja sama untuk menghancurkan Dragor dan sekarang kembali bersekutu untuk menghancurkan Austmarr. Apakah dia bisa benar-benar bebas setelah membunuh Raja Alastair? Seperti apakah Austmarr? Raja Alastair sudah berkuasa di sana selama dua puluh tahun. Pria itu pasti sudah cukup tua dan berpengalaman karena dialah pemimpin lima kerajaan.  



Verity mendesah keras, dia harus menikah dengan pria yang mungkin usianya lebih tua dari Ratu Amaranta atau Raja Arthur. Sepanjang hidup, ia selalu merasa sial, tetapi tidak lebih sial dari ini. Sekarang ia terjebak dalam politik lima kerajaan dan diperintahkan untuk membunuh sang pemimpin. Ia sungguhsungguh ingin bebas! Tapi sepadankah kebebasannya dengan membunuh seseorang? Verity menatap langit-langit kamar berhias lukisanlukisan indah. Keindahan yang hanya berlangsung sementara karena ia bisa saja mati kalau gagal menjalankan perintah Ratu Amaranta.  



Suara ketukan membuat lamunan Verity berhenti. Gadis itu mencari-cari sesuatu untuk menutupi gaun tidur yang dikenakan sekaligus pelindung diri.  



"Masuk!" Verity mengambil sehelai jubah lalu mengenakannya dengan terburu-buru. Ia menarik napas lega ketika melihat beberapa pelayan wanita masuk.  



"Ratu Amaranta memerintahkan agar kami segera bersiap, Yang Mulia." Seorang pelayan maju dan memberikan penghormatan kepada Verity, membuat gadis itu gelisah karena tak mengerti.  



"Bersiap untuk apa di tengah malam seperti ini?"  



"Yang Mulia harus segera berangkat menuju Austmarr malam ini." Beberapa pelayan maju mendekati lemari dan mengambil gaun-gaun milik Verity, kemudian memasukkannya ke peti-peti berhias emas dengan terburu.  



"Ke Austmarr? Malam ini?" Verity menggigit bibirnya gelisah. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba di Austmarr?"  



"Dua hari perjalanan, Yang Mulia. Austmarr terletak tepat di tengah Inkarnate. Kita harus melewati Hutan Pinus untuk tiba di sana."  



"Hutan Pinus?" Verity tidak pernah menginjakkan kakinya di luar istana. Dari balik jendela kamar, ia bisa melihat daundaun pepohonan yang indah saat terang, tetapi menyeramkan saat gelap.  



"Melewati Hutan Pinus adalah jalur tercepat, Yang Mulia. Melewati jalan biasa akan menimbulkan banyak kecurigaan. Ada beberapa perampok yang menunggu sepanjang jalan menuju Austmarr." Verity pernah menemui beberapa perampok di dalam penjara dan seperti yang para pelayannya katakan, para perampok itu memang menyeramkan. Sebagian besar dari mereka berakhir di tangan algojo karena tidak ada seorang pun yang layak dihukum gantung atau racun.  



"Apa kau yakin berangkat malam ini akan aman?"  



"Sangat aman. Yang Mulia Ratu Amaranta juga menyiapkan lima puluh pengawal untuk menemani perjalanan Anda." Lima puluh pengawal mengantarnya menuju pintu kematian. Verity tidak pernah takut mati sebelumnya, tapi kali ini, ketika kebebasan di penghujung mata, ia tidak ingin mati sia-sia.  



"Baiklah kalau begitu." Verity berusaha menguatkan tekadnya. Dia akan bebas. Sebentar lagi dia akan bebas.  



Seorang pelayan memakaikannya gaunbaru yang lebih tertutup, juga merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Sebelum Anda berangkat ke Austmarr, Ratu Amaranta ingin mengucapkan salam perpisahan untuk Anda."  



Jantung Verity berdegup cepat, ia tidak pernah keluar di tengah malam seperti ini. Kerajaan Selencia terlihat seperti tengah tertidur dengan kurangnya cahaya bahkan penjaga di sepanjang lorong. Ratu Amaranta menunggunya di ruang singgasana. Verity tidak tahu apakah kali ini Raja Arthur turut mengucapkan salam perpisahan kepadanya atau tidak.  



Verity masuk ruang singgasana dan melihat Ratu Amaranta sudah duduk di sana. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Verity yang terlihat gelisah dan panik.  



"Verity." Verity mendongakkan kepala dan menatap wajah Ratu Amaranta. Untuk pertama kali, ia mendengar ratu dari Selencia ini memanggil namanya bukan Tikus Kecil seperti biasa.  



"Yang Mulia." Verity membungkukkan badan, memberikan penghormatan kepada sang ratu.  



"Aku memberimu kesempatan untuk meraih kebebasanmu." Ratu Amaranta menghentikan ucapannya sejenak, ia melihat Verity yang masih membungkukkan badan. "Sebagai gantinya, kuminta kau untuk membunuh Raja Alastair, pemimpin Kerajaan Austmarr sekaligus lima kerajaan. Kuberikan kau sebuah hadiah.?  



Verity berjengit ketika mendengar kata hadiah. "Terima kasih, Yang Mulia."  



"Hadiah ini gunakanlah untuk membunuh Raja Alastair bila saatnya tepat." Sang ratu memanggil Verity dengan gerakan tangan. Ragu-ragu Verity mendekat. Sesampainya di hadapan sang ratu, Verity kembali membungkuk. "Sebuah belati berhiaskan permata. Bunuhlah Raja Alastair menggunakan ini."  



Verity menerima belati pemberian Ratu Amaranta. Belati itu terasaberat karena permata yang menghiasinya. "Terima kasih, Yang Mulia." la mengucapkannya sekali lagi, lalu berniat undur diri. "Tiga hari." Punggung Verity menegak mendengar perkataan Ratu Amaranta. Apakah ia harus membunuh Raja Alastair dalam waktu tiga hari lagi? Yang benar saja, Verity tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya!  



"Tiga hari lagi waktu pernikahanmu." Verity terdiam. Sesaat ia lupa kalau ia tengah menyamar menjadi Putri Clementine. Misinya bukan hanya membunuh sang raja, tetapi menjadi pengantin raja. "Buatlah Alastair percaya kepadamu, lalu tusuk jantungnya!? Jantung Verity berdegup semakin kencang. Ia harus membunuh, ia hanya perlu menusuk jantung sang raja dengan belati yang Ratu Amaranta berikan, maka ia dapat meraih kebebasan. Seandainya, seandainya saja Verity tahu kalau membunuh sang raja tidak akan semudah itu.          



III THE BANDITS  



Verity mengeluarkan kepalanya dari jendela kecil kereta yang ia naiki. Dunia luar terlihat begitu asing baginya, Verity mengeluarkan tangannya dan merasakan hembusan angin juga udara yang lembap. Penjaranya di Selencia tidak bisa menampilkan pemandangan seperti ini. Selama sepuluh tahun, Verity hanya pernah melihat lumpur atau kotoran dari lubang kecil yang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara. Bila Ratu Amaranta memanggilnya, maka ia beruntung dapat masuk ke dalam kerajaan dan melihat istana Selencia yang luas.  



"Yang Mulia! Jangan mengeluarkan tangan anda seperti itu." Seorang pelayan yang duduk di sebelahnya langsung menegurnya. "Kita tidak akan berhenti sepanjang menuju Austmarr. Tempat ini berbahaya, banyak perampok yang berkeliaran." Verity mengikuti saran pelayannya lalu kembali duduk tenang hingga rasa bosan menghampirinya.  



"Siapa namamu?" Verity menatap pelayan yang menegurnya tadi.  



Pelayan itu nampak tersentak kaget. "Na-nama saya, Yang Mulia?" Pelayan itu terlihat masih muda, tidak seperti Maisie. Usianya mungkin lebih tua beberapa tahun daripada Verity, rambut pirangnya dicepol dengan kuat dan rapi, pakaiannya licin, dan meski nampaknya ia telah lelah juga mengantuk, pelayan itu juga terlihat waspada.  



"Ya. Namamu." Verity menunggu dengan rasa antisipasi yang besar. Ia tidak pernah punya teman sebelumnya. Lagipula selain Maisie dan Matthias, pelayan-pelayan lain tidak diperbolehkan untuk berbicara dengannya.  



"Nama saya Jenny." Jenny, namanya terdengar biasa saja seperti penampilannya. Jenny terlihat seperti rakyat Selencia lainnya, rambut pirang, mata biru, dan kulit yang pucat. Dari seluruh rakyat Selencia yang pernah ia temui, Ratu Amaranta lah yang terlihat paling berbeda. Mata violetnya atau ekspresi wajahnya yang angkuh membuatnya mudah dibedakan.  



Verity kembali terdiam hingga rasa kantuk kembali menyergapnya meski bulan telah terbenam dan digantikan oleh matahari yang terbit dari arah timur. Suara derap langkah kaki para pengawal juga kuda-kuda yang membawa keretanya membuat Verity gelisah dan tidak bisa tidur.  



"Apakah anda lapar, Yang Mulia?" Jenny menyodorkan sebuah roti yang dibungkus dengan kain kepadanya. Verity memandang roti gandum yang telah sedikit mendingin itu. Putri Clementine selalu mendapatkan makanan yang terbaik, tidak seperti Verity yang harus menunggu makanannya bahkan hingga seminggu lamanya. Terkadang ia hanya mendapatkan sup sayur encer atau roti gandum setengah busuk yang telah mengeras seperti batu. "Maafkan saya, Yang Mulia! Saya akan meminta para pengawal berhenti, mungkin mereka bisa menangkap rusa atau kelinci dan memasaknya untuk makanan anda." Bila saja Jenny bisa berlutut di dalam kereta kecil ini pasti ia akan segera melakukannya ketika melihat Verity tak kunjung mengambil roti gandum yang berada di tangannya.  



"Eh, ini... Tidak apa-apa." Verity berkata canggung ketika mengambil roti gandum itu sementara Jenny sendiri sudah terlihat nyaris menangis karena mengira dirinya telah melakukan kesalahan besar.  



"Sa-saya akan meminta para pengawal untuk berhenti." Verity tak sempat mengatakan apapun ketika Jenny melongokkan kepalanya dan berteriak kepada kusir yang duduk di depan kereta untuk menghentikan keretanya. Derap langkah para pengawal dan kuda-kuda berhenti saat itu. "Yang Mulia Putri Clementine ingin beristirahat sebentar selama satu jam. Para



pengawal bisa mengistirahatkan kuda-kudanya dan juga mencari rusa atau kelinci untuk Tuan Putri."  



Mulut Verity setengah ternganga mendengar perintah Jenny kepada para pengawal lain. "Apa yang kau lakukan? Kita harus segera tiba ke Austmarr."  



"Yang Mulia..." lagi-lagi Jenny terlihat nyaris menangis.  



Verity melongokkan kepalanya keluar jendela dan melihat para pengawal yang tengah beristirahat. Mungkin ada baiknya mereka berhenti selama sejam di sini. Saat matahari pagi menyambut dan tidak ada satu pun ancaman yang dapat menghampiri mereka. Verity menghembuskan nafas panjang lalu berkata, "Baiklah-baiklah. Kita bisa beristirahat di sini selama satu jam."    



Wajah sedih Jenny perlahan-lahan surut tergantikan raut rona bahagia dan lega. "Saya akan menyiapkan perlengkapan memasak untuk rusa atau kelinci yang para pengawal dapatkan untuk anda." Jenny meloncat turun dari atas kereta, meninggalkan Verity sendirian di atasnya.  



Verity termenung beberapa saat sebelum memutuskan untuk ikut turun. Dia tidak pernah melihat hutan pinus sebelumnya dan ini adalah kesempatan yang tepat sebelum ia datang ke Austmarr dan terjebak lagi di dalamnya. Verity mengenakan jubahnya dengan menggunakan tudungnya, Verity menutupi rambut hitamnya hingga ia tidak terlihat terlalu berbeda dari para pengawal atau pelayan yang ia bawa dari Selencia. Tidak ada yang berbeda tentu saja, selain pakaiannya yang menunjukkan kalau ia anggota kerajaan atau mata violetnya yang tentu saja hanya bisa dilihat dari dekat. Dengan hati-hati Verity turun dari atas kereta dan melihat para pengawal juga para pelayan yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. "Anda mau ke mana, Yang Mulia?" Kusir yang masih duduk di atas kereta bertanya kepadanya ketika kaki Verity menjejakkan tanah yang basah dan



lembap.  



"Aku ingin melihat-lihat." Verity bergumam pelan.  



"Aku tidak pernah keluar dari istana sebelumnya." Verity tidak tengah berbohong, ia memang tidak pernah menjejakkan kakinya keluar dari Selencia apalagi istana selama sepuluh tahun terakhir. Verity bahkan telah lupa bagaimana kehidupannya sebelum masuk ke dalam penjara. Terkadang Verity membayangkan seperti apa kedua orang tuanya, kenapa mereka memberinya nama Verity yang memiliki arti kebenaran, apa yang mereka pikirkan ketika Verity menghilang.  



Si kusir yang terlihat iba dengan Verity memberikan sebuah senyuman sedih kepadanya, "Anda bisa melihat-lihat, Yang Mulia. Tapi jangan jauh-jauh dari sini."  



Verity hanya mengangguk kepada pria tua itu merasa dirinya tidak perlu membalas kata-kata si kusir kepadanya. Langkah kakinya terasa cepat dan ringan ketika ia melihat-lihat ke sekelilingnya. Verity bahkan menyentuh pohon pinus dan merasakan batangnya yang kasar, ia menatap takjub ke arah pohon itu lalu berjalan memutarinya. Sekilas, pohon pinus itu terlihat sama dengan yang lainnya, namun ketika telapak tangan Verity merasakan batangnya yang kasar, mereka semua berbeda. Verity mendongakkan kepalanya dan melihat cahaya matahari yang perlahan menyusup masuk melewati celah-celah dedaunan. Dunia ternyata lebih luas dari yang Verity bayangkan. Tanpa Verity sadari ia telah berjalan begitu jauh ke dalam hutan, bahkan ia mendapati sebuah anak-anak sungai yang sepertinya mengarah langsung ke sungai besar. Verity melepaskan sepatunya yang kesempitan lalu mencelupkannya ke air sungai yang dingin akibat es di musim salju yang telah mencair. Rasa dinginnya membuat lecet juga rasa perih di kakinya berkurang.  



"Liat apa yang aku temukan di sini." Verity tersentak kaget, ia nyaris jatuh bila bukan karena dua buah tangan kekar yang menahan lengannya dan



memutar badannya hingga punggung Verity menempel dengan dada pria itu.  



"Siapa kau?! Lepaskan aku sekarang juga!" pikiran pertama yang terlintas di benak Verity adalah perampok. Pria ini tentu seorang perampok seperti yang pelayannya katakan kepadanya. Harusnya ia tidak terlena dengan keindahan alam bebas seperti ini.  



"Diamlah!" Pria itu menggeram marah ketika Verity memberontak. Tangan Verity baru saja hendak meraih belati pemberian Ratu Amaranta yang ia sembunyikan di pahanya ketika ia mendengar suara-suara yang memanggil namanya, atau lebih tepatnya mereka tengah memanggil Putri Clementine. "Jadi kau adalah Putri Clementine, huh? Pengantin sang raja?" Pria itu membalik badannya hingga kedua wajah mereka saling bertatap-tatapan.  



Verity membelalakkan matanya melihat pria yang berada di hadapannya. Pria itu tidak memiliki wajah khas perampok yang berada di dalam penjara Selencia atau berusia lebih tua dari yang Verity bayangkan, usianya mungkin hanya lebih tua beberapa tahun dari Verity. Matanya berwarna coklat seperti madu dengan rambut yang juga coklat gelap. Verity menyadari kalau pria ini adalah orang asing, dia tidak berasal dari Selencia atau Thaurin. Ini artinya sebentar lagi Verity tiba di Austmarr. "Lepaskan aku!" Verity menggunakan nada suaranya yang paling dingin dan angkuh meski masih terdengar nada gemetar di dalamnya.  



Pria itu melepaskan lengan Verity lalu membuka tudung yang menyembunyikan rambut hitam Verity. "Rambutmu hitam." Verity terbelalak kaget. Ia buru-buru menutup kembali rambutnya. "Dan matamu violet. Kau tidak berasal dari Selencia." Pria itu mengernyitkan dahinya bingung.  



"Putri Clementine! Yang Mulia!" Suara Jenny dan juga para pengawalnya semakin mendekat. Verity hendak meneriakkan sesuatu ketika pria itu membungkam mulutnya secara tiba-tiba.



 



"Tybalt!" Verity mungkin mengira dirinya tengah berhalusinasi karena kurang tidur, tapi ia benar-benar yakin kalau pria yang baru saja datang itu turun dari atas pohon. "Apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan dia!"  



"Sebentar Barney." Tybalt melihatnya sekali lagi, memperhatikannya dengan lebih terperinci.  



"Tybalt!" Barney mendesis marah ketika mendengar suara-suara yang semakin mendekat.  



"Baiklah-baiklah!" Tybalt melepaskan cengkraman tangannya. Verity menatap pria itu dengan waspada. "Sampai jumpa lagi, Yang Mulia." ucap Tybalt dengan nada mencemooh lalu berlari mengikuti Barney yang sudah lari lebih dahulu.  



"Aku di sini! Jenny! Aku di sini!" Verity berteriak sekencang mungkin.  



"Yang Mulia?" Jenny berlari ke arahnya di ikuti oleh beberapa orang pengawal yang terlihat sama khawatirnya. "Apa anda baik-baik saja?" "A-aku... Aku tersesat." Verity memutuskan untuk tidak mengatakan apapun tentang pertemuannya dengan para perampok.  



"Aku begitu khawatir, Yang Mulia! Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Austmarr sudah dekat dan para perampok bisa datang bila kita sampai kemalaman di hutan pinus." Verity hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki Jenny kembali ke dalam kereta.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Beberapa kali kepala Verity terantuk oleh dinding kayu kereta yang keras. Siang telah berganti malam, sebentar lagi mereka tiba di Austmarr. Salah



seorang pengawal berhasil menangkap seekor kelinci hutan saat mereka istirahat tadi, para pelayan memasaknya dengan bumbu seadanya yang mereka temukan di dalam hutan dan memberikannya kepada Verity sementara para pelayan dan lima puluh pengawal yang mengiringi perjalanannya hanya berbagi bekal berupa roti yang mereka bawa dari Selencia. Verity tidak keberatan memakan roti dingin yang nyaris keras bersama dengan para pelayannya tapi Jenny bersikeras kalau seorang putri sepertinya tidak pantas memakan makanan yang merakyat. Kini setelah menghabiskan setengah ekor kelinci, perutnya terasa sangat penuh. Verity yakin bila dirinya saat ini masih tinggal di dalam penjara, dia mampu bertahan selama seminggu.  



"Yang Mulia, lihat! Gerbang pintu Austmarr!" mendengar suara Jenny yang berkata dengan nada riang membuat Verity tidak jadi tertidur dan memilih untuk melihat kerajaan terbesar di Inkarnate. Austmarr memang lebih besar daripada Selencia. Jauh sebelum pintu gerbang sudah ada berhektar-hektar perkebunan yang luas, para petani dan pekebun berhenti untuk melihat iring-iringan kereta yang membawa Verity. Setelah itu mereka melewati pintu gerbang yang dijaga beberapa orang pengawal, tatapan mereka yang tajam membuat Verity kembali menyembunyikan wajahnya di balik tudungnya yang gelap. Orang-orang di Austmarr terlihat begitu penasaran, beberapa kali anak-anak kecil berusaha mengintip ke jendela kereta yang Verity naiki. Untung saja orang-orang yang menonton iringan mereka semakin berkurang ketika mereka melewati perumahan elite yang dihuni para bangsawan. Berbeda dengan rakyat jelata yang berlomba-lomba keluar dari rumah mereka dan berkerumun di jalanan, para bangsawan menyambut kedatangan Verity dengan dingin. Tak ada seorang pun yang keluar, jalanan sunyi senyap meski beberapa kali Verity mendapati orangorang yang mengintip kedatangannya dari balik jendela yang tertutup gorden tebal nan gelap. Setelah melewati rumah para bangsawan, masih ada jalan panjang sebelum mereka tiba ke pintu gerbang istana.



                 



       



Tidak seperti Istana Selencia yang terang benderang, Austmarr memiliki aura gelap yang melingkupinya. Seperti sihir yang berusaha menghancurkan siapapun yang memiliki niat jahat kepada pemilik istana. Verity mengelus dadanya berulang kali ketika mereka melewati gerbang istana, perasaannya tidak enak dan diliputi perasaan mencekam yang terasa seperti menyobek dadanya. Ia melihat ke sisi kanannya dan mendapati Jenny juga melakukan hal yang sama sepertinya. "Aku tidak suka ini."  



Jenny berusaha tersenyum kepadanya namun ia juga meringis seolah menahan rasa sakit. "Austmarr memiliki aura yang mencekam." Mungkin benar kata Matthias, hanya orang-orang barbar lah yang bisa bertahan di tempat seperti ini.  



Kereta yang Verity naiki berjalan semakin lambat ketika menuju ke Istana Austmarr hingga akhirnnya berhenti di pintu utama yang terlihat begitu besar. Seseorang telah menunggu di sana, pakaiannya yang mewah atau penampilannya yang terlihat begitu bersahaja membuat Verity yakin kalau pria tua itu merupakan salah satu pelayan setia Raja Alastair.  



"Yang Mulia Putri Clementine," Pria itu membantu Verity turun dari atas kereta lalu memberikan sebuah kecupan di punggung tangan Verity. "Perkenalkan nama saya Richard Blaxton, salah satu penasehat Yang Mulia Raja Alastair."  



Verity terdiam sesaat karena gugup lalu ia terburu-buru mengatakan. "Nama saya..."  



"Putri Clementine Selencia." Richard Blaxton tersenyum kecil kepadanya. Setiap anggota kerajaan memang tidak memiliki nama belakang karena mereka percaya kalau keturunan langsung anggota kerajaan juga



merupakan penemu atau pendiri kerajaan itu sendiri. "Anda terlihat begitu pucat, apakah perjalanan anda baik-baik saja?" Richard Blaxton menawarkan lengannya kepada Verity, membuat Verity mau tak mau menyelipkan tangannya di lengan pria itu lalu berjalan berdampingan masuk ke dalam istana Austmarr yang megah.  



"Melelahkan. Saya tak pernah keluar dari Selencia sebelumnya, melihat dunia luar benar-benar menakjubkan bagi saya." Verity tersenyum kecil mengingat pemandangan hutan pinus yang membuatnya takjub, namun dahinya berkerut sedikit ketika mengingat Tybalt si perampok.  



"Ah, saya mengerti." Richard mengangguk sopan. "Saya mengira perjalanan anda mungkin sedikit terganggu ketika melewati gerbang istana Austmarr." Verity menatap Richard dan memperhatikan ekspresi pria itu, apakah ada sesuatu di gerbang istana Austmarr? "Tapi jangan khawatir. Melihat anda baik-baik saja sesampainya di sini, saya yakin kalau anda masih bisa berjalan di pernikahan anda besok."  



"Besok?" Besok. Verity menahan nafasnya, jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa hari berlalu begitu cepat. Ia berhenti sesaat hingga membuat Richard Blaxton ikut berhenti.  



"Ada apa, Yang Mulia?"  



"Apakah... Apakah saya tidak perlu menemui Yang Mulia Raja Alastair malam ini?" Verity mencengkram gaunnya. Tajamnya belati yang terikat kuat di pahanya begitu terasa. Bila ia bisa membunuh Raja Alastair saat ini juga maka ia tidak perlu menikah dengannya besok.  



Mendengar pertanyaan Verity, Richard tertawa kecil. "Tidak perlu, Yang Mulia. Anda bisa bertemu Raja Alastair besok saat pernikahan kalian. Lagipula semua kerajaan juga mengirimkan perwakilan mereka besok. Ratu Amaranta tak bisa hadir, begitu pula Raja Arthur. Keduanya mengirimkan



ucapan selamat untuk Raja Alastair melalui Alexander, penerus kerajaan Thaurin, yang baru saja tiba sore tadi." Tentu saja keduanya tak bisa datang, Verity bergumam di dalam hati. Keduanya mungkin tengah menunggu kabar darinya ketika ia berhasil membunuh Raja Alastair. "Ratu Rania dan Raja Zacharias akan datang secara langsung menghadiri pernikahan anda besok... Ini merupakan pertemuan terbesar kelima kerajaan setelah sekian tahun lamanya..." Richard Blaxton tiba-tiba berhenti berbicara, matanya menatap lurus ke depan tepat ke arah anak tangga tertinggi. "Pangeran Alexander." Richard Blaxton menundukkan kepalanya, memberikan hormat kepada seorang pria muda yang berdiri di undakan teratas tangga.  



"Clementine, apakah itu kau?" Alexander Thaurin! Teman sepermainan Putri Clementine saat kecil dulu, dia juga merupakan tunangan Tuan Putri Clementine yang asli sebelum Verity mengambil alih peran Putri Clementine dan berpura-pura menjadi pengantin Raja Alastair. Berbeda dengan yang lain, ia pasti sangat mengenal Putri Clementine karena dia pernah bertemu langsung dengan putri misterius itu. "Clementine?" Alexander bertanya kembali ketika Verity tidak kunjung mengucapkan apapun. Ia terlalu terpana menyadari kalau penyamarannya sebentar lagi terbongkar dengan kehadiran Pangeran Alexander.    



IV The King  



"Clementine?" genggaman tangan Verity di lengan Richard Blaxton semakin erat. Seolah menyadari ketidaknyamanan Verity, Richard berdehem keras membuat Alexander yang tadinya memusatkan seluruh perhatiannya kepada Verity kini terarah kepada Richard.  



"Saya mengira Yang Mulia Tuan Putri Clementine sedang sangat lelah, Pangeran Alexander. Anda bisa menemuinya besok di acara pernikahan."



Verity bersyukur di dalam hati ketika Alexander tidak memaksa Richard untuk berbicara dengannya. "Selamat malam Yang Mulia."  



"Selamat malam." Alexander membalas salam Richard, matanya masih terarah lurus ke Verity yang bersembunyi di balik jubah dan tudung yang ia kenakan. Mata Verity terus menunduk ke bawah, tak berani menatap Alexander karena takut penyamarannya akan terbongkar saat itu juga.  



Richard Blaxton membawanya ke sayap kanan istana yang merupakan tempat tamu-tamu penting kerajaan juga kamar tidur utama yang ditempati Raja Alastair. "Anda bisa menginap di kamar ini, Yang Mulia." Richard Blaxton membuka sebuah pintu menuju tempat yang akan menjadi kamarnya untuk malam ini. Sebuah kasur besar diletakkan di sudut kamar dengan tiang-tiang penyangga dan kelambu berwarna merah marun, selain kasur itu masih ada cermin yang lebih tinggi daripada badannya juga lemari kecil dan sebuah sofa berukuran sedang yang diletakkan di tepi kasur. Kamar ini sebenarnya luas sekali, namun karena ukuran kasur yang begitu besar, ukuran kamar ini menjadi tak seberapa.  



"Terima kasih." Verity bergumam pelan. Ia tidak sabar ingin segera tidur di atas sebuah kasur yang nyaman. Selama dua hari perjalanan dari Selencia menuju Austmarr, Verity memang tidur di atas kereta kecil yang ia naiki bersama Jenny. Kereta itu memang tidak nyaman karena membuat kepalanya terantuk berkali-kali di pintu kereta. Tapi seperti yang sepuluh tahun ini Verity jalani, ia selalu berusaha mencari kenyamanan di balik setiap hal yang ia lalui. Verity pernah tidur berdiri ketika bilik penjaranya saat itu kemasukan air hingga kebanjiran, bahkan setelah air surut Verity masih harus tidur setengah berjongkok karena banyaknya kecoak yang masuk ke dalam penjaranya.  



Terkadang Verity bertanya-tanya apakah hukumannya mengambil sepotong roti dari kereta yang membawa makanan untuk kerajaan benar-benar sepadan dengan apa yang ia alami. Berkali-kali Verity memohon kepada Ratu Amaranta untuk membunuhnya saat itu juga, setiap kali sang ratu



memintanya meminum seteguk racun Verity akan meracau tak jelas bahkan nyaris membunuh dirinya sendiri.  



Verity menarik nafas gusar, ia duduk di atas sofa bundar yang terletak di tengah-tengah kamarnya, berhadapan langsung dengan cermin besar di sudut ruangan. Verity melepaskan kepangan rambut hitamnya hingga jatuh tergurai, ia merapikannya dengan tangan, melihat ujung-ujungnya yang terpotong rapi tidak mati atau kering saat ia tinggal di penjara. Rasa lelah menjeranya namun ia tidak ingin naik ke atas kasur sebelum membasuh dirinya terlebih dahulu. Kemewahan mandi memang tidak pernah dirasakannya selama di penjara, tapi bukan berarti Verity tidak menikmati air yang membasahi tubuhnya, membasuh kotoran-kotoran yang menempel di kulitnya.  



Tidak pernah keluar dari bawah tanah membuat kulit Verity terlihat pucat, namun setelah berjalan-jalan di hutan pinus dan merasakan matahari tepat di wajahnya, kulit Verity menjadi lebih merona dan bercahaya. Ia tidak sabar segera kembali menjelajahi alam bebas setelah ia menerima kebebasannya nanti. Mungkin ia bisa hidup di tengah-tengah rakyat biasa, di rumah-rumah sederhana, tidak seperti penjara yang dingin ini.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Richard Blaxton melewati kamar Putri Clementine setelah Tuan Putri itu masuk ke dalam dan di pastikan dalam keadaan aman di dalam sana. Sesekali kepalanya mengangguk kepada para penjaga yang bersembunyi di balik bayangan gelap, sama sekali tak terlihat karena pakaian mereka juga sama gelapnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan pintu kayu besar dengan ketukan besi berbentuk kepala singa. Baru sekali Richard mengetuk pintu itu ketika ia dengar suara samar yang berasal dari dalam kamar.  



"Masuk." perintah suara itu singkat membuat Richard dengan sigap segera masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin terlalu lama di sini dan mengurangi waktu istirahat sang raja.



 



"Yang Mulia Raja Alastair..."  



"Kau tidak perlu berbasa-basi, Richard." Raja Alastair tengah duduk di atas kursi kayu besar dengan dudukan empuk berwarna merah marun, warna khas Kerajaan Austmarr. Seperti Raria yang memiliki warna biru, Colthas warna abu-abu, Thaurin warna hijau dan Selencia yang berwarna ungu. Keunikan mereka terlihat jelas di balik pakaian kerajaan juga bendera tiap kerajaan. "Ada apa?" Alastair tengah mengasah pedangnya. Sebuah pedang panjang pemberian raja terdahulu yang memiliki keunikan di gagang pedangnya. Sebuah singa lagi-lagi menghiasi pedang itu.  



"Saya sudah mengantar Yang Mulia Putri Clementine hingga tiba di kamarnya, Yang Mulia." Raja Alastair tidak membalas perkataan Richard, pria itu terlalu terpaku pada pedangnya, mengasahnya hingga lebih tajam dari apapun, bahkan pisau seorang ahli bedah sekalipun. "Apakah anda tidak ingin beristirahat? Pernikahan anda besok akan dimulai pagi-pagi sekali..."  



"Bagaimana putri itu? Apakah dia seperti yang mereka bicarakan?" Tidak pernah ada seorang pun yang pernah melihat Putri Clementine sebelumnya, bahkan orang-orang Selencia sekalipun. Kehadiran putri itu seperti rumor sebelumnya, hingga ada dua berita yang membuat orang-orang sedikit yakin dengan keberadaannya. Satu, saat Putri Clementine menjadi tunangan Pangeran Alexander dan yang kedua, saat Putri Clementine akhirnya muncul menjadi pengantin Raja Alastair. Nyaris menjadi pasangan dua penerus langsung kerajaan membuat orang-orang semakin bertanya-tanya seperti apakah rupa sang putri yang misterius.  



"Putri Clementine benar-benar terlihat seperti tidak pernah keluar dari kerajaan Selencia sebelumnya. Kulitnya pucat, namun rambutnya hitam legam dan warna matanya serupa dengan violet. Sang putri berusaha menutupi wajahnya dengan tudung dan jubah yang ia kenakan. Dia tidak



terlihat seperti berasal dari Selencia." Richard menjelaskan dengan hati-hati kepada Raja Alastair sementara sang raja mendengarkan dengan seksama.  



"Dia benar-benar mirip ibunya." gumam sang raja. Tangannya kembali mengasah pedangnya lalu mencermati mata pedangnya di perapian yang menyala.  



"Putri Clementine sempat bertemu dengan Pangeran Alexander tadi. Ia benar-benar terlihat sangat gugup. Apa anda yakin kalau dia Putri Clementine? Rambutnya hitam, matanya violet. Dia tidak seperti warga Selencia atau Ratu Amaranta." Richard Blaxton berusaha menjelaskan. Sikap Putri Clementine sangat mencurigakan baginya. Wanita itu terus menunduk, seolah-olah takut siapa pun melihat wajahnya.  



"Dia bertemu Alexander?"  



"Ya." Dari sekian banyak kata yang Richard jelaskan kepadanya sepertinya hanya beberapa saja yang rajanya dengar. Alastair kembali terlihat tidak peduli.  



"Bagaimana ekspresinya?"  



"Putri Clementine terlihat gugup, Yang Mulia..."  



"Bukan. Bukan Putri Clementine." Alastair memotong perkataan Richard, membuat penasehatnya itu menarik nafas dalam-dalam. "Bagaimana ekspresi Alexander?"  



"Eh, Pangeran Alexander?" Richard tidak terlalu memperhatikan ekspresi Pangeran Alexander karena pria itu terlalu fokus dengan genggaman tangan Clementine yang terasa gemetar, tanda wanita itu sedang sangat gugup.



"Dia terlihat baik-baik saja, Yang Mulia." Richard benar-benar tidak mengerti maksud pertanyaan Raja Alastair.  



"Apakah dia mengenali putri dari Selencia?"  



"Putri Clementine maksud anda? Sepertinya mereka mengenal satu sama lain. Keduanya merupakan teman sedari kecil. Bahkan Raja Arthur dan Ratu Amaranta sempat memasangkan keduanya sebelum anda menawarkan jalan keluar damai untuk mencegah perpecahan lima kerajaan." Alastair bangkit dari kursinya, ia menaruh pedangnya di atas meja.  



"Sebuah koalisi damai yang dibentuk untuk mencegah perpecahan. Itu bukan ideku, Richard. Tapi idemu." Richard Blaxton memang termasuk salah satu penasehat Austmarr yang paling dipercaya oleh Raja Alastair. Bahkan masukannya kali ini juga diterima oleh sang raja.  



Di antara lima kerajaan, yang memiliki penerus yang cukup dewasa untuk dinikahi Raja Alastair hanya Putri Clementine dari Selencia. Raja Zacharias belum memiliki penerus, sepasang anak kembar Ratu Rania baru berusia lima tahun, Raja Arthur hanya memiliki penerus laki-laki, yang tersisa hanya Putri Clementine. Hubungan Austmarr dan Selencia yang tidak berjalan baik juga diharapkan dapat berubah setelah pernikahan keduanya.3  



"Ini untuk mencegah perang."  



"Bagimu mungkin ini adalah sebentuk koalisi, Richard. Tapi aku melihat ini sebagai kesempatan. Ratu Amaranta tidak bisa menolak niat baik Austmarr untuk menjadikan putrinya ratu dari kerajaan ini. Austmarr adalah kerajaan terbesar di Inkarnate, menolak niat baikku akan mencoreng nama baiknya. Ratu Amaranta tidak akan bisa melakukan apapun karena putrinya berada disini, menjadi tameng pelindung sekaligus tahanan Kerajaan Austmarr." Richard Blaxton mengakui kehebatan sang raja meski umur Raja Alastair sendiri belum menginjak tiga puluh tahun. Pria itu dinobatkan menjadi raja



semenjak kedua orang tuanya meninggal di saat perang yang menghancurkan Dragør. Perang itu menghancurkan siapa saja, termasuk jiwa anak usia sepuluh tahun yang dipaksa maju menjadi raja dan membunuh siapapun yang berusaha menghancurkan kerajaannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity tak bisa memejamkan matanya dan tertidur. Jantungnya berdegup kencang karena takut juga karena adrenalin yang memompa darahnya. Ia mengenggam erat belati bertatahkan berlian dan aneka permata yang Ratu Amaranta berikan kepadanya. Apa istimewanya belati ini sampai ia harus membunuh sang raja menggunakan belati ini?  



Verity turun dari atas kasurnya dan menatap hutan pinus dari jendela kamarnya. Dia ingin melihat matahari dan berada di bawahnya seperti tadi. Sedikit lagi, sedikit lagi Verity dapat meraih kebebasannya. Verity tersenyum kecil membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan nanti. Mungkin ia bisa belajar memasak, Verity harus berkerja nanti setelah keluar dari sini. Ia rela melakukan pekerjaan apapun sepanjang ia dibebaskan untuk melihat dunia luar. Dia bahkan rela membunuh sang raja demi meraih kebebasannya.  



Verity termenung sesaat, apakah membunuh seseorang benar-benar sepadan dengan kebebasannya? Ratu Amaranta tidak memberikan jaminan apa-apa kepadanya. Sementara Raja Arthur hanya memberikannya sekeping sisik sang naga yang tidak berarti apa-apa untuknya. Verity berdiri di tepi jendela dan menatap hutan pinus itu hingga puas lalu kembali naik ke atas kasur. Setelah sekian jam Verity akhirnya jatuh tertidur karena rasa lelah yang menjeratnya.  



***  



"Yang Mulia?" Verity mengerjapkan matanya beberapa kali ketika tubuhnya digoyangkan dengan lembut agar dia terbangun. "Yang Mulia?" Suara itu



memanggilnya kembali, memaksa Verity mengumpulkan kesadarannya hingga akhirnya benar-benar terbangun. Cahaya matahari masuk melewati jendela kecil di kamarnya, membuat kamarnya terlihat lebih luas dan terang. "Jenny?" Verity mendapati pelayan pribadinya itu tengah bersiap, menaruh gaun panjang berwarna putih dengan aksen merah dan emas di atas kasurnya.  



"Anda harus segera bersiap. Pernikahan anda sebentar lagi." Verity menggosok pelupuk matanya. Ia mengangguk ketika Jenny membantunya melepaskan gaun tidur yang ia kenakan. "Saya akan membantu anda mandi, Yang Mulia. Saya juga sudah menyiapkan air hangat untuk anda."  



Verity masuk ke dalam kamar mandi luas dengan bak berukuran sedang berhiaskan ukiran singa. Aroma bunga mawar yang semerbak memenuhi indra penciumannya. Verity masuk ke dalam bak, membiarkan tubuhnya relaks di dalam air hangat sementara Jenny membersihkan rambutnya dengan wewangian khusus.  



"Apakah anda pernah bertemu Yang Mulia Raja Alastair sebelumnya, Tuan Putri?" Jenny memulai pembicaraan sembari membersihkan badannya.  



"Tidak." Mendengar jawaban Verity, Jenny terkikik kecil membuat Verity kebingungan. "Ada apa memangnya?"  



"Apakah anda bisa menikahi orang yang tidak pernah anda temui sebelumnya?" Verity tahu pernikahannya ini seperti judi. Raja Alastair memerintah sejak dua puluh tahun lalu, pria itu sudah cukup tua pastinya. Matthias selalu mengatakan kalau orang-orang Austmarr adalah orang barbar. Richard Blaxton terlihat cukup baik dan bersahaja, namun ia tidak tahu dengan Raja Alastair. Apakah pria itu seperti yang mereka bicarakan atau tidak. "Saya tidak bisa membayangkan bila harus menikah dengan orang yang tidak pernah saya temui."



 



"Apakah kau sudah menikah?"  



"Sudah, Yang Mulia." jawaban Jenny membuat Verity kaget. Jenny terlihat cukup muda, hanya lebih tua beberapa tahun darinya.  



"Sungguh? Berapa umurmu sebenarnya?"  



"Umur saya sudah dua puluh lima tahun, Yang Mulia. Saya menikah saat umur saya dua puluh tahun." umur Jenny hanya lebih tua dua tahun darinya saat menikah dulu. Verity menghela nafas panjang, tangannya mengumpulkan busa-busa sabun lalu mengusapnya ke tubuhnya. "Yang paling harus anda siapkan adalah malam pertama."7  



"Malam pertama?" kedua alis Verity nyaris menyatu ketika mendengar istilah aneh itu. Matthias tidak pernah mengajarkannya hal-hal seperti ini sebelumnya. Matthias hanya mengajarkannya tentang politik, sejarah, juga beberapa hal yang penting diketahui tentang Putri Clementine. Tidak banyak berita yang beredar tentang putri misterius itu. Matthias menekankan kepadanya beberapa kali tentang Pangeran Alexander karena hanya pangeran dari Thaurin itu yang mengenal langsung Putri Clementine.  



"Malam pertama. Anda harus melakukannya untuk mendapatkan keturunan." Jenny menatap wajah polos Verity dan menyadari kalau gadis itu benar-benar tidak mengerti. "Apakah pengasuh anda tidak pernah mengajarkan anda tentang itu?" Verity tidak punya pengasuh. Ia besar dan hidup di dalam penjara. Kemampuannya membaca, menulis dan berbagai hal politik ia ketahui dari Matthias. Matthias adalah guru, bukan pengasuh.  



"Tidak. Kurasa ibuku benar-benar ingin menjagaku dari dunia luar." Verity meringis ketika menyebut Ratu Amaranta sebagai ibunya. Wanita yang sudah menyiksanya berkali-kali itu tidak bisa disebut sebagai ibu.  



"Suami anda nanti adalah seorang raja. Memiliki keturunan adalah hal wajib, Yang Mulia. Anda membutuhkan penerus kerajaan Austmarr juga Selencia." Verity menggosok kulitnya lebih keras dengan jari-jarinya yang mulai mengeriput. Air yang tadinya hangat perlahan mendingin tanda ia sudah terlalu lama berada di dalam sana.  



"Apakah kau punya anak Jenny?"  



"Aku punya seorang anak laki-laki, dia masih berusia tiga tahun. Bayi kecilku yang kurindukan. Aku akan segera kembali ke Selencia setelah pernikahan anda." Jenny membantunya berdiri dan memberikan sebuah handuk besar yang lembut untuk menutupi tubuhnya.  



"Kau akan kembali?" Verity membelalakkan matanya lalu mengangguk mengerti. Tentu saja pelayan-pelayan yang ia bawa dari Selencia tidak akan menetap di sini.  



"Ya, Yang Mulia. Begitu juga lima puluh pengawal dan pelayan anda yang lain." Verity mengangguk sedih mendengarkan perkataan Jenny. Sesaat ia mengira kalau ia bisa menemukan teman di dalam diri Jenny, namun setelah mendengarkannya Verity tahu kalau memiliki teman mustahil baginya. Mungkin nanti, ia bisa memiliki teman nanti setelah membunuh sang raja.  



"Seperti apa malam pertama itu, Jenny?" Verity benar-benar takut membayangkan ia harus melakukan sesuatu untuk seseorang yang tidak ia kenal sama sekali.  



"Awalnya mungkin akan sedikit sakit, tapi selanjutnya akan baik-baik saja bila suami anda sedikit bersabar." Jenny menjelaskan dengan sabar sembari membantu Verity mengenakan korset yang sebenarnya tidak akan menambah bentuk apapun di tubuh Verity yang kurus. Verity menggertakkan giginya dan menahan rasa tak nyaman ketika Jenny



memasang korsetnya terlalu erat, memaksa tubuhnya untuk memiliki bentuk ideal seperti wanita-wanita lain. "Bagaimana Yang Mulia?"  



"Terlalu ketat." Verity mengerutkan keningnya tak nyaman.  



"Sebentar." Jenny melonggarkan korsetnya sedikit, Verity mengangguk ketika ia merasakan setidaknya dirinya bisa sedikit bernafas. "Anda terlihat pucat."  



Verity memang memiliki kulit pucat dan korset yang terlalu erat juga tidak membantunya sama sekali. "Aku rasa aku tidak bisa melakukan malam pertama." Verity tidak akan melakukan malam pertama karena dua hal, selain karena ia terlalu takut dengan pria yang akan menjadi suaminya nanti, ia juga akan membunuh pria itu.  



"Anda bisa memberikannya ini." Jenny mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku gaun yang ia kenakan.  



"Apa ini?" Verity menerima bungkusan itu lalu melihatnya. Aromanya seperti teh, Verity berharap kalau ini bukan racun seperti yang Ratu Amaranta pernah berikan kepadanya.  



"Obat tidur, Yang Mulia. Anda bisa memberikannya kepada Raja Alastair bila anda memang benar-benar tidak siap. Tenang saja, ini sangat aman. Anda tidak perlu khawatir." Verity menyimpan kembali obat tidur itu di salah satu laci meja kamarnya. "Sekarang anda hanya perlu mengenakan ini." Jenny membawa gaun pernikahannya yang berwarna putih dengan aksen emas dan merah. Verity melihat gaun itu lalu menarik nafas panjang dengan tekad bulat yang tergambar jelas di wajahnya, ia harus membunuh sang raja malam ini.    



V THE BRIDE  



Verity meremas gaun pengantinnya gelisah, tangannya tanpa sengaja menyentuh ujung belati pemberian Ratu Amaranta yang ia selipkan di balik gaunnya. Verity melihat ujung jarinya yang berdarah karena sentuhan ujung belati itu. Belati itu sangat tajam, untung saja selama ini Verity selalu berhati-hati dan menyelipkan belatinya agar tak terlihat oleh siapapun atau melukai dirinya sendiri. Verity menarik nafas dalam-dalam dan menunggu di ruang pengantin yang telah di sediakan. Bisa jadi ini merupakan kesempatan pertama dan terakhirnya untuk membunuh Raja Alastair. Orang-orang akan melihat wajahnya setelah ini dan menyadari kalau ia bukan Putri Clementine yang sesungguhnya.  



"Putri Clementine?" Verity berjengit kaget ketika melihat Jenny masuk ke dalam ruang tunggunya. "Apakah anda siap?"  



"Aku sangat gugup." jawab Verity jujur. Ia merapikan gaunnya yang sedikit kusut akibat remasannya tadi lalu berusaha berdiri dengan hati-hati. Sementara Jenny memberikan sebuah buket aneka bunga ke tangannya.  



"Yang Mulia?" Richard Blaxton masuk ke dalam ruangannya. Pria tua itu mengenakan pakaian formal khas kerajaan dengan aksen merah dan emas seperti gaunnya. "Saya akan menemani anda menuju ke altar."  



"Altar?" Verity menelan ludahnya susah payah dan melihat senyum kecil terbentuk di wajah Richard Blaxton.  



"Ratu Amaranta tak hadir di pernikahan anda. Raja Matthew, ayah anda, sudah meninggal sejak perang yang juga membunuh kedua orang tua Raja Alastair. Karena saya merupakan salah satu penasehat terdekat sekaligus



tertua di Austmarr, Raja Alastair meminta kepada saya untuk menemani anda berjalan di altar." bila Verity masih memiliki kesempatan untuk bertemu Matthias atau bahkan memutar waktu kembali saat ia belajar dulu, ia ingin menanyakan banyak hal kepada Matthias. Matthias selalu menceritakan kejayaan Selencia namun menghindari topik-topik yang berhubungan dengan perang yang terjadi nyaris dua dekade lalu atau perang dingin yang kini terjadi di antara lima kerajaan.  



Verity berjalan mendekati Richard dengan ragu-ragu lalu menyelipkan tangannya di lekukan lengan pria itu. "Terima kasih sudah menemaniku sejauh ini, Richard." ucap Verity tulus. Meski ia bukan Putri Clementine, pernikahan tetaplah pernikahan dan bisa jadi ini juga merupakan pernikahan terakhir Verity sebelum ia di hukum mati nanti. Verity berusaha menahan perasaan asing yang ia rasakan ketika keduanya berjalan beriringan menuju ruang singsana yang juga merupakan tempat pernikahannya.  



"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Yang Mulia. Anda bisa menjadi ratu yang baik untuk Raja Alastair. Anda sudah dipersiapkan untuk ini sejak dulu." Verity tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia bukan Putri Clementine, dia tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi seorang ratu. Seolah menyadari kegugupan Verity, Richard menepuk tangan Verity lembut. "Angkat kepalamu dan tatap lurus. Tersenyumlah, Yang Mulia." Verity mengikuti saran Richard Blaxton dan mengangkat kepalanya serta memberikan sebuah senyuman tipis ketika keduanya masuk ke dalam ruang singgasana. Ruang terbesar sekaligus tempat pernikahannya ini.  



Alunan nada lembut yang keluar dari mulut paduan suara mengiringi langkah Verity yang entah kenapa semakin melambat ketika ia mendekati altar tempat pendeta dan Raja Alastair berada. Verity melihat punggung Raja Alastair lalu berusaha menenangkan degup jantungnya. Dia harus mati malam ini.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Alastair menyadari kehadiran Clementine yang berdiri tepat di sebelahnya saat iringan nada paduan suara berhenti. Tinggi wanita itu mungkin hanya sedikit lebih tinggi daripada bahunya, cukup tinggi untuk ukuran para wanita Selencia yang terkenal mungil, meski tidak sependek wanita dari Thaurin. Alastair memiringkan wajahnya sedikit dan melihat puncak kepala wanita itu. Rambutnya memang hitam seperti yang dikatakan Richard Blaxton. Alastair mengarahkan perhatiannya kembali ke pendeta ketika pria itu berdehem, bersiap mengucapkan janji yang mengikat keduanya hingga mati.  



"... Apakah anda, Yang Mulia Raja Alastair Leonel Austmarr, bersedia untuk mencintainya, menghiburnya dan melindunginya, dalam sakit maupun sehat, dalam suka maupun duka..." Alastair tak memperdulikan satu pun kata pendeta itu hingga semuanya diam dan senyap seolah menunggu jawabannya.  



"Saya bersedia." ucap Alastair singkat. Dia harus segera pergi mengurus perbatasan yang semakin meresahkan dengan keberadaan orang-orang asing yang tidak berasal dari Austmarr, seharusnya urusan itu telah selesai dari kemarin namun persiapan pernikahannya membuatnya terpaksa menunda semua pekerjaannya.  



"Saya bersedia." Alastair melirik kembali Clementine ketika wanita itu juga menunggu cukup lama untuk menjawab pertanyaan sang pendeta. Suaranya terdengar bergetar dan ragu-ragu, mungkin sama sepertinya, Clementine juga tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi ini adalah jalan terbaik untuk menghindari perang lagi. Ratu Amaranta tak bisa menyerangnya di sini bila putrinya juga berada di sini. Wanita itu licik, harusnya Alastair menyingkirkannya dari dulu saat ia memiliki kesempatan. Namun kehilangan seorang pemimpin kerajaan tanpa penerus bisa memiliki resiko tinggi. Perang saudara bahkan hingga perang antar lima kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan bisa saja terjadi.  



"Anda bisa memasangkan cincinnya sekarang, Yang Mulia." Untuk pertama kalinya keduanya berdiri saling berhadap-hadapan. Alastair memanggil Richard Blaxton yang membawa cincin berlian untuk Putri Clementine. Pria tua itu mendekat sembari membawa bantal kecil berwarna merah tempat cincin itu diletakkan. Alastair meraih tangan Clementine lalu menyadari kalau ujung jari wanita itu terluka. Apakah ada benda tajam yang ia sentuh sebelum kemari? Alastair mengabaikannya dan memasangkan cincin berlian itu di jari manis wanita itu.  



Clementine nampak kebingungan karena ia tidak menyiapkan apapun untuk Raja Alastair. "Kau tidak perlu menyiapkan apapun." ucap Alastair singkat. Mata violet Clementine tanpa sengaja menatap langsung mata cokelat Alastair. Wanita itu nampak kaget karena ia mau berbicara dengannya. Alastair mendengus kecil, tak menyangka wanita itu akan terlihat sangat kaget dan gugup. "Laki-laki di Austmarr tak memakai cincin." Clementine meneguk ludahnya lalu mengangguk.  



"Dengan ini saya sahkan keduanya sebagai suami istri." Sang pendeta mengakhiri rangkaian upacara pernikahan sementara para tamu menepuk tangan. Alastair melihat Clementine sekali lagi, Clementine memang tak terlihat seperti Ratu Amaranta. Entah ini merupakan petaka atau keberuntungan baginya. Alastair memilih untuk tidak mengambil pusing dan mendekati pengantinnya, wanita yang ia baru saja nikahi beberapa saat lalu. Clementine terlihat begitu kaget dan ketakutan ketika Alastair mendekat, meraih dagunya lalu menghadiahinya sebuah ciuman tepat di bibirnya di hadapan seluruh tamu undangan kerajaan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Kedua kaki Verity lemas, tangannya bergetar hebat ketika sang raja tiba-tiba mendekatinya. Sesaat ia mengira kalau sang raja mungkin menyadari siapa dirinya dan hendak mencekiknya saat itu juga. Verity telah siap untuk mati saat itu juga, sayangnya ia tidak siap untuk menerima ciuman dari sang raja di bibirnya. Bila berciuman saja bisa membuatnya nyaris pingsan karena



ketakutan, bagaimana nanti kalau ia harus melakukan tugas utamanya sebagai seorang ratu? Memberikan penerus bagi Kerajaan Austmarr.  



Suara tepukan juga siulan atau tawa membahana yang tadinya memenuhi ruangan kembali senyap. Ketika Richard Blaxton kembali datang ke hadapan Raja Alastair dan membawa sebuah pedang panjang dengan hiasan berbentuk kepala singa di gagangnya.  



"Berlutut." Verity mengikuti perintah Raja Alastair dengan ragu-ragu. Apakah setelah menciumnya sang raja akan memenggal kepalanya dengan pedang itu? Tatapan Verity terus menunduk ke bawah ketika sang raja mendekatkan pedangnya ke bahu kanan, kemudian kiri lalu atas kepala Verity. Richard lalu kembali mendekat, kali ini Alastair meletakkan kembali pedangnya lalu mengambil sebuah mahkota berwarna emas dengan hiasan batu rubi lalu meletakkannya di atas kepala Verity. "Dengan ini kusahkan kau sebagai Ratu dari Kerajaan Austmarr." Suara tepukan kembali terdengar sementara Verity yang rasanya nyaris mati karena ketakutan dibantu berdiri oleh Jenny dan seorang pelayan wanita dari Selencia.  



Alastair menyerahkan pedangnya kembali ke Richard Blaxton, menatap Verity sesaat lalu meninggalkan ruang singgasana itu. Verity terpaku diam ketika melihat Alastair berjalan cepat meninggalkannya juga hiruk pikuk para tamu undangan yang menyelamatinya satu per satu.  



"Mohon maafkan Raja Alastair, Yang Mulia. Ada rapat penting yang harus Raja datangi bersama beberapa menteri." Verity mengangguk mengerti ketika ia juga melihat beberapa pria mengikuti Raja Alastair dan meninggalkan ruangan.  



"Selamat untuk pernikahanmu, Clementine." Verity menatap wanita yang berada di hadapannya. Kulitnya kecokelatan, rambutnya yang berwarna hitam dihiasi mahkota kecil berwarna perak yang dihiasi batu safir, matanya yang berwarna cokelat terlihat berkilauan jenaka ketika melihatnya. Ratu Rania dari Raria tidak terlihat seperti yang ia bayangkan. "Bocah kecil ini



terus mengangguku, aku membawanya keluar agar tidak menganggu pernikahan kalian." Tatapan mata Verity teralih ke anak laki-laki berusia lima tahun yang berada digendongan Ratu Rania, terlihat kesal dan segera ingin kabur secepatnya.  



"Apa yang kau bicarakan, sayang? Orion adalah bocah paling baik yang pernah ku temui." Suami Ratu Rania memiliki perawakan badan yang besar, separuh wajahnya tertutupi janggut tebal yang dimaini oleh seorang anak perempuan yang juga berada digendongannya. "Namaku Kilorn. Kau tidak perlu menambahkan embel-embel raja didepan namaku. Wanita ini adalah pemimpinnya."  



"Jenderal Kilorn." Ratu Rania menegurnya.  



"Ratu Rania." Kilorn membalas tegurannya dengan candaan. "Senang bertemu denganmu, Yang Mulia."  



"Eh, kalian tidak perlu memanggilku dengan embel-embel apapun." Verity merasa tidak nyaman ketika dua orang dengan pangkat tertinggi di Raria memanggilnya dengan begitu sopan ketika ia sebenarnya hanya seorang penipu. "Cukup Ve.. Clementine. Cukup Clementine."  



"Jadi cukup Clementine, kemanakah suamimu?" Verity memutar badannya dan melihat pria lain yang mungkin seumuran Raja Alastair. "Zacharias at your service, Ma'am." Raja Zacharias dari Colthas tertawa kecil melihat mata Verity yang terbelalak kaget melihatnya. "Kau tidak mirip sekaligus mirip ibumu pada waktu yang bersamaan." Raja Zacharias menatapnya dengan tatapan menilai.  



"Kurasa Zachary benar. Kau tidak seperti berasal dari Selencia, tapi kau jelas anak Ratu Amaranta." Jenderal Kilorn juga ikut memperhatikannya. "Ini pertama kalinya aku melihat Putri Clementine yang misterius secara langsung. Kau tidak seperti yang ku bayangkan."



 



"Eh, kalian juga... Tidak seperti yang ku bayangkan." Clementine mengatakannya dengan nada gugup yang begitu jelas.  



"Jadi apa yang kau bayangkan, Clementine?" Raja Zacharias bertanya kepadanya. Mata hitam pria itu membuatnya merasa sedikit aneh, seperti Raja Zacharias tahu rahasia yang ia sembunyikan namun pada saat yang bersamaan memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.  



"Sejujurnya, saya membayangkan anda lebih tua, Yang Mulia." Zacharias tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Verity.  



"Aku bertaruh kalau kau juga tengah mengira akan menikah dengan pria tua hari ini." Verity tak menjawab perkataan Zacharias dan membuat pria itu tertawa semakin keras. "Mungkin kau mengira kalau aku adalah Raja Zacharias ke II, yang merupakan ayahku."  



"Mungkin." Ratu Rania tersenyum mendengar perkataan Verity yang dipenuhi keragu-raguan.  



"Kau terlihat gugup, Clementine. Kau sudah disiapkan untuk ini sejak kecil, kau akan tahu apa yang akan kau lakukan nanti bila saatnya tiba." Ratu Rania memberikan nasehat kepada Verity. Orion, anak laki-laki yang berada digendongan Ratu Rania kembali merengek. "Sebentar sebentar. Aku harus menenangkannya dulu." Verity tersenyum kecil dan mempersilahkan keluarga itu pergi dari hadapannya sementara ia berdiri gugup di sebelah Raja Zacharias.  



Karena merasa tak nyaman, Verity membalik badannya lalu menatap Raja Zacharias. "Bagaimana hubungan Colthas dengan Austmarr, Yang Mulia?"  



"Apakah kau sedang berusaha membicarakan politik, Clementine? Jangan memanggilku dengan panggilan itu. Kau bisa memanggilku Zachary, umurku



tidak beda jauh dengan suamimu. Meski aku baru menjadi raja selama dua tahun dan Alastair telah menjadi raja selama dua puluh tahun."  



"Berapa umur anda, Yang Mulia?" Raja Alastair terlihat muda. Benar-benar tidak seperti yang Verity bayangkan. Saat ia bersiap bertemu dengan pria tua gendut berkepala botak, Verity malah bertemu seorang pria muda dengan badan tinggi tegap, tatapan sinis yang sesekali Alastair lemparkan kepadanya membuat Verity menyadari kalau Alastair mungkin mulai menyadari sikapnya yang ganjal.  



"Dua puluh sembilan tahun." Zacharias menjawab pertanyaan Verity ringan. "Kau sendiri?"  



"Delapan belas, Yang Mulia." sahut Verity tenang.  



"Kapan ulang tahunmu?" Verity terdiam mendengar pertanyaan Zacharias. Dia tidak tahu kapan ulang tahunnya sendiri, selama ini ia menghitung jumlah umurnya dari berapa lama ia berada di dalam penjara ditambah usianya sebelum ia masuk ke dalam penjara. Sepuluh tahun telah berlalu dan Verity tidak ingat lagi kapan ia berulang tahun. Dia bahkan melupakan semua yang terjadi sebelum ia masuk ke dalam penjara. "Clementine?"  



"Ehm... Ulang tahun saya berada di awal musim dingin, Yang Mulia." Verity berdehem sebentar. Ia tidak ingat ulang tahunnya sendiri tapi ia ingat ulang tahun Putri Clementine. "Kenapa anda mengatakan kalau saya mirip dengan Ratu Amaranta?"  



"Kau memanggil ibumu sendiri dengan panggilan ratu?" Zacharias menatapnya dengan tatapan menyelidik.  



"Dia tetap seorang ratu walaupun dia juga merupakan ibu saya." jawaban diplomatis Verity sepertinya memuaskan Zacharias hingga pria itu tidak lagi terlihat curiga kepadanya.



 



"Kau berbeda dari rakyat Selencia. Tidak ada orang yang mengira kalau Putri Clementine memiliki rambut hitam atau badan yang lebih tinggi dari rakyat Selencia lainnya." Mata hitam Zacharias menatap langsung ke mata violet Verity. "Tapi hanya keturunan langsung Raja atau Ratu Selencia lah yang memiliki mata violet, Clementine. Tidak ada yang meragukanmu sebagai Putri Clementine karena kau memiliki mata violet."  



Jantung Verity berdetak begitu cepat. Mata hitam Raja Zacharias dari Colthas bertemu dengan mata violetnya seperti mengetahui sesuatu yang ia sembunyikan, Verity menelan ludahnya susah payah dan berjalan mundur menjauhi Zacharias tanpa ia sadari. "Clementine?"  



"Alexander?" Verity menatap Alexander Thaurin dengan mata terbelalak. Ia nyaris lupa kalau Alexander tentu akan menghadiri pernikahannya pagi ini. Sial, sekarang ia merasa terjebak dan jatuh semakin dalam ke lilitan polemik lima kerajaan. Perkataan Zacharias membuatnya bertanya-tanya, siapakah dia sebenarnya? Dan kebetulan saja, orang yang mengenal Putri Clementine secara langsung kini berada di hadapannya.          



VI The Dance  



"Clementine?" Pangeran Alexander Thaurin menatap kedua mata violet Verity. Tanpa Verity sadari ia membuka mulutnya sesaat lalu mengatupkannya kembali. "Clementine?" Alexander Thaurin terdengar ragu-ragu sejenak lalu memicingkan matanya dan menatap Verity lekatlekat.



 



Verity menatap kedua mata hijau Alexander lekat, berharap kalau Alexander bisa memberikannya sebuah petunjuk tentang keberadaan Putri Clementine. "Pangeran Alexander, bagaimana kabar anda?" suara Verity terdengar seperti cicitan tikus, terlalu kecil dan gugup.  



"Kau berubah banyak semenjak aku terakhir kali melihatmu." Verity mengerutkan dahinya lalu mengembuskan nafas panjang yang telah ia tahan daritadi tanpa ia sadari. "Tapi rambut hitam dan mata violetmu masih sama."  



Verity mengerjapkan matanya beberapa saat lalu menunduk sembari memperhatikan tangannya yang meremas buket bunga itu dengan gelisah. "Benarkah, Yang Mulia?" Siapakah dia sebenarnya? Ini benar-benar di luar perkiraan Verity. Putri Clementine tidak berambut pirang atau mirip dengan Ratu Amaranta.  



Alexander Thaurin menyunggingkan senyum tipis. "Aku yakin kau melupakanku. Terakhir kita bertemu sepuluh tahun lalu."  



Raja Zacharias yang daritadi memperhatikan interaksi keduanya melontarkan senyuman separuh mengejek untuk Alexander. "Sebaiknya kau tidak berusaha dekat-dekat lagi dengan Clementine, Alexander. Dia sudah menikah sekarang."  



"Ah, kau benar Zachary." Alexander Thaurin jelas lebih muda daripada Raja Zacharias, tapi ia tidak berusaha menutupi rasa tidak sukanya kepada raja dari Colthas ini. "Kuharap suamimu memperlakukanmu dengan baik, Clement."  



"Terima kasih, Yang Mulia." Verity menunduk semakin dalam. Dia jelas-jelas bukan Putri Clementine, kenapa Alexander memperlakukannya seperti ialah sang putri yang sebenarnya? Apa ini merupakan salah satu perintah Raja



Arthur? Apakah Raja Arthur memintanya untuk memperhatikan Verity dari kejauhan dan memastikan penyamaran Verity tak terbongkar? Verity memutuskan kalau opsi terakhir adalah yang paling masuk akal. Dia bukan Putri Clementine. Pangeran Alexander bersikap seperti ini agar Verity tidak lupa dengan misinya yang sebenarnya.  



"Cukup panggil aku Alexander, Clement. Aku yakin kita akan sering bertemu nanti." Verity bisa merasakan kemiripan Raja Arthur dan Pangeran Alexander. Seperti kesan pertama Verity kepada Raja Arthur, ia yakin Pangeran Alexander juga menyembunyikan sesuatu di balik topeng wajah baik miliknya.  



"Kau orang yang menarik, Clementine. Kau benar-benar tidak seperti yang ku perkirakan." Perkataan Raja Zacharias mengusiknya namun Verity memutuskan untuk diam. Mata hitam Raja Zacharias mengatakannya dengan jelas, pria itu tidak memercayainya. Untuk saat ini Verity aman, mata violet dan konfirmasi tak langsung dari Pangeran Alexander telah menyelamatkannya. Bila untuk meyakinkan raja dari Colthas saja sesulit ini, Verity tidak yakin ia bisa meyakinkan Raja Alastair.  



***  



Jenny merapikan kembali rambutnya dan membantu Verity mengganti gaun pengantinnya dengan gaun lain yang lebih nyaman. Verity tidak bertemu dengan Raja Alastair lagi sejak tadi pagi. Richard Blaxton sudah menjelaskan kalau sang raja akan sibuk dengan rapatnya dan kemungkinan besar baru bisa bertemu lagi dengannya saat makan malam dan pesta dansa yang diadakan untuk menyambut kedatangannya.  



"Yang Mulia?" Jenny membantunya mengikat tali korsetnya menjadi lebih ketat. Verity menarik nafas dalam-dalam lalu mengangkat tangannya saat ia merasa korsetnya sudah cukup ketat.  



"Cukup." Verity mengangkat tangannya.  



"Apakah ada hal lain yang bisa ku bantu, Yang Mulia?" Verity menatap mata biru Jenny lalu mengembuskan nafas gusar. Kemungkinan besar Jenny akan kembali ke Selencia besok atau lusa. Ia akan ditinggal sendirian di istana asing ini. Verity benar-benar merasa kalau ia baru saja masuk ke dalam penjara baru. Kali ini penjaranya lebih mewah dan lebih besar tentu saja.  



"Tidak ada. Bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Jenny mengangguk dan meninggalkan Verity sendirian.  



Verity melihat belati bertatahkan permata yang berhasil ia sembunyikan di selipan roknya selama ini. Bahkan Jenny yang membantunya mengenakan pakaian tidak pernah melihat belati itu. Verity lalu menatap cermin dan melihat mahkota emas bertatahkan rubi yang menghias kepalanya. Dia bukan Putri Clementine, sekali lagi Verity berusaha meyakinkan dirinya. Dia akan membunuh sang raja malam ini. Kantung berisi obat tidur yang diberikan Jenny juga berada di tangannya. Ia akan membuat sang raja meminum obat ini lalu menusuk jantungnya saat pria itu tidur.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity tidak berhasil menaruh obat tidur itu ke dalam makanan sang raja. Acara makan malam juga dihadiri oleh semua tamu undangan juga menteri dan penasehat kerajaan Austmarr. Raja Alastair duduk di kursi paling ujung sementara Verity duduk di sisi kanannya. Kursi-kursi di isi dengan tingkatan dan jabatan masing-masing sehingga Verity merasa cukup beruntung bisa duduk di sebelah Ratu Rania. Raja Zacharias duduk di sisi kiri Raja Alastair lalu diikuti dengan Pangeran Alexander dan Jenderal Kilorn, suami Ratu Rania. Anak-anak Ratu Rania, Orion dan Cassiopeia duduk di sebelah Ratu Rania. Sayangnya karena Orion dan Cassiopeia merengek terus ingin berdekatan dengan ibu merek, Ratu Rania terpaksa pindah dari sisi Verity dan duduk di tengah-tengah keduanya. Membuat Verity duduk di sebelah Orion tanpa pilihan.



 



"Maaf kau harus berada di dekat Orion, Clementine." ucap Ratu Rania dengan nada penuh perminta maafan saat ia mendudukkan Orion ke kursinya dan pindah ke sebelah Cassiopeia.  



"Eh, tidak masalah." ucap Verity canggung. Raja Alastair tidak berkomentar banyak saat makan, pria itu lebih memilih memakan makanannya dengan cepat hingga tandas. Sementara Verity sendiri memainkan supnya dengan gelisah.  



"Apakah makanannya tidak enak?"  



"Huh?" Verity mengangkat kepalanya dan menyadari kalau yang mengajaknya berbicara adalah Alexander. Verity meneguk ludahnya lalu menyendokkan sup ke mulutnya dan menelannya cepat. "Ini enak sekali." Ia tidak boleh bersikap mencurigakan dan membuat dirinya segera ketahuan. Verity menyendokkan supnya lalu menelannya hingga habis. Perutnya yang memang terbiasa tak terisi makanan terasa langsung penuh begitu ia menghabiskan supnya.  



Seorang pelayan membawa mangkuknya yang kosong lalu mengganti makanan pembuka dengan hidangan utama, sepotong steak dengan kentang tumbuk dan sayuran. Verity menatap makanannya dengan wajah nelangsa. Saat ia membutuhkan makanan, Ratu Amaranta tak pernah memberinya makan dan sekarang saat ia merasa kenyang, makanan terus disajikan ke hadapannya.  



"Mommy! Mommy! Please, potongkan steaknya." Orion memanggil sang ibu yang sibuk menyuapi Cassiopeia.  



"Ehmm... Biarkan aku akan membantumu." Verity nyaris tidak percaya dirinya sendiri menawarkan untuk membantu Orion memotong steaknya.  



"Terima kasih, Clementine." Ratu Rania tersenyum dengan wajah berterima kasih lalu kembali menyuapi Cassiopeia.  



Verity membantu Orion memotong steaknya dan berusaha menyibukkan dirinya sendiri agar tidak perlu memakan steak yang berada di hadapannya karena perutnya benar-benar terasa sangat penuh. "Terima kasih!" ucap Orion girang lalu menyuapkan steak yang sudah terpotong ke dalam mulutnya.  



"Siapa namamu?" tanya Verity penasaran kepada pangeran kecil itu. Orion mirip dengan ibunya. Kulit gelap dan mata kecoklatan yang berkelip jenaka dan penuh rasa penasaran.  



"Orion."  



"Namamu seperti nama bintang." gumam Verity pelan.  



"Hm. Cassiopeia juga merupakan nama bintang." Cassiopeia dan Orion, Ratu Rania memilih nama bintang untuk anak-anaknya.  



"Kau tahu kalau nama mereka adalah nama bintang?" Jenderal Kilorn bertanya kepadanya.  



"Aku pernah membacanya di buku." Malam-malamnya di penjara Selencia selalu di temani dengan kegelapan, namun dari jendelanya yang kecil Verity bisa melihat bintang-bintang bertebaran. Salah satunya adalah Cassiopeia, bintang yang menunjukkan arah utara. Sebulan terakhir yang Verity habiskan di Selencia, ia gunakan untuk membaca buku sebanyak mungkin. Politik mungkin membuatnya bosan tapi bintang-bintang itu tidak membuatnya bosan sama sekali.  



"Raria adalah tempat para pelaut. Kami selalu menggunakan bintang sebagai petunjuk arah."  



"Colthas tidak punya kepercayaan seperti itu." Zacharias mencibir Jenderal Kilorn lalu menghabiskan makanannya. "Kulihat kau terlalu sibuk dengan Orion hingga tidak menyentuh makananmu sama sekali, Clement." Verity ingin segera menenggelamkan dirinya ke laut ketika seluruh perhatian menuju ke arahnya. "Kau bisa menjadi calon ibu yang baik, benar begitu Alastair?"  



Raja Alastair menyinggungkan senyuman tipis yang tidak sampai ke matanya lalu menatap Verity. "Sebaiknya kau menghabiskan makananmu." ucap Alastair dengan nada tak terbantahkan. Verity menunduk dan menatap makanannya lalu memotongnya kecil-kecil dan menyantapnya perlahan berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun lagi.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Alastair mengenggam tangan Clementine dan menyadari kalau wanita itu gemetar entah karena takut atau gelisah. Sikapnya terlalu ganjil untuk seorang putri. Berbeda dengan putri para bangsawan yang pernah bersamanya sebelumnya, Clementine tidak suka dengan perhatian yang diberikan oleh siapapun kepadanya. Alastair menuntun Clementine hingga ke tengah-tengah ruangan dan mendekatkan badan wanita itu serta menuntunnya untuk memulai dansa pertama. Baru beberapa langkah di mulai, Clementine sudah menginjak kakinya.  



"Maafkan saya, Yang Mulia!" bisik Clementine ketika wanita itu tidak sengaja menginjak kakinya. Tidak sampai semenit kemudian, Clementine kembali menginjak kakinya. Alastair mengembuskan nafas kesal lalu menunduk dan melihat Clementine yang nyaris menangis. "Maafkan saya."  



"Apakah kau tidak pernah berdansa sebelumnya?"



 



"Tidak, Yang Mulia." Clementine mengerjapkan mata violetnya beberapa kali lalu menjawab pertanyaan Alastair dengan getar di suaranya. Alastair tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi, pria itu membiarkan Clementine terus menginjak kakinya lalu mengembuskan nafas gusar. "Ma..."  



"Cukup." Alastair memotong perkataan Clementine. Entah sudah keberapa kalinya wanita itu meminta maaf kepadanya. Tak tahan dengan kecerobahan wanita itu, Alastair meninggalkan Clementine sendirian di tengah-tengah ruangan, hingga membuat beberapa orang berbisik melihat wanita yang baru dinikahi sang raja beberapa saat lalu itu kini ditinggalkan begitu saja.  



***  



Verity berusaha menahan rasa malu teramat sangat ketika sang raja meninggalkannya begitu saja di tengah-tengah ruangan. Seharusnya ia belajar lebih giat lagi saat berada di Selencia. Dia tidak akan membuat dirinya atau sang raja malu karena hal seperti ini. Verity mengepalkan tangannya lalu meninggalkan ruangan dansa yang di penuhi orang-orang itu.  



Entah sudah berapa lama Verity berjalan menjauh dari ruangan itu hingga ia tiba di taman. Austmarr memang tidak memiliki pemandangan seindah di Selencia, tapi istananya memiliki koleksi tanaman yang tidak berbeda dengan Selencia. Bahkan ada beberapa bunga yang tidak pernah Verity lihat sebelumnya. Verity menunduk dan memperhatikan tanaman-tanaman itu satu per satu. Verity tahu beberapa bunga yang pernah ia lihat sebelumnya seperti mawar dan lavender. Verity menikmati kesendiriannya, kesendirian yang selama sepuluh tahun ini di bencinya kini menjadi temannya. Verity mencabut sebuah bunga berwarna putih dengan semburat pink di setiap kelopaknya lalu menyentuh permukaannya yang halus. Verity membuka telapak tangannya dan menyadari kelopak bunga itu jatuh berguguran karena sentuhan tangannya.  



Bekas luka panjang di telapak tangannya yang berwarna keputihan terlihat begitu jelas di bawah sinar rembulan. Verity ingat saat Matthias menyuruhnya menulis menggunakan darah karena ia terlalu bodoh dan buta huruf. Sekarang kebodohannya lagi membuatnya berada di posisi seperti ini. Ia hanya bisa mempermalukan dirinya sendiri dan Raja Alastair.  



"Peony." Verity tersentak kaget dan segera bangkit berdiri ketika melihat Pangeran Alexander Thaurin menyandarkan badannya ke pilar-pilar tinggi yang memisahkan istana dan taman. "Bunga yang kau pegang itu. Namanya Peony."  



"Yang Mulia, anda tidak kembali ke ballroom?"  



"Untuk apa? Kau dan Raja Alastair menghilang begitu saja." Verity menundukkan kepalanya dan mengangguk mengerti sembari memperhatikan bunga yang berada di tangannya. "Kau harus berhasil membunuh sang raja, Clement."  



Mata Verity membulat ketika mendengar perkataan Alexander. Tentu saja pria itu tahu! Seperti dugaannya, Raja Arthur dan Ratu Amaranta mengirim Pangeran Alexander untuk memastikan kalau ia bisa berhasil membunuh sang raja. "Aku tidak tahu apa yang anda bicarakan, Yang Mulia." ucap Verity gugup.  



"Kau tahu apa yang aku bicarakan, Clementine." Alexander Thaurin membalik badannya lalu kembali meninggalkan Verity sendirian di taman.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Raja Alastair masuk ke dalam kamar yang akan mereka bagi bersama malam ini tepat saat Verity baru saja menyembunyikan belati itu ke dalam laci. Verity tersentak kaget melihat sang raja masuk dan langsung membuka pakaiannya.



 



"Yang Mulia!" Dia tidak harus melakukannya malam ini bukan? Verity benarbenar ketakutan karena harus berbagi kamar dengan sang raja yang tidak ia kenal sama sekali. Bahkan percakapan mereka pun bisa dihitung dengan jari, tidak seperti Raja Zacharias atau Pangeran Alexander yang juga baru ia temui hari ini.  



Raja Alastair hanya membuka pakaiannya lalu menggantinya dengan pakaian lain yang lebih nyaman untuk tidur lalu tersenyum mencemooh kepada Verity yang sudah gemetaran karena ketakutan. "Ada apa denganmu?"  



"Kita... Kita..." Verity tidak dapat menemukan kata yang tepat. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.  



"Kita apa?" Raja Alastair menatap kedua mata violet Verity dan menunggunya mengatakan sesuatu.  



Verity menelan ludahnya susah payah dan berusaha menemukan kata yang tepat, tapi pikirannya teralih ketika melihat wajah Raja Alastair. Seharian ini Verity terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan terlalu gugup untuk menatap langsung mata kecoklatan sang raja. Raja Alastair benar-benar tidak seperti yang ada di dalam bayangannya. Sikap sang raja juga berubahubah dan sangat membingungkan. Terkadang pria itu terlalu tegas kepadanya atau bahkan cukup baik kepada Verity dengan menjelaskan beberapa hal yang berbeda dengan Selencia.  



"Kita apa?" Alastair bertanya kembali.  



"Kita tidak harus melakukannya sekarang bukan?"  



Alastair tersenyum mengejek kepada Verity. "Tidak. Aku ingin istirahat." ucap sang raja acuh tak acuh lalu membaringkan badannya ke atas kasur.



Verity menatap sang raja ragu-ragu. Tidak masuk akal baginya sang raja akan tidur begitu saja. "Aku sudah tidak tidur selama tiga hari. Jadi kuharap kau tidak berisik dan membiarkanku tidur, Clementine."  



Verity tidak mengatakan apapun dan menunggu hingga ia benar-benar yakin sang raja telah jatuh tertidur. Dia harus membunuh sang raja sekarang. Saat raja itu tengah terlelap dan tidak menyadari keadaan sekitarnya. Verity menelan ludahnya dengan susah payah, tangannya gemetaran ketika mengambil belati bertatahkan permata yang diberikan Ratu Amaranta kepadanya. Dia akan membunuh Raja Alastair dan meraih kebebasannya. Ratu Amaranta tidak bisa lagi mengikatnya dan memaksanya menjadi budak di Kerajaan Selencia. Verity bahkan tidak peduli siapa yang akan memimpin Austmarr bila sang raja mati di tangannya. Ia tidak peduli bila lima kerajaan akan beradu memperebutkan Kerajaan Austmarr yang selama ini menjadi pemimpin lima kerajaan.  



Verity melepaskan genggaman tangannya dari belati itu secara tiba-tiba. Dia harus lari secepat mungkin sebelum Raja Alastair menyadari siapa dia sebenarnya. Sayangnya Verity memang bukan pembunuh yang handal, dia hanya seorang budak yang diperintah Ratu Amaranta untuk menyamar menjadi sang putri dan membunuh pemimpin Kerajaan Austmarr ini. Raja Alastair lebih gesit darinya, sang raja meraih pinggangnya dan membantingnya ke atas kasur. Belati yang tadinya menancap di dada pria itu kini berada di lehernya.  



"Siapa kau?" Mata Verity melebar ketakutan melihat noda darah yang menyebar di pakaian yang sang raja kenakan. Bagaimana mungkin sang raja tidak mati saat itu juga? Verity yakin ia sudah menancapkan belatinya cukup dalam, bahkan sang raja sendiri membantunya dengan menancapkan belati itu lebih dalam lagi. "Apa Ratu Amaranta mengirimmu?" Raja Alastair seperti tengah menilai ekspresinya. Verity mengatupkan bibirnya, tidak peduli apa yang akan terjadi berikutnya. Pria yang baru ia nikahi beberapa saat lalu ini akan memberikan hukuman mati karena melakukan percobaan pembunuhan, begitu juga Ratu Amaranta akan tetap membunuhnya karena gagal membunuh sang raja. "Kenapa kau tiba-tiba menjadi bisu,



Clementine? Apakah itu benar-benar namamu? Siapa namamu yang sebenarnya?"      



VII THE DAGGER  



Raja Alastair Duduk di singgasananya, memperhatikan belati bertatahkan permata dengan tatapan nyalang. Ia benarbenar tidak habis pikir bagaimana wanita itu bisa membawa belati ke hadapannya, bahkan nyaris membunuh bila ia tidak memiliki insting tajam. Clementine memang bersikap aneh semenjak mereka bertemu pertama kali. Wanita itu tidak seperti bangsawan apalagi seorang putri dari kerajaan sebesar Selencia. Gerakannya terlalu ceroboh, ia juga tidak terbiasa berada di antara orangorang dan cenderung gugup bila diajak berbicara. Sayangnya karena sikap aneh wanita itulah, Raja Alastair tidak mencurigainya sama sekali.  



"Yang Mulia!" Richard Blaxton tergopoh-gopoh menghampiri, lalu menunduk di hadapan sang raja. "Ada apa Anda memanggilku tengah malam seperti ini?" Biasanya ia tidak pernah dipanggil selarut ini, selain karena keadaan genting yang membutuhkan penanganan sesegera mungkin tentu saja. la mengelap keringat yang bercucuran dari dahi karena ia berlarilari dari sayap kiri istana, tempat tinggalnya juga beberapa menteri kepercayaan sang raja menuju sayap kanan, tempat tinggal sang raja dan tamu-tamu dari lima kerajaan.  



"Bawa belati ini dan cepat cari tahu darimana benda itu berasal!" Raja Alastair menunjuk belati bertatahkan permata yang ditusukkan Clementine ke dadanya.  



"Yang Mulia, Anda terluka!" Richard Blaxton membelalakkan mata kaget melihat belati juga pakaian sang raja yang berlumur darah.  



"Aku tidak apa-apa." Raja Alastair mengibaskan tangannya kesal. la benarbenar tidak menyangka bisa terluka karena wanita itu.  



"Apa yang terjadi, Yang Mulia? Bagaimana Anda bisa terluka?"  



Raja Alastair menggertakkan giginya geram. "Semua ini karena wanita itu."  



"Apakah yang Anda maksud adalah Yang Mulia Putri Clementine?" tanya Richard Blaxton dengan hati-hati. Sang raja sudah pasti sangat marah saat ini, bahkan di medan perang pun Raja Alastair tidak pernah terluka parah. Sekarang karena wanita itu, sang raja sampai harus menahan dadanya yang terluka cukup dalam.  



"Apa yang terjadi pada Putri Clementine sekarang?"  



"Aku mengikatnya." Raja Alastair menjawab acuh tak acuh. Rasa kesal dan marah masih bercokol begitu dalam di hatinya. Bukan hanya karena wanita itu berani melukainya, tetapi juga karena wanita itu tidak mau mengucapkan sepatah kata pun.  



"Apa yang akan Anda lakukan kepada Putri Clementine? Apakah Anda akan memasukkannya ke penjara?" Richard Blaxtonberanibertaruh kalau rajanya sangat ingin memberikan hukuman terberat untuk sang putri saat ini juga.  



"Sampaikan berita kepada Ratu Amaranta kalau aku berterima kasih atas hadiahnya."  



"Apa?" Richard Blaxton mengerutkan kening tidak mengerti dengan jalan pikiran sang raja yang tidak terduga.



 



"Aku yakin dialah yang memerintahkan wanita itu." Raja Alastair mengepalkan tangannya. Kedua mata coklatnya menatap Richard Blaxton tajam, tak suka ketika perintahnya dipertanyakan.  



"Bagaimana dengan Putri Clementine?" Richard Blaxton benar benar penasaran apa yang sang raja akan lakukan. Mata violet sang putri membuatnya yakin kalau wanita itu keturunan langsung Kerajaan Selencia.  



"Aku punya harga diri yang harus kujaga, Richard. Aku tidak mungkin mengabarkan ke seluruh dunia kalau diriku terluka karena wanita itu." Harga diri Raja Alastair benar-benar terkoyak sekarang. Mungkin beberapa orang akan mengira kalau Putri Clementine melukainya karena ia melakukan sesuatu kepada wanita itu. Lagi pula reputasinya sebagai pria kejam tak berbelas kasihan telah tersebar ke mana-mana, berbeda dengan Putri Clementine yang misterius dan nyaris tak memiliki rumor apa pun.  



"Segera cari tahu siapa wanita itu sebenarnya. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar Clementine. Bila dia bukan Clementine, aku ingin tahu siapakah dia sebenarnya dan dimana Clementine yang asli berada." Raja Alastair akan segera kembali dan memaksa wanita itu berbicara.  



Verity menggeram kesal ketika ia tidak bisa menggerakkan tangan yang terikat di atas kepala sama sekali. "Sial. Sial. Sial."  



la hanya ingin kebebasan, dan untuk kebebasan itu, Ratu Amaranta meminta bayaran yang cukup mahal. Apakah ia harus memberitahu Raja Alastair kalau Ratu Amaranta-lah yang memberinya perintah untuk membunuh sang raja? Mungkin ia bisa meminta pengampunan dan dibebaskan oleh Raja Austmarr itu.  



Verity mendengkus dalam hati ketika pikiran itu sempat tercetuskan. Raja Alastair tidak akan membebaskannya setelah ini, ia yakin kalau sang raja



akan memberikan hukuman mati karena telah berani bertindak sadis. Verity melihat jendela besar di kamar sang raja yang menghadap ke taman. Pemandangan berbeda dengan kamar yang ia tempati sebelumnya, tetapi sama berartinya. Kebebasannya hanya terpisahkan sebuah kaca tipis. Ia tak bisa menahan air mata yang jatuh, ia benar-benar sudah lelah. Lebih baik mati daripada harus masuk ke penjara lagi.  



Entah berapa lama Verity menatap taman kerajaan hingga ia tertidur dalam keadaan tangan masih terikat di tiang kasur. la terbiasa tidur dengan kondisi apa pun di Selencia, jadi tak masalah meski saat terbangun nanti tangannya akan kram dan pegal karena dipaksa berada di posisi sama selama berjamjam. Verity mengerjapkan matanya beberapa kali dan menyadari bulan sudah digantikan matahari, menyakiti matanya yang tidak terlalu terbiasa dengan cahaya terang.  



"Kau sudah bangun?" Verity memutar kepala dan melihat Raja Alastair yang berdiri di tengah ruangan dengan tatapan marah. Ia mengatupkan bibir dan lagi-lagi menggeram kesal ketika menyadari tangannya masih terikat.  



"Aku akan melepaskan ikatan tanganmu bila kau mau." Raja Alastair menyunggingkan senyuman mengejek.  



"Tolong lepaskan ikatan tangan saya, Yang Mulia." Verity menelanrasa malu juga marahnya bulat-bulat. Rasa marah itu tidak ditujukan untuk sang raja tentu saja, tetapi kepada diri sendiri yang mau menerima tawaran Ratu Amaranta demi sebuah kebebasan.  



Raja Alastair tidak mengatakan apa pun ketika melepaskan ikatan di kedua tangan Verity dan membantu wanita itu duduk. Verity menatap jendela besar sekali lagi dengan muram, lalu memijit tangannya yang pegal.  



"Sekarang katakan kepadaku, Clementine .... Atau kalau namamu benarbenar Clementine. Siapakah kau sebenarnya?"



 



"Aku tidak tahu." Verity menggumamkan jawabannya. Untuk apa sang raja bertanya lagi saat ia saja tidak tahu siapa dirinya sebenarnya. Baru dua hari berada di Austmarr, tetapi ia menyadari banyak hal yang luput dari kehidupannya selama ini. Siapakah ia sebenarnya sebelum masuk penjara Selencia.  



Raja Alastair terlihat tidak puas dengan jawaban Verity. la mendekat, lalu mengentakkan kepala Verity agar tatapan keduanya bertemu. Mata violet Verity menatap pasrah sang raja. Benar-benar pasrah, tidak peduli apakah ia akan mati sebentar lagi atau tidak.  



"Siapa kau sebenarnya?"  



"Kenapa Anda tidak bertanya ke ibuku, Yang Mulia?" Verity tersenyum mencemooh. Selama ini ia bersikap hati-hati karena takut sikapnya akan membuat bocor, tetapi sekarang setelah sang raja tahu segalanya, ia tidak perlu lagi bersikap hati-hati.  



"Kau benar-benar wanita licik." Raja Alastair menatap wajah polos Verity dengan tawa miris. Sikap ceroboh dan gugup wanita itu kemarin benarbenar membuatnya tidak curiga sama sekali. Namun, sekarang ia bisa melihat sifat asli wanita itu.  



"Apa yang Amaranta berikan kepadamu hingga kau mau mempertaruhkan nyawamu sendiri datang kemari, Clementine?"  



Verity mengernyitkan kening mendengar sang raja masih memanggilnya Clementine, tetapi memilih acuh tak acuh, tidak mengiyakan atau berusaha memperbaiki kesalahan sang raja. "Kebebasan." Jawaban singkatnya membuat Raja Alastair menyeringai lebar.  



"Jadi siapa kau sebenarnya?" Raja Alastair tidak bisa menemukan ketakutan seperti kemarin-kemarin di mata violet Verity yang kosong tanpa ekspresi.  



Tidak ada usaha untuk melawan, hanya ada kepasrahan karena Verity tetap membiarkan Raja Alastair mencengkram rambut dan memaksa kepalanya mendongak agar tatapan mereka bertemu. Ia tersenyum kecil.  



"Aku sudah menjawabnya, Yang Mulia. Aku tidak tahu."  



"Kau menginginkan kebebasan bukan?" Raja Alastair dapat melihat sekelibat cahaya penuh harap dari mata violet Verity. Sedikit rasa senang menyelinap di hatinya karena dapat menemukan titik celah kelemahan wanita itu. "Aku tidak bisa menjanjikanmu kebebasan, Clementine."  



"Apakah Anda akan memasukkanku ke penjara, Yang Mulia?" Rasa sedih dalam suara Verity tidak bisa disembunyikan sama sekali. "Atau Anda akan membunuhku?" Sekali lagi ia mengejutkan sang raja karena suaranya menggetarkan harap.  



"Kau ingin mati rupanya." Gumaman Raja Alastair tidak luput dari pendengaran Verity. Verity sudah siap untuk segala kemungkinan, termasuk mati. Setidaknya kali ini ia tidak perlu bertahan di penjara. "Tapi aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu yang ini, Clementine. Aku tidak bisa membuat orang-orang berpikir kalau aku telah membunuh pengantin yang baru kunikahi sehari yang lalu bukan?"  



Verity meneguk ludahnya, lalu mengangguk. "Apa yang ingin Anda lakukan kepada saya, Yang Mulia?"  



"Aku bisa menduga kalau Amarantalah yang mengirimmu ke sini untuk membunuhku." Raja Alastair tampak berpikir sejenak sebelum menyeringai lebar. "Bagaimana kalau kita membuat Amaranta semakin terjebak dalam permainannya sendiri?"



 



"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity tertegun ketika mendengar kata 'kita' dari mulut Alastair. la hanya ingin bebas dan tidak terikat lagi dengan semua politik juga intrik kerajaan.  



Namun, sepertinya sang raja memiliki kehendak lain.  



"Kau dikirim ke sini bukan tanpa alasan, Clementine." Raja Alastair menatap mata violet Verity lekat-lekat. Bila kecurigaannya terbukti benar, siapakah wanita ini sebenarnya? Di manakah Clementine yang asli berada?  



"Aku akan membuat Amaranta menyesal karena telah mengirimmu ke sini.?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity menatap makanan di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Raja Alastair tidak membawa ke penjara atau terus mengikatnya, sang raja malah membiarkannya makan bersama tamu kerajaan. Ia mengatupkan bibir ketika melihat tatapan tajam sang raja yang seolah memerintahnya untuk tetap diam.  



"Bagaimana tidurmu, Clementine?" Ratu Rania yang duduk di antara anakanaknya tersenyum tulus, membuat debaran jantung Verity berkurang sedikit.  



"Aku mendapatkan tidur yang cukup, Yang Mulia. Selencia cukup berbeda dari Austmarr, namun kurasa aku akan cepat mudah beradaptasi di sini." Verity balas tersenyum. Ratu Rania tertawa kecil mendengarnya.  



"Kaumendapatkan tidur yang cukup?" Kali ini tidak hanya Ratu Rania, Raja Zacharias juga tertawa mencemooh. "Apa ini artinya kita tidak akan mendapatkan kabar bahagia dalam waktu dekat?"



 



"Kurasa urusan ranjangku bukan urusanmu, Zachary." Ucapan Raja Alastair membungkam mulut Raja Zacharias.  



Verity menunduk, wajahnya memerah seperti kepiting rebus, sementara matanya diam-diam melirik Raja Alastair yang seperti balik memperhatikannya, juga Pangeran Alexander. Verity berusaha makan dengan tenang. Kali ini ia mengambil porsi lebih banyak daripada sebelumnya. Tidak ada yang bisa menjamin sang raja akan terus membiarkannya berkeliaran bebas, mungkin ia akan segera kembali ke penjara Selencia, atau Raja Alastair akan memasukkannya ke penjara Austmarr. Masuk penjara berarti tidak ada makanan. Sepuluh tahun berada di penjara Selencia, mengajarkannya banyak hal.  



"Ada apa denganmu, Alexander?" tanya Raja Zacharias yang kali ini menatap tajam Pangeran Alexander. "Kau lebih diam daripada biasanya."  



"Aku memang selalu seperti ini. Jangan memancingku, Zachary.?  



Verity menatap Pangeran Alexander dan teringat perkataan pria itu kemarin malam di taman. Kegagalan membunuh Raja Alastair mungkin akan membawa petaka baginya. Tangan Pangeran Alexander menggenggam erat pisau dan garpu. Bahkan Verity sendiri yang cenderung tidak peka, bisa menyadari kalau saat ini Pangeran Alexander sedang memendam amarah.  



Tingkah Pangeran Alexander juga tidak luput dari pengamatan Raja Alastair, tetapi ia memilih diam dan tidak mengungkit. Saat ini pikirannya dipenuhi wanita di sebelah kanannya. Ia masih mencari tahu dari mana wanita itu mendapatkan belati khusus untuk membunuhnya. Untung saja putri dari Selencia benar-benar bukan pembunuh andal, belati itu bisa saja melukai lebih parah bila tahu cara menggunakannya.  



Seorang pelayan mengambil piring makanan pembuka di hadapan Verity yang telah kosong karena isinya telah habis berpindah ke perut Verity. Si pelayan lalu mengganti dengan makanan utama, sebuah piring yang lebih besar berisi bacon, egg benedict dengan saus hollandaise, dan buahbuahan. Verity melihat beberapa anggota kerajaan lain mendapatkan menu berbeda, seperti anak-anak Ratu Rania yang memakan cheese blintz casserole dengan saus blueberry. Meski telah kenyang, ia meyakinkan diri kalau bisa jadi ini makanan lezat terakhir yang didapatkan. la pun memotong egg benedict, memberikan lebih banyak saus hollandaise, kemudian melahapnya. Rasa manis gurih telur itu menyatu dengan sempurna. Verity mengambil potongan telur lain dan memakannya cepat. Namun, pada suapan kedua, ia merasakan panas membara seumpama api yang membakar tenggorokannya. Ia terbatuk beberapa kali, berusaha meredakan panas yang menggerogoti tenggorokan hingga perut. Meneguk air, tetapi rasa panas itu tidak berkurang.  



"Ada apa denganmu?" Raja Alastair menatap Verity dengan tatapan tajam dan juga cemas di saat bersamaan.  



Verity terbatuk lebih keras. Segumpal darah keluar dari mulutnya. Racun. Racun sama seperti yang pernah Ratu Amaranta berikan. Tangan Verity gemetaran ketika menyadari Ratu Amaranta bisa memiliki kuasa sebesar ini, bahkan berani meracuninya di hadapan sang raja. Jantungnya memompa lebih cepat, darah yang ia muntahkan semakin banyak. Matanya berkabut dengan tangan mencengkram pinggir meja berusaha menahan diri agar tidak jatuh. Dada terasa sesak juga napas semakin sulit.  



"Clementine!" Di ambang batas kesadaraan, Verity menyadari Raja Alastair menahan tubuhnya yang oleng, lalu segera membaringkan di lantai marmer ruang makan. "Cepat panggil tabib!" Kepala Verity terasa sakit dengan tatapan berkunang-kunang, tetapi ia bisa melihat Raja Alastair yang berteriak sebelum tatapannya menggelap dan memanggilnya ke dalam tidur panjang tanpa mimpi.  



VIII THE HEMLOCK  



Alastair Membaringkan Tubuh Verity di lantai marmer. la memperhatikan seluruh sisi tubuh istrinya dan melihat tangan dengan kuku yang membiru, masih gemetar meskipun wanita itu sudah tidak sadarkan diri.  



"Alexander!" Saat mendengar Jenderal Kilorn memanggil Pangeran Alexander, tatapan mata Raja Alastair melihat langsung ke mata hijau pangeran dari Thaurin itu. Sama seperti yang lain, ia berdiri di dekat Verity yang masih dalam keadaan kritis  



Ratu Rania menutup mata anak-anaknya, lalu memaksa mereka membalikkan badan untuk tidak melihat keadaan mengerikan Verity saat ini. Sementara Raja Zacharias Colthas seperti tengah menilai keadaan. Satusatunya yang terlihat paling tenang hanyalah Jenderal Kilorn dan pria itu baru saja menyebutkan nama Pangeran Alexander.  



"Kau memiliki keahlian untuk menyembuhkan seseorang.  



Jendral Kilorn melanjutkan kalimatnya. "Menyingkir!" Ucapan singkat Pangeran Alexander membuat Raja Alastair kesal. "Aku bisa menyembuhkannya.  



Kalau kau membiarkannya seperti itu, dia bisa mati kapan saja."  



"Kalaukau tidak bisa membuktikan perkataanmu, kau yang mati, Alexander." Ancaman Alastair tidak membuat pangeran mudaitukesal, iamalah duduk di sebelah Verity. Dengan tenang mengangkat kepala wanita itu, kemudian membuka mulutnya.



 



"Apa yang kau lakukan?"  



"Mengeluarkan racunnya. Aku tidak ingin Thaurin dan Austmarr berperang karena hal sepele seperti ini." Pangeran Alexander memasukkan kedua jarinya ke mulut Verity, membuat wanita itu memuntahkan darah lebih banyak.  



"Racunnya lebih banyak daripada yang kuduga." la bergumam. sembari memiringkan badan Verity. "Menyingkirlah kalian! Dia membutuhkan oksigen yang cukup. Racun hemlock akanmembuatnya kejang-kejang dan kesulitan bernapas."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Raja Alastair menggumamkan serangkaian umpatan kasar dalam bahasa asing. Raja Zacharias tampak memperhatikan apa yang Pangeran Alexander lakukan kepada Verity, sementara Ratu Rania masih berusaha menenangkan kedua anaknya yang menangis keras melihat adegan berdarah tadi.  



"Apa kau bisa mengeluarkan racunnya?" Jenderal Kilorn bertanya dengan raut wajah khawatir. Kejadiannya benar-benar cepat, Verity baru saja memasukkan suapan kedua ketika tibatiba saja ia bersikap aneh dan memuntahkan darah.  



"Aku harus memompa perutnya." Pangeran Alexander melipat lengan baju yang ia kenakan, lalu menekan perut Verity beberapa kali hingga wanita itu muntah kembali. la memeriksa denyutnadi dan napas Verity. "Sial!"  



"Ada apa?" Raja Alastair kembali mendekat dan melihat Pangeran Alexander kini menekan dada Verity, lebih tepatnya mencari detak jantung wanita itu.  



"Dia tidak bernapas." Pangeran Alexander kembali membuka mulut Verity, kemudian memberikan napas buatan.  



Raja Alastair menatap tanpa sepatah kata. Keracunan hemlock bisa sangat berbahaya, seharusnya Pangeran Alexander tidak memberikan napas buatan karena berbahaya bila masih ada racun yang tersisa. Siapakah wanita itu sebenarnya? Bila ia bukan Clementine, untuk apa Pangeran Alexander berusaha keras menolong?  



Suara tarikan napas keras Verity membuat Pangeran Alexander menghentikan bantuan pernapasan, dengan sigap ia kembali mengecek denyut nadi, dan terlihat sedikit lega. Ia pun mengangkat badan Verity yang masih lemah.  



"Mau kau bawa ke mana Clementine?" Raja Alastair menahan lengan Pangeran Alexander, tatapannya menajam. Sikap Pangeran. Alexander membuatnya sempat curiga dan mengira kalau pria itulah yang meracuni Clementine, tetapi perlahan berubah setelah sikap heroik sang pangeran tadi. Seumur hidup, Clementine Selencia hanya punya dua berita: saat menjadi tunangan Pangeran Alexander dan saat menikah dengannya. Kalau mereka memang cukup dekat, Pangeran Alexander tidak mungkin berbuat demikian.  



"Dia membutuhkan oksigen, Yang Mulia." Pangeran Alexander menekankan kata terakhir dengan nada gusar.la segera berjalan ke tepi jendela besar yang pencahayaanny? paling bagus, lalu membaringkan tubuh Verity didepannya, Udara sejuk pagi hari menyapa, Verity terlihat lebih tenang tangannya berhenti gemetaran meski masih belum sadarkan diri.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Yang Mulia Pangeran Alexander benar, Ratu Clementine terkenaracun hemlock." Seorang tabib tua memeriksa denyut nadidan napas Verity, lalu



mengangguk takjub kepada Pangeran Alexander yang masih berada di sisi pasiennya.  



Tubuh Verity sudah dipindahkan ke kamar utama. Ia masih mengenakan gaun yang berlumur darah, wajahnya juga masih terlihat sangat pucat. "Ratu Clementine benar-benar beruntung karena ada Pangeran  



Alexander yang bisa memberikan pertolongan pertama kepadanya."  



"Apa kau yakin dia akan baik-baik saja?" Raja Alastair tidak bisa percaya begitu saja kepada Pangeran Alexander. Diam-diam ia sudah memerintahkan Richard Blaxton untuk memeriksa seluruh kamar, bahkan kamar para tamu kerajaan. Hemlock terlarang di Austmarr, kalau Clementine bisa sampai keracunan hemlock, maka ada seseorang yang membawa tanaman beracun itu masuk ke kerajaannya.  



"Saya butuh berbicara berdua dengan Anda, Yang Mulia." Bisikan tabib tua itu tidak luput dari pendengaran Pangeran Alexander.  



"Kau tidak perlu mengusirku, aku akan pergi sendiri," cetus Pangeran Alexander yang langsung meninggalkan kamar. "Apa yang ingin kau sampaikan?" Raja Alastair kembali fokus ketabib.  



"Ratu Clementine bisa saja mati kalau tidak ada Pangeran Alexander," jawab sang tabib dengan hati-hati.  



"Aku tahu. Kau tidak perlu mengingatkanku berkali-kali," kata Raja Alastair.  



"Tapi Pangeran Alexander bukan satu-satunya alasan kenapa Yang Mulia Ratu masih hidup." Tabib tua ini merupakan tabib yang paling berbakat di Austmarr. Oleh karena kemampuannya inilah ia mampu menjadi tabib kerajaan dan merawat langsung orang dengan jabatan tertinggi di kerajaan.



 



"Apa maksudmu?" Raja Alastair menatap tajam hingga sang tabib menundukkan kepala. Ia tidak ingin dianggap menjadi sumber konspirasi pembunuhan berencana sang ratu. Berita pernikahan mereka baru saja disebar tadi pagi, tetapi disaat bersamaan, Ratu Clementine tengah berjuang untuk nyawanya.  



"Saya menduga kalau Yang Mulia Ratu Clementine sering mendapatkan racun yang sama dalam dosis kecil." Kening Raja Alastair berkerut dalam mendengarnya. Apakah ini alasan Ratu Amaranta menyembunyikan Clementine? Karenabanyakorang yang mencoba membunuh penerus satusatunya Kerajaan Selencia?  



"Bila Ratu Clementine tidak memiliki kekebalan terhadap racun hemlock, ia akan langsung mengalami kejang setelah menelan suapan pertama."  



"Apakah ia hanya kebal kepada racun hemlock?" Raja Alastair kembali bertanya. Semuanya semakin buram sekarang. Kalau wanita itu benar-benar Clementine, kenapa berusaha membunuhnya kemarin?  



"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Dibutuhkan tes lain untuk melihat apakah ia juga pernah menerima jenis racun lain." Raja Alastair mengangguk. Ia tidak membutuhkan tes lain, fakta kalau Clementine sering mendapat racun sama dalam dosiskecil saja sudah cukup mengejutkan.  



"Bagaimana dengan luka Anda, Yang Mulia?" Dua kejadian yang nyaris membunuh dua orang dengan jabatan tertinggi di Austmarr disaat bersamaan, benar-benar bukan kebetulan. Pasti adadalangdi balik semua ini. Kalau Ratu Amaranta pelakunya, kenapaia berusaha membunuh putrinya sendiri?  



"Aku baik-baik saja."  



"Luka Anda cukup dalam, Yang Mulia. Letaknya cukup dekat dengan organ vital Anda." Tabib kerajaan inilah yang semalam merawat luka Raja Alastair setelah Richard Blaxton berusaha keras meyakinkanya agar menerima perawatan tabib.  



Luka tusuk sang raja memang cukup dekat dengan organ vital, tetapi itu bukan luka pertamanya. Sudah banyak luka perang yang menghiasi tubuhnya, beberapa memang cukup berbahaya hingga nyaris merenggut nyawa. Raja Alastaira harus mengakui kalau tusukan Clementine termasuk luka yang cukup parah. Bukan karena serangan Clementine, tetapi belati itu. Entah apa yang ada di dalamnya hingga sampai sekarang lukanya masih terasa perih dan menyakitkan.  



"Bila lukanya masih terasa perih, Anda bisa memberikan salep untuk menutup lukanya."  



"Baiklah. Kau bisa kembali sekarang." Raja Alastair benarbenar lelah saat ini. Ia tidak berbohong saat mengatakan belum tidur sejak tiga hari lalu.  



Keberadaan perampok yang meresahkan di perbatasan Austmarr dan Hutan Pinus, beberapa masalah dalam negeri, juga pernikahannya yang kacau semakin menambah daftar panjang kenapa ia belum bisa tidur hingga detik ini.  



Raja Alastair menggerakkan leher kakunya, lalu melihat Verity yang terbaring di kasur. Pakaian Verity yang berlumur darahsedikitmenganggu. Raja Alastair pun memutuskan untuk membuka pakaian Verity dan menggantinya sendiri karena tidak ingin memanggil pelayan pribadi sang istri yang mungkin bersama pelayan pelayan lain, tengah diperiksa langsung oleh Richard.  



Beberapa saat Raja Alastair terdiam. Melepaskan korset memang mudah, ia hanya perlu menarik tali dan membiarkannya terlepas sendiri. Namun,



memasangkannya kembali tidaklah mudah, apalagi dalam keadaan berbaring. Raja Alastair mengembuskan napas gusar, mulai melepaskan seluruh pakaian Verity, dan memakaikan atasan piama yang cukup longgar. Ia tidak tahu apakah istrinya akan marah atau tidak setelah ia melihat wanita itu tanpa seutas benang pun. la lebih memilih acuh tak acuh, toh Clementine merupakan istri sahnya.  



Kini sang istri sudah terlihat jauh lebih bersih, hanya tersisa sedikit noda di tangan pucatnya. Mungkin itu efek karena tadi berusaha menahan muntahan. Raja Alastair mengambil lap basah, lalu membersihkan tangan pucat Verity hingga darah yang lengket itu tersingkirkan. Setelah bersih, Raja Alastair melihat ujung-ujung kuku Verity yang membiru, ia lalu membalikkan telapak tangan Verity, dan menyadari ada bekas luka. Luka tersembunyi cukup baik karena ada di telapak tangan. Daftar pertanyaan Raja Alastaira pun semakin banyak.  



"Aku dengar ada serangan di dalam istana." Seorang pria mengunyah dendeng kelinci buruannya. Semenjak kedatangan Putri Clementine dari Selencia, penjagaan diperketat, bahkan ia bisa menemukan beberapa tentara yang menyisir daerah-daerah di Hutan Pinus, tempat kelompoknya biasa bersembunyi. Sekarang mereka hidup lebih nomaden, terus berpindah-pindah hingga benar-benar aman dari pengamatan para tentara.  



"Aku sudah bosan makan daging kelinci kering, Barney." Barney,pria yang tengah mengunyah itu terbahak, lalu menyingkirkandaging kelinci dari hadapan Tybalt.  



"Siapayang mereka serang?" Tybalt mengambil sebotol minumanberisirum yangiacuridari salah satu pasar desa kecil di pinggir Austmarr. Tidak ada yang menyadari aksinya itu karenatangannyacukup lincah dan cepat.  



"Yang Mulia Ratu," ucap Barney singkat.  



"Aku selalu heran dari mana kau bisa mendapatkan info sepertiini, Barney." Tybalt menyikut Barney, membuat pria yang lebihtua setahun darinya itu mengeluh kesakitan.  



"Jadi apa yang terjadi pada Clementine?" Tybalt mengatakannya sambil lalu. Namun, ia masih teringat wanita yang ditemui beberapa hari lalu.  



Wajah misterius Clementine dari Selencia akhirnya terungkap. Tidak seperti yang orang-orang katakan, rambutnya tidak pirang seperti ibunya, melainkan hitam legam nyaris menyaru dengan malam. Mata violetnya yang khas menjadi bukti kalau ia merupakan keturunan Ratu Amaranta. Tybalt mendengkus dalam hati, sayang sekali wanita naif itu merupakan putri dari seorang ratu yang kejam dan licik seperti Amaranta.  



"Seseorang meracuninya. Di meja makan tepat di hadapan sang raja!" ujar Barney takjub. "Siapa pun yang berusaha membunuh Yang Mulia Ratu, dia benar-benar mencari mati! Dia mungkin akan diberikan hukuman terberat oleh Selencia dan Austmarr." Ia kembali mengunyah dendeng kelinci.  



Beberapa hari ini mereka sulit mendapatkan makanan karena penjagaan yang semakin diperketat. Jangankan merampok beberapa bangsawan kaya, mereka saja tidak bisa memanah untuk memburu hewan tanpa ketahuan.  



"Bagaimana keadaannya sekarang? Tybalt melihat sekeliling, beberapa anggota kelompok sudah tertidur, hingga menyisakan mereka berdua yang kebagian tugas jaga malam. "Dia selamat." Barney mengambil botol rum dari tangan Tybalt dan menegaknya.  



Untung saja sekarang bukan musim dingin karena mereka juga tidak bisa menyalakan api unggun. Mereka hanya bisa mengandalkan sinar bulan di kala malam serta alkoholyang membuat tubuh sedikit menghangat.  



"Pangeran Alexander dari Thaurin menyelamatkannya."



 



"Alexander Thaurin ... Tybalt bergumam lirih. Ia pernah bertemu dengan Panggeran Alexander Thaurin. Bertahun-tahun yang lalu, ia melihat sang pangeran dari kejauhan. Mata hijau dan rambut pirangnya sangat kontras dari para penjaga berzirah. "Bagaimana ia bisa menyelamatkannya?"  



"Apa kau tidak tahu? Thaurin terkenal dengan kemampuan menyembuhkan mereka! Pangeran Alexander mungkin tidak bisa menggunakan pedang sehebat Raja Alastair, tapi dia seorang penyembuh. Benar-benar berbanding terbalik. Yang satu menghancurkan, yang satu menyembuhkan. Sayang sekali Tuan Putri cantik itu harus menjadi anak Ratu Amaranta dan istri Raja Alastair. Dia terlihat seperti wanita yang naif, terlalu lama dikurung di dalam menaranya mungkin."  



"Sayang sekali," gumam Tybalt. Clementine memiliki tampilan unik yang kontras, tetapi bagaimanapunjuga,ia merupakan putri dari Selencia. Ia sudah bersumpah di dalam hati akan membunuh Ratu Amaranta dan semua orang yang berharga baginya. Sebab ratu itulah yang menghancurkan kerajaannya.  



Fakta kalau Clementine merupakan istri sah Raja Alastair jugatidakmembuatnya senang. Raja Alastair hanya duduk diam melihatkerajaannya hancur dulu. Seharusnya raja itu bisa melakukan sesuatu, sayangnya Raja Alastair masih berusia sepuluhsaat naik takhta. la hanya memerintahkan semua tentara mundur dan kembali ke Austmarr, memberikan kesempatan bagi Selencia untuk menghancurkan Dragor hingga habis tak tersisa. Kini yang tersisa hanya sebagian kecil dari penduduk Kerajaan Dragor, bahkan beberapa di antaranya lahir di tengah hutan dengan cap seorang bandit di kepala umum. Dragor lebih berharga daripada itu dan Tybalt bersumpah untuk mengembalikan kejayaan kerajaannya yang direnggut oleh Selencia.        



                           



IX THE TRAITOR Pangeran Alexander Thaurin memegang tangannya yang gemetaran akibat terkena racun hemlock saat tadi memasukkan jarinya ke mulut Verity. Tingkahnya yang sedikit aneh, tidak luput dari pengamatan Raja Zacharias Colthas yang diam memperhatikan situasi sekitar.  



"Aksi heroikmu itu membuatku semakin curiga kepadamu, Alexander." Nada sinis keluar dari mulut Raja Zacharias, membuat wajah Pangeran Alexander berkerut tak senang.  



"Aku tidak peduli apa katamu, Zachary." Pangeran Alexander menyembunyikan tangannya dari tatapan Raja Zacharias. Namun, lagi-lagi tatapan Raja Zacharias yang tajam, segera menangkap gerakan tersebut. "Kau terkena racun hemlock." Raja Zacharias Colthas mengangkat alisnya terlihat sedikit terkesan dengan sikap Pangeran Alexander.  



"Mengorbankan dirimu sejauh ini agar tidak dicurigai, hm?"



 



"Aku bisa saja mati demi wanita itu. Untuk apaaku melakukan sejauh ini bila aku ingin dia mati, Zachary? Pangeran Alexander mendengus keras.  



"Jadi apa alasanmu menolong wanita itu, Alexander? Apa karenadiamantan tunanganmu? Bukankah hubungan kalian tidak sedekat itu?" Pertanyaan beruntut Raja Zacharias diabaikan oleh Pangeran Alexander. Pria itu lebih memilih untuk diam dan menatap lurus ke taman istana Austmarr yang memamerkan aneka tanaman hias.  



"Kapan dia akan bangun?" "Tiga hari lagi." Pangeran Alexander menjawab pertanyaan terakhir Raja Zacharias singkat.  



"Apa yang akan terjadi padanya?"  



"Tabib harus memperhatikan keadaannya tiga hari terakhir. Dia bisa saja terkena serangan jantung tiba-tiba. Racun hemlock melumpuhkan otot-otot di tubuh dan bisa saja membunuh. Clement beruntung karena ia tidak terkena serangan jantung saat itu juga," ucap Pangeran Alexander muram.  



'Kenapa kau menolongnya?" Raja Zacharias mengulang pertanyaan yang paling mengusik hatinya.  



Pangeran Alexander tetap diam, membuat Raja Zacharias mendesah frustrasi, lalu mendengkus kesal. "Dia wanita Alastair sekarang. Apa pun alasan yang membuatmu menolongnya, kuharap kau tidak melakukannya karena dia pernah ditunangkan denganmu dulu."  



"Aku tahu."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Richard Blaxton menatap Nyaris dua puluh tahun menduga isi pikiran sang Raja Alastair memiliki seumurannya.



penasaran sang raja yang duduk di hadapannya. menemani, ia tidak pernah benar benar bisa raja. Bahkan saat menemani raja kecil itu dulu, pemikiran yang berbeda dengan anak-anak



 



Kehilangan kedua orang tua di usia belia memaksa Raja Alastair lebih cepat dewasa, ditambah perang yang berkecamuk juga keadaan kerajaan kacau balau, membuatnyaharus mengedepankan kerajaan dibanding diri sendiri. Bahkan hingga detik ini, Raja Alastair selalu mementingkan kedamaian lima kerajaan. Bila ia mau, ia bisa saja memilih salah satu perempuan yang menarik hati, tetapi memilih mengalah dan menerima saran Richard Blaxton untuk menikahi putri dari wanita yang ia benci hanya demi menjamin kedamaian lima kerajaan.  



"Yang Mulia ...." Richard Blaxton menegur Raja Alastair yang sepertinya terlalu larut dalam pikirannya sendiri.  



"Apa yang kau temukan?" Kedua mata coklat Raja Alastair menatap tajam Richard Blaxton. Membuat pria tua itu tanpa sadar bergidik ngeri karena tatapan raja seolah menembus jantungnya.  



'Saya menemukan ini di salah satu pelayan yang dibawa oleh Yang Mulia Ratu Clementine." Richard Blaxton mengeluarkan dua buah kantung menyerupai kantung teh yang dibungkus sapu tangan dari saku celananya.  



"Siapa?"  



"Namanya Jenny. Dia pelayan pribadi Ratu Clementine. Saya juga menemukan satu kantung serupa di kamar yang ditempati Ratu Clementine sebelumnya." Richard Blaxton mengeluarkan satu kantung lagi, tetapi kali ini tidak dibungkus sapu tangan.  



"Apa itu?" Raja Alastair memajukan badannya, terlihat tertarik dengan kantung-kantung yang ditemukan Richard Blaxton.  



"Jenny membawa dua kantung, satu berisi obat tidur dan yang lainnya berisi hemlock. Ratu Clementine membawa obat tidur yang sama." Raja Alastair tampak berpikir sejenak melihat dua barang temuan Richard Blaxton. Ada kemungkinan Clementine berencana menyusupkan obat tidur ke makanannya, lalumembunuhnya dengan belati itu.  



"Di mana pelayan itu sekarang?"  



"Ada di penjara bawah tanah, Yang Mulia. Dia akan mendapatkan hukuman mati karena berusaha membunuh anggotakerajaan." Buktinya sudah di depan mata. Tidak ada alasanbagi wanita itu untuk menghindari hukuman mati.  



"Apadia mengatakan alasan kenapadia meracuni Clementine?"  



"Tidak, Yang Mulia. Ia menolak berbicara meski sudah menerima cambukan berulang kali." Kesetiaan wanita itu terletak pada Ratu Amaranta, tapi apakah Ratu Amaranta yang menyuruh pelayan itu membunuh Clementine? Putrinya sendiri?  



"Baiklah. Apa Ratu Amaranta sudah tahu keadaan putrinya?"  



"Ratu Amaranta menyerahkan semuanya kepada Pangeran Alexander selaku perwakilan Thaurin dan Selencia."  



"Alexander?" Wajah Raja Alastair berubah muram. Sama seperti setiap anggota kerajaan, mereka tidak bisa menampilkan berbagai ekspresi yang bisa menimbulkan asumsi beragam di berbagai kalangan. la tersenyum saat orang-orang tersenyum dan sedih atau prihatin saat orang-orang lain juga



mengeluarkan ekspresi sama. Tidak ada yang tahu apa isi hati mereka sebenarnya. Bahkan Ratu Rania yang terlihat paling optimis juga terbuka di antara pemimpin lima kerajaan, menyembunyikan berbagai hal di hatinya.  



"Saya yakin Ratu Amaranta tahu kalau Pangeran Alexander memiliki kemampuan yang tepat untuk menyembuhkan Ratu Clementine. Dia menyerahkan semuanya kepada Pangeran Alexander Ucapan Richard Blaxton tidak membuat Raja Alastair tenang. Sikap Pangeran Alexander pagi tadi mencurigakan, meskipunja orang pertama yang menolong Verity. Sikapnyamasihpatut dicurigai.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity masih tidak sadarkan diri meskipun sudah nyaris dua hari berlalu. Setidaknya ia masih bernapas dan tidak mengalami serangan jantung.  



"Kau tidak bisa menutup kelambunya seperti ini." Ucapan pertama Pangeran Alexander ketikamasuk kamar yang ditempati Verity membuat Raja Alastair kesal. Hubungan bilateral Thaurin dan Austmarr tidak begitu bagus karena Thaurin merupakan sekutu Selencia. Namun, sama seperti Selencia, keduanya berusaha menjaga jarak tanpa melibatkan pertikaian tak penting.  



"Clement membutuhkan banyak oksigen. Kau ingin dia matikarena tidak bisa bernafas?"  



Pangeran Alexander membuka kelambu tebal merah marun yang menutupi seluruh kasur, membiarkan udara segar masuk kamar lewat jendela.  



"Ratu Amaranta menyerahkan semuanya kepadamu, tapi bukan berarti aku memiliki pemikiran yang sama," sinis Raja Alastair.  



Pangeran Alexander tidak membalas, ia memperhatikan Verity yang tengah tertidur di kasur. Kulit pucat dengan ujung ujung kuku yang membiru sudah mulai pudar. Sehelai selimut tebal diletakkan dengan rapi menutupi Verity hingga ke dada.  



Pangeran Alexander meraih tangan Verity, lalu memperhatikannya. "Mungkin dia akan lumpuh selama beberapa hari."  



"Kapan dia akan bangun?  



"Dia bisa bangun kapan saja. Kita hanya perlu memperhatikan kondisinya." Pangeran Alexander tersenyum miris melihat pakaian yang Verity kenakan. Sehelai pakaian terlalu besar, mungkin milik Raja Alastair. Wanita itu harusnya membunuh Alastair, bukan membuat dirinya nyaris terbunuh.  



"Apa kau menemukan pelakunya?"  



"Pelayan pribadi Clementine sendiri." Raja Alastair mengeluarkan dua buah kantung yang diberikan Richard Blaxton, lalu memberikannya kepada Pangeran Alexander.  



"Hemlock dan obat tidur," gumam Pangeran Alexander ketika mencium aroma dua kantung itu.  



"Obat tidur itu berasal dari kamar Clementine."  



Pangeran Alexander menatap Verity, lalu tersenyum miris.  



"Sekarang dia sudah tertidur tanpa membutuhkan obat itu lagi."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Tetaplah jalan ke depan. Ibu akan menemuimu di sana."  



"Ibu?" Wanita yang menyebut dirinya ibu itu berjongkok di hadapan Verity, menyejajarkkan wajah, lalu memegang kedua pipi Verity.  



"Jalan ke depan. Jangan berbalik ke belakang!"  



"Bagaimana dengan Ibu?"  



"Ibu akan menyusulmu. Ingat, jangan berbalik ke belakang."> Wanita itu membungkus Verity dengan mantel yang ia kenakan, menyembunyikan nyaris seluruh tubuh gadis kecil itu.  



"Ibu mencintaimu."  



Verity tersentak bangun. Paru-parunya memompa udara dengan cepat hingga terasa sangat menyakitkan. Tangannya gemetaran, tidak, seluruh tubuhnya gemetaran, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun. Kakinya lumpuh, begitu juga tangan, dan seluruh anggota tubuh. Hanya tersisa matanya yang mampu mengerjap cepat, sementara air mata menetes membasahi pipinya.  



"Clementine?" Bayangan besar tiba-tiba menghampiri, membuatnya refleks kembali memejamkan mata. "Kau bangun." Tangan besarnya menggenggam tangan Verity yang dingin. Clementine? Siapa Clementine? Verity mengerutkan keningnya, lalu mengerjapkan mata beberapa kali dan menatap lebih lekat wajah sosok yang berada di dekatnya itu. "Alexander?"  



Pangeran Alexander mengangguk, lalu mendekatkan botol kecil ke mulut Verity, dan membantu minum dengan mengangkat kepala wanita itu sedikit. Verity memberontak beberapa saat hingga Pangeran Alexander terpaksa



menutup hidungnya, membuatnya tak bisa bernapas dan terpaksa membuka mulut.  



"Tenanglah ini bukan racun. Aku tidak mungkin menarikmu dari kematian bila aku ingin membunuhmu."  



Rasa pahit obat yang diberikan Pangeran Alexander membuat Verity terbatuk keras. Paru-parunya kembali terasa menyakitkan. Pangeran Alexander membawa segelas air dengan campuran madu yang segera diminumnya hingga habis tak tersisa.  



"Apa yang terjadi?"  



"Kau tertidur selama tiga hari akibat hemlock yang ditaruh di dalam makananmu." Pangeran Alexander menjelaskan dengan singkat.  



Verityterdiam, ini sudah pasti akibat Ratu Amaranta. Wanita itu tahu kabar kegagalannya hingga ia harus mati saat itu juga. Verity berusaha duduk, tetapi tangannya masih gemetaran seperti jelly dan lemas.  



"Tanganku juga lumpuh," ucap Verity panik. Dulu hanya kakinya yang lumpuh dan masih bisa menggerakkan badan dengan menyeretnya menggunakan tangan. Sekarang nyaris semua anggota badannya lumpuh dan ia benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau ia lumpuh selamanya?  



"Tenang saja. Obat yang tadi kuberikan akan membuatmu sehat kembali." Pangeran Alexander menatap teliti Verity.  



"Apa yang kau lakukan di sini?" Verity melihat sekeliling dan menyadari kalau ini kamar yang ia tempati bersama Raja Alastair setelah pernikahan mereka. Kenapa Pangeran Alexander bisa masuk kamar?  



"Aku mengawasimu selama tiga hari terakhir," jawab Pangeran Alexander singkat. "Alastair tidak bisa mengatakan. apa pun karena Ratu Amaranta menyerahkan segala urusan tentangmu kepadaku." Verity mengerutkan kening, diam-diam menarik napas lega. Di Austmarr hanya Pangeran Alexander yang tahu tujuan sebenarnya ia berada di sini. Setidaknya ia tidak perlu bersikap berpura-pura di hadapan Alexander ketika pria itu tahu ia harus membunuh Raja Alastair.  



"Di mana yang lainnya?"  



Pangeran Alexander tersenyum miris kepada Verity,laly mengangguk singkat. "Aku akan memanggil yang lain."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Raja Alastair, Ratu Rania, Jenderal Kilorn, Richard Blaxton bahkan Raja Zacharias Colthas kini berada di hadapan Verity. Semuanya terlihat terkesan dengan perkembangan Verity.  



"Kau mungkin orang pertama yang selamat dari racun hemlock." Raja Zacharias Colthas lagi-lagi terlihat acuh tak acuh dengan keselamatan Verity. Namun, tentu saja di dalam hati sangat terkesan. "Kita perlu mengucapkan selamat Pangeran Alexander yang berhasil membawamu dari kematian." la menepuk pundak Pangeran Alexander, membuat pria itu menggeram tidak suka.  



"Kau membuatku khawatir, Clementine." Ratu Rania duduk di sebelah Verity, lalu memegang tangan Verity. "Kejadiannya begitu cepat. Aku yang berada di sebelahmu saja tidak bisa membantu."  



"Maafkan saya, Yang Mulia." Verity tersenyum tipis Dibanding yang lain, Ratu Rania merupakan bentuk ideal kepala kerajaan yang ia bayangkan



selama ini. Tidak seperti Ratu Amaranta, Raja Arthur, Raja Zacharias, atau bahkan suaminy sendiri, Raja Alastair.  



Mereka semua cenderung dingin dar menjaga jarak, sedangkan Ratu Rania tidak segan merangkulny dalam sebuah pelukan hangat. "Kuharap aku tidak menaku Pangeran Orion dan Putri Cassiopeia."  



"Mereka baik-baik saja." Ratu Rania tersenyum tipis.  



Verity terdiam sesaat sebelum menatap Raja Alastair yang berdiri di pojok ruangan, terlihat terasing di kamarnya sendiri. "Jadi siapa pelakunya?"  



"Pelayan pribadimu." Raja Alastair menjawab dengan ejekan yang mungkin hanya disadari oleh Verity.  



"Apamaksud Anda, Yang Mulia?" Berarti ini memang ulah Ratu Amaranta, bisik Verity di dalam hati geram. Wanita licik itu benar benar ingin membunuhnya setelah ia gagal menjalankan tugas.  



"Kau mengenal Jenny bukan? Dia pelayan pribadi yang kau bawa dari Selencia." Wajah Verity memucat. la kini benar-benar tidak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan.  



"Sepertinya Clementine membutuhkan waktu istirahat. Bisakah kalian meninggalkan kami?" Nada perintah Raja Alastair terdengar kental. Bahkan Ratu Rania dan Raja Zacharias yangbisadikatakan setara dengannya, mendengarkan perintah tanpa banyak kata. Pangeran Alexander terlihat sedikit enggan, tetapi akhirnya ikut keluar.  



"Jenny tidak mungkin melakukan itu," bisik Verity tidak percaya.  



"Berapa lama kau mengenalnya, Clementine?" Raja Alastair menekan nama palsunya geram. "Aku tidak mentolerir pembangkang di kerajaanku, Clementine. Kau beruntung karena kau bangun sebelum ia mendapatkan hukumannya." "Apa maksud Anda?" Mata Verity melebar.  



"Kau bisa melihat ia menerima hukuman gantungnya besok."  



"Kau memberinya hukuman mati? Verity teringat pembicaraan singkatnya dengan Jenny di kereta dalam perjalanan menuju Austmarr. Betapa tidak sabarnya wanita itu ingin segera kembali ke Selencia karena anaknya telah menunggu. Ratu Amaranta sangatkejam,iatelahmemisahkan ibu dari anaknya, dan sekarang anak Jenny tidak akan pernah bisa menemui sang ibu lagi. "Kau tidak bisa."  



"Kenapa tidak?" Raja Alastair menatap tajam. "Apa karena ia kaki tanganmu, Clementine? Apa karena racun itu seharusnya diberikan kepadaku?"  



Lidah Verity terasa kelu, ia tidak bisa mengatakan apa pun. "Kumohon jangan berikan hukuman mati kepadanya."  



"Apa aku harus memasukkannya ke penjara seumur hidup?" Verity menggelengkan kepalanya. Masuk penjara juga bukan pilihan yang baik. la pernah merasakan dan ia tahu, lebih baik mati daripada berada di penjara seumur hidup.  



"Aku memberikanmu pilihan, Clementine. Karena kaulah korbannya, kau tentukan hukuman apa yang pantas untuknya."  



Obat yang diberikan Pangeran Alexander memang sangat mujarab untuk mengembalikan tubuh ke kondisi semula. Verity mulai bisa menggerakkan tangan, lalu perlahan-lahan bisa kembali duduk. Wajahnya kaku di hadapan Raja Alastair, tetapi kembali tersenyum kecil di hadapan Ratu Rania. la



masih belum bisa menentukan hukuman apa yang pantas diberikan kepada Jenny. Raja Alastair telah menyiapkan tiang gantung, algojo, bahkan aneka perangkap yang siap membunuh seseorang.  



"Apa kau sudah menentukan hukumannya, Ratuku?" Pertanyaan bernada mencemooh keluar dari mulut Raja Alastair, membuat Verity mengerut tidak senang. Tangan sang raja diletakkan di pinggangnya dengan kasual, membuat ia risi. Bagi orang lain, mungkin raja terlihat sangat peduli terhadap ratunya, tetapi bagi Verity, itu membuktikan kalau Raja Alastair memastikannya agar tidak lari.  



"Aku penasaran seperti apa pernikahan kalian nanti." Raja Zacharias Colthas menatap keduanya, kemudian menyeringai lebar. "Bila pada awal pernikahan kalian saja sudah banyak masalah seperti ini, aku tidak tahu bagaimana nanti."  



"Aku juga tidak sabar melihat perkembangan pernikahanku nanti." Verity melirik Raja Alastair dengan tatapan horor. Sementara pria itu tidak peduli pandangan orang-orang terhadapnya.  



"Kudengar Clementine yang akan menentukan hukuman untuk orang yang telah meracuninya?"  



"Kurasa itu keputusan yang adil. Bagaimana pun juga, dialah yang nyaris mati karena ulah wanita itu." Jenderal Kilorn ikut dalam pembicaraan ketiganya.  



Sudah nyaris tengah hari dan Jenny telah dibawa ke tengah tengah lapangan besar serupa colosseum dengan undakanundakan tinggi tempat para penonton, juga sebuah panggung besar untuk tempat duduk anggota kerajaan.  



Verity terdiam, keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan sesuatu, la ingin kematian Jenny terasa cepat dan jauh dari kata menyakitkan.  



"Aku ingin dia diracun," gumamnya, membuat tiga pria yang berada di sisinya, menatap kaget seperti ia baru saja menumbuhkan kepala baru.  



"Kau tahu, kan kalau hukuman racun hanya diberikan kepada orang-orang kasta tertinggi yang berkhianat?" Raja Zacharias Colthas tidak bisa menyembunyikan nada heran dari mulutnya.  



Verity tidak tahu peraturan semacam itu sebelumnya, jadi untuk menutupi kegugupannya ia berdeham keras. "Ia meracuniku, jadi kurasa hanya itu cara yangsetimpaluntuk membalas perbuatannya."  



"Lakukan seperti yang ia katakan." Raja Alastair memerintahkan salah satu algojo untuk menyiapkan racunyang akan diminumkan kepada Jenny nanti.  



"Tunggu!" Verity mengucapkannya terburu-buru. "Berikan ia hemlock."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity menatap Jenny kasihan. Wanita itu duduk di tengahtengah lapangan dengan tatapan kebingungan. Luka di punggungnya terlihat begitu jelas karena pakaiannya terkoyak setelah menerima entah berapa puluh cambukan di dalam penjara. Mata birunya terlihat sembap, sementara rambut pirangnya berantakan.  



"Apa kau tidak ingin mengubah keinginanmu?" Raja Alastair yang berada di sebelah Verity berbisik.  



Verity menggelengkan kepalanya tegas. Jenny hanya salah satu pion Ratu Amaranta. Wanita itu tidak bersalah.  



"Baiklah." Raja Alastair berdiri dari singgasananya dan menghadap langsung ke seluruh arena lapangan, berbicara lantang membahas sedikit hal.  



Pangeran Alexander melirik Verity sekilas, kemudian kembali ke lapangan. Ini pertama kalinya ia melihat hukuman mati di Austmarr. Para raja ataupun ratu dari kerajaan lain biasanya tidak perlu melihat pemandangan ini sebelumnya.  



"Jenny dari Selencia akan menerima hukuman mati karena telah melakukan percobaan pembunuhan kepada ratuku! la harusnya menerima hukuman gantung atau penggal, namun karena kebaikan hati ratuku, ia menerima hukuman racun." Raja Alastair terdiam sesaat. la menatap langsung bola mata biru Jenny, lalu berdecak tidak senang. Hukuman racun hanya diberikan kepada kasta tertinggi, bukan seorang pelayan. "Berikan racunnya!"  



"Hukuman ini terlalu ringan untuk pengkhianat sepertinya!" Verity mendengar teriakan-teriakan tidak setuju dari orang-orang Austmarr. Mereka memang barbar seperti yangdikatakan Matthias. Verity refleks mencengkram kedua pinggiran kursi yang ia duduki dengan cemas.  



Seorang algojo berjalan mendekati Jenny yang bersimpuh di tanah dengan kedua tangan dan kaki terikat erat. Sebuah mangkuk berisi racun hemlock yang kental diminumkan ke mulutnya. Jenny meronta ronta, algojo itu memaksanya menghabiskan setiap tetes hingga tak bersisa. Jenny megapmegap sesaat sebelum akhirnya memuntahkan banyak darah. Tibatiba semuanya berhenti, Jenny tidak lagi meronta ronta atau mengeluarkan suara ketika tak bisa bernapas. Wanita itu jatuh dengan posisi badan miring, mata birunya yang meredup seperti menatap langsung ke mata violet Verity.  



Saat wanita itu mati, satu per satu anggota kerajaan yang menonton proses hukuman turun dari singgasananya dan kembali ke istana. Begitu juga orang-orang Austmarr yang tadi berseru protes. Hujan deras tiba-tiba turun, sementara Verity masih di tempatnya, terlalu syok melihat jasad Jenny yang masih tergeletak di tanah.  



"Inilah hukuman untuk para pengkhianat, Clementine." Verity mendongakkan kepala dan melihat Raja Alastair yang ternyata menunggunya. Ia lalu melihat hujan yang tak lain adalah pengalaman pertamanya. Hujan itu membantu mengaburkan air mata kesedihan di matanya.                    



X THE DEATH  



JENNY TELAH MATI. Verity mengulanginya di dalam hati ketika menghampiri tubuh wanita itu. Hujan deras membasahi hingga pakaiannya menempel begitu erat bagaikan kulit kedua.  



"Maafkan aku." Verity menutup kedua mata Jenny yang terbuka lebar, lalu memperbaiki posisi tubuhnya. Melepas seluruh ikatan-ikatan pada kedua tangan dan kaki dan memosisikan tangan Jenny telungkup di dada.  



"Seharusnya aku yang mati, bukan kau." Verity berbisik di telinga Jenny. Ia berharap setidaknya Jenny akan mendapatkan pemakaman yang layak, tidak ditinggalkan begitu saja, menjadi santapan gagak. Verity menoleh dan melihat Raja Alastair yang masih berdiri di sebelah singgasananya, meneliti sikap anehnya hanya untuk seorang pelayan.  



"Dia hanya pelayan." Raja Alastair masih tak mengerti kenapa Verity begitu terpengaruh oleh kematian seorang pelayan yang telah berusaha membunuhnya. Ia seorang ratu dan kerajaan terbesar di Inkarnate, bukan pelayan seperti wanita itu. Tatapan Verity menajam mendengar perkataan Raja Alastair, senyumnya sedingin es. "Dia juga manusia. Dia seorang ibu untuk anak-anaknya, seorang istri untuk suaminya. Dia juga seorang anak perempuan untuk kedua orang tuanya, seorang saudara perempuan untuk saudara-saudaranya. Dia lebih dari seorang pelayan." Ia tak bisa lupa kalau dirinya hanyalah seorang budak rendahan sebelum masuk ke Austmarr. Apa yang akan Raja Alastair lakukan bila pria itu tahu kalau ia hanyalah seorang budak yang bahkan posisinya jauh di bawah pelayan?  



"Kematian tidak bisa dihindari, Clementine. Kau harus sadar kalau kau tidak bisa bersikap baik kepada semua orang. Akan banyak orang yang datang berusaha membunuhmu, bahkan seorang pelayan terdekatmu. Atau ratumu sendiri." Ucapan Raja Alastair secara langsung menyinggung Verity, membuat senyuman dinginnya hilang tak berbekas. "Kau harus ingat kalau aku juga seorang manusia. Aku seorang raja, kematianku akan mempengaruhi kehidupan ratusan ribu rakyat yang bergantung kepadaku."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Pangeran Alexander melihat Verity yang berdiri di tepi jendela mosaik besar dengan tatapan kosong. Wanita itu masih mengenakan pakaian sama sejak pagi tadi. Rambut hitamnya yang basah membuat pakaiannya semakin lembap.  



"Kau akan sakit lagi." Pangeran Alexander bergumam ketika menghampiri ratu Austmarr itu.  



Verity menarik napas panjang, lalu membalik badannya, dan melihat Pangeran Alexander. "Terima kasih untuk rasa khawatir yang Anda berikan, Yang Mulia."  



"Kau bisa memanggilku Alex." Pangeran Alexander menyadari betapa merasa bersalahnya Verity karena pelayan itu terbunuh olehnya. "Apa kau masih memikirkan pelayan itu?"  



"Pelayan itu punya nama!" Tanpa Verity sadari, ia mengeluarkan nada tinggi untuk Pangeran Alexander. "Maaf, tapi aku sedang tidak ingin berbincang denganmu, Alexander."  



"Seharusnya kau membunuhnya saat itu juga." Verity mengerutkan kening, lalu berbisik pelan. "Aku berusaha, dan aku menusuk jantungnya."  



Pangeran Alexander terdiam dan memejamkan matanya sesaat. "Aku akan memberikanmu ini." Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku jasnya.  



"Arsenik!" Verity melihat benda itu penasaran, memutar mutar sebentar, kemudian mengenggamnya erat. "Apa kau menyuruhku membunuh Raja Alastair dengan ini?"  



"Tidak!" Pangeran Alexander menggelengkan kepala. "Gunakan ini bila kau terdesak. Lebih baik mati daripada disiksa seperti Jenny bukan? Alastair mungkin tidak akan memberikan kebijakan berlebih kepadamu. Hukuman mati di sini adalah hukum pancung, setelah itu mayatmu akan diikat dan diberikan untuk santapan gagak."  



Verity merinding ketika mendengar detail hukuman yang bisa saja dilihat pagi ini bila ia tidak berusaha untuk meringankan hukuman Jenny. "Kau menyuruhku bunuh diri?" Ia ingin hidup, tetapi seumur hidup di penjara sama saja mati perlahan.  



"Kau akan sendiri setelah ini, Clement. Aku akan kembali ke Thaurin, begitu juga yang lainnya," kata Pangeran Alexander.  



Selama beberapa hari ini, Verity menyadari pengaruh Ratu Rania, Pangeran Alexander, bahkan Raja Zacharias di kehidupannya. Mereka membawa warna berbeda dan membuatnya tidak merasa kesepian. Tidak seperti Raja Alastair yang dingin. Percakapannya keduanya bisa dihitung jari. Satusatunya percakapan terpanjang hanyalah saat ia berusaha membunuh sang raja. Jelas, itu bukan awal yang baik.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity berdiri di depan cermin besar setinggi dirinya, la tengah dirias oleh seorang pelayan dari Austmarr, terlihat dari pakaian juga karakteristik mereka yang berbeda jauh dari orang-orang Selencia. Pelayan itu menata rambutnya, menempelkan mutiara mutiara kecil yang terlihat kontras dengan rambut hitamnya.  



"Semua akan kembali ke kerajaan mereka masing-masing." Raja Alastair memasuki ruang rias tanpa memberikan salam atau sekadar ketukan di pintu.  



"Baiklah." Verity bergumam dan mengabaikan sikap Raja Alastair. Ini kerajaannya, ia yang berkuasa. Verity tidak punya alasan untuk melarang Raja Alastair masuk hanya karena ia sedang berhias di ruangan.  



"Begitu juga pelayan-pelayan dan pengawal yang kau bawa dari Selencia." Raja Alastair meneliti ekspresi Verity dari pantulan cermin. Wanita itu hanya



menghela napas panjang dan mengangguk. "Kau tidak akan protes?"  



"Aku tidak ingin ada yang terbunuh lagi di sini." Ucapan pelan Verity membuat Raja Alastair tersenyum samar.  



"Keluarlah!" Alastair memerintah, membuat si pelayan terburu-buru keluar tanpa banyak kata.  



"Lucu mendengarmu mengatakan itu ketika beberapa hari lalu kaulah yang berusaha membunuhku, Clementine." Raja Alastair membalik badan Verity, memaksa wanita itu menghadap dan menatap matanya. "Apa kau tidak ingin membuka mulut sekarang dan memberitahuku siapa kau sebenarnya?"  



"Seharusnya Anda membiarkan saya mati, Yang Mulia," Verity bergumam.  



"Dan membiarkanmu mati begitu mudahnya? Membawa  



rahasia yang kau simpan ke dalam kematian?" Verity bisa  



melihat kepalan erat tangan Raja Alastair. "Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan Anda, Yang Mulia," kata Verity lelah.  



"Aku tidak akan membunuhmu sebelum kau menjawab pertanyaanku, Clementine." Verity hanya bisa memberikan senyuman tipis penuh ironi. Ia jujur atas jawabannya. Ratu Amaranta memasukkannya ke penjara tanpa batas waktu karena ia mencuri sepotong roti. Sudah sepuluh tahun dan ia mulai melupakan siapa dirinya.  



"Apakah Anda akan membunuhku?" "Bila waktunya tepat, Clementine. Bila aku sudah mendapatkan jawabannya." Perkataan dingin Raja Alastair membuat Verity terpaku. Berada di Austmarr, berperan sebagai seorang



Ratu Clementine. Bayangannya tentang hidup di pinggir desa, tenang, tanpa kehadiran satu pun anggota kerajaan yang mengusik, buyar dalam sekejap mata. Yang tersisa hanyalah iron. Ia hidup berpura-pura menjadi orang lain.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Dalam sehari kita mendapatkan pesta dansa setelah melihat hukuman mati. Apakah kita tengah merayakan kematian?" Raja Zacharias Colthas meneguk cairan berwarna keemasan dari gelas di tangannya.  



"Kau terlalu pesimis, Zachary." Jenderal Kilorn membuat persepsi yang berbeda-beda terhadap setiap anggota kerajaan. Raja Zacharias Colthas bukan yang paling baik di antara kelimanya, tetapi ia paling realistis. Tidak seperti Raja Alastair, Raja Zacharias Colthas naik takhta setelah ayahnya meninggal. Bukan rahasia lagi kalau pria itu benci ayahnya juga tugas yang diberikan. Bila mau, ia bisa saja pergi meninggalkan Colthas bahkan Inkarnate dan mencari benua-benua lain yang mungkin belum pernah ditinggali sebelumnya. Namun, ia bukan pria pengecut.  



"Dan kau terlalu optimis, Jenderal." Raja Zacharias Colthas membalas perkataan Jenderal Kilorn dingin. "Ratu Clementine terlihat siap pingsan kapan saja. Siapa yang menyuruhnya mengenakan pakaian putih seperti itu? Dia terlihat lebih pucat daripada hantu."  



"Aku tidak tahu kalau kau punya selera fashion yang tinggi, Zachary." Jenderal Kilorn terbahak. "Tapi kau benar, Ratu Clementine memang terlihat pucat. Dia sepertinya cukup terpukul dengan kematian si pelayan."  



Raja Zacharias Colthas mendengkus kesal. "Mungkin ia terlalu lama dikurung di menaranya. Dia terlalu naif dan polos sebagai seorang anggota kerajaan."  



"Bagiku malah kebalikannya. Ratu Clementine memberikan udara segar untuk lima kerajaan. Dia seperti warna baru di Inkarnate," sanggah Jendral Kilorn.  



"Kita berharap saja dia tidak akan mati karena kepolosannya." Raja Zacharias tidak peduli jika Ratu Clementine mati atau tidak, tetapi ia cukup tertarik terhadap interaksi sang ratu dengan Pangeran Alexander dan Raja Alastair. Wanita misterius itu mengacaukan kedamaian kecil di tengah perang dingin Thaurin dan Austmarr.  



"Dia dibawa kemari sebagai bentuk perjanjian kerja sama, Zachary. Dia adalah bentuk kedamaian. Membunuhnya sama saja memecahkan perang di lima kerajaan." Jenderal Kilorn merupakan salah seorang yang berperang bersama raja terdahulu Raria. Kehancuran Dragør dua dekade lalu, membuat perang berhenti karena Austmarr menarik semua tentaranya, begitu juga Raria dan Colthas, menyisakan Dragør yang terpuruk sendirian. "Anda akan lewat mana saat kembali ke Colthas nanti?"  



"Hutan Pinus dipenuhi perampok, tapi aku punya tentara tentaraku."  



"Anda akan melewati Hutan Pinus?" Jenderal Kilorn lebih memilih melewati jalan antar desa yang cukup aman. Meski ia seorang jenderal tertinggi di Raria dan bisa melawan para perampok dengan tangan kosong, ia tidak ingin mengabaikan keselamatan keluarganya.  



"Jalan antar desa sangat panjang." Memotong jalan lewat Hutan Pinus memang bisa membuat perjalanan mereka lebih singkat daripada melewati jalan biasa. "Apa Alastair tidak melakukan sesuatu kepada para perampok itu?"  



"Kudengar penjagaan di Austmarr diperketat semenjak usaha pembunuhan Clementine. Tapi aku tidak melihat begitu banyak perubahan," kata Jendral Kilorn.



 



"Mungkin kau harus mengasah pedangmu kembali, Jenderal. Alastair menaruh lebih banyak tentara yang dengan para pelayan. Penjagaan memang diperketat, tapi dia berbaur tidak ingin merubah sistemnya secara tiba-tiba hingga membuat para tamu undangan juga anggota kerajaan panik."  



Jenderal Kilorn menajamkan matanya kembali dan mendapati beberapa tentara yang bersikap kaku tengah membantu para pelayan menghidangkan makanan. "Penjagaan di istana memang diperketat, tapi aku tidak tahu dengan Hutan Pinus. Aku yakin Alastair tengah rapat dengan para menterinya. Dia selalu menghindari acara semacam ini. Bahkan saat pernikahannya pun, ia pergi setelah mengucapkan sumpahnya."  



Verity bisa merasakan matanya mulai berkunang-kunang karena berdiri entah berapa jam di tengah pesta, berbicara dengan para bangsawan yang berpengaruh di kerajaan Austmarr, memberikan senyuman lebar, juga jabatan tangan. Dari sudut mata, ia bisa melihat Raja Zacharias dan Jenderal Kilorn tengah berbincang, tetapi tidak mendapati Pangeran Alexander atau Ratu Raria. Keduanya mungkin tengah bersiap berhubung akan berangkat saat malam tiba.  



"Anda terlihat pucat, Yang Mulia." Seorang bangsawan menegur. Bangsawan yang lain juga turut menatap khawatir.  



"Aku akan mencari udara segar sebentar." Verity pamit, lalu berjalan keluar dari ballroom menuju taman. Ia hanya perlu udara segar sebentar sebelum kembali berbaur bersama para bangsawan dengan parfum menyengat sembari meringis melihat makanan yang tak henti-hentinya datang memenuhi perut mereka. Sampai sekarang ia masih tak terbiasa makan lebih banyak. Raja mengira, ia tak mau makan karena takut kembali diracuni.  



Malam ini penjagaan di sayap kiri istana tidak seketat sebelumnya, memang masih ada beberapa penjaga, tetapi mayoritas berjaga di ballroom istana. Sebagian lagi bersembunyi di balik bayangan, luput dari pengamatan Verity.  



Verity baru melihat sebagian bunga-bunga di taman. Ia melangkahkan kaki lebih jauh hingga tiba di danau buatan dekat dinding pembatas istana yang bersinggungan langsung dengan Hutan Pinus. Ia menyapa penjaga yang bersembunyi di balik bayangan dan tetap berjalan hingga ke tepi danau.  



"Wow!" Ini pertama kalinya Verity melihat danau. la berjongkok, kemudian meraup air. Pantulan rembulan terlukis indah di permukaan danau. Ia teringat Jenny. Bila masih ada, mungkin akan berseru menyuruhnya menjauh dari danau karena berbahaya. Verity menunduk sedih, ia merasa sendirian di dunia ini.  



"Aku sudah bilang, kan kalau kita akan bertemu lagi, Yang Mulia?" Seseorang bersuara.  



"Tybalt!" Verity terbelalak melihat pria itu berada di dalam istana Austmarr, lebih kaget ketika ia mendapati penjaga telah terbaring lemas di dekat Barney. "Apa kau membunuhnya?" "Tidak." Tybalt terlihat heran dengan pertanyaannya.  



"Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa 'masuk?" Tembok itu berbatasan langsung dengan Hutan Pinus, juga jurang tinggi yang seharusnya tidak mudah dilewati penyusup.  



Verity melangkah mundur dengan hati-hati, beberapa meter lagi akan ada penjaga lain. Ia bisa berteriak dan mereka pasti segera datang.  



"Selencia dan Austmarr mungkin akan membayar tinggi bila aku mendapatkanmu sebagai tahanan." Tybalt melangkah maju tanpa ragu.



"Kuharap kau tidak berteriak, Clement! Aku tidak ingin melukaimu lebih dari yang seharusnya."  



Verity mengabaikan saran Tybalt dan berteriak kencang menarik perhatian siapa pun yang berada di istana.                



XI THE LOST KINGDOM  



TYBALT MENARIK VERITY dan menempelkan belati tajam yang segera menggores leher jenjang Verity. Darah pun mengucur dari luka, mengotori gaun putihnya. Derap langkah terdengar semakin mendekat, membuat jantungnya berdegup kencang. Namun, ia juga bisa mendengar degup jantung Tybalt yang tak kalah kencang. Adrenalin memacu jantung keduanya menjadi lebih cepat.  



"Diamlah!" Tybalt berbisik di telinga Verity dan menariknya semakin mendekati dinding pembatas.  



"Berhenti!" Verity membelalakkan mata ketika melihat Raja Alastair berdiri di deretan terdepan diikuti Raja Zacharias dan Jenderal Kilorn. Beberapa pasukan yang membawa busur dan anak panah sudah bersiap menyerang Tybalt bila saja pria itu tidak menjadikan Verity sebagai tameng hidup.  



"Kau benar-benar selalu memancing kematian mendekatimu, ya?" Cibiran terdengar jelas dari Raja Zacharias yang menatap muak. Menghadapi dua perampok yang memasuki kerajaan memang sangat mudah seandainya Verity tidak dijadikan sandera.  



Barney kini berada di hadapan Tybalt, memasang ancang. ancang, bersiap menghadang siapa saja yang berusaha mendekati mereka.  



"Diamlah, Zachary!" Raja Alastair berkata kesal. Rapat baru saja selesai ketika teriakan Verity terdengar hingga ke ruang rapat. Bahkan tamu-tamu di ballroom juga berlarian ke sumber suara dan mendapati sang ratu yang baru beberapa menit lalu menemani mereka, kini menjadi sandera.  



"Alastair, senang berjumpa denganmu." Tybalt berucap dengan nada getir yang samar, tertutupi oleh cemoohannya. "Bagaimana rasanya melihat ratumu berada di cengkeramanku?"  



Raja Alastair menatap Tybalt tajam, tetapi tatapannya lebih tertuju kepada Verity yang tampak semakin pucat. Wanita itu memang memancing kematian di mana pun berada, bahkan tubuh Jenny belum membusuk ketika lagi-lagi seseorang berusaha membunuhnya.  



"Tybalt, kau akan mati! Kalau bukan sekarang, maka nanti," ancamnya.  



Verity tersentak kaget ketika mendengar nama Tybalt keluar dari mulut Raja Alastair. Mereka saling mengenal? Seorang raja dan bandit dari kelas rendahan saling mengenal?  



"Siapa kau?" Verity berucap lirih. Kepalanya pusing dan berat, aroma anyir juga membuatnya mual. Ia belum memakan apa pun sejak kematian Jenny, kecuali hanya menyuap sup atau meminum air. Tubuhnya terasa lebih lemah dibanding ketika mendekam di penjara dan tidak mendapatkan jatah makan lebih dari seminggu.



 



Tybalt mengabaikan pertanyaan Verity dan menekan belati lebih dalam lagi. "Bagaimana kalau ratumu mati lebih dulu, Alastair?"  



"Apa yang kau inginkan?" Raja Alastair tidak suka harus bernegosiasi dengan musuh-musuhnya, terutama yang sudah jelas menyerang secara langsung.  



Tybalt mungkin salah satu dari orang-orang Dragør yang tersisa. Namun, kerajaan itu telah lama mati, begitu juga para keturunannya. Tidak ada lagi yang tersisa selain reruntuhan dan puing-puing kerajaan, serta sebagian kecil rakyat mereka yang kini hidup terlunta-lunta mengharapkan belas kasihan dari lima kerajaan. Sebagian dari mereka memilih bergabung dengan lima kerajaan, sisanya sekumpulan orang-orang yang masih percaya kalau suatu hari, Dragør akan bangkit dan bergabung bersama Tybalt, salah satu bangsawan dari Dragør yang memiliki hubungan dekat dengan anggota kerajaan terdahulu.  



"Pasukanmu menangkap beberapa anggotaku yang berada di pasar pagi ini." Mata Raja Alastair semakin terlihat sinis, pertanda ia telah mengetahui siapa yang Tybalt maksud.  



"Hukuman pencuri adalah potong tangan. Aku tidak bisa memberi kebebasan kepada mereka, terutama setelah tahu kalau mereka bukanlah bagian dari Austmarr." Verity memekik pelan ketika Tybalt semakin menekan belati ke lehernya.  



"Mereka bahkan belum berumur tiga belas tahun!" Raung Tybalt marah, mataanya menyorot nyalang. "Pasukanmu yang menyisir Hutan Pinus selama beberapa hari terakhir, membuat kami kesulitan mendapatkan makanan!"  



Mata Verity membelalak semakin lebar. Tiga belas tahun. Bocah itu mencuri makanan di pasar karena kelaparan, mengingatkan kepada dirinya yang dulu diberi hukuman cambuk karena mencuri. Hukuman di Austmarr rupanya lebih berat dari Selencia, ia merasa lebih beruntung karena kedua tangannya masih utuh hingga detik ini.  



"Bebaskan dia!"  



"Apa maksudmu, Clementine!" Raja Alastair menatap tajam. Ia tidak setuju Verity membebaskan tahanan rendahan yang mencuri makanan di pasar.  



"Bebaskan dia." Verity mengulangi, suaranya kian lirih dan kepalanya terasa semakin berat. "Apa kau ingin aku mati sekarang?"  



Raja Alastair mendengkus kesal. Ia lebih senang bila wanita itu diam dan tidak ikut campur. Bukan sekali ini Dragør membuat ulah, tetapi yang paling mencengangkan adalah keberanian Tybalt masuk istana, bahkan menyandera istrinya. "Aku akan membebaskan bocah itu," ucapnya dengan nada tak suka.  



"Bawa dia kemari!" Kedua tangan Raja Alastair mengepal erat, rahangnya mengeras menahan amarah. Bernegosiasi dengan musuh tidak harus ia lakukan sebelumnya. Seandainya saja istrinya tidak berada dalam cengkeraman Tybalt, maka ia akan langsung membunuh pria itu.  



"Bawa bocah itu kemari!" Raja Alastair mengangkat tangan kanan, memerintahkan seorang tentara berjubah merah agar segera membawa bocah yang baru saja ditangkap ke taman.  



Tidak lama kemudian, tentara itu kembali dengan tiga orang anak kecil. Yang tertua, Verity bisa menebak baru berusia tiga belas tahun. Sementara dua lainnya: seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dan mata coklat terang, mungkin masih berusia sebelas tahun, dan bocah laki-laki yang



paling kecil, mungkin berusia sembilan tahun. Ketiganya terlihat kurus dengan mata yang terlihat terlalu besar dibanding wajah cekungnya, pakaian mereka kotor, lutut juga siku membiru dan lecet.  



"Peter!" Verity bisa mendengar napas lega Tybalt. Bocah laki-laki ingin segera kembali ke pelukan Barney dan Tybalt, tetapi ditahan tentara-tentara Austmarr.  



"Berikan Clementine kepadaku, maka akan kubebaskan tiga tahanan ini." Ucapan dingin Raja Alastair membuat Verity tak senang. Mereka bahkan terlalu kecil untuk menerima siksaan penjara. Apa yang membuat hati Raja Alastair sedingin itu hingga tega membiarkan mereka mendekam di penjara dan menerima hukuman kejam?  



"Tidak! Berikan ketiganya lebih dahulu. Aku tidak bisa memastikan kalau kau tidak akan melepaskan panah-panah itu bila aku melepaskan ratumu lebih dulu." Nada penuh penegasan Tybalt juga tak adanya tanda-tanda pria itu akan segera melepaskan Verity, membuat Raja Alastair kembali memberi aba-aba kepada tentaranya agar melepaskan ketiga bocah. Mereka segera berlari ke pelukan Barney dan sembunyi di balik punggungnya.  



"Aku tidak ingin kau berada di Hutan Pinus! Daerah itu terlarang untukmu mulai detik ini. Aku memberimu waktu lima menit sebelum pasukanku mengejar setelah kau keluar dari istana ini." Raja Alastair memberikan penawaran terakhir. Setelah ini, ia tidak ingin ada satu pun rakyat Dragør yang tersisa di Austmarr. Sebagian Hutan Pinus memang merupakan daerah kekuasaannya.  



"Baiklah." Tybalt mengangguk kepada Barney dan melonggarkan tekanan belatinya di leher Verity.  



Barney yang terlihat tanggap segera menggendong bocah terkecil dan memerintahkan dua lainnya untuk mengikutinya memanjat tembok



pembatas istana.  



"Kau tahu, kan kalau lima menit yang kumaksud adalah saat mereka mulai melewati tembok itu?" Raja Alastair mengatakannya dengan nada ejekan. Setiap pasukan pemanah sudah bersiap menyerang bila ia memerintahkan.  



"Aku mengerti!" Tybalt tidak akan pergi sebelum memastikan keempatnya cukup jauh dari kejaran tentara-tentara Austmarr. Raja Alastair bisa saja menyerang tepat saat ia membalikkan tubuh.  



"Waktumu sebentar lagi habis." Raja Alastair memberikan penanda dengan gerakan tangan kanan. Para tentara telah bersiap untuk menembakkan panah mereka.  



"Sampai jumpa lagi, Yang Mulia." Tybalt berbisik kepada Verity untuk yang terakhir kali sebelum melepas tawanannya begitu saja, membuat Verity terjatuh di rumput yang lembap. Tangan kanannya menahan leher yang terluka, matanya membelalak kaget melihat Tybalt segera berlari melewati tembok pembatas hanya beberapa detik sebelum panah-panah pasukan Raja Alastair dilepaskan.  



"Clementine!" Verity mendongak dan melihat Raja Alastair mengulurkan tangan. Alih-alih menerima, ia malah menepis dan berusaha berdiri sendiri. Baru sebentar Verity berdiri, rasa pusing kembali menyerang, membuat tubuhnya lunglai.  



"Kau benar-benar keras kepala." Verity mendengar ucapan terakhir Raja Alastair sebelum kegelapan lagi-lagi menyelimutinya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Barney melihat wajah pucat Tybalt. Sebuah anak panah berhasil melukai lengannya.  



"Apa kau baik-baik saja?" Barney menatap khawatir. Matanya awas menatap segala sisi Hutan Pinus, siap siaga terhadap segala serangan.  



Tybalt hanya mengangguk sekilas. Giginya menyobek sedikit pakaian yang dikenakan. "Bawa Peter, Abby, dan Samuel kembali ke kemah! Kita harus segera memberitahu yang lain."  



"Mereka sudah berada di garis perbatasan Austmarr dan Dragør." Barney telah memastikan semua anggotanya sudah bersiap dan berangkat ke perbatasan sebelum ia pergi ke istana. Bila ia dan Tybalt mati, maka ia hanya bisa berharap kalau mereka bisa mandiri tanpa memerlukannya.  



Tybalt melilit luka di tangannya dengan sobekan kain, lalu menatap ketiga bocah yang juga tak kalah pucat dengannya. "Peter, apa kau baik-baik saja?"  



Peter, bocah tertua mengangguk lemah. "Aku minta maaf, Ty. Samuel menginginkan sebuah manisan, dan kau tahu kami sangat kelaparan."  



Tybalt mengangguk sedih, ia nyaris lupa kalau kondisi tubuhnya berbeda dengan ketiga anak-anak ini. Sebagai lelaki dewasa, ia lebih mampu memakan apa saja dalam kondisi apa pun, atau tidak makan selama berhari-hari.  



"Kita harus segera berangkat." Tybalt kembali bersiap. Barney mengendong Samuel yang terisak pelan karena tak sabar ke pelukan ibunya. Abigail dan Peter mengikuti langkah keduanya yang bergerak cepat menjauhi Hutan Pinus.  



"Menurutmu kenapa Ratu Clementine menyuruh Raja Alastair segera membebaskan mereka?" Barney bertanya dengan nada penasaran. Tindakan Ratu Clementine memang tak terduga, mereka mengira sang ratu akan diam dan membiarkan Raja Alastair mengurus sendiri. "Tentu saja agar ia tidak mati," jawab Tybalt singkat. Saat ini hanya itu alasan yang terlintas.  



"Dia juga terlihat cukup peduli dengan tentara yang kubuat pingsan itu," imbuh Barney, "kau tidak menekan belatinya cukup dalam dan Raja Alastair sepertinya menyadari itu. Dia bisa saja membunuhmu bila Ratu Clementine tidak mengatakan apa pun."  



"Diamlah, Barney!" Tybalt tak suka ketika Barney mulai mengusik isi pikirannya. Ratu Clementine mungkin naif dan sangat berbeda dari ibunya yang licik. Ia tidak menyangka kalau Ratu Clementine akan peduli kepada tentara rendahan, juga para bandit sepertinya. "Dia putri Ratu Amaranta, juga istri Raja Alastair. Kita tidak boleh lupa kalau mereka penyumbang terbesar kehancuran Dragør."  



"Kau benar," sahut Barney. Seandainya saja wanita itu bukan putri Ratu Amaranta atau istri Raja Alastair, mereka mungkin masih bisa menyisakan sedikit rasa simpati kepadanya.  



Mereka melangkah dalam diam, bahkan lebih senyap dari suara-suara hewan malam. Dari kejauhan, Barney melihat sebuah api unggun buatan para lelaki Dragør kini tengah yang berkumpul dengan wajah khawatir dan lelah.  



"Barney! Tybalt!" Suara mereka dipenuhi rasa kelegaan yang kental, "aku mendengar suara-suara tentara Austmarr saat berusaha masuk kembali ke Hutan Pinus. Kukira kalian telah mati."  



"Peter! Abigail! Samuel!" Seorang wanita paruh baya menangis sesenggukkan ketika ketiga anaknya kembali.



 



"Mama!" Barney menurunkan Samuel dan melihat bocah itu berlari ke pelukan ibunya.  



"Kami mendapatkan ini saat berada di hutan," kata salah  



seroang.  



Seekor rusa berukuran cukup besar bisa menjadi makan malam mereka. Barney memeluk mereka satu per satu, wajahnya terlihat lega juga bahagia karena bisa berkumpul kembali di tanah yang mereka pernah menyebutnya rumah.  



"Tybalt, kau tidak ingin makan malam dulu?" Barney bertanya kepada Tybalt yang terus melangkah menuju tepi sungai.  



"Tidak, aku akan membersihkan lukaku lebih dulu."  



"Hati-hatilah." Tybalt melambaikan tangan dan berjalan mendekati sungai, lalu duduk di batu. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan kalung dari emas putih dengan liontin mutiara juga permata yang tadi dikenakan sang ratu. Ia melepaskan kalung itu sesaat sebelum pergi. Bila saja ia tidak melepaskan kalung lebih dulu, mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk berlari dan tidak akan terluka seperti ini. Namun, bila ia menjual kalung, mungkin kelompoknya tidak perlu mencuri dan tidak akan kelaparan dalam jangka waktu yang cukup lama.  



Tybalt menimbang sesaat ketika melihat cahaya bulan menerangi kalung mutiara Ratu Clementine. Ia memutuskan untuk menyimpannya.  



Sampai jumpa kembali? Ia menggeleng sesaat dan tersenyum miris. Bila saat itu tiba, mungkin Raja Alastair akan benar-benar membunuhnya.



     



XII THE HEART  



RAJA ALASTAIR MEMBAWA tubuh Verity menuju kamarnya, di mana para tabib termasuk Pangeran Alexander telah menunggu. Para pengawal membukakan pintu lebar-lebar, membuatnya lebih leluasa masuk dan segera membaringkan tubuh Verity di kasur. Para tabib pun segera bekerja.  



"Lukanya tidak terlalu dalam. Dia akan baik-baik saja, Yang Mulia." Tabib tua yang pernah memeriksa Verity sebelumnya berucap yakin.  



"Kau belum berangkat?" Raja Alastair mengalihkan tatapannya kepada Pangeran Alexander yang berdiri di dekat Verity.  



"Ratu Amaranta menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Putri Clementine kepadaku. Jadi "  



"Ratu Clementine." Raja Alastair memotong ucapan Pangeran Alexander tak senang. "Jangan lupa kalau dia sudah menikah denganku sekarang."  



Pangeran Alexander menatap Raja Alastair tajam dan mengabaikan perkataan pria itu. "Apa yang terjadi pada Clement hari ini, membuktikan kalau tidak seharusnya dia berada di sini, Yang Mulia," katanya.  



"Aku bisa menjamin kalau itu tidak akan terjadi lagi," tukas Raja Alastair. Kekuasaan dan keamanan kerajaan dipertaruhkan karena seorang bandit yang berhasil masuk istana, bahkan melukai istrinya.



 



"Kau harus bersiap berperang. Tidak hanya dengan Selencia, tetapi juga Thaurin bila hal sama terjadi untuk yang ketiga kalinya."  



"Brengsek!" Raja Alastair berusaha menahan amarah sejak Tybalt berhasil menjadikan istrinya sandera, dan kini amarah yang sudah tertahan di ubunubun, semakin dipancing Pangeran Alexander. Bila saja mereka tidak berada di tengah kerumunan, Raja Alastair yakin, ia akan langsung meninju wajah pria itu.  



"Yang Mulia." Richard Blaxton yang merasakan ketegangan memenuhi ruangan, memperingati keduanya dengan nada tenang. "Kuharap Yang Mulia memberikan waktu kepada Ratu Clementine untuk beristirahat. Kejadian beberapa hari terakhir membuatnya lebih tertekan."  



"Bagaimana keadaan Clement yang sebenarnya?" Raja Alastair menatap tajam. Beberapa saat lalu tabib itu mengatakan kalau istrinya akan baik-baik saja.  



Sang tabib mengusap keringat dingin yang membasahi dahi dengan sapu tangan, tangannya gemetaran karena gugup ditatap oleh orang terpenting dari dua kerajaan. "Yang Mulia Ratu Clementine akan baik-baik saja. Kurasa dia mengalami tekanan batin yang cukup hebat hingga bisa pingsan seperti ini, Yang Mulia. Dia hanya perlu beristirahat lebih lama dan memakan makanan yang lebih bernutrisi untuk mengembalikan stamina tubuh."  



"Beri dia sup kaldu saat ia bangun nanti. Sejak pagi, ia tidak memakan apa pun." Raja Alastair mengepalkan tangan mendengar perintah yang dikeluarkan Pangeran Alexander kepada sang tabib.  



"Kau tidak perlu khawatir dengan keadaan Clementine." Raja Alastair tidak sabar ingin segera mengusir pria itu dari Austmarr.  



"Ratu Amaranta-"  



"Beritahu kepada Ratu Amaranta, saat dia memberikan Clementine kepadaku, maka dia tidak punya hak apa-apa lagi kepada Clementine!" potong Raja Alastair.  



"Brengsek!" desis Pangeran Alexander.  



"Katakan itu sekali lagi, maka aku akan membunuhmu saat ini juga! Kau bukan apa-apa, Alexander. Kau masih berada di bawah kuasa ayahmu!" Raja Alastair memberikan senyuman sinis. "Tidak seharusnya kau menghinaku di kerajaanku sendiri, Alexander!"  



"Ratu Amaranta tidak akan tinggal diam! Clementine nyaris mati dua kali selama berada di kerajaanmu. Angka yang cukup signifikan bila dibanding saat ia berlindung di Thaurin," sinis Pangeran Alexander.  



"Berlindung di Thaurin?" Raja Alastair menyipitkan mata mendengar informasi baru tentang wanita misterius yang ia nikahi.  



"Kau tidak tahu bukan? Apa kau benar-benar mengenal istrimu sendiri, hm?" cibir Pangeran Alexander.  



Raja Alastair memikirkan perkataan Pangeran Alexander sejenak. Bila wanita itu benar-benar Clementine yang asli, kenapa pria itu berusaha membunuhnya? Pangeran Alexander terlihat cukup dekat dengan Clementine. Tidak ada orang lain yang bisa menjadi saksi siapa wanita ini sebenarnya karena Ratu Amaranta Clementine. benar-benar menyembunyikan keberadaan  



"Aku tidak peduli masa lalumu dengannya, Alexander! Aku punya seumur hidup untuk mengenal Clement." Raja Alastair berjanji di dalam hati,



setelah istrinya bangun nanti, ia akan bertanya dan mencari tahu siapa wanita itu sebenarnya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Tetaplah jalan ke depan. Ibu akan menemuimu di sana." "Ibu?" Wanita yang menyebut dirinya ibu itu berjongkok di hadapan Verity, menyejajarkan wajah, lalu memegang pipi Verity. "Jalan ke depan. Jangan berbalik ke belakang!"  



"Bagaimana dengan Ibu?"  



"Ibu akan menyusulmu. Ingat, jangan berbalik ke belakang!" Wanita itu membungkus Verity dengan mantel yang ia kenakan, menyembunyikan nyaris seluruh tubuh gadis kecil itu. "Ibu mencintaimu."  



Verity berlari meninggalkan wanita itu. Matanya lurus menatap ke depan, mengikuti saran wanita yang ia panggil ibu tadi. Mata violetnya dibasahi air mata, rambut hitamnya tertutupi mantel tebal. Di hadapannya bukanlah istana besar atau ruangan megah, hanya sebuah rumah sederhana di pinggir hutan. Ia tidak tahu kenapa perampok-perampok itu datang dan memisahkannya dari sang ibu..  



"Ibu! Ibu!" Verity berlari entah berapa lama hingga kaki-kakinya menyerah dan napasnya terasa berat.  



"Ibu..." Ia menangis sesenggukan ketika terjerembab akibat tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah.  



"Apa kau baik-baik saja?" Verity menatap seorang anak laki-laki di hadapannya. "Namaku...." "  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity terbangun dengan rasa pusing yang hebat. Ia menyentuh bagian leher yang dibebat kain untuk menutupi sayatan luka dari belati Tybalt. Rasa nyeri masih terasa, tetapi tidak terlalu. la mengerjapkan mata beberapa kali, lalu merasakan sentuhan tangan di dahinya.  



"Kau sudah bangun?" Pertanyaan sama seperti yang dilontarkan Raja Alastair di dekat danau.  



"Yang Mulia?" Verity terbelalak melihat Raja Alastair yang kini menatap tajam. Kedua tangan pria itu menahan kepalanya agar tak menghindari tatapan.  



"Apa yang kau pikirkan ketika keluar dari ballroom, hah!" Wajah Verity semakin memucat mendengar bentakan kasar Raja Alastair yang berada tepat di hadapannya. "Apa kau benar-benar berusaha membuat dirimu terbunuh? Aku tidak akan membiarkannya, Clement. Kau tidak akan mati sebelum aku mendapatkan jawabanku!"  



Verity menatap kesal. Raja Alastair bukan seorang raja seperti di dongengdongeng yang pernah ia baca. Pria itu tidak ramah, cenderung dingin, dan lebih sering mengabaikannya. Pria itu hanya datang ketika masalah menghampiri yang selama ini selalu berhubungan dengan nyawa seseorang.  



"Kelemahan pada kerajaanmu bukanlah kesalahanku, Yang Mulia. Aku mengira semua daerah cukup aman untuk aku lewati karena ini adalah kerajaanmu. Austmarr merupakan kerajaan terbesar juga pemimpin lima kerajaan lainnya. Tidak terbayangkan di benakku kalau akan ada penyusup masuk," katanya.  



Andai saja Raja Alastair bisa melakukan sesuatu kepada mulut lancang istrinya, tetapi melihat rona pucat Verity juga perkataannya, membuat rasa



marah terhadap diri sendiri menumpuk semakin tinggi. "Kenapa kau meminta para bandit itu dilepaskan?"  



"Mereka masih anak-anak!" Entah kekuatan dari mana hingga dengan tangannya yang lemah, Verity mampu mendorong tubuh Raja Alastair.  



"Kenapa kau peduli? Apa yang kau ketahui dari anak-anak seperti mereka? Kau tidak pernah merasakan lapar hingga harus mencuri atau mengais makanan di pasar. Ibumu selalu memberikan yang terbaik kepadamu. Kau hanya seorang tuan putri yang terkurung di dalam sangkar emasnya sendiri." Ucapan Raja Alastair benar-benar menohok ulu hati, membuat mata Verity berkaca-kaca ketika ia berusaha bangkit dan menjauh.  



"Mau ke mana kau?"  



"Menjauh. Tidak seharusnya aku menikah dengan monster sepertimu. Seharusnya aku berhasil membunuhmu malam itu juga." Verity keluar dari kamar, membiarkan Raja Alastair terpaku di tengah ruangan setelah mendengar pengakuan yang seharusnya tidak begitu mengejutkan. Ia memang benar-benar berniat membunuh sang raja pada malam pernikahan. Bila dulu alasannya hanyalah demi mendapat kebebasan, kini tumbuh alasan lain. Raja Alastair tidak memiliki hati, pria itu tidak pantas menjadi raja.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Bersembunyi di salah satu ruangan di Austmarr bukanlah pilihan baik, apalagi semenjak percobaan pembunuhannya, membuat Verity harus diikuti dua pengawal yang terus menjaga jarak, bahkan bersembunyi di balik bayangan ketika merasakan Verity membutuhkan waktu sendiri.  



"Yang Mulia! Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak beristirahat?" Kehadiran Richard Blaxton membuat Verity menarik napas lega. Pria itu



mengulurkan tangan, Verity serta merta menaruh tangan di lekukan sikunya. Keduanya pun berjalan beriringan.  



"Aku membutuhkan waktu sendiri." Tak terasa dua jam berlalu sejak Verity keluar dari kamar Raja Alastair dan menangis sesenggukan di anak tangga.  



"Kemarin terasa sangat berat bukan?" Richard Blaxton memiliki sifat kebapakan yang membuat Verity dengan mudah menceritakan apa pun.  



"Aku tidak tahu apa tujuanku berada di sini. Semua orang berusaha membunuhku." Richard Blaxton tersenyum kecil. Tanpa sepengetahuan Verity, ia juga tahu kalau wanita itu berusaha membunuh Raja Alastair. "Jenny tidak seharusnya mati. .. "  



"Tuhan telah menentukan garis mereka masing-masing Yang Mulia. Bila saja raja dan ratu Austmarr terdahulu masih hidup, mungkin Raja Alastair belum menjadi raja." Richard Blaxton berhenti di hadapan pintu besar tingginya yang mungkin mencapai langit-langit. Kedua pengawal segera membukakan pintu, membuat Verity takjub dengan pemandangan di hadapannya. Sebuah perpustakaan tiga lantai terbesar yang pernah ia lihat.  



"Semua jawabannya ada di sini."  



"Apa maksudmu?"  



"Anda adalah ratu Austmarr yang baru. Kuharap Anda memahami semua yang terjadi di kerajaan ini." Perkataan Richard Blaxton terdengar masuk akal di telinga Verity. Ia bisa mulai mencari sejarah lima kerajaan sebelum perang besar yang menghancurkan Dragør. Pelajaran dari Matthias selalu terdengar membosankan, tetapi perkataan Richard Blaxton membuat semangat di matanya menyala kembali.  



"Terima kasih, Richard. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan tanpamu." Verity tersenyum kaku.  



"Sama-sama, Yang Mulia." Richard Blaxton melepaskan pegangan tangan Verity, lalu berjalan meninggalkan perpustakaan.  



"Richard...."  



"Ya, Yang Mulia?" Richard Blaxton membalik badannya, lalu menatap Verity kembali.  



"Apa kau tahu alasan Raja Alastair tega memberi hukuman berat kepada anak-anak itu?" Verity yakin Raja Alastair masih memiliki setidaknya sedikit rasa simpati untuk anak-anak. Namun, melihat sikapnya pagi tadi, apakah Raja Alastair benar benar memiliki hati?  



Richard Blaxton terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Karena Raja Alastair tidak memiliki hati."  



"Apa maksudmu?" Verity mengerutkan kening.  



"Sebagai seorang raja, Raja Alastair harus bersikap adil kepada semuanya. Ia tidak bisa bersikap simpati kepada seseorang hanya karena Anda memintanya, Yang Mulia."  



Perkataan Richard Blaxton masih terdengar aneh di telinga Verity. Bila seandainya semalam ia tidak berada di cengkeraman Tybalt, ia yakin Raja Alastair akan tetap membunuh pria itu beserta tahanan anak-anak. Tatapan marah Raja Alastair pagi ini bukan didasari rasa khawatir, tetapi marah karena mangsanya lepas.  



"Beritahu kepadaku yang sebenarnya, Richard! Ada apa dengan Raja Alastair? Raja Zacharias Colthas yang terkenal licik lebih memiliki hati daripada Raja Alastair. Dia terlalu dingin. Apakah kau tidak menyadari sikapnya yang selama ini mengabaikanku?"  



"Hubungan kalian berdua tidak bisa dikatakan mudah, Yang Mulia. Raja Alastair dan Anda memiliki hubungan platonik yang memiliki tujuan untuk menyatukan dua kerajaan, Selencia dan Austmarr." Richard Blaxton terdengar gugup, tidak lagi setenang sebelumnya. Verity yakin kalau pria ini tahu sesuatu yang disembunyikan Raja Alastair.  



"Sudah berapa lama kau mengenal Raja Alastair, Richard?"  



"Sejak beliau menjadi raja. Saya diangkat oleh Yang Mulia Raja Alastair karena hanya saya yang bisa dipercaya pada saat itu," jawab Richard Blaxton.  



Banyak orang-orang yang berusaha merebut kekuasaan Austmarr semenjak Raja Alastair menjabat. Keberadaannya sebagai penasihat mungkin membantu Raja Alastair dan menguatkan posisinya sebagai raja. Namun, bukan berarti keberadaan sang raja di kursi singgasana seratus persen mutlak karena pengaruhnya, malah sebaliknya. Richard Blaxton tidak memiliki banyak pengaruh karena raja benar-benar memilah setiap saran yang ia berikan. Bahkan sejak usia sepuluh tahun pun sang raja sudah cenderung bersikap dingin dan antipati.  



"Apakah dia benar-benar tidak memiliki hati, Richard?" ulang Verity.  



Richard Blaxton menarik napas dalam-dalam, lalu menatap mata violet Verity. Ia akan memberi jawaban kenapa sang raja tidak mati saat Verity menusuk jantungnya. "Ya. Dia tidak memiliki hati."  



"Apa?" Verity agak terbelalak.



 



"Secara harfiah, Raja Alastair tidak memiliki hati." Richard Blaxton mengulang kalimat.  



Raja Alastair tidak memiliki hati, itukah alasan kenapa pria itu tidak mati saat jantungnya ditusuk?  



XIII THE PRINCESS  



PANGERAN ALEXANDER MENATAP muram bulan yang tertutupi awan. Penyerangan kepada Ratu Clementine membuat beberapa tentara Austmarr lebih siaga. Raja Alastair memang tidak main-main ketika memutuskan mengeluarkan tentara terbaik untuk mencari dua bandit yang berhasil masuk istana dan menyandera sang ratu.  



"Malam yang suram, eh?" Raja Zacharias yang sudah berada di atas kuda hitamnya menatap rendah Pangeran Alexander. Bahkan hingga hari terakhir, keduanya masih tidak ingin menurunkan sikap waspada terhadap pihak masing-masing.  



"Semoga perjalananmu menyenangkan, Zachary." Pangeran Alexander mengelus surai kudanya dan lagi-lagi menatap la mendengar desau angin yang menyapa dedaunan juga derap langkah para prajurit Austmarr. "Apakah dia akan baik-baik saja?"  



"Clementine? Kau tidak perlu khawatir. Wanita itu masih punya stok nyawa yang mungkin masih bisa kau selamatkan lain kali," cibir Raja Zacharias.  



Pangeran Alexander menaiki kudanya dengan sekali entakan, lantas memegang erat tali kekang kuda. Ia tidak terima dengan perkataan sinis Raja Zacharias yang cenderung mengejeknya.  



"Bukan Clementine, tapi pemuda itu.Tybalt."  



Mata hitam Raja Zacharias menatap Pangeran Alexander sekilas. "Kau mengenalnya?"  



"Siapa yang tidak?" gumam Pangeran Alexander pelan. Pertanyaan tersebut lebih tertuju kepada dirinya. "Kau akan lewat mana untuk kembali ke Colthas?"  



"Hutan Pinus." Raja Zacharias melihat tentaranya yang hanya berjumlah sepuluh orang, terhitung sangat sedikit untuk melindungi seorang raja.  



"Kau tidak tahu kalau mereka sedang dikejar di Hutan Pinus?"  



"Bukankah itu lebih baik? Tentara-tentaraku tak perlu bersusah payah membunuh para bandit itu satu per satu." Raja Zacharias melihat kembali para tentara yang sudah berkumpul di sekitarnya. Semuanya mengenakan pakaian hitam dengan emblem abu-abu kecil milik tentara elite Colthas di dada mereka. Tidak hanya pakaian, tetapi kuda-kuda juga berwarna senada. Tentu saja keseragaman itu membuat mereka mudah bersembunyi di balik kegelapan.  



"Apa yang sedang kau rencanakan sebenarnya, Zachary?" selidik Pangeran Alexander.  



"Aku akan lewat utara. Menurutmu apa yang sedang aku rencanakan, Alexander?" Raja Zacharias tersenyum miring, lalu menutupi wajahnya dengan kain hitam.



 



Semua tentara mengikuti gerakan sang raja. Dengan hal itu, tidak ada yang bisa membedakan mereka selain emblem abu abu di dada Raja Zacharias yang lebih berkilauan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Colthas berada di selatan Austmarr. Melewati jalur utara, berarti Raja Zacharias tidak benar-benar menuju tempat itu. Ia tengah menuju Dragør, kerajaan keenam yang kini telah hancur dan hanya tersisa puing-puing.  



"Ssh!" Pria itu beberapa kali memelankan langkah kuda untuk menghindari tentara-tentara Austmarr yang masih bersembunyi di Hutan Pinus.  



Raja Zacharias berusaha mencari dua Dragørian yang kabur setelah berhasil melukai Ratu Clementine. Ia yakin mereka menuju Dragør sekarang.  



"Yang Mulia!" Salah satu tentara Colthas menunjuk anak sungai, ia menemukan jejak-jejak kemah yang terlihat telah cukup lama ditinggalkan. "Kelihatannya ada beberapa orang yang sempat tinggal di sini. Keadaan kemah yang rusak mungkin karena tentara Austmarr telah melewati dan memeriksa tempat ini."  



"Dragør berusaha membentuk kembali kerajaan mereka rupanya." Raja Zacharias bergumam. Kecurigaannya semakin bertambah ketika melihat jejak air yang seperti baru saja dilewati seseorang. "Mereka tidak jauh dari sini."  



"Tentara Austmarr mengawasi langkah mereka, Yang Mulia. Mereka berada di Dragør saat ini, namun masih di bawah pengawasan Raja Alastair. Kuharap Anda berhati-hati," usul si tentara.  



"Alastair mungkin akan curiga, namun pria itu tidak akan membunuhku begitu saja." Raja Zacharias mengarahkan kudanya mengikuti jejak air yang menuju Dragør. "Dragørian akan selalu kembali ke Dragør, tidak peduli berapa lama mereka meninggalkan tempat terkutuk itu."  



Dugaan Raja Zacharias terbukti ketika terlihat sekelompok orang tengah berkumpul di dekat api unggun yang menyala kecil. Mereka tinggal di antara puing-puing bangunan Dragør, tetapi masih jauh dari pusat kota tempat kehancuran.  



"Ya Tuhan!" Seorang wanita yang menyadari kedatangan mereka, langsung memeluk ketiga anaknya.  



"Tybalt!" Para pria Dragør segera berdiri dan mengeluarkan senjata yang tidak lebih dari belati atau senjata tua usang.  



Mereka bisa saja langsung mati bila Raja Zacharias memerintahkan tentaratentaranya.  



Tentara-tentara Colthas segera turun dari kuda dan mengeluarkan pedang masing-masing ketika melihat ancaman yang datang kepada raja mereka.  



"Tunggu!" Raja Zacharias mengangkat tangan, membuat tentara-tentara Colthas mundur dan kembali menyarungkan pedang mereka. "Aku hanya ingin bertemu Tybalt."  



"Kau ingin bertemu denganku?" Tybalt angkat suara.  



"Tybalt." Raja Zacharias turun dari kudanya dan menyapa Tybalt sembari membuka kain hitam yang munutup wajah.  



"Apa yang ingin dilakukan seorang raja Colthas di tanah Dragor? Kau tidak diterima di sini!" Tybalt membalik badan dan berjalan menuju warga Dragør yang bersikap waspada.  



"Tybalt Wildemarr." Tybalt menghentikan langkah, lalu melihat Raja Zacharias. "Aku tidak salah bukan? Kau anak Jenderal Wildemarr."  



"Apa yang kau inginkan di sini, Raja Zacharias?" Tybalt menatap curiga. "Kau tidak mungkin mengkhianati Austmarr dengan datang kemari bukan?"  



"Aku datang kemari karena Dragør memiliki sesuatu yang kubutuhkan." Raja Zacharias mendekati Tybalt dan mengulurkan sesuatu ke tangan pria itu. "Aku bisa membantumu membangun kembali Dragør."  



"Apa yang kau butuhkan, Zachary?" Tybalt menatap benda di tangan dan mencengkeramnya erat. Ia akan segera menuntaskan misinya untuk membunuh Ratu Amaranta dan Raja Alastair, lalu membangun kembali Dragør.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa maksudmu dia tidak punya hati, Richard?" Verity mengepalkan tangannya erat-erat. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa hidup tanpa hati?  



"Hanya Raja Alastair yang benar-benar tahu, Yang Mulia." Kata-kata ambigu Richard Blaxton membuat Verity kesal karena penasaran juga takut. Siapa sebenarnya pria yang ia nikahi ini? "Richard, apa maksudmu membawaku ke perpustakaan ini?"  



"Semua jawaban ada di perpustakaan ini, Yang Mulia. Kecuali tentu saja mengenai keberadaan hati Yang Mulia Raja Alastair. Hanya beliau yang bisa



memberikan penjelasan sebenarnya kepada Anda. Saya yakin Raja Alastair akan segera memberitahu bila beliau sudah cukup memercayai Anda." Richard Blaxton membungkukkan badan, memberikan sebuah penghormatan sebelum undur diri, meninggalkan Verity di perpustakaan bersembunyi. bersama pengawalnya yang sejak tadi.  



Verity tahu ia tidak akan pernah mendapatkan jawaban tentang keberadaan hati Raja Alastair. Pria itu tidak akan pernah memercayainya setelah usaha pembunuhan yang ia lakukan. Ia berusaha membuka mata lebar-lebar dan mengubah sudut pandangnya agar tidak berhenti pada satu fakta.  



Verity berjalan menyusuri sudut demi sudut perpustakaan, melewati beberapa buku sejarah yang pernah ia baca di Selencia. la menghela napas, kemudian memeriksa buku-buku kerajaan yang mulanya terlihat membosankan dan tidak menarik, hingga ia berhenti di buku sejarah Kerajaan Selencia. Verity membuka buku, memeriksa beberapa halaman terakhir, ia terpaku ketika menemukan nama Ratu Amaranta di sebelah nama Raja Matthew. Sebuah garis menghubungkan, memperlihatkan hubungan suami istri di antara keduanya. Verity lalu membalik halaman sesudahnya. Ia menemukan nama Putri Clementine.  



"Putri Clementine ...." Verity berbisik lirih dan menatap nama Putri Clementine yang terletak setelah nama kedua orang tuanya.  



"Putri Clementine benar-benar nyata." Ia bergumam sembari membolakbalik halaman buku. Sayang tidak menemukan info lagi selain tanggal lahir dan sejarah singkat kelahiran sang Tuan Putri yang bertepatan di saat ketegangan perang keenam kerajaan memuncak dan Dragør di ujung kehancuran.  



Putri Clementine lebih tua setahun dari Verity. Wanita itu Ilahir saat ayahnya, Raja Matthew dibunuh oleh salah satu tentara Dragør. Berita kematian sang raja membuat Ratu Amaranta mengalami pendarahan hebat dan nyaris membunuh janin yang tengah dikandung.



 



Verity membelalakkan mata membaca sederet kalimat di buku itu. Ia tidak akan bisa menemukan info seperti ini di Selencia yang perpustakaannya cenderung tertutup mengenai anggota kerajaan mereka. Verity tidak menyangka Ratu Amaranta nyaris kehilangan anaknya, juga bisa mencintai seseorang seperti Raja Matthew. Verity kembali membolak-balik halaman, tetapi nihil. Tidak ada info lain tentang Putri Clementine atau Ratu Amaranta. Perang besar antara enam kerajaan juga tidak dibahas lebih lanjut.  



Verity menarik napas bosan dan membalik setiap halaman di buku hingga terhenti di sebuah gambar keluarga Kerajaan Selencia yang terselip. Ia menemukan wajah muda Ratu Amaranta yang menatap sang pelukis dengan keanggunan tak terkira. Selain Ratu Amaranta, masih ada beberapa orang lagi yang diduga keluarga besar Kerajaan Selencia. Lukisan itu hitam putih. Setiap orang di gambar memiliki karakteristik serupa, rambut pirang dan mata terang.  



Verity memperhatikan sesosok bersembunyi, wajahnya begitu mirip Ratu Amaranta. "Kembar?" perempuan yang Ia bergumam lirih, lalu kembali ke halaman silsilah keluarga. Sayang tidak menemukan informasi apa pun tentang wanita misterius itu.  



Ratu Amaranta merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya, Pangeran Jordan, mati misterius beberapa tahun lalu. Tidak disebutkan kalau ia memiliki saudara lain. Lalu, apa maksud gambar ini? Verity membalik gambar dan melihat sebuah tulisan rapi dengan tinta hitam.  



MARIELLA DRAGØR  



"Apa yang kau lakukan di sini?" Jantung Verity nyaris copot saat sebuah tangan besar merebut buku dari tangannya.  



"Yang Mulia?" Verity menelan ludah ketika melihat Raja Alastair yang menatapnya marah.  



"Apa yang kau lakukan di sini, Clementine?" ulang Raja Alastair penuh penekanan.  



"Membaca." Verity menjawab singkat, tatapannya tertuju pada buku di genggaman Raja Alastair.  



"Tidak seharusnya kau masuk daerah ini!" Raja Alastair meletakkan buku sejarah Kerajaan Selencia di rak, kemudian menarik tangan Verity untuk menjauh.  



"Apa maksud Anda, Yang Mulia? Tentu saja aku tidak dilarang membaca di perpustakaan bukan?" Verity tidak mengerti kenapa Raja Alastair berusaha menyembunyikan sejarah Kerajaan Selencia dari dirinya yang kini tengah berpura pura menjadi Putri Clementine.  



"Tempat itu terlarang untukmu." Raja Alastair tidak menjelaskan apa pun, membuat Verity kesal dan menarik tangannya dari cengkeraman sang raja.  



"Aku membaca buku sejarah kerajaanku sendiri, Yang Mulia. Richard mengantarku ke sini setelah melihatku tidak melakukan apa pun di Austmarr." Verity harus kembali ke deretan rak buku itu dan mencari tahu siapa Mariella. Rasa penasarannya semakin membuncah semenjak menemukan sederet fakta baru tentang Kerajaan Selencia.  



"Apa kau benar-benar ingin tahu kenapa kau tidak boleh masuk ke sana, Clementine? Tempat itu terlarang untukmu karena kau bukan anggota kerajaan yang sebenarnya. Hanya raja dan ratu Austmarr yang bisa masuk tempat itu. Kau bukan Putri Clementine, kau hanya penipu yang berusaha membunuhku! Verity tidak menyangka Raja Alastair akan mengucapkan



kalimat sepanjang itu di hadapannya. "Berhentilah bersikap seolah-olah kau adalah ratu di Austmarr, Clement ... atau siapa pun namamu!"  



"Apa yang dipahami raja sepertimu? Beberapa saat lalu kau menuduhku sebagai putri manja yang selalu dilayani, lalu sekarang kau menuduhku sebagai penipu dan pembunuh. Apa bedanya aku denganmu, Yang Mulia? Oh, aku tahu. Mungkin karena aku punya hati dan kau tidak!" Verity tersentak kaget ketika sang raja tiba-tiba mencekik leher dan mendorongnya ke rak buku terdekat. "Y-yang Mu-lia...."  



Raja Alastair tersenyum kecil dan semakin mengetatkan cekikannya. "Aku memang tidak punya hati, Clement. Aku bisa saja mematahkan lehermu dengan mudah sekarang, namun aku tidak akan melakukannya. Tidak sebelum aku mendapatkan jawaban." Raja Alastair melepaskan cekikan, membuat Verity jatuh terduduk dan terbatuk keras.  



"Semua jawabannya ada di sini." Suara Verity terdengar serak akibat tenggorakannya yang terasa sakit setiap kali mengeluarkan suara.  



"Apa maksudmu?" Raja Alastair tidak mengerti.  



"Richard Blaxton bilang semua jawabannya ada di sini. Sama seperti Anda, Yang Mulia. Saya hanya tengah mencari jawaban." Verity memberanikan diri menatap Raja Alastair.  



"Bila kau mengira semua jawabannya berada di sini, maka kau salah. Mungkin kau akan mendapatkan sesuatu yang baru namun itu tidak akan membantumu melangkah ke mana pun!"  



Verity memegang lehernya yang terasa sakit. Raja Alastair mungkin tidak berniat membunuhnya sekarang, tetapi pria itu dapat membuatnya berada di ambang kematian.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Verity menimbang-nimbang sisik naga yang diberikan Raja Arthur. Apa maksud sang raja memberikan benda yang tidak berguna sama sekali. Ia telah gagal membunuh Raja Alastair. Sebagai imbalan, ia nyaris mati di tangan Ratu Amaranta. Namun, setelah semua terjadi, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia benar-benar sendirian, tentara juga para pelayan dari Selencia telah kembali. Begitu pula Pangeran Alexander dan tamu kerajaan lain.  



Setelah Raja Alastair mencekik hingga ia nyaris pingsan, Verity kembali ke kamar dan menunggu. Ia menyentuh dada, merasakan degup jantung yang berdetak pelan. Ia yakin pria itu masih memiliki jantung, kalau tidak, bagaimana bisa hidup?  



Verity tidak bisa lagi menunggu perintah Ratu Amaranta hingga hukuman mati untuknya tiba. Setidaknya sekarang ia bisa memulai dari petunjuk yang diberikan Richard Blaxton. Dimulai dari Mariella Dragør, kemudian hati Raja Alastair.



XIV THE SONG  



"DAISY, DAISY, WHO shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker, tailor, soldier, sailor." Verity menyenandungkan lagu anak-anak ketika melihat bunga daisy yang berada di taman istana. Ia kembali teringat lagu itu dan menyanyikannya pelan sembari menyentuh kelopak putih bunga daisy. "Daisy, daisy, who shall it be?"  



"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget dan nyaris terjatuh ke semak bunga berduri bila bukan karena Raja Alastair yang mencengkeram



lengannya.  



"Yang Mulia." Buru-buru Verity melepaskan tangan sang raja. Ia menunduk dan refleks berjalan menjauh ketika teringat Raja Alastair yang telah mencekiknya. Ia masih bisa mengingat jelas kejadian itu. Karenanya, ia berusaha menjauh dan menghindari Raja Alastair sebisa mungkin.  



"Aku nyaris tidak pernah melihatmu sebulan terakhir ini." Verity menghindari tatapan Raja Alastair.  



Diam-diam ia masih mencari tahu siapa sebenarnya suaminya, dan siapakah Mariella Dragør. Kepergian Raja Alastair ke Selencia dan Thaurin sempat membuatnya bimbang. la bisa saja ikut pria itu ke dua kerajaan, lalu mencari tahu langsung kebenarannya melalui Ratu Amaranta. Namun, pergi ke sana sama saja dengan mencari mati. Semenjak kematian Jenny, belum ada lagi orang-orang kiriman Ratu Amaranta yang berusaha membunuhnya. Ia tahu, kenyamanan yang dirasakan saat ini cepat atau lambat akan segera menghilang ketika kebenaran terkuak.  



"Anda pergi ke Selencia dan Thaurin, Yang Mulia." Verity bergumam. Ia tidak bisa bertindak sembrono lagi. Bila Raja Alastair benar-benar tidak memiliki hati, maka tidak ada yang tahu sejauh mana pria itu dapat menyiksanya.  



"Kau tidak ingin bertemu ibumu sendiri, Clement?" Wajah Verity memucat mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raja Alastair dengan nada santai. "Aku menemukan beberapa hal menarik saat ke Selencia. Seperti belati ini misalnya. Belati yang kau bawa, Clement. Juga kenapa Amaranta menyuruhmu membunuhku."  



Raja Alastair mengeluarkan belati bertatah permata yang pernah Verity gunakan untuk membunuhnya. Hal yang sia-sia dan menimbulkan petaka karena memutarbalikkan keadaan. sang raja berhasil



 



"Aku tidak tahu apa-apa, Yang Mulia." Bibir Verity bergetar, lidahnya mungkin nyaris hitam karena terlalu sering berbohong. Namun, ia benarbenar tidak tahu kenapa Ratu Amaranta ingin menyingkirkan Raja Alastair. Bila wanita itu ingin mengambil alih kerajaan Austmarr sebagaimana yang telah dilakukan kepada Dragør, maka tidak masuk akal. Ratu Amaranta sendiri pernah berkata, bila Verity bisa menetap atau pergi dari istana setelah berhasil membunuh sang raja.  



"Mungkin kau boleh bersikap tidak tahu seperti ini, tapi aku akan mengungkapkan kebenarannya, Clementine. Bersiaplah ketika hari itu tiba." Raja Alastair membalikkan badan, meninggalkan Verity di taman.  



Hari-hari tenangnya telah usai. Sekarang Verity harus menghadapi sang raja. Entah apa yang Ratu Amaranta katakan hingga Raja Alastair bersikap lebih defensif.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Yang Mulia!" Richard Blaxton menaruh lembaran-lembaran kertas berisi laporan kerajaan yang ditinggalkan Raja Alastair ketika pergi ke Selencia dan Thaurin. "Apakah Anda berhasil menemukan sesuatu di Selencia dan Thaurin?"  



"Amaranta tidak mengatakan apa pun kepadaku. Wanita licik itu mengirim utusan untuk membunuhku, namun tidak berhasil sama sekali."  



"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Yang Mulia?" Richard Blaxton menunggu. Ia melihat sang raja duduk di singgasananya dan termenung cukup lama.  



"Apa menurutmu Clementine benar-benar putri Ratu Amaranta?"  



"Dia tidak seperti warga Selencia lainnya, tapi matanya violet dan bukankah sudah jelas kalau keturunan langsung kerajaan Selencia akan memiliki warna mata violet, Yang Mulia?" Richard Blaxton berpendapat.  



"Apakah ada percobaan pembunuhan lain kepada Clementine selama aku pergi?" Raja Alastair kembali memikirkan kata-kata seseorang beberapa tahun lalu.  



"The Queen took your heart. She ripped it out. It's kind of her thing. She never wanted you to be able to feel again."  



Apakah yang dimaksud adalah Ratu Amaranta atau Mariella? Dragør telah lama hancur, tetapi hatinya masih tidak tersembuhkan.  



"Tidak ada, Yang Mulia." Keamanan Austmarr memang ditingkatkan semenjak dua kejadian yang nyaris membunuh Ratu Clementine.  



"Baiklah." Raja Alastair kembali memikirkan kata-kata misterius yang pernah diucapkan seseorang kepadanya. "Bagaimana dengan Tybalt?"  



"Dia dan kelompoknya berada di Dragør dan belum menginjakkan kakinya ke tanah Austmarr lagi."  



Raja Alastair mengangguk mendengarkan laporan Richard Blaxton. Selama ia pergi, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, selain Ratu Clementine tentu saja.



 



"Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan untuk menyambut kedatangan Anda, Yang Mulia?" tanya Richard Blaxton.  



"Tidak ada."  



"Bagaimana dengan Yang Mulia Ratu Clementine? Anda tidak akan mengajaknya makan malam bersama?" Richard Blaxton kembali bertanya.  



Raja Alastair menghela napas, ia tidak pernah merasa perlu menemui Clementine bila bukan karena keterlibatan wanita itu dalam usaha pembunuhnya. Mereka memiliki kamar yang berbeda, tidur di kasur berbeda, bahkan berbicara nyaris seperlunya bila ia tidak memiliki keinginan untuk menangkap dan mengungkap siapa wanita itu sebenarnya.  



"Kenapa kau memberitahu kepadanya kalau aku tidak memiliki hati, Richard?" desis Raja Alastair.  



Richard Blaxton menatap cukup lama, lalu memilah kata kata dengan hatihati. "Untuk menjadi seorang raja yang arif dan bijak, Anda membutuhkan hati, Yang Mulia. Kerajaan Anda mungkin bisa makmur, tapi Anda akan dikenal sebagai raja yang barbar dan tidak berprikemanusiaan."  



"Apakah itu penting?" Raja Alastair mendengkus tak suka. "Di dunia ini hanya ada bertahan atau melawan. Lihatlah apa yang terjadi kepada kedua orang tuaku karena mereka memilih bertahan dibanding melawan."



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity membiarkan seorang pelayan perempuan memakaian gaun berwarna biru gelap dan mengikat korsetnya erat. Rambutnya lagi-lagi dikepang, dihias pita biru tua yang senada dengan baju.  



"Yang Mulia." Pelayan itu mencari-cari sesuatu di laci perhiasannya, tetapi tidak menemukan apa pun.  



"Apa yang kau cari?" Verity menundukkan kepala dan memperhatikan pelayan yang kini tampak panik mencari-cari sesuatu di tumpukan perhiasannya.  



"Kalung mutiara yang pernah Anda kenakan saat pesta perpisahan dengan anggota kerajaan lain, Yang Mulia." Verity mengernyitkan kening sesaat sebelum teringat ketika ia dijadikan tawanan Tybalt.  



"Mungkin hilang di taman saat dua bandit datang menawanku," jawab Verity acuh. Ia tidak begitu menyukai perhiasan. Jadi bila tidak mengenakan sesuatu di leher, ia tidak akan marah atau terganggu.  



"Baiklah, Yang Mulia." Pelayan mengangguk dan merapikan rambut Verity sekali lagi sebelum mengantarnya ke ruang makan. "Yang Mulia Raja Alastair telah menunggu Anda, Yang Mulia."  



"Menungguku?" Verity mengernyitkan kening. Makan bersama Raja Alastair bukanlah sebuah kewajiban sebelumnya, mereka makan terpisah di ruang masing-masing. Verity cukup nyaman dengan kondisi tersebut. Berada satu ruangan bersama Raja Alastair membuatnya gelisah, pria itu seperti bisa melihat setiap kebohongan yang ia lontarkan dan selalu mengancamnya.  



Si pelayan tidak mengucapkan sepatah kata lagi dan segera membuka pintu keluar. Sebuah meja panjang besar menyambut, membuat Verity semakin ragu untuk melangkah. Raja Alastair telah duduk di ujung meja makan, sementara makanannya tertata di sisi kanan raja yang berarti mau tak mau ia harus duduk di sebelah pria itu.  



"Clement." Raja Alastair mengangguk sekilas ketika Verity melangkah ragu mendekati kursinya. "Duduklah!"  



"Terima kasih, Yang Mulia." Verity pun duduk. Ia melihat sup labu berwarna oranye kental dan mulai menyantapnya pelan.  



"Kau selalu makan lebih sedikit daripada orang-orang normal, Clement," komentar Raja Alastair membuat Verity nyaris tersedak, tidak menyangka raja akan memperhatikan porsi makannya selama ini.  



"Apa kau tidak suka makanannya, Clementine?" Verity terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. "Saat aku bertanya, aku berharap kau menjawabnya dengan mulutmu, bukan dengan gerakan."  



Tidak, Yang Mulia. Makanan ini sangat enak." Suara Verity seperti cicitan tikus. Saat Raja Alastair menghabiskan makanan pembuka, ia berhenti menyendok sup yang bahkan nyaris tak tersentuh.  



"Kau tidak menghabiskannya?"  



Peraturan kerajaan yang pernah Matthias ajarkan menjelaskan kalau anggota kerajaan dengan pangkat lebih rendah harus selalu mengikuti anggota kerajaan dengan pangkat lebih tinggi. Yang artinya, bila Raja Alastair tidak makan, maka Verity pun tidak. Bila Raja Alastair menghabiskan makanannya lebih dulu, maka Verity harus menyelesaikan makan meskipun belum habis.  



"Tidak, Yang Mulia. Saya akan menerima makanan pembuka seperti Anda," tukas Verity.  



Raja Alastair tidak memberi komentar lagi dan mempersilakan pelayan untuk mengangkat sup labu mereka, lalu menggantinya dengan steak



domba saus jamur. Verity memotong steak dan menyuapkan ke mulutnya pelan-pelan, mencecap gurih, manis, dan asin yang menyatu padu menghasilkan sensasi lezat.  



"Kau selalu memiliki ekspresi yang aneh ketika makan," kata Raja Alastair.  



Lagi-lagi Verity nyaris tersedak. Ia mengambil gelas berisi air putih dan meneguknya hingga tandas. "Apa maksud Anda Yang Mulia?"  



"Kau memakannya seperti kau baru saja mencoba makanan itu. Apa Ratu Amaranta tidak pernah membiarkanmu memakan makanan seperti ini sebelumnya?"  



Verity terdiam sesaat. Bila beruntung, ia akan mendapatkan roti hangat seperti tahanan lain, bila tidak maka hanya mendapat roti keras yang biasa diberikan sebagai makanan babi. Ia tidak pernah memiliki kemewahan untuk mencicipi sepotong steak domba sebelumnya.  



"Rasa masakannya hanya berbeda dengan Selencia." Verity bergumam. Meski baru menghabiskan beberapa potong steak, ia merasa lebih kenyang sekarang.  



Lagi-lagi Raja Alastair selesai makan lebih dahulu. Verity membiarkan piringnya diangkat pelayan dan melihat sebuah parfait yoghurt yang diletakkan di hadapannya.  



Kali ini ia tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Apa ini?" "Parfait." Verity lupa kalau saat ini ia tengah makan bersama Raja Alastair. Sehingga pertanyaan apa pun yang ia lontarkan, akan membuat sang raja curiga. "Kau bisa menghabiskan makanan penutupnya. Aku tidak menyukai makanan manis.".  



Verity membelalakkan mata dan mengangguk pelan menyadari sang raja membiarkannya menyelesaikan makan, bahkan menunggu di meja.  



"Terima kasih, Yang Mulia," ucap Verity. Rasa asam manis yoghurt yang berpadu buah-buahan dalam parfait ternyata lebih ringan dari bayangannya. Tidak seperti sup atau steak domba, ia mampu menghabiskan parfait itu.  



"Berapa lama kau tinggal di Thaurin?" Verity terdiam, tidak  



mengerti dengan pertanyaan Raja Alastair yang tiba-tiba. "Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity balik bertanya.  



"Alexander Thaurin memberitahuku kalau kau pernah berlindung di sana selama beberapa tahun."  



Pangeran Alexander mengatakan itu kepada Raja Alastair? Verity benarbenar tak mengerti. Apakah Ratu Amaranta pernah mengirimkan Putri Clementine yang asli ke Thaurin? Kalau Pangeran Alexander mengenal Putri Clementine yang asli, tentu pria itu menyadari kalau Verity dan Clementine adalah orang berbeda.  



"Apakah kau melupakannya?" Raja Alastair menatap curiga.  



"Kenapa Alexander memberitahu hal seperti itu kepada Anda, Yang Mulia?" "Aku tidak tahu. Hubungan kalian mungkin cukup dekat  



hingga ia merasa perlu memberitahunya kepadaku saat kau  



pingsan setelah serangan bandit," kata Raja Alastair.  



Kali ini Verity benar-benar terdiam. Siapakah yang Pangeran Alexander maksud? Putri Clementine asli atau dirinya? Ia tidak ingat pernah berlindung di Thaurin. Verity kemudian teringat lagu anak-anak yang terus terngiang di benaknya sejak pagi tadi.  



"Clementine? Siapakah kau sebenarnya?'  



Verity tak mampu menjawab pertanyaan Raja Alastair karena garis antara Putri Clementine dan dirinya semakin mengabur.              



XV THE OTHER SIDE  



"YANG MULIA, ANDA masih membutuhkan sesuatu?" Richard Blaxton bertanya yang ke sekian..  



Raja Alastair berdiri di tepi jendela sekaligus menatap langsung pemandangan di depannya-Ratu Clementine yang lagi-lagi duduk dan menatap lekat bunga-bunga.  



"Menurutmu siapakah wanita itu sebenarnya, Richard?"  



Raja Alastair berbalik dan menatap bola mata Richard Blaxton yang berwarna kelabu. Pria ini sudah nyaris dua dekade menemani dan



menuntunnya hingga berada di puncak takhta Kerajaan Austmarr. "Dia berusaha membunuhku."  



"Dia juga seorang ratu di Austmarr, Yang Mulia." Richard Blaxton menatap Verity sejenak dan menghela napas panjang. Ia hanya berusaha membantu wanita itu dengan memberitahukan rahasia Raja Alastair dan jalan menuju perpustakaan. Ia tak menyangka kalau sang raja akan terus bersikap curiga. "Apa yang Ratu Amaranta katakan kepada Anda saat di Selencia?"  



"Aku tidak bisa memercayai wanita licik itu." Raut wajah Alastair berubah tak senang. "Aku tak percaya harus menikah dengan anak wanita itu."  



"Ratu Clementine sangat berbeda dengan ibunya." Tentu saja bukan fisik mereka yang Richard Blaxton maksud. Ratu Clementine tidak bersikap angkuh atau terlalu anggun khas aristokrat Selencia. Kebalikannya, sang ratu terlihat begitu canggung dan hati-hati meski sekarang sedikit berubah. Ia tidak pernah menghabiskan terlalu banyak waktu di dalam ruangan, lebih suka berada di taman diikuti pelayan dan beberapa tentara bayangan.  



"Apa yang membuatnya berniat membunuhku?" Kening Raja Alastair berkerut dalam. Sikap sang ratu yang berbeda jauh dengan perkiraan memang membuatnya lengah. Beberapa kali wanita itu terlihat seperti ingin bersembunyi, tetapi beberapa kali juga berani menentangnya, terutama saat melindungi orang orang yang sebenarnya tak pantas dilindungi.  



"Ratu Clementine terlihat begitu kesepian di sini." Richard Blaxton memilih tak menjawab pertanyaan Raja Alastair. Pria itu malah melihat Verity yang masih menunduk di hadapan setangkai bunga.  



Bila Verity mampu membuat sang raja memikirkannya berulang kali dalam sehari, maka Raja Alastair mengabulkan karena penasaran dengan sikapnya yang misterius, bukan karena menyukai. Mungkin saja suatu hari nanti



Verity menjadi jawaban yang bisa mematahkan kutukan sang raja dan membuat hatinya yang telah lama membeku kembali berdetak.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity mengembuskan napas panjang. Ia benar-benar bosan di istana, menatap bunga-bunga tiap hari dan menikmati sinar matahari dari terbit hingga nyaris terbenam. Membuat kulitnya yang tadinya sangat pucat kini berubah kecokelatan. Bukan tidak bersyukur, hanya saja ia merasa kehadirannya di sini tidaklah penting atau dibutuhkan. Austmarr telah berjalan selama nyaris dua dekade di bawah pemerintahan Raja Alastair, kerajaan masih dapat berjalan lancar tanpa seorang ratu di dalamnya.  



Pencarian Verity tentang Mariella Dragør terhenti semenjak pintu perpustakaan tidak lagi dibuka untuknya. Verity menatap dan berusaha menebak nama bunga berukuran kecil dan bergerombol putih di hadapannya.  



"Queen anne's lace." Suara dari belakang nyaris membuat jantung Verity copot. "Kau selalu kaget bila mendengarku. Tidak siap bila aku menikammu tiba-tiba?"  



Verity mengerut kening kesal mendengar selera humor sang raja yang buruk. "Anda akan membunuhku dengan tikaman, Yang Mulia?" Ia tidak yakin kalau Raja Alastair tengah bercanda atau mengancamnya.  



"Mungkin. Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair yang tinggi besar, membuat Verity terpaksa mendongak untuk melihatnya.  



Mulanya Verity ingin mengabaikan pertanyaan Raja Alastair dan berpindah ke sisi lain, tetapi mengingat sang raja tak suka diabaikan atau diberi



jawaban tak jelas, ia buru-buru menjawab, "Melihat bunga-bunga, Yang Mulia."  



"Hanya melihatnya? Kau tidak mencabutnya?" Nada datar Raja Alastair yang cenderung tak bersahabat membuat Verity merasa canggung. Untuk apa Raja Alastair berada di sini dan mengajaknya berbicara kalau hanya akan mengancam atau berusaha mencari tahu hal-hal yang tak ia ketahui.  



"Keindahan bunga akan bertahan lama kalau tak dicabut,  



Yang Mulia," jawab Verity tenang. "Kau bisa mencabut dan mengeringkannya, menjadikan bunga itu sebagai pembatas buku," kata Raja Alastair.  



"Untuk apa? Aku tak bisa masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Aku bisa berada di sini dan menatapnya setiap hari sembari menunggu bunga mati perlahan." Verity melihat bunga sekali lagi, lalu berusaha mengingat di mana ia pernah melihat bunga serupa Queen anne's lace. "Apa ini bunga yang langka, Yang Mulia?"  



"Tidak. Kenapa?" Raja Alastair memperhatikan gerak-gerik Verity dan melihat Queen anne's lace yang memang serupa dengan bunga hemlock.  



"Aku seperti pernah melihat bunga ini sebelumnya." Verity bergumam sembari berusaha mengingat kembali. Bunga ini bukan bunga langka, ia pernah melihat di beberapa tempat sebelumnya, entah di taman bunga Selencia atau semak-semak Hutan Pinus.  



"Apa yang Anda lakukan di sini, Yang Mulia?" Verity berdiri dan merapikan gaunnya yang sedikit kotor terkena tanah.  



"Hari ini kita akan menemui penduduk Austmarr sekaligus berbincang dengan menteri-menteri." Raja memperhatikan Verity dan menyadari kulit wanita itu tidak lagi sepucat saat mereka pertama bertemu. Pipinya merona bila terkena cahaya matahari, mata violetnya semakin kontras dengan rambut hitam dan kulit yang kecokelatan.  



"Kita?" Verity bahkan tidak pernah melihat seperti apa Austmarr setelah masuk istana.  



"Ya. Ganti pakaianmu, lalu temui aku di ruang singgasana!" "Apakah kita akan tetap berada di dalam atau keluar istana?" Verity tak bisa menahan nada penasaran juga semangat ketika bertanya kepada Raja Alastair. Ia tak sabar melihat seperti apa kota Austmarr. Ia hanya pernah melihat sekali ketika matahari telah terbenam dan masyarakatnya lebih memilih berada di dalam rumah.  



"Tidak. Simpan harapanmu itu, Clement. Kau tidak akan keluar dari istana ini." Wajah riang Verity seketika berubah. Ia hanya ingin bebas, sungguh. Walaupun berada di Istana Austmarr lebih baik daripada penjara Selencia, ia tetap merasa istana ini seperti penjara.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity memutuskan untuk mandi sebelum menemui Raja Alastair di ruang singgasana. Pelayan membalurkan minyak lavender dan mawar ke sekujur tubuhnya, lalu memijat pundaknya pelan. Kemewahan yang tidak pernah ia rasakan di Selencia. Raja Alastair membiarkannya berjalan-jalan dengan bebas di istana dan cenderung mengabaikan. Ia tahu pria itu sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk memasukkannya ke penjara Austmarr atas percobaan pembunuhan. Namun, karena posisinya sebagai Putri Clementine, Ratu Austmarr, ia tak bisa begitu saja dituduh dan dihukum.  



Verity mempertimbangkan kembali apakah ia harus memberitahu Raja Alastair tentang kebenarannya atau tetap diam dan berperan sebagai Putri Clementine. Bila ia mengungkapkan, bisa saja Raja Alastair langsung memberikan hukuman mati..  



"Yang Mulia?" Pelayan memanggil dan memecahkan lamunannya. "Aku akan menyiapkan pakaian untuk Anda."  



Sebelum pergi menyiapkan pakaian, si pelayan mengulurkan handuk tebal berwarna putih yang Verity raih dengan setengah hati.  



Verity keluar dari kamar mandi setelah membalut tubuhnya dengan handuk. Ia melihat para pelayan telah menyiapkan pakaian dalam dan gaun yang terlihat lebih mewah. Perlahan ia mendekat, lalu membiarkan si pelayan membantunya mengenakan semua lapisan pakaian, termasuk korset yang tidak menyenangkan itu.  



"Clementine!"  



"Yang Mulia!" Pelayan menunduk ketika Raja Alastair lagi lagi masuk kamar tanpa pemberitahuan.  



"Saya akan segera membantu Yang Mulia Ratu Clementine agar-"  



"Tidak perlu. Kau bisa meninggalkan kami berdua," potong Raja Alastair.  



Verity tidak mengucapkan sepatah kata. Untuk yang ke sekian, Raja Alastair pemilik kerajaan ini. Dia yang lebih berhak berada di istana, keluar masuk ruangan atau menyuruh siapa pun untuk pergi.  



"Yang Mulia, Anda bisa meminta. ... " Verity hanya menyayangkan perintah Raja Alastair yang menyuruh pelayannya keluar sebelum selesai



memasangkan korset.  



"Aku akan membantumu." Badan Verity menegang seketika, tidak menyangka Raja Alastair akan membantunya mengencangkan ikatan korset satu per satu.  



Bulu kuduk Verity meremang ketika jemari Raja Alastair menyentuh kulit punggungnya dan memasangkan ikatan korset satu per satu. Ia berusaha keras untuk menutup mulut hingga sang raja mengencangkan ikatan teratas.  



"Apa sudah cukup?"  



"Cukup." Verity menjawab singkat. "Apa yang Ada lakukan di sini, Yang Mulia? Kukira Anda akan menunggu di ruang singgasana."  



"Aku berencana memberikanmu ini." Raja Alastair membawa sebuah kotak kayu dan mengeluarkan mahkota emas dengan hiasan batu rubi.  



"Terima kasih, Yang Mulia." Verity hendak mengambil mahkota dari tangan Raja Alastair, tetapi lagi-lagi ia tak diindahkan. Pria itu meletakkannya tepat di kepala Verity, lalu menatap dengan reaksi tak terbaca.  



"Ini mahkota ibuku. Berat tanggung jawab yang berada di sini, harus kau tanggung ketika berada di ruang singgasana nanti."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair berusaha untuk tidak memedulikan Verity yang kini duduk di sebelahnya di ruang singgasana. Satu per satu penduduk datang membawa hadiah untuk ratu baru Austmarr yang langsung diserahkan kepada pelayan. Menteri-menteri duduk di jejeran kursi sebelah kanan dan kiri,



melihat penduduk Austmarr yang mereka keluhkan. Verity masih terdiam, lebih banyak yang datang, sesekali memberikan saran atas masalah tersenyum canggung, dan mengucapkan terima kasih saat penduduk Austmarr memuji kecantikannya atau memberikan hadiah.  



Semuanya berjalan lancar hingga dua anak kecil, sepasang kakak beradik laki-laki dan perempuan, berjalan cepat ke hadapan Verity, dan melewati garis pembatas. Para pengawal segera bertindak untuk menjauhkan kedua bocah itu.  



"Tunggu!" Verity berseru, menghentikan tindakan para pengawal yang seperti menjauhkan sekelompok kriminal "Mereka hanya anak-anak."  



Kedua bocah itu terisak keras karena para pengawal yang menarik tubuh ringkih mereka dengan kasar.  



"Yang Mulia ...." Salah satu pengawal menatap Raja Alastair, menunggu perintah.  



Raja Alastair memilih diam, membiarkan Verity bertindak sendiri. Wanita itu bangkit, lalu berjalan mendekati kedua bocah tadi. Para pengawal pun melepaskan cengkeraman mereka dan berdiri dengan sikap tegap.  



"Ha!" Suara Verity terdengar canggung ketika berada di hadapan kedua bocah. Ia lalu menunduk dan menyejajarkan wajah mereka. "Namaku ... Clementine."  



"Yang Mulia?" Kedua bocah itu berhenti terisak dan memberikan salam hormat untuk Verity.  



"K-kami hanya ingin memberikan ini kepada Anda." Salah satunya mengeluarkan sebuah rangkaian bunga berbentuk mahkota dan



memberikannya kepada Verity.  



Refleks Verity menyentuh kepalanya, hendak melepaskan mahkota yang tengah ia kenakan. Namun, teringat kalau it mahkot ratu sebelumnya. Ia tidak bisa melepaskan begitu saja.  



"Aku tidak bisa memakai mahkota ini sekarang, tapi aku bisa mengubah ini menjadi gelang." Tangan Verity bergerak cepat menjalin kembali mahkota bunga hingga lingkarannya lebih kecil, kemudian dikenakannya di pergelangan tangan. "Terima kasih."  



"Terima kasih, Yang Mulia." Kedua bocah itu tersenyum riang.  



Verity bangkit dan mempersilakan para pengawal untuk mengantar mereka kembali ke orang tuanya yang ternyata berdiri panik di antara penduduk Austmarr.  



"Sudah kuduga kau akan pergi menghampiri mereka." Ucapan Raja Alastair membuat Verity mengerutkan kening sekilas.  



"Apa maksud Anda, Yang Mulia?"  



"Kau juga melakukan hal sama ketika menyelamatkan anak anak Dragør itu." Raja Alastair melirik gelang bunga di tangan Verity dan kembali bergumam. "Lepaskan bunga itu! Kita tidak tahu bila salah satu bunganya mengandung racun."  



"Mereka masih anak-anak. Demi Tuhan!" ucap Verity tak percaya dengan sikap Raja Alastair yang terlalu berlebihan mencurigai sesuatu.  



"Seseorang yang seharusnya kupercaya juga pernah berusaha membunuhku. Lebih baik bersikap waspada, Clement." Perkataa dingin



sarat cemoohan Raja Alastair membuat Verity bungkam. Ia perlahan melepaskan gelang bunga, lalu menyerahkannya kepada pelayan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Sebulan terakhir berjalan tanpa kendala yang berarti, membuat Verity menarik napas lega. Ia menatap pantulan wajah di cermin dan mengikuti gerakan tangan pelayan yang tengah menyisir rambutnya.  



"Sudah, Yang Mulia." Pelayan itu meletakkan sisir perak ke meja, lalu menyiapkan kasur untuk Verity.  



"Terima kasih," kata Verity.  



Para pelayan pun undur diri sebelum ia mengunci pintu kamar. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan di belakangnya, tetapi ia bisa menduga beberapa mungkin membicarakan hubungannya dengan sang raja yang rumit. Verity berbaring di kasur dan memutuskan untuk tidak peduli. Ia berusaha memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuh serta pikirannya yang cukup lelah hari ini.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Daisy, daisy, who shall it be? Who shall it be who will marry me? Rich man, poor man, beggarman, thief. Doctor, lawyer, merchant, chief. Tinker, tailor, soldier, sailor."  



"How about a king?" Verity berbalik dan melihat sosok yang cukup familiar.  



"Al!" Kata bocah laki-laki yang telah menyelamatkannya beberapa hari lalu dan membalut luka di kakinya setelah jatuh akibat tersandung akar pohon.  



"Apa kau baik-baik saja sekarang?" Alexander memeriksa kaki Verity dan melihat telapaknya yang masih terluka karena gadis kecil itu berlari tanpa mengenakan alas kaki.  



"Apa ayahmu tidak marah kau berada di sini?" Verity takut dengan ayah Alexander. Pria itu punya aura yang berbeda dan selalu menatapnya dengan reaksi tak terbaca.  



"Aku sudah menyelesaikan semua tugas-tugas, jadi ayahku tidak melarangku bermain," ucap Alexander bangga. "Apa yang kau lakukan di sini?"  



"Aku melihat bunga daisy, Al." Verity menunjuk bunga daisy yang berdampingan dengan bunga putih lain. "Bunga apa ini, Al?"  



"Queen anne's lace." Alexander bergumam, melihat bunga itu sekali lagi, lalu menghentikan tangan Verity untuk menyentuhnya. "Menjauh dari sana!"  



"Kenapa?" Wajah Alexander pucat ketika menyadari bunga itu adalah hemlock, tanaman beracun yang bahkan menyentuhnya saja bisa membuat kejang-kejang.  



"Itu...." "  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity tersentak bangun ketika mendengar gebrakan keras dari jendela kamarnya yang berada di lantai tiga. Bagaimana mungkin seseorang bisa masuk dari sana?  



"Siapa kau?" Cahaya remang-remang dari rembulan juga perapian tidak membuat Verity dengan mudah mengenali siapa sosok yang mendobrak masuk. Pakaian serba hitamnya, juga belati yang diacungkan, membuat Verity sadar kalau pria ini berbahaya.  



"Tolong!" Verity berteriak keras dan berusaha berlari menuju pintu.  



Sayang, sosok gelap itu segera menahannya di atas kasur. Belatinya sudah siap menghunus jantung Verity, sementara Verity memejamkan mata dan berharap siapa pun segera datang untuk menyelamatkannya.      



XVI THE ENEMIES  



VERITY MEMBERONTAK KERAS. Dengan sisa tenaga, ia menggenggam sisi belati yang tajam, dan berusaha menjauhkan dari dadanya.  



"Al, tolong!" Verity berteriak keras hingga tenggorokannya terasa sakit. "Tolong!"  



Suara gedoran pintu membuat pria yang meahan Verity mengalihkan perhatian. Wajahnya yang tertutup kain hitam, melihat dan segers menyadari kalau pintu itu sebentar lagi akan terbuka.  



"Kau harus mati!" bisiknya sembari kembali menekankan belati. Mengabaikan pintu yang mulai terbuka juga teriakan kesakitan Verity yang masih menahan belati dengan kedua tangan.  



"Clementine!" Raja Alastair melempar sesuatu menyerupai pisau kecil yang mengenai sasaran, membuat Verity terbebas dari belenggu "Menjauh darinya!"  



"Kau harus mati!" Pria itu mengabaikan pisau yang tertancap begitu dalam di punggungnya dan masih berusaha mendekati Verity.  



Raja Alastair tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Wajahnya tampak dingin ketika menarik pedang dari pinggang, mendekati pria yang nyaris membunuh Verity di depan matanya, lalu menusuk dadanya. Raja Alastair menarik pedang dan kembali menusuk di tempat berbeda, meski harusnya ia menyadari kalau pria itu sudah tak bernyawa.  



"Yang Mulia!" Salah satu pengawal menghampiri dan menyerahkan selimut yang Verity raih dengan tangan gemetar.  



"Bawa dia!" Raja Alastair menjatuhkan pedangnya hingga benturan besi menyentuh lantai terdengar begitu jelas. "Bersihkan pedangku, lalu kembali ke barak! Aku akan menemui kalian di sana."  



"Baik, Yang Mulia." Para pengawal segera menyeret jasad si pria keluar dari kamar, meninggalkan Verity berdua bersama sang raja.  



"Clementine?" Raja Alastair mendekati Verity yang masih meringkuk ketakutan di sudut kamar. Tangan begitu juga pakaiannya berlumuran darah. "Terima kasih." Verity bergumam dan berusaha berdiri, tetapi kedua kakinya lemas.  



Tanpa kata, Raja Alastair menggendong Verity dan membawa pergi meninggalkan kamar.  



"Kau mau membawaku ke mana?"



 



"Ke kamarku. Kamarmu tidak bisa lagi digunakan, Clement. Kita juga tidak tahu kapan pembunuh yang berikutnya akan datang mengincarmu." Raja Alastair mengeratkan rahangnya. Ia bisa menjamin kalau keamanan Austmarr tidak ada celah, beberapa pengawal bahkan diletakkan di sudut yang tak terlihat Seharusnya tidak ada seorang pun yang bisa masuk tanpa ketahuan. Ia harus segera ke barak setelah menjamin keamanan Verity. Kali ini ia tidak akan meninggalkan wanita itu sendirian tanpa pengawal lagi.  



Raja Alastair melangkah dalam diam, ia tak mengucap sepatah kata lagi ketika menyadari rasa lelah juga kaget yang melanda, membuat Verity dengan mudah terlelap di gendongannya. Seorang pengawal dengan sigap membukakan pintu ketika melihatnya datang. Ia lalu meletakkan Verity perlahan di kasur dan melihat kembali luka di kedua tangan istrinya. Lukaanya tidak parah, tetapi cukup untuk membuatnya merasakan perih esok hari. Verity tidak mengeluhkan apa pun ketika digendong, mungkin karena syok atau tidak ingin membuat Raja Alastair khawatir.  



Raja Alastair menyobek kain dari selimut Verity yang telah kotor untuk membebat luka. Ia akan ke barak sebentar, lalu kembali ke kamar sembari membawa tabib.  



Alastair baru saja hendak beranjak ketika tangan Verity menahannya. "Al, kau mau ke mana?"  



Raja Alastair mengernyitkan kening mendengar panggilan baru Verity untuknya. Wanita itu selalu menjaga jarak, tidak pernah memanggil namanya langsung, dan selalu menyebut 'Yang Mulia' seperti abdinya yang lain.  



"Ke barak, Clement." Raja Alastair melihat mata violet Verity dan menyadari kalau wanita itu tengah mengigau. la menghela napas dan dikeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan pekat laudanum dari nakas di



sebelah kasur. Laudanum mengandung obat tidur, juga dapat mengurangi rasa sakit. "Minum ini, aku akan kembali nanti."  



Verity terlihat kebingungan di batas kesadaran. "Terakhir kali kau memberiku sesuatu di saat aku nyaris mati."  



Raja Alastair menatap Verity lekat, lalu menyadari wanita itu tengah mengucapkan kejujuran yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. "Apa yang aku berikan kepadamu?"  



"Queen's Anne Lace." Verity bergumam, matanya terlihat lelah, dan semakin berat. Namun, ia juga tidak ingin tidur karena rasa takut masih menghantui.  



"Ini bukan Queen's Anne lace, Clement. Ini laudanum. Minumlah." Raja Alastair menyuruh Verity meneguk cairan pahit laudanum, lalu menunggu beberapa saat hingga wanita itu benar-benar terlelap.  



Raja Alastair jelas tak pernah memberikan hemlock kepada Clementine. Bila seseorang pernah memberikan hemlock kepada wanita itu, maka mereka cukup dekat karena Verity mau meminumnya selama beberapa tahun belakangan.  



Raja Alastair mengembuskan napas gusar, ia melihat jejeran pengawal terbaik Austamarr yang berjaga di depan pintu kamar. Kini saatnya ia ke barak dan menemukan penyebab satu orang pembunuh berhasil masuk istananya. Tiga kali percobaan pembunuhan kepada Verity, ia memutuskan untuk mengambil alih tugas penjagaan ratunya dari para pengawal terbaik.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Suasana barak cukup berisik dengan teriakan-teriakan para jenderal juga tentara yang kesakitan menerima hukuman berat setelah lalai dalam tugas. Tentara Austmarr terkenal yang terbaik di Inkarnate, tetapi sekarang dengan bukti tiga kali percobaan pembunuhan Ratu Clementine, mungkin mereka harus mempertimbangkan kembali gelar yang dipegang selama bertahun-tahun itu.  



"Yang Mulia!" Jenderal Irvin, pria bertubuh tinggi besar dengan jenggot lebat, segera memberikan salam hormat kepada Raja Alastair yang baru masuk barak, diikuti seluruh tentara.  



"Ada alasan yang bisa kau berikan, Jenderal?" Raja Alastair kewibawaan dan berdiri di hadapan Jenderal Irvin. Meski Jenderal Irvin lebih tinggi beberapa senti, tetapi aura kepemimpinannya membuat pria bertubuh besar itu menunduk.  



"Tidak ada, Yang Mulia." Sontak setelah Jenderal Irvin berkata demikian, Raja Alastair menendang perutnya hingga jatuh tersungkur sembari menahan rasa sakit.  



"Tak berguna!" Bentakan gusar Raja Alastair membuat setiap pengawal berdiri lebih tegak. "Bagaimana bisa kalian membiarkan seorang penjahat yang mengincar ratuku masuk, hah!"  



Jenderal Irvin bersusah payah bangkit, lalu berkata pelan. "Dua penjaga Ratu Clementine ditemukan tewas dengan luka tusukan di leher mereka, Yang Mulia. Ini adalah kejahatan yang terencana. Siapa pun pelakunya, mereka sangat mengenal situasi Kerajaan Austmarr."  



Raja Alastair tahu, penjahat ini sangat mengenal setiap sudut Austmarr, sehingga mudah baginya menemukan celah. "Bagaimana dengan penjahat itu?"  



"Kami menemukan ini di pakaiannya." Salah seorang tentara menyerahkan sebuah emblem abu-abu ke tangan Raja Alastair.  



Raja Alastair menggeram marah dan meremas emblem abu abu kecil milik tentara elite Colthas. Penjahat itu mungkin salah satu dari sepuluh tentara yang dibawa Raja Zacharias ke kerajaannya sebulan lalu.  



"Kirim kembali kepala tentara itu ke Colthas," ucap Raja Alastair dingin. Hukuman pancung akan tetap dijalankan meski pria itu tidak lagi bernyawa.  



Raja Zacharias tidak termasuk salah satu pembelot, ia melakukan ini pasti karena ada sesuatu yang ia ketahui tentang Clementine.  



"Apa Anda yakin Colthaslah pelakunya? Bagaimana kalau ini adalah jebakan, Yang Mulia?"  



"Kalau begitu, Zachary akan tahu seseorang sedang berusaha memfitnahnya." Raja Alastair berbalik. Ia harus menyusun strategi baru.  



Apa yang sedang ditutupi hingga kematian mengincar Clementine? Clementine tentu mengetahui sesuatu hingga ia dikejar-kejar oleh para tentara bayaran.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity terbangun dengan kepala berat dan pusing, tetapi fubuhnya terasa beratus-ratus kali lebih baik. Ia mengedarkan pandangan dan tersadar kini berada di kamar Raja Alastair. Ingatannya terasa kabur, ia bahkan lupa bagaimana cara sakit di tangannya sama sekali tak terasa, hanya sedikit kebas penjahat itu masuk ke kamar dan nyaris membunuhnya. Rasa bercampur perih.



 



"Yang Mulia." Verity melihat pelayan sudah menunggu dengan handuk dan gaun di tangan. "Yang Mulia Raja Alastair meminta Anda untuk menemuinya nanti."  



Verity hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu ke kamar mandi dengan bak yang telah dipenuhi air hangat juga aromaterapi lavender. Ia melihat kedua tangannya yang sudah diperban rapi, sepertinya tabib telah memeriksa saat ia masih tertidur.  



Verity menikmati mandinya hingga air berubah dingin. Pelayan kemudian membantunya mengenakan pakaian, memoles bibir dengan perona dari jus buah beri, membuatnya lebih berwarna. Pelayan juga memberikan sarung tangan. "Untuk menutupi perban di tangan Anda, Yang Mulia"  



Pelayan menjawab saat melihat reaksi kebingunan Verity. Verity mengembuskan napas panjang dan tanpa kata lagi mengenakannya. "Di mana Raja Alastair?"  



"Di taman, Yang Mulia. Anda akan sarapan di taman bersama Raja Alastair," jawab si pelayan.  



"Sarapan di taman?" Verity mengagumi cahaya matahari juga bunga-bunga di taman. Ia selalu bersyukur bisa melihatnya, hingga nyaris setiap hari datang ke taman untuk berjemur atau sekadar melihat-lihat bunga yang dirawat baik oleh para tukang kebun.  



Setelah selesai, Verity bergegas ke taman dan melihat Raja Alastair tengah duduk di salah satu kursi. Mata pria itu mengawasi danau buatan juga dinding pembatas yang kini dijaga ketat para pengawal. Tingkat keamanan Austmart ditingkatkan lagi rupanya.  



"Yang Mulia." Verity memberikan salam hormat kepada Raja Alastair dan menunggu dipersilakan duduk.  



"Bagaimana keadaanmu?"  



"Aku baik-baik saja, Yang Mulia. Terima kasih karena telah menyelamatkan saya kemarin," ucap Verity. Ia lalu duduk di salah satu kursi dan mengangguk kecil ketika menerima sepiring omelet dari pelayan.  



Melihat Raja Alastair tak ikut makan, ia pun bertanya, "Anda tidak sarapan, Yang Mulia?"  



"Aku sudah sarapan." Jawaban singkat Raja Alastair tidak lagi membuat Verity heran. Ia memilih mulai memotong omelet dan melahapnya.  



"Bagaimana tanganmu?"  



"Tidak lagi sesakit kemarin, Yang Mulia," jawab Verity.  



"Kau punya bekas luka di tanganmu. Bekas luka apa itu, Clement?" Pertanyaan tersebut membuat Verity terdiam sejenak. Satu-satunya luka di tubuhnya adalah pemberian Matthias karena Ratu Amaranta lebih senang menyiksa dengan racun.  



"Aku terjatuh saat kecil." Sebuah kebohongan kecil keluar dengan lancar dari mulut Verity.  



"Aku tidak menemukan luka lain di tubuhmu selain bekas. luka itu. Apa kau berbohong kepadaku, Clement?" Raja Alastair melihat cahaya matahari yang menyinari Verity, membuat mata violetnya lebih terang dan unik daripada sebelumnya.  



Raja Alastair mungkin menganggap Ratu Amaranta dan Selencia sebagai salah satu kerajaan terlicik sekaligus penyumbang terbesar kehancuran kedua orang tuanya di masa lalu. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau mata violet Verity adalah salah satu mata terindah yang pernah ia lihat. Warnanya unik dan tidak pernah ia tenemui seorang pun yang memiliki mata serupa selain Ratu Amaranta tentu saja.  



"Aku tidak punya alasan untuk berbohong kepada Anda, Yang Mulia. Dan apa maksud Anda ketika mengatakan tidak pernah menemukan luka lain di tubuhku?" Mata violet Verity melebar ketika menatap Raja Alastair.  



"Kau istriku bukan?" Raja Alastair bergumam sembari menikmati reaksi wajah Verity, raut bingung juga tak mengerti terlihat begitu jelas. "Apa kau punya peran penting yang membuat orang-orang ingin membunuhmu, Clement?"  



Verity tertawa kecil dengan nada sumbang. "Peran penting apa yang aku miliki hingga mereka ingin membunuhku, Yang Mulia?"  



"Kau memiliki sesuatu yang mereka inginkan mungkin, atau kau menyembunyikan sesuatu yang tidak kuketahui?" Raja Alastair menyadari kalau setiap ekspresi Verity sangat mudah dibaca. Ia bisa menyadari kapan wanita itu berbohong atau mengatakan kejujuran. Ia juga semakin tahu kalau wanita di hadapannya ini benar-benar tak tahu apa-apa.  



"Mungkin karena aku gagal melakukan sesuatu, Yang Mulia," kata Verity.  



"Apa maksudmu?" Raja Alastair mengerutkan kening.  



"Dibunuh atau membunuh. Bukankah begitu hukumnya?" Mata violet Verity menerawang ketika teringat ucapan terakhir Ratu Amaranta. Wanita itu bahkan menyebut namanya dan tidak memanggil seperti biasa.  



"Kau mengira mereka membunuhmu karena kau gagal membunuhku?" tebak Raja Alastair.  



"Ya," Verity bergumam, "tapi bukankah lebih baik aku yang mati daripada seorang raja?" Ia berusaha bersikap lebih tenang.  



Tiga kali percobaan pembunuhan membuatnya sadar kalau mimpinya semakin jauh. Ia tidak akan bisa tinggal di pinggir desa, menikahi pemuda biasa, dan hidup tenang.  



"Kau tahu apa yang terjadi kalau kau mati, Clement?" Raja Alastair melihat kedua bola mata Verity. "Lima kerajaan akan berperang. Apa itu yang kau inginkan?"  



Verity terdiam. Ia tidak tahu kalau kematiannya berdampak besar kepada lima kerajaan. Ia hanya budak biasa yang berpura pura menjadi Putri Clementine. Apa lima kerajaan masih akan berperang bila mereka tahu kalau ia hanya putri palsu?  



"Kapan aku bisa kembali ke kamarku, Yang Mulia?" Verity mengalihkan pembicaraan. Matahari yang semakin menuju puncak, membuat kepalanya terasa cukup panas. Ia mendorong piring omelet, tidak lagi tertarik memakannya setelah lima suapan.  



"Kau akan tidur denganku mulai saat ini." Raja Alastair memperhatikan gerakan tangan Verity dan menyadari kalau wanita itu tidak pernah benarbenar menghabiskan makanannya.  



"Apakah tidak ada kamar lain?" Verity menggigit bibirnya gelisah. Ia teringat tugas utama seorang ratu yang hingga detik ini belum dilaksanakan karena hubungannya dengan Raja Alastair tak seperti pasangan lain. Selama ini ia tenang karena raja tidak terlalu mempermasalahkannya yang



selalu menghindar, tetapi sekarang situasinya berubah, mereka akan tidur di kasur dan kamar sama.  



"Kau akan lebih aman di kamarku. Lagipula ada kabar lain yang akan kusampaikan kepadamu," ujar Raja Alastair.  



"Apa itu, Yang Mulia?"  



"Ibumu. Ratu Amaranta akan datang menjengukmu di sini. Aku memberinya kabar tentang percobaan pembunuhanmu yang ketiga kalinya, dan ia memutuskan untuk datang."  



Jantung Verity berdetak kencang. Ia tak menyangka Ratu Amaranta akan menemuinya di Austmarr. Apakah wanita itu akan membunuhnya dengan tangan sendiri atau memberikan perintah lain, yakni membunuh Raja Alastair?                      



XVII THE MOTHER  



KEDATANGAN RATU AMARANTA jelas membuat Verity gelisah. Wanita itu lagi-lagi duduk termangu menatap bunga di taman lewat salah satu jendela kaca besar ruang rekreasi. Demi keselamatan, Raja Alastair melarangnya keluar, dan ia memilih untuk patuh.  



Verity menarik napas dalam-dalam sembari menatap penjuru ruangan dengan bosan. Richard Blaxton menyarankannya bertemu anak-anak para menteri atau bangsawan agar mendapatkan teman selama di istana. Ia hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Ia tidak pernah punya temanapalagi-seorang wanita bangsawan sebelumnya. Dari apa yang ia tahu, wanita bangsawan terkenal culas dan lick seperti Ratu Amaranta. Mungkin saja salah satu dari mereka akan mencoba mencelakai karena ia menikahi Raja Alastair Bukankah menikahi seorang keturunan raja impian semua wanita? Banyak wanita yang mendambakan Raja Alastair  



sementara ia hanya seorang putri palsu yang berada di istana untuk misi membunuh raja.  



"Yang Mulia." Richard Blaxton, pria tua itu menjadi satu satunya orang yang masih mau mencurahkan sedikit perhatian kepada Verity daripada Raja Alastair yang kaku dan cenderung menjaga jarak, atau para pelayan. "Apa Anda baik-baik saja?"  



"Kapan Ratu Amaranta akan tiba?" Verity melihat kembali spektrum pelangi akibat cahaya matahari yang terbiaskan jendela dengan ukiranukiran unik seperti mosaik.  



Ruang rekreasi berisi banyak kegiatan-merajut, melukis, atau bermain musik-yang seharusnya dapat mengurangi rasa bosan Verity. Namun, ia tidak pernah diajarkan hal-hal klasik seperti itu. Ia hanya bisa menatap bosan peralatan merajut atau melukis yang ditawarkan para pelayan.  



"Dua hari lagi." Richard Blaxton mengulurkan tangan kepada Verity, membuat wanita itu menyambutnya dengan senang hati. "Aku dengar Yang Mulia Raja tidak lagi mengizinkan Anda masuk perpustakaan."  



Verity hanya menganggu, refleks tangan kirinya menyentuh leher ketika teringat perlakuan Raja Alastair di perpustakaan. Tindakan Raja Alastair memang masuk akal, ia mencurigai Verity sebagai mata-mata, tetapi di saat bersamaan harus melindungi karena statusnya sebagai ratu di Austmarr.  



"Siapakah Mariella Dragør, Richard?" Sebuah pertanyaan lolos begitu saja.  



Richard Blaxton menghela napas panjang dan membawa Verity melewati lorong panjang menuju salah satu sisi istana yang sepertinya jarang terjamah, terbukti dari lapisan tipis debu di sebagian besar pilar-pilar dan lantai.  



"Raja Alastair jarang melewati tempat ini," ucapnya. Hanya ada beberapa pengawal terlihat, tidak seperti di sayap kanan istana yang nyaris setiap sudutnya terdapat pengawal.  



"Tempat apa ini, Richard?" Verity menatap penasaran ke arah taman yang terlihat tak begitu terawat. Terdapat banyak tanaman liar, sebuah kolam kecil dipenuhi bunga teratai, dan tempat mandi burung yang berwarna kehijauan karena lumut.  



"Ruang takhta yang lama." Richard Blaxton lalu berhenti di depan sebuah pintu besar dan mendorongnya pelan.  



Verity menahan napas sejenak ketika melihat lukisan lukisan keluarga Kerajaan Austmarr. "Apa ini ...." Tatapannya terhenti di salah satu lukisanraja dan ratu Austmarr bersama seorang anak laki-laki kecil dengan wajah ceria yang duduk di pangkuan ibunya.  



"Kedua orang tua Raja Alastair, juga Raja Alastair saat ia masih kecil dulu." Richard Blaxton tersenyum sedih melihat pemimpin Austmarr yang lama.  



"Dia terlihat berbeda." Verity tak bisa menahan rasa penasaran ketika melihat Raja Alastair yang jauh berbeda dari apa yang ia lihat sekarang.  



"Seorang ratu mengutuknya agar dia tak bisa merasakan apa pun." Richard Blaxton berjalan ke lukisan lainnya. Kali ini Ratu Austmarr duduk di singgasana tanpa suami atau anaknya. Sebuah mahkota emas dengan permata rubi yang pernah Verity kenakan, duduk manis di kepalanya.  



"Apa maksudmu?" Verity melihat lukisan itu sekali lagi, berusaha meneliti setiap sudutnya, dan menemukan beberapa karakteristik sang ratu yang diturunkan kepada Raja Alastair.  



"She ripped his heart out. Dia tidak mau Raja Alastair merasakan perasaan apa pun lagi." Kening Verity berkerut bingung mendengar penjelasan Richard Blaxton.  



"Kenapa dia melakukannya?" "Tidak ada yang tahu, Yang Mulia. Ratu Mariella melakukannya sebelum ada yang bisa mencegah." Jantung Verity seolah terhenti beberapa saat.  



"Mariella Dragør?" Verity tersedak ludahnya sendiri saat menyebut nama Mariella Dragør.  



"Kembaran Ratu Amaranta. Anda tak mengenalnya?" Richard Blaxton menatap mata violet Verity yang membulat kaget.  



"A-aku Ibuku...." Ucapan Verity terbata-bata karena terlalu gugup dan kaget. "Ratu Amaranta tidak pernah menceritakannya kepadaku."  



"Aku bisa menduganya." Richard Blaxton terdiam sesaat. Kali ini ia membawa Verity ke sebuah undakan tangga pendek yang memperlihatkan dua kursi megah merah tua yang dilapisi debu. "Tidak ada yang menduga kalau Ratu Mariella akan melakukan itu kepada Alastair, anak sahabatnya sendiri, dan Ratu Amaranta termasuk orang yang selalu berhasil menyembunyikan perasaan terdalamnya, termasuk keberadaan Anda."  



"Aku?"  



"Bukankah Ratu Amaranta berhasil menyembunyikan Anda selama beberapa tahun ini?" Richard Blaxton tersenyum kecil. "Tidak ada yang menyangka kalau Putri Clementine benar-benar ada sebelum Anda datang ke Austmarr, Yang Mulia. Dia berhasil menyembunyikan Anda dari kembarannya sendiri."  



"Apakah karena itu Austmarr menghancurkan Drager? Karena Ratu Mariella mengutuk Raja Alastair?" tebak Verity.  



"Kebalikannya." Richard menggelengkan kepala pelan. "Semua tentara termasuk Raja Austmarr pergi membantu Dragør yang diserang Selencia dan Thaurin. Tidak ada yang menyangka kalau akan ada serangan tiba-tiba di Austmarr yang berhasil membunuh Yang Mulia Ratu, ibu Raja Alastair di ruang takhta ini." Ia menatap sendu kedua kursi singgasana itu sekali lagi, lalu menarik napas dalam.  



"Dia mati di ruangan ini?" Verity menatap sekeliling dan menyadari debu di ruangan lebih tebal daripada di luar. Jejak kosong di dinding membuktikan ada beberapa lukisan yang dipindahkan ke ruangan lain, tetapi tidak dengan lukisan keluarga Raja Alastair sendiri.  



"Dia tengah hamil anak kedua ketika pasukan Dragør yang seharusnya berada di Dragør menyerang tempat ini dan membunuhnya," imbuh Richard Blaxton.



 



Verity bisa membayangkan teror yang dirasakan sang ratu ketika ia berusaha melindungi bayi di kandungan dari para pasukan penyerang. "Apakah kau yakin pelakunya adalah Dragør? Kenapa mereka tak membunuh Raja Alastair?"  



"Tidak ada yang benar-benar yakin kalau pelakunya Dragør, Yang Mulia." Richard Blaxton bergumam. "Karena pada hari yang sama, berita kehancuran Dragør juga terdengar. Raja Alastair naik takhta secara tibatiba, menggantikan ayahnya yang mati di medan perang. Beliau lalu memerintahkan seluruh tentara kembali ke Austmarr, sementara Dragør perlahan runtuh karena ada serangan tiba-tiba."  



"Serangan tiba-tiba?" Verity teringat sisik naga yang diberikan Raja Arthur. Apakah lagi-lagi Selencia dan Thaurin yang berada di balik serangan ke Austmarr? Apa mereka berusaha menghancurkan dua kerajaan sekaligus dengan menaruh kecurigaan kepada Drager?  



"Tidak ada yang tahu hingga saat ini, Yang Mulia. Serangan itu menghancurkan Dragør hingga tak bersisa," jawab Richard Blaxton.  



Tangan Verity mengepal dan bergetar menahan marah. Ratu Amaranta benar-benar hebat memainkan peran untuk menghancurkan dua kerajaan di saat bersamaan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Rombongan Ratu Amaranta tiba lebih cepat. Tidak hanya Ratu Amaranta, Pangeran Alexander pun ikut datang. Wajah Raja Alastair yang sedari awal terlihat tak senang semakin muram. Dia hanya memerintahkan jamuan makan malam sederhana untuk menyambut kedatangan dua tamu penting, lalu pergi meninggalkan Verity di ruang kedatangan untuk menyambut tamu.



 



"Yang Mulia." Verity memberikan salam hormat kepada Ratu Amaranta ketika sang ratu turun dari keretanya. Ratu Amaranta membalas dengan memberikan sebuah  



pelukan kecil yang tak disangka Verity. "Aku merindukanmu." Ucapan Ratu Amaranta terdengar jelas, bulu kuduk Verity meremang, teringat sang ratu yang menyiksa juga nyaris membunuhnya beberapa kali. "Kau bisa panggil aku ibu, Clementine."  



"Terima kasih sudah mau datang menjengukku, Ibu." Verity bergumam. Ia melihat Pangeran Alexander yang berdiri tak jauh dari Ratu Amaranta, kedua mata hijaunya menatap Verity, mencipta sedikit canggung di hati Verity.  



"Alexander dengan senang hati bersedia menemaniku di perjalanan ini." Ratu Amaranta memberikan senyuman kecil. Verity mampu melihat sebuah rencana licik di dalamnya. "Bukan begitu, Alexander? Kurasa pilihan menikahkan Clementine dan Raja Alastair bukanlah pilihan yang bijak."  



Suara Ratu Amaranta yang terdengar ringan tanpa beban saat memasuki ruang makan, rupanya tak membuat Pangeran Alexander ataupun Raja Alastair merasa senang.  



Raja Alastair telah duduk di kursi terujung. Kursi sebelah kanannya diperuntukkan kepada Verity, sebelah kirinya untuk Ratu Amaranta. Sementara Pangeran Alexander akan duduk di sebelah Ratu Amaranta. Ketiganya terlihat begitu tegang dan kaku, berbeda dengan Ratu Amaranta yang berbicara santai, tak peduli suasana di sekitarnya.  



"Apa Anda tak peduli putri Anda nyaris mati, Yang Mulia?" sinis Raja Alastair, membuat Ratu Amaranta menatap langsung ke matanya.  



"Kalau aku tak peduli, aku tak akan datang ke sini, Alastair." Ratu Amaranta memotong hidangan utama dengan tenang. "Lagi pula Clementine masih hidup."  



Raja Alastair semakin tak menyukai Ratu Amaranta. la yakin ratu itu berada di balik setiap kejadian yang nyaris menghabisi nyawa Verity.  



"Terima kasih untuk rasa peduli Anda, Yang Mulia." Verity berkata pelan, berusaha mencairkan suasana yang terlalu kaku.  



"Oh, tenang saja. Aku tidak menyalahkanmu." Ratu Amaranta tersenyum tipis kepada Raja Alastair. "Tidak ada yang bisa disalahkan selain keteledoran pasukan keamanan Austmart bukan?"  



Sindirannya membuat Raja Alastair semakin geram. Seandainya saja raja bisa langsung mencekik membunuhnya, mungkin akan segera dilakukan saat itu juga.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa maksudmu, Amaranta?" Tidak tahan dengan semua sindiran menohok Ratu Amaranta, Raja Alastair tidak lagi menggunakan embelembel gelar kerajaan yang lebih seperti formalitas untuk sang ratu.  



"Aku tidak berencana membawa Clementine kembali ke Selencia tentu saja," kata Ratu Amaranta.  



Wajah Verity memucat ketika mendengar perkataan Ratu Amaranta. Bisa saja ia mati atau kembali ke penjara bawah tanah tanpa batas waktu. Kembali tidur di lantai tanah yang banjir bila hujan dan dipenuhi kecoak setelah reda.  



"Kau akan tetap bersama suamimu, Clement. Sepanjang Austmarr bisa menjamin keselamatanmu tentu saja." Ratu Amaranta bisa rona panik Verity dan tersenyum tipis. "Aku hanya datang untuk melihat keadaanmu, tidak untuk memperkeruh keadaan."  



Tawa kecil Ratu Amaranta membuat Verity menyadari ada rencana lain yang disembunyikan sang ratu di balik wajah bersahabatnya.  



"Apa yang kau rencanakan?" Verity langsung bertanya kepada Ratu Amaranta ketika keduanya berbicara tanpa pengawalan. Tidak ada seorang pun yang berada di ruang rekreasi, selain para penjaga di luar pintu tentu saja. "Menurutmu apa, Tikus Kecil?" Ratu Amaranta menatap hina Verity.  



"Apa kau akan membunuhku, atau membunuh Raja Alastair lagi?" Verity bertanya frustrasi. Ia bosan menjadi pihak yang paling tidak tahu di antara semuanya, "Apa ini ada hubungannya dengan Mariella Drager?" menyuruhku  



Verity memekik kecil ketika Ratu Amaranta menamparnya. Tangan kanannya refleks menyentuh area pipi yang terasa panas.  



"Jangan sebut namanya di hadapanku!" murka Ratu Amaranta. Matanya menyorot nyalang, tak luput dari tatapan Verity yang kini berkaca-kaca menahan pedih bekas tamparan.  



"Oh, kenapa? Karena aku bisa menghancurkan seluruh rencana licikmu bila aku mengucapkan namanya dan memberitahu mereka kalau kaulah pelakunya?" Perkataan berani Verity berhasil menyulut emosi Ratu Amaranta.  



Ratu Amaranta berjalan mendekat dan menyentuh wajah Verity. "Apa kau kira kau akan mendapatkan keuntungan dari itu? Rahasiamu akan



terbongkar! Alastair akan tetap membunuhmu. Jadi jangan bersikap sok pintar di hadapanku, Nak!" geramnya.  



"Dia tidak akan membunuhku bila ia tahu kaulah pelakunya." Kalimat Verity terdengar begitu jelas di telinga Ratu Amaranta.  



"Dia akan membunuhmu karena yang ia tahu kau adalah Putri Clementine." Ratu Amaranta tertawa kecil mendengar kepolosan Verity yang tak tahu sejauh mana rencananya. "Apa kau kira dia akan mendengarmu begitu saja dan menolongmu? Apa kau tak lihat membenciku, Verity. Namun ia tak bisa melakukan apa-apa Dia sikapnya karena dia adalah pemimpin lima kerajaan. Menghancurkan Selencia berarti memancing perang lagi. Berhentilah bersikap naif!"  



"Apa yang kau inginkan? Apa kau mau aku mati atau kau mau aku membunuh Raja Alastair lagi?" Verity menatap mata violet Ratu Amaranta lurus. Mata yang begitu serupa dengan miliknya. Hubungan apa yang mereka miliki sebenarnya?  



"Oh tidak, tidak, tidak." Ratu Amaranta tertawa kecil dan  



menepuk-nepuk pipi Verity pelan. "Aku ingin kau dan Raja Alastair tetap hidup untuk melanjutkan rencanaku." "Apa yang kau inginkan?" tanya Verity untuk ke sekian kali  



karena rasa frustasi yang semakin menumpuk. Ia hanya ingin  



kebebasan, tetapi tidak dengan cara seperti ini. "Aku menginginkan anakmu." Ucapan Ratu Amaranta membuat wajah Verity memucat, terlihat sangat tak mengerti dengan keinginan aneh sang ratu.  



"Anakku?"



 



"Anakmu dan Raja Alastair tentu saja. Pewaris Kerajaan Austmarr." Semua susunan rencana berubah, tetapi ada satu yang pasti, Ratu Amaranta masih ingin menghancurkan Austmarr.  



XVIII THE TRUTH  



"AKU TIDAK BISA melakukannya!" Verity menggelengkan kepala. Dia tidak ingin mempertaruhkan sesuatu di hadapan Ratu Amaranta karena yakin ada hal terselubung yang diinginkan sang ratu.  



"Dasar tak tahu diuntung!" Ucapan Ratu Amaranta jelas tak sekeras tamparan kedua yang mengenai pipi Verity.  



Verity terhuyung, menahan pipinya yang semakim terasa pedih.  



"Aku tidak memintamu, aku menyuruhmu!" tegas Ratu Amaranta.  



"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau ingin menghancurkan Austmarr?" Mata keduanya bertemu. Ratu Amaranta sedikit menunduk guna menyentuh pipi Verity dan mengelusnya dengan kelembutan yang malah membuat Verity ketakutan.  



"Karena dalam hidup ini, kau hanya akan dihancurkan bila kau tidak menghancurkan lebih dulu, Tikus Kecil," desis Ratu Amaranta.  



"Raja Alastair tidak melakukan apa pun kepadamu," cicit Verity.  



"Belum." Ratu Amaranta menjawab singkat. "Kau tidak akan berada di sini kalau bukan karena aku. Kau akan tetap berada di penjara Selencia, Verity. Aku tidak peduli bagaimana caramu mempengaruhi Alastair, buat dia menghamilimu, lalu kau akan bebas."  



"Tidak!" Verity menjawab tegas. Dia sangat menyadari tidak akan pernah bebas dari cengkeraman.  



"Kau atau dia yang mati, Verity?" Ratu Amaranta menatap Verity nyalang. Wajahnya yang cantik tidak bisa menutupi kobaran amarah.  



"Aku tidak memberimu pilihan. Pembunuh bayaran akan tetap datang untuk membunuhmu. Atau Alastair."  



"Apa kau yang mengirim mereka selama ini?" Verity menatap Ratu Amaranta tak percaya. Ada begitu banyak cara untuk membunuh Raja Alastair, tetapi sang ratu memilih mengirimnya. "Kenapa kau tidak membunuhnya langsung dengan tanganmu sendiri?"  



"Apa aku harus menjawab setiap pertanyaanmu?" Ratu Amaranta balik bertanya dengan nada sinis. "Bila kau menerima tawaranku, aku akan membiarkanmu bebas selama beberapa bulan."  



"Apa yang aku dapatkan dari ini?" Verity memberanikan diri menatap Ratu Amaranta yang berdiri di dekatnya. Sekilas, mata keduanya serupa, tetapi jelas berbeda. Mata Verity lebih pucat dan redup jika diteliti.  



"Mungkin saja kau bisa memiliki akhir bahagiamu, Tikus Kecil."  



Verity mengulangi kata "mungkin" di dalam hati berulang kali. Mungkin dia akan bahagia, mungkin juga tidak Menghancurkan atau dihancurkan. Ratu Amaranta jelas tidak memberikan pilihan kepadanya.



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity berjalan lunglai. Pipinya masih memerah karena bekas tamparan Ratu Amaranta, jelas ia tidak bisa menemui Raja Alastair dengan tampilan acak-acakan. Tanpa disadari, ia berjalan menuju ruang singgasana yang lama.  



"Clementine!" Verity sontak berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang berjalan terburu-buru ke arahnya. "Apa kau baik-baik saja?"  



"Aku...." Verity terdiam sesaat. Apakah ia harus tetap diam di hadapan Pangeran Alexander atau menceritakan semuanya? "Apa kau baik-baik  



saja?" Pangeran Alexander bertanya kembali, mata hijaunya yang cemerlang terlihat khawatir.  



"Aku baik-baik saja." Verity bergumam, teringat kalau Pangeran Alexander merupakan putra Raja Arthur dan Thaurin termasuk salah satu kerajaan yang ingin menghancurkan Austmarr.  



"Ada apa dengan-"  



"Aku tidak apa-apa." Verity berusaha menyembunyikan area pipi yang memerah dengan mengumpulkan rambut hitamnya ke depan.  



Pangeran Alexander menghela napas panjang, menahan tangan Verity, dan memeriksa pipinya. "Akan baik-baik saja sebentar lagi."  



"Aku tahu." Verity melepaskan tangan Pangeran Alexander, lalu kembali berjalan menuju taman di dekat ruangan. "Aku sedang ingin sendiri, Alexander."



 



"Kau selalu mengatakan itu bila di hadapanku sekarang." Pangeran Alexander mengikuti Verity. "Kau dulu tidak begitu kepadaku."  



Verity menarik napas lirih. "Kau mungkin salah, aku tidak sama dengan orang yang kau kenal dulu."  



"Tidak, aku tidak salah, Clement! Kau masih Clementine yang sama, yang suka berlari tanpa mengenakan alas kaki di Istana Thaurin. Rambut hitammu masih sama, mata violetmu juga sama." Ucapan Pangeran Alexander membuat Verity sontak berbalik dan menatap sang pangeran tak percaya.  



"Apa yang kau bicarakan?"  



"Kau pernah tinggal di Thaurin, Clement." Verity menatap mata Pangeran Alexander, berusaha mencari secercah kebohongan, tetapi sia-sia.  



"Aku tidak mengingatnya." Kali ini Verity menunduk, melihat kaki yang mulai terbiasa mengenakan sepatu, dan tidak lagi kesakitan saat pertama kali mengenakannya. Rasa sedih menjalar di hati ketika menyadari ia melupakan sebagian besar masa kecilnya.  



"Aku tahu." Pangeran Alexander mengambil sebuah bunga Queen's anne lace, lalu menyerahkannya kepada Verity. "Itu juga salahku."  



"Apa maksudmu?" Verity menerima bunga yang ragu diberikan Pangeran Alexander.  



"Queen's anne lace jenis lain dari Baby's breath. Hanya tanaman biasa yang menyerupai ilalang, namun bisa mematikan kalau kau mencabut jenis yang salah." Ada begitu banyak tanaman liar di taman itu, tetapi Pangeran



Alexander menyadari kalau tanaman-tanaman mematikan yang biasa dipergunakan sebagai racun tidak berada di sana. "Apa yang Ratu Amaranta sampaikan kepadamu?"  



"Hanya agar aku menjalankan tugasku sebagai ratu di Austmarr." Verity mencabut bunga, lalu meniupnya hingga kelopak-kelopaknya beterbangan. "Kenapa kau berada di sini, Alexander?"  



"Karena Ratu Amaranta menyerahkan segala urusanmu ke tanganku," jawab Pangeran Alexander.  



Keduanya terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Verity lagi-lagi menarik napas panjang sebelum menatap Pangeran Alexander, bingung dengan keadaan sekitarnya. Apakah Pangeran Alexander kawan atau lawan, apakah harus percaya kepada pria itu atau menjauh karena ia berada di pihak Ratu Amaranta dan Raja Arthur.  



"Apakah aku harus melakukannya?" tanya Verity tiba-tiba.  



"Tidak." Pangeran Alexander menjawab singkat, bahkan sebelum wanita itu memperjelas pertanyaannya.  



"Kenapa?" Verity mengernyitkan kening dan kembali berpikir keras.  



"Kalau kau ragu-ragu, sebaiknya kau tidak melakukannya.  



Verity mengembuskan napas lemah. Perkataan Pangeran Alexander mungkin ada benarnya. Seandainya ini tidak berhubungan dengan nyawa, maka ia tidak akan melakukannya. "Aku tidak tahu." Ia bergumam.  



Kepalanya mendongak dan melihat matahari cerah. Berbicara dengan Pangeran Alexander membuatnya yang sedikit bisa berpikir jernih. Apa pun



yang Ratu Amaranta rencanakan, tentu membutuhkan waktu cukup lama, dan dalam jenjang waktu itu, ia bisa memikirkan rencana lain.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity berusaha memberanikan diri kali ini. Beberapa hari terakhir ia selalu berbagi kamar dengan Raja Alastair, meskipun ia menyadari kalau pria itu tidur di sisinya dan bangun lebih cepat, terbukti dengan sisi kasur yang telah berantakan.  



Verity berulang kali menyisir rambut yang sebenarnya telah rapi. Ia berusaha menahan kantuk dan menunggu Raja Alastair datang. Pengalaman malam pertamanya dengan sang raja memang terasa mengerikan, ia nyaris saja mati di tangan pria itu. Dibunuh atau membunuh, mungkin Ratu Amaranta benar. Kali ini ia hanya memikirkan cara menyelamatkan diri sendiri.  



"Apa yang kau lakukan?" Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair masuk kamar dengan penampilan berantakan. "Kenapa kau belum tidur?"  



Verity memainkan jemari dan melihat Raja Alastair yang seperti tak tahu malu membuka atasan kemeja dan menggantinya dengan kemeja lain. "Aku ...."  



"Apa ibumu menyuruhmu melakukan mengatakan sesuatu kepadamu?"



sesuatu?



Atau



Alexander



 



Verity menelan ludah gugup mendengar pertanyaan telak Raja Alastair. "Dari mana-"  



"Dari mana aku tahu kalau kau menemui Alexander di ruang singgasana yang lama?" potong Raja Alastair sembari berjalan mendekati Verity dan



tertawa sumbang. "Kau tahu kalau ini istanaku bukan?"  



"A-aku...." Lidah Verity terasa kaku dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ia jelas tahu raja tak menyukai Thaurin maupun Selencia.  



"Tak bisa mengatakan apa pun, Clement?" Mata Raja Alastair menyapu tubuh Verity yang hanya terbalut gaun tidur tipis. "Apa yang kau rencanakan sekarang?"  



Verity refleks berjalan mundur menyadari kalau mematuhi perintah Ratu Amaranta mungkin akan membawanya ke hal yang lebih buruk daripada sebelumnya. "Ma-maafkan saya, Yang Mulia." Ia ingin berlari sejauh mungkin saat itu juga.  



"Buka bajumu!" perintah Raja Alastair.  



Verity tersentak kaget. Mata violetnya melebar bukan hanya karena kaget, tetapi juga marah. Di hati terdalam, ia tahu memiliki andil cukup besar untuk membuat seorang Raja Alastair yang selalu diibaratkan sebagai seekor singa kini terbangun. Melakukan perintah Ratu Amaranta jelas membawa hal tidak baik untuknya.  



"Bukankah itu yang ingin kau lakukan? Mengenakan pakaian seperti itu dan terbangun hingga larut malam?" kata Raja Alastair.  



"A-Anda salah...." Pipi Verity memerah menahan malu juga marah karena harga dirinya seperti diinjak-injak.  



"Aku salah? Coba ulangi sekali lagi, Clement. Apa ibumu menyuruhmu menggodaku, lalu menusukku lagi saat aku tidur?" cecar Raja Alastair.  



Verity menyadari kesalahannya ketika melihat wajah Raja Alastair yang benar-benar marah sekarang. Raja pernah marah beberapa kali di hadapannya, salah satunya berakhir dengannya yang nyaris pingsan karena tercekik.  



"Apa ini cara Selencia berkonsolidasi, hm? Apa kau juga melakukan hal yang sama kepada Alexander, Clement? Apa karena itu Alexander selalu mengikuti perkembanganmu meskipun kau seorang Ratu Austmarr sekarang?" Kemarahan Raja Alastair kali ini benar-benar mengerikan, ia bahkan tidak memberikan sedikit pun ruang kepada Verity untuk membalas.  



"Alexander tidak ada hubungan apa pun dengan-" Ucapan Verity terhenti ketika tiba-tiba Raja Alastair melumat bibirnya kasar.  



Ciuman panas Raja Alastair tidak sedingin seperti saat pernikahan mereka. Verity juga bisa merasakan sececap anggur di ujung lidah Raja Alastair dan menyadari kalau pria itu setengah mabuk.  



"Yang Mulia ...." Verity berusaha mendorong dada Raja Alastair menjauh, tetapi pria itu menahan kedua tangannya dan semakin memperdalam ciuman. Ia juga berusaha keras untuk tidak mengucapkan sepatah kata meski tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.  



"Aku akan memberikan apa yang kau inginkan, Clement." Mata cokelat Raja Alastair menatap sesaat, lalu kembali mencium Verity.  



Lumatan bibirnya terasa kasar ketika tidak lagi menjamah bibir Verity, tetapi juga rahang dan leher wanita itu. Verity melenguh pelan, perasaan bersalah bercokol di hati terdalam karena ia terlena dan membiarkan Raja Alastair menyentuhnya saat pria itu tengah marah dan merendahkan harga dirinya.  



Raja Alastair menurunkan lengan gaun tidur Verity dan memperlihatkan bahunya yang mulus tanpa luka. Raja Alastair menciumnya perlahan, lalu menyentuh payudara Verity di balik gaun, sementara Verity memejamkan mata menyadari kalau mungkin tidak akan ada kata kembali atau berhenti untuk saat ini.  



"A-aku...." Mata Verity berkaca-kaca. Cicitannya membuat Raja Alastair melepaskan pagutan bibir dan menatapnya lekat.  



"Bukankah ini yang kau inginkan, Clement?" Raja Alastair terus menatap Verity. Penampilan wanita itu bahkan lebih berantakan daripada sebelumnya, sekujur bahu juga leher jenjangnya dipenuhi jejak-jejak keunguan bekas ciuman. Pakaiannya tersampir berantakan, memperlihatkan bahu, bahkan nyaris payudaranya.  



"T-tidak...." Verity berusaha mengeluarkan suara, tetapi setiap patah kata yang keluar terdengar terbata-bata. Ia benar benar ketakutan dan nyaris membiarkan Raja Alastair melakukannya.  



"A-aku tahu ini tugasku T-tapi Verity memeluk dirinya, berusaha menahan pakaian yang kini terasa terlalu tipis dan tidak menutupi tubuhnya seinci pun.  



"Tugas apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair mendekat meski Verity refleks menjauh, hingga ia pun menahan kedua bahu, dan memaksa wajah wanita itu agar mendongak dan melihatnya.  



"Se-sebagai ratu di Austmarr ... A-aku harus.... bisa memberikan alasan apa pun. Ia tidak menyangka Raja Alastair akan datang dan memperlakukannya seperti ini. la berusaha mengingat-ingat pembahasan tentang malam pertama teringat .." Verity tidak atau hubungan suami istri, tetapi satusatunya yang adalah pelajaran dari Jenny.  



Raja Alastair mengembuskan napas gusar dan melihat Verity yang gemetar ketakutan, bahunya ringkih dan kurus, membuatnya menyadari betapa rapuhnya wanita itu bila tidak diperlakukan dengan hati-hati. "Apa yang kau inginkan sebenarnya, Clementine?"  



"Aku tidak ingin berada di sini." Verity berusaha mengungkapkan isi hati terdalam, kejujuran yang tak bisa ia pendam lagi, ia ingin bebas, ia tidak ingin berada di istana dan terlibat semua ini.  



Verity memberanikan diri menatap kedua mata cokelat Raja Alastair yang kini terlihat dingin. Ia tak bisa menyalahkan pria itu bila saja tiba-tiba mencekiknya lagi karena telah berani memancing kemarahannya.  



"Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan, Clementine. Kau akan tetap berada di sini sebagai Ratu Austmarr." Ucapan dingin Raja Alastair meremukkan harapan terakhir Verity.  



"Bagaimana kalau ...." Verity terdiam sesaat, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi, dan memutuskan untuk tetap mengatakannya. "Bagaimana kalau aku bukan Putri Clementine yang sebenarnya?"                



XIX THE COAT OF ARMS



 



"LALU SIAPA KAU sebenarnya?" Kedua tangan Raja Alastair bersedekap di dada, terlihat begitu mengintimidasi di mata Verity.  



"Aku bahkan tak tahu siapa aku sebenarnya." Verity menelan ludah. Beragam pertanyaan bermunculan.  



Rahasia yang membuatnya berada di sini. Verity menyadari sejak awal Raja Alastair tahu ia bukan Putri Clementine. Ia juga menyadari jika seluruh rahasia terbongkar saat ini, maka Raja Alastair tak memiliki alasan lagi untuk mempertahankannya. Bila bukan raja yang menyingkirkan, maka Ratu Amaranta akan dengan senang hati membunuhnya.  



"Bagaimana kau bisa memiliki mata violet seperti Ratu Amaranta?" Pertanyaan sulit Raja Alastair merupakan salah satu pertanyaan yang tak diketahui jawabannya oleh Verity.  



"Aku tidak tahu." Verity bergumam.  



"Aku sudah bosan dengan jawaban seperti ini, Clementine." Bahkan Raja Alastair tahu kalau wanita di hadapannya Clementine. "Mari kita coba kembali. Siapa namamu yang sebenarnya?"  



Verity menggigit bibir gelisah. Raja Alastair tampak beratus-ratus kali lebih mengerikan dari yang selama ini ia lihat. "A-aku...." "  



"Apa yang Ratu Amaranta perintahkan kepadamu?" Raja Alastair kembali bertanya sebelum Verity menjawab pertanyaan sebelumnya.  



"Dia...."  



"Di mana Putri Clementine yang asli berada?"



 



Tubuh Verity menegang karena takut. Bulir-bulir keringat dingin membasahi punggung, membuatnya benar-benar menyesal telah mengikuti perintah Ratu Amaranta. "Aku tidak tahu," cicitnya.  



"Bahkan Richard pun tak bisa menemukan latar belakangmu." Mata Verity membelalak kaget, tak menyangka kalau penasihat Raja Alastair telah berusaha mencari tahu tentangnya. "Hanya ada latar belakang Putri Clementine."  



"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Verity menyadari kalau kini punggungnya sudah nyaris menabrak dinding dan Raja Alastair masih berusaha mendekat.  



"Putri Clementine tinggal di Thaurin selama beberapa tahun, berlindung di bawah pemerintahan Raja Arthur, dan berperan sebagai tunangan Alexander." Raja Alastair mengambil sejumput rambut Verity, lalu menyelipkan ke belakang telinga wanita itu. "Bahkan ciri-ciri Putri Clementine pun sama denganmu, rambut hitam dan mata violet milik anggota Kerajaan Selencia."  



"Tidak mungkin." Verity bergumam. Pangeran Alexander mengatakan hal sama, tetapi ia yakin kalau ia tak pernah tinggal di Thaurin. Tidak ada memori apa pun tentang Thaurin atau Pangeran Alexander sewaktu kecil. "Aku tidak mengingatnya."  



"Seorang bekas pelayan istana dalam Thaurin bersumpah kalau ia pernah melihatmu bersama Alexander." Raja Alastair memperhatikan reaksi Verity dan menyadari kalau wanita ini benar-benar tak mengingat apa-apa. "Kau pernah memanggilku Al sebelumnya."  



"Al?" Verity mengerutkan kening tak mengerti. Apa hubungan panggilan Al dengan Thaurin kali ini?



 



"Alexander pernah menyelamatkanmu beberapa kali. Kurasa itu hubungan kalian yang tidak bisa dicampuri orang lain bukan?" Suara Raja Alastair terdengar mencemooh.  



"Dia hanya pernah menyelamatkanku ketika aku keracunan hemlock." Verity berusaha mengingat-ingat seluruh memori yang tersimpan di otaknya, tetapi tetap yakin kalau ia tidak pernah bertemu Pangeran Alexander sebelumnya.  



"Apa kau yakin? Lalu siapa Al, Clement? Apa itu aku atau  



Alexander?" selidik Raja Alastair. Tak ada satu kata yang bisa Verity ucapkan, membuat Raja Alastair semakin gusar. Pria itu melihat setiap sisi tubuh Verity sekali lagi. Melihat bibirnya yang memerah, rambut acakacakan, leher, dada, dan bajunya yang tampak berantakan, lalu berucap kasar. "Buat dirimu lebih layak lain kali, Clement."  



Raja Alastair bisa melihat wajah kaget, takut, bercampur malu yang teramat dari Verity. Ucapan kasar juga sikapnya telah menghancurkan harga diri wanita itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair tak bisa menyembunyikan rasa gusar melihat Verity yang selalu kebingungan dan ketakutan bila berada di hadapannya. Ia bisa saja mencecar sejuta pertanyaan kepada wanita itu, tetapi ia yakin hanya akan berakhir kesia-siaan. Entah apa yang Ratu Amaranta berikan hingga berhasil menghapus sebagian besar ingatan Verity. Kedatangan Ratu Amaranta dan Pangeran Alexander telah berhasil mengobrak-abrik kerajaan, membuatnya ingin mengusir mereka secepat mungkin.  



Meninggalkan Verity sebelum selesai urusan mungkin bukan pilihan yang bijak, tetapi ia membutuhkan waktu sendiri karena beberapa alasan. Pertama pikirannya kacau akibat kedatangan dua orang yang paling tidak disukai, kedua karena provokasi Verity yang ujung-ujungnya dihentikan wanita itu sendiri. Raja Alastair mengakui kalau ia meminum lebih banyak anggur malam ini karena Ratu Amaranta dan Pangeran Alexander tentu saja, tetapi pada akhir ia minum semakin banyak untuk menenangkan darah yang berdesir cepat ketika mengingat setiap inci lekuk tubuh Verity, juga meredam rasa sakit di tubuhnya.  



"Sial!" Raja Alastair meneguk kembali anggurnya entah yang ke berapa kali.  



"Anda membutuhkanku, Yang Mulia?" Richard Blaxton terlihat lelah, tetapi bukan kali ini ia harus mengikuti perintah dan menemui sang raja di waktu yang bisa dikatakan tak tepat. Ia bahkan tengah tertidur ketika salah satu pengawal datang ke bilik dan memberitahunya untuk segera menemui raja.  



"Kau mau ini?" Raja Alastair menawarkan segelas anggur yang diterima Richard Blaxton dengan kening berkerut dalam dan wajah kebingungan.  



"Apa terjadi sesuatu, Yang Mulia?" Richard Blaxton memilih untuk menaruh kembali gelas itu dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada Raja Alastair. "Apakah terjadi sesuatu kepada Yang Mulia Ratu Clementine?"  



Raja Alastair terkekeh. "Apa kau yakin dia benar-benar Clementine, Richard?"  



"Menurut sumber yang kudapatkan, dia memang Putri Clementine, Yang Mulia. Bahkan pelayan Thaurin pun tak bisa berbohong dan mengatakan kejujuran kepadaku. Pangeran Alexander dan Ratu Clementine menghabiskan beberapa tahun bersama-"  



"Cukup!" Raja Alastair mengangkat tangan, memotong perkataan Richard Blaxton. "Bagaimana dengan belati itu? Dari mana ia mendapatkannya?"  



Richard Blaxton menghela napas. Belum ada sedikit informasi meyakinkan mengenai belati itu. Hanya informasi simpang siur yang beredar setelah beberapa ahli besi juga perhiasan melihat sekilas, salah satunya dari seorang ahli besi di ujung Selencia. Batu-batu langka di belati hanya bisa didapatkan di Dragør. Hal yang nyaris tak masuk akal karena Dragør sudah hancur rata dengan tanah. "Dragør. Belati itu berasal dari Dragør, Yang Mulia," kata Richard Blaxton ragu.  



"Dragør?" Raja Alastair mengulangi. "Akan lebih baik bukan bila Clementine tetaplah Clementine, dan tidak berasal dari Dragør?"  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity berusaha membuat dirinya tampak lebih layak seperti ucapan Raja Alastair. Ia menurunkan rambut, berusaha menutupi jejak keunguan yang disebabkan sang raja di sekitar dada juga leher, memoles bedak tebaltebal, atau mencari pakaian dengan leher tinggi. Ia menjerit frustrasi di dalam hati ketika masih ada satu jejak keungun yang tersembunyi rapi di belakang telinga. Para pelayan sedari tadi hanya bisa membantu memasangkan pakaian dan memilihkan baju yang tidak membuatnya terlihat seperti wanita murahan.  



"Apa ini bagus?" Verity bertanya kepada salah satu pelayan yang sering membantunya mengenakan korset. Wanita itu hanya tersenyum tipis dan mengangguk.  



"Kau tidak perlu khawatir." Verity tersentak kaget melihat Raja Alastair yang masuk, masih terlihat berantakan dengan kantung mata menghitam pertanda pria itu tidak tidur sedetik pun sejak keluar dari kamar semalam.



"Apa pun yang kau rencanakan bersama Ratu Amaranta akan membuatnya semakin senang melihat jejak-jejak yang kutinggalkan di badanmu."  



Para pelayan undur diri meninggalkan keduanya.  



Wajah Verity memerah menahan malu. Harga dirinya telah diinjak-injak para anggota kerajaan yang selalu berpikir kalau mereka punya posisi lebih tinggi di atasnya. Ia mungkin bukan Putri Clementine asli, tetapi ia juga wanita yang punya perasaan ingin dihargai.  



"Bukan Ratu Amaranta yang kukhawatirkan, Yang Mulia." Verity lagi-lagi merapikan rambutnya yang terurai.  



"Oh, jadi kau mengkhawatirkan pendapat Alexander terhadapmu?" Raja Alastair mendekat, menahan pekikan wanita itu dengan sebuah ciuman dalam.  



Verity sontak memukul dada raja karena ciuman tak terduga itu membuatnya tak bisa bernapas. "Apa yang Anda lakukan?" Ia menyadari Raja Alastair masih dalam pengaruh alkohol dari aroma anggur yang masih kental.  



Verity tak menyangka Raja Alastair menciumnya di sepagi ini setelah kejadian semalam. Ia telah menyiapkan diri untuk menerima hukuman, dimasukkan ke penjara atau kembali ke Selencia, tetapi tidak dengan satu ini.  



"Apa kau akan tetap melakukannya bila Ratu Amaranta tidak memerintahkanmu?"  



"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity semakim tak paham.  



"Apa kau akan menyerahkan dirimu seutuhnya kepadaku tanpa kuminta, Clementine?"  



"Kenapa Anda bertanya seperti itu, Yang Mulia?"  



Raja Alastair tersenyum kecil, nyaris seperti mengejek Verity. "Karena aku sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan apa yang kau mulai semalam, Clement."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Tybalt!" Tybalt melihat Barney yang membawa beberapa perlengkapan baru untuk mereka.  



"Aku berhasil mengumpulkan ini." Barney menunjuk benda-benda yang mungkin saja masih bisa digunakan.  



Tybalt menghela napas panjang, menunduk sekilas untuk membasuh tangannya di air sungai, lalu membantu Barney. "Apa menurutmu aku harus menerima tawaran Raja Colthas?"  



"Bila yang ia katakan benar, aku yakin semuanya akan mengikuti arahanmu. Jenderal Wildemarr telah berhasil membawa kita sejauh ini. Tapi beliau...." Barney menarik napas panjang dan melihat Tybalt sekali lagi. "Ratu Amaranta akan mendapatkan balasannya."  



"Ayahku datang ke Selencia untuk meminta bantuan." Tybalt menyingsingkan lengan bajunya. Stok makanan mereka semakin menipis, ia bisa saja memberi kehidupan yang lebih layak untuk warga Dragør jika mau menerima tawaran Raja Colthas. Namun, ia harus mengambil langkah hati-hati dalam menghadapi anggota kerajaan terutama seperti Raja Colthas yang tidak memberikan tanda setianya secara jelas. "Dia mengira



Ratu Amaranta akan memberikan sedikit bantuan karena dia kembaran Ratu Mariella."  



Barney menepuk-nepuk punggung Tybalt. "Apa yang Raja Zacharias tawarkan kepadamu?"  



"Ini." Tybalt mengeluarkan sebuah emblem kecil dengan lambang angsa dan perisai hitam putih milik Dragør. "Dia bisa membangun kembali Dragør."  



Barney menatap tak percaya emblem Dragør. Emblem hanya diberikan kepada anggota atau orang-orang penting di kerajaan. Emblem terakhir berada di tangan Jenderal Wildemarr, ayah Tybalt, dan yang ia tahu, benda itu ikut dihancurkan ketika Jenderal Wildemarr berada di Selencia. "Apa ini milik ayahmu? Dari mana ia mendapatkannya?"  



Tybalt menggelengkan kepala, lalu mengeluarkan emblem Dragør lain yang terlihat jauh lebih tua dan usang. "Yang ini milik ayahku."  



"Kukira emblem ini sudah hancur." Barney terbelalak menatap keduanya.  



"Aku berhasil menyelamatkan ini." Tybalt menggenggam emblem milik ayahnya lebih erat, teringat semua pengorbanan sang ayah juga akhir Dragør yang mengerikan. "Aku tidak tahu dari mana Raja Colthas bisa mendapatkan emblem yang lain."  



"Apa yang ia katakan kepadamu?" Barney melihat emblem yang satunya, lebih berkilauan dan jelas lebih terawat dibanding emblem milik ayah Tybalt.  



"Dia bilang akan membantu Dragør meraih kembali kejayaannya." Tybalt melihat sisa-sisa reruntuhan Dragor dari sudut Hutan Cemara.



 



"Apa yang ia inginkan sebagai balasannya?" Barney bertanya terburu-buru. Akhirnya mereka menemukan titik cerah setelah bertahun-tahun hidup terkatung-katung di hutan, dicap sebagai bandit, dan tak diakui oleh lima kerajaan. "Mereka berusaha mengubur keberadaan Dragør, bahkan menghapusnya dari peta, dan nyaris menghapus nama Ratu Mariella dan Raja Ferdinand. Mereka tak akan bisa, Tybalt."  



"Aku juga tak bisa memercayai Raja Colthas begitu saja, Barney." Tybalt menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekaligus. "Emblem ini milik anggota kerajaan Dragør yang tersisa."  



"Tak mungkin." Barney membelalakkan mata, mulutnya menganga lebar tak percaya. "Kukira tidak ada satu pun anggota kerajaan yang tersisa."  



"Menurutmu begitu?" Tybalt tertawa miris, "Raja Ferdinand sudah mati dan aku sangat yakin kalau Ratu Mariella juga sudah mati."  



"Lalu siapa yang tersisa?"  



"Menurut Raja Colthas, Ratu Mariella masih hidup. Emblem yang berada di tangan Tybalt berkilauan ketika tertimpa cahaya matahari.  



"Itu tidak mungkin bukan?" Barney tahu saat serangan datang, orang-orang pertama yang dibunuh para tentara tentu saja keluarga kerajaan. Raja Ferdinand adalah orang pertama yang tumbang, mati dengan puluhan tusukan di dada karena berusaha melindungi keluarganya juga kerajaan Dragør.  



"Kau tak akan percaya kalimat yang ia katakan selanjutnya, Barney." Tybalt memelankan suara, dan kembali melanjutkan, "Keturunan terakhir Kerajaan Dragør juga masih hidup. Anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand."  



                 



XX THE VENGEANCE  



TYBALT MELIHAT SISA-SISA bangunan Kerajaan Dragør yang telah hancur. "Perang tidak akan terelakkan kali ini."  



"Aku yakin ini yang terbaik untuk seluruh Dragør yang tersisa." Barney ikut melihat dari rimbun pepohonan. Ia masih kecil saat perang berkecamuk dan menghancurkan Drager, tetapi ia tidak bisa melupakan bagaimana serangan itu menghabisi semua anggota keluarganya. Ia sendiri selamat karena meringkuk bersembunyi di dekat tungku. Jenderal Wildemarr menyelamatkan setiap Dragørian yang tersisa dan membentuk kelompok kecil, lalu mati ketika tiba di Selencia untuk meminta bantuan mereka.  



"Memilih Colthas sebagai sekutu bukanlah cara terbaik." Tybalt bergumam, masih teringat kalau Raja Zacharias II juga berperan dalam kehancuran Dragør.  



"Namun hanya ini satu-satunya cara yang kita miliki, Tybalt." Barney menatap satu per satu Dragørian yang tersisa. Mereka hanya rakyat biasa, tak pernah dibina sebagai tentara.  



Kemampuan mereka terbatas, tak seperti para tentara yang dimiliki lima kerajaan. "Perang tak akan bisa dimenangkan tanpa pengorbanan. Kau masih ingat rasa sakit yang kau rasakan ketika tak bisa melindungi orangorang yang kau cintai."  



Beberapa kali anggota kelompok mereka mati karena dibunuh atau ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh Austmarr dan Selencia. Garis perbatasan Dragør yang dipersempit karena sebagian diserahkan kepada Austmarr dan Selencia, membuat gerak mereka terbatas. Mereka tak bisa kembali ke Dragør karena kerajaan itu telah benar-benar luluh lantak. Tak ada kerajaan yang mengakui dan menganggap mereka yang tersisa hanyalah bandit jalanan. Bergabung dengan Colthas merupakan pilihan sulit, tetapi Colthas kerajaan pertama yang menawarkan bantuan. Sementara itu, menemukan keturunan terakhir Dragør adalah prioritas mereka untuk saat ini.  



"Aku berharap kita dapat menemukannya dan membangun kembali Dragør." Tybalt melihat rombongan mereka yang mengikuti dengan berjalan kaki melewati Raria menuju Colthas. Mereka tak bisa memotong jalan melewati Austmarr karena para tentara Austmarr sudah dipastikan akan membunuh mereka di tempat sesuai perintah Raja Alastair.  



"Sekaligus menghancurkan kerajaan lain yang turut berpartisipasi untuk menghancurkan Dragor." Tybalt mendongak ketika merasakan tetes demi tetes air hujan turun dan perlahan membasahi wajahnya.  



Perjalanan mereka akan lebih sulit kali ini karena harus melewati daerah jurang terjal yang jarang dilewati. Mereka tak punya pilihan, tempat itu satu-satunya jalan yang diyakini tak diawasi tentara Austmarr.  



"Prepare for the war.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity tak habis pikir apa yang telah merasuki Raja Alastair hingga keluar kalimat-kalimat mengejutkan dari mulutnya. Verity membuka mulut sekilas dan dikatupkan lagi, tak benar benar tahu harus berkata apa kepada sang raja yang berdiri dan menunggunya mengatakan sesuatu.  



"Aku...."  



"Yang Mulia!" Perkataan Verity terputus ketika terdengar ketukan keras dari pintu. "Yang Mulia!" Sekali lagi terdengar. Verity yakin itu suara Richard Blaxton karena hanya pria itulah yang berani memanggil raja dengan tergesa.  



"Aku akan mendengar jawabanmu nanti." Raja Alastair beranjak membuka pintu. Benar saja, Richard Blaxton telah menunggu di depan pintu dengan wajah panik. "Ada apa?"  



Richard Blaxton melirik Verity sekilas sebelum berbicara kepada Raja Alastair. "Tybalt dan Dragørian yang lain berpindah ke...."  



Raja Alastair melirik Verity, lalu membanting pintu, membuat Verity tak bisa lanjut mendengarkan percakapan mereka.  



Verity menarik napas panjang dan melihat ke luar jendela. Hujan deras membuatnya kembali merindukan taman istana yang penuh bunga. Ia menunduk sedih teringat Jenny, hujan pertama juga terakhir yang dirasakan tepat saat Jenny diberi hukuman mati oleh Raja Alastair. Kali ini ia hanya bisa melihat hujan dari balik jendela, menunggu tanpa kepastian karena ia hanyalah boneka milik Ratu Amaranta dan tidak memiliki wewenang apa pun di istana.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



"Siapa yang menyangka kalau hari itu akan segera tiba?" Raja Zacharias menatap Hadrian, sang adik yang lebih muda dua tahun darinya. Sama dengan sebagian besar lima kerajaan di Inkarnate, hanya tersisa mereka berdua dari seluruh anggota kerajaan. Sebagian dibunuh langsung oleh ayah mereka, Raja Zacharias II, yang tidak ingin membagi kekuasaan. Sebagian lagi seperti ibu dan adik bungsu mereka, Soraya dan Isaiah Colthas, mati saat perang besar berkecamuk di Inkarnate. Mereka terbunuh saat pembunuh bayaran berhasil masuk ke istana.  



"Harus kuakui kalau kau semakin mirip ayah, Zachary." Hadrian Colthas melangkah tertatih, kaki sebelah kirinya buntung karena keracunan darah dan diamputasi. Sebuah tongkat kayu cedar dengan gagang emas berbentuk simbol Kerajaan Colthas menjadi pengganti kaki kirinya. "Culas. Mengerikan. Aku bahkan tidak tahu siapa yang lebih mengerikan di antara kalian sekarang, kau atau Alastair."  



"Alastair menjadi lebih lembek sejak bertemu Clementine Selencia." Raja Zacharias menarik napas dalam-dalam, ia masih dapat mengingat aroma asap juga api ketika mendapati ruang takhta terbakar hebat. Selencia dan Thaurin mungkin menyerang Dragør hingga membuat kerajaan itu nyaris lumpuh, di saat bersamaan, Colthas dan Austmarr diserang oleh tentaratentara berjubah Dragør. Jumlah mereka tak banyak, tetapi efektif untuk membunuh anggota inti keluarga kerajaan, membuat ibu dan adiknya meninggal.  



Raja Zacharias II menyerang Dragør atas nama balas dendam, tetapi ia tahu ayahnya ingin membunuh para Dragorian karena mereka perlahan lebih berkuasa daripada yang seharusnya, menggoyahkan keutuhan Inkarnate, dan memengaruhi kekuasaannya. Bila Dragør saat itu masih utuh dan tetap berkembang, bisa saja mereka kini telah menjadi pengganti Austmarr memimpin lima kerajaan.  



"Inkarnate, lima kerajaan yang dipimpin oleh satu, Austmarr." Bahkan setelah perang besar berakhir, hubungan lima kerajaan masih belum



membaik. Semuanya berebut kekuasaan dalam sebuah perang dingin, diam-diam menyusun strategi terbaik untuk menghancurkan satu sama lain, seperti Colthas yang mengumpulkan Dragør untuk menjadi sekutu mereka. "Perang telah berakhir."  



"Perang tak pernah berakhir, My Dear Brother." Mata hitam Raja Zacharias berkilat melihat kaki adiknya yang buntung. "Kehancuran Dragør bukanlah akhir, namun awal dari segalanya."  



"Apa kau yakin kalau keturunan terakhir Dragør masih hidup?" Hadrian Colthas menumpukan beban tubuhnya ke kaki sebelah kanan yang masih utuh, tangannya terasa lelah karena menopang dengan tongkat terusmenerus.  



"Mariella Dragør masih hidup, begitu pula anaknya." Ini bukan informasi yang Raja Zacharias dapatkan setengah setengah. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan jasad Ratu Mariella, bahkan di antara tumpukan mayat-mayat para pelayannya. "Keberadaannya akan menguatkan hubungan Colthas dan Dragør."  



"Tapi Dragør tak bisa membawa apa pun." Hadrian melihat senyuman misterius Raja Zacharias dan menyadari kalau kakaknya mungkin saja tahu lebih banyak dari apa yang ia perlihatkan. "Kerajaan mereka hancur, mereka bahkan tak bisa menyumbang tentara untuk perang."  



"Tidak. Bila kau tak tahu siapa keturunan terakhir Dragør."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander melangkah memasuki sebuah kamar mewah dengan pemandangan danau buatan juga hutan cemara yang berbatasan langsung



dengan Dragør. Ratu Amaranta berdiri di depan jendela, terlihat seperti sudah menunggunya.  



"Alexander?" Ratu Amaranta berbalik, melihat tubuh tinggi menjulang Pangeran Alexander, dan mempersilakannya masuk. "Yang Mulia, sampai sejauh mana rencanamu kali ini?"  



Pangeran Alexander segera bertanya tanpa basa-basi.  



"Sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan, Alexander." Ratu Amaranta menunjuk Dragør yang tersembunyi di balik hutan dan kabut tipis sisa hujan. "Dragør merupakan bagian Selencia sekarang, namun kau tahu pasti kalau daerah itu tidak akan pernah benar-benar menjadi milikku sebelum aku bisa mengendalikan seluruh klan Dragør yang tersisa."  



"Dia sudah mati." Pangeran Alexander bergumam.  



"Apa kau tahu apa yang aku dapatkan ketika tiba di Dragør?" Ratu Amaranta mengernyitkan kening, mengingat kembali kenangan tak menyenangkan yang membuat cuping hidungnya berkerut jijik. "Mayat. Mayat bergelimpangan di mana-mana."  



"Bukankah Selencia yang melakukannya?" Rahang Pangeran Alexander berkedut tak senang. Ia tak pernah menginjakkan kaki di Dragør, tetapi ia tahu betul kalau Selencia dan Thaurin selalu punya cara yang rapi untuk menyingkirkan musuh-musuh mereka.  



"Aku selalu ingin menghancurkan Mariella. Tapi masih menyisakan rakyat mereka yang akan patuh kepadaku." Ratu Amaranta telah memikirkan siasat perang matang-matang saat itu. la bahkan meminta suaminya, Raja Matthew, untuk menyingkirkan seluruh anggota Kerajaan Dragør, tetapi bukan berarti ia ingin meluluhlantakkan setiap sisi kerajaan. Selencia



terkenal menyerang dengan cara halus. Lewat jalur politik atau serangan langsung ke inti kerajaan, tentu saja bukan pekerjaan berantakan yang memperlihatkan siapa pelakunya secara langsung.  



"Lalu menurutmu siapa yang membunuh setiap warga Dragør dan menjadikan mayat-mayat mereka sebagai garis pembatas Dragør?" tanya Pangeran Alexander.  



"Austmarr." Ratu Amaranta menatap kedua mata hijau Pangeran Alexander. "Alastair memerintahkan tentaranya untuk menghabisi setiap Dragørian yang tersisa."  



"Bukankah Raja Klaus, ayah Alastair, termasuk salah satu anggota kerajaan yang membantu Dragør?" Pangeran Alexander tak bisa melewatkan fakta mencengangkan kalau Raja Alastair memilih jalur yang berbeda dengan kedua orang tuanya. Raja Alastair tidak menarik seluruh tentaranya, melainkan memerintahkan mereka untuk membunuh seluruh warga Dragør yang tersisa, lalu kembali. "Ratu Eleanor bersahabat dengan Mariella Dragør."  



"Klaus mati di medan perang Dragør." Ratu Amaranta menjawab pertanyaan sang pangeran. "Apa kau tak mengenal Raja Alastair? Dia mempunyai julukan raja yang bengis. Alastair tak punya hati. Di usianya yang masih terlalu muda, ia telah menjadi raja dan memimpin lima kerajaan. Apa yang membuatmu meragukan kalau bukan Alastair pelakunya?"  



"Bagaimana dengan naga itu?"  



"Colthas juga ikut menghabiskan yang tersisa." Mata violet Ratu Amaranta kembali menatap mata hijau Pangeran Alexander. "Apa kau benar-benar tahu siapa musuhmu yang sebenarnya, Alexander?"  



"Dragør telah hancur," ulang Pangeran Alexander. "Dan Austmarr akan menjadi yang berikutnya."  



"Kenapa kau menikahkan Clementine dan Alastair?" Pangeran Alexander bertanya kembali. Permainan Ratu Amaranta mungkin lebih sulit dari yang ia pikirkan, tetapi jelas ratu itu menginginkan kekuasaan yang lebih besar. Kekuasaan yang telah dipegang oleh Austmarr selama bertahun-tahun lamanya, kekuasaan yang nyaris diraih Dragør seandainya saja tidak dihancurkan dua dekade lalu.  



"Kau pikir aku akan tetap membiarkannya menikahi monster itu?" Ratu Amaranta tertawa kecil, "Austmarr tidak akan bisa kukuasai tanpa keturunan kerajaan langsung. Aku tidak bisa mengendalikan Alastair, mengendalikan anak mereka." namun aku bisa  



"Anak Alastair dan Clementine?" Pangeran Alexander bisa membaca sedikit teka-teki Ratu Amaranta. Hanya keturunan langsunglah yang bisa menguasai sebuah kerajaan. Dengan menjadikan anak Raja Alastair nanti sebagai bonekanya, Ratu Amaranta bisa menjadi ratu di Austmarr secara tak langsung.  



"Aliansi yang paling kuat dibentuk lewat pernikahan, Alexander." Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Seperti Mariella dan Ferdinand Dragør."  



"Alastair bisa saja membunuh Clementine bila ia tahu rencanamu, Yang Mulia."  



"Dia tak bisa membunuh Clementine." Ratu Amaranta membicarakan Verity seperti tengah membicarakan sebuah bidak catur. "Tidak sekarang, tidak nanti. Aku pastikan posisi Clementine telah benar-benar kuat sebelum aku melancarkan rencanaku."  



"Bagaimana kau bisa yakin kalau Alastair tidak memiliki rencana apa pun untuk membunuh Clementine, Yang Mulia? Dia tidak memiliki hati," kata Pangeran Alexander.  



"Siapa yang tahu, Alexander? Siapa tahu kalau hatinya yang telah lama membatu bisa berdetak kembali?" Perkataan Ratu Amaranta menyimpan segudang pertanyaan lain yang semakin menumpuk di benak Pangeran Alexander. Pangeran Alexander mengetatkan rahangnya tak senang.  



"Prepare for the war, Alexander."            



XXI SECRET AND LIES  



RAJA ALASTAIR MENUTUP pintu, lalu menatap Richard Blaxton tajam. "Di mana Tybalt sekarang?"  



"Tybalt dan pengikutnya berjalan menuju selatan. Salah satu mata-mata yang kukirimkan untuk mengikuti gerak-gerak Tybalt, mengatakan kalau Raja Zacharias menemui Tybalt setelah insiden yang nyaris membunuh Ratu Clementine." Richard Blaxton mengatakannya dengan nada pelan. "Kepala pembunuh bayaran dengan emblem Colthas telah dikirim kembali ke Colthas, namun Raja Zacharias membantah kalau dia yang mengirim pembunuh bayaran itu."  



"Apa kau sudah menemukan siapa pembunuh bayaran itu sebenarnya?" Tindakan Raja Alastair yang langsung membunuh pembunuh bayaran itu mungkin dianggap sia-sia dan terlalu tergesa, tetapi dengan pengalamannya menghadapi hal serupa selama bertahun-tahun, ia bisa menyimpulkan kalau setiap pembunuh bayaran telah siap mati dan tidak akan membocorkan rahasia siapa pengirimnya. Hal itu menjadi alasan kenapa ia tetap mempertahankan Clementine karena ia tahu kalau wanita sebelumnya. itu berbeda dengan pembunuh bayaran  



Richard Blaxton menggelengkan kepala. "Dari informasi yang tersebar di dalam istana Colthas, sepuluh prajurit khusus yang dibawa Raja Zacharias juga ikut kembali bersamanya. Tidak ada satu pun yang kehilangan emblem mereka." la kemudian mengeluarkan sebuah emblem dengan simbol Kerajaan Colthas, lalu memperlihatkannya kepada Raja Alastair. "Emblem ini bukan milik Colthas. Sangat mirip, namun ini palsu."  



"Apa kau bermaksud mengatakan kalau ada seseorang yang berusaha untuk mempermainkan kita semua?" Tatapan tajam Raja Alastair terlihat menusuk.  



Richard Blaxton meneguk ludah dan mengangguk. "Saya tidak berani menuduh salah satu dari empat kerajaan lain di Inkarnate kalau merekalah pelakunya, Yang Mulia." Ia lalu memberanikan diri mengucap sesuatu kepada Raja Alastair. "Ratu Clementine mungkin benar-benar tidak tahu apa-apa, Yang Mulia."  



"Lalu? Apa menurutmu dia akan membunuhku begitu saja tanpa alasan?" Raja Alastair melangkah menjauh dari depan ruangan, tidak ingin wanita itu mencuri dengar percakapan keduanya.  



"Mungkin ia tidak berbohong ketika mengatakan kalau ia sendiri pun tidak tahu siapa dirinya, Yang Mulia." Richard Blaxton meyadari kalau mungkin perkataannya terlalu rumit tetapi keberadaan Putri Clementine yang tiba-



tiba juga sangat menyulitkan. Apalagi sikap wanita itu tidak biasa dan banyaknya pembunuh bayaran yang mengincar nyawanya. Mungkin seseorang memang mengincar nyawanya."  



"Apa menurutmu bukan Ratu Amaranta yang berusaha membunuhnya?" Raja Alastair mengusap dagu pelan ketika menyadari mungkin masih banyak poin penting yang hilang. "Kalau dia bukan Clementine, di mana Clementine yang asli berada?"  



"Menurut kesimpulanku dari semua perkataan Ratu Clementine, Ratu Amaranta menawarkannya sebuah kesepakatan di mana dia akan bebas setelah membunuh Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton mengawasi ekspresi Raja Alastair sejenak dan melanjutkan, "Ia lalu mengirim sebuah racun ketika menyadari Ratu Clementine tidak membunuh Anda. Racun itu tidak bertujuan untuk membunuh Ratu Clementine, hanya untuk memperingatinya. Karena menurutku seperti yang tabib kerajaan katakan, Ratu Clementine memiliki ketahanan tubuh terhadap hemlock. Bila Ratu Amaranta benar-benar ingin membunuh Ratu Clementine, maka ia akan memberikan jenis racun lain."  



"Jadi menurutmu Clementine hanyalah seorang penipu?" Raja Alastair bertanya dengan nada kesal. Ia benar-benar geram. Berani-beraninya Ratu Amaranta mengirim seorang penipu kepadanya. "Bagaimana dengan mata violetnya?"  



"Saya masih mencari tahu siapa Ratu Clementine yang sebenarnya, Yang Mulia. Mata violet Ratu Clementine yang membuatku yakin kalau dia anak Ratu Amaranta, tapi tidak mungkin Ratu Amaranta menyakiti anaknya seperti itu." Richard Blaxton berkata dengan hati-hati. "Apa yang akan Anda lakukan kepada Ratu Clementine sekarang? Dia bisa menjadi ratu yang hebat bila diarahkan dengan baik,"  



Raja Alastair tersenyum sinis. "Apa yang membuatmu berpikir kalau seorang penipu bisa menjadi seorang ratu, Richard?"  



"Dia peduli kepada rakyat Austmarr, Yang Mulia. Dia bisa menjadi pelembut untuk sisi Anda yang keras." Richard Blaxton mungkin satusatunya orang yang berani terang-terangan memberikan nasihat kepada Raja Alastair semenjak sang raja naik takhta dan memimpin Austmarr beserta empat kerajaan lain, menggantikan Raja Klaus dan Ratu Eleanor yang telah meninggal.  



Raja Alastair tidak langsung membalas perkataan Richard Blaxton, ia hanya tersenyum sinis melihat pria tua yang selama ini mendampinginya. Richard Blaxton telah menjadi penghalang untuk orang yang ingin mendekati Raja Alastair dan menjadikan raja muda itu sebagai bonekanya. Sebagian mungkin beranggapan kalau ia telah menjadi ayah asuh untuk sang raja, tetapi di mata Raja Alastair yang tidak memiliki hati, ia tetaplah penasihat, yang dapat memberikan saran-saran masuk akal demi kemajuan kerajaan.  



"Kita lihat saja nanti Richard."  



"Bagaimana dengan Tybalt, Yang Mulia? Apa yang harus lakukan kepadanya? Apakah kita membunuhnya atau-"  



"Biarkan dia masuk ke Colthas. Minta mata-matamu di dalam istana Colthas untuk melaporkan setiap kegiatan yang mereka lakukan di sana!" potong Raja Alastair.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity menatap Ratu Amaranta yang duduk tepat di hadapannya. Wanita itu mengunyah makan siang dengan tenang dan elegan. Gaunnya terlihat rapi, begitu juga rambut pirangnya.  



"Aku akan kembali ke Selencia," katanya.  



Raja Alastair menelan makannnya, lalu meneguk segelas air putih yang disediakan pelayan. "Tentu saja kau harus kembali," sahutnya.  



Ratu Amaranta tersenyum tenang, tidak terpengaruh sedikit pun dengan sikap tidak bersahabat Raja Alastair. "Kuharap kali ini kau dapat menjaga putriku dengan baik, Yang Mulia."  



Raja Alastair mengetatkan rahangnya tidak senang. "Aku yang akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri bila itu yang kau harapkan."  



"Tentu saja. Tentu saja." Ratu Amaranta tertawa kecil. Ia lalu melirik Pangeran Alexander di sebelahnya dan ikut makan dengan tenang, tidak seperti Verity yang begitu terlihat gugup. "Alexander akan tetap di sini. Dia"  



"Aku menolak." Raja Alastair mengatakannya tegas bahkan sebelum Ratu Amaranta menyelesaikan kalimatnya.  



"Alexander dapat membantu Anda ...." ." Ratu Amaranta berusaha beragumentasi, tetapi terdiam ketika menerima tatapan tajam Raja Alastair.  



"Tidak! Aku tidak mengizinkan orang asing tinggal di istanaku. Ini bukan istanamu, Amaranta! Hanya aku yang berhak menentukan siapa yang tinggal atau keluar dari istana ini," tegas Raja Alastair.  



Ratu Amaranta terdiam, lalu berkata dingin. "Aku mengerti, Yang Mulia."  



"Clementine." Verity tersentak kaget, buru-buru ia mendongak, dan melihat Pangeran Alexander yang memanggil namanya. Pria itu terlihat



sedikit khawatir ketika menatapnya. "Apa kau baik-baik saja? Kau nyaris tidak menyentuh makananmu."  



"Aku baik-baik saja," sahut Verity cepat. Ia menggosok tengkuk karena tidak nyaman dengan gaun berleher tinggi yang dikenakan.  



"Apa kau sakit?" Pangeran Alexander terus melihat wajah pucat Verity yang terlihat begitu gugup.  



"Tidak. Aku baik-baik saja." Verity kembali menyahut cepat.  



"Kenapa-"  



"Cukup!" Raja Alastair memotong pembicaraan mereka, wajahnya berkerut tak senang. "Dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir. Kalau pun terjadi sesuatu pada ratuku, maka para tabib Austmarr yang akan mengobatinya. Aku tidak ingin ada pembicaraan apa pun lagi, kalian bisa pulang setelah makan siang."  



Suasana tegang dan kaku di meja makan membuat Verity menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelah ini ia harus segera menyusun rencana yang mungkin saja dapat menyelamatkannya nanti.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Setelah perjalanan panjang dari Dragør menuju Colthas, mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbang Colthas. Tybalt berjalan paling depan, memperlihatkan penanda khusus yang diberikan Raja Zacharis kepadanya.  



"Siapa dan apa tujuan kalian?" Pengawal yang bertubuh lebih tinggi dan besar dari Tybalt menatap selidik.  



"Tybalt Wildemarr, beritahu Raja Zacharias Colthas kalau aku ingin bertemu dengannya." Pengawal itu menatap Tybalt tak ramah. Matanya terpaku pada penanda yang Tybalt bawa, lalu mengangguk ke arah rekannya yang membukakan pintu gerbang untuk mereka.  



"Hanya boleh satu orang yang masuk istana menemui Raja Colthas. Pengikutmu harus menunggu di luar istana."  



Langkah Tybalt yang besar dan lebar berjalan cepat masuk melewati gerbang besar Kerajaan Colthas. Simbol Colthas berada di mana-mana. Para warga Colthas memiliki ciri khas unik. Mereka semua berhenti sesaat untuk menatap selidik Tybalt dan rombongannya.  



"Aku ingin pengikutku juga masuk istana." Tybalt melihat sebuah bangunan besar yang berdiri di tengah-tengah kota. Istana Colthas cukup unik rupanya, tidak seperti Austmarr atau kerajaan lain yang selalu berada di ujung bukit, jauh dari pemukiman.  



"Tidak bisa!" Pengawal itu menggeram marah dan Tybalt dengan tangannya yang besar.



menyenggol bahu



 



"Woah, woah. Tenang! Apa jaminan yang bisa kau berikan kalau kami akan baik-baik saja?" Barney maju dan menatap tajam si pengawal.  



"Kau para bajingan-"  



"Tybalt Wildemarr!" Salah satu pengawal khusus Raja Colthas yang menyematkan emblem kerajaan di pakaiannya, menyapa ketika mereka tiba di pintu gerbang istana. "Ada apa ini?"  



"Aku ingin semua Dragør ikut masuk bersamaku." Tybalt maju dan berbicara lurus dengan pengawal khusus Raja Colthas.



 



"Tentu saja," ucap pengawal itu tenang, lalu mempersilakan semuanya masuk setelah menatap tajam para penjaga gerbang. "Raja Zacharias sudah menunggumu, Tybalt. Pengikutmu akan diberi jamuan makan di ruang makan istana selama kau berdiskusi dengan Raja Zacharias."  



Tybalt menatap pria itu penuh selidik sebelum mengangguk. "Baiklah."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Tybalt Wildemarr, kudengar ada beberapa masalah saat kau tiba di Colthas." Raja Zacharias menyambut dengan senyuman lebar di ruang singgasana.  



Tybalt menatapnya curiga. Baru beberapa menit lalu ia mendapatkan masalah, tetapi kabar telah sampai di telinga Raja Zacharias.  



"Aku datang ke sini bukan tanpa alasan, Zacharias," ucap Tybalt tak senang. "Kau memberikan sesuatu yang belum dapat dipastikan."  



Raja Zacharias tertawa kecil. "Tentu saja semua yang kuberikan telah pasti kebenarannya, Tybalt."  



"Apa yang kau inginkan?" Tybalt tak ingin berbasa-basi dengan Raja Zacharias. Semua anggota kerajaan punya maksud dan niat tersembunyi yang tentu saja dapat menghancurkan bila ia salah mengambil langkah.  



"Nagaku." Raja Zacharias menjawab singkat.  



"Nagamu yang menghancurkan Dragør. Tidak ada seorang pun yang bisa mengontrol naga selain keturunan langsung Colthas." Tybalt berkata geram.  



"Mungkin kau lupa kalau ayahku orang terakhir yang dapat mengontrol Qyrsi." Raja Zacharias terdiam sesaat. "Qyrsi masih berada di Dragør, bahkan setelah menghancurkan kota itu."  



"Kalian menutupi apa yang terjadi di dalam Dragør, bahkan menghapus namanya dari peta dan buku-buku sejarah kalian.  



Aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan pada saat mengumumkan kalau Dragør tak pernah ada, bahkan membiarkan Selencia dan Austmarr mengambil sebagian besar wilayahnya."  



Semua tangisan, rintihan, teriakan minta tolong ketika para tentara Austmarr datang menyerang, juga napas api Qyrsi naga milik Colthas yang dikirim untuk menghancurkan Dragor-masih teringat begitu jelas di benak Tybalt. Hanya segelintir kecil dari mereka yang selamat dan mengingatkannya kalau Dragør masih ada.  



"Apa kau tahu kalau Selencia yang memulai perang lebih dulu?" Raja Zacharias bertanya tenang. Kebencian Ratu Amaranta kepada kembarannya sendiri, Ratu Mariella yang kemudian menikah dengan Raja Ferdinand Dragor, telah menjadi rahasia umum untuk seluruh penduduk Inkarnate. Selencia yang menghabisi keluarga Kerajaan Dragør.  



"Aku tahu itu. Seandainya ayahku tahu lebih cepat, maka dia tidak akan pergi menuju Selencia untuk meminta bantuan ratu licik itu." Tybalt masih ingat ketika ia harus menerima kenyataan kalau ayahnya dihukum gantung oleh Selencia entah atas dasar kesalahan apa. Ia masih ingat kalimat terakhir sang ayah sebelum mati. Jenderal Wildemarr berjanji untuk



menghancurkan Selencia dan membalaskan dendam Dragør kepada sang ratu.  



lima kerajaan adalah saran Raja Alastair." Raja Zacharias berjalan "Menghapus nama Dragør dari peta ataupun buku sejarah menuruni anak tangga yang mengantarkannya ke hadapan Tybalt.  



"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Zachary?" Tybalt marah.  



"Kesetiaanmu di bawahku selama kau berusaha mendapatkan anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand yang hilang setelah perang." Raja Zacharias berkata dengan nada serius. "Emblem Dragør yang kutemukan adalah emblem anggota kerajaan yang asli, Tybalt. Seseorang menjualnya karena emas juga beberapa permata berharga di emblem itu, tanpa menyadari kalau benda itu milik anggota kerajaan Dragør yang hilang."  



"Apa emblem ini milik Ratu Mariella?" Tybalt mengeluarkan emblem dengan simbol Kerajaan Dragør.  



"Tidak. Ini emblem milik anak Ratu Mariella," jawab Raja Zacharias.  



"Dari mana kau tahu?" Tybalt membalik emblem, tetapi tidak menemukan satu pun petunjuk kalau emblem itu milik anak Ratu Mariella. "Bahkan tidak ada satu pun yang tahu di mana Ratu Mariella berada sekarang atau apakah anaknya masih hidup."  



"Anak Ratu Mariella masih hidup, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Raja Zacharias tersenyum kecil. "Anak Ratu Mariella dititipkan kepada pengasuhnya, seorang wanita Dragør yang mati karena pembunuh bayaran mengincar nyawa anak Ratu Mariella."  



"Kau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?" Tybalt menatap Raja Zacharias tak percaya.  



"Setelah itu anak Ratu Mariella menghilang. Tak ada seorang pun yang menemuinya lagi dan aku juga mengira kalau ia sudah mati." Raja Zacharias mengabaikan pertanyaan Tybalt dan terus melanjutkan kalimatnya. "Sampai aku melihatnya langsung."  



"Dari mana Zachary?" kau mendapatkan semua informasi ini,  



"Ayahku, Zacharias II adalah salah satu orang yang mengincar nyawa anak Ratu Mariella. Dia mencari-cari anak Ratu Mariella dan aku menemukan sedikit informasi tentangnya. Ayahku menginginkan kekayaan yang akan dia dapatkan bila berhasil mengusai Dragør." Raja Zacharias mungkin tidak ingin kejayaan Dragør pada saat itu karena ia masih sangat muda. "Dragør merupakan salah satu kerajaan terkaya, mereka punya tambang permata dan baja. Sebagian besar senjata dibuat oleh Dragør pada saat itu, dan sekarang Austmarr menguasai tambang-tambang Dragør."  



"Apakah kau tidak sama seperti ayahmu yang juga mencari anak Ratu Mariella untuk mengeruk kekayaan Dragør?" selidik Tybalt.  



"Kami punya misi yang berbeda, Tybalt. Ayahku menginginkan seluruh kekuasaan Inkarnate, sementara aku hanya ingin mencari pelaku sebenarnya yang telah membunuh ibu dan adikku." Ekspresi dingin Raja Zacharias membuat Tybalt menyadari kalau sang raja mungkin benar-benar jujur.  



"Lalu siapa anak Ratu Mariella?"  



"Kau juga pernah melihatnya, Tybalt. Matanya violet seperti Ratu Mariella karena dia keturunan Selencia langsung, dan beberapa ciri khas lainnya



sama dengan Raja Ferdinand, seperti rambutnya yang hitam. Anak Ratu Mariella adalah Putri Verity Dragør atau yang sekarang kita kenal dengan nama Ratu Clementine Selencia."  



Sebuah kebenaran telah terungkap dan tidak bisa lagi ditutupi.



XXI THE FATEFUL NIGHT  



Dragor Great War I, Mid Fall (19 tahun yang lalu)  



SUARA HUJAN DERAS dan angin kencang di pertengahan musim gugur mengentak-entakkan pintu juga jendela berkaca tebal Istana Dragør. Ratu Mariella menarik selimut tebal yang terbuat dari bulu beruang hasil buruan suaminya, Raja Ferdinand. Mata violetnya menatap api unggun yang



bergerak gerak mengikuti embusan angin. Malam semakin larut dan Raja Ferdinand tidak kunjung kembali, membuatnya sedikit cemas ketika mengelus perut yang membuncit pertanda kehamilannya mulai memasuki fase terakhir. Ia menghela napas panjang, menghitung di dalam hati sebelum kakinya turun dari kasur, dan  



berjalan menuju pintu tanpa alas kaki. "Yang Mulia!" Marja, pelayan pribadinya yang telah sejak lama, memanggil. "Anda tidak boleh keluar."  



Wanita muda itu menuntun tubuh sang ratu agar kembali masuk ruangan.  



"Apa yang kau bicarakan?" Ratu Mariella mengernyitkan kening. Ia tidak sempat melihat apa pun di luar ketika Marja tiba-tiba muncul dan menuntunnya kembali masuk kamar, lalu mengunci pintu.  



"Ada banyak tentara di luar sana, Yang Mulia. Raja Klaus bahkan datang dari Austmarr." Pupil mata cokelat milik Marja membesar, napasnya memburu, keringatnya bercucuran. "Anda tidak boleh keluar."  



Ratu Mariella menggenggam tangan Marja yang dingin, lalu menatap kedua mata wanita itu. "Apa yang Klaus lakukan di sini? Ada apa di luar sana?" Ia berusaha bersikap tenang. Perannya sebagai ratu membuatnya harus memikirkan strategi juga siasat di saat-saat genting.  



"Ada banyak tentara." Marja mengulangi. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar, dan semakin dingin ketika Ratu Mariella memegangnya. "Mereka membunuhnya."  



"Apa yang kau bicarakan, Marja?" Ratu Mariella berusaha bersikap tenang, tetapi pikirannya kini dipenuhi oleh sang suami. "Apa terjadi sesuatu pada Ferdinand?"  



"Tentara-tentara itu datang tiba-tiba. Mereka membunuh semuanya!" Mata Marja melihat ke seluruh penjuru ruangan. Ia tiba-tiba melepaskan genggaman tangan sang ratu dan berlari mengambil sofa, kemudian mendorongnya ke pintu, memblokir akses masuk. "Anda harus segera pergi, Yang Mulia."  



"Di mana Jenderal Wildemarr?" Ratu Mariella berseru tiba tiba ketika melihat Marja berusaha mendorong furnitur yang bahkan lebih besar dari ukuran badannya ke depan pintu. "Di mana Ferdinand?"  



"Aku tidak tahu. Anda harus segera pergi!" Marja mendorong furnitur terakhir, sebuah kursi berukuran sedang, lalu meletakkan di depan pintu.  



"Yang Mulia...." .." Marja mendekati Ratu Mariella yang masih terdiam di tengah-tengah ruangan. Ia berlutut di hadapan sang ratu dan menggenggam kedua tangannya. "Anda harus pergi. Masa depan Dragør berada di tangan Anda."  



Wajah pucat pasi Marja juga air matanya yang mulai berlinang, membuat Ratu Mariella menarik napas panjang. Ia ikut berlutut, lalu membantu wanita itu untuk berdiri. "Bagaimana Ferdinand?"  



Air mata Marja terus bercucuran ketika berucap dengan kalimat putusputus. "Raja Ferdinand sudah mati, Yang Mulia. Mereka membunuhnya, para tentara itu membunuhnya...."  



Ratu Mariella memejamkan mata, berusaha menelaah segala situasi yang ada. "Baiklah," ucapnya dengan nada getir yang tidak bisa disembunyikan. "Kita lewat sini."  



Ratu Mariella berjalan menuju lemari besar tempat gaun gaunnya tersimpan, masuk, dan membuka sebuah jalan lain. Pintu keluar rahasia.



Sebelum masuk, ia berbalik dan melihat Marja. "Bagaimana dengan Klaus?"  



"Aku tidak tahu," jawab Marja sembari tersedu-sedu. Kerajaan yang selama ini melindunginya, tiba-tiba saja hancur dalam semalam. Ia tersentak kaget ketika mendengar gedoran pintu juga suara sekumpulan laki-laki yang sepertinya tengah bersiap mendobrak pintu. "Anda harus segera pergi, Yang Mulia!"  



"Ikutlah denganku." Ratu Mariella mengulurkan tangan, meminta wanita yang beberapa tahun lebih muda darinya untuk masuk lebih dulu melewati pintu rahasia.  



"Harus ada seseorang yang menahan para tentara itu, Yang Mulia." Marja mengerjapkan mata. Tubuhnya masih gemetar hebat mengingat ia segera berlari ketika melihat salah satu tentara Dragor ditusuk, kepalanya ditebas hingga jatuh dan terguling ke dekat kakinya.  



"Kau harus ikut denganku!" Ratu Mariella menarik tangan Marja, membuat tubuh wanita itu secara refleks terdorong dan masuk ke jalur rahasia.  



Ratu Mariella menutup pintu lemari tepat saat para tentara berhasil mendobrak pintu kamar dan meneriakkan namanya berulang kali. Tentaratentara dengan emblem Selencia tersemat di dada mereka, tak berapa lama, tentara Thaurin juga ikut masuk menyerbu kamar Ratu Mariella.  



"Selencia," bisik Mariella ketika ia menutup pintu lemari, lalu ikut bersama Marja memasuki lorong gelap menuju dunia luar.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"The king is dead. Your king is dead!"



 



Jenderal Wildemarr mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaganya melawan seorang tentara berjubah hitam abu-abu milik Colthas. Ia mendorong lawan keras, lalu menusuk lehernya.  



"Yang Mulia!" Jenderal Wildemarr bergumam gusar. Serangan itu datang begitu tiba-tiba, hanya dalam semalam Raja Ferdinand diumumkan telah meninggal. "Tidak mungkin. Tidak mungkin...."  



Beberapa saat lalu ia sendiri yang menerima kedatangan Raja Klaus bersama pasukannya. Tidak mungkin Raja Ferdinand mati begitu saja ketika ada banyak tentara yang melindunginya di istana.  



"Ratumu juga telah mati. Menyerahlah!" Seruan terdengar Seluruh tentara Dragør menatap Jenderal Wildemarr, lagi. menunggu perintahnya.  



"Segera cari warga yang masih hidup. Kumpulkan mereka, lalu pergi ke perbatasan Selencia!" Jenderal Wildemarr memberikan perintah terakhirnya kepada para tentara Dragør yang tersis. Ia lalu melepaskan jubah kebangsaan dan menggantinya dengan jubah tentara Colthas yang baru saja ia lawan.  



Samar-samar terdengar suara Qyrsi, naga milik Colthas yang selama ini terikat di penjara bawah tanah Colthas. Bila Qyrsi sudah keluar dari sangkarnya, maka bisa dipastikan tidak ada lagi kesempatan bagi Dragør untuk melawan. "Apa yang akan Anda lakukan, Jenderal?"  



"Aku akan ke istana sebelum mereka mengambil jasad Raja Ferdinand!" Jenderal Wildemarr mengambil pedangnya dan mengangguk kepada seluruh tentara yang tersisa. "Tunggu aku di perbatasan."  



Jenderal Wildemarr berlari melewati puing-puing reruntuhan bangunan. Suara pekikan juga kepakan sayap Qyrsi membuatnya refleks mendongak



dan melihat naga itu mengembuskan napas apinya yang menghancurkan istana.  



"Tidak..." Jenderal Wildemarr berlari menuju istana. Namun, kini Qyrsi tidak lagi menyerang istana, napas apinya berembus menghancurkan apa pun di bawahnya.  



Jenderal Wildemarr melihat anak buahnya yang baru beberapa menit lalu ia tinggalkan. Serangan lain datang dan ia menyadari seragam tentara Austmarr yang berwarna merah serupa darah, serta simbol singa ada di setiap tameng yang mereka bawa. Para pemanah, pasukan berkuda, juga para prajurit biasa membunuh warga Dragør satu per satu.  



"Austmarr." Sang jenderal bergumam. Kakinya seperti terpaku di tempat, tak bisa lagi bergerak menuju istana ketika melihat sekutu mereka berubah menjadi lawan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Yang Mulia, apa Anda baik-baik saja?" Marja membantu Ratu Mariella keluar dari lubang yang tepat mengeluarkan mereka di sebuah bukit tepi hutan perbatasan.  



Perjalanan mereka sepanjang lorong rahasia dipenuhi ketidakpastian karena kegelapan yang melingkupi. Marja hanya bisa meraba-raba dinding dan menerka sejauh mana mereka harus berjalan sebelum menemukan pintu keluar. Malam telah beranjak pagi, sisa-sisa hujan masih menyelimuti.  



Ratu Mariella menyambut uluran tangan Marja, sementara salah satu tangannya refleks menutupi mata ketika melihat sinar matahari yang



sebentar lagi terbit. Kedua kakinya lecet dan terluka karena tidak mengenakan alas kaki ketika kabur dari kerajaan.  



"Marja!" panggilnya.  



"Anda terluka, Yang Mulia!" Marja buru-buru melepaskan sepatunya, lalu memberikan kepada Ratu Mariella. la menyalahkan diri sendiri karena tidak memperhatikan kondisi sang ratu saat memaksa pergi dari kejaran tentaratentara itu.  



"Marja..." Ratu Mariella mengabaikan Marja yang kini berjongkok berusaha memakaikan sepatu ke kedua kakinya. "Marja, lihat di sana!"  



Marja mendongak saat sang ratu menyentuhya pundaknya. "Oh Tuhan!" Seluruh tubuhnya lemas melihat kerajaannya hancur.  



Dari kejauhan ia bisa melihat bendera perang milik Colthas dan Austmarr, satu per satu tentaranya membunuh warga Dragør yang bahkan tidak memiliki senjata untuk bertahan atau melawan. Perang ini tidak adil, sama sekali tidak adil. Satu per satu warga Dragør tumbang bersama rumahrumah mereka.  



"Tidak!" Mata Marja melebar melihat Qyrsi, naga yang selama ini hanya dianggap rumor. Tidak seharusnya Qyrsi keluar dan ikut memorakporandakan Dragør. "Austmarr Austmarr ikut menyerang Dragør." Ia melihat salah satu tentara berjubah merah Austmarr menusuk salah satu warga Dragør.  



"Tidaaaaak!" Ratu Mariella jatuh terduduk ketika melihat Qyrsi mengembuskan napas apinya ke Istana Dragør, meruntuhkan istana itu perlahan-lahan. "Ferdinand..... Ferdinand...."  



"Mereka bersama-sama menghancurkan Dragør." Marja bisa melihat sang ratu menggenggam tanah begitu erat.  



"Mereka semua akan hancur! Mereka semua...." "Yang Mulia!" Marja menatap khawatir Ratu Mariella.  



Ada begitu banyak kehancuran yang tercipta begitu saja. Dimulai dari ancaman Selencia ke Dragør, lalu serangan tiba-tiba yang menghancurkan Dragør. Perang ini tidak adil, dan dari apa yang Marja lihat selama ini, perang selalu membawa sisi tergelap dalam diri seseorang.  



"Aku mengutuk Raja Austmarr! Hatinya akan semakin mengeras seiring waktu berjalan. Dia tidak akan mati bila ada senjata yang melukainya, namun akan merasakan beribu-ribu kali rasa sakit." Mata violet Ratu Mariella berkilat marah.  



Ferdinand, suaminya sendiri dihancurkan sekutu mereka. Kerajaankerajaan lain berbondong-bondong menghancurkan kerajaan mereka. "Aku bersumpah demi tanah Dragør yang tidak akan pernah menerimanya! Senjata-senjata yang berasal dari tanah Dragør akan membuatnya merasakan kematian. Namun dia tidak akan mati, tidak sebelum hatinya yang mengeras kembali melembut." Kedua tangan Ratu Mariella menggenggam tanah yang masih basah karena hujan semalam. "Dia akan merasakan ribuan kematian sebelum mati yang sebenarnya!"  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Jenderal!" Jenderal Wildemarr berjalan tertatih. Ia bahkan belum sempat mendekati istana ketika Qyrsi menyerang menghancurkan separuh istana.  



"Jenderal?" Anak buahnya berkumpul di satu titik perbatasan Selencia bersama sekelompok warga Dragør yang berhasil diselamatkan. "Raja dan



ratu Dragør telah mati. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"  



"Ayah?" Tybalt berlari menuju sang ayah, lalu memeluk tubuhnya yang jauh lebih besar. Jenderal Wildemarr hanya bisa mengelus puncak kepala  



anaknya sedih. "Kita akan pergi menuju Selencia."  



"Selencia?" Anak buahnya saling bertanya.  



Jenderal Wildemarr menatap warga Dragør satu per satu termasuk anak buahnya yang selama ini menerima keputusannya tanpa bertanya. Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur. Kerajaan-kerajaan lain akan berusaha mengklaim kekuasaan mereka, para petinggi akan berlombalomba berusaha menjadi raja, tetapi tidak akan ada raja yang sebenarnya selain keturunan langsung Dragør.  



"Ratu Amaranta adalah saudara Ratu Mariella. Hanya ini yang bisa kupikirkan untuk saat ini. Meminta bantuan Ratu  



Amaranta," tutur Jenderal Wildemarr. "Apa kita semua akan ikut ke Selencia?" Salah satu kembali bertanya. Jumlah mereka cukup banyak bila tiba-tiba masuk ke Selencia.  



"Tidak. Cukup lima orang saja." Jenderal Wildemarr memilih beberapa warga Dragør juga tentaranya yang akan ikut menemani.  



"Ayah!" Tybalt mencengkeram tangan ayahnya. Kejadian ini sudah cukup membuatnya ketakutan, ia tidak ingin sang ayah pergi.  



"Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi penggantiku selama aku pergi." Jenderal Wildemarr menunduk, menyejajarkan wajah keduanya, lalu berdiri dan mengusap kepala Tybalt. "Ayo!"



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Ratu Amaranta menatap pria yang berlutut di hadapannya. Jenderal Wildemarr yang terkenal sebagai salah satu jenderal terkuat di Inkarnate kini berlutut di hadapannya, meminta bantuan karena ia adalah saudara Ratu Mariella.  



Ratu Amaranta tersenyum tipis, perang besar yang ia mulai membawa petaka tidak hanya untuk Dragør, tetapi juga dirinya. Raja Matthew Selencia mati di tanah Dragør. Begitulah perang, perang hanya akan membawa kehancuran bagi semua orang yang terlibat di dalamnya. Namun, sebagai seorang ratu juga  



orang yang memulai perang ini, ia beruntung karena Dragør mendapat kerusakan terbesar.  



"Aku tidak menyangka kalau kau akan datang secepat ini, Jenderal." Ratu Amaranta berhenti di hadapan Jenderal Wildemarr. "Bagaimana saudariku?"  



"Ratu Mariella masih belum bisa ditemukan," jawab Jenderal Wildemarr. Senyuman di bibir Ratu Amaranta menghilang, digantikan ekspresi datar. "Apa yang kau inginkan, Jenderal?"  



"Perlindungan kepada rakyat Dragør, Yang Mulia." Jenderal Wildemarr melihat ekspresi tak terbaca Ratu Amaranta dan menyadari betapa miripnya wanita di hadapannya ini dengan Ratu Mariella.  



"Mariella bukan lagi ratu, dia sudah mati." Ratu Amaranta berdecak tidak puas.  



"Aku tidak akan mengatakan kalau dia sudah mati sebelum aku melihatnya secara langsung." Jawaban diplomatis Jenderal Wildemarr membuat Ratu Amaranta berusaha menahan emosi.  



"Kau meminta perlindungan kepada Selencia, tetapi tak mau mengakui kalau Dragør telah hancur dan ratumu telah mati," ketus Ratu Amaranta.  



Jenderal Wildemarr berusaha menerka ekspresi Ratu Amaranta dan menyadari kejanggalan kecil yang tidak bisa wanita itu tutupi. Rasa bencinya kepada Ratu Mariella.  



"Ratu Mariella akan selamanya menjadi ratu ......" Kata-kata Jenderal Wildemarr terhenti ketika mendengar tawa kecil Ratu Amaranta. "Kalian bersama-sama menghancurkan Dragør."  



Jenderal Wildemarr menyadari kesalahannya ketika melihat wajah Ratu Amaranta. Sekelebat ingatannya tentang serangan di Dragør, Qyrsi yang menghancurkan istana, juga ratus bahkan ribuan penduduk dibunuh tanpa ampun oleh kerajaan-kerajaan lain, membuat sang jenderal sontak menarik pedang dan mengarahkannya ke Ratu Amaranta.  



"Hahaha. Kau kira kau bisa membunuhku semudah itu, Jenderal?" Tawa mengejek Ratu Amaranta membuat Jenderal Wildemarr tidak segan-segan menyerang. Akan tetapi, di saat bersamaan puluhan tentara Selencia mengepung. "Kau bisa melukaiku, Martin. Tapi ingatlah, keluargamu juga Dragorian yang berada di garis perbatasan akan mati di hadapanmu."  



Jenderal Wildemarr menurunkan pedangnya.  



"Aku akan membiarkan mereka yang berada di garis perbatasan tetap hidup, sementara kau dan keempat Dragørian yang berada di sini, akan menerima hukuman gantung karena berusaha mencelakai nyawaku." Ratu



Amaranta tersenyum tipis melihat seorang Jenderal Martin Wildemarr menyerah di hadapannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Dragør After The Great War I, Early Winter (19 tahun yang lalu)  



"Yang Mulia!" membungkam siapa pun yang hendak berbicara kepadanya. Ratu Amaranta mengangkat tangan,  



Di hadapannya ada beberapa potongan tubuh rakyat Dragør yang disusun membentuk pembatas. Musim dingin yang tiba lebih awal, membuat tubuh-tubuh itu membeku sekaligus mengawetkannya. Hewan-hewan karnivora tengah hibernasi menjadi alasan kenapa tubuh-tubuh itu tetap utuh.  



"Lepaskan para serigala itu!" Raja Arthur memerintahkan salah satu tentara untuk melepaskan sekumpulan serigala yang segera berlari buas mengejar manusia yang mungkin masih tersisa. "Amaranta!"  



"Austmarr yang melakukannya." Salah satu jenderal yang berasal dari Thaurin segera menyuarakan pendapatnya. "Mereka Austmarr, mereka membunuh dengan sadis seperti ini!"  



"Aku selalu menginginkan apa yang saudariku miliki, Arthur." Ratu Amaranta turun dari kudanya, lalu berjalan melewati jasad-jasad itu. Melihat wajah mereka yang membeku ketakutan selamanya.  



"Ratu Mariella telah mati, Yang Mulia." Jenderal itu berkata kembali.  



"Amaranta!" Raja Arthur tetap di atas kudanya. Wajahnya mengernyit jijik melihat tubuh membeku para warga Dragør.  



"Kita terlalu terlambat bukan?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Tidak ada yang tersisa selain segelintir kecil para Dragør yang berkumpul di garis perbatasan, mengais-ngais belas kasihan kerajaan lain."  



"Eleanor Austmarr dibunuh oleh Dragør saat Klaus pergi untuk membantu Dragør."  



"Mereka akan saling menunjuk siapa yang menyerang lebih dahulu. Dragør atau Austmarr." Ratu Amaranta berhenti di salah satu mayat gadis kecil yang masih utuh. "Kerajaan lain akan saling berebut siapa yang paling berhak terhadap kekayaan Dragør."  



"Alastair Austmarr menjadi pengganti Klaus. Zacharias terlihat berang saat Alastair naik takhta menjadi Raja." Raja Arthur menunggu Ratu Amaranta yang masih memerhatikan mayat si gadis kecil. "Apa rencanamu selanjutnya, Amaranta?"  



"Kerajaan tanpa pemimpin akan hancur seperti Drager." Mata gadis kecil itu terbuka lebar seperti boneka kaca, seolah olah menyimpan berbagai rahasia yang ia lihat sebelum kematian. Tangannya menggenggam erat sesuatu yang membuat Ratu Amaranta penasaran, hingga wanita itu membuka tangan si gadis kecil dan melihat apa yang ia sembunyikan. "Tanpa pemimpin, Austmarr akan hancur. Mereka akan saling berebut siapa yang akan menjadi raja. Tapi tidak akan ada raja tanpa keturunan langsung Austmarr. Kerajaan lain pun akan saling berebut hingga tersisa satu."  



"Kau ingin membunuh Alastair? Bunuh dia selagi bocah itu masih baru memimpin." Raja Arthur mendengkus tak suka ketika Ratu Amaranta menyentuh sebuah mayat.



 



"Gadis kecil itu telah melihat neraka tepat di hadapan matanya." Ratu Amaranta melihat sisik Qyrsi yang ia temukan di genggaman mayat tadi. "Bersabarlah."  



Ratu Amaranta tersenyum tipis kepada Raja Arthur, mendekati kudanya, lalu mengelus surainya perlahan. "Alastair akan mati. Kerajaan itu akan hancur dengan sendirinya tanpa kehadiran seorang pemimpin yang sejati."                            



XXII THE HOLLOWNESS OF HEART  



"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Verity berbalik dan melihat Richard Blaxton. Lagi-lagi pria tua itu hadir di saat ia bersedih.  



"Aku bahkan tidak tahu apa tujuanku berada di sini, Richard." Verity menghela napas panjang. Kedatangan Ratu Amaranta dan Pangeran Alexander meninggalkan banyak pertanyaan yang bahkan ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya. Siapakah dia sebenarnya? Ia hanya seorang



budak biasa yang terkurung di penjara bawah tanah Selencia selama bertahun-tahun.  



"Kau selalu bertanya apakah aku baik-baik saja selama berada di sini." Verity tersenyum tipis. Richard Blaxton satu satunya orang yang peduli dengan kehadirannya di istana. "Anda adalah seorang ratu di Austmarr, Yang Mulia Keberadaan Anda sangat penting." Senyum lembut Richard Blaxton membuat Verity terenyuh.  



"Ini pertama kalinya seseorang mengatakan kalau kehadiranku sangat penting." Verity mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menahan air mata yang siap jatuh. "Aku menginginkan kebebasan, Richard."  



Richard Blaxton mengambil tangan Verity dan menepuk nepuknya pelan. "Tanggung jawab yang Anda pikul sangat berat, Yang Mulia. Tapi sebagai seorang ratu, Anda harus mengerti kalau tanggung jawab Anda tidak berhenti kepada diri sendiri, tetapi juga orang lain yang berada di sekitar Anda."  



"Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini, Richard. Cepat atau lambat akan ada seseorang lagi yang berusaha membunuhku. Aku bahkan tidak akan bisa menikmati hidupku." Verity menghela napas panjang.  



"Raja Alastair membutuhkan Anda, Yang Mulia."  



Verity tertawa miris mendengar kata-kata simpatik Richard Blaxton yang seolah-olah hanya ingin meringankan beban hatinya. "Raja Alastair tidak membutuhkan siapa pun di sisinya," ia bergumam, "dia tidak punya hati."  



Richard Blaxton terdiam sesaat sebelum kembali berkata, "Aku melihat Raja Alastair telah sedikit berubah karena kehadiran Anda, Yang Mulia." Ia



menatap kedua mata violet Verity. Melihat waktu telah mendewasakan, membuatnya bisa merasakan setiap rasa sakit yang pernah sang ratu rasakan. "Aku percaya kehadiran Anda telah membawa perubahan untuk Austmarr. Raja Alastair telah hidup menyendiri terlalu lama semenjak kedua orang tuanya meninggal. Dia lupa cara untuk peduli kepada orang lain."  



"Dia nyaris membunuhku." Verity berkata pelan.  



"Raja Alastair juga menyelamatkan Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton kembali melihat mata Verity yang kini tengah menatap taman. "Malam ini akan ada festival bulan di kota Austmarr. Aku akan meminta Raja Alastair untuk mengizinkan Anda melihatnya dari dekat."  



Verity sontak menatap Richard Blaxton dengan mata membelalak lebar. "Benarkah?"  



"Aku akan mengusahakannya, Yang Mulia." Richard Blaxton ikut tersenyum ketika melihat senyuman lebar mengembang di bibir Verity. Wanita itu terlihat sangat antusias dengan usulannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair menatap Richard Blaxton dingin. Verity berada di sebelah pria itu, wajahnya tertunduk, terlihat seperti telah menyerah. "Tidak." Ia berkata tegas.  



"Ratu Clementine mungkin membutuhkan beberapa-"  



"Kalau Clementine membutuhkan sesuatu, ia bisa meminta kepala pelayan untuk mengantarkan barang-barang itu ke istana ini." Raja Alastair memotong, menjawab tenang.



 



Usulan Richard Blaxton untuk membawa Verity dengan penyamaran ke tengah-tengah festival bulan yang dirayakan tiap pertengahan musim semi mungkin akan membawa petaka. Mata Verity terlalu mencolok dan bila ada pembunuh bayaran yang berani masuk istana, maka ia tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di luar dari istana.  



"Yang Mulia, Ratu Clementine tidak pernah melihat Austmarr. Dia adalah ratu di negeri ini, tapi bahkan rakyat Austmarr pun tidak tahu bagaimana rupa Ratu Clementine." Richard Blaxton berusaha berargumen lagi.  



"Pembunuh bayaran yang datang ke dalam istanaku telah menambah daftar panjang kenapa Clementine tidak boleh keluar dari istana ini," tandas Raja Alastair.  



"Yang Mulia, kami bisa membawa beberapa prajurit yang akan mengawasi dalam kerumunan-"  



"Tidak!" Raja Alastair menekankan kata-katanya. Membuat Richard Blaxton diam seketika, menyadari kalau raja mungkin tidak akan pernah membiarkan ratu keluar dari istana.  



"Dia tidak akan keluar dari istana," tegas Raja Alastair.  



"Tapi...." Richard berusaha sekali lagi, tetapi kembali mengatupkan bibir ketika melihat tatapan tajam Raja Alastair.  



"Terima kasih, Yang Mulia." Verity bergumam. Ia berbalik dan meninggalkan ruang takhta.  



"Terima kasih, Yang Mulia." Richard Blaxton buru-buru membungkuk dengan hormat, lalu berjalan cepat mengikuti Verity yang sudah lebih dulu



pergi.  



"Yang Mulia?"  



"Terima kasih untuk kesediaanmu meminta izin kepada Raja Alastair." Verity tersenyum sedih.  



"Aku benar-benar minta maaf, Yang Mulia." Richard Blaxton merasa bersalah.  



"Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Verity menarik napas dalam dan melanjutkan langkahnya menuju tepi taman. "Bisakah kau memberikanku waktu untuk sendiri?"  



"Tentu saja, Yang Mulia." Richad Blaxton mengangguk kaku, menghentikan langkah, membiarkan Verity menjauh.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity menatap langit yang kini berubah kelabu, tanda hujan sebentar lagi akan turun. Seharusnya ia tidak banyak berharap ketika Richard Blaxton menawarinya untuk pergi ke kota dan melihat festival rakyat Austmarr. Ia tahu harapan itu akan hancur seketika bila mendengar penolakan Raja Alastair. la bukanlah siapa-siapa di Austmarr, hanya seorang tahanan milik raja yang tak punya hati.  



Tetes demi tetes air hujan hanya bisa dinikmati Verity dari tempatnya bernaung. Ia refleks mengulurkan tangan untuk merasakan air hujan ketika seseorang menahan dan menariknya mundur.  



"Apa yang kau lakukan di sini, Clementine?" Raja Alastair menatapnya tajam.



 



"Aku masih berada di dalam istana bila itu yang Anda tanyakan, Yang Mulia." Verity menjawab sinis.  



"Apa yang kau lakukan di sini?" Raja Alastair kembali bertanya. Ia masih menggenggam tangan Verity, tidak melonggarkan sedikit pun. "Kenapa kau selalu berada di sini?"  



Verity melepaskan genggaman tangan Raja Alastair, lalu kembali mengarahkan tangannya ke air hujan. "Anda akan lebih menghargai sesuatu yang tidak pernah Anda miliki atau rasakan sebelumnya, Yang Mulia."  



"Kau tidak pernah merasakan air hujan?" Raja Alastair nyaris tidak bisa memercayai pendengarannya sendiri.  



Verity tersenyum kecil. "Tentu saja pernah." Dari jendela kecil di penjaranya. Jendela yang mengizinkannya melihat seberkas sinar matahari dan menyentuh air hujan saat ia benar benar kehausan atau kelaparan karena Ratu Amaranta tidak memberi jatah makan selama berhari-hari.  



"Lalu apa maksudmu dengan tidak memiliki atau merasakan sesuatu, Clementine?" selidik Raja Alastair.  



"Anda tidak punya hati, Yang Mulia. Bagaimana mungkin Anda bisa merasakan sesuatu?" Verity menatap Raja Alastair dengan senyuman miris di bibirnya. "Anda hidup dengan gelimangan harta, bagaimana mungkin Anda tidak memiliki sesuatu?"  



"Jelaskan kepadaku apa maksud kata-katamu, Clementine." Raja Alastair tampak menunggu.  



Verity memejamkan mata sesaat sebelum kembali menatap kedua bola mata Raja Alastair yang terasa kosong. "Aku hanya seorang tahanan. Di Austmarr maupun Selencia, aku hanyalah seorang tahanan. Aku hanya ingin merasakan kebebasan sesaat, Yang Mulia." Ia menggumamkan kalimat terakhir.  



"Kebebasan?" Raja Alastair mengulang kembali perkataan Verity. Teringat saat wanita itu lebih memilih mati daripada masuk penjara.  



"Untuk sebuah kebebasan, aku bahkan rela mempertaruhkan nyawaku." Verity tidak menyangka dirinya masih hidup hingga detik ini setelah gagal membunuh Raja Alastair. "Kenapa Anda tidak membunuhku saat itu juga, Yang Mulia?"  



"Karena kau belum memberikanku jawabannya, Clementine. Dan kau tidak akan pernah bisa memberikan jawaban yang kuinginkan karena kau sebenarnya tidak tahu apa-apa bukan?" Raja Alastair menatap selidik kepada Verity.  



Kali ini Verity mengabaikan karena tahu setiap pertanyaan yang Raja Alastair berikan, dia tidak akan pernah bisa memberikan jawabannya.  



"Seperti apa rakyat Austmarr?" Pertanyaan Verity yang jauh berbeda dengan percakapan mereka sebelumnya membuat Raja Alastair memicingkan mata curiga. "Aku hanya ingin tahu karena seperti kata Anda, Yang Mulia, aku tidak tahu Ia melihat air hujan yang turun deras. apa-apa."  



"Mereka rakyat yang tangguh." Raja Alastair menjawab dengan kening berkerut dalam. "Mereka memercayai seorang bocah sepuluh tahun memimpin Austmarr selama bertahun tahun hingga bocah itu telah tumbuh dewasa."  



"Mereka menaruh kepercayaan yang besar kepada Anda, Yang Mulia." Verity teringat beberapa rakyat Austmarr yang pernah mereka temui di ruang singgasana.  



Mereka terdiam entah berapa lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Raja Alastair yang berusaha memecahkan teka teki di sekitar Verity dan Verity masih terdiam melihat rintik hujan yang perlahan berhenti  



Verity menatap kedua mata Raja Alastair yang gelap, tampak dalam, dan lebih kelam dari lautan terdalam. "Bagaimana rasanya tidak memiliki hati, Yang Mulia? Di mana hati Anda, Yang Mulia?"  



"Apa yang sebenarnya sedang berusaha kau lakukan, Clement?" Raja Alastair tiba-tiba mencengkeram kedua bahu Verity, memaksa wanita itu menghadap ke arahnya ketika ia berusaha menata mata violet Verity. "Apa pedulimu kepada hatiku ketika ibumu sendiri juga tidak punya hati?"  



"Is it true that you don't have a heart?" Verity menelan rasa takutnya dan menutupi dengan rasa muak karena diperlakukan seperti boneka oleh setiap anggota kerajaan yang telah ia temui. "Anda tidak akan mendapat apa pun dengan menahanku di sini, Yang Mulia."  



"Kau salah. Ratu Amaranta telah melakukan kesalahan karena menaruhmu sebagai pion di sini." Raja Alastair menyeringai lebar, membuat Verity merinding ketakutan. "Siapa pun kau yang sebenarnya, kau telah menjadi pion penting Amaranta."  



"Apa Anda ...." Verity tersentak ketika tiba-tiba Raja Alastair menarik salah satu tangannya, lalu meletakkan di dada raja. "Kau mencari hatiku bukan?" Raja Alastair menahan tangan  



Verity yang dingin di dadanya, tempat di mana jantung seharusnya berdetak dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh.  



"Jantung Anda tidak berdetak." Mata Verity melebar dan melihat wajah Raja Alastair yang kini tersenyum sinis. "Apakah apakah...."  



"I don't have a heart? Apakah kau masih berpikir kalau itu adalah kiasan semata, Clement?" kata Raja Alastair.  



Verity berusaha melepaskan tangannya, tetapi cengkeraman Raja Alastair terlalu keras. Manusia yang tidak memiliki hati tidak ada bedanya dengan monster. Verity mati-matian menahan tangis dan jeritannya.  



"Apa kau menyadari kesalahanmu, Clement? Kau terlalu naif." Kalimat Raja Alastair bagaikan ribuan jarum yang menyerang tepat sasaran.  



Naif dan bodoh. Kata yang seringkali Ratu Amaranta sebutkan untuk mengingatkan Verity kalau ia tidak ada bedanya dengan pengerat yang selama ini menjadi teman di dalam penjara bawah tanah Selencia. "Apa kesalahanku? Apa salahku karena berusaha bebas dari semua ikatan ini?" bisiknya.  



"Ikatan? Kau tidak ada bedanya dengan boneka Amaranta, Clement. Dia memperalatmu untuk kebebasan semu yang t tidak akan pernah kau dapatkan."  



Verity menelan ludah mendengar penuturan Raja Alastair. Kebebasan adalah keinginan kosong nan sia-sia. Ia hanya tahanan di mana pun berada, Selencia maupun Austmarr.  



"Apakah Anda tidak pernah berusaha menyembuhkan hati Anda, Yang Mulia? Anda tidak akan pernah mengerti apa yang kurasakan karena Anda



tidak pernah memiliki hati." Verity menggigit bibir ragu. Ia memang tidak ada bedanya dengan boneka Ratu Amaranta, tetapi perkataan raja telah menusuk hati, mengoyak harga dirinya hingga ke titik terendah.  



"Siapa bilang aku tidak pernah punya hati, Clement?" Raja Alastair menarik Verity hingga menempel ke tubuhnya. Bibir Verity dibungkam dengan sebuah ciuman dalam, sementara satu tangannya menekan leher wanita itu, dan tangan yang lain menahan tubuh Verity agar tetap menempel padanya.  



"Buka mulutmu." Raja Alastair berbisik pelan, lalu mencuri sebuah ciuman lagi ketika Verity membuka mulutnya untuk menghirup udara.  



Verity benar-benar tak mengerti kenapa Raja Alastair memberikannya sebuah ciuman yang lebih panas dan menuntut daripada sebelumnya. Ketika Raja Alastair tidak lagi merasakan penolakan dari Verity, ia segera mencumbu setiap sisi bibir, rahang, bahkan belakang telinga, memberikan gelenyar-gelenyar aneh yang tidak pernah Verity rasakan sebelumnya. Wanita itu memilih untuk memejamkan mata dan menajamkan indra perasa yang lain, merasakan sentuhan kasar pipi raja karena bakal janggut yang baru tumbuh, atau bibir lembutnya ketika menyentuh setiap sudut kulit.  



Verity merasakan Raja Alastair kembali menarik tangannya untuk mengentuh dada pria itu. Ia pun ragu-ragu meletakannya, terlalu takut dengan apa yang akan raja lakukan sewaktu-waktu.  



"Buka matamu!" Raja Alastair bergumam kembali.  



Verity membuka mata dan melihat mata Raja Alastair yang menggelap karena gairah dan nafsu. Ia menggigit bibirnya yang merah dengan gelisah karena pria itu masih menahan tangannya.  



"Apa yang kau rasakan?" Raja Alastair mendekatkan tubuhnya lebih rapat kepada Verity, lalu menghidu aroma bunga dari leher wanita itu. "Apa yang kau rasakan, Clementine?"  



Verity berusaha mencari sesuatu yang dimaksud oleh pria itu. Keningnya berkerut tak mengerti, lalu terbelalak. Jantung Raja Alastair, jantung yang beberapa saat lalu tidak bisa ia rasakan detakannya, kini berdetak begitu kencang.  



"Jantung Anda berdetak, Yang Mulia!" Verity berseru ketika pria itu bersandar di pundaknya, menumpukan sebagian berat badan ke tubuhnya yang ringkih.  



"Dan rasanya menyakitkan sekali."              



XXIV THE CURE AND THE CURSE  



RASANYA SEPERTI RIBUAN pedang menghunjam di saat bersamaan, bahkan lebih menyakitkan daripada semua luka tikaman yang pernah Raja Alastair terima. Kutukan Ratu Mariella seperti pedang dengan dua sisi yang sama tajamnya. Di satu sisi, belum ada satu pun pembunuh bayaran yang dapat membunuhnya. Kutukan Ratu Mariella membuatnya merasakan ribuan kematian, rasa sakit bertubi-tubi yang bahkan membuatnya ingin bunuh diri saat seorang pembunuh bayaran berhasil menusuknya untuk



pertama kali. Perlahan Raja Alastair belajar dengan mengeraskan hatinya, maka rasa sakit itu akan berkurang. Perlahan pula ia menyadari, kalau kutukan Ratu Mariella juga anugerah karena tidak ada seorang pun yang dapat membunuhnya.  



Ini bukan kali pertama Raja Alastair merasakan jantungnya berdetak saat berada di dekat Verity. Namun, ini pertama kalinya ia merasakan jantung yang bertalu-talu seperti hendak melesak keluar dari rongga dada. Rasanya sangat menyakitkan.  



Bila Verity merupakan senjata yang dikirim Ratu Amaranta untuk membunuhnya, maka wanita licik itu telah berhasil. Raja Alastair bahkan tak tahu apa yang harus ia lakukan kepada ratunya. Apakah harus membunuh atau membiarkan wanita itu tetap hidup karena bisa saja dialah kunci untuk melepaskan kutukannya.  



"Dan rasanya menyakitkan sekali." Gumaman Raja Alastair terdengar seperti desau angin di telinga Verity, membuat wanita itu refleks menekan tangannya ke dada Raja Alastair seperti hendak meyakinkan kalau jantung sang raja benar-benar berdetak.  



"Yang Mulia?" Raja Alastair mendengar nada khawatir Verity yang menahan berat tubuhnya.  



"Apa Anda baik-baik saja?" Verity mengalungkan kedua tangannya ke tubuh Raja Alastair untuk menahan beban tubuh yang semakin ditumpukan kepadanya. "Yang Mulia? Yang Mulia!"  



Rasa sakitnya sangat tidak tertahankan. Raja Alastair meringis pelan merasakan setiap kali jantungnya berdetak kencang. Dia tidak menyangka kalau efek yang ditimbulkan akan separah ini.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Richard Blaxton berlari menuju kamar Raja dan Ratu Austmarr. Raja Alastair jatuh sakit, sangat tiba-tiba, dan tidak terduga karena sebelumnya ia menemui pria itu yang terlihat baik-baik saja.  



"Yang Mulia?" Richard Blaxton mengetuk pintu tidak sabaran dan melihat sekelompok tabib kerajaan, dayang, juga sang ratu telah berada di sisi Raja Alastair.  



"Richard, apa yang harus kulakukan?" Verity bertanya khawatir melihat Raja Alastair yang tiba-tiba jatuh sakit.  



"Kalian bisa pergi sekarang." Richard Blaxton para tabib sekaligus dayang untuk pergi. Tidak ada seorang pun menyuruh yang tahu keadaan jantung Raja Alastair selain dia, tabib utama kerajaan, dan sekarang Verity.  



"Apa yang terjadi, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat keadaan Raja Alastair yang terbaring lemah di kasur.  



Raja Alastair telah berhasil membangun ketahanan tubuhnya hingga senjata Dragør pun seharusnya tidak dapat membuatnya tumbang. Tidak ada satu pun luka di tubuhnya semakin membuat Richard Blaxton yakin, ini bukan karena salah satu senjata Dragør.  



"Jantungnya berdetak." Verity meremas tangannya gelisah. Sesaat ia mengira Raja Alastair adalah seorang monster karena tidak memiliki hati, kini di hadapannya, Raja Austmarr yang terkenal bengis dan tidak punya hati itu tergolek lemah.  



Richard Blaxton terbelalak. "Bagaimana bisa, Yang Mulia? Nyaris dua dekade Raja Alastair membangun ketahanan tubuhnya, bahkan senjata



terkuat pun tidak akan membuatnya seperti ini."  



"A-aku tidak tahu. Apakah kau tahu sesuatu yang bisa menyembuhkannya?" Wajah kebingungan, khawatir, juga gelisah terlihat begitu jelas di wajah Verity.  



Kali ini Richard Blaxton tidak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan Verity. Luka Raja Alastair bukanlah luka di permukaan, yang bisa mereka sembuhkan dengan obat-obatan dari tabib.  



"Aku akan mencari tahu, Yang Mulia," jawab Richard Blaxton.  



"Cepatlah!"  



Richard Blaxton mengangguk sekilas sebelum pergi meninggalkan kedua pemimpin Kerajaan Austmarr itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity benar-benar cemas, Raja Alastair tiba-tiba saja menumpukan seluruh berat badannya ke tubuhnya yang kurus. Untung saja ada pengawal datang dan membantunya membawa tubuh raja yang lemas ke kamar mereka. Verity tidak tahu sejauh apa rasa sakit yang raja rasakan hingga membuatnya tergolek lemah tak berdaya seperti ini. Raja Alastair yang beberapa saat lalu masih terlihat begitu mengerikan, seorang pria tanpa hati yang tiba-tiba menciumnya, lalu jantungnya kembali berdetak.  



Verity duduk di sisi Raja Alastair, ragu-ragu menyentuh kembali dada pria itu, merasakan dentuman jantung yang anehnya kini tidak sekencang tadi dan nyaris hilang. Ia mengerutkan kening bingung.  



"Apa yang kau lakukan?" Verity terkesiap ketika tiba-tiba saja Raja Alastair terbangun dan menahan tangannya agar tidak berpindah atau melakukan apa pun.  



"Apakah Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Verity kembali merasakan detakan jantung Raja Alastair, samar, tidak sekencang sebelumnya. "Jantung Anda masih berdetak."  



"Seperti apa?" Raja Alastair memejamkan mata menahan rasa sakit.  



"Samar, tidak sekencang sebelumnya." Verity bergumam ragu "Richard akan mencari sesuatu yang dapat menyembuhkan Anda, Yang Mulia."  



"Kenapa kau peduli?" Raja Alastair meringis pelan, lalu berusaha duduk, menyandarkan tubuh ke tumpukan bantal yang disusun tinggi di belakang punggungnya.  



"Karena Anda adalah seorang raja. Kematian Anda akan mempengaruhi kehidupan ribuan rakyat yang menggantungkan hidup mereka kepada Anda." Verity mengulangi kata-kata Raja Alastair. Melihat banyaknya rakyat yang tetap mematuhi perintah Raja Alastair sebagai raja muda dan tidak berpengalaman, membuat Verity yakin, di balik topeng raja bengis mengerikan tanpa hati, pria itu telah melakukan banyak hal untuk kerajaan dan mempertahankan kekuasaan Austmarr sebagai pemimpin lima kerajaan.  



"Lucu rasanya mendengarmu mengatakannya dengan sungguh-sungguh ketika kau pernah berusaha membunuhku Beberapa kali bahkan." Raja Alastair tersenyum sinis.  



Verity mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti, Yang Mulia." Dia hanya pernah mencoba membunuh Raja Alastair sekali.  



"Tidak perlu. Kau tidak perlu mengerti." Verity menarik tangan dari dada Raja Alastair, lalu menumpukannya di atas paha, terlalu gugup untuk saat ini.  



"Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" Verity menatap tidak mengerti ketika Raja Alastair tiba-tiba menyelipkan salah satu anak rambutnya ke belakang telinga, lalu mendekatkan wajah, seperti hendak menciumnya kembali.  



"Bukankah Anda akan mati bila menciumku?" Pertanyaan polos Verity sontak membuat Raja Alastair tertawa kecil.  



"Aku tidak tahu. Mari kita coba saja." Kali ini Raja Alastair memagut bibir Verity dengan gerakan yang lebih pelan seperti hendak mengetes reaksi jantungnya.  



Raja Alastair perlahan menahan leher Verity, menciumnya perlahan seperti mengajari wanita itu cara berciuman sesuai yang ia inginkan. Verity mengikuti gerakan bibir Raja Alastair ragu-ragu, takut bila ia melakukan kesalahan.  



Raja Alastair memperdalam ciuman ketika Verity tidak lagi menolak atau melakukan perlawanan. Perlahan ia mengajari wanita itu untuk memuaskan dirinya. Bahkan tanpa perintah atau arahan, Verity memberanikan diri menyentuh dadanya, sekadar merasakan seperti apakah detak jantungnya sekarang.  



"Apa yang kau rasakan?" tanya Raja Alastair. "Samar." Verity bergumam.  



Raja Alastair mengecup rahang Verity, lehernya, dan perlahan menurunkan gaun yang ia kenakan.  



"Yang Mulia!" Verity tersentak kaget. Entah sejak kapan ia  



telah berada di pangkuan Raja Alastair dengan pakaian dan  



rambut yang telah berantakan.  



Raja Alastair tidak lagi melakukan semuanya dengan perlahan. Pria itu memagut bibirnya, memberikannya sebuah ciuman yang panas dan dalam, menandainya dengan jejak-jejak merah keunguan. Bahkan kini tangan Raja Alastair telah menyentuh payudaranya dan meremas pelan. Verity memejamkan mata, melenguh pelan ketika merasakan gelenyar gelenyar aneh. Kali ini rasanya begitu berbeda, rasa takut itu masih ada, tetapi tersimpan rapat-rapat, tergantikan nafsu juga gairah.  



"Yang Mulia?" Verity membuka mata.  



Raja Alastair melihat mata violet Verity yang kini tampak berkabut sepertinya, pertanda keduanya merasakan hal sama. "Panggil namaku," bisiknya ketika lagi-lagi memberikan ciuman ciuman seringan bulu yang membuat Verity refleks melengkungkan punggungnya, membuat keduanya semakin berdekatan.  



"Al-Alastair." Verity berucap ragu karena tidak pernah memanggil Raja Alastair dengan namanya langsung.  



"Alastair." Raja Alastair menggeram kesal, mengutuk Pangeran Alexander di dalam hati karena sempat membuat suasana hatinya kacau mendengar Verity mengucapkan Al. "Aku bahkan tidak tahu apakah kau adalah penawar atau kutukan untukku, Clementine."  



Selama nyaris dua puluh tahun menjadi raja, ia tidak pernah ragu-ragu untuk membunuh seseorang. Di hadapannya kini, ada seorang wanita yang



bisa saja menjadi kunci untuk melepaskan kutukan atau malah membunuhnya. Sebelum wanita itu bisa membunuh karena membuat jantungnya menggila dengan perasaan tak menentu, maka ia harus menghabisi lebih dulu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt Wildemarr, anak dari Jenderal Wildemarr. Dia bukan anak raja atau anggota keluarga kerajaan. Meskipun sekarang ia menjadi orang yang paling dipercayai para Dragørian.  



"Verity Dragør." Tybalt menggenggam kalung emas dengan liontin mutiara milik Verity yang sempat ia ambil ketika menawan wanita itu. putih  



Di dalam cengkeramannya, Verity tampak begitu rapuh juga pemberani di saat bersamaan. Bahkan di antara ketidaktahuannya sebagai seorang Putri Dragør, Verity masih berani memperjuangkan hak-hak warga Dragør dan bahkan mempertaruhkan nyawanya sendiri.  



"Tybalt, apa yang kau bicarakan dengan Raja Zacharias?" Barney datang membawakan sebaki penuh aneka makanan.  



Pertemuan dengan Raja Zacharias hanya sebentar, tetapi membawa pengaruh besar. Tybalt sama sekali tidak menyesal telah datang ke Colthas untuk mencari jawabannya. "Apakah kau percaya kalau kita pernah bertemu dengan Putri Dragør sebelumnya?"  



Tybalt hanya pernah melihat Raja dan Ratu Dragør beberapa kali saat mengunjungi istana, menemani sang ayah yang merupakan seorang Jenderal sekaligus tangan kanan raja. Tybalt mengabaikan fakta kalau Verity adalah Putri Dragør karena ia tidak tahu kalau Ratu Mariella masih hidup,



bahkan sempat melahirkan sang putri di tengah konflik lima kerajaan juga akhir perang besar yang menghancurkan Dragør.  



"Siapa dia?" Bila saja Barney tidak segera meletakkan baki di meja, mungkin saja semua makanan di atasnya akan jatuh berhamburan.  



"Verity Dragør atau yang lebih kita kenal sebagai Clementine Selencia." Mengucapkan nama Selencia, meninggalkan getir juga pahit di hati dan lidah Tybalt. Selencia yang memulai perang, menghancurkan Dragør, dan membunuh ayahnya. Entah berapa lama Verity Dragør berada di Kerajaan Selencia, ia yakin wanita itu disiksa oleh Ratu Amaranta karena rasa benci kepada kembarannya sendiri.  



"Tidak mungkin! Dari mana Raja Zacharias tahu? Apa kau yakin ia tidak berusaha mempermainkanmu, Ty?" Barney mencengkeram kerah baju Tybalt. Menunjuk putri dari kerajaan lain sebagai putri yang sebenarnya dari Dragør bukanlah perkara main-main, bila mereka salah, maka mereka bisa mati percuma. Bila mereka benar, maka akan lebih buruk lagi karena Verity Dragør telah terikat dengan Alastair Austmarr, pemimpin lima kerajaan yang tentu saja tidak akan melepaskan Verity dengan mudah. Bukan hanya karena Verity telah menikah dengan pria itu, tetapi Verity adalah Putri Dragør yang seharusnya sudah lama mati.  



"Raja Colthas sebelumnya mengumpulkan beberapa informasi yang mengarah kepada Ratu Mariella masih hidup dan ia sempat melahirkan di awal musim dingin setelah perang besar berakhir." Raja Zacharias II, yang merupakan raja Colthas sebelumnya, mengumpulkan beberapa informasi untuk mendapatkan Ratu Mariella. Beberapa hal menjadi bukti kalau Ratu Mariella telah melahirkan seorang putri dan menghilang, begitu juga keberadaan sang putri yang telah disangka mati, tetapi tiba-tiba muncul kembali dengan nama lain sebagai Putri Clementine dari Selencia.  



"Raja Zacharias II? Dia adalah orang yang serakah, Ty. Apa kau ingat Qyrsi yang tiba-tiba menyerang kerajaan?" Barney meremas tangannya gelisah. "Apa yang Raja Zacharias III inginkan sekarang? Imbalan apa yang dia minta darimu?"  



"Dia minta Qyrsi kembali ke Colthas." Naga tidak akan pernah bisa dijinakkan. Membiarkan Qyrsi menyerang Drager dua dekade lalu adalah kesalahan Raja Zacharias II. "Aku yakin dia menginginkan hal lain. Namun untuk sekarang, itulah yang ia mau, Barney."  



"Bagaimana dengan Putri Verity?"  



"Raja Zacharias akan membantu kita untuk mendapatkannya kembali." Verity Dragør tidak boleh bersama Alastair Austmarr, mereka berada di dua kubu yang berseberangan.  



"Apakah kau yakin? Austmarr masih memiliki tentara terbaik dari seluruh lima kerajaan, Tybalt. Percobaan pembunuhan yang terjadi kepada Ratu Clementine telah membuat kerajaan itu lebih waspada dengan keamanan yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Kau tidak akan memiliki kesempatan, Tybalt. Raja Alastair tidak akan melepaskan Putri Verity, terutama bila Raja Alastair tahu dia berasal dari Dragør," kata Barney.  



"Aku harus mencobanya, Barney. Bahkan bila itu menjadi alasan kenapa aku mati nanti." Seperti yang Tybalt telah duga, bila suatu saat ia bertemu kembali dengan Putri Verity, mungkin Raja Alastair akan membunuhnya.  



Tybalt melihat kalung milik Verity, lalu menggenggamnya kuat, tersenyum miris di dalam hati karena tanpa ia sadari, perasaannya yang cukup dalam semenjak Ratu Clementine menyelamatkan anak-anak Dragør dari hukuman tak berbelas kasihan Austmarr, semakin dalam ketika ia tahu Ratu Clementine sebenarnya adalah Putri Verity Dragør  



                           



XXV FRIENDS AND FOE  



"APA KAU INGIN melihat sejauh mana kita bisa melakukannya?" Pertanyaan Raja Alastair membuat Verity kebingungan. "Melakukan apa, Yang Mulia?" Verity mengernyitkan dahi tidak mengerti.  



"Melakukan hal yang membuat jantungku berdetak kencang. Aku ingin tahu sejauh mana kita bisa melakukannya. Raja Alastair menyurukkan kepalanya di lekukan leher Verity, lalu gigitan-gigitan kecil, membuat Verity mengeluarkan pekikan kecil karena kaget.  



Suara ketukan pintu membuat Raja Alastair menghentikan kegiatannya. Matanya menatap tajam ke pintu, lalu ke arah Verity yang masih begitu berantakan. Bahkan gaunnya turun dan terkumpul di pinggang, memperlihatkan kulit pucat, lekukan tubuh, juga payudaranya yang ranum.  



"Sial!" Raja Alastair bergumam gusar. Ia menarik selimut, menutupi tubuh Verity, dan beranjak dari kasur sesegera mungkin.  



"Yang Mulia?" Raja Alastair bisa mendengar suara Richard Blaxton yang mengetuk-ngetuk pintunya.  



Raja Alastair menggumamkan serangkaian sumpah serapah. Ia melihat Verity yang kini panik, berusaha menutupi setiap inci kulitnya, dan menatapnya seperti kelinci yang takut dimangsa.  



tunggu  



"Pakai pakaianmu, aku nanti." Verity menganggukkan kepalanya takuttakut, sementara Raja Alastair bergegas menuju pintu.  



"Apa yang kau inginkan, Richard?"  



Richard menarik napas lega melihat Raja Alastair. "Syukurlah Anda telah sadar, Yang Mulia. Aku harus memberitahukan sesuatu yang penting."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair mengetuk-ngetukkan kaki tidak sabaran dan melihat Richard Blaxton yang tampak gelisah di hadapannya. Mereka kini berada di ruang singgasana yang tampak sepi tanpa satu pun menteri atau pelayan yang biasanya berlalu lalang di ruangan besar itu. "Apa yang Colthas lakukan sekarang?"  



"Mereka bekerja Blaxton meremas tangan gelisah, sementara sang raja mengusap sama dengan Dragør, Yang Mulia." Richard dagunya pelan. "Jantung Anda... berdetak."  



Richard Blaxton memberanikan diri. Apakah ini pertanda kalau Raja Alastair bisa sembuh dari kutukannya? Atau bertambah parah karena bahkan sang raja bisa sampai tumbang seperti tadi.  



"Sejak kapan?" Raja Alastair menatapnya tajam. "Apa yang kau ketahui tentang kutukan itu sebenarnya, Richard?"  



Richard Blaxton adalah orang pertama yang memberitahu kalau Mariella Dragør telah mengutuk hatinya agar mengeras, tak merasakan setitik perasaan ataupun emosi yang malah kembali secara perlahan-lahan semenjak Verity masuk ke kehidupannya.  



"Anda tidak seharusnya merasakan apa pun," kata Richard ragu, "tapi bila Ratu Clementine dapat membuat Anda merasakan sesuatu, bukankah itu hal yang baik, Yang Mulia? Dia baik untuk Austmarr."  



"Aku menikah untuk mencegah perang, Richard. Sekaligus untuk menjadikan Clementine sebagai tawanan di Austmarr agar Selencia tidak melakukan hal-hal bodoh yang bisa mengulangi perang lagi." Raja Alastair menatap Richard Blaxton. Sama seperti pria itu yang begitu mengenalnya, ia pun tahu gelagat mencurigakan Richard Blaxton. "Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?"  



"Ti-tidak, Yang Mulia." Richard Blaxton mengelap peluh yang tiba-tiba keluar di dahinya. "Maafkan saya. Saya masih menyelidikinya, tapi Colthas mengatakan sesuatu tentang ratu Clementine." Ia menunduk dan berlutut di hadapan Raja Alastair.  



"Apa yang dia katakan?" Raja Zacharias tidak terlihat begitu dekat dengan Verity selama pernikahan mereka. Dia memang selalu cenderung sinis kepada orang-orang di sekitarnya.  



"Saya masih menyelidikinya, Yang Mulia. Tetapi sepertinya mereka tengah berusaha mencari-cari latar belakang Ratu Clementine seperti apa yang tengah kita lakukan saat ini."  



"Aku ingin kau mencari tahu siapa Clementine yang bersama Alexander saat mereka masih kecil dulu." Alexander Thaurin mungkin bisa menjadi petunjuk baru untuk mereka saat ini.  



"Bagaimana dengan Ratu Clementine, Yang Mulia?" "Clementine tidak tahu apa pun," kata Raja Alastair.  



"Anda akan membiarkannya tetap begitu?" Richard Blaxton terlihat kaget mendengarnya. "Tidakkah sebaiknya kita memberitahu Ratu Clementine? Akan lebih baik bila ia membangun kepercayaan kepada Austmarr, bukan?"  



"Clementine tidak perlu tahu apa pun, Richard. Selidiki apa pun yang Colthas dan Dragør lakukan sekarang, lalu laporkan kepadaku sesegera mungkin." Raja Alastair berdecak tidak puas dan kembali berkata, "Cari tahu juga apakah Alexander memiliki hemlock."  



"Hemlock, Yang Mulia?" Apakah Raja Alastair mencurigai Pangeran Alexander yang memberikan hemlock kepada Ratu Clementine dulu?  



"Aku yakin ratuku melupakan sebagian besar ingatan masa kecilnya. Seseorang memberinya hemlock secara berkala dan menyiksanya," kata Raja Alastair.  



"Apa Anda yakin?" Richard Blaxton bertanya kembali.  



Raja Alastair mendengkus tidak senang. Tidak ada satu pun jejak siksaan di kulit Verity selain sebuah garis melintang di telapak tangannya. Wanita itu



terlalu menyimpan banyak rahasia untuk seorang penyusup yang berperan sebagai ratunya.  



"Jalankan perintahku, Richard! Pastikan tidak ada seorang pun yang tahu ini."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa kau mengenal Ratu Mariella, Joseph?" Rania Raria melihat lautan luas tanpa batas yang menjadi pelindung mereka dari dunia luar.  



Bangsa Raria terkenal dengan kemampuan mereka mengarungi lautan. Laut adalah teman sekaligus lawan, pasang surutnya telah membawa kebahagiaan juga kesedihan. Sementara di daratan yang mereka tinggali, ditutupi gunung gunung besar dengan jalur terjal dan bukit tinggi yang hanya memiliki satu jalan masuk sekaligus keluar, menyebabkan orang luar sulit masuk. Dua belas menara pengawas mengelilingi Raria, memudahkan mereka melihat serangan dari arah mana pun. Selain itu, ada juga kapal perang dengan berbagai kecanggihan yang tidak dimiliki kerajaan lain, membuat Raria menjadi salah satu kerajaan yang memiliki armada laut terkuat.  



Joseph Kilorn, Jenderal Raria sekaligus suami Rania Raria tidak langsung menjawab. Darat, laut, bahkan udara menyerang Dragør secara bersamaan, menghancurkan kerajaan yang telah berjaya selama ratusan tahun dalam semalam. "Apa yang sedang kau bicarakan, Rania?" keningnya mengernyit tak suka. Perang besar mungkin telah lama berakhir, tetapi rasa sakit itu masih tersisa begitu dalam.  



"Apa menurutmu tindakan kita saat itu sudah paling tepat?" Orion dan Cassiopeia lahir saat perang reda, dan Raja Alastair telah berhasil meredakan memperebutkan takhta pemegang kekuasaan lima kerajaan.



"Alastair benar-benar telah menjadi raja di Inkarnate. Apa yang harus kita lakukan?" perpecahan yang  



"Kita telah memberikan yang terbaik untuk Raria." Jenderal Kilorn mengecup dahi Ratu Rania yang masih terlihat gelisah "Yang terkuatlah yang akan bertahan."  



"Mereka telah memilih sekutu mereka, Joseph." Wajah gelisah Ratu Rania tak juga reda, bahkan setelah apa yang dilakukan Jenderal Kilorn. "Mariella bukanlah orang yang bisa kita pertimbangkan dengan setengah hati, Joseph. Amaranta yang memulai perang, namun Mariella yang memutuskan untuk mengakhirinya. Zacharias II tidak pernah berhenti mencari Mariella hingga kematiannya, dan aku yakin yang lain juga akan mulai mencarinya."  



"Dia berada di tangan yang tepat sekarang, Rania. Tidak ada yang dapat menemukannya. Apa yang membuatmu tiba tiba berpikir seperti ini, Rania?" Jenderal Kilorn menatap istrinya.  



"Aku merasa kalau Amaranta tengah berusaha untuk memulai perang lagi, Joseph," ungkap Ratu Raria. "Kenapa? Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"  



Kening Jenderal Kilorn berkerut samar.  



"Lima kerajaan tidak pernah bertemu secara langsung sebelumnya, tidak sebelum pernikahan Clementine dan Alastair. Bahkan di perang pun, Amaranta selalu memilih untuk membunuh orang-orang penting dibanding maju langsung ke medan perang. Kali ini Amaranta sendiri turun tangan, pergi ke Austmarr untuk melihat keadaan putrinya itu."  



Jenderal Kilorn terdiam sesaat, mencerna perkataan Ratu Rania, lalu mengangguk kaku. "Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi rasa gelisahmu, Yang Mulia?"  



"Cari tahu apa yang Arthur sedang berusaha lakukan sekarang." Arthur Thaurin, ayah dari Alexander Thaurin, sekaligus raja juga sekutu Selencia.  



"Arthur?"  



"Aku yakin ada sebagian hal yang Amaranta tidak beritahu kepada Arthur, begitu pun sebaliknya. Tidak ada persekutuan yang bertahan begitu lama tanpa balasan, Joseph." Dua dekade persekutuan mereka berjalan tanpa kendala dan Rania dapat mencium aroma mencurigakan. Bila memang tujuan utama Ratu Amaranta adalah menghancurkan Dragør, apa yang Thaurin dapatkan dari serangan itu? Atau apa tujuan Ratu Amaranta memulai perang lagi setelah sekian lama?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt memasuki ruang kerja Zacharias III Colthas. Langkahnya sedikit mengentak tidak sabaran, bahkan tangannya nyaris mencopot engsel pintu yang telah karatan.  



"Kau harus memperbaiki engsel pintu karatan ini," ucapnya ketika melihat Raja Zacharias tengah duduk mengerjakan tumpukan kertas di tengah ruangan.  



"Apa yang kau inginkan?" Raja Zacharias tersenyum kecil, terlihat tidak keberatan dengan sikap tidak sopan Tybalt.  



"Kau bilang Ratu Clementine adalah Putri Verity bukan? Kapan kita bisa mendapatkannya?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja Zacharias



mengangkat kepala, mengalihkan pandangannya dari tumpukan kertas, terlihat sangat tenang seperti telah memprediksi sikap Tybalt.  



"Kau tahu kalau kita butuh rencana bukan?" Raja Zacharias mengetukngetukkan jemari di permukaan meja yang "Alastair mencurigai Colthas karena salah satu pria menyamar menggunakan pakaian seragam khusus tentaraku untuk menyakiti ratunya."  



Tybalt melangkah cepat hingga ke hadapan Raja Zacharias, lalu mencengkeram kerah kemeja pria itu. "Apa itu kau?" tanyanya dengan nada tinggi.  



Raja Zacharias hanya tersenyum kecil ketika sekelompok tentaranya segera mengerubungi Tybalt dan menghunuskan pedang ke tenggorokan pria itu. "Engsel pintuku mungkin rusak, tapi tentaraku selalu bersamaku, Tybalt. Bersikap sopanlah bila berada di rumahku," katanya dengan angkuh.  



Salah satu tentara menendang kaki Tybalt hingga pria itu jatuh berlutut, lalu menahan bahunya.  



"Apa itu kau?" Tybalt mengulang pertanyaan.  



"Apa kau lupa kalau kau sendiri juga telah menyakiti putri dari kerajaanmu sendiri?" Raja Zacharias berdiri, tampak penuh perhitungan ketika menatap Tybalt. "Kau berada di rumahku, Tybalt. Makan makanan yang kuberikan kepadamu, tidur di kasur yang kusediakan untukmu. Apakah menurutmu ini tindakan yang pantas?"  



"Dragør tidak akan pernah tunduk pada siapa pun. Apa kau lupa kalau itu alasan kenapa Dragør tidak diterima di mana pun?" Tybalt membalas tanpa ragu.  



"Kau benar." Raja Zacharias terus menatap Tybalt. "Kau seperti naga yang tidak bisa dijinakkan, Tybalt. Kau adalah aset yang berharga untuk Dragør, juga untukku bila kau berhasil membawa Qyrsi kembali kepadaku."  



"Putri Verity tidak boleh berada di Austmarr terlalu lama, Zacharias!" geram Tybalt. Ada banyak hal yang bisa saja terjadi selama Verity berada di sana.  



"Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk itu," Raja Zacharias tertawa kecil, "Clementine menikah dengan Alastair.  



Aku tidak bisa tiba-tiba datang dan mengakui kalau Clementine adalah Verity."  



"Di mana Clementine yang asli berada?" Pertanyaan Tybalt membuat Raja Zacharias terdiam. "Alastair menikah dengan Clementine, bukan Verity. Di mana Clementine yang asli berada? Apa dia sudah mati?"  



"Pertanyaanmu menjebakku sesaat, Tybalt." Raja Zacharias menarik napas dalam, lalu menimbang sesaat. "Masih hidup." "Apa maksudmu dia masih hidup? Di mana dia sekarang?" cecar Tybalt.  



"Amaranta melakukan segala cara untuk melindungi Clementine. Dia tidak mungkin melakukan banyak hal yang mempertaruhkan lima kerajaan bila Clementine sudah mati," ujar Raja Zacharias.  



"Tidakkah kau merasa kalau kelima kerajaan saling mencurigai satu sama lain sekarang?" Tybalt memberontak dari belenggu tentara Colthas yang masih mengunci kedua tangannya dan menahan bahu agar ia tetap berlutut di hadapan Raja Zacharias. "Apa rencanamu sebenarnya, Zacharias? Bila kau tahu Qyrsi tidak bisa dijinakkan, apa yang membuatmu yakin kalau ia bisa kembali ke Colthas suatu hari nanti?"  



"Kelima kerajaan saling mencurigai satu sama lain?" Raja Zacharias terbahak-bahak. "Mereka memang tidak mempercayai satu sama lain, Tybalt. Tidak pernah akan ada kedamaian hingga tersisa satu yang paling kuat."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Malam semakin larut dan Verity kini duduk di tepi kasur dengan kepala yang berat dan rasa kantuk tidak tertahankan. Raja Alastair memintanya untuk menunggu, bukan untuk tidur.    



Namun, Raja Alastair juga tidak kunjung kembali semenjak Richard Blaxton mengetuk pintu kamar mereka dan membuat pria itu gusar karena merasa terganggu.  



Verity merasakan degup jantung yang bertalu-talu seperti hendak melesak keluar dari rongga dadanya. Raja Alastair melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan bersama seorang pria. Jenny mengajarinya beberapa hal, seperti kalau ia akan merasakan sakit pada saat pertama kali. Namun, Jenny sudah mati dan ia tidak memiliki seorang pun untuk mengajari lagi.  



Pipinya memerah dan memanas ketika membayangkan apa yang telah mereka lakukan. Hanya sebuah ciuman, juga sentuhan, tetapi berhasil membuat jantungnya berdegup kencang. Lalu bagaimana dengan jantung Raja Alastair? Pria itu merasa kesakitan saat jantungnya berdegup kencang. Verity mengernyitkan dahi, sementara malam semakin larut, dan rasa kantuknya kian menjadi-jadi. Ia membaringkan kepala di bantal, menguap lebar-lebar, dan perlahan masuk ke alam mimpi, terlelap begitu nyaman.  



"Ssh.... Verity mengerjapkan mata beberapa kali ketika merasakan lumatan basah di mulutnya, membuatnya terbangun dari tidur yang hanya sesaat.



 



Alastair yang baru saja kembali dari rapatnya bersama Richard "Yang Mulia?" Verity mengusap mata dan melihat Raja Blaxton.  



"Aku menyuruhmu untuk menungguku bukan?" Verity hanya mengangguk, masih terbuai dalam kabut mimpinya. "Apa kau ingin melihat sejauh mana kita bisa melakukannya?"  



"Melakukan apa?" Verity merasakan usapan tangan Raja Alastair yang lagilagi menurunkan gaunnya, memperlihatkan bahunya yang dipenuhi jejakjejak kemerahan.  



"Sejauh mana kau bisa membuat jantungku menggila, Clementine."                        



XXVI THE POISON  



PANGERAN ALEXANDER MENUNGGU dengan tenang di tengah-tengah keheningan malam yang bahkan tanpa suara hewan sedikit pun. Ratu Amaranta telah kembali ke Selencia, sementara ia masih berada di hutan



perbatasan Thaurin dan Austmarr. Gerisik dedaunan yang saling beradu ketika angin berembus, membuatnya waspada.  



"Ssh...." Pangeran Alexander mengelus surai kudanya.  



"Pangeran Alexander?" Mata hitam pria itu membelalak kaget ketika melihat sekumpulan tentara yang berada di sekitar Pangeran Alexander, satu-satunya pria yang tidak mengenakan topeng atau jubah perang. Rambut pirangnya tertata rapi, bahkan tidak terlihat berantakan ketika tersapu angin, sementara mata hijaunya menatap dingin.  



"Berapa lama aku harus menunggumu?" Pangeran Alexander mengibaskan tangan kanan, menyuruh pria itu untuk maju mendekat.  



Pria itu maju dengan langkah ragu-ragu, lalu berdiri di hadapan Pangeran Alexander yang masih duduk di atas kudanya. "Dragør bergabung bersama Colthas," katanya.  



"Apakah Dragør masih layak dianggap sebagai sekutu?" Pangeran Alexander mendengkus kesal. "Apa yang akan Zacharias dapatkan dengan membawa Tybalt?"  



"Mereka menginginkan Qyrsi kembali." Tangan pria itu gemetaran. Ia tidak bisa melihat ekspresi tentara-tentara yang berada di sekitar Pangeran Alexander karena semuanya menutupi wajah, sementara tangan kanan siap sedia dengan pedang yang akan keluar bila ada bahaya mengancam.  



"Tidak mungkin," Pangeran Alexander mendengkus kembali, "Qyrsi tidak akan pernah bisa dijinakkan."  



"Colthas percaya kalau hanya mereka yang bisa mengontrol Qyrsi, Yang Mulia. Naga itu sudah terlalu lama di Dragør. Zacharias II tidak bisa



mengontrolnya setelah serangan membabi buta di Dragør malam itu." Pria itu benar-benar gelisah ketika tentara-tentara Pangeran Alexander turun dari kuda mereka dan mengelilinginya.  



"Apalagi yang bisa kau beritahu kepadaku?" Pangeran Alexander mengembuskan napas panjang, terlihat bosan, dan tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan.  



"Ratu Clementine adalah Putri Verity yang hilang!" ucap pria itu cepat, berharap bila informasi ini dapat menyelamatkannya.  



Pangeran Alexander menatap si pria dengan rasa kecewa yang cukup dalam. "Seorang pengkhianat.... tidak boleh tetap dibiarkan hidup!"  



Salah satu tentara Thaurin mengeluarkan pedangnya, lalu Imenebas kepala pria itu, membuat kepalanya terpisah dari badan, terjatuh dan terguling beberapa kali hingga berhenti di dekat kaki kuda yang dinaiki Pangeran Alexander.  



"Selencia ... tidak boleh dibiarkan seperti ini terlalu lama." Pangeran Alexander tampak bimbang sejenak.  



Perang dingin yang telah lama berkecamuk membuat lima kerajaan tidak bisa saling memercayai satu sama lain. Kabar Ratu Amaranta dengan ambisinya untuk menghabisi seluruh Kerajaan Dragør dan menguasai Inkarnate telah berembus sejak lama. Raja Alastair berperan sebagai pemegang kekuasaan di lima kerajaan Inkarnate bukanlah sesuatu yang pernah mereka pertimbangkan sebelumnya. Bila ini terus dibiarkan, kekuasaan Raja Alastair akan semakin absolut, dan bila Selencia kalah perang, maka secara tidak langsung sang raja dapat menguasai tiga kerajaan sekaligus.  



Pangeran Alexander melihat tangan kanannya yang kembali bergetar tak terkontrol, ujung kukunya membiru, begitu juga sebagian tangannya yang terlihat seperti lebam besar berwarna keunguan. Racun hemlock telah merusak tubuhnya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"All" Gadis kecil yang berada di hadapan Alexander tersenyum di hadapannya.  



"Verity?" Alexander mengembuskan napas gusar. "Aku mencarimu, jangan menghilang lagi!" Ia menggenggam tangan Verity, lalu menariknya menjauh dari taman istana Thaurin yang menyimpan berbagai tanaman racun mengerikan.  



Gadis kecil itu pernah nyaris menyentuh salah satu tanaman racun karena mengira itu bunga Queen's anne lace yang serupa dengan hemlock.  



"Kita akan ke mana?" Verity menggenggam tangannya erat sembari mengikuti Alexander dengan langkah ringan, seperti kelinci yang berjingkat-jingkat setiap kali melangkah.  



"Ayahku memanggilmu." Alexander sebenarnya tidak suka bila ayahnya memanggil Verity seperti ini. Dia tahu diam-diam Raja Arthur menghubungi Ratu Amaranta dan menanyakan Verity beberapa kali hingga membuat gadis kecil itu ketakutan. "Aku tidak mau!" Verity menghentikan langkah, lalu bersembunyi di balik punggung Alexander. "Aku tidak mau bertemu ayahmu."  



"Verity, ayahku berhasil menemui ibumu." Alexander memutar badannya dan menatap Verity. "Kau merindukan ibumu bukan?"  



Verity mengangguk teringat pesan terakhir ibunya untuk terus berlari hingga ia tiba di perbatasan, yang ternyata tempat perkemahan Alexander. "Apa ibuku datang kemari?"  



"Ya." Alexander menggenggam tangan Verity lagi dan membawanya ke ruang singgasana.  



Mereka melewati pilar-pilar besar yang terbuat dari marmer indah, cahaya matahari menyusup masuk melewatinya. Alexander mengembuskan napas panjang ketika tiba di depan pintu besar ruang singgasana.  



"Bisakah kau menunggu di sana?" Alexander menunjuk sebuah kursi di antara pilar yang cukup jauh dari pintu ruang singgasana. "Aku akan mengetuk pintunya dan memberitahu ayahku."  



"Baiklah." Verity tersenyum lebar, lalu mengikuti perintah Alexander dengan senang hati.  



Alexander berhenti di hadapan pintu, menunggu sesaat sebelum mengetuknya. "Ayah!" Matanya teralihkan ketika melihat wanita yang berada di sebelah Raja Arthur. Rambut pirang wanita itu diikat tinggi, sebuah mahkota berhias permata duduk manis di kepalanya. Satu satunya hal unik sekaligus ganjil darinya, adalah mata yang berwarna violet seperti Verity.  



"Menunduklah, Alexander! Ini Ratu Amaranta." Alexander menunduk hormat dan kembali menatap wanita itu. "Kau telah berhasil menemukan putri Ratu Amaranta yang hilang beberapa hari lalu."  



Alexander menatap Ratu Amaranta curiga. Verity tidak terlihat seperti seorang putri saat pertama kali menemuinya. Gadis kecil itu tampak ketakutan seperti tengah dikejar segerombolan pembunuh  



bayaran. "Verity telah menunggu Anda di luar, Yang Mulia," katanya. "Verity?" Amaranta tersenyum samar. "Namanya Clementine."  



"Clementine?" Alexander mengerutkan keningnya bingung.  



"Panggil dia kemari, Alexander!" Alexander mengangguk kaku dan berjalan keluar. Ia melihat Verity yang masih menunggu dengan tenang sesuai perintahnya tadi.  



"All" Verity berjingkat senang ketika melihat Alexander yang



 



memanggilnya.  



"Ayo, ibumu ingin menemuimu." Verity berlari ke arah Alexander, lalu menggenggam erat tangannya. "Di mana ibuku?" tanya Verity tak sabaran.  



Alexander menggenggam tangan Verity semakin erat ketika membawa Verity masuk dan menemui Ratu Amaranta.  



"Clementine." Ratu Amaranta tersenyum kepada Verity, sementara gadis itu mengerutkan keningnya bingung. "Kemarilah!"  



Verity bersembunyi di belakang punggung Alexander dan menggelengkan kepalanya. "Di mana ibuku?"  



"Verity Ibadan Verity, mengarahkan gadis kecil itu untuk kembali ke ibunya. ... ibumu duduk di sana." Alexander mendorong lembut Namun, sepertinya Verity sama sekali tidak mengenali Ratu Amaranta.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Alexander duduk di hadapan Ratu Amaranta dan Raja Arthur, sementara Verity telah kembali ke kamarnya dan tidur setelah menolak menemui Ratu Amaranta.  



"Dia tidak mengenalku," gumam Ratu Amaranta. "Aku yakin Marja yang bersamanya selama ini, bukan Mariella."  



"Anda bisa membiarkannya tinggal sementara di Thaurin, Yang Mulia." Raja Arthur menawarkan.  



"Tidak. Dia harus segera ke Selencia." Amaranta tiba-tiba menatap Alexander, membuat remaja itu duduk lebih tegap. "Kau harus meyakinkannya, Alexander."  



"Dia tidak mengenal Anda, Yang Mulia," ucap Alexander ragu.  



"Apakah kau memiliki sesuatu yang bisa menghapus ingatannya?" Ratu Amaranta bertanya kepada Raja Arthur. "Tidak," Raja Arthur segera menjawab, "tetapi aku mempunya sesuatu yang dapat membuatnya memercayai setiap kata yang kita ucapkan, Yang Mulia."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Alexander melangkah ragu mendekati Verity yang kini duduk di lantai ruang singgasana, pakaian begitu pula rambutnya acak-acakan. Jejak air mata masih terlihat jelas di mata juga pipinya.  



"Minum ini, Verity," katanya sembari menyodorkan botol kecil.  



"Aku tidak mau." Verity menggelengkan kepala kuat-kuat, menolak ketika Alexander menawarkan sebotol kecil cairan berwarna pekat yang terasa sangat pahit.  



"Minum ini, Verity!" Alexander menunduk di hadapan Verity, lalu melihat ke arah ayahnya dan Ratu Amaranta yang menunggu Verity meminum cairan itu. "Mereka akan menghukummu bila kau tidak meminumnya."  



"Aku tidak mau!" Verity menangis ketika Alexander memajukan botol kecil itu ke hadapannya. "Mereka akan menghukumku bila kau tidak meminumnya."  



Alexander berbisik pelan.



 



"Mereka akan menghukummu?" Mata violet Verity menatap  



Alexander, sementara bocah itu mengangguk ragu.  



Dengan berat hati, Verity menerima botol kecil itu, dan meminumnya. Efek racun langsung terlihat, Verity menyemburkan cairan pekat kemerahan yang bercampur dengan darahnya. Ia memukul mukul dada, lalu menggenggam tangan Alexander. "Rasanya sakit sekali, Al."  



Alexander bergeming ketika melihat Verity memuntahkan darah setelah menerima racun dari tangannya. "Ayah.. . . "  



Raja Arthur mendorong Alexander menjauh dan berdiri di hadapan Verity. "Penawarnya berada di sini, Verity." Ia memperlihatkan botol kecil dengan cairan bening.  



"Rasanya sakit sekali." Verity berusaha menggapai tangan Raja Arthur.  



"Kau datang ke Selencia dengan kereta yang membawa makanan, hendak mencuri satu atau dua potong roti," kata Raja Arthur.  



"Rasanya Sakit Verity meremas dadanya, terbatuk beberapa kali, dan kembali memuntahkan darah. "Ingat perkataanku baik-baik bila kau menginginkan penawarnya, Verity," tegas Raja Arthur. Verity melirik Alexander dengan tatapan memohon. "Biarkan aku mati!" la bergumam dan menggelung badannya di lantai marmer.  



"Ulangi perkataanku, Verity!"  



"Selen-cia. Mencuri ...." perkataan Raja Arthur. Verity patah-patah mengulangi



 



Raja Arthur tersenyum puas, lalu menyerahkan botol kecil kepada Alexander. "Minum ini, Verity!" Alexander segera memberikan botol kecil itu kepada Verity.  



"Selencia. Mencuri." Verity bergumam kembali sebelum menelan seluruh isi botol kecil hingga tidak bersisa.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa kau yakin metode ini akan berhasil?" Alexander menguping pembicaraan Ratu Amaranta dan Raja Arthur.  



"Kita masih harus mengulanginya beberapa kali sebelum memori yang baru benar-benar terpatri dalam ingatannya." Raja Arthur menjawab tenang.  



"Berapa kali lagi?"  



"Beberapa kali sebelum kita mengantar Verity ke Selencia dengan kereta makanan yang membawa roti. Itu akan semakin menguatkan memorinya," jawab Raja Arthur lagi.  



Alexander berlari menjauh setelah merasa cukup mencuri dengar pembicaraan ayahnya dan Ratu Amaranta. Langkahnya tanpa sengaja berhenti di depan pintu kamar Verity.  



"Verity?" panggilannya.  



"Al!" Verity turun dari kasur dan menghambur ke pelukan Alexander. "Aku bertanya-tanya di mana kau berada."  



"Aku menunggu hingga kau terbangun." Alexander menelan ludahnya susah payah, merasa bersalah karena nyaris membunuh gadis kecil itu. "Apa kau baik-baik saja?"  



"Mereka tidak menghukummu bukan?" Mata violet Verity menatap polos, sementara rasa bersalah semakin menghunjam perasaannya.  



"Tidak. Terima kasih." Alexander bergumam pelan. menyelamatkanku, jadi aku juga harus menyelamatkanmu!"  



"Kau



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander menatap jijik tangannya sendiri. Memberikan racun kepada seorang gadis kecil karena ia terlalu pengecut untuk melawan. Itu bukan terakhir kalinya ia memberikan racun kepada Verity, ia memaksa gadis kecil itu untuk meminum racun selama berada di Thaurin hingga tiba saatnya dikirim kembali ke Selencia, tempat gadis itu berubah menjadi Clementine dan perlahan melupakan dirinya sendiri.  



"Yang Mulia?" Tentaranya kembali menunggu.  



"Sejauh mana Austmarr mengetahui hal ini?" Pangeran Alexander mengibaskan tangan kanan lalu menyembunyikannya kembali ke jubah yang dikenakan.  



"Penasehat Raja Alastair telah mengetahuinya." Pangeran Alexander mengerutkan kening. "Richard Blaxton belum memberitahu apa pun kepada Raja Alastair, dia mungkin ingin memastikan kabar yang beredar sebelum memberitahu Raja Alastair."  



"Karena Raja Alastair akan membunuh Clementine bila ia benar-benar Putri Dragør." Pangeran Alexander bergumam pelan sembari tertawa miris.



"Tidak sebelum posisi Clementine sebagai Ratu Austmarr telah benarbenar kuat. Aku tidak tahu harus berterima kasih atau mencemooh kebijakan penasehat tua itu."  



Pangeran Alexander melihat kepala pria yang baru saja ditebas oleh tentaranya, pria itu salah satu petinggi Kerajaan Colthas. Ia mungkin merasa cukup pintar karena berhasil membodohi kerajaannya sendiri, tetapi ia tidak cukup pintar untuk membodohi Pangeran Alexander. Dragør pergi ke Colthas adalah langkah yang cukup mengejutkan. Dibandingkan serangan oleh tentara-tentaranya, serangan Qyrsi yang paling berdampak, bahkan masih bisa dirasakan hingga saat ini.  



"Mereka tengah menyusun rencana untuk mengambil Putri Verity dari sisi Raja Alastair," ucap tentaranya lagi. Kali ini langkah Tybalt bisa diterka dibanding sebelumnya.  



"Verity selalu menjadi pion terkuat. Di mana pun ia berada, di Thaurin, Selencia, atau bahkan Austmarr." Dragør, meski kerajaan itu telah hancur, ternyata masih bisa mengancam lima kerajaan. "Terutama karena darah Selencia dan Dragør yang berada di dalam dirinya. Dua kerajaan sekaligus. Bila Amaranta mati, siapa pun yang bersama Verity, bisa menguasai dua per lima kerajaan. Alastair, bajingan itu bahkan bisa menguasai lebih dari setengah Inkarnate. Tidak bisa dibiarkan!"  



Pangeran Alexander memejamkan mata, berpikir sejenak, lalu kembali melihat tangannya yang perlahan menghitam. "Lima kerajaan lebih berhati-hati sekarang."  



"Mereka juga tengah mempertimbangkan langkah selanjutnya, Yang Mulia."  



"Bersiap untuk perang, itulah yang harus kita lakukan." Pangeran Alexander memerintahkan tentara-tentaranya kembali ke Thaurin. Ia tidak seperti



Tybalt yang menyiapkan semuanya dengan terburu. Bila membiarkan Verity berada di Austmarr adalah langkah terbaik, maka ia akan membiarkan hingga waktu yang tepat tentu saja.                              



XXVII HEAVEN AND HELL  



BAGAIMANA MUNGKIN SESEORANG bisa membuatnya merasakan semua dalam waktu yang bersamaan? Raja Alastair merapatkan tubuh keduanya, merasakan lekuk tubuh Verity ketika ia mencium bibirnya perlahan. Apa yang terjadi kepada jantungnya sekarang membuatnya panik, panik karena ia sendiri tidak bisa memprediksi apa yang harus dilakukan kepada wanita itu.  



"Yang Mulia ...." telinganya. Semuanya terasa buram dan begitu cepat, ia telah Desahan Verity seperti musik di terjebak dalam hipnotis aneh yang wanita itu lakukan.  



Raja Alastair kembali tersadar ketika Verity menyentuh dadanya saat pakaian mereka telah lepas entah ke mana, dan kini Verity berada di bawahnya.  



Raja Alastair menatap mata violet Verity, memperhatikan wajahnya yang memerah. Ia menyurukkan kepala ke leher wanita itu, menyesap kulitnya yang kini lebih sensitif, lalu berbisik, "Siapa kau sebenarnya?"  



Verity berusaha menahan suara memalukan apa pun di tenggorokan, terutama saat pria itu kembali mencium leher, kemudian turun ke pundak, payudara, hingga perutnya. Membuatnya merasakan gelenyar aneh untuk yang ke sekian.  



"Yang Mulia ...." Cicitan Verity membuat Raja Alastair mengangkat kepala dan menatap kedua bola mata violetnya. "Aku... Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."  



Verity menggigit bibirnya gelisah. Raja Alastair satu satunya pria yang hadir di hidupnya dan melakukan hal di luar dugaan.  



Raja Alastair kembali menunduk, mengusap bibir Verity yang ranum. "Aku juga tidak tahu," gumamnya.  



"Anda Anda tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya?" Verity bertanya ragu. Biasanya seorang raja memiliki lebih dari seorang gundik sebelum ia menikah secara resmi.  



"Tidak." Raja Alastair mengenal beberapa wanita bangsawan yang terangterangan menyodorkan diri ke hadapannya, tetapi hingga detik ia menikah dengan Verity, ia tidak pernah merasa perlu memperlakukan para wanita lebih dari seharusnya. Lagi pula sebagai seorang raja, ia tidak boleh



menyebarkan benihnya sembarangan. Seorang anak yang dilahirkan tanpa ikatan, jelas akan membawa petaka.  



"Tapi aku...." "Verity membuka mata lebar-lebar dan menyadari kalau tubuhnya benar-benar rapat dengan Raja Alastair. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di benak membuat Raja Alastair menatapnya lebih tajam, menunggu kelanjutan perkataannya yang tergantung.  



"Tapi apa, Clementine?" Raja Alastair bisa melihat keraguan Verity, lalu menahan tangan wanita itu untuk merasakan detak jantungnya yang begitu cepat. Rasanya masih menyakitkan, tetapi kini ia bisa menahannya. "Apa yang kau rasakan?"  



Tidak samar seperti sebelumnya, detak jantung Raja Alastair terasa begitu kuat. "Kuat." Verity bergumam ragu. Raja Alastair menggeram pelan ketika melihat keraguan dan ketakutan di mata Verity. "Cium aku!"  



"Apa?" Verity membelalakkan mata.  



"Kalau kau memang ingin melakukannya. Cium aku, Clementine." Raja Alastair tiba-tiba membalik posisi mereka, membuat Verity pindah ke atasnya. Ia menunggu hingga Verity menyentuh lebih dulu.  



Verity melihat Raja Alastair, menelan ludah gelisah, lalu mengusap dada pria itu ragu. Ia perlahan memberanikan diri untuk mencium lebih dulu, sementara Raja Alastair diam, menunggunya melakukan sesuatu yang diinginkan.  



Verity mencium bibir Raja Alastair sekilas dan melihat reaksi pria itu. Matanya mengerjap beberapa kali ketika Raja Alastair tampak seperti menunggunya. Kali ini ia lebih memberanikan diri, mencium bibir raja lebih lama, berusaha melumat pelan, lalu mengalihkan ciumannya ke pipi hingga



telinga pria itu. Raja Alastair mengerang pelan ketika Verity mencium lehernya, menjilat dengan kikuk karena ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan selain meniru perlakuan raja terhadapnya.  



"Apakah ...." Verity menghentikan gerakannya tiba-tiba saat Raja Alastair mengerang pelan.  



"Lanjutkan!" Raja Alastair memejamkan mata, merasakan tangan mungil Verity gemetar saat menyentuh kulitnya. Bibir wanita itu hanya memberikan ciuman seringan bulu di pundak dan dada, tetapi dapat memberikan efek luar biasa untuknya.  



"Ah!" Verity tersentak kaget ketika lagi-lagi Raja Alastair mengubah posisi mereka. Pria itu kembali berada di atasnya.  



Mata Raja Alastair menggelap. "Aku akan melakukannya." Ia tidak lagi menahan tangan Verity. Kini tangan kanannya menangkup payudara wanita itu, lalu menatap mata violetnya. Melihat untuk yang terakhir kali apakah wanita itu akan mendorong atau menariknya.  



"Aku akan melakukannya, Clementine," tegasnya.  



Verity mengangguk pasrah, membiarkan pria itu mengambil alih semuanya. Ia hanya bisa memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam ketika merasakan sengatan menyakitkan di inti dirinya. Tanpa disadari, air matanya meleleh menahan rasa sakit yang teramat sangat saat Raja Alastair bergerak, membuat inti dirinya terasa begitu penuh dan ngilu.  



Jenny tidak mengatakan banyak hal selain semuanya akan baik-baik saja bila suaminya lebih bersabar, tetapi Verity tidak merasa lebih baik sedikit pun bahkan saat Raja Alastair melepaskan penyatuan mereka dan berbaring di sebelahnya. la memilih untuk mengumpulkan selimut,



menutupi tubuh yang telanjang, lalu bergelung sejauh mungkin dari Raja Alastair.  



"Ada apa?" Raja Alastair yang melihat tingkah aneh Verity segera membalik tubuh wanita itu dan menghadapkan. ke arahnya. Ia melihat air mata yang membasahi pipi wanita itu.  



"Rasanya sakit." Suara Verity terdengar serak dan seperti bisikan samar. Sekujur tubuhnya terasa sakit.  



Raja Alastair tidak mengatakan apa pun lagi. Ia hanya menarik tubuh Verity mendekat dan memeluknya.  



"Yang Mulia?" ucap Verity setelah beberapa saat hening. mendongak, melihat Raja Alastair yang telah memejamkan mata lalu berusaha melonggarkan pelukan pria itu.  



"Tidurlah." Raja Alastair bergumam.  



Verity mengembuskan napas pelan, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya bila mereka telah melakukan sejauh ini. Verity mengusap air mata yang kembali turun, ia tidak tahu kalau kebebasan butuh pengorbanan besar. Perlahan rasa kantuk menyelimuti, kali ini ia bisa tidur tanpa gangguan, ditemani suara degup jantung Raja Alastair yang berdetak kencang.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Richard Blaxton berjalan hati-hati melewati genangan air dan lantai berlumut yang licin. Ia menarik napas dalam-dalam, tak menghiraukan aroma apek penjara bawah tanah Austmarr, lalu berhenti di depan sebuah pintu besi tahanan nomor satu. Penjara bawah tanah Austmarr sama



seperti yang lain: lembap, berbau tak sedap, juga sunyi senyap, hingga suara apa pun dapat terdengar begitu jelas, bergema ke seluruh penjuru ruangan. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari obor api yang ditancapkan di dinding.  



Richard Blaxton mengetuk pintu besi beberapa kali, hingga seorang sipir penjara membuka jendela kecil berbentuk persegi panjang yang berada di pintu. Tidak perlu waktu lama bagi sipir itu untuk membukakan pintu, mempersilakannya masuk tanpa diikuti seorang prajurit yang berjaga.  



aroma anyir darah yang tercium begitu jelas, tanda kalau pria itu  



"Bagaimana keadaannya?" Richard Blaxton mengabaikan telah menerima puluhan siksaan sebelum masuk ke ruangan.  



"Sadar, Tuan." Richard kemudian mengusirnya dengan gerakan tangan. Blaxton mengangguk. Ia memberikan beberapa keping koin perak kepada sipir, kemudian mengusirnya dengan gerakan tangan.  



Richard Blaxton hanya perlu melangkah beberapa kali untuk melihat secara langsung wajah si pria. "Apakah itu benar?" Ia menunduk, sedikit jijik ketika pakaian yang ia kenakan tak sengaja menyentuh luka menganga pria itu.  



"Aku mengatakan yang sebenarnya." Pria itu menggerak gerakkan tangan dan kakinya yang terikat bola baja. "Mereka bilang Ratu Clementine berasal dari Dragør. Dia adalah Putri Verity, anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand."  



Richard Blaxton mengangguk-angguk paham. Mata-mata ia kirimkan juga mengatakan hal sama. Pria di hadapannya yang ini hanya seorang tidak beruntung, dikorbankan tuannya setelah para prajurit mengejar mereka



ketika berusaha melewati Austmarr tanpa izin. Semenjak beberapa kejadian menimpa Ratu Clementine, keamanan dan penjagaan di Austmarr memang diperketat. Hukuman bunuh di tempat juga diberlakukan untuk orang-orang yang bersikap mencurigakan. Pria ini berhasil selamat dari maut ketika melontarkan nama Ratu Clementine di hadapan para prajurit.  



"Siapa pria yang bersamamu?"  



"Dia ... dia ... Pria itu menjilat bibirnya yang kering dengan gelisah. "Dia salah satu bangsawan di Colthas."  



Richard Blaxton berdecak tidak puas. "Siapa yang ingin kalian temui?"  



"Tolong aku hanya mengantar tuanku. Dia ingin bertemu seseorang di Thaurin." Pria itu terisak. Rasa sakit dari luka membuatnya tidak lagi peduli apa yang terjadi kepada tuannya bila ia mengatakan semuanya sekarang.  



"Thaurin?" Richard Blaxton mengembuskan napas panjang. Apakah Pangeran Alexander juga terlibat dengan konspirasi besar ini?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair melihat Verity yang masih tertidur, sebagian tubuhnya terlihat saat bergerak pelan, membuat selimutnya turun. Raja Alastair memperbaikinya, lalu melangkah keluar dari kamar. Ia tengah mengusap rambut yang separuh basah ketika mendapati Richard Blaxton telah menunggu di depan kamar.  



"Apa yang kau lakukan sepagi ini di depan kamarku?" Raja Alastair mengernyit dan segera menutup pintu kamar ketika melihat tatapan penasaran Richard Blaxton kepadanya.  



Richard Blaxton berdeham sekilas sebelum kembali menatap Raja Alastair yang menunggunya berbicara. "Ada hal penting."  



Raja Alastair mengangguk mengerti, lalu melangkah sejauh mungkin dari kamarnya. "Kau tahu bukan, bila kau tidak boleh mengatakan apa pun di hadapan Clementine?"  



"Yang Mulia," Richard mengusap telapak tangannya gelisah, "aku sedang mencari tahu apa yang Dragør dan Colthas rencanakan ketika prajurit yang menjaga perbatasan mendapati. .. "  



Raja Alastair mengembuskan napas gusar. "Prajurit perbatasan menemukan kepala yang terpisah dari tubuhnya di perbatasan Austmarr dan Thaurin," sambungnya.  



Jenderal Irvin bahkan berani mendatanginya di subuh buta untuk melaporkan temuan mencengangkan mereka. Apa yang Richard Blaxton ingin katakan lebih terlambat beberapa jam dari Jenderal Irvin.  



"A-anda sudah tahu?" Richard berdehem sekali lagi. "Saya masih menyelidiki siapa yang mereka temui, tetapi ada rumor yang beredar di Colthas, Yang Mulia,"  



"Rumor?" Raja Alastair menatap lekat ketika Richard Blaxton berkali-kali memperbaiki posisi berdirinya hanya karena terlalu gugup.  



"Salah satu dari mereka berhasil ditangkap oleh prajurit perbatasan, Yang Mulia. Sebuah rumor beredar kalau Ratu Clementine...." Richard menatap Alastair takut, "Ratu Clementine sebenarnya adalah Putri Verity, anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Langkah sepatu bot Raja Alastair terdengar bergema ketika melewati lorong penjara bawah tanah, sementara para sipir penjara memberikan salam hormat kepadanya.  



Raja Alastair tiba di salah satu penjara. "Buka pintunya!" Suaranya bahkan terdengar lebih dingin daripada suhu penjara bawah tanah.  



Pintu besi itu terbuka lebar, memperlihatkan seorang sipir penjara yang gemetar ketakutan melihatnya. "Yang Mulia...  



Raja Alastair mengabaikan sipir penjara itu, lalu melihat sesosok mayat pria yang terikat di dinding dengan dua bola baja di kedua kakinya.  



"Dia mati tadi pagi, Yang Mulia," kata si sipir.  



Raja Alastair bisa mencium aroma anyir darah dan bau busuk mayat, tanda kalau kematian pria itu mungkin lebih lama daripada laporan yang ia terima. "Kemarilah." la tangan, memanggil si sipir untuk mendekat. menggerakkan  



"Yang Mulia." Sipir itu menunduk ketakutan.  



"Sialan!" Raja Alastair meninju perut sipir itu, membuatnya jatuh terduduk menahan sakit dan mual yang tiba-tiba menyeruak.  



Raja Alastair bisa melihat luka menganga di mayat pria itu, juga luka-luka baru yang mungkin diberikan si sipir atas dasar kepuasan pribadi. Lagi-lagi ia kehilangan kunci untuk membuka tabir rahasia istrinya.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Verity masih terlelap di alam mimpi ketika merasakan guncangan di lengan dan bahunya. Ia pun mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mendapati tubuhnya masih polos selain tertutupi selimut.  



"Baguslah kau sudah bangun, Clementine." Verity mengerutkan kening dan menyadari Raja Alastair tampak marah, entah untuk apa. Secara refleks ia pun segera duduk, mengabaikan rasa sakit di selangkangan atau bagian tubuh yang lain.  



"Yang Mulia, kenapa Anda ...." Verity mengumpulkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos saat mata Raja Alastair menatap tubuhnya terang-terangan.  



"Haruskah aku memanggilmu Clementine? Atau nama aslimu?" Raja Alastair tidak berbasa-basi lagi.  



Wajah Verity memucat, kepalanya dipenuhi beragam tanya dalam waktu singkat.  



"Kau memang mencurigakan sejak pertama kali menginjakkan kakimu di istana ini." Raja Alastair tiba-tiba naikke kasur, membuat Verity semakin ketakutan. "Aku bahkan memperkirakan berbagai hal, Clementine. Aku sempat mengira kalau kau sebenarnya adalah seorang penipu atau wanita bayaran. Kau bahkan sempat menipuku dengan wajah polosmu, Clementine." la mengusap pipi Verity lembut dengan rasa sayang yang kini nyaris seperti cemoohan.  



"Yang Mulia!" Verity terpekik pelan ketika Raja Alastair tiba-tiba mencekik lehernya, membuatnya teringat kejadian di perpustakaan dulu.  



"Apa kau sudah puas mempermainkanku, Verity?" Verity terbelalak mendengar Raja Alastair menyebut nama aslinya. Sementara mata Raja



Alastair semakin menggelap ketika menyadari kebenaran kalau sosok di hadapannya ini memang seorang Verity Dragør.                                    



XXVIII THE BOND  



PANGERAN ALEXANDER MEMBIARKAN tabib menyentuh tangannya, membolak-balikkan beberapa kali, dan menghela napas panjang. "Anda harus meminum obat yang saya berikan, Yang Mulia."  



Pangeran Alexander kembali menyembunyikan tangan kanannya yang membiru dan terus bergetar hebat sejak tadi. "Berikan saja obat yang bisa membuatnya berhenti bergetar seperti ini," katanya.  



Sang tabib hanya mengangguk, lalu sekumpulan obat yang bisa mengurangi efek kejang otot hemlock. mencari-cari "Aku tidak bisa memberikan saran apa pun kepada Anda, Yang Mulia. Anda terlalu keras kepala."  



Pangeran Alexander tersenyum tipis mendengar penuturan Norman, tabib yang lebih dekat dengannya daripada Raja Arthur. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas jasamu selama ini, Norman?"  



Norman kembali duduk di hadapan Pangeran Alexander sembari membawa peralatan untuk menumbuk obat-obatan. "Aku hanya berharap Anda mau meminum obat penawarnya, Yang Mulia. Keracunan hemlock akan membawa efek yang buruk untuk kesehatan Anda ke depannya."  



Pangeran Alexander hanya terdiam, menyadari kata-kata Norman ada benarnya. Namun, ia masih tak berniat untuk menyentuh obat penawar yang Norman maksud. Tangannya seperti itu adalah hukuman setimpal karena ia telah menyuapkan racun mematikam kepada Verity selama bertahun tahun.  



Norman melihat ekspresi wajah Pangeran Alexander dan lagi-lagi menghela napas panjang. "Aku tahu Anda tidak akan melakukannya."  



"Aku yang membuatnya dan menyuapkan ke mulut gadis itu, Norman." Selama bertahun-tahun, Pangeran Alexander yang merincikan racun untuk Verity. Dosisnya kecil, tetapi cukup menyiksa.  



Racun yang berada di makanan Verity saat di Austmarr merupakan salah satu kecerobohannya karena tidak menyangka Ratu Amaranta juga berniat memberikan peringatan untuk wanita itu. Racun itu bukan buatannya, sehingga ia sendiri tidak tahu kandungan apa di dalamnya. Hemlock hanya dikembangkan di Thaurin, bila Norman tidak tahu siapa yang membuat racun itu, maka sepertinya ayahnya tahu.



 



"Apa kau yang membuatnya, Norman?" Pertanyaan Pangeran Alexander memecah hening.  



Norman terdiam, tangannya berhenti menumbuk obat obatan. Kedua matanya yang tua menatap Pangeran Alexander Kebijaksanaan dan pengalaman yang didapatkan setelah bertahun-tahun, membuatnya sadar kalau Pangeran Alexander tidak pernah bermain-main dengan perkataannya. "Anda tahu kalau tanganku hanya ditujukan untuk membuat obat, Yang Mulia," jawabnya.  



"Racun dan penawar. Selain ayahku, hanya kau membuatnya, Norman." bisa yang  



"Anda tahu kalau saya tidak punya alasan untuk menyakiti Putri Clementine." Jawaban Norman merupakan bukti terakhir yang menguatkan kalau Raja Arthur adalah perancang racun untuk Verity di Austmarr.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair tidak bisa mengerti perasaannya yang tiba-tiba tumbuh dan berkembang karena kedatangan Clementine, atau Verity. Ia bahkan tidak bisa melakukan apa-apa ketika melihat mata Verity yang begitu ketakutan. Bagaimana mungkin keadaan mereka berubah seratus delapan puluh derajat setelah kejadian semalam?  



Raja Alastair menarik napas gusar, lalu menarik tangannya menjauh dari Verity. "Kenapa kau melakukannya?" Ia melihat mata violet Verity sekali lagi dan menyadari betapa pucatnya wanita itu.  



"Aku hanya menginginkan kebebasan," cicit Verity.  



"Tentu saja." Raja Alastair mendengkus kesal. Entah wanita itu terlalu cerdik atau naif, tetapi tentu saja ia tidak akan melepaskan dengan mudah. "Mulai detik ini kau adalah tahanan di Austmarr, Verity!"  



"Yang Mulia!"  



Raja Alastair mengabaikan Verity dan keluar dari kamar. la tidak percaya kepada diri sendiri yang bisa menumbuhkan perasaan begitu dalam kepada wanita itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Richard Blaxton melihat Raja Alastair Austmarr. Raja muda itu tengah menundukkan kepala, menatap berlembar-lembar laporan yang diberikan para menteri. Ia sadar pilihannya dengan memberitahu jati diri Verity tidak akan diterima baik oleh sang raja, tetapi ini langkah terbaik untuk Austmarr. Bila Austmarr tertinggal dari kerajaan-kerajaan lain, maka bisa saja kalah ketika perang tiba-tiba datang seperti dua dekade lalu.  



"Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan kepada Richard Blaxton terdiam sesaat. Ia sendiri bingung, memanggil putri Kerajaan Dragør itu sebagai Verity atau Clementine.  



"Wanita itu?" Raja Alastair mengangkat kepala dan menatap Richard Blaxton. Tatapannya dingin tidak terbaca seperti saat sebelum wanita itu masuk dan mengacak-acak hatnya, membuat Richard Blaxton merasa tidak nyaman karena kembali berhadapan dengan raja tanpa hati.  



"Apa Anda akan-"  



"Richard, apa kau ingat apa yang telah Mariella lakukan kepadaku?" Raja Alastair berkata lebih dulu.



 



"Mengutuk hati dan jantung Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton menjawab singkat, menegakkan punggung, berusaha bersikap lebih tegap.  



"Apa kau tahu berapa banyak pembunuh bayaran yang berhasil menusuk jantungku, tetapi tidak berhasil membunuhku?" Kali ini Raja Alastair tidak membiarkan Richard Blaxton menjawab. "Cukup banyak, Richard! Mereka semua pada akhirnya mati di tanganku."  



"Apa Anda bermaksud membunuh Ratu Clementine?" Richard Blaxton terkesiap, "Anda tahu bukan kalau Selencia dan Thaurin berada di belakang Ratu Clementine, mereka akan...." "  



"Mereka tidak peduli," kata Alastair acuk tak acuh. "Aku yakin Amaranta tidak tahu kutukanku yang sebenarnya."  



Richard Blaxton mengangguk. Kutukan Ratu Mariella memang hanya diketahui segelintir orang. Raja Alastair tidak mati meskipun banyak senjata yang berhasil menusuk jantungnya, sebagai balasan ia akan tetap merasakan ribuan kematian, terutama bila senjatanya berasal dari Dragør. Tanah Dragør memiliki kekayaan alam terbesar juga pembuat senjata terhebat pada masanya, bahkan hingga detik ini, sebagian besar bahan senjata berasal dari tambang-tambang di Dragør. Ratu Amaranta mungkin telah mendengar desas desus kalau Raja Alastair hanya bisa dibunuh oleh senjata yang berasal dari Dragør, lalu mengirim Verity sebagai senjatanya.  



"Apa Anda akan tetap membunuhnya? Saya yakin Ratu Clementine, Putri Verity, atau siapa pun ia, tidak mengetahui kutukan Anda, Yang Mulia," Richard Blaxton berujar cepat, "Ratu Amaranta mungkin tidak akan peduli, tapi ini akan menjadi alasan baginya untuk memulai perang kembali. Seorang raja yang membunuh ratunya sendiri tidak pantas menjadi pemimpin lima kerajaan." Ia telah bersiap menerima hukuman apa pun karena telah berani bersikap kurang ajar kepada Raja Alastair.



 



"Kau terlihat cukup peduli kepada wanita itu." Kata-kata Raja Alastair terdengar tajam, membuat Richard Blaxton menelan ludahnya susah payah.  



"Kesetiaanku berada di tangan Anda, Yang Mulia. Anda Itahu sendiri kalau sayalah yang memberitahu jati diri Ratu Clementine kepada Anda." Richard Blaxton membela diri.  



"Lalu menurutmu apa yang harus kulakukan kepada wanita itu, Richard?"  



"Kehadiran Putri Verity di Austmarr bisa bersifat seperti kutukan Ratu Mariella. Bagaikan pedang bermata dua, ia bisa saja membunuh atau bahkan menjadi penawar untuk kutukan Anda, Yang Mulia."  



Raja Alastair mempertimbangkan perkataan Richard Blaxton dengan kening berkerut dalam. "Dia akan tetap berada di posisinya saat ini, seorang ratu tanpa kekuasaan. Dia akan menjadi tahanan Kerajaan Austmarr."  



Richard Blaxton hanya mengangguk. Raja Alastair akan kembali ke rencana awalnya, menjadikan wanita itu sebagai tameng sekaligus tahanan kerajaan. Darah Dragør dan Selencia yang berada di dalam tubuh Verity, membuatnya jauh lebih berharga dibanding anggota kerajaan mana pun. Membunuh Verity hanya akan membuat Raja berhasil menguasai Dragør saja, tetapi bila membunuh Ratu Amaranta sementara Verity tetap di sisinya, ia dapat menguasai Dragør dan Selencia sekaligus.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity menggerakkan tubuh di kasur dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang Raja Alastair rencanakan, bahkan setelah para pelayan masuk, membantunya mandi, dan mengganti sepre yang bernoda darah, tidak ada satu pun pengawal datang untul menyeretnya masuk penjara.



 



Verity mencoba untuk tidur, tetapi perasaan mencekam menghantui, membuatnya terus merasa gelisah, atau ia berhasil tertidur, mimpi aneh terus datang. Seperti ketika ia berada di tempat antah-berantah dan disiksa terus-menerus dengan racun. Rasa lelah mendera, membuatnya kembali tertidur, dan mengistirahatkan pikiran yang terus berkecamuk.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Sedikit lagi, Verity." Verity merasakan telapak tangan yang menghapus jejak air mata di pipinya.  



"Aku tidak mau. Kumohon, Al. Kumohon." Verity menunduk sembari menjauhkan tangan yang menyodorkan botol kecil kepadanya. "Baiklah." Alexander menarik tangannya, lalu melempar botol kecil hingga jatuh dan pecah berantakan.  



"Apakah kau akan baik-baik saja?" Alexander hanya tersenyum mendengar perkataan Verity.  



"Aku yakin ayahku tidak akan marah. Kau ingin melihat kupu kupu di taman?" Alexander mengalihkan pembicaraan dan membawa Verity ke taman, tempat favorit gadis itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa yang terjadi?" Verity menatap Alexander dengan mata terbelalak. Beberapa sudut wajah pemuda itu lebam, tetapi ia masih bisa tersenyum.  



"Aku terjatuh," kilah Alexander. "Apa kau mau ke taman lagi?"  



"Apa mereka menghukummu?" Perasaan bersalah menghunjam hati Verity. "Mereka menghukummu karena aku tidak meminumnya bukan?"  



"Aku terjatuh." Alexander mengulangi kebohongannya.  



"Al?" Verity menyentuh pipi Alexander, tetapi pemuda itu lebih memilih memalingkan wajah, tidak membiarkan disentuhnya, "Alexander!"  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Lagi-lagi Verity terbangun dengan perasaan gelisah. Ia tidak dapat melupakan mimpinya tadi. Ia berada di Thaurin dan mengenal Pangeran Alexander. Pangeran itu teman baiknya semasa kecil, apa maksudnya?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Norman menatap Pangeran Alexander yang kini termenung di hadapannya. "Apa Anda masih membutuhkan hemlock?"  



"Hemlock bisa menjadi racun atau obat." Alexander terdiam sesaat. "Apa menurutmu ingatannya bisa kembali?"  



"Tentu saja." Norman mengangguk, lalu melanjutkan, "Metode yang diberikan ayah Anda kepada Putri Clementine akan luntur bila tidak dilakukan berulang-ulang."  



Pangeran Alexander kembali melihat tangannya dengan perasaan jijik. Dia yang membuat racun dan menyuapkannya kepada Verity. Dia akan disiksa apabila Verity tidak menurut. Raja Arthur tahu ikatan keduanya yang saling melindungi. Saat dipaksa untuk membuat racun itu, dengan sengaja dia mengurangi dosis hemlock, dan perlahan-lahan membentuk kekebalan tubuh Verity terhadap racun hemlock.



 



"Selama beberapa bulan terakhir dia belum menerima racun apa pun." Pangeran Alexander bergumam.  



"Maka memorinya perlahan-lahan akan kembali, Yang Mulia," sambung Norman.    



"Apa yang terjadi bila memorinya kembali?" Pangeran Alexander bertanya kepada tabib yang merupakan gurunya selama ini, mengajarinya berbagai racun dan obat.  



"Dia akan mengingat semuanya tentu saja, Yang Mulia. Hal hal baik dan buruk yang telah Anda lakukan kepadanya, bahkan masa lalunya sebelum datang ke Thaurin." Norman menjawab dengan tenang.  



"Aku telah membunuh banyak orang, Norman," Pangeran Alexander bergumam, "beberapa di antaranya karena ayahku memberi perintah untuk membunuh mereka. Aku bahkan melakukannya tanpa mengedipkan mata saat menebas kepala mereka." Ia melihat tangan kanan yang getarannya mereda karena telah meminum obat racikan Norman.  



"Beberapa kubunuh untuk kepuasanku sendiri." Kali ini Pangeran Alexander memperlihatkan tangan kirinya yang bersih tanpa luka. "Sebagian lagi kubunuh untuk melindungi wanita itu. Saat ia menginjak Austmarr, perintah pertamaku adalah membunuh dua orang yang mengetahui jati dirinya. Matthias dan Maisie, dua pelayan Selencia itu mati dengan cara mengenaskan."  



"Apa maksud Anda mengatakan ini kepada saya, Yang Mulia?" Norman mengerutkan kening.  



"Aku mengenal ayahku, Norman. Meskipun dia bisa membuat racun yang sama, dia tidak akan merendahkan diri sendiri dan mengotori kedua tangannya." Pangeran Alexander menampilkan reaksi misterius.  



"Yang Mulia?" Norman melihat seluruh penjuru ruang kerjanya yang kecil.  



"Aku tahu tatapan matamu ketika melihat tangan kananku, Norman, Kau yang membuatnya bukan?" Pangeran Alexander menarik pedangnya.  



"Ini karena perintah ayah Anda, Yang Mulia!" Ketenangan yang sedari melingkupi, surut seketika.  



"Aku sudah bilang bukan? Aku membunuh sebagian karena perintah ayahku, sebagian lagi untuk kepuasaanku sendiri." Tidak butuh waktu lama bagi Pangeran Alexander untuk membunuh pria tua itu. Norman tidak sempat melawan dan mati saat pedang sang pangeran menusuk lehernya.  



"Dan yang ini untuk kepuasaanku sendiri," geram Pangeran Alexander.            



XXIX COUP DE GRÂCE  



HADRIAN COLTHAS MELIHAT Raja Zacharias, lalu memanggilnya. "Zachary!" Sembari tertatih mendekat.  



"Apa yang kau lakukan?" Raja Zacharias menundukkan kepala, kedua tangannya mencengkeram erat rambut hitam yang mulai memanjang. "Kenapa kau masih terbangun?"  



"Apa kau sedang berusaha menghancurkan mereka, atau kau sedang berusaha menghancurkan dirimu sendiri?" Hadrian melihat wajah lelah juga putus asa Raja Zacharias. "Kupikir kau benar-benar semakin mirip ayah, tapi setelah melihat kelemahanmu malam ini, kurasa kau tidak seperti raja sebelumnya."  



"Zacharias II tidak pernah segan-segan membunuh saudaranya sendiri, Hadrian." Raja Zacharias mendengkus keras, melihat kaki adiknya yang buntung, lalu bangkit berdiri. "Untuk saat ini, bila aku mati, maka kaulah yang akan menjadi penggantiku."  



"Bagaimana Tybalt? Apa dia melakukan sesuatu?" Hadrian berusaha mengikuti kakaknya yang sudah berjalan lebih dahulu mendekati jendela.  



"Bukan Tybalt. Aku tidak khawatir dengan pria itu." Raja Zacharias mengetuk-ngetuk permukaan jendela di hadapannya. "Aku mencurigai salah satu menteriku yang bersikap aneh semenjak kedatangan Tybalt."  



"Bunuh dia!" Hadrian mengucapkannya sambil lalu. Siapa pun yang mencurigakan memang harus dimusnahkan sebelum salah satu pihak menjadi korban.  



"Seandainya bisa semudah itu." Lagi-lagi Raja Zacharias mendengkus keras. "Salah satu mata-mataku membuntutinya yang pergi menuju perbatasan."  



"Apa dia mendapatkan sesuatu?"  



"Dia jelas tidak menemui Alastair. Salah satu dari mereka tertangkap dan mati di Austmarr. Alastair memenggal kepalanya dan menancapkannya di tombak dekat perbatasan Colthas. Pengkhianat itu juga mati." Raja Zacharias berdecak tidak puas.  



"Apa Alastair yang membunuhnya?" Hadrian terlihat penasaran.  



"Tidak. Dia telah ditemukan mati dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya di perbatasan Austmarr dan Thaurin jawab Raja Zacharias.  



Hadrian terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Bila kabar Clementine adalah Putri Verity Dragør telah sampai ke telinga Alastair, maka kita hanya bisa berharap pria itu tidak langsung membunuhnya."  



"Mungkin dia tidak akan langsung membunuhnya. Dia akan memenjarakannya hingga Ratu Amaranta mati." Raja Zacharias menerkanerka.  



"Kita harus melakukan sesuatu sebelum itu terjadi," ucap Hadrian cepat, terlihat resah. "Mungkin Tybalt benar, Verity tidak bisa berlama-lama di Austmarr."  



Tidak." Raja Zacharias menatap sekilas kaki adiknya, ada sedikit rasa mengganjal dan mengganggu hatiya. "Kita harus menemukan Ratu Mariella."  



"Mariella? Tidak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya sekarang," sahut Hadrian.  



"Tentu saja ada. Ada seseorang yang membantunya keluar, sementara Verity tinggal bersama Marja." Raja Zacharias telah membaca lembarlembar perkamen berisi informasi terakhir Dragor yang telah dikumpulkan



ayahnya selama bertahun tahun. "Mariella adalah orang yang harus kita waspadai nanti."  



"Nanti? Bagaimana dengan saat ini?" "Alexander Thaurin." Raja Zacharias mengetuk-ngetukkan telunjuknya di kaca jendela yang sedikit buram.  



Tidak lama kemudian, datang salah satu dari sepuluh prajurit elite Colthas. Emblem Colthas yang berwarna perak keabuan terlihat mencolok di pakaian serba hitamnya.  



"Kita membutuhkan Dragør, keberadaannya akan mengganggu rencanaku," kata Raja Zacharias.  



"Kau ingin membunuh penerus Thaurin?" Colthas dan Thaurin tidak berdekatan, membunuh Pangeran Alexander tidak akan membawa keuntungan apa pun. Terkecuali bila Colthas menyingkirkan semua kerajaan yang tersisa seperti usaha Selencia selama ini.  



"Aku ingin mencari kelemahannya, Hadrian."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity menekuk kaki dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Selain masih terkurung di kamar, Raja Alastair tidak membawanya ke penjara membiarkannya kelaparan. Para pelayan masih datang silih berganti, membantunya bawah tanah atau mengganti baju, membawakan makanan, meski kini mereka lebih diam daripada biasanya, bahkan langsung keluar begitu selesai mengerjakan tugas.  



Mimpi tentang Pangeran Alexander dan Thaurin masih menghantui. Verity berusaha mengingat kembali potongan memori di Thaurin yang hilang, tetapi sia-sia saja. Ia hanya ingat wajah Pangeran Alexander yang babak



belur dan botol keal berisi cairan aneh. Verity mengembuskan napas, menyembunyikan wajah, dan berusaha menghapus setiap perasaan gelisah yang terus datang.  



Verity baru sesaat menutup mata ketika seseorang menyentuh tangannya. "Al?" Ia terkesiap kaget melihat Raja Alastair yang menatap tajam. "Yang Mulia?"  



"Al? Apa itu untukku atau yang lain?" Verity memejamkan mata kuat-kuat ketika tangan Raja Alastair hendak menyentuh wajahnya. Bayangan tamparan Ratu Amaranta atau cekikan pria itu membuatnya secara refleks mempersiapkan diri. "Apa kau mengira aku akan memukulmu?"  



Verity membuka mata dan menatap Raja Alastair. Tangan pria itu masih terangkat meski tidak menyentuh kulitnya sedikit pun. "Apa Anda akan memukulku?"  



"Tidak." Raja Alastair mengusap pipi dan menghapus air mata Verity yang mulai menetes. Wanita itu gemetar ketakutan padahal ia tidak akan melakukan sesuatu.  



"Apa kau takut kepadaku?" Verity menganggukkan kepalanya ragu-ragu. "Bagus."  



Mata Verity terbelalak kaget ketika Raja Alastair menarik tengkuk dan mencium bibirnya gusar, seperti tengah menumpahkan semua emosi. Pria itu tidak mencium lembut, lumatan bibirnya menyiksa, membuat Verity sesak napas dengan perasaan yang tidak dapat dimengerti.  



"Kenapa Anda melakukannya?" Verity bertanya ketika Raja Alastair melepaskan pagutan.  



"Apa ini yang kau rencanakan?" Raja Alastair mengusap bibirnya yang memerah.  



"Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?" Verity berusaha menahan diri untuk tidak menyingkirkan jari sang raja yang kini bermain-main di bibirnya.  



"Apa kau berencana untuk menggodaku lalu membunuhku nanti?" Verity mengerutkan kening. Raja Alastair memang benar, tetapi semua itu karena perintah Ratu Amaranta yang menginginkan anak keduanya. "Kau menang, Verity."  



"Apa maksud Anda, Yang Mulia?" Tanpa sadar, Verity menjengit ketika Raja Alastair mengucapkan nama aslinya.  



"Kau menang." Raja Alastair membisikkan kalimatnya ketika kembali mencium yang dibalas kikuk oleh Verity. "Aku akan membiarkanmu menjadi ratu tanpa kekuasaan di Austmarr."  



Raja Alastair menarik tali yang mengikat korset Verity, lalu membuka pakaiannya, meninggalkan kecupan di setiap sisi yang la sentuh sebelumnya. Verity tidak menolak atau melawan, hanya terdiam, berusaha menerima, dan menikmati setiap sentuhan.  



Tubuh mereka terbaring kaku, lagi-lagi tanpa sehelai pakaian selain selimut yang menutupi. Perasaan gelisah itu kembali datang, kali ini seperti mencabik-cabik hati. Verity menarik selimut sembari berusaha memejamkan mata ketika Raja Alastair memberikan kecupan singkat di tengkuk dan bahunya.  



"Dragør. Verity Dragør." Nada getir dan ejekan terdengar lagi dari bisikan singkat Raja Alastair. "Suatu hari tanganmu akan berlumur darahku bila aku



membiarkanmu lepas."  



Jari telunjuk Raja Alastair mengusap punggung Verity, membuatnya merinding seketika. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena takut, melainkan nama Dragør yang kini tersemat di belakang namanya.  



Verity Dragør. Sekarang Verity bisa mengerti kenapa Ratu Amaranta begitu membencinya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Verity Dragør." Verity mendengar suara Ratu Amaranta dan Raja Arthur yang seperti tengah membicarakan sesuatu dengan sengit. "Berapa lama kau akan membiarkannya di sini?"  



"Bersabarlah, Amaranta."  



"Dia harus berada di Selencia sesegera mungkin!" Gema langkah Ratu Amaranta menandakan kalau wanita itu tengah gelisah. "Kau harus menjauhkan Alexander darinya."  



"Aku tahu itu. Alexander mulai membangkang, aku tidak bisa memercayainya lagi untuk memberikan hemlock kepada Verity."  



"Verity!" Verity terkesiap kaget ketika melihat Alexander yang memanggil namanya. Wajah pemuda itu tidak lagi terlihat separah beberapa waktu lalu. "Apa yang kau lakukan di sini?"  



Alexander menarik tangan Verity agar menjauh dari pintu besar terhubung ke ruang singgasana. Suara langkah mereka yang terdengar jelas, membuat seorang pengawal membuka pintu, yang memperlihatkan ekspresi gusar



Ratu Amaranta dan Raja Arthur yang melihat keduanya telah berlari menjauh.  



"Al?" Verity memegang pakaian yang Alexander kenakan ketika pemuda itu menunduk, terlihat kepayahan setelah berlari cukup jauh. "Apa yang mereka bicarakan? Aku telah meminumnya, mereka tidak akan menjauhkanmu dariku bukan?"  



Alexander menegapkan badan sebelum memegang kedua bahu Verity. Wajah gadis itu masih pucat setelah meminum racun hemlock beberapa hari terakhir. "Percayalah kepadaku, bila mereka menjauhkanmu dariku, aku akan selalu datang kepadamu."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Al!" Verity menjerit saat mimpi itu datang lagi, membuatnya terbangun di tengah malam.  



"Siapa yang kau panggil di mimpimu, Verity?" Verity menatap Raja Alastair yang masih berada di sisinya, terlihat tidak tidur sedetik pun. "Al? Apa itu Alexander?"  



Gerakan Verity yang berubah defensif adalah pertanda kalau perkataan Raja Alastair benar. "Akan lebih mudah bila ia bukan penerus kerajaan." Pria itu berdecak kesal.  



"Yang Mulia...." Verity memejamkan mata ketika hantaman memori yang sama terulang kembali. "Al-Alastair. Verity Dragør, apa itu aku?"  



Raja Alastair sontak menatap Verity yang tiba-tiba memanggil namanya. terbit di bibirnya. "Kau tidak tahu? Amaranta memanfaatkanmu bukan?" Segaris senyuman penuh ejekanterbit di bibirnya.



 



"Kau hanya boneka baginya." Raja Alastair mengambil sejumput rambut Verity dan memainkannya. "Kau hanya boneka. Boneka yang sangat berharga." Ia bergumam.  



Verity menggenggam seprai erat, perkataan Raja Alastair seperti menohok jantungnya. Namun, pria itu benar, selama ini ia memang boneka Ratu Amaranta. Sebuah mainan yang akan segera disingkirkan bila tidak lagi menyenangkan.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander menghapus cipratan darah Norman yang mengotori wajahnya. Ia melihat mayat sang tabib di antara kubangan darah, lalu mendengkus gusar menyingkirkan tangan pria itu yang menutupi jalannya. sembari  



"Kau membunuhnya?" Raja Arthur menatap Pangeran Alexander yang baru saja keluar dari ruang tabib. Pria itu tidak lagi terlihat takut kepadanya. "Kau membunuhnya lebih cepat dari yang kukira."  



Pangeran Alexander menjatuhkan pedangnya. "Kau membutuhkan waktu dua hari untuk membunuh dua pelayan Selencia dengan menyiksanya perlahan."  



"Aku bukan Alastair yang membiarkan tahanannya diikat di lapangan lalu dimakan gagak hingga mati," sahut Raja Arthur.  



"Apa kau masih membenciku karena memberikan mainanmu kepada orang lain?" Pangeran Alexander menatap ayahnya tajam.  



"Aku tahu kalau kau sudah bersiap untuk perang." Seorang pengawal memungut pedang pangeran, sementara dua pengawal lain membawa mayat Norman dan menyeretnya menjauh.  



"Kita harus selalu menyiapkan diri untuk hal-hal tak terduga." Raja Arthur melirik tangan kanan anaknya sekilas. "Kau tidak akan melakukan sesuatu kepada tanganmu?"  



"Oh, kau tahu?" Pangeran Alexander mengangkat tangan kanan dan memperlihatkan jejak-jejak kehitaman.  



"Kau pikir aku tidak mengenal anakku sendiri?" Rahang Raja Arthur berkedut marah, berusaha menahan emosi di hadapan anaknya sendiri.  



"Kalau kau memang mengenalku dengan baik, maka kau tahu kalau aku tidak suka ketika mainanku diambil." Pangeran Alexander memberikan seringai penuh ejekan.  



"Apa dia benar-benar hanya mainan untukmu?" Pangeran Alexander bukan lagi bocah remaja yang penurut seperti dulu, ia akan melawan karena kelemahannya tidak berada di sini. "Kau bisa mendapatkannya kembali, Alexander."  



"Selencia tidak bisa lagi dibiarkan." Pangeran Alexander mendekati ayahnya dan melihat kedua mata hijau cemerlang yang sama sepertinya.  



"Apa yang akan kau lakukan?"  



"Jati dirinya perlahan mulai terungkap. Menurutmu apa yang akan aku lakukan?" Perang. Karena Raja Alastair juga tidak akan suka bila mainannya diambil begitu saja.  



"Alastair tidak bisa mati meski senjata yang berasal dari Dragør dapat menyakitinya begitu parah." Raja Arthur terdiam sesaat, melihat ekspresi anaknya yang terlihat tertarik. "Verity bukan hanya sekedar mainan, Alexander. Dia juga senjata dari Dragør."  



"Dia senjata? Kalian menginginkan penerus Austmarr untuk menjadi boneka berikutnya!" Pangeran Alexander berujar gusar.  



"Berbagai senjata juga prajurit terbaik telah dikerahkan untuk membunuh Alastair selama bertahun-tahun. Namun pria itu tidak dapat mati, ia juga hanya terluka dengan senjata yang berasal dari Dragør. Kutukan Mariella membuatnya seperti itu. Raja Arthur melihat tangan kanan Pangeran Alexander dan mencermatinya. Keracunan darah akan berbahaya bila terus dibiarkan. "Verity adalah senjata terakhir yang berasal dari Dragør. Mariella yang mengutuknya, maka mungkin Verity bisa menjadi akhir dari kutukannya."  



"Apa maksudmu hanya Verity yang bisa membunuhnya?" Pangeran Alexander mengernyit.  



"Menurut perkiraanku seperti itu, Alexander." Raja Arthur tersenyum tipis.  



Perang membutuhkan taktik dan strategi yang tepat, jadi tidak boleh terburu-buru dalam menyelesaikan sesuatu.                  



   



XXX À OUTRANCE  



"AKU PERCAYA ADA hal lebih penting yang bisa kita khawatirkan," ucap Tybalt gusar. "Kita harus melakukan sesuatu, apa pun. Selain menunggu."  



Tybalt menatap Raja Zacharias yang duduk di kursi singgasana megahnya. Mata hitam pris itu balas menatap tajam, sementara tangannya menumpu kepala.  



"Apa kau punya saran?" Raja Zacharias menunggu Tybalt mengatakan sesuatu. Semenjak datang ke Colthas, ia tidak henti hentinya berlatih mengayunkan pedang, melawan tentara terbaik Colthas satu demi satu, semua demi mendapatkan hak Dragør kembali. "Apa kau tahu ada berapa jumlah Dragør yang tersisa?"  



Tybalt menarik napas gusar. "Kurang dari seratus. Sepertiganya masih anakanak yang lahir setelah perang."  



"Apa kau punya tentara untuk melawan Austmarr?" Raja Zacharias bertanya kembali. Ketergesa-gesaan tidak akan membawa keuntungan, bahkan Tybalt tidak akan membawa kemenangan bila mereka mengambil langkah ceroboh.  



"Apa kau akan menyuruhku untuk menunggu?"  



"Kau tidak ingin menunggu?" Raja Zacharias menjawab dengan pertanyaan lain.



 



"Tentara-tentara Colthas tidak melewatkan waktu sedetik pun ketika mereka menebas kepala-kepala rakyat Dragør, api nagamu bahkan menghancurkan istana hingga tak bersisa." Tybalt bosan menunggu di Colthas tanpa kepastian sementara keberadaan Ratu Mariella masih tak diketahui.  



"Apa kau tahu kenapa Verity begitu berharga? Bahkan setelah kehancuran Dragør, dia masih berharga di mata kerajaan lain." Raja Zacharias memajukan tubuhnya sedikit. "Karena kalian tidak akan bisa menguasai Dragør bila keturunan resmi Dragør masih hidup."  



Tybalt menyunggingkan senyum getir. Darah Dragør dan Selencia yang mengalir di tubuh Verity, membuatnya semakin berharga.  



"Bukan hanya itu, Tybalt." Raja Zacharias mengusap dagu dan mengembuskan napas panjang. "Alasan yang sama kenapa lima kerajaan memilih untuk menghancurkan Dragør, ini bukan hanya tentang ambisi Amaranta yang ingin menghancurkan saudarinya. Arthur, ayahku, bahkan Klaus dan Rania. Mereka semua menghancurkan Dragør karena menyadari kekuatan Dragør mengancam."  



"Kalian menghancurkan Dragør karena takut kekuatan kalian akan berkurang?" Tybalt tak bisa menyembunyikan tawa Imiris dan getir ketika mendengarkan alasan Raja Zacharias. "Apa ini akan menjadi alasan yang sama bila kau sudah mendapatkan Qyrsi? Kau akan menghancurkan kerajaan lainnya seperti yang telah kau lakukan kepada Dragør?"  



"Membunuh atau dibunuh, menghancurkan atau dihancurkan." Raja Zacharias menyandarkan punggung dan melipat kedua tangannya di dada. "Kau tentu pernah mendengarnya bukan? Bila Dragør tetap dibiarkan, kelak mereka akan menghancurkan kerajaan lainnya."  



"Aku tidak tahu kalian sepengecut itu dengan bersama sama menghancurkan satu kerajaan dalam semalam." Tybalt mendengkus gusar.  



"Raja Zacharias II dan aku sangat berbeda. Aku percaya Dragør dapat berjaya kembali. Ada atau tidaknya Dragør akan tetap menimbulkan perpecahan di Inkarnate, seperti yang kau lihat sekarang. Bahkan Selencia dan Thaurin pun tidak selamanya dapat menjalin sebuah kerja sama."  



"Dan kau masih ingin menyuruhku menunggu?" Tybalt tahu berada di Colthas begitu lama tidak akan berefek apa pun. Bila Colthas benar-benar ingin membantu Dragør memperoleh kembali kejayaannya, ia tahu kalau mereka tidak bisa berleha leha seperti sekarang.  



Raja Zacharias mengusap dagunya ketika menatap Tybalt. "Kau tidak sabaran. Itu akan mencelakaimu nanti."  



"Aku telah berhasil membawa Dragør sejauh ini dengan harapan suatu hari nanti Dragør akan kembali seperti dulu." Mata Tyblat berkelebat marah.  



"Tentu saja. Tentu saja," kata Raja Zacharias, tampak mempertimbangkan sesuatu. "Kau mengenal Alexander bukan?"



seperti



 



"Alexander Thaurin." Tybalt melihat sekelebat kilatan di mata Raja Zacharias.  



"Clementine Selencia pernah tinggal di Thaurin selama beberapa tahun. Seorang pengkhianat Colthas mati di perbatasan Austmarr dan Thaurin beberapa hari lalu, aku membutuhkan seseorang untuk mencari tahu apa yang tengah Alexander rencanakan," ucap Raja Zacharias pelan, seperti tengah menilai apa yang akan Tybalt lakukan.  



"Clementine pernah tinggal di sana selama beberapa tahun?" Tybalt menatap curiga.  



"Clementine atau Verity, kita harus mencari tahu. Bukankah itu yang ingin kau lakukan? Kau bisa memilih tentara terbaik Colthas yang akan menemanimu ke Thaurin." Kalimat Raja Zacharias terlihat menggiurkan.  



Tybalt berbalik, bersiap keluar dari ruang singgasana, tetapi kata-kata terakhir Raja Zacharias membuatnya berhenti.  



"Ingatlah Tybalt, membunuh atau dibunuh. Itu pilihanmu."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Beberapa hari di dalam kamar, rasa mual juga mimpi buruk tentang Alexander memaksa Verity bergerak menuju pintu yang ternyata tidak dikunci. Ia menarik napas lega sebelum menengok kiri kana lorong. Masih ada penjaga di depan pintu, tetapi tidak satu pun yang bergerak ketika ia melangkah pergi.  



Verity berjalan menyusuri lorong depan kamar Raja Alastair yang terlihat lebih terang, membuatnya refleks menggunakan tangan untuk menghalau cahaya. Seorang penjaga mengendap di belakangnya, menjaga jarak aman. Verity memilih mengabaikan sepanjang penjaga itu tidak menariknya kembali masuk kamar.  



"Yang Mulia?" Verity terperanjat kaget melihat Richard Blaxton yang tengah cemas dan waswas di hadapannya.  



"Apa Anda baik-baik saja?" Richard Blaxton mencermati setiap inci wajah Verity dan menghela napas lega ketika tak ditemukan hal mencurigakan.  



"Apa kau berharap aku baik-baik saja?" Verity tersenyum tipis, lega karena bisa berbicara dengan orang selain Raja Alastair yang hanya akan datang untuk tidur bersamanya, lalu pergi keesokannya.  



"Tentu saja, Yang Mulia. Tidak ada yang bisa menebak perasaan Raja Alastair akhir-akhir ini. Ini lebih susah daripada saat beliau benar-benar tidak memiliki setitik perasaan." Richard Blaxton mengerutkan kening dalam. "Bila kuingat kembali, Raja Alastair selalu menggunakan otaknya dalam menyusun strategi. Namun, akhir-akhir ini beliau juga menggunakan hati."  



Verity memilih diam mendengarkan ucapan Richard Blaxton. Rencananya saat ini masih kosong, bahkan setelah tahu kalau ia sebenarnya anak Ratu Mariella dan Raja Ferdinand.  



Langkah mereka terhenti di dekat taman. Mata Verity melihat rimbun pepohonan juga hutan pinus. Ia teringat Tybalt, pria Dragør yang menyanderanya dulu. Tangannya mengepal ketika teringat tiga bocah malang, separah itukah perang besar hingga para Dragørian tidak punya tempat di mana pun?  



"Yang Mulia?" Richard Blaxton mengikuti tatapan Verity. "Anda ingin ke taman?"  



"Tidak." Verity menjawab singkat. Ia harus menghabiskan bertahun-tahun di penjara bawah tanah hanya karena kebencian Ratu Amaranta kepada Ratu Mariella.  



"Anda ingin ke mana?"  



"Aku ingin ke perpustakaan." Verity kembali menjawab singkat sebelum beranjak, sementara Richard Blaxton masih setia menemani.  



"Aku tahu ini semua sangat tiba-tiba bagi Anda...." Richard Blaxton menghentikan kalimat ketika Verity tiba-tiba berbalik menatapnya.  



"Apa kau tahu bagaimana rasanya ketika hidup yang selama ini kau jalani hanyalah kebohongan?" Verity mencetak senyuman dingin di wajah pucatnya. "Apa kau tahu hidup yang selama kujalani ini, Richard? Bila kau mengira Amaranta mengurungku di kamar mewah dengan penjagaan ketat dan makanan teratur seperti yang rajamu lakukan saat ini, maka kau salah."  



Richard Blaxton menatap mata violet Verity, menyadari wanita itu telah mengalami hal-hal mengerikan hanya karena nama belakangnya, Dragør. "Yang Mulia, kita semua memiliki sisi terang dan gelap dalam diri, terpenting sisi mana yang akan kita utamakan."  



Richard Blaxton hanyalah pria tua yang telah merasakan pahit manisnya hidup. Ia telah mendampingi dua raja Austmarr dan melihat bagaimana perang begitu mengerikan. Ia menyadari sesuatu yang tiba-tiba akan mengubahnya entah ke arah lebih baik atau buruk. "You are not a bad person, Your Majesty."  



"Katakan itu kepada mereka ketika berusaha membunuh orang tuaku, rakyat Dragør, bahkan seorang anak kecil tanpa kekuatan apa pun." Verity menggenggam erat gaunnya. Dia lelah menghadapi pelik perpecahan lima kerajaan yang mengorbankan dirinya.  



Verity menarik napas dalam-dalam sebelum meninggalkan Richard Blaxton yang masih terpaku di tempat.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Raja Zacharias melihat rombongan Tybalt yang hanya terdiri dari sembilan pasukan elite dan satu orang Dragør, Barney, tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Tybalt.  



"Apa kau yakin hanya akan pergi dengan sepuluh orang?" Udara semakin menghangat di Colthas, penanda musim panas telah datang, menggantikan udara musim semi. "Kau akan melewati Austmarr."  



Tybalt mengelus surai kuda pemberian Colthas. Ia memakai pakaian khusus prajurit Colthas dengan emblem Dragør. "Perintah bunuh di tempat untukku bukan?" Ia tertawa kecil, terlihat tidak peduli bila nanti tentara Austmarr berhasil menangkap dan membunuhnya.  



"Ini adalah keinginanmu, Tybalt." Raja Zacharias mengingatkan sekali lagi. "Kau mengirimku karena kau percaya kepadaku." Tybalt mengatakan dengan percaya diri.  



"Tentu saja." Raja Zacharias mendengkus pelan. Matanya melihat satu per satu tentara elite yang biasa mengikutinya selama ini, sekarang berada di baris terdepan, menemani Tybalt dan misi bunuh dirinya. "Apa kau tahu apa yang harus kau cari?"  



"Kelemahan Alexander Thaurin." Tybalt bergumam, lalu naik ke kuda diikuti yang lain. Perjalanan mereka akan memakan waktu lebih lama dari biasanya.  



"Semoga beruntung, Tybalt."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Keadaan di Selencia lebih sunyi dan senyap, tidak ada suara selain embusan angin yang menyapa.



 



Ratu Amaranta berjalan melewati pilar demi pilar putih terang. Seumur hidup dihabiskannya di tempat ini. Tidak seperti saudaranya yang lain, Mariella tinggal di Dragør setelah menikah, dan Jordan, saudara laki-laki mereka, pernah tinggal di Austmarr untuk melatih kemampuan berperang. Posisi Ratu Amaranta tidak akan seperti sekarang bila Jordan yang seharusnya menjadi raja Selencia masih hidup. Bila ia mati, maka Mariella sebagai penerus berikutnya.  



Ratu Amaranta hanya seperti domba hitam. Kedua orang tuanya selalu membanggakan Mariella yang pintar atau Jordan dengan keahlian bertarungnya. Ia hanya akan mendekam di kamar, sibuk dengan bukubuku, dan menyusun strategi berperangnya sendiri.  



Langkah Ratu Amaranta terhenti ketika tiba di sebuah makam paling besar yang ada di Selencia. Dua gundukan teratas adalah tempat raja dan ratu Selencia terdahulu, kedua orang tuanya. Dua gundukan selanjutnya adalah tempat orang-orang terkasih, Matthew dan Clementine. Matthew, satusatunya orang yang percaya dengan kemampuannya, dan Clementine, putri mereka satu-satunya.  



Ratu Amaranta berlutut di hadapan makam Matthew, lalu mencium batu nisannya. "Aku bersumpah kepadamu, akan membalaskan apa yang telah Mariella lakukan kepadaku, kepada kita!"  



Ratu Amaranta bergerak mendekati pusara Clementine. "Verity adalah milikku, dia telah menjadi Clementineku. Aku tidak akan menyerahkannya kepada Mariella atau siapa pun lagi." Semilir angin menerbangkan rambut dan pakaian yang ia kenakan saat berdiri.  



Sebelum benar-benar pergi, ia berbisik ke kuburan orang tuanya. "Aku akan membuktikan kalau aku bisa menjadi Ratu Selencia! Mariella telah mati, aku akan menguburkan mayatnya di sini nanti. Kalian bisa menunggu."



                               



XXXI COUP D'ÉTAT  



BARNEY MENATAP SEKELILING jeli, ia bisa mendengar gerisik dedaunan juga hewan malam yang sudah tidak asing lagi. Mereka telah berada di hutan perbatasan Austmarr dan Colthas. Bila bisa selamat melewati Austmarr, maka jalan menuju Thaurin akan lebih mudah.  



Tybalt terlihat begitu waspada di kudanya. Wajar saja, Raja Alastair telah memerintahkan para tentara untuk langsung membunuhnya bila masih berani menginjak tanah Austmarr.  



"Tybalt!" Barney mempercepat gerak kudanya ke arah Tybalt yang memimpin rombongan mereka.  



"Matahari sebentar lagi terbit. Kita harus segera meninggalkan perbatasan Austmarr dan menuju ke Thaurin Tybalt tidak menolehkan kepala untuk melihat Barney.  



"Bagaimana kita mencari tahu kelemahan Alexander Tybalt? Ini adalah misi bunuh diri." Barney tampak tak yakin.  



"Kita harus dan aku pasti akan mendapatkannya, Barney." Ucapan tegas Tybalt membuat Barney mengetatkan rahangnya tidak setuju.  



"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kau mengira kau bisa segera mendapatkan kelemahan Alexander secepat itu?" Barney tahu kalau sebenarnya mereka tidak mempunyai rencana apa pun.  



Raja Zacharias tengah mengetes Tybalt, ingin melihat seberapa bergunanya pria itu untuk masa depan Colthas. Dibunuh atau membunuh, Raja Zacharias terus mengulanginya seperti yakin kalau cepat atau lambat, Tybalt akan menghadapi sesuatu yang di luar batas kemampuannya.  



"Barney, kuharap kau percaya kepadaku seperti yang telah kau lakukan beberapa tahun terakhir. Aku melakukan yang terbaik untuk Dragør dan Putri Verity," kata Tybalt.  



"Apa kau yakin ini untuk rakyat Dragør? Bukan karena Putri Verity saja?"  



"Keberadaan Putri Verity menjadi penanda kalau Dragør bisa bangkit kembali, Barney." Tybalt bergumam.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Rombongan Tybalt bersama tentara Colthas tidak luput dari pengamatan Raja Alastair yang kini duduk di singgasananya melalui laporan Jenderal



Irvin  



Tybalt Wildemarr bersama sepuluh tentara elite Colthas melewati wilayah perbatasan Austmarr, Yang Mulia." Jenderal Irvin hanya tinggal menunggu perintah sang raja.  



Raja Alastair mengetuk-ngetukkan jemari di kursi, lalu bertanya, "Apa yang mereka lakukan?"  



"Dari jarak mereka ke pintu gerbang, aku menduga kalau mereka tidak tengah mengincar Austmarr, Yang Mulia," jawab Jenderal Irvin.  



"Thaurin." Raja Alastair menyeringai ketika pergerakan Tybalt. "Mereka akan ke Thaurin. Biarkan saja menyadari mereka lewat."  



"Dari mana Anda...."  



"Kau ingat kepala salah satu menteri Colthas yang ditemukan di perbatasan Austmarr dan Thaurin? Zacharias mungkin tengah bermain-main dengan nyawa pion kesayangannya sekarang." Raja Alastair menyeringai lagi.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity membuka pintu perpustakaan dan segera berjalan menuju deretan buku-buku sejarah Selencia. Ia mencari-cari buku yang pernah ditemukan saat itu. Clementine Selencia mungkin telah mati karena pendarahan hebat yang dialami Ratu Amaranta, tetapi kenapa lima kerajaan memutuskan untuk menyingkirkan Dragør? Ada begitu banyak pertanyaan di tengah pencarian.  



"Aku sudah menyingkirkannya bila itu yang kau cari." Verity sontak berbalik dan melihat Raja Alastair telah berdiri di belakangnya.



 



"Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Dragør."  



"Tidak perlu! Dragør sudah hancur dan tidak ada apa pun yang tersisa di sana." Raja Alastair berkata dingin.  



"Masih ada rakyatku," jawab Verity cepat.  



"Rakyatmu?" Raja Alastair menyunggingkan senyum mengejek. "Tidak ada rakyatmu lagi, Tuan Putri. Semua sudah hancur."  



"Tybalt." Mata Raja Alastair menggelap mendengarnya. dia berasal dari Dragør, bukan? Masih ada "Pria itu Dragerian yang tersisa, Yang Mulia."  



"Tidak ada Dragør yang tersisa." Raja Alastair berujar tegas.  



Verity menatap marah. kebenarannya!" "Aku akan mencari tahu  



"Kebenaran apa?" Raja Alastair lagi-lagi tertawa mengejek. adalah Ratu Austmarr sekarang. Ada atau "Kau tidaknya Dragør, tidak akan mengubah apa pun." "Clementine Selencia adalah Ratu Austmarr. Aku bukan  



Clementine, namaku Verity," tegas Verity.  



"Kau kira aku peduli? Setelah apa yang kita lakukan semalam." Raja Alastair bergerak mendekat dan menyentuh pipi Verity, mengelusnya pelan.  



"Kau memperlakukanku seperti pelacur." Verity menepis tangan Raja Alastair. "Aku akan menemukan keluargaku. Dragør adalah keluargaku sekarang, meskipun kedua orang tuaku telah tiada karena kalian menghancurkannya."



 



Bila tatapan mata dapat membunuh, maka Verity bisa saja mati karena tatapan tajam Raja Alastair.  



"Aku tidak bisa mengizinkanmu, Verity." Raja Alastair berujar getir.  



"Aku tidak membutuhkan-'  



"Mariella Dragør mengutukku, membuatku merasakan jutaan kematian." Raja Alastair mengatakannya dengan nada sinis. "Aku telah merasakan ribuan kematian, Verity. Semua itu karena ibumu."  



Raja Alastair terdiam sesaat, menatap mata violet Verity, lalu melanjutkan kembali. "Aku tidak akan mengizinkanmu membuatku merasakan kematian lagi, Verity. Aku adalah keluargamu sekarang. Bukan Dragør, bukan juga Selencia. Kau akan melahirkan anak-anakku dan tetap berada di sini hingga kematianmu." Ia pun pergi, tidak membiarkan Verity membalas perkataannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Semuanya berjalan terlalu mudah, membuat Tybalt khawatir karena ia bisa melewati Austmarr tanpa kendala apa pun. Tidak ada serangan tentara tiba-tiba atau gerakan mencurigakan apa pun. Karena tidak adanya serangan ini juga, perjalanan mereka lebih cepat.  



"Apakah seharusnya seperti ini?" Barney bertanya untuk yang ke sekiian. Matahari telah terbit dan kini berada tepat di atas kepala mereka.  



"Tidak." Tybalt mengetatkan rahang ketika melihat kepala demi kepala yang ditancapkan di tombak kayu perbatasan. Kepala para pengkhianat,



pelaku kejahatan, juga beberapa penyusup. Sebagian telah membusuk, sebagian terlihat telah habis dimakan gagak.  



"Tidak ada satu pun tentara yang kulihat."  



"Kalau begitu kita bisa lebih cepat ke Thaurin." Raja Alastair benar-benar membiarkannya lewat kali ini, tetapi apakah pria itu akan mengizinkan kembali ke Colthas atau tidak? Tybalt sendiri tidak tahu.  



"Tybalt?" Barney terlihat ragu.  



"Aku tidak butuh keraguanmu sekarang, Barney." Mereka telah berjalan sejauh ini, bahkan Putri Verity sudah tidak jauh dari posisi sekarang. Tybalt hanya perlu membuktikan kepada Raja Zacharias kalau ia tidak bisa diragukan.  



"Sebentar lagi kita sebentar lagi kita akan mendapatkan apa inginkan, Barney. Kejayaan Dragør, bangkitnya Dragør, dan rakyat Dragør tidak perlu hidup seperti yang bandit di kerajaan kita sendiri lagi."    



Hanya butuh beberapa jam lagi dan mereka akan tiba di Thaurin.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander tahu Thaurin tidak akan bergerak sebelum kerajaan lain mendahului. Di antara lima kerajaan yang tersisa, Raria belum melakukan pergerakan apa pun, seperti telah menyimpan kekuatan besar. Mungkin ia tidak perlu mengkhawatirkan Jenderal Kilorn karena pria itu akan selalu mengikuti perintah istrinya, Ratu Rania.  



"You do bad things for no reason." Mata Pangeran Alexander bergerak mengikuti gerakan Vander yang menemuinya di rumah kaca, tempat berisi tanaman obat-obatan juga racun paling berbahaya berada. "Anda membunuh Norman tanpa alasan. Kukira Anda menganggapnya sebagai figur ayah, Yang Mulia."  



"Norman bukan ayahku." Pangeran Alexander menjawab acuh tak acuh. "Kematiannya tidak akan mengubah banyak hal."  



"Raja Arthur tidak mengatakan sesuatu kepada Anda?"  



"Aku tidak membutuhkan nasehatmu, Vander." Pangeran Alexander bergumam. Ia tengah sibuk berpikir dan tidak ingin diganggu oleh penasihat ayahnya.  



"Raja Arthur-"  



"Aku tidak melakukan kejahatan tanpa alasan, Vander. Bila kau tetap bersikeras ingin tahu." Pangeran Alexander memotong sebelum Vander selesai bicara.  



"Raja Arthur beranggapan keberadaan Putri Clementine di Selencia adalah jalan keluar terbaik untuk menyingkirkan Raja Alastair."  



"Menyingkirkan?" Pangeran Alexander mendengkus gusar. "Aku tidak selalu setuju dengan keputusan ayahku."  



"Keberadaan Dragør dapat mengancam Thaurin, Yang Mulia." Vander memberikan penjelasan singkat yang telah ia dengar sejak lama. Alasan itu tidak masuk akal dan ia tidak peduli dengan keberadaan Dragør. "Mereka bisa saja menyingkirkan Austmarr, apalagi Thaurin."  



"Kalian pengecut!" Pangeran Alexander tersenyum kecut dan menatap mata Vander. "Bila kalian mengira menghancurkan kerajaan itu dalam semalam dapat menyelesaikan segalanya, lihatlah apa yang terjadi sekarang. Kerajaan masih saling berusaha menghancurkan satu sama lain bukan?"  



"Tapi Dragør?"  



"Drager adalah ancaman terbesar sekaligus sumber kesombongan kalian. Berhasil menghancurkan Dragør tidak berarti bisa menghancurkan kerajaan lain." Pangeran Alexander menjabarkan fakta yang telah ia ketahui. "Aku tahu rencana ayahku selanjutnya, Vander. Tidak ada persekutuan yang bertahan begitu lama, ia akan menghancurkan Selencia selanjutnya."  



"Ratu Amaranta akan mati dan Selencia jatuh ke tangan Putri Clementine. Lalu-"  



"Atau Alastair." Pangeran Alexander kembali memotong ucapan Vander. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Vander. Dan berbicara tentang Dragør ...." Matanya menangkap satu tentara elite Colthas yang berhasil menyaru dengan bayangan. Tanpa disadari, ia telah menghabiskan waktu berjam jam di rumah kaca hingga matahari telah terbenam.  



"Yang Mulia!" Vander segera bergerak untuk melindungi Pangeran Alexander.  



"Thaurin cukup lemah rupanya." Pangeran Alexander tertawa miris melihat betapa mudahnya penyusup masuk istana mereka.  



"Tadinya aku hanya ingin mendengar pembicaraan kalian. Percakapan kalian terdengar begitu menarik." Mata Tybalt berkilat marah. Bahkan



setelah dua dekade berlalu, masih ada saja orang-orang yang ingin menyingkirkan kerajaannya hingga ke akar.  



"Di mana para tentara Thaurin?" Mata Vander panik mencari-cari para tentara Thaurin yang harusnya melindungi ketika mereka dikepung lawan.  



"Mereka mati." Tybalt menjawab singkat. "Putri Clementine pernah tinggal di sini?" Matanya melihat beberapa ornamen khas Thaurin. Kerajaan ini nyaris mirip Selencia, memiliki suasana tenang dengan ornamen putih dan bendera hijau.  



"Verity pernah tinggal di sini." Pangeran Alexander tertawa kecil.  



"Putri Verity?"  



"Oh, ya, kau tidak tahu kalau Putri Verity, atau yang sekarang bernama Clementine pernah menjadi tunanganku dan tinggal di sini?" Pangeran Alexander jelas tidak mengacuhkan tatapan kaget Tybalt.  



"Kau tahu?"  



"Tentu saja. Tapi aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Tybalt. Ada hal lain yang harus kulakukan."  



Tybalt menyadari posisi mereka kini berbalik dan ialah yang terkepung. Tentara elite Pangeran Alexander telah menunggu di luar rumah kaca.  



"Yang Mulia!" Vander terpaku di tempat mendengar kenyataan kalau masih ada anggota Kerajaan Dragør yang hidup.  



Hanya segelintir orang yang tahu kalau Verity adalah Clementine dan Pangeran Alexander masih mempertahankannya seperti itu. "Kau harus membawa rahasia ini hingga kematianmu!" ancamnya. ingin  



"Tentu saja! Tentu saja, Yang Mulia!" Vander ketakutan. "Bagus." Pangeran Alexander mengeluarkan sebilah pisau tajam yang ia gunakan untuk mengiris leher Vander, membuat pria itu menatapnya tak percaya, terbatuk sesaat sebelum jatuh dan mati.  



"Bersyukurlah karena kematianmu cepat, Vander." Pangeran Alexander menepuk-nepuk tangannya yang seolah telah ternodai. "Kuharap kau tidak mati sekarang, Tybalt. Ada hal lain yang harus kulakukan."      



XXXII NODUS  



RAJA ZACHARIAS DUDUK di singgasananya, menunggu kabar baik maupun buruk dari Thaurin. Austmarr belum melakukan apa pun, tetapi tidak berarti Raja Alastair akan terus menunggu. Sepuluh tentara terbaiknya berada di Thaurin bersama Tybalt dan Barney.  



"Bersiaplah berperang." Raja Zacharias bergumam ketika Hadrian masuk.  



"Aku tahu ini tidak akan berjalan baik." Hadrian membalas ucapan kakaknya getir. "Aku akan memerintahkan kepala pertahanan untuk mengunci seluruh Dragør yang berada di Colthas...."  



Raja Zacharias mengangkat tangan, menghentikan ucapan Hadrian seketika. "Tidak." Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya cepat.  



"Putri Verity atau Ratu Clementine atau siapa pun dia, dia tidak akan diam saja bila mendengar rakyatnya menjadi tawanan di Colthas," tutur Hadrian.  



"Alastair tidak akan peduli." Raja Zacharias berujar tenang "Persiapkan seribu tentara terbaik Colthas."  



"Apa yang kau rencanakan, Zacharias?" "Kehancuran." Raja Zacharias memejamkan matanya sesaat.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt menyadari semuanya terlalu mudah. Masuk Istana Thaurin bahkan jauh lebih mudah daripada ke kediaman bangsawan di Colthas. Pengamanannya sangat longgar, tentaranya tidak terlatih dan cenderung kewalahan ketika menghadapi musuh. Ia bahkan tidak perlu menghadapi tentara Austmarr yang berjaga di sekitar perbatasan. Semuanya seperti telah direncanakan oleh Raja Austmarr dan Thaurin.  



Tybalt benar-benar dijebak ketika Pangeran Alexander meninggalkann dan membiarkannya melawan prajurit Thaurin yang jauh lebih baik. Ia sedikit kewalahan ketika serangan demi serangan nyaris melukai. Setelah setengah jam berlalu, ia tahu motif mereka sebenarnya, yakni menahannya di ruangan cukup lama.  



"Ini mencurigakan." Barney hanya mengangguk ketika mendengar gumaman Tybalt.  



"Di mana Alexander?" Tybalt tidak melihat jejak Pangeran Alexander sedikit pun. Pria itu benar-benar meninggalkan mereka.



 



"Merencanakan sesuatu. Entah apa pun itu. Firasatku mengatakan kalau bajingan itu telah menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya daripada ini," geram Barney.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Cahaya lilin mulai redup dan mati seketika ketika angin malam berembus. Verity berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan pikiran serta tubuhnya yang lelah, tetapi tidak bisa. Verity menarik napas dalam-dalam, menyingkirkan selimut, dan berjalan menuju jendela. Cahaya bulan malam ini lebih terang, membuatnya lebih mudah melihat hutan pinus dari balik kegelapan. Ia bisa melihat beberapa tentara yang berjaga di sekitar istana atau menyaru dengan bayangan. Ada lebih banyak tentara daripada biasanya, membuat keningnya berkerut bingung.  



"Yang Mulia!" Verity mendengar ketukan pintu sebelum seorang pelayan wanita masuk, membawa lilin baru untuknya. "Saya akan menemani Anda malam ini."  



"Kenapa?" Verity menatap si pelayan tidak mengerti. Tidak biasanya ada seorang pelayan mau menemaninya bila malam tiba.  



"Perintah dari Yang Mulia Raja Alastair." Jawaban wanita itu hanya membuat Verity mengangguk singkat. "Anda tidak beristirahat? Apakah saya mengganggu tidur Anda?"  



"Ada lebih banyak tentara yang berjaga di luar sana." Verity menunjuk ke luar jendela.  



"Ada tahanan yang kabur. Anda tidak perlu khawatir, Yang Mulia." Jawaban pelayan wanita itu sedikit mencurigakan.  



"Apakah ada banyak tahanan yang kabur?" Verity tahu bila hanya ada satu atau dua tahanan yang kabur. Lagi pula seberapa kuatnya tentara Austmarr, tidak perlu banyak tentara biasanya Raja Alastair tidak menyimpan tahanan di penjara karena pria itu langsung membunuhnya.  



"Cukup banyak, Yang Mulia." Lagi-lagi jawaban singkat pelayan itu membuat Verity menyunggingkan senyum sinis.  



Raja Alastair tengah menyembunyikan sesuatu darinya dan semua ini pasti berhubungan dengan Dragør. "Sebaiknya Anda beristirahat sekarang," kata si pelayan yang lebih mirip sebuah titah.  



"Kau tidak akan memberitahuku apa pun?" Verity menatap wanita yang langsung menunduk, menghindari tatapannya. "Saya hanya akan menemani Anda di sini hingga Raja  



Alastair datang, Yang Mulia." "Baiklah." Verity mengangkat bahunya acuh tak acuh. Bila Raja Alastair tidak ingin memberitahu apa pun, maka sia-sia memaksa. "Kau bisa tetap di sini hingga Raja Alastair datang."



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair menyadari malam semakin larut dan mungkin saja Verity telah tertidur sekarang. Namun, ia masih menunggu saat yang tepat hingga mangsa kejaran masuk perangkap, untuk kemudian dibunuhnya.  



"Ada berapa tentaramu di luar sana, Jenderal?" Ia duduk di singgasana. Ia tahu pasti setiap raja di Inkarnate mungkin telah menunggu hal sama. Colthas telah bergerak dengan membawa pion terpentingnya, Tybalt, ke Thaurin.  



"Lima ratus tentara berjaga di sekitar istana, Yang Mulia. Sisanya berjaga di perbatasan, termasuk perbatasan Dragør." Jenderal Irvin mengenakan



pakaian perangnya, lengkap dengan pedang dan jubah. "Kita bisa saja menyerang lima kerajaan yang lain sekarang, Yang Mulia."  



"Ketidaksabaran tidak akan membawa kita ke mana pun, Jenderal. Akan ada perang untuk menaklukkan keenam kerajaan agar mereka tunduk dan menyadari siapa raja yang Raja Alastair tertawa kecil.  



"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør?" Jenderal Irvin tahu betul siapa mangsa mereka malam ini, Tybalt Wildemarr. Pria itu telah berani melewati Austmarr, mengabaikan perintah Raja Austmarr, bahkan berencana memasuki Thaurin.  



Raja Alastair tahu seperti apa Dragør, dia bahkan sempat melihat kejayaan kerajaan itu sebelum hancur lebur. Seandainya saja Dragør masih utuh sekarang, maka bisa saja menjadi musuh atau sekutu terbesar Austmarr.  



"Kita akan lihat sejauh mana mereka akan mempertahankan sesuatu yang telah tiada."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander membawa pedangnya, setengah menyeret masuk ke ruang singgasana di mana ayahnya berada. Raja Arthur duduk di singgasana, melihat darah yang mengotori pedangnya, lalu menatap tajam.  



"Aku mendengar ada Dragørian yang masuk ke membiarkannya?" Raja Arthur berdiri dari singgasananya.



Thaurin.



Kau



 



"Kau tahu Thaurin cukup lemah dalam penjagaan seperti ini. Tidak seperti Austmarr atau Colthas. Kalian dalam, bukan dari luar." Pangeran Alexander berdiri di tengah menyerang dari ruangan. Cahaya bulan masuk melewati jendela besar yang berada a tepat di atas kepalanya.



 



"Aku menjaga kerajaanku seperti yang seharusnya, Alexander." Raja Arthur tertawa kecil. Rambut dan pakaian Pangeran Alexander kotor karena darah. "Kau lihat kursi di sana?"  



Raja Arthur menunjuk kursi singgasananya yang berwarna Putih, terbuat dari marmer, cukup berat hingga tidak pernah dipindahkan. "Aku menjaganya untukmu. Suatu hari nanti kau akan menyadari betapa beratnya pengorbanan yang aku lakukan agar kau bisa menerima kursi itu tanpa susah payah, Anakku." "Aku tidak menginginkan kursi itu." Pangeran Alexander  



mendengkus kecil. "Aku tahu. Aku menyimpankan sesuatu untukmu yang lebih berharga tentu saja." Raja Arthur kembali duduk di singgasana, lalu tersenyum tenang ke arah anaknya. "Inkarnate. Lima kerajaan."  



"Aku tahu rencanamu selama ini, Ayah." Pangeran Alexander tertawa kecil, pedangnya masih berada di tangan, tergenggam kuat dan erat.  



"Berarti kau tahu kalau Thaurin yang berada di balik kehancuran lima kerajaan?"  



"Thaurin yang mengirim tentara untuk membunuh anggota kerajaan Colthas dan Austmarr saat keduanya tengah sibuk berperang di Dragør." Suara tepukan tangan Raja Arthur bergema ketika mendengar jawaban Pangeran Alexander. "Aku tahu kau anak yang cerdas, Alexander," katanya  



dengan bangga.  



"Bagaimana dengan Raria?" Pangeran Alexander menghela napas panjang.  



"Raria selalu terlihat mencurigakan bukan?" Raja Arthur tertawa kecil. "Tapi kerajaan itu juga akan hancur tentu saja. Rania tidak bisa menjaga kerajaannya sendiri bila bukan karena Jenderal Kilorn."  



"Di mana posisi Raria saat kehancuran Dragør?" Pangeran Alexander merenggangkan lehernya yang terasa kaku dan kembali menatap ayahnya. Hanya ada mereka berdua di ruang singgasana luas itu. Suara keduanya bergema, terdengar cukup keras meski berbicara pelan-pelan.  



berbisik,  



"Mereka  



"Di laut. Seperti biasanya." Raja Arthur tertawa misterius akhirnya ikut menghancurkan Dragør. Tapi Raria menyimpan kekuatan yang sebelum cukup besar, dan kurasa mereka tahu di mana Mariella Dragør berada."  



"Oh." Pangeran Alexander tidak terdengar tertarik sama sekali. "Aku tidak suka kursi itu, Ayah."  



Wajah Raja Arthur terlihat tidak senang ketika mendengar nada sarkasme dan ejekan panggilan dari Pangeran Alexander. "Apa kau tahu ada berapa banyak jiwa Thaurin yang mati untuk mempertahankan kursi ini, Alexander?" Ia bertanya.  



"Aku tahu." Pangeran Alexander mendekati ayahnya sembari menyeret pedang yang berlumuran darah. "Seperti berapa banyak darah Thaurin yang hari ini melekat di pedangku."  



"Kau membunuh prajuritmu sendiri?" Raja Arthur menatap tajam.  



"Bukan hanya prajuritku sendiri, Ayah." Pangeran Alexander tersenyum tipis juga sinis.  



"Apa ini balasan untuk ayahmu?" Raja Arthur berdiri kokoh. Ia mengetatkan rahang, tampak menggeram menahan marah. "Apa ini semua untuk gadis kecil itu? Ada banyak wanita lain di luar sana, Alexander!"  



Seharusnya ia menghabisi gadis kecil itu dulu, saat dia masih Dragør, dalam bentuk apa pun tetaplah berbahaya. lemah dan tidak tahu apa-apa.  



"Tidak. Ini balasan untukmu yang telah menghajarku saat aku kecil dulu." Pangeran Alexander mengangkat pedangnya, lalu menusuk tepat di jantung sang ayah. Kedua tangannya tidak bergetar sedetik pun saat menghunuskan pedang, menghabisi nyawa Arthur Thaurin dalam sekali tusukan.  



Pangeran Alexander menarik pedangnya, membiarkan tubuh sang raja tumbang di singgasana kesayangannya. "Selamat jalan, Yang Mulia, dan selamat datang, Tybalt."  



Pangeran Alexander berbalik dan melihat Tybalt yang telah berhasil tiba di ruang singgasana Thaurin. Mata pria itu terbelalak kaget melihatnya yang berdiri di hadapan tubuh Raja Arthur.  



"Kau membunuh Raja Thaurin." Ucapan pelan Tybalt bergema di ruangan itu.  



"Tidak. Kau yang membunuh Raja Thaurin, Tybalt." Pangeran Alexander melewati undakan tangga hingga berdiri tak jauh di hadapan Tybalt. Hanya tersisa lima orang prajurit Colthas sekarang, lima lainnya mungkin telah mati di tangan prajurit setia miliknya.  



"Kau juga membunuh prajurit-prajurit Thaurin di luar sana bukan?" Tybalt tahu karena terlihat begitu mencurigakan ketika ia melewati lorong panjang menuju ruang singgasana dan nyaris semua tentara yang berjaga telah mati.  



Pangeran Alexander tersenyum tipis. "Kau seharusnya menunduk dan menghormat ketika bertemu seorang raja, Tybalt."  



Prajurit-prajurit setia milik Pangeran Alexander tiba, mengepung musuh yang tersisa.  



"Kau akan menyesali ini." Tybalt mengumpat ketika dua prajurit Thaurin menahan pundak dan lengannya, memaksanya berlutut di hadapan Pangeran Alexander.  



"Tidak, Tybalt. Bahkan di hadapan Dragør pun kau bersalah." Pangeran Alexander berjalan ke salah satu sisi kursi singgasana dan melihat tubuh ayahnya yang telah bermandikan darah. "Kau telah membunuh sang raja."  



"Kau akan menyesali ini!" Tybalt mengumpat keras, memberontak dari cengkeraman dua prajurit Thaurin itu. "Barney?"  



Setiap prajurit Colthas yang tersisa juga Barney, berada dalam cengkeraman prajurit Thaurin.  



"Ini akan menjadi pelajaran untukmu, Tybalt." Pangeran Alexander bergumam, lalu menjentikkan jemarinya.  



"Maafkan aku." Barney mencicit ketika melihat Tybalt. Ia memejamkan mata saat pedang menghunus dada dan mencabut nyawanya saat itu juga.  



"Barney! Barney!" Mata Tybalt memerah karena emosi meledak-ledak. Ia kehilangan sahabat yang telah meneman selama nyaris dua dekade terakhir. "Kau akan menyesali ini, Bajingan! Kenapa kau tidak bunuh saja aku, hah!"  



"Aku tidak berhak membunuhmu, Tybalt." Mata hijau Pangeran Alexander menatap Tybalt. "Dengan berat hati aku harus memberitahumu, sebagai pembunuh Raja Thaurin, hanya raja tertinggi di Inkarnate yang berhak menentukan hukumanmu."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Arthur mati. Kabar itu tersebar begitu cepat seperti angin malam yang berembus kencang.  



"Raja Arthur mati." Hadrian Colthas membuka pintu Singgasana kakaknya dan melihat Raja Zacharias telah berada di depan jendela dengan seekor elang yang tengah dielusnya. Sementara, tangan kiri sang raja memegang selembar surat.  



"Aku tahu. Tybalt membunuhnya." Raja Zacharias tertawa kecil ketika selesai membaca isi surat. "Aku tidak mengira kalau kita akan bertemu secepat ini dengan lima kerajaan yang lain. Bersiaplah, Alastair akan menentukan hukuman kepadanya."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Raja Arthur telah mati, Yang Mulia." Ratu Amaranta terpaku mendengar berita yang baru saja dibawa salah satu penasihatnya. Kabar Thaurin diserang oleh Dragør dan Raja Arthur mati di tangan Tybalt Wildemarr mungkin telah tersebar ke seluruh penjuru Inkarnate sekarang.  



"Penobatan Raja Alexander sebagai Raja Thaurin yang baru akan dilaksanakan sebelum Raja Alastair menentukan hukuman kepada pembunuh itu."  



"Baiklah." Ratu Amaranta hanya mengangguk kecil. Ia baru saja kehilangan sekutu terbesarnya. Perang yang dengan mudah ia menangkan dua dekade lalu, mungkin akan lebih sulit bila tanpa Thaurin.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Raja Arthur mati." Jenderal Kilorn melihat wajah pucat pasi Ratu Rania saat memberikan kabar itu. "Raria akan baik-baik saja. Aku bersumpah kepadamu, Ratuku."  



"Persiapkan kapalnya, Kilorn." Suara Ratu Rania nyaris lenyap ketika memerintahkan suaminya untuk mempersiapkan kapal terbaik mereka.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Yang Mulia Raja Alastair mengangkat tangan, menghentikan ucapan Richard Blaxton. Di sisi kanan sang raja, sudah ada burung elang yang membawa kabar dari Thaurin. "Apa yang akan Anda lakukan?"  



"Alexander akan membawa Tybalt secara khusus ke Austmarr." Raja Alastair tidak suka arah permainan Pangeran Alexander kali ini. Pria itu benar-benar tidak mudah ditebak.  



"Bagaimana dengan Yang Mulia Ratu?" Sebagaimana yang telah mereka ketahui, Ratu Clementine adalah Putri Dragør.  



Raja Alastair tidak segera menjawab, ia terdiam cukup lama seperti tengah berpikir.



 



"Apa yang akan Anda lakukan kepada Dragør, Yang Mulia?" Richard Blaxton menarik napas dalam, lalu bertanya kembali. "Penobatan Raja Alexander akan dilakukan sebelum pengumuman Tybalt." hukuman yang akan Anda berikan kepada  



"Persiapkan saja semuanya, Richard," titah Raja Alastair sembari memejamkan mata. Ia bisa membayangkan mata violet Verity, rambut hitamnya, dan setiap ciri yang begitu mirip Ferdinand Dragør, tetapi ia abaikan dulu. Seandainya saja Verity tidak berasal dari Dragør dan ia bukan Raja Austmarr.                  



XXXIII HABEAS CORPUS  



RATU RANIA MELIHAT matahari yang baru saja terbit. Kapal kapal bersandar di pelabuhan, para pelaut dan nelayan yang tadinya bersenda gurau berhenti ketika melihatnya turun dari kereta.  



"Yang Mulia!" Norbert, salah satu kepala pelaut di Raria, segera melepaskan topi, lalu memberi hormat untuk sang ratu. "Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, Yang Mulia?"  



"Ada berapa kapal yang kau miliki?" Ratu Rania menghirup aroma laut dalam-dalam. Suara gulungan ombak terempas ketika menyentuh tepi pantai, pekikan burung pelikan, juga embusan udara laut sedikit menenangkannya.  



"Dua puluh, Yang Mulia." Norbert berjalan beberapa langkah di belakang Ratu Rania.  



"Kapal nelayan? Kapal barang?" Ratu Rania bertanya sambil lalu. Para nelayan dan pelaut yang ia lewati segera memberi hormat.  



"Lima belas kapal nelayan dan lima kapal barang, Yang Mulia." Norbert berdeham singkat. Jumlah kapalnya mungkin termasuk sedikit bila dibandingkan para bangsawan Raria. Namun, ia menaruh kebanggaan besar kepada kapal dan para awak yang dimiliki. Mereka semua bisa mengarungi samudra terluas di Inkarnate.  



"Siapa namamu?" Ratu Rania memutar badannya dan melihat dengan jelas kepala pelaut yang cukup terkenal di Raria ini.  



Tubuh Norbert kekar dengan kulit berwarna seperti tembaga, mungkin karena pria itu terlalu sering menghabiskan waktu di laut dan terpapar sinar matahari. Rambutnya nyaris memutih, tetapi ia jelas tidak terlihat akan jatuh dalam sekali entakan.  



"Norbert, Yang Mulia."  



"Aku ingin kau pergi bersama dua puluh awak kapalku." Ratu Rania mungkin bisa memercayai Norbert.  



"Awak kapal kerajaan, Yang Mulia?" Norbert melebarkan matanya. "Apakah Anda bermaksud...."



 



"Kau akan memimpin perjalanan mereka." Ratu Rania bisa melihat sekelebat sinar bahagia di mata Norbert. Pria itu tentu tidak akan menolak penawarannya. "Kau akan menjadi kapten kapal."  



"Ke manakah tujuannya, Yang Mulia?"  



"Pulau Mera." Rania berucap cepat. "Bersiaplah. Kau bisa saja pergi sewaktu-waktu."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Kematian Raja Arthur yang begitu tiba-tiba tidak hanya menimbulkan kekacauan di Thaurin, tetapi juga di semua kerajaan. Pangeran Alexander yang baru saja naik takhta, mengganti seluruh penasihat dan orang-orang kepercayaan ayahnya, menimbulkan gejolak internal di dalam kerajaan. Keputusannya untuk menyerahkan Tybalt kepada Raja Alastair juga menyebabkan perpecahan besar. Sebagian besar tidak setuju, sebagian lagi percaya kalau Raja Alastair bisa memberikan balasan setimpal untuk Tybalt. Apalagi setelah desas-desus Tybalt adalah orang suruhan Raja Zacharias merebak.  



"Yang Mulia Pangeran Alexander." Penasihat yang baru itu berdeham sekilas ketika sepasang mata Pangeran Alexander menatapnya datar. "Pangeran Alexander akan mengambil alih takhta dan kepemimpinan Raja Arthur."  



"Cukup!" Pangeran Alexander menarik napas panjang, lalu kembali melihat penasihat yang baru saja dilantik. "Di mana tahanannya?"  



"Yang Mulia!" Penasihatnya segera berlari mengikuti Pangeran Alexander yang sudah lebih dulu pergi sebelum acara penobatannya selesai.  



"Alastair akan bertemu denganku lagi bukan?" Pangeran Alexander memutar badannya tiba-tiba. "Siapkan saja semuanya, Raja Austmarr juga akan meresmikan penobatanku sebagai Raja Thaurin nanti."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt menatap jendela kecil berukuran persegi panjang di hadapannya, satu-satunya sumber penerangan yang ada di kereta itu. Seperti kata Pangeran Alexander, mereka akan membawanya ke Austmarr dan membiarkan Raja Alastair menentukan hukuman. Ia akan tetap mati, entah Raja Alastair akan memberinya hukuman yang lebih mengenaskan.  



Tybalt menggerak-gerakkan tangan dan kakinya terikat rantai besi, membuat kereta berhenti sesaat karena mendengar sedikit gaduh.  



"Diam kau, Bajingan!" Salah satu sipir menggedor keretanya dan mengumpat keras. "Kenapa Raja Alexander tidak membunuhnya saat itu juga?" .  



"Jangan berbicara dengannya," tegur sipir yang lain.  



"Raja Alexander tidak seperti Raja Arthur, pria itu terlalu lembek." Tybalt mendengkus kesal mendengar pembicaraan kedua sipir itu.  



Di antara semua anggota kerajaan yang pernah ia temui, Pangeran Alexander memang terlihat paling lemah. Bahkan bila dibanding Ratu Amaranta dan Ratu Rania, Pangeran Alexander tetap di urutan terakhir. Pria itu terlihat pendiam, terlalu baik, dan naif. Siapa yang menyangka kalau pria itu lebih licik daripada seluruh anggota kerajaan lain?  



"Berhentilah menghina raja yang baru. Dia baru saja memecat seluruh menteri dan penasihat yang telah mengabdi sejak masa Raja Arthur." Sipir



yang lain ikut menegur.  



Keduanya kini berbicara lebih pelan, sementara Tybalt memejamkan mata.  



"Apa yang kalian lakukan?" Tybalt membuka mata, lalu mengintip dari jendela. Ia melihat di hadapan dua sipir yang saling mengobrol tadi, berdiri seorang tentara memakai jubah perang. Seluruh wajahnya tertutup, hanya menyisakan sedikit lubang yang memperlihatkan mata. "Penghinaan terhadap raja akan mendapatkan hukuman berat di Inkarnate!"  



"Tu-Tuan...." Sebelum kalimat tuntas, tentara itu lebih dulu menebas kepala kedua sipir tanpa ampun. sengaja berserobok dengan mata Tybalt. Mata hitamnya tak  



Tybalt melangkah mundur, memutuskan kembali duduk tenang di kereta saat tentara itu menutup jendela kecil, membuat keretanya gelap gulita.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Yang Mulia." Si pelayan wanita menghormat kepada Raja Alastair sebelum undur diri.  



"Kau belum...." Verity mengembuskan napas kesal saat korsetnya belum terpasang dengan baik sementara pelayan wanita itu langsung pergi begitu saja.  



"Aku bisa memasangkannya." Raja Alastair berdiri di belakang Verity dan mengikatkan jalinan rumit korset. "Akan lebih mudah bila melepaskannya."  



"Kau pergi." Verity berusaha menahan rasa penasaran, tetapi sikap mencurigakan Raja Alastair yang semalaman tidak kembali ke kamar,



membuatnya berani bertanya. "Apa yang terjadi? Aku melihat ada banyak tentara berjaga di luar."  



"Ada tahanan yang kabur." Raja Alastair bergumam, lebih memilih bermain-main dengan pita yang seharusnya mengikat korset Verity. "Apa yang akan kau lakukan bila rakyatmu terluka?"  



"Apa itu Dragør?" Verity memutar badan, tidak peduli dengan korsetnya yang belum terpasang benar.  



"Bukan. Austmarr. Kau adalah Ratu Austmarr sekarang. Raja Alastair tersenyum sinis.  



"Kau tidak bisa menyembunyikan apa yang terjadi selamanya, Yang Mulia." Di dalam diri Verity masih darah Drager. Dia bukan Clementine Selencia, melainkan Verity Drager.  



"Kau benar." Raja Alastair memegang pinggul dan memutar badan Verity. Perlahan memasangkan jalinan-jalinan korset sebelum melanjutkan, "Pakai mahkotamu, Ratuku. Mereka akan datang sebentar lagi, menentukan hukuman yang tepat untuk Tybalt Wildemarr."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Lima keluarga kerajaan berkumpul di Austmarr. Ruang singgasana mulai dipenuhi para jaksa penuntut, beberapa saksi, juga dewan parlemen.  



Ratu Rania dan Jenderal Kilorn tidak membawa anak-anak mereka. Sikap sang jenderal juga lebih seperti seorang pengawal ratu, jauh berbeda dari sebelumnya. Ratu Rania duduk di ujung kiri, sementara Jenderal Kilorn berdiri di sebelahnya dengan seragam perang lengkap dan terlihat begitu waspada.



 



Raja Zacharias datang bersama adiknya. Ia terlihat bosan seperti biasa, duduk di sebelah Ratu Rania. Sementara Hadrian Colthas yang berdiri di dekatnya, tersenyum kepada Verity karena sedari tadi wanita itu kedapatan meliriki kaki pincangnya, terlihat gugup dan mencurigakan.  



Di antara semuanya, Ratu Amaranta memiliki sikap yang paling misterius. Wanita itu duduk tenang di singgasana yang berada di ujung kanan, tidak ada siapa pun di sisinya.  



Kini hanya tersisa dua kursi kosong, kursi di sebelah kanan Verity dan sebelah kiri Ratu Amaranta yang memang diperuntukkan untuk Raja Alastair dan Pangeran Alexander. Keduanya datang tidak lama kemudian. Raja Alastair berjalan lebih dulu, lalu segera duduk di sebelah Verity. Menyusul Pangeran Alexander yang langsung duduk di sebelah Ratu Amaranta.  



Suara ketukan palu terdengar. Verity mencengkeram gaunnya gelisah sebelum para panel itu mulai berbicara.  



"Hari ini lima kerajaan di Inkarnate berkumpul untuk menentukan hukuman kepada Tybalt warga Dragør." Verity melirik Raja Alastair sesaat karena hakim itu menyebutkan Kerajaan Dragør seolah-olah masih keberadaannya. "Tybalt Wildemarr telah membunuh Raja Arthur Thaurin, menusuk jantung Raja Arthur, dan membuat beliau meninggal saat itu juga." mengakui  



XXX Suara bisik-bisik terdengar dari seluruh penjuru ruangan.  



"Tybalt Wildemarr!"  



Ruangan berubah riuh dipenuhi umpatan ketika derit pintu terdengar nyaring dan Tybalt masuk dengan langkah pasti, matanya tidak menunduk



atau tampak bersalah. Seorang prajurit mengawal. Ia mendongakkan kepala dan menatap lurus ke arah Verity Dragør yang duduk bersama anggota kerajaan lain, berperan sebagai Clementine Selencia, ratu di Austmarr sekaligus istri Raja Alastair.  



"Diam!" Suara Raja Alastair sontak membuat seluruh panel  



di ruangan terdiam. Hening hingga Tybalt berdiri di podium, matanya masih menatap lekat Verity.  



"Apa kau mengakui apa yang telah kau lakukan, Tybalt Wildemarr?" Satu tanya mengudara.  



"Tidak! Aku tidak membunuh Raja Arthur," ucap Tybalt sungguh-sungguh. Pandangannya tidak beralih, seperti tengah berbicara kepada Verity yang berada jauh di depan.  



"Apa kau membunuh Raja Arthur Thaurin, Tybalt Wildemarr?" Hakim bertanya sekali lagi. "Tidak. Aku tidak membunuh Raja Arthur."  



Umpatan terdengar nyaring dan begitu jelas di ruang singgasana.  



Suara ketukan palu sang hakim lagi-lagi menghentikan singgasana. keriuhan. "Panggil saksinya!"  



Salah satu pria maju dan berdiri di podium saksi, rambut pirang dan mata hijaunya membuat Verity tahu kalau ia seorang warga Thaurin.  



"Tybalt Wildemarr masuk ke Thaurin bersama seorang warga Dragør lain dan sepuluh tentara Colthas." Verity menatap Raja Zacharias yang kini terkekeh di singgasananya.  



"Tybalt Wildemarr telah membunuh Raja Arthur."  



Satu per satu saksi datang dan memberikan kesaksian di hadapan lima kerajaan. Hukuman yang Tybalt terima akan semakin berat bila ia tidak sesegera mengakui kesalahan. Mereka akan menyiksa lebih dulu sebelum membiarkannya mati perlahan.  



"Tybalt Wildemarr?" Hakim bertanya sekali lagi, menuntut jawaban dan pengakuan dari Tybalt.  



"Aku tidak membunuh Raja Arthur!" Tatapan Tybalt tidak lepas sedikit pun dari mata violet Verity.  



"Habeas corpus." Verity bergumam. Seluruh panel terdiam mendengar perkatannya.  



"Tidak mungkin! Tidak masuk akal!" Salah satu pria berteriak nyaring, membuat seisi ruangan gaduh. "Dia tidak bisa menerima keringanan atau menuntut kebebasan!"  



"Habeas corpus tidak berlaku bila ia melakukan pemberontakan atau kudeta, Yang Mulia." Sang hakim berdeham sekilas.  



"Lakukan seperti apa yang ratuku katakan!" Raja Alastair menyandarkan punggung di singgasananya, lalu menatap mata Tybalt, seolah menantang pria itu untuk mengatakan sesuatu.  



"Tybalt Wildemarr, apakah pembelaan yang dapat Anda berikan?" Hakim kembali bertanya.  



"Aku tidak membunuh Raja Arthur. Pembunuhnya berada di sini, duduk di antara kalian." Kegaduhan tidak bisa meredam apa yang baru saja Tybalt



ucapkan.  



"Anda tidak bisa menuduh seseorang sembarangan." Sang hakim menggelengkan kepala, tidak percaya Raja Alastair baru saja memberikan hak habeas corpus kepada pria itu.  



"Pembunuhnya berada di sana, Yang Mulia. Duduk tenang di antara para anggota kerajaan yang lain." Untuk pertama kalinya, Tybalt mengalihkan tatapan dari Verity ke Pangeran Alexander yang duduk tenang di sebelah Ratu Amaranta. "Alexander Thaurinlah yang membunuh Arthur!"  



"Diam!" Raja Alastair berteriak guna meredam kegaduhan yang kian menjadi.  



"Aku bersumpah atas tanah Dragør, untuk semua leluhurku, raja dan ratu Dragør yang telah tiada karena ketidakadilan kalian. Aku bersumpah, bukan aku yang membunuh Raja Arthur! Aku bersumpah Dragør akan segera bangkit kembali! Kejayaan yang pernah kami miliki akan kami raih kembali. Dan aku akan membalaskan apa yang telah kalian lakukan!" Tybalt terdiam sesaat sebelum kembali melanjutkan, "Pembunuhnya berada di hadapan kalian. Alexander Thaurinlah yang telah membunuh ayahnya sendiri!"  



"Tidak akan ada yang percaya kepadamu." Entah siapa percaya kepada Tybalt. Pria itu yang mengucapkannya, tetapi Verity tahu betul dalam situasi yang akan berasal dari kerajaan yang telah hancur, posisinya tidak sekuat sekarang, tidak ada Pangeran Alexander.  



Di tengah kekalutannya sendiri, Verity pun tidak bisa memercayai ucapan Tybalt begitu saja. Ia melihat Pangeran Alexander r yang masih duduk tenang di kursinya, sama sekali tidak terpengaruh dengan keributan di hadapannya. Pangeran Alexander tidak akan membunuh ayahnya begitu saja, ia terlihat baik dan tulus.  



"Alexander?" Panggilan lirih Verity menarik perhatian Pangeran Alastair juga Tybalt. "I demand trial by combat for Tybalt Wildemarr."  



"Tidak mungkin! Tidak masuk akal!" Kegaduhan lagi-lagi terdengar.  



Verity telah meminta dua hal yang paling tidak masuk akal untuk Tybalt Wildemarr. Habeas corpus dan trial by combat. Dua hal itu seharusnya tidak diberikan begitu saja karena Tybalt telah membunuh seorang raja dan ia bukan bangsawan yang bisa meminta trial by combat.  



"Yang Mulia?" Hakim menatap Raja Alastair yang memiliki ekspresi tidak terbaca.  



Verity meremas gaunnya gelisah, menunggu Raja mengonfirmasi permintaannya.  



"Berikan saja apa yang Ratu Clementine inginkan." Verity melirik Pangeran Alexander tidak percaya. Ketika Raja Alastair masih terdiam, pria itu menerima gugatannya.  



"Yang Mulia?" Hakim masih menunggu persetujuan Raja Alastair, sementara ruangan semakin gaduh.  



"Trial by combat. Kau sendiri yang Tybalt." Tiga ketukan palu telah menetapkan. melakukannya,  



Kegaduhan semakin jelas, tidak ada satu pun yang menerima keputusan dua raja di Inkarnate.  



"Alastair, terima ka ...." Verity tidak sempat menyelesaikan ucapan karena Raja Alastair membungkam mulutnya dengan ciuman dalam.  



"Apa yang kau lakukan?" Verity menatap Raja Alastair yang telah menciumnya di hadapan banyak orang.  



"Bayaran," Raja Alastair terkekeh pelan, "karena memanggilku Alastair, bukan Al. Juga bayaran untukku yang sudah membiarkan pria itu hidup sehari lagi." Nada sinis dan menusuknya bisa dirasakan oleh yang lain. Terutama Pangeran Alexander dan Tybalt yang masih bisa hidup sehari lagi sebelum kemampuannya akan menentukan apakah ia pantas untuk hidup atau tidak.                                    



XXXIV BLOOD OF THE COVENANT  



VERITY BISA MERASAKAN tatapan beragam para panel, hakim, juga jaksa di ruangan tadi. Mereka saling berbisik, menggumamkan ketidaksetujuan atas



keputusan Raja Alastair.  



Tybalt melihat ke arah Verity sekali lagi sebelum para tentara menariknya turun dari podium dan membawa pergi.  



"Dia akan mati!"  



Verity menoleh, melihat Ratu Rania bersama Jenderal Kilorn yang kini telah bangkit dan berjalan ke arahnya.  



"Dia akan mati!" Rania mengulanginya sekali lagi.  



"Setidaknya aku telah memberinya kesempatan untuk membersihkan nama," sahut Verity. Dia masih bisa merasakan tatapan tidak setuju dari semua panel di ruangan.  



Raja Zacharias "Keputusan yang bijak, Clementine." tertawa mendengar penuturannya.  



Verity terdiam sesaat. Lupa bila namanya sekarang Clementine Austmarr, bukan Verity.  



"Kau membuat Raja Alastair terlihat lemah di hadapan yang lain." Ucapan Ratu Rania sontak membuat Verity melirik Raja Alastair yang balas menatapnya misterius.  



"Aku juga menyetujui keputusan Ratu Clementine. Meskipun pria itu menuduhku membunuh ayahku sendiri Pangeran Alexander tersenyum tipis kepada Verity.  



"Alexander?" Verity menatapnya, merasa bersalah karena memberikan kesempatan kepada Tybalt.  



"Apa kau membunuh Raja Arthur?" Raja Zacharias bertanya kepada Pangeran Alexander.  



Diam-diam Ratu Amaranta ikut memperhatikan keduanya. Mata violetnya tak sengaja berserobok dengan mata Verity. "Bisa kita berbicara sebentar, Clementine?" Tanpa menunggu persetujuan, ia segera meninggalkan ruang singgasana diikuti Verity.  



"Apa yang kau inginkan?" Verity bisa melihat rona pucat di wajah Ratu Amaranta. Wanita itu tidak terlihat seperti biasanya.  



"Apa kau tahu?" Ratu Amaranta tersenyum sinis. "Kau membunuh kedua orang tuaku." Verity mendesis marah.  



"Kau tahu." Ratu Amaranta mengangguk tenang. "Apa Alastair tahu?"  



"Kau tidak dapat menyuruhku membunuh Alastair lagi." Verity menarik napas dalam-dalam. Tidak ada setitik pun memori indah tentang wanita di hadapannya ini. "Kau bisa mengirim pembunuh terbaikmu untuk membunuhku atau Alastair. Aku tidak peduli lagi."  



"Aku membiarkanmu tetap hidup meskipun sebenarnya kau juga harus mati bersama Dragør yang lain." Ratu Amaranta menatap misterius.  



"Seharusnya kau melakukannya dari dulu, Amaranta. Ini adalah kesalahanmu karena membiarkanku tetap hidup," balas Verity tanpa rasa takut sedikit pun.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Keamanan kerajaan ditingkatkan lagi. Beberapa tentara juga pelayan wanita mengikuti Verity ke mana pun pergi. Ia tahu mereka diam-diam menjaga jarak dan memberinya kesempatan berbicara dengan Ratu Amaranta tadi. Tentu saja mereka akan melaporkan apa pun yang ia lakukan kepada Raja Alastair.  



"Yang Mulia!" Richard Blaxton berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Verity.  



Verity tersenyum kecil. "Richard, aku tidak melihatmu di sidang tadi."  



"Aku mendengar keputusan yang Anda berikan untuk Tybalt Wildemarr, Yang Mulia." Raut wajah Richard Blaxton terlihat khawatir juga sangat lelah.  



"Apa kau juga beranggapan kalau keputusanku akan membuat Raja Alastair terlihat lemah?" tebak Verity.  



Richard Blaxton mengangguk ragu. "Tapi aku percaya Raja Alastair punya alasan di balik semua tindakannya, Yang Mulia."  



"Apa menurutmu Alexander benar-benar membunuh Raja Artur? "  



"Tidak ada yang benar-benar tahu, Yang Mulia. Raja Alastair menyetujui habeas corpus karena dari semua keterangan para saksi, tidak ada satu pun yang melihat langsung Tybalt membunuh Raja Arthur," Richard terdiam sesaat, "Anda tahu Istilah habeas corpus dan trial by combat?"  



"Semua jawabannya ada di perpustakaan. Bukan begitu, Richard?" Verity melihat ke arah taman. "Aku mencari tahu apa yang terjadi kepada ...."  



"Dragør?" Richard Blaxton melanjutkan perkataan Verity. "Aku tahu, Yang Mulia."  



"Kau tahu? Kenapa kau masih bersikap baik kepadaku bila kau tahu?" Kening Verity berkerut samar.  



"Aku tidak punya alasan untuk membenci Anda, Yang Mulia." Richard Blaxton meraih tangan Verity dan menepuknya simpatik. "Sedangkan Raja Alastair ...."  



"Dia punya ribuan alasan untuk membenciku, bukan? Bagaimana pun juga, ibuku yang telah mengutuknya." Verity bergumam.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Zacharias menyadari setiap tatapan sinis yang diberikan para panelis kepada Verity atau adiknya. Hadrian Colthas yang cacat, dianggap tidak pantas lagi berada di antara anggota kerajaan. Sementara Verity dianggap telah mengacaukan sidang karena wanita itu bersikap terlalu lembek kepada Tybalt Wildemarr.  



Raja Zacharias berdecak beberapa kali. Tidak suka dengan pengawal yang mengiringi setiap langkahnya di Austmarr. "Aku melihat tanganmu lebih parah dari sebelumnya, Alexander."  



Pangeran Alexander menyembunyikan tangan kanannya, lalu mendengkus kesal. "Kau selalu memperhatikan hal-hal kecil yang bukan urusanmu sama sekali."  



"Aku ingin tahu apa efek samping yang bisa hemlock berikan kepada Clementine."  



Pangeran Alexander mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"  



"Apa yang akan terjadi kepada Clementine, Alexander? Dia juga meminum hemlocknya, bukan?" Mata hitam Raja Zacharias ketika memperhatikan tangan kanan Pangeran Alexander yang membiru dan memiliki jejak-jejak hitam. berkilat  



"Tidak akan terjadi apa pun kepadanya." Pangeran Alexander menjawab singkat.  



"Kenapa tidak?" Raja Zacharias tahu seberapa parah efek samping hemlock. Verity seharusnya sudah mati, tetapi melihat wanita itu tidak terpengaruh sedikit pun, membuatnya curiga.  



"Karena aku tidak membiarkannya, Zachary. Berhentilah bersikap curiga kepadaku." Pangeran Alexander kembali mendengkus kesal. "Bukankah posisi kita terbalik, Zachary? Aku harusnya curiga kepadamu karena kau mengirim bajingan itu ke Thaurin."  



"Aku hanya ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu." Raja Zacharias terkekeh, tidak peduli dengan tatapan curiga terhadapnya. "Apa yang terjadi kepada Tybalt berada di luar kendaliku."  



"Tybalt hanya datang di waktu dan tempat yang tidak tepat."  



Raja Zacharias melirik Pangeran Alexander, memperhatikan gerak-gerik pria itu sebelum mengangguk. "Tentu saja."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity merasa resah. Tidak seharusnya ia berada di kamar mewah ini ketika tidak tahu bagaimana keadaan Dragør yang lain.



 



"Apa yang tengah kau lakukan?" Verity bisa merasakan panas tubuh Raja Alastair saat pria itu membaringkan tubuh di sebelahnya.  



"Apa kau akan benar-benar membunuh Tybalt?" Cicitan Verity nyaris tenggelam.  



Raja Alastair memutar badan Verity agar menghadapnya. "Jangan pikirkan pria lain saat berada di sebelahku." Ia mencium bibir Verity sebelum mendekap erat wanita itu.  



Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair yang bertalu-talu. "Kukira kau akan membiarkanku menjadi ratu tanpa kekuasaan di sini. Kenapa kau menerima tuntutan yang kuberikan untuk menyelamatkan Tybalt?"  



"Kau semakin berani sekarang," Raja Alastair memainkan rambut hitam Verity, "kau harus tahu, kalau seorang raja tidak akan terlihat lemah hanya karena memberikan apa yang ratunya inginkan."  



"Kau terlihat lemah di mata yang lain." Verity berujar lemah.  



"Apa kau khawatir kepadaku?" Ada nada geli yang terselip di pertanyaan Raja Alastair.  



"Tidak." Verity membalikkan punggungnya. "Apa menurutmu Alexander yang melakukannya?"  



"Bisa saja." Raja Alastair bergumam. "Tidak ada yang bisa menebak isi kepala pria itu."  



"Apa yang terjadi bila Tybalt mati dan Dragør benar-benar hancur?"  



"Tidak akan ada yang terjadi karena Dragør memang telah hancur dan kau adalah Ratu Austmarr sekarang," jawab Raja Alastair.  



"Setelah apa yang kau lakukan di persidangan, aku nyaris percaya kalau kau peduli."  



"Apa aku pernah membohongimu?"  



"Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu," jawab Verity getir. Sudah cukup hidupnya dipenuhi oleh kebohongan dan ketidakpastian.  



"Apa pun yang terjadi kepada Dragør atau Inkarnate sekali pun, kau akan tetap berada di sisiku." Perkataan Raja Alastair seolah menjadi penutup bagi Verity untuk tidak membicarakan Drager lagi. Apa pun yang terjadi besok, ia telah berusaha menyelamatkan pria itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pengadilan untuk Tybalt semakin dekat. Semuanya gelisah, tidak ada seorang pun yang bisa tidur nyenyak di saat-saat seperti ini. Tybalt akan mati atau tidak dapat melihat mentari lagi.  



"Kau bangun lebih pagi." Pangeran Alexander menyapa Raja Alastair yang telah berdiri di ruang singgasana, memperhatikan Verity di taman bersama para pengawalnya. "Dia pernah menjadi milikku."  



Raja Alastair melirik Pangeran Alexander sekilas, tidak ingin terhasut oleh pancingan pria itu. "Tapi dia akan menghabiskan seluruh hidupnya bersamaku." Ia tersenyum mencemooh.  



"Kau juga bangun lebih pagi, Alexander. Tidak siap bila Tybalt menang dan menyatakan kalau kaulah ayahmu?" Raja Alastair berkata sinis.



 



"Tidak ada yang bisa tidur di saat-saat seperti ini, Yang Mulia." Pangeran Alexander tersenyum tipis. "Aku yakin Clementine juga tidak bisa tidur."  



"Ya," sahut Alastair, "tapi untuk alasan yang jauh berbeda. Aku bisa membuatnya melupakan bocah itu, Alexander. Jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan ratuku."  



Senyum di bibir Pangeran Alexander lenyap setelah mendengar perkataan Raja Alastair. "Kau membiarkan dirimu terlihat lemah karena menyetujui semua yang ia katakan di pengadilan."  



"Aku membiarkannya menjadi ratuku, Alexander. Menyetujui apa yang ia katakan bukan berarti membiarkan diriku terlihat lemah." Raja Alastair tahu, Ratu Amaranta mengirim Verity ke Austmarr untuk membunuhnya, menjadikan wanita itu senjata mematikan. Namun, ia juga tahu kalau keberadaan Verity bisa memberikan keuntungan. Ia tahu Pangeran Alexander menyimpan perasaan istimewa terhadap Verity. Kelemahan kecil yang dapat dimanfaatkan sebelum ia benar-benar menyingkirkan pria itu.  



"Aku dengar kau tidak bisa mati."  



"Aku pernah hampir mati." Raja Alastair melihat mata hijau Pangeran Alexander. Sekilas, Pangeran Thaurin itu terlihat polos, tetapi ia tahu, Pangeran Alexander lebih licik daripada Raja Arthur.  



Raja Alastair pernah hampir mati saat masih berusia sepuluh. Beberapa bulan setelah dirinya dinobatkan sebagai raja, seorang pembunuh bayaran berhasil menyusup ke kamar dan menusuk jantungnya tiga kali. Rasa sakit teramat membuatnya ingin mati detik itu juga. Terakhir kali ia merasakan kesakitan serupa adalah saat Austmarr dan Colthas berperang. Raja Zacharias II menusuk jantungnya dengan tombak. Seakan tidak cukup, pria



itu juga membakarnya. Hingga keesokan paginya, ia terbangun di tengahtengah padang ilalang dengan luka mengerikan di punggung dan dada.  



"Itu tidak terelakkan bila kau pergi ke medan perang." Raja Alastair melanjutkan ucapannya. Ia melihat telapak tangan, goresan demi goresan bekas luka menghiasi, tidak seperti Verity yang mulus.  



Keduanya terdiam beberapa saat sebelum terdengar suara terompet yang menandakan pengadilan untuk Tybalt akan segera dimulai.  



"Ini hari yang indah untuk pertumpahan darah." Pangeran Alexander bergumam ketika melihat mentari pagi yang bersinar indah.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt Wildemarr!" Suara kelontang besi membuat Tybalt membuka mata.  



Sipir Austmarr itu terlihat lebih menyeramkan daripada para sipir di Thaurin. Tubuhnya tinggi, tegap, dan tambun. Jenggotnya tebal, matanya hitam dan kecil. Dia kemudian membuka belenggu besi yang mengikat tangan Tyblat, lalu mendorong kasar.  



"Ke mana kita?" Tybalt berusaha menyesuaikan mata yang tiba-tiba menerima sinar matahari.  



"Ke neraka, Nak." Sipir itu terlihat tak bersahabat, tetapi tetap menjawab.  



Tybalt mendengar kegaduhan juga teriakan orang-orang yang mengumpatinya. Kali ini penontonnya lebih banyak daripada saat sidang kemarin.  



"Ratu Clementine menerima banyak cemoohan karena menolongmu." Sipir melemparkan beberapa senjata tua nan usang. "Wanita itu membuat Raja Alastair terlihat lemah."  



"Aku tidak membunuh Raja Arthur." Tybalt mengambil sebuah pedang usang yang setidaknya masih terlihat lebih baik.  



"Ya, ya, ya, bilang saja begitu." Sipir mendengkus kesal, terlihat tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada Tybalt. "Raja Alexander memilih lawan yang lebih kuat daripada kau. Bersiaplah!"  



Sipir mendorong Tybalt masuk arena. Sebuah tempat luas berbentuk lingkaran dengan dinding-dinding tinggi juga deretan bangku di atasnya. Para penonton meneriakkan cacian hinaan untuknya, sebagian lagi melemparkan batu atau apa saja.  



Tybalt melihat ke deretan bangku para anggota kerajaan. Lagi-lagi Verity berada di sana, menatap khawatir. Wanita itu memakai gaun krem dengan bordiran putih yang membuatnya terlihat lebih pucat. Seperti urutan di sidang kemarin: Ratu Rania dan Jenderal Kilorn berada di sisi paling kiri, Raja Zacharias dan Hadrian Colthas, Verity dan Raja Alastair di tengah, terakhir Pangeran Alexander dan Ratu Amaranta.  



Suara terompet terdengar lagi. Kali ini pintu gerbang di hadapan Tybalt terbuka lebar. Seorang prajurit keluar dari sana. Tybalt mengenalinya sebagai pria yang membunuh dua sipir Thaurin kemarin.  



Prajurit itu masih mengenakan pakaian perang yang sama. Wajahnya tertutup helm, hanya menyisakan sedikit lubang di area mata. Tangan kirinya memegang tombak panjang, sementara pedang di tangan kanan. Tybalt yang hanya mengenakan secarik pakaian biasa dan membawa senjata tua usang, terlihat tidak ada apa-apanya.  



"Hari ini kita akan menentukan apakah Tybalt Wildemarr bersalah atau tidak," suara hakim terdengar lantang di antara ruh, "dengan bertarung hingga mati."  



Sorakan juga umpatan terdengar dari segala penjuru. Tybalt memperhatikan Verity yang kini terlihat semakin pucat. la merogoh sesuatu dari saku celana, beruntung kalung mutiara Verity cukup kecil hingga tidak ditemukan para sipir yang memeriksa tubuhnya.  



Raja Alastair memajukan badan sedikit. "Apa kau punya kata-kata terakhir sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?"  



"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're behind us; they can't get away from us this time." Ucapan lantang Tybalt mengalahkan sorak sorai para penonton. "Aku bersumpah kepada Putri Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris takhta Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!"  



Wajah Raja Alastair menggelap mendengar perkataan Tybalt. "Kalian bisa memulainya." Ia menggerakkan tangan kanan sebagai pertanda agar pertarungan segera dimulai.  



Suara terompet panjang terdengar kembali. Dibunuh atau membunuh. Dihancurkan atau menghancurkan. Semuanya berada di tangan Tybalt sekarang.        



XXXV THE SAINT AND THE SINNER



 



VERITY MEMPERHATIKAN SELURUH anggota kerajaan yang berada di panggung bersamanya. Jenderal Kilorn mengenakan pakaian perang, terlihat jauh lebih waspada di sebelah Ratu Rania. Hadrian Colthas berbisik di telinga kakaknya, Raja Zacharias, yang hanya mengangguk, lalu mempersilakannya pergi dengan langkah tertatih ditemani salah satu pengawal. Pangeran Alexander dan Ratu Amaranta hanya duduk menunggu pertarungan segera dimulai. Mereka terlihat tenang, tidak seperti dirinya yang gelisah karena Tybalt bisa saja mati di arena.  



Verity mengedarkan tatap ke sekitar. Ada lebih banyak prajurit daripada biasanya, berbaur dengan para penonton yang bersorak di kursi mereka.  



"Bunuh dia! Habisi dia!"  



la tidak pernah benar-benar menyadari betapa brutalnya Austmarr. Hukuman mati Jenny tidak seramai ini. Mereka juga bersorak saat kematian pelayan itu, tetapi jelas rakyat kematian Jenny tidak ada apa-apanya dengan hukuman Tybalt.  



"Apa kau punya kata-kata terakhir sebelum kau mati, Tybalt Wildemarr?" Verity melirik Raja Alastair, raut wajahnya suram dan gelap.  



"They're on our right, they're on our left, they're in front of us, they're behind us; they can't get away from us this time. Aku bersumpah kepada Putri Verity Dragør, anak Mariella Selencia dan Ferdinand Dragør. Pewaris takhta Dragør yang sah. Dragør akan bangkit kembali!" Verity bisa merasakan bulu kuduknya meremang ketika mendengar kata-kata Tybalt. Mata cokelat terang pria itu menatap mata violetnya.  



Verity melirik Raja Alastair lagi. Kali ini raut wajah pria itu benar-benar gelap, terlihat sangat marah.  



"Kalian bisa memulainya!" Raja Alastair mengangkat tangan kanan, sebuah pertanda untuk memulai pertarungan itu.  



Verity memejamkan mata, lalu berdoa di dalam hati. Suara terompet panjang terdengar begitu jelas, begitu juga sorakan dari penonton.  



"AWAS!" Verity membuka mata dan melihat prajurit yang harusnya melawan Tybalt berbalik ke deretan podium para anggota kerajaan. Hanya beberapa detik berlalu ketika tombak yang berada di tangan kirinya menyabet pundak Raja Alastair.  



"Apa yang kau lakukan!" Verity menahan darah yang keluar dari pundak Raja Alastair. Pria itu baru saja melindunginya dari serangan tombak prajurit yang seharusnya melawan Tybalt di dalam arena.  



"Kita diserang!" Seseorang berteriak, menimbulkan kekacauan di tengahtengah penonton.  



"Apa kau baik-baik saja?" Verity menatap Raja Alastair dengan mata terbelalak saat pria itu berbalik dan menusuk salah satu prajurit yang mengenakan seragam Austmarr, tetapi hendak menyerangnya.  



"Aku sudah menduga ini akan terjadi." Pria itu mendengkus kesal, tidak tampak kesakitan sedikit pun meski baru saja terluka.  



Verity melihat kekacauan yang terjadi di mana-mana. Para penonton berlarian ke sana kemari, berlindung dari hujan panah yang tiba-tiba datang entah dari mana, tentara Austmarr menyerang tentara Austmarr lain, tak bisa dibedakan siapa kawan siapa lawan.  



"Pergilah berlindung di istana! Aku akan segera menyusulmu nanti." Raja Alastair mendorong tubuh Verity ke Richard Blaxton yang berlari tergopoh-



gopoh ke arah mereka, diikuti beberapa tentara khusus Austmarr.  



"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Richard Blaxton melihat wajah pucat Verity, lalu mengulurkan jubahnya untuk menutupi gaun Verity yang telah ternodai darah, sekaligus menyamarkan dari para penyerang.  



Richard Blaxton merangkul pundak Verity sebelum berjalan cepat di antara kekacauan, berlindung di antara para tentara yang melindungi mereka. Verity melihat singgasana, Raja Alastair masih di sana, melawan entah berapa banyak tentara yang berusaha melukainya. Jenderal Kilorn bersama Ratu Rania telah pergi ke arah lain, tentara-tentara Raria juga ikut melindungi mereka. Raja Zacharias dan Pangeran Alexander tidak lagi terlihat keberadaannya, mungkin telah pergi bersama entara-tentara mereka, atau mungkin merekalah dalang penyerangan kali ini.  



Mata Verity berusaha mencari Tybalt, tetapi tidak ditemukan di antara kerumunan manusia yang berusaha menyelamatkan diri. Alih-alih menangkap sosok Ratu Amaranta yang terlihat begitu kontras di antara kerumunan warga Austmarr. Wanita itu terlihat tak terpengaruh sama sekali dengan genangan darah atau hujan panah di atas kepalanya. Jarak mereka begitu jauh, tetapi terasa begitu dekat. Ratu Amaranta menatap matanya lekat, sementara a terus berjalan menjauhi kekacauan.  



"Kau seharusnya mendengarku, Verity." Verity tidak dapat mendengar jelas apa yang Ratu Amaranta katakan, tetapi ia bisa membaca gerakan bibir wanita Matanya lagi-lagi melihat Raja Alastair yang masih melawan para tentara. Mayat bergelimpangan di bawah kakinya, menandakan ia tidak mudah dikalahkan seperti yang mereka katakan.  



"Yang Mulia, cepatlah! Cepatlah!" Richard Blaxton menarik Verity ke salah satu menara pengawas. "Ada pintu yang bisa membawa kita ke dalam istana." Ia tampak panik dan tergesa gisa ketika mendorong salah satu pintu sebelum kembali menarik Verity masuk.



 



Blaxton "Tidak secepat menyembunyikan tubuh Verity di belakangnya saat seseorang itu, Richard!" Richard tendobrak pintu ruangan dan memaksa masuk. "Well, well, siapakah yang kita temui di sini? Ratu Clementine ataukah Putri Verity Dragor?"  



"Zacharias Colthas, jadi kau pelakunya?" Verity tidak bisa menyembunyikan nada sinis saat pria itu menyeringai lebar.  



"Tidak perlu bersikap seberani itu, Clementine. Para prajurit yang mengawalmu sudah mati." Mata hitam Raja Zacharias terlihat begitu tajam, seperti hendak menusuknya.  



"Jangan dekati Ratu Clementine!" Richard Blaxton menggunakan tubuhnya untuk melindungi Verity.  



"Aku tidak ingin melukaimu, Richard, aku hanya ada sedikit urusan dengan ratumu." Raja Zacharias memainkan belati di tangannya, terlihat tidak segan-segan membunuh Richard Blaxton bila pria tua itu mengucapkan satu kata lagi. "Sedikit sulit menemukanmu, Verity. Amaranta dan Thaurin menyembunyikanmu dengan baik..."  



"Apa yang kau inginkan, Zachary? Kau juga yang menjebak Tybalt bukan? Para tentaramu berada di Thaurin bersama Tybalt!"  



"Aku tidak menjebaknya. Aku membantunya." Pria itu terkekeh mendengar perkataan Verity. "Aku juga tidak menyangka, menemuimu sebagai Ratu Clementine sama susahnya. Kau mungkin tidak menyadari, tapi Alastair tidak melepaskan pandangannya darimu. Aku mengira saat serangan terjadi, dia akan tetap membiarkanmu di sisinya, ternyata tidak seperti yang kubayangkan."  



"Aku tidak akan membiarkan Anda menyentuh Ratu Clementine sedikit pun!" Richard Blaxton mendorong Verity agar menjauh.  



"Richard, kau pria yang baik tapi juga naif. Aku akan memastikan kematianmu berlangsung cepat dan tak menyakitkan." Raja Zacharias berkata saat kembali memainkan belatinya, lalu menusuk jantung Richard Blaxton beberapa kali.  



Richard Blaxton menyentuh lukanya, melihat belati yang menancap di dada dengan tatapan tak percaya.  



"Richard!" Verity segera menghampiri Richard Blaxton yang terjatuh dan segera menahan luka pria itu. Namun, ia segera menyadari pria itu telah tiada saat menyentuh area dada. "Kenapa kau melakukan ini?"  



"Aku tidak ingin membuat ini terdengar rumit untukmu, tapi aku membutuhkanmu. Lebih tepatnya membutuhkan darah Dragør yang mengalir di tubuhmu untuk Verity, t masuk ke Dragør dan mendapatkan Qyrsi kembali." Raja dapat Zacharias terlihat benar-benar tenang, tidak seperti telah membunuh seseorang.  



"Kau tidak akan mendapatkannya!" Verity menarik belati yang tertancap di dada Richard Blaxton, lalu mengarahkan ke dadanya sendiri.  



"Well, sayang sekali bila kau mati, Clementine. Tapi kau tidak seberharga yang kau bayangkan. Mungkin bagi Amaranta, Alexander, dan Alastair, tetapi tidak bagiku. Kau mati atau hidup tidaklah penting bagiku." Raja Zacharias tertawa kecil. "Lebih baik bila kau ikut denganku dan pergi dengan tenang."  



"Kau tidak akan pergi dengannya!"  



"Aku tahu kalau ini tidak akan mudah." Raja Zacharias berbalik dan melihat Pangeran Alexander dengan pedangnya yang berlumur darah.  



"Kau seharusnya tidak membuatnya mudah, Zachary. Terlalu banyak tentara Colthas yang berjaga di luar sana." Pangeran Alexander menyeringai lebar. Matanya melirik Verity sekilas. "Alastair masih berada di luar sana, mencarimu."  



Raja Zacharias mengeluarkan pedang dan mengacungkannya ke arah Pangeran Alexander. "Kalau begitu, Raja Cepat kita selesaikan ini sebelum Alastair datang."  



Raja Zacharias jelas lebih hebat dari Pangeran Alexander dalam mengayunkan pedang. Beberapa kali Pangeran Alexander tampak kewalahan melawan, tetapi pria itu masih dapat menghindari seranganserangan yang Raja Zacharias berikan.  



Suara gemuruh juga teriakan-teriakan dari luar terdengar begitu jelas sekarang. Ada derap langkah juga kuda dari berbagai penjuru.  



"Para tentara sudah datang. Kau terkepung, Zachary!" Pangeran Alexander terlihat kelelahan, tidak seperti Raja Zacharias yang berdiri tegap di hadapannya.  



"Oh, ya?" Raja Zacharias mengacungkan pedangnya di hadapan Pangeran Alexander. "Kau harusnya menyayangi nyawamu, Alexander. Hanya kau yang tersisa di garis keturunan Thaurin setelah kau membunuh ayahmu sendiri."  



"Aku tidak akan mati semudah itu." Pangeran Alexander bangkit kembali, hendak memberikan serangan, tetapi gerakan Raja Zacharias yang tidak terduga membuatnya lengah dan mengorbankan tangan kanan.  



"Alexander!" Verity berteriak tepat saat Raja Zacharias menyabet tangan kanan Pangeran Alexander, memotong tangannya dengan begitu mudah seperti pisau yang memotong mentega. "Tangan kananmu...."  



Pangeran Alexander cepat memungut kembali pedangnya dengan tangan kiri yang tersisa. "Aku berjanji untuk melindungimu bukan?" katanya sembari meringis.  



Verity membelalakkan mata, menyadari kalau mimpi yang selama ini ia alami bukan hanya sekadar bunga tidur. "Al...." Ia melihat tangan kanan Pangeran Alexander yang mengucurkan darah. Pria itu baru saja mengorbankan tangan kanannya untuknya.  



"Aku senang kalian bisa saling mengingat satu sama lain lagi," Raja Zacharias terkekeh senang, "tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini."  



"Yang Mulia!" Seorang tentara Colthas mendobrak pintu. Mereka datang!"  



"Sampai jumpa lagi, Verity." Raja Zacharias berlari mengikuti tentaranya, sementara Pangeran Alexander jatuh terduduk.  



"Al, apa yang kau lakukan?" Verity menghampiri Pangeran Alexander, lalu membuka jubah yang ia kenakan dan merobeknya untuk membebat tangan kanan Pangeran Alexander.  



"Sudah lama aku ingin menyingkirkan tangan ini." Pangeran Alexander tidak membiarkan Verity untuk membebat lukanya. Ia menarik secarik kain yang berada di tangan Verity, lalu mengerjakannya sendiri dengan tangan kiri dan giginya.  



Verity melihat tangan Pangeran Alexander yang pucat dengan urat-urat bertonjolan berwarna biru dan ungu kehitaman. "Al, apa yang terjadi pada



tangan kananmu?"  



Pangeran Alexander tidak menjawab pertanyaan Verity, ia sibuk mengikat lukanya sendiri. Bulir-bulir keringat membasahi kening dan pakaiannya. Ia tampak kepayahan ditambah tangan yang putus dan berusaha dibebat seadanya.  



"Al, biarkan aku...." Verity berusaha menahan rasa mual saat melihat tangan Pangeran Alexander, lalu mengambil alih kain yang belum terpasang rapi.  



"Darah siapa itu?" Pangeran Alexander melihat bercak bercak merah yang mengotori gaun Verity.  



"Alastair, Richard, dan sekarang darahmu." Verity menundukkan kepala, berusaha menahan darah yang terus keluar.  



Tangan kiri Pangeran Alexander menyentuh pipi Verity, membuat wanita itu refleks mendongak dan menatap mata hijaunya. "Bukan darahmu?" Verity menggelengkan kepala.  



"Syukurlah," ucap Pangeran Alexander sebelum tubuhnya ambruk, tak sadarkan diri di pangkuan Verity. Ia telah kehilangan banyak darah.  



Suara derap langkah dan keributan terdengar lagi. Verity mencengkeram belati erat-erat, bersiap bila salah satu tentara Colthas atau Raja Zacharias kembali untuk menyelesaikan urusan mereka.  



"Verity!" Verity mengembuskan napas lega saat melihat Raja Alastair yang masuk bersama para tentara Austmarr. Pria itu menelaah situasi di hadapannya. Ada banyak tentara yang mati di depan pintu ruangan: tentara Colthas, Austmarr, juga Thaurin. Sementara di dalam ruangan



hanya ada tiga orang, Alexander yang terlihat tengah sekarat di pangkuan Verity dan tubuh Richard Blaxton telah terbujur kaku di sudut ruangan.  



"Alastair! Cepat tolong Al-Alexander," ucap Verity frustrasi. Air mata telah membasahi pipinya.  



"Apa yang terjadi dengannya?" Raja Alastair berjalan selangkah dan berhenti.  



"Zacharias memotong tangannya," jawab Verity.  



Raja Alastair mengangguk. Sekarang ia mengerti dari mana darah yang menggenang di sekitar Pangeran Alexander dan Verity.  



"Bawa dia!" Salah satu tentara segera mengangkat tubuh Pangeran Alexander dari pangkuan Verity setelah mendengar perintah Raja Alastair.  



Raja Alastair berjalan menghampiri Verity. "Apa kau baik baik saja?"  



"Aku baik-baik saja." Raja Alastair membantu Verity berdiri, memeriksa setiap inci tubuh, dan memastikan kalau darah yang mengotori gaun bukanlah darah wanita itu.  



"Tapi Richard mati, dan Al-Alexander Pangeran Alexander kehilangan tangan kanannya. Rasa bersalah itu menyelubungi hati Verity. Pangeran Alexander tidak akan terluka bila pria itu segera pergi untuk menyelamatkan dirinya. "Colthas yang melakukannya. Apa Alexander akan selamat?"  



"Itu pilihannya," gumam Raja Alastair, tidak senang mendengar Verity mengkhawatirkan pria lain di hadapannya.  



"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Verity tidak bisa menyembunyikan rasa panik dalam suaranya.  



"Perang." Raja Alastair menatap mata violet Verity. Dia tidak peduli lagi siapa sosok di hadapannya ini. Verity tidak mengenal Dragør, dia bukan anak Ratu Mariella Dragør karena Ratu Mariella tidak pernah membesarkannya. Bila Verity adalah kunci kematiannya, maka dengan senang hati ia akan menerima, tentunya setelah membunuh Ratu Mariella dan pihak lain yang ingin menghancurkannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Norbert membawa kapalnya ke ujung Pulau Mera, satu-satunya daerah netral di Inkarnate. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk pulau tanpa izin penghuni aslinya, para pendeta yang tidak pernah menginjak Inkarnate. Kapal menghindari tebing tebing terjal yang mengelilingi Pulau Mera.  



"Norbert, apa kau yakin ini ide yang bagus?" Cuaca di Pulau Mera tidak seperti di Inkarnate. Tidak menentu. Seperti saat ini, langit gelap dan petir menyambar ketika mereka semakin dekat ke pulau. Bila mereka menjauhkan kapal, mereka bisa melihat cuaca terang benderang.  



"Ingatlah, kita adalah pelaut! Rintangan apa pun di Pulau Mera tidak ada apa-apanya dibanding semua yang telah kita hadapi " Norbert meneriakkan kata-kata penyemangat kepada para awak kapal yang mulai ragu mendekati Pulau Mera.  



"Kapten, apa kau yakin Pulau Mera hanya berisi para pendeta yang tidak peduli dengan keadaan di Inkarnate?" Seorang awak kapal di atas menara berteriak ke arah Norbert  



"Mereka bilang, ada juga seorang ratu di dalam sana."  



Norbert terkekeh. Seorang wanita tidak ada apa-apanya dengan  



awak kapalnya yang kuat dan tangguh.  



"Aku melihat ada banyak kapal yang mengarah ke sini, Kapten!"  



Norbert berlari ke salah satu awak kapal dan melihat dari atas,seperti apa Pulau Mera serta kapal-kapal yang hendak menyerang mereka. "Ini tidak mungkin. Persiapkan meriamnya!"  



Norbert berteriak ke seluruh awak kapal. Hujan deras juga gulungan ombak laut tidak menghentikan langkahnya yang berlari mendekati meriam terbesar. "Dengarkan aba-abaku lalu tembakkan meriamnya!" Ia mengambil korek di kantong celana dan menyalakan dengan susah payah karena hujan deras membuat batang kayunya basah.  



"Satu! Dua! Tiga!" Norbert menyerahkan koreknya ke salah satu awak kapal dan kembali berlari ke ujung dek. Ia melihat ada beberapa kapal yang terbakar karena serangan meriamnya. "Siapkan lagi meriamnya!" "Apakah itu kapal kerajaan lain yang juga hendak ke Pulau Mera?"  



Norbert mengangguk ragu. "Tapi Dragør sudah lama hancur. Tidak seharusnya mereka punya armada sekuat itu."                



       



XXXVI RISE AND FALL  



RAJA ALASTAIR BERENDAM di kolam air panas. Ia meringis kala luka-luka di tubuh bersentuhan dengan air panas, lalu melihat telapak tangan dan bahu yang juga terluka. Ia semakin lemah, ia bisa merasakan itu.  



Raja Zacharias menyerang Austmarr, Pangeran Alexander kehilangan tangan kanannya, Ratu Rania mengirim armada terbaik ke Pulau Mera, dan Ratu Amaranta, hanya wanita itu yang tidak ia ketahui rencananya. Ia telah memperhitungkan setiap langkah untuk menjebak Raja Zacharias dan Pangeran Alexander, tetapi ia mendapatkan lebih dari perkiraan. Bila perang akan dimulai kembali, ia tidak hanya harus melawan dua, melainkan semua kerajaan sekaligus dan menyisakan satu Satu kerajaan yang nantinya akan berdiri sendiri.  



Raja Alastair memperhatikan kembali luka-luka di tangannya, rasanya sangat menyakitkan. Tubuhnya melemah atau kutukan Ratu Mariella telah memudar, ia akan mati dengan mudah kali ini. Ia mendengkus keras, Ratu Mariella benar-benar tahu bagaimana cara menyiksa orang lain. Wanita lick itu tidak membiarkannya mati saat pembunuh bayaran masuk ke kamar dan menusuk jantungnya berkali-kali. Wanita itu juga tidak membiarkannya mati saat tersiksa di padang luas dengan punggung terbakar dan tombak di dada, membuatnya memohon, mengemis agar wanita itu melepaskan kutukan saat itu juga. Namun kini, setelah ia memiliki tujuan untuk hidup dan ingin melindungi sesuatu yang merupakan miliknya, ia harus menerima kenyataan kalau ia tidak lagi seperti dulu. Semuanya adil di dalam perang sekarang, Raja Alastair bisa mati, begitu pun lawan-lawannya.



 



"Alastair!"  



Raja Alastair menoleh dan melihat Verity yang berada di depan pintu, terlihat ragu untuk mendekat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Ia bertanya dengan suara berat.  



"Aku hanya ingin tahu keadaanmu." Verity berusaha mendekat, langkahnya pelan dan ragu.  



Raja Alastair memalingkan wajah, lebih tertarik memperhatikan luka-luka di tangannya. "Bagaimana keadaan Alexander?"  



Verity telah menghabiskan waktunya di sisi pria itu sejak Raja Alastair menemukannya di menara pengawas bersama jenazah Richard Blaxton, tangan kanan sekaligus penasihat Raja Alastair. Bukan hanya Pangeran Alexander saja yang kehilangan tangan kanannya, beberapa saat lalu, Raja Alastair juga kehilangan tangan kanannya meskipun hanya secara figuratif.  



"Dia baik-baik saja. Para tabib berhasil menghentikan pendarahannya dan sedang berusaha menutup lukanya." Verity terdiam sejenak, seperti ragu hendak mengatakan sesuatu. "Aku mengingat sebagian kecil masa laluku, Alastair."  



"Apa kau akan tetap berada di sisi Alexander sekarang setelah kau mengingat semuanya?" Raja Alastair mendengkus keras.  



"Apa yang kau bicarakan?" Raja Alastair tersentak ketika merasakan telapak tangan Verity di punggungnya yang kaget telanjang. "Dari mana luka ini berasal, Alastair?"  



"Apa yang kau lakukan?" Raja Alastair berbalik dan menahan tangan Verity agar tidak menyentuhnya lebih jauh lagi. "Kenapa kau berada di sini?"  



"Apa yang kau bicarakan?" Verity berada di hadapannya, duduk di tepi kolam. Wanita itu tidak terlihat takut ketika berbicara dengannya atau melihat luka di punggungnya.  



"Kau tidak perlu lagi berpura-pura menjadi Clementine. Kau sudah mengingat semuanya, bukan? Setelah apa yang Tybalt ucapkan di arena, aku yakin sebagian dari mereka telah menyadari kalau kaulah Verity Dragør." Raja Alastair mengetatkan genggamannya di tangan Verity yang rapuh. Ia menyadari kalau bukan hanya dirinya yang berubah, Verity juga semakin bertambah kuat. Wanita itu tidak lagi seperti saat mereka pertama bertemu.  



"Apakah perang akan mengubah semuanya sekarang? Kau menyelamatkanku beberapa saat lalu. Apa kau ingin membunuhku sekarang?" Verity bertanya tidak mengerti. Raja Alastair baru saja menyelamatkannya dari serangan tombak tentara itu, tetapi sekarang pria itu bersikap seolah-olah dialah musuhnya.  



"Kau berasal dari Dragør."  



"Apa itu akan mengubah segalanya?" Mata violet Verity mengerjap beberapa kali. Ia memang berasal dari Dragør, tetapi bukan ia yang mengutuk jantung Raja Alastair dan membuat pria itu hidup menderita.  



"Aku tidak tahu. Apakah kau akan tetap berada di sini?" "Aku... tidak tahu." Verity benar-benar tidak tahu, apakah ia akan tetap berada di sini atau kembali ke Dragør, ke tempat asalnya, ke tempat semuanya bermula.  



Raja Alastair menahan tangan Verity, sementara tangan kanannya menyentuh pipi wanita itu, menorehkan sedikit basah karena air. "Tetaplah di sini," ucapnya parau. "Kau keluargaku satu-satunya, Verity. Kau istriku."  



Raja Alastair menyentuh tengkuk Verity, lalu mencium bibirnya dalam. Jantungnya berdegup kencang, satu hal yang selalu terjadi bila ia berada di sisi wanita itu. Saat Verity balas mencium, jantungnya kembali menggila. Raja Alastair mengangkat sebagian tubuhnya dan memeluk wanita itu, membiarkan tubuh dan pakaian yang dikenakan Verity ikut basah. Raja Alastair mencium tengkuk, leher, setiap inci tubuh Verity, dan bercinta dengannya semalaman seolah-olah tidak ada lagi hari esok.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Hadrian Colthas melihat kakaknya dengan tubuh berlumuran darah dan pakaian perang yang sudah rusak di setiap sisi. "Aku nyaris tidak bisa mengenalimu, Brother." Ia melemparkan sapu tangan yang diterima kakaknya disertai kekehan lebar.  



"Bersyukurlah karena aku sudah menghabisi semua tentara Austmarr yang mengikuti kita." Raja Zacharias mengelap wajahnya yang kotor karena darah.  



"Kau juga membunuh tentaramu sendiri." Hadrian tidak melihat ada satu pun tentara Colthas yang mengikuti kakaknya.  



Hanya ada dua hal yang bisa menjadi penyebab: tentara Austmarr membunuh membunuhnya sendiri. mereka atau Raja Zacharias  



"Aku tidak bisa membiarkan mereka tetap hidup." Raja Zacharias melepaskan jubah perangnya satu demi satu dan melemparnya ke tentara di sebelah Hadrian. "Yang berjalan begitu lambat akan dibunuh tentara



Austmarr, yang terluka dan tidak dapat mengikuti perjalanan akan dibunuh di tempat."  



"Kau memutuskan untuk membunuh tentaramu sendiri karena mereka memperlambat perjalananmu?"  



"Juga karena mereka dapat ditemukan tentara Austmar dengan mudah." Raja Zacharias berdecak kesal. "Aku tidak akan meninggalkanmu meski jalanmu lambat, Hadrian."  



"Kenapa kau begitu membutuhkan Verity? Kita bisa pergi ke Dragør tanpa wanita itu, Kakak." Hadrian naik ke kuda dibantu salah satu tentaranya. Langkahnya memang lambat, karena itu Raja Zacharias tidak membiarkannya tetap berada di dalam Austmarr saat pertarungan Tybalt hendak dimulai. Ia bisa saja mati karena tidak bisa menyelamatkan diri.  



"Kau tidak tahu seperti apa Dragør." Raja Zacharias terdiam sesaat sebelum melanjutkan, "Mariella Dragør melindunginya dengan sihir. Sihir yang harusnya lenyap kalau wanita itu sudah mati."  



"Apa kau pernah ke sana setelah Dragør hancur?"  



"Aku hanya bisa berada di pinggirnya, tidak masuk ke dalam istana atau merebut Qyrsi kembali." Raja Zacharias lagi lagi berdecak, matanya menerawang, teringat saat terakhir ia berusaha ke Dragør dan bertemu Tybalt bersama para Dragorian yang tersisa. "Bahkan para rakyat Dragør pun tidak bisa masuk ke dalam tempat itu. Mereka hanya bisa berada di pinggirnya dan melihat dari kejauhan reruntuhan sisa kerajaan itu."  



"Ada apa di dalam sana?"  



"Api." Raja Zacharias menjawab singkat. "Aku pernah masuk ke sana dan melihat hal paling menakjubkan juga paling mengerikan dalam hidupku. Aku melihat hutan dan beruang yang dilalap api, dia berlari ke arahku."  



Sehebat itukah sihir Mariella?"  



"Wanita itu harusnya menjadi penerus Selencia setelah Jordan mati." Raja Zacharias berkata pelan. "Aku mendengar banyak hal yang berbeda dari setiap orang yang berusaha memasuki tempat itu."  



"Apa saja? Aku yakin bukan hanya kau yang telah berusaha memasuki Dragør." Hadrian fokus menyimak.  



"Amaranta juga pernah melakukannya. Ia menemukan mayat yang bergelimpangan di pintu masuk Dragør. Ayah kita, Zacharias II, juga melihat api sepertiku. Alastair bahkan tidak bisa masuk ke tempat itu. Tanah Dragør tidak menerimanya." Raja Zacharias mengerutkan kening dan kembali berkata, "Aku menduga hanya Verity Dragør dan pengikutnyalah yang bisa masuk ke sana. Aku membutuhkannya, hidup atau mati. Bila ia mati mungkin sihirnya akan lenyap."  



"Bagaimana dengan Rania Raria? Apakah dia pernah masuk ke dalam sana?"  



"Aku tidak tahu." Raja Zacharias mengembuskan napas gusar. "Sekarang di mana Tybalt?"  



"Sesuai perintahmu, Brother." Hadrian Colthas menunjuk ke arah kereta yang berada cukup jauh di hadapan mereka.  



Raja Zacharias berjalan ke arah kereta itu, lalu membuka pintunya. Ia langsung menerima sebuah tinjuan tepat di rahangnya.



 



"Apa yang kau lakukan kepada Putri Verity, Bajingan!" Tybalt brutal menyerang, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak karena kedua tangan dan kakinya diikat dengan bola besi.  



"Apa kau tidak belajar tata krama? Apakah begitu caramu berterima kasih kepada orang yang sudah menyelamatkanmu dari tempat terkutuk itu?" Raja Zacharias mengelap sudut bibirnya dan memberikan satu tinjuan balasan di wajah Tybalt.  



"Aku tidak memintamu menyelamatkanku, membunuh Putri Verity!" murka Tyblat.



Bajingan!



Kau



nyaris



 



"Melukai Alastair." Raja Zacharias menjawab singkat. "Dengan mengarahkan tombaknya kepada Putri Verity? Yang benar saja!" Tybalt meludah kesal.  



"Alastair akan menyelamatkan wanita itu tentu saja." Raja Zacharias menatap Tybalt tajam. Ia tidak ingin menghabiskan banyak waktu di sini ketika perang siap berkecamuk di Inkarnate. Pangeran Alexander tentu akan menghabisi nyawanya setelah ia memotong tangan kanan pria itu.  



"Apa kau bahkan peduli-"  



"Tidak." Raja Zacharias memotong perkataan Tybalt dan segera menjawab, "Aku harus masuk ke dalam Dragør dan mendapatkan Qyrsi kembali. Karena aku tidak bisa mendapatkan Verity, maka kita harus segera menyusul Rania dan mendapatkan Mariella."  



"Kau tidak pernah peduli kepada Raria sebelumnya." Hadrian yang telah menyusul dengan kuda, melihat Raja Zacharias dan Tybalt diselimuti emosi.  



"Rania adalah ratu yang lemah. Tanpa kehadiran Jenderal di sisinya, mengatakannya cepat. dia bukanlah siapa-siapa." Tybalt  



"Kau tidak akan mengatakan hal yang sama bila kau tahu di mana Ratu Mariella berada." Hadrian mengangkat alisnya dan menatap Tybalt. Sikap terburu-buru pria itu melemahkan sisi mereka. Bila saja ia bisa mendapatkan kelemahan Pangeran Alexander tanpa perlu terlibat rencana licik pria itu, mungkin saja perang tidak akan dimulai secepat ini. "Wanita itu berada di Pulau Mera. Hanya ada satu cara menuju ke sana."  



"Hanya Raria yang bisa melakukannya." Raja Zacharias berdecak kesal.  



"Atau Thaurin." Hadrian menambahkan.  



"Tidak setelah aku memotong tangan kanannya, Brother. Aku tidak menyesal telah melakukannya, tapi fdak ada cara lain menuju Pulau Mera selain bersama Raria." Raja Zacharias terdiam sesaat. "Atau menunggu lagi agar bisa mendapatkan Verity."  



"Austmarr dan Dragør seperti air dan minyak, mereka tidak bisa bersatu." Hadrian tersenyum tipis. "Saat yang satu meraih kejayaannya, yang lain akan melemah. Kita hanya perlu menunggu hingga keduanya saling menghancurkan satu sama lain."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Norbert mengerjapkan beberapa kali, tetapi kain gelap yang menutupi kepala benar-benar membuatnya buta. "Apa yang kalian lakukan!" Ia berteriak putus asa.  



Kapal Kerajaan Raria hancur begitu saja setelah diserang oleh kapal Dragør, hal yang sangat tidak masuk akal karena Dragør telah hancur dan kapal-



kapal itu tidak seharusnya menggunakan simbol Kerajaan Dragør.  



"Arrgh!" Norbert berteriak ketika merasakan siraman air sedingin es yang tiba-tiba membasahi kepalanya. "Apa yang kalian lakukan?"  



"Siapa namamu?" Norbert mengerjap lagi ketika mendengar suara seorang pria.  



"Si-siapa kau?"  



"Kau kapten kapalnya bukan?" Pria itu mengambil sebilah pisau dan memainkannya di hadapan Norbert, siap menyiksa bila tidak mendapat jawaban.  



"Norbert. Namaku Norbert!" Norbert berteriak keras ketika pria itu tibatiba menusuk pahanya. Ia bahkan tidak tahu kapan pria itu menyerang karena kain gelap yang masih menutupi. "Di mana awak kapalku?"  



"Menunggu giliran mereka." Pria itu menjawab singkat.  



"Pulau Mera harusnya berisi para pendeta!" Norbert kembali berteriak ketika pria itu semakin menancapkan pisau lebih dalam di pahanya.  



"Kau cukup banyak berbicara ketika seharusnya kau berada di pihak yang lemah dan memohon pengampunan di sini, Norbert."  



Norbert bergerak gelisah ketika kain yang menutup kepalanya tiba-tiba dibuka. Ia bisa melihat bukan hanya satu, tetapi ada banyak pria lain di hadapannya. Mereka terlihat seperti para bandit atau penjahat dibandingkan pendeta.  



"Siapa kalian?" Norbert bertanya kalut.  



"Mulailah memohon, Norbert!" perintah pria tadi.  



"A-apa maksud kalian?"  



"Yang Mulia." Sebuah jalan terbentuk hingga Norbert bisa melihat sosok yang duduk di singgasana.  



"Ratu Amaranta." Norbert membelalakkan mata, tidak percaya melihat sosok berambut pirang dengan mata violet yang kini berjalan ke arahnya.  



"Coba lagi." Wanita itu berbicara di hadapannya.  



"Ratu Mariella." Wanita itu tersenyum lebar ketika Norbert akhirnya menyadari siapa sosok di hadapannya ini. "Kau seharusnya sudah lama mati."  



"Tapi aku masih hidup dan berada di sini." Ratu Mariella Dragør tersenyum lebar. Ia jelas belum mati seperti yang dikatakan orang-orang. "Bukankah kau dikirim ke sini untuk membunuhku? Atau Rania memiliki rencana lain setelah berhasil membuangku ke sini dan berharap aku mati belasan tahun yang lalu?"  



"Ratu Rania...." Norbert jelas tak mengerti.  



"Masih terlalu muda dan naif saat itu. Tapi kesalahan kecilnya berubah semakin besar seiring berjalannya waktu, Norbert." Ratu Mariella Dragør tersenyum penuh arti, mata violetnya lekat menatap Norbert. "Norbert, apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"  



Mulailah memohon! jerit hati kecil Norbert ketika menatap kedua mata wanita itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair bisa merasakan napas teratur Verity ketika wanita itu terlelap di sebelahnya. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh telanjang Verity hingga ke bawah dagunya. Apakah percintaan mereka berarti Verity akan tetap berada di sisinya atau akan tetap pergi?  



Raja Alastair merapikan anak-anak rambut Verity yang berantakan, lalu mengecup singkat pipi wanita itu. "I think I have falling in love with you, Verity."            



XXXVII A MOMENT OF WEAKNESS  



MARIELLA DRAGØR PASTI punya kelemahan." Hadrian Colthas bergumam. Mereka tengah berada di sebuah perkemahan di tengah Hutan Pinus. "Tentara-tentara Austmarr masih mengejar kita?"  



"Perang sudah dimulai, Brother. Saat tombak itu mengarah ke Verity Dragør, saat itu juga perang dimulai." Raja Zacharias berdecak kesal. Mata hitamnya melihat ke sudut tergelap hutan yang dijaga beberapa tentara Colthas. Tybalt Wildemarr berada di sana, masih dengan kedua tangan dan



kaki yang terikat bola besi. Bila Verity Dragør benar-benar peduli keadaan Dragør, wanita itu akan mencari Tybalt sesegera mungkin.  



"Apa yang kita lakukan sekarang? Menunggu?" Hadrian menyeret kakinya dibantu tongkat yang selalu setia membantu.  



"Alastair tidak akan melakukan semuanya dengan gegabah. Amaranta.....apa yang wanita itu pikirkan sekarang setelah bonekanya berbalik arah melawannya?" Raja Zachariasmenebak-nebak.



 



"Mariella Dragør. Dia adalah jawaban dari semua pertanyaan kita. Sejak perang pertama, Amaranta tidak pernah beristirahat. Wanita itu tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan Mariella." Mata hitam Hadrian berkilat ketika melihat kakaknya yang termenung di depan pintu tenda, "Mariella pasti punya kelemahan. Kita bisa masuk ke Dragør saat ia melemah."  



"Dia punya kelemahan," Raja Zacharias mengangguk, "segelnya terbuka belasan tahun lalu. Aku menduga ia lemah karena baru saja melahirkan."  



"Lalu Rania berhasil mendapatkannya?" tanya Hadrian dengan nada berbisik. Tidak boleh ada seorang pun yang mendengar percakapan mereka, terutama Tybalt Wildemarr.  



"Ya," Raja Zacharias mengangguk lagi, "dan Amaranta bisa masuk Dragør meski hanya sesaat."  



"Kau tidak menceritakan semuanya kepadaku, Zachary. Apa yang Amaranta dapatkan di dalam sana?" Hadrian penasaran.  



"Aku tidak tahu." Raja Colthas sebelumnya tidak memberikan petunjuk lagi kepada mereka. Pencarian terhadap Ratu Mariella Dragør berhenti setelah wanita itu menghilang tanpa jejak dan Dragør tidak bisa dimasuki lagi.  



"Apa yang kau lihat di dalam sana sebenarnya? Selain api dan beruang itu." Hadrian mendesak. Apa sebenarnya yang membuat kakaknya begitu terpaku dengan keberadaan sisa anggota keluarga kerajaan Dragør. "Zachary, apa yang ada di dalam sana? Aku harus tahu agar aku bisa menyusun rencana perang kita untuk merebut Qyrsi kembali."  



Raja Zacharias terdiam cukup lama, matanya memejam tubuhnya kaku. Ia benar-benar tidak suka membicarakan apa yang ia lihat hari itu di Dragør.



"Mariella semakin menguat, Hadrian. Apa yang aku lihat hari itu tidak ada apa-apanya dengan apa yang akan kita hadapi nanti."  



"Apa yang terjadi pada hari itu, Zachary?"  



"Api. Beruang." Raja Zacharias mengembuskan napas gusar. "Itu semua adalah ilusi yang terasa sangat nyata, Hadrian."  



"Ilusi?" Hadrian mengerutkan kening.  



"Aku melihat api dan merasakan panasnya membakar kulitku, melelehkan jubah perang yang kukenakan, tapi setelah keluar dari Dragør ... kulitku tidak terluka sedikit pun." Raja Zacharias sangat yakin saat itu mungkin hari terakhirnya di dunia setelah nyaris mati di tanah Dragør.  



"Apa ini artinya .." Mereka tidak mengenal siapa lawan sebenarnya, itu jauh melenceng dari perkiraan. "Bila Mariella semakin menguat, bisa saja sihirnya membunuhmu kali ini."  



"Karena itu aku membutuhkan Verity Dragør. Dia adalah kunci untuk memasuki Dragør." Raja Zacharis mengembuskan napas panjang dan melanjutkan, "Aku berharap Qyrsi masih hidup dan tidak terluka sedikit pun."  



"Kenapa?"  



"Qyrsi merupakan naga terakhir yang dimiliki Colthas, Hadrian. Aku tidak tahu kenapa ayah kita memilih Qyrsi dibanding naga lain." Raja Zacharias menatap mata hitam Hadrian dan menyadari kalau adiknya sudah mengerti sekarang. "Naga adalah makhluk langka di manapun ia berada. Sisiknya saja bisa menjadi senjata yang mematikan."  



"Bakar tubuh penyihir itu," Hadrian bergumam, "sihirnya tidak mempan dengan api bukan? Dan sisik Qyrsi bisamembunuh Mariella."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Ratu Mariella berdiri di hadapan Norbert. Wanita itu tidak terlihat seperti hendak memberinya kesempatan sedikit pun. "Apa yang kau inginkan, Norbert?"  



Norbert membuka mulut dan mengatupkannya kembali. Kenapa dia yang terpilih dari semua pelaut dan tentara milik Raria? "Aku ingin...."  



Setelah menatap cukup lama, Norbert menyadari mata Ratu Mariella tidak memiliki cahaya yang sama seperti Ratu Amaranta atau Clementine Selencia. Tidak ada kilatan api yang membara atau menggebu-gebu, selain ungu pucat, terlihat dingin seperti es. Beberapa orang mungkin mengira ia buta bila melihat sekilas karena warnanya nyaris menyaru dengan bola mata yang berwarna putih.  



"Apa yang kau inginkan, Norbert?" Ratu Mariella bertanya sekali lagi. Para bandit, pelaut, dan bajak laut milik Raria yang dibuang ke Pulau Mera berada di sisinya.  



"Aku ingin kesempatan," ucap Norbert pada akhirnya.  



"Apa kau tahu kekuatan yang lebih hebat daripada cinta, Norbert?" Norbert menggelengkan kepala. Ia bisa mendengar debur ombak juga badai yang berada di Pulau Mera.  



"Rasa benci," imbuh Ratu Mariella.  



"Rasa benci?" Norbert membeo.



 



"Rasa benci akan membawa kehancuran yang lebih besar lagi. Seperti apa yang adikku lakukan kepadaku." Ratu Mariella tertawa kecil.  



"Ratu Rania menyampaikan ini." Norbert menjilat bibirnya gelisah. Ia bisa merasakan campuran rasa asin laut dan darah. "Putri Verity. Verity Dragør! Dia masih hidup!"  



"Aku tahu." Mata violet Ratu Mariella terlihat menerawang. Norbert bisa merasakan bulu kuduknya meremang ketika tak sengaja menatap mata wanita itu, benar-benar mengerikan.  



"Anda membiarkan putri Anda disiksa di Selencia dan Austmarr?" Mata Norbert membelalak. Seharusnya ia tidak meremehkan Ratu Mariella hanya karena ia seorang wanita.  



"Ada pengorbanan untuk sesuatu yang kita inginkan, Norbert." Ratu Mariella membalik punggungnya, tidak lagi tertarik berbicara dengan pria itu. "Bunuh dia!"  



"Tidak, tidaaaak! Yang Mulia! Yang Mulia!" Norbert menjerit ketika salah satu bandit mengeluarkan pedang dan segera memenggal kepalanya.  



Ratu Mariella melihat kepala Norbert yang jatuh menggelinding, mata coklatnya terbelalak, sementara tubuhnya masih terikat di kursi pesakitan. "Panggil día!" Seorang pria, tidak, bocah laki-laki ditarik keluar dari persembunyian di antara pilar-pilar kuil. "Yang Mulia." Bocah itu segera memberi hormat di hadapan Ratu Mariella. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak melihat kepala Norbert yang tergeletak di dekatnya.  



"Sampaikan rasa terima kasihku kepada Alexander Thaurin!"  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Dragør memperlihatkan keinginanmu yang paling gelap dan paling dalam. Keinginan yang kau simpan rapat-rapat di dalam hatimu. Keinginan yang juga merupakan kelemahanmu," Pangeran Alexander terdiam sesaat, "Zacharias III Colthas menginginkan naganya kembali, karena itu ia melihat api di dalam Dragør. Amaranta ingin kematian saudarinya, karena itu ia melihat mayat yang bergelimpangan di jalannya."  



"Lalu apa yang kau lihat?"  



Pangeran Alexander menatap tangan kanannya yang kini tidak lebih dari sepotong lengan tak berguna. "Aku melihat Verity yang menari di hadapanku, menjebakku untuk mencipipi hemlock di tangannya."  



"Kau menginginkan Verity Dragør?" Pria di hadapannya menatap tak percaya.  



"Apa yang kau lakukan di sini, Jenderal Kilorn? Tidak bersama Ratu Rania dan mengawasinya?" Pangeran Alexander mengembuskan napas gusar. Ia tidak bisa merasakan apa pun di tangan kanannya. Ia merasa telah cacat sekarang.  



"Aku ingin memperingatimu," jawab Jendral Kilorn.  



"Untuk?" Pangeran Alexander meneguk lebih banyak mead. Matanya berkunang-kunang, tidak fokus melihat wajah Jenderal Kilorn.  



"Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan, Boy. Ada perang di luar sana dan kau-"  



"Thaurin." Pangeran Alexander memotong, terdiam sesaat. "Aku bukan ayahku, Kilorn. Thaurin tidak bersekutu dengan Selencia."  



"Verity Dragør tetaplah Clementine Selencia. Dia tetap Ratu Austmarr." Jenderal Kilorn mengguncang pundak Pangeran Alexander, berusaha menyadarkan.  



"Aku mengorbankan tanganku, bukan? Ada pengorbanan untuk setiap hal yang aku inginkan, Kilorn." Pangeran Alexander mendengkus kesal, mata hijaunya terlihat kosong.  



"Raja Alastair akan membalas pemberontakan Colthas." Jenderal Kilorn melihat tangan kanan Pangeran Alexander yang ditutupi lengan kemeja panjang. "Raria memilih bersekutu dengan Austmarr, Selencia akan bersama Austmarr. Bagaimanapun juga, Clementine Selencia adalah anak-"  



"Verity Dragør." Pangeran Alexander memotong perkataan Jenderal Kilorn lagi.  



"Wanita yang dinikahi Raja Alastair berasal dari Selencia dan Dragør. Apa kau lupa apa alasan Clementine Selencia menikah dengan Raja Alastair? Untuk menghindari perang." Jenderal Kilorn nyaris membentak Pangeran Alexander.  



Selain Colthas yang membelot dari Inkarnate dan Ratu Amaranta yang menghilang semenjak pemberontakan Colthas, mereka semua berada di Austmarr sekarang. Pangeran Alexander di Austmarr karena tangannya yang buntung setelah dipotong Raja Zacharias, sementara Ratu Rania dan Jenderal Kilor akan segera kembali ke Raria setelah mendiskusikan rencana perang mereka dengan Raja Alastair.  



"Aku tidak ingin membicarakan ini lagi, Kilorn." Pangeran Alexander menegak mead-nya kembali. Cairan itu satu-satunya obat untuk meringankan rasa sakit di tangannya.  



"Aku hanya memperingatimu, Alexander!" Jenderal Kilorn menggebrak meja, membuat botol mead di atasnya jatuh hingga pecah berkepingkeping, membuang cairan kuning keemasan di luar sana yang tidak bisa kau menangkan tanpa bantuan siapa yang menguarkan aroma manis madu dan alkohol. "Ada perang Pun."  



Pangeran Alexander meneguk mead yang tersisa di gelasnya, lalu menjawab santai. "Aku tahu, Jenderal."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity memejamkan mata kuat-kuat ketika merasakan tangan Raja Alastair yang mengusap pipi dan merapikan anak rambutnya. Ia berusaha menenangkan degup jantung ketika pria itu mendekat, lalu memberikan sebuah kecupan singkat di pipinya.  



"I think I am falling in love with you, Verity." Raja Alastair menarik bahu Verity agar menghadapnya. "Aku tahu kalau kau terbangun, Verity."  



Verity membuka mata, mengerjap beberapa kali, lalu berusaha menerka ekspresi di wajah Raja Alastair dengan bantuan cahaya bulan dan api perapian. "Apa yang membuat Anda berpikir seperti itu, Yang Mulia?"  



"Aku tidak tahu." Raja Alastair menarik tangan Verity dan mengecupnya. "Apa kau ingat saat kau benar-benar ingin membunuhku?"  



"Karena Anda berusaha membunuh anak-anak dari Dragør itu, Yang Mulia," jawab Verity.



 



"Kau tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya, Verity." Raja Alastair bergumam ketika menatap mata violet Verity. "Mereka akan balas dendam atas apa yang mereka dapatkan."  



"Mereka hanya anak-anak."  



"Apa kau tidak tahu betapa berbahayanya seorang anak yang tumbuh dewasa dengan dendam di dalam hatinya?" Raja Alastair tengah membicarakan dirinya sendiri tentu saja. Hatinya mengeras seperti batu karena kutukan Ratu Mariella. Penyihir itu mengisi hatinya dengan dendam, mengubah hatinya hingga sehitam arang, tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk rasa kasihan apalagi cinta. Tidak ada, sebelum Verity datang dan membuat jantungnya berdetak kembali. "Apa yang telah Amaranta lakukan kepadamu, Verity?"  



Verity mengerjapkan mata beberapa kali, lalu berusaha membalik punggungnya, menyelesaikan pembicaraan mereka tanpa jawaban.  



"Verity." Raja Alastair berbicara dengan nada lebih pelan dan merapatkan tubuhnya kepada Verity, memaksa wanita itu untuk berbicara.  



"Aku tinggal di dalam penjara Selencia seumur hidupku, Yang Mulia. Atau begitulah yang kuingat," Verity mengembuskan napas panjang, "hingga beberapa saat lalu, aku bahkan tidak ingat pernah tinggal di Thaurin sebagai Clementine Selencia."  



"Dari mana kau mendapatkan luka ini?" Raja Alastair menggenggam telapak tangan Verity.  



"Matthias. Ia pernah menghukumku karena tidak bisa menulis dengan lancar. Aku menggunakan darahku sendiri sebagai tinta untuk menulis." Tidak ada lagi kebohongan, Verity mengatakan yang sebenarnya sekarang.



 



"Apa yang Amaranta inginkan ketika ia membawamu masuk ke Austmarr?"  



"Membunuh Anda, Yang Mulia." Verity merasakan kecupan-kecupan ringan yang diberikan Raja Alastair di pundaknya.  



"Apa yang dia inginkan sekarang?"  



Verity terdiam sesaat, berusaha mengingat-ingat apa yang Ratu Amaranta katakan. "Kita tidak bisa meneruskan ini, Alastair.  



"Apa yang dia inginkan, Verity?" Raja Alastair menghentikan ciumannya, lalu menatap mata Verity. Wanita itu terlihat ragu, ketakutan, juga merasa bersalah.  



"Dia menginginkan anakku." Verity menjawab ragu.  



"Anakmu?" Raja Alastair mengerutkan kening.  



"Anak kita. Pewaris Kerajaan Dragør dan Austmarr." Verity mengucapkannya cepat. "Dia ingin menguasai Inkarnate dengan menjadikan pewaris Kerajaan Dragør dan Austmarr sebagai bonekanya."                      



           



XXXVIII DRAGON'S SCALE  



T-TERIMA K-KASIH, YANG MULIA?" Bocah di hadapan Ratu Mariella membelalakkan mata, ragu-ragu mengangkat kepala, dan melihat mata violet sang ratu yang kini lurus menatapnya.  



"Jangan bertanya. Lakukan saja!" Salah satu bandit berkepala plontos segera mendorong dan membuat bocah itu jatuh tersungkur tak jauh dari kepala Norbert.  



Ratu Mariella mengangkat tangan, menghentikan si pria yang siap menghajar bocah itu. "Kenapa kau bertanya?"  



Bocah itu segera berlutut di hadapan Ratu Mariella, kali ini tatapannya lurus ke bawah. "K-kenapa terima kasih, Yang Mulia?"  



"Karena dia telah membuka jalan untuk perang kedua." Jawaban tidak terduga Ratu Mariella membuat bocah itu menunduk semakin dalam karena tidak tahu apa isi kepala seluruh anggota kerajaan. "Bawa kepala Norbert ke hadapan Alexander dan Rania!"  



"B-baik, Yang Mulia." Bocah itu menggenggam rambut Norbert, lalu mengangkatnya ragu-ragu.  



Norbert, pria yang gagah berani berusaha melawan Ratu Mariella beberapa saat lalu, kini tidak ada bedanya dengan makanan gagak di perbatasan Austmarr. Satu kesalahan saja dan ia akan bernasib sama.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa kau tidak menyadari kekuatan yang kau pendam di dalam dirimu?" Raja Alastair menatap tajam, membuat Verity mengerutkan kening tidak mengerti. "Kau lebih kuat daripada saat pertama kali datang ke Austmarr. Kau bisa menghadapi Amaranta, bahkan seluruh Inkarnate sekali pun."  



"Kenapa Anda mengira kalau Anda mencintai saya, Yang Mulia?" Verity menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perasaan lelah menggelayuti hati. Ia ingin hidup tenang tanpa adanya perang yang berkecamuk atau permainan penuh muslihat seperti sekarang.  



"Karena kau bisa menjadi obat untuk kutukanku. Karena kau satu-satunya orang yang bisa membuat jantungku berdetak kembali." Raja Alastair meletakkan tangan Verity di dadanya.  



Verity bisa merasakan detak jantung Raja Alastair. Ritmenya tenang, tidak menggebu-gebu seperti dulu. Raja Alastair terlihat lebih manusiawi sekarang, meski begtiu, ia masih ragu pria itu tahu arti cinta ketika mengucapkannya.  



Verity terdiam sesaat, lalu menarik tangannya menjauh. "Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk mencintai seseorang Yang Mulia."  



Raja Alastair tersenyum tipis. "Kau benar. Ada luar sana yang harus kita menangkan."  



"Kita?"



 



"Kau bagian dariku sekarang. Menang atau kalah, kau akan tetap berada di sisiku."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Semilir angin menerbangkan helaian rambut juga gaun biru tua Verity. Para pengawal setia mengikuti, jarak mereka tidak lebih dari dua langkah di belakangnya. Perang membuat semuanya lebih rumit, Austmarr dijaga lebih ketat dengan pengawasan dan pengamanan berlapis, tidak hanya di istana, tetapi di perbatasan juga. Ada kabar yang berembus kalau Tybalt Wildemarr masih berada di Austmarr dan perintah bunuh di tempat telah diberikan oleh Raja Alastair.  



Verity membuka pintu dan melihat Pangeran Alexander yang duduk termangu di depan jendela kaca. "Al!" panggilnya.  



Pangeran Alexander menoleh dan melihat Verity yang berada di ambang pintu, seperti tengah menunggunya untuk mempersilakan masuk. Ia melihat ke seluruh pengawal yang mengikuti Verity, lalu kembali menatap jendela di hadapannya.  



"Kalian bisa menunggu di depan pintu." Verity ementara ia masuk ruangan dan menutup pintunya. "Apa kau memerintahkan baik-baik saja?" seluruh pengawalnya untuk menunggu,  



"Aku baik-baik saja," jawab Pangeran Alexander singkat. Ia mengambil mead di sebelahnya dan meneguk sebagian.  



"Aku  



"Bila kau ingin minta maaf, kau bisa menyimpannya di dalam hatimu. Aku tidak menyalahkanmu atas semua yang terjadi, Verity. Kau juga korban dari semua ini." Alih-alih merasa lega, perkataan Pangeran Alexander semakin membuat Verity merasa bersalah.  



"Lalu kenapa kau melakukannya?" Verity menelan ludah susah payah. Pria di hadapannya ini telah melindunginya selama bertahun-tahun saat masih berada di dalam cengkeraman Ratu Amaranta. Walau ia juga yang nyaris menghancurkan Tybalt Wildemarr.  



"Kau tahu kenapa," gumam Pangeran Alexander singkat. "Apa yang ayahku lakukan kepadamu tidak termaafkan. Tybalt hanya datang di saat dan waktu yang tidak tepat."  



"Lalu bagaimana mengucapkannya.



dengan



Dragør?"



Verity



nyaris



berbisik



ketika



 



"Aku tidak peduli kepada Dragør." Pangeran Alexander mengangkat kepala dan menatap mata violet Verity. "Bagiku, kaulah yang terpenting. Bukan Dragør, bukan Inkarnate."  



"Kenapa?" Verity mengerutkan kening tidak mengerti.  



"Karena aku berjanji kepadamu belasan tahun lalu. Janji itu tidak pernah berubah." Pangeran Alexander bangkit berdiri, lalu berjalan hingga ke depan jendela. "Apa kau tahu kenapa perang pertama terjadi, Verity? Apa kau tahu apa yang suamimu berusaha sembunyikan dari seluruh Inkarnate?"  



Verity menggelengkan kepala. Richard Blaxton selalu menghentikan ceritanya tepat saat permulaan perang pertama. Ada yang hilang dari serpihan-serpihan cerita pria tua itu: kenapa di antara seluruh musuh Ratu



Mariella, wanita itu memilih untuk memberi kutukan kepada Raja Austmarr? Dan kenapa ia tidak mengutuk semua orang yang telah berusaha menghancurkannya?  



"Ini adalah Inkarnate." Dengan tangan kirinya, Pangeran Alexander menggambar peta Inkarnate di permukaan jendela. "Austmarr, Dragør, Raria, Colthas, Selencia, dan Thaurin. Apa kau tahu kelebihan mereka?"  



"Austmarr memiliki pasukan dan armada terhebat, Raria memiliki angkatan laut yang kuat, Thaurin ahli obat-obatan." Verity terdiam ketika menyadari ada bagian yang dulu tidak Matthias jelaskan kepadanya. "Colthas memiliki naga?"  



"Qyrsi, naga itu berada di Dragør sekarang. Sedangkan Selencia adalah ahli sihir. Dan Dragør adalah kerajaan terkaya di Inkarnate, seluruh tambang emas dan permata berada di tanah Dragør." Pangeran Alexander menjelaskan.  



Verity mengangguk, masih tidak mengerti kenapa Raja Austmarr memutuskan untuk menghapus sebagian sejarah lima kerajaan. "Bukankah Amaranta yang memulai perang?"  



"Amaranta yang memulai perang itu, tetapi ketakutan Klaus Austmarr yang menjadi alasan wanita itu untuk memulai perang."  



"Ketakutan? Bukankah Austmarr adalah kerajaan terkuat di Inkarnate?" Verity mengerutkan kening tak mengerti.  



"Austmarr mungkin memiliki pasukan terhebat dan terletak di jantung Inkarnate, tapi luas daratan selalu lebih kecil daripada lautan, mereka bisa dikalahkan dengan mudah oleh Raria seandainya seluruh bagian Inkarnate terendam banjir." Pangeran Alexander tertawa kecil dengan nada suram.



"Dulu naga-naga Colthas ada puluhan jumlahnya, pekikan juga kepakan sayap mereka bisa terdengar hingga Thaurin."  



"Lalu?"  



"Austmarr tidak bisa membiarkan kerajaan lain lebih kuat daripada mereka. Dia tidak bisa menjadi pemimpin kerajaan seandainya lima kerajaan lain memutuskan untuk menyerang." Pangeran Alexander menarik napas panjang, pertanda ia akan menerangkan lebih banyak. "Lalu di sinilah peran Dragor muncul. Raja Ferdinand Dragør memutuskan untuk menjadi sekutu Austmarr seandainya perang pecah di Inkarnate. Namun, sebelum perang benar-benar terjadi, mereka tentu harus melemahkan kerajaan-kerajaan yang lain terlebih dahulu."  



"Austmarr membunuh naga-naga itu?"  



Pangeran Alexander mengangguk. "Salah satu naga yang dimiliki Colthas, Rhionen, menghancurkan sebuah desa dan memakan penduduknya."  



"Austmarr dan Dragør jadi memiliki alasan untuk menyingkirkan naga-naga itu."  



"Benar," Pangeran Alexander tersenyum tipis, "lalu para bajak laut Raria disingkirkan ke Pulau Mera setelah mereka memperkosa para wanita di desa yang mereka jarah."  



"Bagaimana dengan Selencia dan Thaurin?"  



"Ayahku dan Amaranta memutuskan untuk bekerja sama tentu saja. Austmarr dan Dragør tidak bisa terus dibiarkan. Kebencian Amaranta kepada saudarinya menjadi alasan bagi wanita itu untuk menyerang Dragør secara diam-diam dan menghabisi setiap anggota kerajaan Dragør.



Zacharias II Colthas yang melihat pintu untuk membalaskan dendamnya terbuka lebar, mengirimkan satu-satunya naga milik Colthas yang tersisa, Qyrsi, untuk menghancurkan Dragør dalam sekejap." Pangeran Alexander berbalik dan melihat Verity yang masih berusaha mengerti situasi perang pertama dulu. "Apa yang dia katakan kepadamu tentang Klaus Austmarr?"  



"Klaus Austmarr mati karena mereka berusaha menyelamatkan Dragør."  



"Salah. Klaus Austmarr mati karena pria itu tahu tidak ada persekutuan yang dapat bertahan selamanya, apalagi bila satu pihak telah mendapatkan apa yang dia inginkan. Ferdinand Dragør membunuhnya tanpa ampun, ketamakan pria itulah yang telah menghancurkannya. Pada malam itu, tidak hanya raja-raja di Dragør saja yang mati. Soraya Colthas dan Eleanor Austmarr juga mati di tangan tentara Thaurin yang berpakaian seperti tentara Dragør." Pangeran Alexander tertawa miris.  



"Apa itu berarti semua kerajaan memiliki kesalahan?" Verity berusaha menyimpulkan.  



"Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Verity. Bahkan Dragør pun memiliki kesalahan."  



Verity menggelengkan kepala tidak mengerti. "Lalu kenapa Alastair memutuskan untuk mengubur ini semua?"  



"Untuk menghindari perpecahan. Lima kerajaan yang tersisa telah cukup hancur setelah perang. Bila Inkarnate tahu kalau ketakutan Raja Austmarr yang menjadi akar masalahnya, tentu akan membuat Austmarr jatuh dan tidak dapat memimpin lagi." Pangeran Alexander memperlihatkan tangan kanannya kepada Verity. "Orang-orang tidak akan peduli kepada kerajaan yang telah hancur. Dragør dijadikan sebagai kambing hitam untuk semua permasalahan yang ada."  



"Apa karena itu kalian memperlakukan seluruh warga Dragør dengan semena-mena?"  



"Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya selain anggota keluarga kerajaan, Verity. Yang mereka tahu adalah, akan selalu ada seseorang atau sesuatu yang dikorbankan, dan kebetulan saja Dragør menjadi korbannya." Pangeran Alexander menarik tangan Verity untuk menyentuh tangan kanannya. "Aku mengorbankan tanganku."  



"Apa kau berbohong kepadaku?" Mata Verity berkaca-kaca. Pikirannya sesak oleh tanya yang berkecamuk.  



"Aku melakukan ini demi kau, Verity. Bukan demi Dragor atau Inkarnate." Pangeran Alexander merapikan helaian rambut Verity dan tersenyum tipis. Matanya menatap ke luar jendela sekilas sebelum menarik wanita itu agar menjauh, hingga keduanya jatuh di antara serpihan-serpihan pecahan kaca jendela.  



"Apa kau baik-baik saja?" Pangeran Alexander memeriksa setiap inci tubuh Verity dan melihat wanita itu tidak terluka sama sekali, selain sedikit luka memar karena terjatuh tadi.  



"Apa yang terjadi?" Verity membelalakkan mata melihat seorang bocah berusia tidak lebih dari lima belas tahun merangsek masuk lewat jendela, membuat kacanya hancur berkeping-keping beberapa saat lalu. "Bagaimana dia bisa masuk?"  



Para pengawal masuk ruangan dan mengelilingi bocah yang terlihat sangat pucat. Ia membawa sesuatu seperti bundelan berukuran cukup besar di pelukannya.  



"Alexander Thaurin." Suara dingin si bocah membuat Verity refleks menggenggam tangan Pangeran Alexander dan menarik pria itu menjauh.  



"Alexander Thaurin." Bocah itu mengulangi. Kali ini wajahnya tidak lagi menunduk dan lurus ke arah Pangeran Alexander.  



"A-apa dia...." Verity terkesiap ketika melihat mata bocah itu yang putih seperti susu.  



Bocah itu mengeluarkan bundelan dari pelukannya. Sebuah kepala lelaki, pucat dan berlumur darah. "Alexander Thaurin,"  



"Al." Verity memperhatikan ekspresi Pangeran Alexander dan mendapati pria itu tenang-tenang saja.  



"Perang telah dimulai," ucap bocah itu lagi, "Dragør akan berada di garis terdepan untuk menghancurkan kalian!"  



Para pengawal menodongkan senjata ke kepala si bocah, tetapi ia tidak terlihat ketakutan sedikit pun. "Terima kasih, Alexander Thaurin, karena kau telah memberikanku alasan untuk menghancurkanmu." Usai berucap, ia jatuh meluruh seperti ada dorongan tak kasat mata.  



"Apa ini? Bagaimana dia bisa berada di sini?"  



"Sihir hitam." Pangeran Alexander menjawab singkat. Para pengawal segera mengikat dan membawa bocah itu. "Tidak perlu repot-repot, bocah itu sudah mati."  



"Sihir hitam?"  



"Mariella Dragør kembali." Pangeran Alexander menatap wajah pucat Verity. "Dan dia jauh lebih kuat daripada sebelumnya."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Tybalt!"  



Tybalt membuka mata. Ia masih berada di dalam kereta tanpa jendela milik Colthas saat seperti ada seseorang yang memanggilnya.  



"Tybalt!" Tybalt mendengarnya lagi, tetapi tidak ada seorang pun yang membuka pintu kereta. Ia mendorong bola besi dan bergerak menuju pintu.  



"Tybalt, mereka datang. Mereka akan kembali!" Suara itu kini berubah seperti bisikan.  



tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kali ini ia mendengar seperti  



"TYBALT!"  



Tybalt membelalakkan mata, berusaha mencari suara sang ayah yang meneriakkan namanya.  



"Dragør, Dragør... Verity Dragør."  



Tybalt menggedor pintu kereta. Ia harus segera keluar dari tempat terkutuk ini.  



Seseorang tiba-tiba membuka pintu kereta. Mata hitamnya menatap Tybalt datar. "Kau mendengarnya bukan?"



 



"Hadrian?" Tybalt menyipitkan mata melihat Hadrian Colthas berada di hadapannya. Tangan pria itu tidak hanya menggenggam tongkat, tetapi kunci untuk ikatan besi yang membelegu tangan dan kakinya.  



"Mariella Dragør, dia memanggilmu bukan?"  



"Dari mana kau tahu?" Tybalt membiarkan Hadrian Colthas membuka ikatan di tangan dan kakinya, lalu beranjak keluar dari kereta. Langkahnya terhenti ketika melihat tentara-tentara Colthas yang harusnya mengiringi mereka, telah mati bersimbah darah. "Apa kau melakukan ini?"  



"Apa kau kira aku sanggup melakukan hal seperti ini?" Hadrian tertawa mengejek. Ia lalu menunjuk satu-satunya jasad pria yang tidak bersimbah darah.  



"Apa dia...." Tybalt melihat mata putih tentara Colthas itu.  



"Dia sudah mati." Hadrian menjawab singkat.  



"Apa yang terjadi?" Tybalt menatap Hadrian Colthas.  



"Mariella Dragør." Hadrian berjalan pelan di antara mayat mayat prajurit Colthas. "Aku yakin ia juga melakukan hal sama kepada seluruh Dragørian yang lain."  



"Di mana Zacharias?"  



"Kembali ke Colthas tentu saja, Dragør yang kau bawa bersamamu masih berada di sana." Ada sekumpulan prajurit berjumlah tidak lebih dari lima orang di ujung perkemahan, membawa kuda dan sebagian perlengkapan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"



 



"Bagaimana dengan Verity Dragør?"  



"Mungkin dia juga mendengar hal yang sepertimu. Mariella Dragør tengah berusaha mengumpulkan semua Dragørian yang tersisa, termasuk anaknya sendiri," jawab Hadrian Colthas.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Verity, Verity, Verity...." Verity memejamkan mata, berusaha mengabaikan suara yang terus-menerus memanggilnya. "Belati, belati, belati...."  



"Apa kau baik-baik saja, Verity?" Pangeran Alexander menatapnya khawatir.  



"Belati yang Ratu Amaranta berikan dulu kepadaku, apa itu berasal dari Dragør?" Verity menelan ludah susah payah. Ia berusaha memahami apa yang suara itu inginkan. "Kenapa kau bertanya?"  



"Ayahmu, Raja Arthur memberikanku sisik naga. Apa maksudnya itu?" Belati itu masih berada di tangan Raja Alastair dan disembunyikan entah di mana.  



"Belati itu terbuat dari sisik naga. Sisik naga adalah senjata yang hebat bila digunakan dengan tepat. Sisik naga yang ayahku berikan kepadamu adalah pecahan sisik Qyrsi, sedangkan bagian yang lebih besar dibentuk menjadi sebuah senjata." Pangeran Alexander menjawab pertanyaan Verity. "Apakah itu bisa membunuh?"  



"Membunuh penyihir atau memecahkan ikatan sihir." Pangeran Alexander menatap Verity.  



Verity diam terpaku. Berarti kutukan Ratu Mariella memudar setelah ia menusuk jantung Raja Alastair. Kesimpulannya, ia bukan penawar untuk kutukan pria itu,melainkan penghancur.                                



XXXIX THE TWINS TALE  



"YANG MULIA, APA yang harus kita lakukan?" Salah satu penasihat Selencia menatap Ratu Amaranta khawatir. Ia sangat menyadari apa dan betapa berbahayanya sosok di hadapan mereka bila terus dibiarkan.  



"Bakar dia!" Ratu Amaranta turun dari singgasana dan berjalan hingga undakan tangga terakhir, melihat sosok seperti mayat yang beberapa saat lalu masih berbicara di hadapannya.  



"Dia membawa pesan dari Ratu Mariella Dragør, Yang Mulia." Sosok serupa Mayat itu salah satu petinggi Kerajaan Selencia, wajahnya pucat dengan



mata seputih susu. Ratu Mariella berhasil merasuki orang-orangnya adalah bencana terbesar.  



"Aku tahu." Ratu Amaranta menjawab singkat. Ia mengerti rasa takut orang-orangnya setelah melihat apa yang Ratu Mariella lakukan. Merasuki seseorang menjadi pertanda kalau sihir Ratu Mariella telah bertambah kuat. Dulu, saudarinya itu penyihir hebat. Sekarang bisa saja ia telah berkali lipat hebat, bahkan menguasai semua ilmu sihir yang terlarang.  



"Ini sihir hitam, Yang Mulia!" Para petinggi Kerajaan Selencia tidak mengerti dengan sikap terlalu tenang yang diperlihatkan oleh Ratu Amaranta setelah melihat efek sihir hitam. "Mariella Dragør telah berhasil merasuki salah satu petinggi Selencia! Kita harus membentuk sekutu, Yang Mulia. Raja Arthur telah tiada, tetapi saya yakin Raja Alexander akan bersedia menjadi sekutu kita."  



"Untuk apa?" Ratu Amaranta mengangkat kepala dan menatap mata penasihatnya.  



"Dragør bisa saja menyerang kita sekarang, Yang Mulia." Pria itu menunduk dalam. Rasa takut mengalahkan segalanya, hingga ia berani mempertanyakan kesiapan Selencia untuk menghadapi perang yang bisa tiba kapan saja. "Selencia tidak siap, Yang Mulia."  



"Karena kita tidak lagi memiliki darah penyihir seperti Mariella?" Ratu Amaranta berdiri di hadapan sosok serupa mayat yang masih bergelung di lantai marmer.  



Seluruh penasihat juga para petinggi Kerajaan Selencia terdiam. Sudah bukan rahasia lagi kalau Ratu Amaranta tidak memiliki kekuatan sihir. Dari seluruh anggota keluarga Kerajaan Selencia, dia jauh berbeda, tidak memiliki kemampuan sihir seperti saudara-saudaranya, Mirella dan Jordan. Saat Jordan mati, seluruh Selencia yakin Ratu Mariella yang akan



menggantikan kakak lelakinya itu. Namun, ia malah memilih menikah dengan Ferdinand Dragør, kemudian Ratu Amaranta maju menjadi Ratu Selencia.  



Keraguan yang sedari dulu membayangi seluruh Selencia, lerhapuskan sejenak ketika kabar kematian Ratu Mariella tersebar bertepatan dengan kehancuran Dragør. Kini, saat bukti Ratu Mariella masih hidup, keraguan itu kembali muncul secara perlahan, memaksa mereka untuk segera mengambil tindakan.  



"Atau karena kalian menyadari kalau akulah yang memulai perang dua dekade lalu?" Ratu Amaranta berdiri dengan tenang di hadapan para petinggi Selencia. "Apakah kalian akan tetap di sini, mendukungku, atau kalian telah bersiap untuk menusukku dari belakang?"  



"Yang Mulia!" Para petinggi Selencia itu berlutut, menyerahkan diri mereka di tangan sang ratu.  



"Bakar dia!" Ratu Amaranta melihat sosok malang yang menjadi pengantar pesan Ratu Mariella.  



Salah satu pengawal mengambil obor, lalu menjalankan perintah. Ratu Amaranta bisa mendengar desisan juga rintihan pelan dari sosok itu sebelum benar-benar hangus terbakar.  



"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kita bisa bersekutu dengan Thaurin atau Austmarr. Putri Clementine Selencia menikah dengan Raja Alastair, mereka tentu-"  



"Cukup dengan omong kosong ini!" Gelegar suara Ratu Amaranta membuat pria itu terdiam.  



"Siapa yang dapat kita percayai, Yang Mulia?" Pria itu memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi saat Ratu Amaranta kembali duduk di singgasananya.  



"Tidak ada. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun." Ratu Amaranta melihat sosok di tengah ruangan yang telah hangus terbakar. "Siapkan tentara Selencia! Kita akan berangkat menuju Dragør."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Setiap kali kau membunuh satu musuhmu, akan ada dua musuh lain yang muncul." Perkataan Jenderal Kilorn terdengar lantang di ruangan itu.  



Mereka semua tengah berkumpul di ruang takhta. Verity hanya bisa terpaku melihat mayat bocah yang tubuhnya masih dipasung dan ditahan.  



"Ada yang ingin kau jelaskan kepada kita semua, Rania?" Raja Alastair tidak perlu melihat Ratu Rania untuk menyadari wanita itu tengah ketakutan.  



"Kau tidak membunuhnya?" Pangeran Alexander bertanya tenang. "Kau pasti tahu siapa dia."  



"Dia ... Norbert." Ratu Rania bergumam melihat kepala di sebelah bocah itu. Norbert, pria yang begitu gagah berani mengatakan akan membawa Ratu Mariella ke hadapannya.  



"Apa maksud Mariella mengirimkan ini kepadamu?" Raja Alastair kini melihat Ratu Rania.  



"Tidakkah ini begitu jelas, Yang Mulia?" Ratu Rania balas menoleh, mata coklatnya terlihat marah dan berkaca-kaca, sementara buku-buku jarinya memutih karena mencengkeram lengan kursi begitu erat.



 



"Kau tidak membunuhnya?" Pangeran Alexander terkekeh pelan. "Apa kau kira kau bisa mengontrol Mariella Dragør?"  



Mata Ratu Rania membelalak marah ketika menatap Pangeran Alexander yang terang-terangan menertawakan kebodohannya. "Aku mendapatkannya, itulah yang terpenting."  



"Oh, ya? Tidakkah kau lihat apa yang ada di hadapanmu itu?" Pangeran Alexander berdiri dari singgasananya dan berjalan menuruni undakan tangga hingga ke hadapan mayat si bocah.  



"Mariella tidak mungkin melakukannya." mencengkeram erat lengan kursinya.



Ratu



Rania



kembali



 



"Bawa obor api itu ke sini!" Pangeran Alexander memerintahkan salah satu pengawal untuk membawa obor yang menerangi ruangan. "Bersyukurlah kalian karena Mariella tidak menggunakan bocah ini lagi dalam waktu dekat. Ia hanya sedang memperingati kita semua."  



Mereka terdiam ketika Pangeran Alexander mengambil obor dari tangan pengawal, lalu melemparkannya ke bocah itu. Suara desisan juga jeritan kecil terdengar.  



"Apa itu?" Verity tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya. Sosok menyerupai mayat, pucat, dengan mata seputih susu ini baru pertama kali ia temui. Hal menakjubkan sekaligus mengerikan.  



"Dzel. Sebelumnya dia juga hidup seperti kita. Manusia biasa." Pangeran Alexander menjelaskan sembari memperhatikan bocah itu benar-benar hangus terbakar. "Hanya sihir hitam paling tinggilah yang bisa membangkitkan sosok ini. Dia tidak bisa disembuhkan."  



"Dia pernah menjadi manusia biasa seperti kita?" Verity memperhatikan raut wajah Raja Alastair, pria di sisinya itu masih terlihat tenang. Ratu Mariella adalah ibunya. Ia tidak tahu siapa yang harus dipercayai dalam situasi seperti ini, ibunya yang tidak pernah ia temui atau Raja Alastair.  



"Tidak seperti ungrad yang sudah mati sebelum dirasuki, dzel adalah manusia biasa yang dirasuki oleh siapa pun pengirimnya. Bila ia tidak cukup kuat menjadi wadah untuk orang yang merasukinya, dia akan mati seperti bocah ini. Hingga saat ini, belum ditemukan orang yang cukup kuat menjadi dzel dan tetap hidup setelah dirasuki." Pangeran Alexander menjelaskan dengan tenang. Dzel ataupun ungrad, sosok itu amat berbahaya, apalagi bila Ratu Mariella berhasil merasuki salah satu dari mereka. "Membakarnya merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan dzel atau ungrad. Dia bisa bangkit lagi bila pengirimnya menginginkannya."  



"Apa yang bisa ia lakukan?" Verity menelan ludah susah payah. Ratu Mariella akan membalaskan dendamnya dan semua anggota kerajaan di Inkarnate akan hancur satu per satu. "Kenapa Mariella menunggu waktu selama ini untuk balas dendam?"  



"Karena dia lemah!" ketus Rania Raria, "Pulau Mera adalah pulau terasing. Penyihir sekuat apa pun seharusnya tidak bisa mencapai Inkarnate."  



"Penyihir yang tidak memiliki ilmu hitam." Pangeran Alexander menambahkan. "Tidakkah kau lihat apa yang ada di hadapanmu, Rania? Dzel, ungrad, semua ini berasal dari sihir hitam. Mariella tidak akan menggunakan cara bersih untuk membalaskan dendamnya."  



"Mariella semakin kuat setiap tahunnya." Jenderal Kilorn bergumam, lalu melihat ke arah Verity, memperhatikan wanita itu lekat-lekat. "Tidakkah seharusnya kita mencurigai Ratu Clementine dibandingkan satu sama lain?"  



"Apa maksudmu?" Verity tidak bisa menghapus nada sinis nan dingin ketika mendengar penuturan Jenderal Kilorn.  



"Kau datang secara tiba-tiba, Yang Mulia. Clementine Selencia, yang tidak pernah terlihat sebelumnya, tersembunyi dari seluruh Inkarnate." Jenderal Kilorn mencengkeram erat pedangnya, bersiap mengeluarkan menyerang bila Verity bergerak seinci saja. "Namun, kau bukan Clementine, kan? Tybalt mengumumkan kalau kau adalah Verity. Verity Dragor!"  



"Wanita ini adalah istriku!" Raja Alastair memecah ketegangan dengan sebuah kalimat sederhana dan nada yang tenang. "Clementine Selencia atau Verity Dragør, siapa pun wanita ini, dia adalah istriku. Kuharap kau menyadari kalau kau masih berada di tanah Austmarr. Melukai anggota kerajaan adalah pengkhianatan terbesar di Inkarnate. Yang kau butuhkan sekarang adalah sekutu, bukan tambahan musuh lagi, Jenderal."  



Verity mengembuskan napas yang sedari tadi tertahan. Jenderal Kilorn nyaris melukai hanya karena ia anak Ratu Mariella.  



"Anda benar, Yang Mulia. Maafkan saya." Jenderal Kilorn melepas cengkeraman dari pedangnya. Ia menarik napas dalam dalam, lalu menunduk.  



"Kilorn tidak melakukan kesalahan apa pun. Kita harus tahu apa yang kita hadapi saat ini." Ratu Rania memperhatikan Verity lekat. "Bila dia anak Mariella Dragør, bukankah itu berarti dia juga memiliki sihir seperti wanita itu?"  



Verity refleks menunduk, meremas-remas gaun, tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau katakan untuk membalas. Mereka benar, bila ia memang anak Ratu Mariella atau setidaknya keturunan Selencia, seharunya ia memiliki sedikit sihir.  



"Atau bisa saja ia seperti Amaranta yang tidak memiliki sihir." Pangeran Alexander menambahkan.  



Mereka semua memperhatikan Verity yang masih terdiam dan tidak membalas tuduhan Ratu Rania.  



"Hanya ada satu cara untuk tahu." Jenderal Kilorn mengulurkan sebilah belati ke tangan Ratu Rania. "Darah."  



"Darah?" Verity mengangkat kepala dan menatap memohon kepada Raja Alastair. Namun, pria itu tidak mengatakan apa pun atau mencegah mereka melukainya seperti tadi.  



"Berikan belatinya kepadaku." Pangeran Alexander mengambil belati dari tangan Ratu Rania, lalu berjalan ke hadapan Verity.  



"Al.... " Verity memohon kepada Pangeran Alexander. Tidak ada satu pun pengawal yang mendekat atau berusaha menahan ketika pria itu berada di hadapannya. Bahkan Raja Alastair tidak mengatakan apa pun untuk menghentikan semua omong kosong ini.  



"Percaya kepadaku." Pangeran Alexander tersenyum tipis.  



Verity berusaha memercayai kata-kata Pangeran Alexander. la berdiri dari singgasana dan mengikuti pria itu berjalan ke tengah aula, tempat dzel tadi dibakar. Bara apinya masih menyala terang.  



"Apa yang akan kau lakukan?" Verity berdiri di hadapan dzel itu.  



"Berikan tanganmu!" Verity mengulurkan tangannya dengan ragu.  



"Kita membutuhkan darahmu untuk membuktikan apakah kau seorang penyihir seperti Mariella Dragør atau bukan." Tangan kiri Pangeran Alexander menggenggam belati, bersiap melukainya.  



Pangeran Alexander mengiris telapak tangan Verity, lalu melempar belati. Dia meremasnya hingga darah yang keluar terkumpul semakin banyak. Verity meringis pelan, nyaris tangannya tadi. Mata violetnya melihat Raja Alastair yang menangis ketika duduk di singgasanannya dengan 1 Pangeran Alexander mengiris telapak raut wajah datar.  



Pangeran Alexander membawa tangan mereka ke bara api yang masih menyala. Darah yang menetes membuat bara api membesar, lalu kembali seperti biasa. Tetes berikutnya tidak memberi efek apa pun.  



"Dia bukan penyihir." Pangeran Alexander berkata lantang sembari melepaskan tangan Verity.  



Verity berusaha menahan getaran tangannya sembari berjalan menjauhi bara api dan dzel yang terbakar. Ia mendongak ketika menyadari Raja Alastair telah berada di hadapannya, meraih tangannya, lalu mengikatkan sebuah kain untuk menutupi luka.  



"Kenapa?" Verity bertanya karena merasa heran.  



"Mereka tidak akan berhenti sebelum mengetahui yang sebenarnya." Raja Alastair tidak melepas genggaman terhadap telapak tangan Verity yang terluka.  



"Siapa yang bisa kupercayai di sini?" Verity memperhatikan Ratu Rania yang melihatnya penuh kebencian, tidak seperti saat pertama kali mereka bertemu. Jenderal Kilorn juga menatapnya curiga.  



"Tidak ada. Tidak ada yang bisa kau percayai." Raja Alastair mengusap punggung tangan Verity. "Bahkan aku, Alexander, atau Tybalt, tidak ada yang bisa kau percayai."  



Verity memperhatikan tangan kiri Pangeran Alexander yang masih basah karena darah. Bukan darahnya, tetapi darah pria itu sendiri. Pangeran Alexander melukai dirinya, lalu mencampur darah mereka saat mengarahkannya ke bara api. Apa artinya ini semua?  



XL END OF THE BARGAIN  



TIDAK ADA YANG bisa dipercayai, Raja Alastair ataupun Pangeran Alexander. Tidak ada satu pun. Ia sendirian di sini, ia selalu sendirian.  



Verity menunggu di depan pintu. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana, menunggu pintu terbuka, atau seseorang datang menghampiri. Ia tidak bisa memercayai Pangeran Alexander, tetapi pria itu satu-satunya orang yang berani mengungkapkan sedikit kebenaran, mungkin sedikit kebohongan. Ia benar-benar tak tahu.  



Verity memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Sekali, dua kali, ia nyaris berbalik ketika mendengar suara pelan dari dalam.  



"Masuk!"  



Verity mendorong pintu dan melihat Pangeran Alexander yang tengah membebat tangan kanannya. Mata pria itu hanya menatapnya sekilas.  



"Kalian bisa menunggu di luar." Verity berbalik, menunggu para pengawal mengikuti perintahnya.  



"Kalian bisa menunggu di luar!" Verity mengulangi ketika tidak ada seorang pun yang bergerak.  



"Yang Mulia, Raja Alastair meminta-"  



"Kalian bisa menunggu di luar!" Salah satu pengawal berani bicara, meski pada akhir dipotong oleh Verity.      



Pengawal tadi kembali bicara. "Setelah apa yang terjadi kepada Anda karena dzel tadi dan-"  



"Ibuku tidak akan membunuhku!" Verity menghadap para pengawalnya, menatap mereka satu per satu. "Istana ini jauh lebih berbahaya daripada dzel yang menyampaikan pesan."  



"Yang Mulia ...." Para pengawal terlihat tidak setuju.  



"Istana ini tidak bisa melindungiku dari tiga percobaan pembunuhan. Aku selamat karena bisa menjaga diriku sendiri, bukan karena pengawalan kalian." Verity menarik napas dalam dalam, lalu kembali menatap mereka satu per satu. "Kalian bisa menunggu di luar."  



Para pengawal menunduk, tidak sanggup lagi berkata-kata atau membalas. Mereka memberikan hormat sekilas kepada Verity dan Pangeran Alexander sebelum pergi.  



"Kau semakin terlihat seperti Ratu setiap harinya," komentar singkat Pangeran Alexander membuat Verity menaikkan alisnya.  



"Bagaimana rasanya?"  



"Tangan kananku?" Pangeran Alexander bertanya sambil lalu ketika berusaha membebat tangan kiri sebisa mungkin dengan mulut dan jemarinya. "Menyakitkan. Aku tidak tahu kenapa aku tidak berteriak saat bajingan itu memotong tangan kananku. Kurasa karena sebagian tangan kananku telah membusuk, separuh sarafnya telah mati. Cepat atau lambat, aku harus memotong tangan sialan itu." la mengembuskan napas gusar ketika tidak berhasil melakukannya dengan satu tangan.  



"Kenapa kau melukai tangan kirimu?" Verity mengambil perban dari tangan Pangeran Alexander. "Apa kau tidak perlu memberinya obat lebih dahulu?"  



"Tidak perlu." Pangeran Alexander menjawab singkat, membiarkan Verity membebat tangan kirinya dengan rapi. "Bagaimana tanganmu?"  



"Kau tidak menjawab pertanyaanku, memperlihatkan tangannya yang terluka.  



"Lukanya lebih dalam dari yang kuduga." Pangeran Alexander mengambil sebuah botol kaca cokelat, lalu menyerahkan kepada Verity. "Minum ini!"  



"Apa ini racun?" Verity memperhatikan isi botol kaca itu.  



"Aku tidak perlu susah payah memotong tanganku sendiri bila aku memang berniat membunuhmu, Verity," jawab Pangeran Alexander.  



"Fair enough." Verity menenggak cairan pahit di dalam botol kaca, lalu mendesis ketika Pangeran Alexander tiba-tiba menyiram lukanya dengan isi



botol kaca yang baru saja ia minum. "Apa ini?"  



"Mead. Kau tidak pernah minum alkohol?" Pangeran Alexander membersihkan luka dan mengambil secarik kain untuk menutupinya.  



"Kenapa kau melakukannya, Al?" Verity menarik langannya.  



"Tidakkah kau lihat apa yang akan mereka lakukan?" Pangeran Alexander menghela napas panjang. "Seperti yang kau katakan tadi, istana ini lebih berbahaya daripada dzel yang dikirim Mariella."  



"Kenapa kau peduli?" Verity menatap mata hijau Pangeran Alexander.  



"Karena aku berjanji kepadamu, Verity."  



"Siapa yang dapat kupercayai di sini?" Verity memberikan pertanyaan sama seperti yang ia berikan kepada Raja Alastair.  



"Percaya kepada dirimu sendiri." Pangeran Alexander tersenyum tipis. "Aku tidak akan berada di sini selamanya untuk membimbing atau melindungimu."  



"Kau akan kembali ke Thaurin." Verity bergumam. Ia tidak bisa mencerna perasaannya saat ini.  



Cepat atau lambat, Pangeran Alexander harus kembali ke rumahnya dan ia akan kembali sendirian. Tidak ada Richard Blaxton yang menemani atau Pangeran Alexander yang dengan suka rela melindungi. Hanya Raja Alastair yang ia sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan pria itu. Cinta, pria itu berucap demikian, tetapi tidak melakukan apa pun ketika Pangeran Alexander mengiris tangannya.  



"Maukah kau ikut denganku?"  



"Ikut denganmu?" Verity mengangkat kepala dan menambahkan, "Ke Thaurin?"  



"Kembali ke rumah."  



"Rumah?" Verity kali ini menggelengkan kepala. "Thaurin bukan rumahku walaupun aku pernah menghabiskan masa kecil di sana. Aku bahkan lupa seperti apa masa kecilku di Thaurin, Al. Aku tidak mungkin ke Thaurin, tidak dengan perang yang semakin dekat."  



"Aku tidak membicarakan Thaurin." Pangeran Alexander meraih tangan Verity dan meremasnya pelan. "Aku membicarakan Dragor, rumahmu."  



Aku bahkan tidak "Dragør, rumahku? pernah menginjakkan kakiku ke sana. Alastair juga tidak akan membiarkanku."  



"Apa kau akan tetap di sini? Bahkan ketika pintu keluar terbuka begitu lebar?" Pangeran Alexander melepaskan genggamannya. "Sejauh apa pun kau pergi, Dragør tetap rumahmu."  



Pangeran Alexander melihat keraguan di mata Verity. Ia mengerti kalau wanita itu takut menginjakkan kakinya keluar dari penjara yang diciptakan orang-orang di sekelilingnya. "Aku tidak memaksamu untuk pergi denganku, Verity. Sebelum matahari terbit, aku sudah pergi meninggalkan Austmarr."  



"Alexander, kau adalah raja sekarang. Kau garis terakhir keturunan Thaurin, aku tidak mungkin membiarkanmu .... "  



"Begitu juga kau dan Alastair. Kau garis terakhir keturunan Dragør. Apa kau tidak ingin melihat tempat di mana semuanya bermula?" Ucapan Pangeran Alexander membuat Verity semakin bingung.  



"Alexander." Verity nyaris memohon kepada Pangeran Alexander. Sudah terlalu jauh bila mereka ingin mencegah perang. Perang akan tetap terjadi, sekalipun ia pergi dari Austinarr atau tidak.  



Pangeran Alexander seperti bertanya kepadanya untuk memilih Austmarr atau Dragør, Raja Alastair atau Pangeran Alexander. Verity kini berada di titik dilema untuk memutuskan masa depannya.  



"Aku tidak memaksamu. Aku akan meninggalkan Austmarr sebelum matahari terbit, Verity." Pangeran Alexander mengulangi pernyataannya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity berjalan gontai menuju kamar Raja Alastair. Entah sudah berapa lama mereka tidur bersama tanpa menyentuh satu sama lain atau membicarakan sesuatu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perang atau Selencia. Verity menyadari kalau ia tidak mengenal betul Raja Alastair walaupun pria itu seperti sangat mengenalnya.  



Raja Alastair tidak seperti rumor yang berkembang sebelum ia menginjakkan kaki di Austmarr. Pria itu memiliki langkah terencana, setiap keputusan yang diambil penuh perhitungan. Sejauh ini Raja Alastair belum pernah menentang keinginannya ataupun melakukan hal di luar batas. Verity telah beberapa kali mengambil langkah yang menimbulkan perpecahan di Austmarr. Ia tidak tuli, entah berapa kali mendengar kalau Raja Alastair berubah setelah menikah dengannya. Pria itu menjadi lemah karenanya. Bukan hanya karena belati yang ia tusukkan, tetapi mencintainya juga akan membuat pria itu semakin lemah.  



"Kau semakin sering ke kamar Alexander akhir-akhir ini."  



"Alastair!" Verity terkesiap melihat Raja Alastair yang sudah berdiri di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini?"  



"Aku tidak boleh berdiri di depan kamarku sendiri?" Raja Alastair mengangkat alis sembari memperhatikan raut wajah wanita di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di kamar Alexander?"  



"Membicarakan berbagai hal." Verity menjawab sambil lalu.  



"Berbagai hal?" Raja Alastair membuka pintu dan mempersilakan Verity masuk lebih dulu. "Apa ada sesuatu yang harus kukhawatirkan dari kalian berdua?"  



"Berbagai hal yang kau sembunyikan dariku, Alastair." Verity lagi-lagi tersentak ketika menyadari Raja Alastair telah berdiri tepat di belakangnya.  



"I never lie to you." Napas Raja Alastair menggelitik tengkuk ketika pria itu berbisik di telinganya. "Apa ia memberitahu yang sejujurnya kepadamu?"  



"Aku tidak tahu." Perkataan Raja Alastair jelas membuat perasaan Verity kembali mencintaiku?" Kenapa ragu. "Apa kau benar-benar kau membiarkan mereka? Pertanyaan terakhir terhenti tepat di ujung lidahnya.  



Verity tak yakin pria seperti Raja Alastair tahu apa definisi cinta. Pria itu hidup tanpa jantung yang berdetak sebelumnya, hatinya hampa dan kosong. Bisa saja seluruh perasaan yang tiba tiba menyeruak itu bukan cinta.  



Raja Alastair tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh Verity, lalu meletakkan telapak tangan Verity di dadanya. "Aku tahu kalau kita tidak



punya waktu untuk cinta ketika perang ada di depan mata."  



"Kita tidak punya waktu." Verity mengangguk singkat dan mendongak. Memperhatikan mata cokelat Raja Alastair, rambut, tinggi badan, dan setiap goresan luka di tubuhnya. Berusaha mengingat setiap inci raut wajah juga memori yang diberikan olehnya.  



"Kita tidak punya waktu setelah ini." Verity tersenyum tipis lalu berjinjit, setengah memaksa pria itu untuk menunduk dan menciumnya.  



Raja Alastair tidak membutuhkan waktu lama untuk membalas ciuman Verity. Semuanya terasa begitu cepat, begitu mudah tanpa perencanaan, seperti insting untuk bertahan hidup. Raja Alastair merapatkan tubuh Verity begitu erat ke tubuhnya. Menjadi satu, menjadi bagian dari dirinya seperti yang pernah ia ucapkan.  



Verity merintih pelan ketika mereka telah berpindah ke kasur. Raja Alastair berada di atasnya, menguasainya. Tidak hanya tubuh, tetapi juga isi pikirannya. Ciuman pria itu berpindah dari bibir, ke leher, payudara, perut, dan setiap inci tubuhnya. Verity berusaha membalas setiap hal yang pernah pria itu lakukan kepadanya. Lagi-lagi ia mengerang ketika tubuh mereka menyatu. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kini gilirannya berada di atas pria itu.  



"Kau tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya," ucap Raja Alastair pelan sembari mengelus rambut panjang Verity yang berada di atasnya, mendengar detak jantungnya.  



"Because we don't have time." Verity menjawab pelan. Ia mencium dada pria itu, lalu bibirnya perlahan. Mereka melakukannya lagi untuk terakhir kali.  



Untuk terakhir kalinya. Verity hanya bisa bergumam di dalam hati.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity melihat matahari yang nyaris terbit. Pangeran Alexander menunggunya atau mungkin telah pergi dari Austmarr. Dengan seluruh keberanian, Verity memilih jalan memutar, melewati pintu para pelayansatu-satunya pintu yang terbuka di pagi buta seperti ini-lalu berjalan menuju pintu gerbang Kerajaan Austmarr.  



"Alexander." Verity menarik napas lega melihat Pangeran Alexander masih menunggunya di depan pintu gerbang. Hanya ada pengawal Pangeran Alexander yang berpakaian serba hitam dengan pin Kerajaan Thaurin tersemat di dada. "Kau belum pergi."  



"Aku berjanji kepadamu."Pangeran Alexander mengulurkan tangan. "Apa kau siap?"  



"Aku ingin pulang." Verity bergumam, lalu mengangguk dan menerima uluran tangan Pangeran Alexander.  



Pangeran Alexander dengan mudah mengangkat tubuh Verity dan mendudukkannya di atas sadel kuda. "Kereta akan membuat kepergianmu begitu mudah terlihat. Aku akan memegangimu, tenang saja." Ia ikut naik, lalu melepas jubah untuk menutupi Verity.  



"We'll go home."  



Raja Alastair berada di depan jendela, melihat kepergian mereka dengan tatapan muram.  



"Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan?" Jenderal Irvin menunggu perintahnya.  



"Aku tidak bisa menahannya. Dia tidak akan berhenti sebelum tahu yang sebenarnya." Raja Alastair terkekeh pelan. Tidak menyangka bila ratunya punya keberanian untuk pergi setelah malam indah mereka. Di antara yang lain, harusnya Verity paling tahu kalau ia mudah terbangun dengan gerakan sekecil apa pun.  



"Lalu apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak bisa mengerti jalan pikiran Raja Alastair. Pria itu tidak menentang apa pun yang diperintahkan oleh ratunya.  



Selama Clementine Selencia berada di Austmarr, sang rajamembiarkannya bergerak sesuka hati sembari mengawasi, tidak menahannya seperti saat ini-saat Clementine Selencia memilih kabur bersama Pangeran Alexander, tunangannya dulu.  



"Ratu Rania, apa yang harus kita lakukan?" Raja Alastair berbalik, melihat Ratu Rania yang menatapnya penuh kebencian.  



"Lepaskan anak-anakku!" Ratu Rania menjerit keras. Kedua tangan dan kakinya diikat borgol besi.  



"Mereka berada di sebelah. Kau tidak ingin mereka terbangun karena suaramu, bukan?" Ratu Rania mengatupkan bibir, tak mengucapkan sepatah kata lagi ketika Raja Alastair berada di hadapannya. Inilah Raja Alastair yang sesungguhnya. Pria tanpa hati. Pria barbar yang bengis, yang rela bermain kotor demi mendapatkan keinginannya.  



"Ini kesalahanmu," Raja Alastair menatap dingin, "aku menyuruhmu membunuh Mariella bukan?"  



"Apa kau kira aku akan mendengarkan perintah anak muda sepertimu?" Ratu Rania meludah tepat di wajah Raja Alastair.  



Raja Alastair hanya mengusap wajahnya, lalu menghadap ke arah Jenderal Irvin yang sudah siap dengan belatinya.  



"Tidaaaak!" Ratu Rania menjerit ketika Jenderal Irvin memotong rambutnya, merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai seorang ratu. "Aku ini seorang Ratu! Ratu!"  



"Kau datang ke tempat yang salah, Rania." Salah satu pengawal melemparkan sesuatu ke hadapannya. "Weak. Weak. Queen."  



Ratu Rania menjerit lagi ketika melihat kepala Jenderal Kilorn yang beberapa detik lalu baru terpisah dari badan tegapnya, berlumur darah, matanya masih terbuka, mulut menganga. "Kau membunuhnya!"  



"Dia mengancam istriku. Menurutmu aku harus tetap membiarkannya hidup?" Ratu Rania membelalakkan mata, tidak sanggup mengatakan apa pun lagi. "Inilah bayaran karena kau tidak mematuhi perintahku, Rania!"  



"Mariella terlalu kuat." Ratu Rania berusaha membela diri ketika mendengar tangisan dari ruangan di sebelahnya, Orion dan Cassiopeia yang seharusnya berada di Raria sekarang. "Lepaskan anak-anakku, Alastair."  



Ratu Rania memohon, merendahkan diri dan martabat demi anak-anak yang ia cintai.  



"Semakin besar cintamu kepada seseorang, semakin lemah dirimu. Mereka akan tumbuh dengan penuh kebencian karena dirimu, Rania." Raja Alastair menatapnya lekat.



 



"Apa maksudmu?"  



"Suatu hari nanti mereka akan tumbuh dan mengenalmu sebagai ibu yang meninggalkan anak-anaknya karena keserakahan. Tenang saja, aku akan menjaga mereka dan Raria hingga tiba waktunya untuk Orion menjadi Raja Raria." Raja Alastair kini mendekati ratu tak berdaya itu.  



"Yang Mulia Raja Alastair ... kumohon. Kumohon." Ratu Rania menggelengkan kepala ketika melihat sebuah racun di hadapannya.  



"Minum racunnya, Rania!" Ratu Rania terus menggelengkan kepala, enggan dipaksa menerima hukuman paling rendah yang biasa diberikan kepada anggota keluarga kerajaan. Meminum racun berarti mengakui kesalahannya, kekalahannya, dan menghukum dirinya sendiri hingga mati.  



"Kau memilih jalan yang sulit. "Raja Alastair memerintahkan Jenderal Irvin untuk menusuk leher Raty Rania.  



Jenderal yang Irvin dengan senang hati melakukannya. terhuyung lemas karena kehabisan darah.  



"Apa yang akan kita katakan kepada rakyat Raria?"  



"Dzel membunuh Rania dan Kilorn. Orion dan Cassiopeia akan berada di Austmarr hingga mereka cukup umur untuk memimpin. Aku yakin para penasihat Raria tidak akan begitu peduli dengan keadaan anak-anak Rania, mereka akan berebut untuk menjadi pemimpin sementara." Jenderal Irvin mengangguk ketika mendengar perintah Raja Alastair.  



"Apakah Anda benar-benar perlu membunuh Ratu Rania, Yang Mulia?"  



"Rania Raria mengira ia bisa menggigit sesuatu yang lebih besar, tetapi tidak. Ia melakukan kesalahan karena sifat naifnya. Cepat atau lambat, mereka juga akan menyadarinya. Aku tidak bisa membiarkannya," jawab Raja Alastair.  



"Bagaimana dengan Ratu Clementine dan Raja Alexander?" Jenderal Irvin melihat matahari pagi yang sudah semakin tinggi, pertanda Pangeran Alexander dan Clementine telah berjalan cukup jauh untuk mereka kejar.  



"Ke mana mereka pergi?"  



"Ke utara, Yang Mulia. Menuju Dragør."  



"Kita tidak bisa menyusul mereka, berarti Colthas bukanlah pilihan karena mereka bersekutu dengan Tybalt Wildemarr. Lalu Amaranta ...." Raja Alastair tampak berpikir.  



"Ratu Amaranta, Yang Mulia?" Jenderal Irvin mengerutkan kening.  



"Bukankah itu tujuanku menikah dengan putrinya? Untuk menghindari perang. Kita berada di akhir perjanjian sekarang." Raja Alastair berusaha mengingat perkataan terakhir Verity. Karena kita tidak memiliki waktu. Namun, mereka masih punya banyak waktu. Seumur hidup.  



"Yang Mulia?" Jenderal Irvin tak habis pikir kenapa Raja Alastair memberinya perintah yang sulit dimengerti.  



"Ratu Amaranta adalah saudara kembar Mariella. Dia akan membantuku masuk ke dalam Dragør." Ucapan Raja Alastair sedikit memecah teka-teki di benak Jenderal Irvin.  



Jenderal itu kini mengangguk paham. Raja Alastair memang tak bisa masuk Dragør karena kutukan Ratu Mariella. Penyihir itu membuatnya tak diterima di tanah Dragør. Setiap kali mencoba, maka ia akan jalan berputarputar hingga berhari hari dan kembali ke Austmarr atau Selencia begitu saja.  



Selain Richard Blaxton, hanya ada sebagian kecil petinggi Austmarr yang tahu kondisi Raja Alastair, Jenderal Irvin salah satunya.  



"Anda akan membawa Ratu Clementine kembali?"  



Raja Alastair menggeleng. "Keputusan kembali ke Austmarr berada sepenuhnya di tangan Clement." Ia tidak akan seperti Ratu Amaranta yang menahan Verity selama bertahun-tahun. Ia yakin wanita itu akan kembali suatu hari nanti.  



Untuk saat ini, ia harus mengurus sesuatu yang harusnya selesai puluhan tahun lalu. "Aku akan menyelesaikan perang."                          



XLI



THE WOLVES  



TYBALT MEMACU KUDANYA cepat, melewati Hadrian Colthas dan para pengawal yang mengiringinya. Seluruh warga Drager menunggu di depan pintu gerbang Colthas dengan wajah pucat, panik, dan kebingungan karena tak tahu pasti apa yang tengah terjadi.  



"Ratu Mariella ...." Salah berbicara. satu warga Dragør mulai  



Tybalt mengangguk cepat. "Kalian juga mendengar suara Ratu Mariella?"  



"Dia memanggil kita kembali ke Dragør." Mereka saling mengangguk satu sama lain, pertanda setuju. "Di mana Barney? Bagaimana dengan Putri Verity?"  



Rahang Tybalt mengeras. Waktu berjalan begitu cepat selama ia pergi dari Colthas menuju Thaurin dan berakhir di persidangan Austmarr. "Barney mati di tangan Thaurin." Ia tak bisa menyembunyikan nada getir di suaranya. Kehilangan sahabat tidaklah mudah, tetapi ada hal yang lebih penting saat nyawa orang lain berada di tangannya.  



Walaupun Dragør perlahan-lahan bangkit dan Ratu Mariella telah membuka pintu kepada mereka untuk kembali ke tanah kelahiran, Dragør masih berada di posisi yang tidak menguntungkan. Raja Zacharias mungkin telah menjadi sekutu mereka, tetapi pria itu hanya ingin Qyrsi kembali agar bisa menguasai seluruh Inkarnate. Persekutuan semacam itu tidak bisa bertahan selamanya, apalagi bila Raja Zacharias menyadari tiket masuk Dragør hanya ada di tangan Ratu Mariella dan Verity.  



"Bagaimana dengan Putri Verity?" Mereka bertanya lagi dengan wajah penuh harap, menunggu kabar baik kalau sang putri akan kembali dan



membantu mereka merebut kejayaan.  



"Dia bersama Alexander." Jawaban singkat Raja Zacharias yang datang bersama para tentara khusus, membuat Tybalt tanpa sadar memegang kekang kudanya semakin erat. "Bahkan Dragør pun terpecah di dalam keadaan seperti ini."  



"Kau memotong tangan bajingan itu. Jadi, bisa saja ia menginginkan sesuatu dari Putri Verity." Tybalt menggeram marah.  



"Tidak seharusnya kau meremehkan Putri Dragør itu. Verity Dragør lebih kuat dari yang kau bayangkan, tidakkah kau lihat bagaimana ia menyelamatkanmu di persidangan?" Raja Zacharias tersenyum mencemooh, tatapannya sekilas beralih ke arah lain. "Bisa saja Verity Dragør dapat membantu kita masuk Dragor."  



Tybalt terdiam. Tanpa habeas corpus dan permintaan Verity, la tidak akan hidup saat ini. Raja Alastair membiarkan Verity berada di depannya dan mengambil keputusan. Jelas pria itu tidak meremehkan ratunya sendiri.  



"Apa kau akan ke Dragør juga?"  



"Apa kau membakar dzel yang nyaris membunuh semua tentaraku?" Raja Zacharias mengabaikan pertanyaan Tybalt dan menatap adiknya. Dzel itu cukup kuat, menghabisi nyaris semua tentara dan menyerangnya.  



"Dzel?" Tybalt mengerutkan kening. Ini baru pertama kalinya ia mendengar istilah asing seperti itu.  



"Mayat bermata putih yang menyerang tentaraku." Raja Zacharias menjelaskan singkat. "Kau tidak membakarnya?"  



"Dia bisa saja hidup kembali, begitu juga mayat para tentara yang mati." Hadrian menghela napas panjang seebelum melanjutkan, "Dzel dan ungrad. Semoga saja Mariella akan lebih adil kali ini."  



"Apa dia masih di Pulau Mera?" Raja Zacharias mendengkus kesal. Ia bisa mengetahui pergerakan setiap kerajaan, seperti Selencia, Austmarr, bahkan Raria, tetapi tidak dengan Dragør. Pengawasannya terbatas karena Ratu Mariella yang berada di Pulau Mera, terpisah dari Inkarnate. Ia tidak punya mata-mata di kerajaan kecil yang dibangun wanita itu.  



"Semua bergerak menuju Dragør. Mungkin Mariella juga akan bergerak menuju Dragør." Hadrian menyimpulkan. Mata hitamnya melihat ke arah langit yang berwarna abu-abu sejak pagi.  



"Mungkin ...." Ia bergumam, tidak yakin dengan perkataannya sendiri.  



"Bagaimana dengan Alastair?" Raja Zacharias menyipitkan mata, melihat warga Dragør satu per satu. Mereka hanya mencermati pembicaraan yang tengah berlangsung, menunggu masa depan mereka di tangan Tybalt Wildemarr.  



Hadrian Colthas menggelengkan kepala. "Sejak Verity Dragor pergi bersama Alexander, tidak ada seorang punyang tahu di mana keberadaan Raja Alastair."  



"Apa Ratu Amaranta tahu di mana keberadaan Alastair?" Tybalt menyela pembicaraan mereka. Raja Alastair membiarkan Verity Dragør pergi? Yang benar saja. Ia mendengkus di dalam hati. Pria itu terang-terangan menunjukkan kalau Verity adalah miliknya.  



"Tidak." Hadrian Colthas menjawab dan terdiam sesaat. "Ratu Amaranta juga telah mempersiapkan tentaranya."  



"Kau tunggu apa lagi?" Tybalt menarik napas gusar. Verity tidak seharusnya berada di sisi Raja Alastair ataupun Pangeran Alexander. Keduanya berbahaya, jauh atau mungkin sama berbahayanya dengan dua bersaudara di hadapannya ini.  



"Pintu gerbang Dragør belum terbuka." Raja Zacharias dari atas kudanya melihat wajah penuh harap para Dragørian. "Kita akan menuju Dragør ketika Verity berhasil membuka gerbangnya. Kita akan menuju ke Dragør, bila waktunya tepat."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity berusaha duduk dengan tegap di atas kuda. Ia sebenarnya takut jatuh karena baru pertama kali naik kuda.  



"Kau terlihat begitu kaku." Pangeran Alexander terkekeh di dadanya beberapa kali menabrak punggung Verity karena gerakan kuda yang cukup kencang saat mereka terus berpacu meninggalkan Austmarr.  



"Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya." Suara Verity samar dan lirih. Ia mencengkeram kuat jubah milik Pangeran Alexander yang menutupi tubuhnya. Ia takut bila salah satu warga Austmarr mengenali dan menghentikan rombongan mereka.  



"Aku akan mengajarimu nanti." Pangeran Alexander memelankan laju kuda ketika memasuki Hutan Pinus. Raja Alastair mungkin membiarkan mereka pergi, tetapi ia tak tahu sampai kapan pria itu akan melepaskan ratunya dan menunggu waktu yang tepat untuk mengejar.  



Verity terdiam sesaat, berusaha tetap tenang di atas pelana kuda yang tak nyaman. Mata violetnya mencermati Hutan Pinus yang biasanya hanya bisa



dilihat dari balik jendela. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma hutan yang sangat berbeda dengan penjara Selencia atau istana Austmarr.  



"Apa kau pernah ke Dragør?" Verity menatap tangan kanan Pangeran Alexander dan baru menyadari kalau pria itu mengenakan sebuah gauntlet.  



"Pernah." Pangeran Alexander terdiam sesaat dan menyadari kalau Verity masih memperhatikan tangan kanannya. "Apa kau masih merasa bersalah?"  



"Kau menyelamatkanku... entah berapa kali, aku tidak bisa menghitungnya." Verity berusaha mengingat-ingat sudah berapa kali Pangeran Alexander menyelamatkannya selama berada di Austmarr dan Thaurin.  



Pangeran Alexander menerima beberapa pukulan dari Raja Arthur karena menolak memberinya racun, menyelamatkan dari kematian setelah ia menerima racun dari Ratu Amaranta, tangan kanan terpotong karena menolongnya dari Zacharias, dan ia juga mengiris tangan kiri untuk mengalihkan Ratu Rania. Pria itu telah menyelamatkan dari empat kerajaan yang mencoba membunuhnya.  



Empat kerajaan kecuali Austmarr. Verity termenung ketika menyadari kalau meskipun Raja Alastair tidak melakukan apa pun, pria itu tidak seperti anggota kerajaan lain yang berbondong-bondong mencari kelemahannya dan memanfaatkan. Raja Alastair tengah menunggu, entah untuk apa atau sampai kapan. Verity tidak bisa terus di sisi pria itu ketika menyadari ia bisa saja menjadi sumber malapetaka, seperti yang diinginkan Ratu Amaranta.  



"Seperti apa Dragør?" Verity tidak bisa menahan rasa penasarannya. Mereka tengah menuju Dragør sekarang, tetapi ia tidak tahu sedikit pun tentang tanah kelahirannya itu.  



"Penuh dengan sihir," ucap Pangeran Alexander lirih. "Aku pernah bertemu Mariella."  



"Ibuku?" Kepala Verity refleks berputar dan melihat mata hijau cemerlang Pangeran Alexander. Ia nyaris jatuh jika tangan kanan Pangeran Alexander yang mengenakan gauntlet perak tidak menahan pinggangnya.  



"Ibumu, Mariella Dragør." Pangeran Alexander terdiam sesaat. Kudanya melangkah pelan ketika semakin memasuki Hutan Pinus menuju Dragøri. "Tak lama setelah aku bertemu denganmu."  



"Di mana kau menemuinya?" Verity melihat tatapan Pangeran Alexander yang menerawang.  



"Di Pulau Mera, saat badai dan petir nyaris menyambar kapal Thaurin dan menenggelamkannya." Pangeran Alexander menatap mata violet Verity dan menyadari kalau wanita ini lebih mirip Ferdinand Dragør dibandingkan sisi Selencia.  



"Ayahku ingin memberikan penawaran kepada Mariella." Verity terdiam, menunggu Pangeran Alexander melanjutkan cerita. "Dia menginginkan sihir Mariella dan kau akan kembali bersamanya, tinggal bersamanya di Pulau Mera."  



Verity mengetatkan rahangnya ketika menyadari ke arah mana cerita ini berakhir. "Ibuku menolak." Ia menyimpulkan.  



Ratu Mariella tentu saja menolak. Bila sebaliknya, Verity tidak mungkin tinggal di penjara Selencia selama nyaris dua dekade. Tinggal bersama para pembunuh, tahanan kelas kakap, ditemani kecoak dan tikus yang keluar masuk penjara. Ratu Amaranta menyiksanya selama bertahun-tahun dengan racun dan pukulan yang membekas di hatinya.  



"Mariella tidak memiliki pilihan. Dia lemah." Pangeran Alexander berbisik. Ratu Mariella mungkin cukup lemah saat itu, tetapi tidak sekarang. Wanita itu berkembang pesat, tidak lagi terikat dan dipasung di Pulau Mera.  



"Apa kau membelanya?"  



"Tidak. Aku memberitahumu seperti apa dia saat itu. Raja Arthur tidak menginginkan sekutu yang lemah." Pangeran Alexander mengingat betul saat kedua tangan Ratu Mariella terikat, pakaiannya compang-camping, tubuhnya lemah, tetapi tatapan tajam mata violet pucatnya begitu membekas di ingatan Pangeran Alexander.  



Ratu Mariella memenuhi janji untuk kembali dan membalaskan dendamnya. Untuk Austmarr yang telah membalik punggung mereka dan menjadikannya sebagai kambing hitam, Raria yang telah mengirimnya ke pulau orang orang terbuang, Colthas yang telah membakar habis istananya, Selencia yang menyerangnya, dan Thaurin yang menertawakan kelemahannya. Wanita itu kembali untuk menghancurkan mereka.  



"Apa peranku di dalam peperangan ini, Al?" Verity menghela napas panjang. Ia lahir setelah perang pertama usai, keberadaannya disembunyikan selama bertahun-tahun oleh Selencia dan Thaurin, masa lalunya disembunyikan Austmarr yang mengubur sejarah Dragør.  



"Aku bukan seorang Selencia. Aku tidak bisa berdiri di barisan paling depan seperti kau atau Alastair." Ia juga bukan Ratu Mariella atau Ratu Amaranta yang bisa bangkit dengan kedua kaki dan tangan sendiri.  



"Apa yang kau inginkan, Verity?" Langkah kuda Pangeran Alexander terhenti tepat di perbatasan Austmarr dan Dragør. Hutan Pinus yang tadinya terang benderang dengan aroma musim panas, kini berubah seolah-olah mereka telah memasuki dimensi berbeda. Cahaya matahari meredup, langit berwarna keabuan seperti musim dingin.



 



"Apa yang terjadi?" Verity melihat ke seluruh penjuru arah, hanya ada dia dan Pangeran Alexander. Para pengawal yang tadinya bersama mereka sudah tak terlihat lagi.  



"Tidak mungkin." Pangeran Alexander seharusnya tiba di Dragør secepat ini.



bergumam.



Mereka



tidak



 



"Al, apa itu?" Verity berbisik lirih melihat lima ekor serigala berukuran besar yang keluar dari persembunyian.  



"Serigala." Pangeran Alexander menjawab singkat. Ia baru saja hendak mengeluarkan pedang ketika menyadari kalau inibisa saja salah satu sihir Ratu Mariella untuk menghentikan siapa pun yang masuk lebih dalam ke Dragør.  



"Alexander, apa yang harus kita lakukan?" Verity bertanya panik melihat lima serigala yang sudah mengelilingi mereka.  



"Apa maksudnya ini?" Pangeran Alexander melihat para serigala kelaparan itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair mengangkat sebuah pion dan meletakkannya di salah satu titik di peta Inkarnate. Derap langkah juga pintu yang tiba-tiba terbuka tidak serta-merta membuatnya kaget. Ia hanya diam, menunggu orang yang lancang menerjang pintu dengan terburu dapat berbicara.  



"Yang Mulia ...." Jenderal Irvin menjilat bibirnya gelisah, napasnya memburu dengan wajah panik.  



Raja Alastair tanpa Ratu Clementine sama seperti dulu. Pria itu lebih memilih menyelesaikan masalah hingga ke akar tanpa mediasi atau negosiasi lebih dulu, terbukti saat menghabisi Jendral Kilorn dengan sekali tebasan pedang. Ia menunggu Jenderal Irvin bicara, sementara tatapan matanya tak beralih dari peta Inkarnate.  



"Ratu Mariella... dia telah berusaha kembali ke Dragør."                              



XLII DRAGØR  



RATU MARIELLA MEMIMPIN seluruh pasukannya melewati lautan menuju Raria, tempat sebagian besar pengikutnya berasal. Ratu Rania telah mati bersama Jenderal Kilorn di Austmarr. Kerajaan itu akan runtuh tanpa penerus sesungguhnya. Para menteri tak berguna hanya akan saling menyerang satu sama lain demi memperebutkan takhta kekuasaan Raria.  



Dragør di tiang kapal yang mereka naiki. Butuh bertahun-tahun Roran, salah satu pengikutnya, mengibarkan bendera bagi Ratu Mariella untuk keluar dari Pulau Mera, dan sekarang ia sudah sangat tidak sabar untuk menghabisi orang-orang yang telah mengasingkannya ke pulau terkutuk itu.  



"My Queen, kita sudah dekat." Seringai di bibirnya tidak bisa lagi disembunyikan ketika melihat dermaga Raria.  



Ratu Mariella mengangguk sekilas. Ia tidak pernah menyukai perjalanan lewat laut, tubuhnya tidak seperti bangsa Raria. Ia sama seperti bangsa Selencia lainnya, bertubuh kecil dan ramping dengan rambut pirang keemasan yang khas, mata violetnya menjadi perbedaan satu-satunya antara anggota Kerajaan Selencia dan rakyat biasa yang bermata biru.  



"Siapkan sekocinya! Siapkan sekocinya!" Roran berteriak. Para budak berusia belasan tahun segera berlari-lari mempersiapkan sekoci dan menurunkan jangkar.  



"Apa Anda yakin Ratu Rania telah tiada, Yang Mulia?" Roran menggosok kedua tangannya.  



"Aku bisa merasakannya, Roran," ucap Mariella tenang. Seperti saudarinya, ia bukan tipe yang senang berbasa-basi dan menghabiskan suara untuk menjelaskan setiap hal. Namun, ia juga menyadari kalau pengikutnya yang berasal dari berbagai golongan tidak selalu mengerti bagaimana cara sihirnya bekerja.  



Sihir Selencia yang ia miliki pernah melemah beberapa kali: saat melahirkan dan kehilangan banyak darah akibat disiksa mereka. Meski begitu, sihirnya berhasil melindungi Dragør atau apa pun yang tersisa dari kerajaan itu, termasuk putrinya sendiri, Verity Dragør. Darah Dragør dan Selencia yang mengalir di tubuh Verity akan melindunginya.



 



"Apakah kita bisa memenangkan perang?"  



Ratu Mariella mengangguk sekilas. "Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Kuda yang dinaiki Pangeran Alexander dan Verity meringkik gelisah karena dikepung lima ekor serigala kelaparan.  



"Alexander?" Verity memutar kepala dan melihat Pangeran Alexander yang tengah mencari jalan keluar dari kepungan para serigala. "Ada apa di sini?"  



"Sihir." Pangeran Alexander menjawab singkat, tangannya masih menggenggam erat pedang. Percuma ia menghabisi serigala itu satu per satu bila mereka memang berasal dari sihir Ratu Mariella. Mereka akan datang lagi, lagi, dan lagi, tidak akan ada habisnya sebelum ia benar-benar mengerti apa tujuan sihir Ratu Mariella. "Mariella melindungi Dragør dengan sihir. Sihirnya akan memperlihatkan keinginan terdalammu."  



Verity memperhatikan seringai para serigala satu per satu sebelum berkata, "Aku tidak mengerti, Al."  



Pangeran Alexander memperhatikan para serigala, sihir di hadapannya ini jelas bukan keinginan terdalamnya. Ia pernah masuk Dragor dan yang dilihat saat itu adalah Verity tengah menari dan menawarkan racun hemlock. Ia nyaris saja meminum racun itu bila tidak segera tersadar. Verity kini berada di hadapannya, apa berarti sihir ini adalah gabungan keinginan terdalam keduanya?  



Sesaat sebelum Pangeran Alexander menarik pedangnya, ia mendengar jeritan anak kecil yang begitu kencang di tengah hutan.  



"Aaaaaaal!" Jeritan itu terdengar lagi.  



"Alexander!" Verity berteriak, menyadarkan Pangeran Alexander yang diam terpana. Sihir Ratu Mariella kali ini jelas lebih kuat dari sebelumnya. "Para serigala itu pergi."  



Pangeran Alexander melihat para serigala yang tadinya mengitari mereka, kini berlari menuju sumber suara. "Sebaiknya kita pergi dari sini."  



Pangeran Alexander kembali memacu kudanya. Langit kelabu berubah semakin gelap ketika mereka memasuki hutan semakin dalam. Mereka lagi-lagi seolah telah berpindah ke dimensi lain.  



"Salju." Verity mengulurkan tangannya, menangkap sekeping salju yang turun.  



"Musim dingin di tengah musim panas. Sepertinya kita masuk semakin dalam ke Dragør." Pangeran Alexander dengan cepat menyimpulkan.  



Verity mengetatkan jubah, suhu dingin membuat pipi dan ujung hidungnya memerah. Dragør benar-benar dipenuhi sihir. la masih ingat musim panas di Austmarr sebelum masuk Hutan Pinus. Keadaannya berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan istana Austmarr.  



"Aaaaaaaal!" Jeritan itu kini terdengar semakin dekat.  



Pangeran Alexander memacu kudanya mendekati suara itu. Lari kuda tidak berhenti sebelum mereka tiba di tepi hutan yang bersinggungan dengan sebuah danau beku.



 



"Al?" Verity menyentuh tangan kanan palsu Pangeran Alexander. Keduanya bisa melihat jelas sosok anak kecil yang duduk di atas danau beku bersama salah satu serigala tadi.  



"Apa ini benar-benar sihir?" Verity nyaris tidak bisa memercayai pengelihatannya sendiri. Sihir ini begitu nyata.  



Serigala putih tengah bermain-main dengan gadis kecil itu. Suara jeritannya berubah kikikan geli dan senang. Jubah hitam yang dia kenakan membuat wajah dan rambutnya tertutupi.  



"Al." Verity berusaha memanggil Pangeran Alexander yang begitu terpaku dengan gadis kecil di atas danau.  



"Verity." Gumaman Pangeran Alexander nyaris tak terdengar ketika Verity memusatkan fokus penglihatan, membawanya semakin ke tengah danau yang membeku. Tudungnya terbuka, rambut hitam gadis kecil itu terlihat dengan jelas.  



"Al!" Verity diam terpaku ketika menyadari kalau gadis kecil itu adalah dirinya, mata violet dan rambut hitam yang sama. Perbedaan mereka hanya dari segi umur dan tinggi. Usia gadis kecil itu mungkin tidak lebih dari tujuh atau delapan tahun.  



"Alexander!" Verity berteriak memanggil Pangeran Alexander ketika pria itu tiba-tiba turun dari kuda dan berjalan menghampiri gadis kecil itu. "Alexander! Menjauh dari sana!"  



Pangeran Alexander tidak menghiraukan panggilan Verity dan terus berjalan menuju ke tengah danau.  



"Alexander!" Verity berteriak keras ketika mendengar suara retakan es, sementara Pangeran Alexander berlari menuju gadis kecil itu, berusaha menyelamatkannya.  



"Aaaaal!" Gadis kecil itu juga berteriak ketika es di bawahnya retak, membuatnya jatuh terhempas ke dalam danau yang dingin. Serigala putih yang sedari tadi bermain dengannya melolong kencang.  



"Alexander!" Verity berusaha menahan kuda yang bergerak gelisah. "Itu hanya sihir!"  



Langkah Pangeran Alexander sejenak terhenti ketika ada berenang ke dalam sungai es, lalu menarik gadis kecil itu keluar. serigala hitam yang berlari melewatinya dan langsung terjun,  



Setelah yakin kuda yang dinaiki telah cukup tenang, Verity berusaha turun dengan hati-hati dan menghampiri Pangeran Alexander yang kini jatuh berlutut melihat serigala hitam tadi meninggalkan gadis kecil itu di tengah danau es bersama serigala putih setelah menyelamatkannya.  



"Alexande?" Verity memegang pundak Pangeran Alexander dan berbisik lirih. "Itu hanya sihir."  



"It was you." Pangeran Alexander membalas bisikan Verity.  



Verity melepaskan jubah, lalu menyampirkannya ke pundak Pangeran Alexander. "Itu hanya sihir."  



"Itu kau dan aku... dan Alastair." Pangeran Alexander terlihat begitu terguncang.  



Verity duduk di hadapan Pangeran Alexander, mengalungkan tangannya di leher pria itu, dan memeluk erat. "Itu hanya sihir. Aku berada di sini, di sebelahmu." Ia kembali berbisik.  



Getaran di tubuh Pangeran Alexander perlahan-lahan berkurang. Ia membalas pelukan Verity. "Sihir Mariella seharusnya memperlihatkan keinginan terdalam."  



"Kau ingin menyelamatkanku." Verity tersenyum kecil dan menepuk punggung Pangeran Alexander. "Kau telah melakukannya lebih daripada yang seharusnya, Al. Tidak seharusnya kau masih merasa bersalah."  



"Gadis kecil itu begitu mirip denganmu," ucap Pangeran Alexander pelan. Serigala dan gadis kecil yang mereka lihat tadi telah menghilang, tidak ada seorang pun di danau es selain mereka berdua. "Apa keinginan terdalammu?"  



Verity terdiam mendengar pertanyaan Pangeran Alexander. Keinginan terdalamnya? Ia tidak pernah memikirkan sejauh itu. Dulu saat tinggal di penjara bawah tanah Selencia, ia hanya berharap dapat melihat matahari. Saat tinggal di istana Austmarr, ia hanya ingin hidup bebas dan jauh dari segala polemik lima kerajaan. Namun, kini ia telah mendapatkan kebebasan dan telah terlibat begitu dalam di polemik lima. kerajaan. Ia tidak bisa lari lagi.  



"Mereka sudah pergi." Pangeran Alexander berbisik lirih.. "Aku tidak tahu seberapa kuat sihir Mariella bila kita masuk semakin dalam ke Dragør. Lebih baik kita terus berjalan."  



Verity mengangguk dan beranjak berdiri. Mereka sudah pergi, tetapi serigala hitam tadi rupanya masih di sana, dari balik pepohonan. Serigala hitam itu menyeringai kepada Verity, memperlihatkan taring-taringnya mengawasi yang tajam, lalu berlari masuk ke dalam hutan.



 



"Sebaiknya kita pergi sekarang." Verity menggenggam tangan Pangeran Alexander yang sedingin es. Apa pun yang terlihat tadi, jelas jauh dari pemikirannya, dan ia tidak tahu apa yang akan mereka hadapi nantinya.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair tahu mereka semua akan bergerak menuju Dragor, ke tempat semua bermula dan pada nantinya akan berakhir. Kabar yang dibawa Jenderal Irvin tidak lagi membuatnya kaget atau bahkan mengubah rencana. Bila sebelumnya Dragor adalah pihak yang paling tidak diuntungkan dalam perang pertama, bisa saja kali ini mereka harus mempertimbangkan dan mempersiapkannya. Kekalahan Dragor sebelumnya terjadi karena mereka tidak siap, tetapi kini ketika dengung perang telah berkumandang, setiap kerajaan telah siap untuk kalah atau menang.  



"Bagaimana dengan Ratu Amaranta?"  



"Ratu Amaranta telah menuju Austmarr, Yang Mulia. Kita akan segera menemuinya."  



Raja Alastair mengambil sebuah pion lagi,menyingkirkannya. Pion milik Ratu Rania digantinya dengan pion lebih kecil dan diletakan di Austmarr, untuk para penerus Raria yang kini berada di tangannya.  



"Berapa lama aku harus menunggu?" Raja Alastair mengambil sebuah pion milik Pangeran Alexander, lalu meletakkannya di Dragør bersama pion milik Verity.  



Jenderal Irvin melihat peta Inkarnate besar di hadapannya. Ada beberapa pion di sana, untuk orang-orang penting yang ia awasi langkahnya setiap waktu. Ia memperhatikan tangan Raja Alastair yang memindahkan pion



milik Ratu Mariella ke Raria dan Raja Zacharias serta adiknya, Hadrian Colthas kembali ke Colthas.  



"Mungkin ia akan tiba malam nanti, Yang Mulia," kata Jenderal Irvin.  



"Baiklah." Raja Alastair memindahkan pion Ratu Amaranta ke Hutan Pinus.  



"Dari mana Anda tahu kalau Ratu Mariella berada di Raria, Yang Mulia?" Jendral Irvin terlihat penasaran.  



Raja Alastair menatap Jenderal Irvin sekilas dan menjawab, "Mariella akan membalaskan dendamnya lebih dahulu kepada Raria yang telah mengirimnya ke Pulau Mera, sekaligus memenuhi janjinya kepada para tahanan Pulau Mera yang kini menjadi pengikutnya."  



Raja Alastair menyentuh dadanya sendiri, merasakan denyut jantung yang berdetak pelan, tidak seperti saat Verity berada di sisinya. Kini, saat wanita itu bersama Pangeran Alexander pergi menuju Dragør untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya, ia bisa merasakan degup jantungnya perlahan semakin melambat. Apakah ini pertanda bila ia akan kembali hidup sebagai manusia tanpa hati seperti dulu, ataukah akan mati?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pesan Raja Alastair untuk datang ke Austmarr tidak membuat Ratu Amaranta takut atau gentar. Alih-alih takut, ia lebih penasaran kenapa Raja Alastair memilih bersekutu dengannya.  



Saat langkah Ratu Amaranta berhenti di ruang singgasana yang lama, ia tidak melihat Raja Alastair duduk di kursi milik mendiang ayahnya. Pria itu berada di depan lukisan keluarganya, melihat Klaus dan Eleanor Austmarr yang bersahaja di dalam lukisan.



 



"Apa kau mengenal orang tuaku, Amaranta?" Pertanyaan Raja Alastair membuat Ratu Amaranta mengerti kenapa mereka bertemu di ruang singgasana yang lama, tempat Eleanor Austmarr mati perlahan karena kehabisan darah setelah perutnya ditusuk berkali-kali. Wanita itu tengah hamil dan tidak bisa membela diri.  



"Aku mengenalnya." Ratu Amaranta menjawab singkat, ingin melihat ke arah mana pembicaraan mereka ini nantinya.  



"Mereka mati malam itu, seperti Ferdinand Dragør, Matthew Selencia, Soraya Colthas, dan juga ratusan, ribuan warga juga pasukan dari segala penjuru Inkarnate. Kenapa kau memulai perang, Amaranta?" Raja Alastair bertanya dengan nada dingin.    



"Kau tahu kalau akar permasalahannya adalah ayahmu." Ratu Amaranta berdiri di sebelah Raja Alastair, ikut melihat lukisan, lalu tertawa mencemooh. "Apa yang aku lakukan adalah puncak dari semua yang ayahmu telah perbuat sebelumnya."    



"Kenapa kau menjadi ratu di Selencia?" Raja Alastair menghadap ke arah Ratu Amaranta, melihat mata violet wanita itu. "Ada Jordan dan Mariella, tetapi kenapa mereka memilihmu? Ratu Selencia yang tidak memiliki sihir."  



"Jordan sudah mati," jawab Ratu Amaranta getir. "Orang orang bilang kalau ia mati secara misterius karena penyakit. Dia mati karena sihir yang tidak terkontrol."  



"Mariella." Raja Alastair tersenyum sinis ketika menyimpulkan perkataan Ratu Amaranta.  



"Dari dulu ia memang jauh lebih berbakat dari Jordan atau aku, yang memang tidak memiliki sihir." Ratu Amaranta berjalan ke lukisan lain, rajaraja Austmarr yang sebelumnya. Simbol singa terlihat jelas di dada mereka. "Kedua orang tuaku memutuskan kalau dia berbahaya dan harus tetap berada di bawah kontrol mereka."  



"Tetapi kemudian ia menikah dengan Ferdinand Dragør?"  



"Ferdinand menawarkan sebuah persekutuan. Dragør merupakan salah satu kerajaan yang terkuat, bukan karena keahlian mereka, tetapi kekayaan mereka." Ratu Amaranta menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekaligus. "Kedua orang tuaku mengajukanku sebagai pengantin Ferdinand, tetapi ia menginginkan Mariella."  



"Mereka tidak bisa menghentikannya?"  



Ratu Amaranta menggelengkan kepala. "Mariella mungkin berbahaya, tetapi Ferdinand dapat memikatnya. Ferdinand tahu bagaimana cara memperlakukan ratunya. Sihir Mariella tidak lagi lepas kontrol seperti dulu. Kedua orang tuaku menyesal telah mengirim Mariella ke Dragør, tetapi mereka tidak dapat melakukan apa pun lagi."  



"Lalu kau berakhir seperti ini? Mendapatkan kedudukanmu karena tidak ada pilihan lain bagi mereka." Keduanya berhenti di hadapan kursi singgasana Klaus dan Eleanor Austmarr. "Apa Verity memiliki kemampuan yang sama seperti ibunya?"  



"Dia punya," jawab Ratu Amaranta tenang. "Sihirnya akan berkembang lebih kuat dari Mariella bila ia melatihnya, tetapi aku tidak pernah melatih sihirnya. Aku membuatnya lupa setiap kali sihirnya lepas kontrol dengan racun hemlock."  



"Verity tidak pernah lagi meminum racun yang kau berikan selama ia berada di sini.'  



Ratu Amaranta mengangguk. "Perlahan dia akan ingat."  



"And all hell breaks loose if she cannot control it."                                



XLIII THE BEGINNING OF AN END  



"BERHENTI! KUMOHON BERHENTI!" Verity menjerit ketika mereka memaksanya meminum sebotol hemlock. "Kumohon, Al, kumohon.' ." Ia menjerit, memanggil nama Alexander ketika remaja lelaki itu terdiam di sana, melihatnya dengan tatapan kasihan, tetapi tidak dapat melakukan apa pun.  



"Alexander, Alexander ...." Verity tersedak cairan hemlock. Rasa pahit memenuhi mulutnya, lehernya panas membara seperti menelan api. Ia terbatuk beberapa kali, memuntahkan darah dan sebagian racun yang tertelan.  



"Sudah cukup." Alexander bergumam, tetapi tidak ada seorang pun yang mendengarkannya.  



Kali ini jumlah racun yang harus Verity minum lebih banyak daripada biasanya. Raja Arthur berdiri di belakang Alexander, mengawasi orangorangnya menahan tubuh Verity dan memaksanya menghabiskan sebotol hemlock.  



"Alexander .... "Verity berusaha menggapai Alexander yang baru saja hendak melangkah, tetapi dihentikan oleh ayahnya sendiri.  



"Diam dan awasi, Alexander!" Raja Arthur mengeluarkan sebilah belati, lalu berjalan ke arah gadis kecil itu.  



"Tidak. Tidak. Tidak!" Tatapan penuh rasa takut terlihat begitu jelas dari mata violet Verity.  



Alexander diam terpaku ketika ayahnya menarik tangan Verity, lalu mengiris telapaknya. Gadis kecil itu menjerit ketika darah mengucur keluar dengan deras.  



"Api." Raja Arthur memerintahkan salah satu pengawalnya untuk membawa sebuah obor.  



"Tidaaak!" Verity menjerit ketakutan, takut bila Raja Arthur tiba tiba memutuskan untuk membakarnya.  



Raja Arthur meremas tangan Verity hingga darahnya terkumpul cukup banyak, lalu meletakkannya di atas api yang membara. "Apakah kau benarbenar punya kekuatan Selencia?"  



"Berhenti!" Alexander akhirnya berteriak setelah cukup lama terdiam. Ia tidak bisa melihat lagi kekerasan di depan matanya. Namun, lagi-lagi ia tidak didengarkan.  



Alexander tidak dapat melakukan apa pun ketika tetes pertama darah Verity jatuh ke api yang membara. Api di obor itu tiba-tiba berkobar terang, seolah-olah menjilat lezat darah Verity yang menetes, cahayanya tidak lagi berwarna oranye atau merah terang, tetapi biru dan ungu. "Berhenti!" teriak Alexander lagi ketika ia tersadar. Ia melihat ayahnya yang diam terpaku, antara senang atau takut, entah apa yangada di benak pria itu ketika masih menggenggam erat tangan Verity, sementara gadis kecil itu tidak lagi menjerit ketakutan seperti sebelumnya.  



"Selencia. Aku bisa menguasai Selencia dengan gadis kecil ini." Raja Arthur terkekeh. Verity Dragør bisa saja menjadi keturunan Dragør dan Selencia terakhir yang masih memiliki kekuatan sihir Tentu dengan kekuatan itu, ia bisa menguasai tidak hanya Dragør, tetapi juga Selencia.  



"Verity." Alexander bergumam ketika melihat Verity yang terdiam, mata violetnya berubah ungu pucat, nyaris putih seperti susu.  



"Verity." Alexander memanggil lagi, tetapi sepertinya ia tidak didengarkan.  



"Aarrgh!" Raja Arthur tiba-tiba menjatuhkan tangan Verity dan mengerang. "Sialan!"  



"Verity!" Alexander berusaha mendekati Verity, tetapi gadis kecil itu mengabaikannya, terlihat seperti tidak mengenalinya.



 



Verity berjalan mendekati Raja Arthur yang mengerang kesakitan sembari memegang dadanya.  



"Cepat tahan dia!" Raja Arthur berteriak, memerintahkan siapa pun untuk menahan Verity. "Tahan dia! Tahan dia!"  



Alexander berlari mendekati Verity, mendahului para pengawal ayahnya yang sudah bersiap menangkap gadis kecil itu dengan tombak mereka. "Verity! Apa kau baik-baik saja?"  



Perhatian Verity sejenak teralihkan ke Alexander yang memegang tangannya. "Berhenti." Verity bergumam, tangannya yang basah karena darah menyentuh dada Alexander.  



Alexander berteriak kesakitan ketika tangan Verity menyentuh dadanya. Jantungnya seperti diremas-remas, dadanya sesak, napasnya tidak beraturan. Ia berusaha meraih tangan Verity. "Verity, ini aku."  



Alexander tidak dapat mengenali gadis kecil di hadapannya, ia bukan Verity yang selama ini dikenalnya. Gadis kecil itu menyakitinya, meremas jantungnya dengan sihir.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity terkesiap kaget. Ia terbangun dan mendapati dirinya masih berada di tengah-tengah hutan. Jubah milik Pangeran Alexander menyelimuti tubuhnya yang kini bersandar di batang pohon. Setelah disorientasi sesaat, ia teringat kalau ia berada di Dragør bersama Pangeran Alexander, tengah mencari kebenaran yang selama ini Raja Alastair sembunyikan untuk menjaga kedamaian Inkarnate.  



"Verity, kau sudah bangun?" Pangeran Alexander menghampiri sembari membawa seekor kelinci yang sudah dikuliti dan siap dipanggang.  



"Apa terjadi sesuatu?" Verity menegakkan tubuh letihnya. Dragør terasa seperti dimensi lain yang jauh berbeda dari seluruh penjuru Inkarnate.  



"Tidak ada." Pangeran Alexander memindahkan ranting ranting pohon dan menyalakan api.  



"Tidak ada sihir?" Verity mendekat ke api unggun yang baru saja dinyalakan Pangeran Alexander. Entah sudah berapa lama mereka di sini, kurang dari sehari mungkin, atau bisa saja lebih. Ia tidak tahu, siang dan malam berjalan seperti biasa, tetapi cuacanya yang tidak biasa.  



"Tidak ada." Pangeran Alexander menjawab singkat sembari meletakkan kelinci hasil buruannya ke bara api.  



"Di mana kau mendapatkan kelincinya, Al?" Verity Penasaran, pasalnya serigala kemarin merupakan sihir, bisa saja Semua hewan di sini hanya ilusi.  



"Di hutan." Pangeran Alexander menatap Verity sejenak, lalu menarik napas panjang. "Apa ada pertanyaan yang ingin kau tanyakan?"  



"Seperti apa sihirnya bekerja?" Suara kertakan kayu yang terbakar api mewarnai keheningan malam. Bintang-bintang bertaburan di langit, cuacanya nyaris seperti biasa bila saja saat ini mereka tidak duduk di tanah berselimut lapisan es tipis di tengah musim panas.  



Pangeran Alexander mengambil ranting, menggambar sebuah lingkaran di permukaan salju, dan meletakan batu kerikil di tengahnya. "Seperti ini. Batu kecil ini adalah pusat Dragør, Istana Dragør yang terletak di puncak tertinggi Inkarnate. Lingkaran ini adalah garis sihir, setiap kerajaan di



Inkarnate memiliki garis sihir yang digambarkan oleh para penyihir Selencia jauh sebelum perang pertama pecah."  



"Bahkan Austmarr?" Verity berusaha mengingat-ingat saat pertama kali masuk Kerajaan Austmarr. Ia merasakan perasaan tidak nyaman, tetapi tidak pernah terpikirkan sedikit pun kalau itu adalah sihir.  



"Bahkan Austmarr," jawab Pangeran Alexander singkat. "Garis sihir yang mengelilingi para kerajaan di Inkarnate tidak lagi sekuat dulu, tetapi masih cukup efektif."  



Verity menggelengkan kepala. Bila cukup efektif, seharusnya ia tidak nyaris mati berulang kali di Austmarr. "Dragør sepertinya berbeda dengan kerajaan lain."  



"Selencia dan Dragør yang paling berbeda untuk saat ini. Keduanya memperbarui sihir mereka setiap dekade. Sihir Selencia melindungimu selama kau berada di sana, tetapi perlahan-lahan sihir yang Selencia miliki mengikis karena Amaranta tidak memiliki kemampuan sihir." Pangeran Alexander menjelaskan dengan sabar.  



"Bagaimana dengan Dragør?"  



"Seperti yang kau lihat dan rasakan. Mariella baru saja memperbarui perlindungannya, mengutuk tanah Dragør agar tidak menerima siapa pun. Sihir itu membuatnya lemah, ia nyaris mati." Pangeran Alexander mengembuskan napas berat.  



"Sihirnya sangat kuat, tidak ada yang bisa menduga hal apa yang akan menyerang kita nanti." Verity mendekatkan tangannya ke api, mencari kehangatan di tengah-tengah dinginnya Dragør yang mencekam. "Kenapa kau melukai tanganmu sendiri, Al?"  



"Sihir." Pangeran Alexander bergumam lirih.  



Sihir. Verity menyimpulkan di dalam hati. Ada potongan memori yang ia ingat. Siksaan yang ia terima selama ini semuanya karena sihir, dan keserakahan mereka.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Kursi singgasana berderit ketika Raja Alastair mendudukinya. Singgasana ayahnya terlihat begitu sederhana dan tua karena termakan usia. Ratu Amaranta tidak bisa menampik kemiripan antara ayah dan anak, meskipun Raja Alastair terlihat jauh lebih keras dan berpengalaman dibanding ayahnya.  



"Bagaimana cara masuk ke dalam Dragør, Amaranta?" Raja Alastair menatap mata violet Ratu Amaranta. Ia mengakui kecerdasan wanita di depannya ini. Ratu Amaranta Selencia yang memulai perang besar dua dekade lalu ketika Raja Klaus memutuskan untuk diam-diam menyerang kerajaan lain dan mencari-cari kesalahan mereka. "Aku tidak tahu." Ratu Amaranta menjawab singkat.  



"Jangan berbohong kepadaku." Raja Alastair tersenyum sinis. "Apa kau tahu apa yang terjadi pada Rania Raria dan Joseph Kilorn?"  



Wajah Ratu Amaranta mengeras, menyadari kalau kali ini Raja Alastair tidak akan segan-segan membunuhnya. Pria itu tahu seluruh kesalahan juga perbuatannya, termasuk mengirim Verity untuk berpura-pura sebagai Clementine Selencia.  



"Sihir Mariella termasuk salah satu sihir yang paling kuat yang pernah kulihat, Yang Mulia." Ia akhirnya menjawab.  



"Apa kau tahu di mana Mariella sekarang?" Raja Alastair menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan gusar. "Dia berada di Raria, menunggu saat yang tepat untuk ke Dragør."  



Kali ini raut wajah Ratu Amaranta berubah dingin, nama Mariella masih meninggalkan jejak pahit di lidahnya. Ia menginginkan hal-hal yang saudarinya miliki: sihir, anak, serta rasa kagum warga kepada setiap anggota kerajaan yang memiliki sihir.  



"Kita hanya bisa menunggu hingga pintu gerbangnya terbuka," ujarnya dengan nada getir yang terselip di setiap kata.  



"Dragør tidak menerimaku."  



"Tidak bila pintu gerbangnya terbuka. Siapa pun bisa masuk ke sana."  



Sihir bekerja dengan cara paling kompleks dan rumit, bahkan hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti bagaimana caranya bekerja. Namun, masih ada setitik celah untuk menghancurkan sihir itu. Cara terbaiknya adalah menunggu, menunggu hingga pewaris sah Dragør dapat membuka pintu gerbang dan membiarkan mereka masuk dalam waktu yang sempit itu.  



"Hingga Verity dapat membukanya?"  



"Hingga Clementine dapat membukanya," timpal Ratu Amaranta.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Verity dan Pangeran Alexander melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak tertinggi di Dragor, tempat Istana Dragor berada. Kuda yang mereka naiki berjalan semakin lambat karena kelelahan.  



"Apa sebaiknya kita berhenti?" Verity mengelus leher kuda yang ia naiki bersama Pangeran Alexander. "Apa kita bisa naik ke atas sana?"  



"Kita bisa berhenti sejenak." Pangeran Alexander turun dari kuda dan membantu Verity turun.  



"Sepertinya masih sangat jauh." Verity tidak bisa melihat ada bangunan apa di puncak itu. "Apa ada naga di atas sana?"  



"Aku tidak tahu." Pangeran Alexander menjawab ragu. "Sudah lama Qyrsi tidak terlihat, semenjak Mariella menghilang."  



"Hanya Colthas yang bisa mengendalikannya, bukan?" Pertanyaan Verity dijawab dengan anggukan Pangeran Alexander. "Aku tidak bisa membayangkan seekor naga di Inkarnate."  



"Dulu Colthas memiliki banyak naga, Austmarr memerintahkan untuk membunuh naga-naga itu karena salah satu naga mereka melahap seorang anak kecil," terang Pangeran Alexander.  



Verity terdiam sesaat, teringat bagaimana culas dan liciknya Raja Zacharias III Colthas. Pria itu memanfaatkan Tybalt juga Dragorian yang tersisa untuk mendapatkan naganya kembali.  



"Kenapa Austmarr yang dipilih menjadi pemimpin lima kerajaan lain kalau kerajaan lain lebih kuat dari mereka?"  



Pangeran Alexander tertawa kecil mendengar pertanyaan Verity. "Austmarr jauh lebih kuat, karena dia tidak membutuhkan naga atau sihir atau apa pun untuk menguasai Inkarnate."  



Tiba-tiba langkah mereka terhenti, Pangeran Alexander meletakkan telunjuk tangan kiri di bibirnya, menyuruh Verity untuk diam dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Ia menggenggam pedang, bersiap mengeluarkannya ketika terdengar suara derap langkah.  



"Apa serigala-serigala itu kembali?" Verity berbisik, melindungi dirinya di belakang Pangeran Alexander.  



"Ungrad." Pangeran Alexander berbisik lirih ketika sosok menyerupai mayat berjalan mendekati mereka. Sosok mayat itu mungkin dulunya salah satu prajurit Austmarr, terbukti dengan pakaian perang dan simbol singa yang tersemat di dadanya.  



"Kita membutuhkan api." Verity berusaha mencari-cari korek api yang tersimpan di kantong pelana kuda. Tangannya yang bergetar tanpa sengaja menjatuhkan benda itu ke tanah berselimut salju. "Sial!"  



"Mereka semakin banyak." Pangeran Alexander mengawasi sekelilingnya. Para ungrad itu datang dari segala penjuru dengan mengenakan aneka seragam.  



"Aku tidak bisa menyalakan koreknya, Al." Verity bersusah payah menyalakan korek dengan tangan yang gemetaran. Korek itu telah setengah basah setelah terjatuh ke salju, membuatnya semakin kesulitan.  



"Berlindung di belakangku." Pangeran Alexander memerintahkan. Verity mendekat, melindunginya dari para ungrad yang semakin mendekat dan mengelilingi mereka.  



"Alexander!" Verity menjerit ketika salah satu ungrad mendekat, memegang lengannya dengan tangan setengah busuk dimakan belatung yang menggeliat keluar.  



"Sialan!" Pangeran Alexander mengeluarkan pedangnya, lalu menebas tangan ungrad itu dan menendangnya.  



Verity kembali berusaha menyalakan korek api, sementara Pangeran Alexander susah payah melawan seluruh ungrad yang semakin mengerubungi, mendekati, dan berusaha menyakiti mereka.  



"Al!" Verity berhasil menyalakan sebatang korek api dan melemparnya ke arah ungrad yang menyerang Pangeran Alexander.  



"Mereka terlalu banyak." Pangeran Alexander melirik sekilas ke arah Verity. Satu ungrad telah tumbang karena terbakar. "Pergilah Verity!"  



"Kau menyuruhku meninggalkanmu?" Verity membelakkan mata.  



"Mereka terlalu banyak. Aku bisa menahan mereka di sini. Pergilah ke puncak tertinggi Dragør. Istananya ada di sana." Pangeran Alexander berbicara dengan napas terengah.  



"Aku tidak bisa," tegas Verity.  



Mereka telah benar-benar terkepung sekarang, tidak ada jalan keluar lagi. Kuda Pangeran Alexander meringkik panik ketika para ungrad mengepungnya.  



"Pergi sekarang!" Pangeran Alexander berteriak ketika ia berhasil membuka akses keluar dari kerumunan ungrad.  



"Aku tidak bisa!" Verity menggenggam pakaian Pangeran Alexander, tidak berniat beranjak seinci pun dari sisi pria itu.  



"Apa kau ingat arsenik yang pernah kuberikan kepadamu?" Verity tidak bisa mengerti perkataan Pangeran Alexander di tengah kekacauan yang semakin mengepung mereka. "Bila benar-benar terdesak, bisakah kau berikan itu kepadaku?"  



"Kau ingin mencabut nyawamu sendiri?" Verity membelalakkan mata.  



Berbeda dengan belati yang pernah Ratu Amaranta berikan, pecahan sisik naga dan arsenik pemberian Pangeran Alexander masih berada di tangannya dan nyaris dibawa setiap waktu. Namun, mereka masih bisa menemukan jalan keluar selain mencabut nyawa sendiri.  



"Akan lebih baik daripada mati perlahan dan penuh siksaan, Verity." Pangeran Alexander berusaha meyakinkan.  



"Tidak." Verity menggelengkan kepala.  



"Aarrrgh!" Pangeran Alexander berteriak kesakitan ketika salah satu ungrad berhasil melukainya dengan pedang tua dan berkarat.  



"Tidaaak!" Suara desisan terdengar ketika tangan Verity menyentuh salah satu ungrad dan mendorongnya menjauh.  



Pangeran Alexander melihat mata Verity yang berubah ungu pucat. Sihirnya kembali lepas kontrol dan menyerang siapa pun yang berusaha mendekatinya.  



Salah satu ungrad mendekati Verity dan berhasil melukainya. Alih-alih berusaha menghentikan pendarahan di tangan, Verity malah meremas lukanya, lalu mendekati sosok ungrad yang terbakar. Darahnya menetes, menyisakan jejak-jejak merah di atas salju, hingga tetesan darahnya jatuh ke ungrad yang terbakar itu. Dalam sekejap, api itu berkobar hebat,



warnanya berubah menjadi biru keunguan, percikannya menari-nari dan melahap setiap tetes darah Verity yang jatuh.  



Pangeran Alexander menatap ke arah langit yang berubah semakin gelap. Gulungan-gulungan awan menyerupai ombak berada tepat di atas mereka, pekikan guntur dan kilat petir bersahutan. Pintu gerbang Dragør terbuka.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Zacharias tengah bersama pasukannya dan warga Dragor di perbatasan Dragør. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk datang dan menunggu setelah melihat perubahan cuaca yang tiba-tiba di puncak tertinggi Inkarnate itu.  



"Pintunya terbuka." Tybalt Wildemarr menelan ludahnya susah payah. Ia telah menunggu ini selama bertahun-tahun, saat di mana Dragor bisa meraih kembali kejayaan dan mengembalikan harga diri mereka.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair berada di baris terdepan pasukan dengan pakaian perangnya. Simbol singa Austmarr tidak hanya tersemat di dadanya, tetapi juga tameng yang digunakan.  



Langit gelap dan hawa dingin menusuk tidak melingkupi Dragør saja, melainkan seluruh penjuru Inkarnate. Saat kilat dan gemuruh guntur menggelegar, saat itu juga ia sadar kalau pintu gerbang Dragør telah terbuka.  



"Pintunya terbuka." Ratu Amaranta bergumam. Bukan hanya Austmarr yang akan pergi menuju tempat terkutuk itu, tetapi Selencia, bahkan ia



juga menduga kalau pasukan Thaurin dan Colthas pun bersiap di depan sana bila pintu telah terbuka.  



"Bagaimana dengan Mariella?" Raja Alastair bertanya. Apa pun yang telah terjadi di dalam sana, seseorang telah berhasil membuka pintu gerbangnya, entah Ratu Mariella membukanya begitu saja atau Verity.  



"Dia yang paling tahu apa yang terjadi di Dragør," Ratu Amaranta menarik napas dalam-dalam, "bisa saja dialah yang mempersiapkan ini semua."  



"Awal untuk sebuah akhir," Raja Alastair bergumam, "kali ini akan kupastikan kalau ini akhir dari semua peperangan dan perpecahan dua dekade lalu."                        



XLIV DEEPEST DARKEST DESIRE  



MARIELLA JUGA BISA merasakan bahkan hingga ke setiap aliran darahnya yang terikat kuat dengan sihir pelindung Dragør. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Raja Arthur menertawakan saat melihatnya lemah, terkurung,



dan terikat di Pulau Mera. Ia bukan lagi seorang ratu, hanya wanita lemah yang nyaris mati dan kehilangan sihirnya.  



Ratu Mariella mendongakkan kepala ketika melihat salju turun dari langit yang kelabu. Pintu gerbang Dragør benar-benar terbuka, sihir yang ia miliki untuk melindungi kerajaan itu telah pecahberkeping-keping. Gulungangulungan awan hitam keabuan dari puncak tertinggi Inkarnate nyaris menyelimuti seluruh kawasan Inkarnate. Kuda yang ia naiki meringkik gelisah ketika dipaksa berjalan semakin dekat menuju Perbatasan Dragør.  



"Yang Mulia, apa masih ada sihir di dalam sana?" Roran terlihat kagum sekaligus takut melihat gulungan awan hitam di atasnya.  



"Tentu saja masih ada." Ratu Mariella mendengkus mendengar pertanyaan bodoh yang dilontarkan oleh pengikutnya. "Salju dan gulungan awan hitam itu adalah sihir."  



"Milik Anda, Yang Mulia?" Roran membulatkan mata kagum. Ia pernah meremehkan wanita di hadapannya ini, tetapi setelah melihat kemampuan wanita itu mengelilingi Pulau Mera dan membunuh beberapa rekannya dengan sihir, ia memilih untuk tunduk dan mengikuti tanpa banyak bertanya.  



Ratu Mariella terdiam sejenak, ia tahu betul sihir pelindung Dragør rusak karena ada kekuatan yang lebih besar terperangkap di dalamnya. Verity. Ia mendengkus ketika menyadari Ratu Amaranta tidak pernah berniat mengajari anaknya untuk mengontrol kekuatan. Sihir yang dimiliki Verity tidak hanya bisa menyakiti orang lain, tetapi juga dirinya sendiri.  



"Bukan." Ratu Mariella menjawab singkat. Ia kembali mendongakkan kepala, lalu menghela napas panjang. Bagaimana dengan Qyrsi? Apa naga itu sudah terbangun dan segera mencari tuannya?  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



"Verity?" Pangeran Alexander memanggil, tetapi Verity tidak mendengarnya sama sekali. Para ungrad yang tadinya mengerubungi mereka telah habis tak bersisa dan berubah kembali menjadi mayat, bukan ungrad yang siap hidup kembali untuk menyerang mereka.  



"Verity?" Pangeran Alexander menghela napas panjang dengan susah payah, tangan kirinya menahan lengan kanan yang terluka. "Verity...."  



Pangeran Alexander segera berlari menghampiri Verity yang terjatuh ketika baru melangkah di atas salju. Kulitnya pucat, napasnya tak beraturan, darah segar tidak hanya mengalir dari tangan yang terluka, tetapi juga hidungnya, dan tubuhnya seperti membeku.  



"Verity?" Pangeran Alexander segera menarik dan menghangatkan Verity dengan jubah yang ia kenakan. Mengabaikan luka di tangan, ia lalu bersiul memanggil kuda dan segera mencari sekumpulan obat yang bisa menutupi luka di tangan Verity.  



"Kau akan baik-baik saja." Pangeran Alexander bergumam sembari membalut luka di tangan Verity dengan susah payah. Ia mengeluarkan sebuah pil bulat berwarna cokelat kehitaman dan mengunyahnya sebelum menyuapkan ke mulut Verity.  



"Kau akan baik-baik saja." Pangeran Alexander bergumam sekali lagi.  



Sihir yang Verity keluarkan beberapa saat lalu begitu besar, Hidak hanya membuat jantung berdenyut menyakitkan, tetapi mematahkan sihir milik Ratu Mariella yang di waktu bersamaan memudahkan kerajaan lain untuk masuk Dragør. Pangeran Alexander tahu, cepat atau lambat kerajaankerajaan lain akan segera berkumpul dan berusaha menghancurkan satu



sama lain. Bahkan tentara kerajaan Thaurin pun sudah menunggu di luar pintu gerbang Dragør bila terlihat sebuah pertanda pintu itu terbuka. Ia melihat Istana Dragør yang berada di puncak tertinggi Inkarnate. Mereka harus segera ke sana sebelum semua kehancuran dimulai.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Ratu Amaranta melirik Raja Alastair berkali-kali, masih tak menyangka sosok yang berkali-kali ia coba untuk bunuh itu kini menjadi sekutu untuk menghancurkan Ratu Mariella.  



"Kenapa kau memilih menghancurkan Mariella?" Ratu Amaranta bertanya sambil lalu. Ia bisa merasakan aura dingin mencekam yang semakin pekat ketika mereka semakin dekat dengan Dragør.  



"Apa aku harus menjawab pertanyaanmu?" Raja Alastair mengangkat alis. Sudah lama ia menghancurkan kerajaan seperti ini. tidak berperang dan  



Sekarang semuanya akan jauh lebih adil. Tidak ada kerajaan yang memiliki kekuatan berlebih selain Dragør, selain Mariella dan Verity. Tidak ada Qyrsi yang bisa membantu Colthas. Tidak ada sihir yang melindungi Selencia.  



"Apa kau menyadari semua kekuatan Selencia berada di tangan Dragør sekarang?"  



"Kau haus dengan perang," ucap Ratu Amaranta getir. "Apa menghabisi Rania tidak cukup untukmu?"  



"Aku tidak segan menghabisimu bila kau tidak bisa menutup mulutmu, Amaranta." Raja Alastair mengangkat tangan, menghentikan langkah puluhan ribu pasukan yang ikut di belakangnya. "Apa masih ada sihir di Dragør?"



 



Raja Alastair melihat kabut pekat di hadapannya. Mereka seharusnya belum tiba di pusat inti Dragør. Pintu gerbang Dragør juga sepertinya mengeluarkan sebagian sihir yang melindungi Dragør.  



"Masih ada, Yang Mulia." Ratu Amaranta memperhatikan kabut itu. "Tidak ada pilihan, kita tetap harus melewati sihir Dragør untuk masuk ke dalamnya."  



"Seperti apa sihirnya?" tanya Raja Alastair.  



"Sihirnya akan memperlihatkan keinginan terdalammu." Raja Alastair mengangguk sekilas dan kembali mengangkat langannya. "Kita akan berjalan ke sana! Ke dalam Kerajaan Drager!" ucapnya dengan lantang.  



Suara derap langkah juga kuda yang menghentak seolah menyetujui perkataannya. Puluhan ribu tentara Austmarr dan Selencia masuk kabut itu, perlahan-lahan dipertemukan dengan keinginan terpendam mereka, keinginan yang akan menghancurkan mereka dari dalam.  



Kabut itu gelap dan pekat. Raja Alastair memegang ujung pedangnya, bersiap menyerang siapa pun yang menghampiri. Dari sisi kirinya, ia bisa melihat Ratu Amaranta yang juga terlihat waspada.  



"Mariella." Ratu Amaranta berbisik ketika melihat sosok yang berdiri di hadapan mereka. Sosok itu terlihat begitu mirip Mariella, rambut pirangnya terjalin di belakang kepala, mata violetnya ungu pucat, nyaris putih seperti susu. "Alastair, kita harus segera meninggalkan tempat ini!"  



"Apa kau tahu jalan keluar dari sini?" Raja Alastair menahan gerakan kudanya dengan gelisah. Ia juga melihat sosok yang mirip Ratu Mariella di tengah kabut tebal di hadapan mereka, sosoknya berkilauan seperti sumber cahaya.



 



Ratu Amaranta menggelengkan kepala. "Bila ini sihir, tidak ada gunanya menghabisi sosok itu. Dia tidak nyata."  



Raja Alastair mengeluarkan pedangnya. "Apa kau takut?" Ia terkekeh melihat Ratu Amaranta yang duduk gelisah dikudanya. "Tidak ada pilihan, Amaranta. Kita harus melewati sosok itu.."  



Tanpa aba-aba atau perkataan lagi, Raja Alastair memacu kudanya untuk menerjang sosok itu dan menebas kepalanya tanpa ampun. Ia berhenti sejenak melihat sosok yang baru saja diserang, lalu diam terpaku. "Verity?" Raja Alastair menarik napas panjang melihat kepala yang terpisah dari tubuhnya. Rambut sosok itu tidak pirang seperti Ratu Mariella, melainkan hitam seperti istrinya, matanya yang semula berwarna ungu pucat berubah violet terang. Sosok itu berubah menjadi Verity.  



"Ini hanya sihir." Raja Alastair bergumam, berusaha menyadarkan diri dari keterpanaannya saat melihat sosok itu yang perlahan-lahan menghilang bersama kabut yang kian menipis.  



"Ungrad!" Ratu Amaranta berseru ketika melihat sekumpulan ungrad yang berjalan ke arah mereka.  



Raja Alastair mengangkat kepala dan tersenyum miris melihat sekumpulan pasukan ungrad. Pakaian mereka compang camping, tubuh mereka sudah rusak dimakan belatung dan ulat, sebagian telah kehilangan salah satu anggota tubuh. Tidak ada satu pun yang benar-benar utuh.  



"Setidaknya ini lebih adil, Mariella." Raja Alastair  



bergumam getir sembari memegang erat pedangnya. "Api!" Raja Alastair berseru memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Sekumpulan bola-



bola api melintasi kabut, menerjang para ungrad, dan menjatuhkan mereka satu per satu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Zacharias menyadari kalau masuk Dragør tidak akan semudah yang terlihat meski pintu gerbang kerajaan telah terbuka begitu lebar. Hawa dingin yang berembus kencang tidak membuatnya gentar atau berhenti melangkah. Bila perhitungannya tepat, mereka masih harus menghadapi sihir pelindung Dragør.  



Tybalt Wildemarr yang berada di sebelahnya diam terpaku saat melihat kabut tebal di hadapan mereka. Kabut itu seperti selubung tipis yang memisahkan antara dunia luar dan Dragør. Menyerah atau masuk. Bila mereka memilih untuk masuk, maka idak ada jalan keluar lagi. Tybalt mencengkeram erat kekang kudanya. Ia sudah tidak sabar menghabisi Pangeran Alexander dan Raja Alastair.  



"Aku tahu setelah masuk ke dalam sana, perjanjian kita bisa hancur kapan saja." Tybalt melirik Raja Zacharias yang balas menatapnya dengan tatapan tajam. "Aku hanya minta agar kau fidak membunuh Putri Verity."  



Raja Zacharias menaikkan alisnya tinggi-tinggi, lalu tertawa mencemooh. "Bagaimana dengan Ratu Mariella dan Dragør?"  



"Apa kau masih ingat perjanjiannya? Qyrsi kembali ke anganmu dan kau tidak menyentuh Putri Verity." Tybalt menyadari Raja Zacharias akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya, bahkan mengotori perjanjian yang telah mereka sepakati dengan memancing keributan di Austmarr dan mengarahkan tombaknya ke Verity.  



"Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah ini," imbuhnya.  



Raja Zacharias tersenyum tipis. "Baiklah. Anggap saja ini balasan karena Verity berhasil memecahkan sihir yang ibunya buat bertahun-tahun lalu."  



Tybalt mengangguk sebelum berjalan memasuki kabut itu. Hawa dingin yang ia rasakan di luar tadi, berbanding terbalik dengan hawa panas menusuk dan aroma asap hutan yang terbakar.  



"Apa ini?" la terpana melihat kehancuran di sekitarnya. Tidak hanya hutan, tetapi juga rumah-rumah penduduk, hancur berantakan seperti dua dekade lalu saat Qyrsi menghancurkan desa mereka dan membunuh warga Dragør.  



Warga Dragor di belakangnya diam terpaku melihat kehancuran yang dulu pernah mereka rasakan.  



"Sihirnya bahkan lebih kuat dari saat aku masuk ke sini dulu." Di sebelah Tybalt, Raja Zacharias tersenyum lebar.  



"Qyrsi?" Tybalt membelalakkan mata melihat seekor naga berukuran besar yang melintas di atas mereka. Pekikan dan raungannya terdengar begitu jelas hingga membuat tubuhnya gemetar. Ia telah mempersiapkan diri untuk ungrad, tetapi tidak untuk hewan raksasa itu.  



Raja Zacharias terlihat begitu antusias melihat naga yang pernah Colthas miliki melintas di hadapannya. "Qyrsi." Ia bergumam sembari menarik pedangnya.  



"Apa ini sihir? Bila ini sihir, kau tidak bisa mengendalikan nagamu, Zachary." Tybalt mengendalikan kudanya dengan susah payah.  



"Sihir atau bukan, naga tidak pernah bisa dijinakkan. Kita harus menuju ke puncak tertinggi Inkarnate!" Raja Zacharias berseru. Bila yang berada di



hadapannya ini adalah sihir, maka tidak ada gunanya membuang waktu di sini.  



"Istana Dragør." Tybalt bergumam. Ia melihat desanya yang hancur sekali lagi, lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan jeritan permintaan tolong dari seseorang yang terjebak di salah satu rumah.  



"Ini hanya sihir." Ia berusaha mengingatkan diri sembari terus berjalan dengan tangan gemetar dan hati yang tak siap.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Pangeran Alexander memeluk tubuh Verity erat-erat, wanita itu masih belum siuman sejak kehilangan kontrol atas sihirnya beberapa saat lalu. Mereka kini berada di atas kuda menuju Istana Dragor yang terlihat semakin dekat.  



"Bahkan Dragor pun menyambutmu, Verity." Pangeran Alexander bergumam ketika angin kencang juga salju yang turun tidak lagi sederas tadi, semenjak mereka semakin dekat ke puncak tertinggi Inkarnate itu. Pasukan Thaurin tentu sebentar lagi tiba di Dragør, begitu juga pasukan empat kerajaan yang lain. Membawa Verity ke Istana Dragør adalah pilihan teraman untuk saat ini.  



Pangeran Alexander menggenggam tangan Verity yang dingin membeku dan memeluk tubuhnya semakin erat. "Sebentar lagi. Sebentar lagi kita sampai."  



Langkah kuda yang Pangeran Alexander naiki berhenti tepat di depan pintu gerbang Istana Dragør. Setelah cukup jauh melewati jalanan terjal dan curam, kuda itu nyaris menyerah dan meringkik lemah.  



"Verity?" Pangeran Alexander mengusap pipi Verity yang pucat, berusaha membangunkan. Wanita itu menghabiskan para ungrad. Ia tak tahu masih ada berapa rintangan lagi yang harus dihadapi sebelum semua kehancuran berakhir dan ia bisa sebagian besar menepati janjinya, janji yang telah ia buat belasan tahun lalu untuk melindungi mereka dari tenaganya untuk melindungi dan tidak membiarkan seorang pun menyakiti Verity.  



Pangeran Alexander tahu, masih ada perang lain yang ia harus hadapi setelah ini, tetapi tubuhnya melemah dan matanya terlalu fokus menatap kepala-kepala tahanan yang ditancapkan di tombak-tombak gerbang Istana Dragør. Tidak hanya itu, saat kudanya melangkah masuk ke dalam istana, ada beberapa tubuh berpakaian pelayan dan bangsawan menggantung di sebuah pohon yang memiliki sulur-sulur panjang.  



Pangeran Alexander menunduk dan refleks menatap wajah pucat Verity. Ia menghela napas panjang dengan pikiran berkecamuk, lalu mendongak ketika merasakan sebuah bayangan gelap tiba-tiba melewatinya.  



Pangeran Alexander menunduk dan refleks menatap wajah pucat Verity. Apa ia sanggup meninggalkan wanita itu di dalam istana yang penuh dengan kehancuran ini? Namun, bukankah ia sudah meninggalkan wanita itu selama bertahun-tahun di tangan penuh tirani ayahnya dan Amaranta?  



"Qyrsi." Ia bergumam melihat Qyrsi. Naga itu bahkan sempat meliriknya sesaat sebelum terbang melewati Istana Dragør menuju tempat yang diduga sebagai tempat semuanya akan berakhir nanti.  



Dengan berat hati, Pangeran Alexander turun dari kuda dan membawa tubuh Verity ke tengah-tengah ruangan yang mungkin dulunya sebuah aula besar atau ruang pertemuan. Ia meletakkan tubuh Verity dengan hati-hati di lantai, lalu perlahan meninggalkannya.  



"May God, save the queen."



               



XLV MARIELLA DRAGØR  



PANGERAN ALEXANDER MEMACU kudanya menjauh dari Istana Dragør, tempat Verity kini berada dan berlindung di dalamnya. Ia menengadahkan kepala, melihat langit yang kembali suram kelabu, perlahan-lahan kabut kembali menebal dan menutupi puncak tertinggi Inkarnate.  



Pangeran Alexander menyadari kalau ia tak bisa membawa Verity ke zona perang dan menghancurkan semuanya, apalagi wanita itu telah kehilangan nyaris seluruh tenaga setelah melawan para ungrad.  



"Ini adalah yang terbaik." Pangeran Alexander bergumam lirih ketika langkah kudanya semakin menjauh.  



Kudanya tak berhenti sebelum tiba di tepi bukit, di mana para pengawal yang sempat terpisah dengannya saat memasuki Dragør telah menunggu. Pangeran Alexander memperhatikan mereka satu per satu, lalu menarik napas dalam-dalam.  



"Sudah menghancurkan mereka."  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Ratu Mariella dapat melewati rintangan sihirnya dengan mudah. Bagaimana pun juga, ia yang menciptakan dan menguatkan sihir itu. Pasukannya yang tidak lebih dari kumpulan orang-orang terbuang dari Pulau Mera, hanya bisa menatap kagum setiap kali cahaya sihir ungunya menghapuskan sekaligus memasang kembali lapisan-lapisan sihir itu, membuat sebuah perisai tak kasat mata yang melindungi mereka.  



"Ungrad." Ratu Mariella tersenyum ketika melihat sekumpulan tulang belulang berjalan, sisa-sisa pasukan yang telah mati dan binasa pada perang dua dekade lalu, kini berjalan dengan tunduk dan patuh ke arahnya. Mereka membawa perisai tua usang dan senjata karatan.  



"Yang Mulia!" Roran membelalakkan mata. Ia pernah mendengar kisah penyihir laut, bagaimana para bajak laut yang mati akan terus hidup dalam keabadian seperti sosok di hadapannya ini.  



Tidak ada yang lebih menakjubkan dari melihat ratusan bahkan ribuan pasukan ungrad, berkumpul bersama mereka, membuat sebuah pasukan yang tidak hanya berisi orang-orang hidup dan berasal dari pulau terbuang, melainkan orang mati yang digerakkan dengan sihir Ratu Mariella.  



"A-apa ini?" Roran diam terpaku melihat ratusan ungrad yang bergerak dan berjalan di sisi mereka.  



"Ungrad. Pasukan orang mati." Ratu Mariella tidak bisa menyembunyikan senyum sinisnya ketika ribuan ungrad itu mengikuti perintahnya. Kali ini ia akan memastikan kalau Dragør berada di atas angin dan memiliki kelebihan yang tidak dimiliki pihak lain.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Raja Alastair mengembuskan napas gusar ketika satu demi satu ungrad yang menyerangnya bergerak lebih cepat dan berhasil mengepung. Meski demikian, ia masih mampu menjatuhkan mereka satu per satu. Panah juga bola-bola api yang ditembakkan pasukannya juga membantu mengurangi jumlah ungrad yang menyerang.  



"Apa yang kau lakukan, Amaranta?" Raja Alastair menggeram gusar ketika melihat Ratu Amaranta yang juga terkepung bersama para pengawalnya.  



"Ini semua ulah Mariella!" Ratu Amaranta berteriak lantang. Ungrad dan dzel hanya bisa dibangkitkan dengan sihir hitam dan pengorbanan darah. Entah siapa yang menjadi korban Ratu Mariella hingga wanita itu mampu membuat sihir sekuat ini.  



Raja Alastair menggenggam pedangnya lebih erat ketika keheningan yang mencekam tiba-tiba menghantam mereka.  



"Apa ini salah satu ilusi lagi?" Ratu Amaranta berbisik lirih. Para pengawal melindunginya dari berbagai sisi, sementara tangan kanannya menggenggam pedang yang terlihat tidak sebanding dengan lengan kurusnya.  



"Ssh, diamlah!" Raja Alastair berusaha menajamkan pendengaran. Ia tidak lagi mendengar langkah para ungrad yang terseok-seok berusaha berjalan di atas salju, ia hanya mendengar deru napas para pasukan juga kuda-kuda yang mereka naiki.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Ini hanya sihir." Tybalt terus bergumam dengan tangan terkepal. Ia berusaha mengabaikan jerit tangis juga permintaan tolong di antara rumah-rumah yang nyaris runtuh dilalap api.  



"Kita harus menolongnya!" Satu per satu warga Dragør berhenti dan terlihat ragu untuk meneruskan perjalanan mereka. "Ini hanya sihir!" Tybalt berseru ketika melihat warga Dragør yang mengikutinya itu sudah berlari menuju desa dan berusaha menyelamatkan siapa pun.  



"Tybalt!" Raja Zacharias menatap Tybalt dengan tatapan mencemooh seolah-olah menyadari kalau sihir itu membuat para Dragorian yang bersamanya lemah. Ia tidak membutuhkan orang-orang lemah yang tidak mampu melawan sihir semacam ini. "Apa kau ingin lanjut atau tetap berada di sini?"  



Tybalt diam terpaku, tampak menimbang. Ia bisa saja meninggalkan semua pengikutnya demi terus bersama Raja Zacharias dan ikut perang.  



"Tybalt!" Kali ini Tybalt benar-benar tak bisa menggerakkan kakinya saat mendengar suara ayahnya, Martin Wildemarr, yang tiba-tiba memanggilnya. "Ayah akan kembali, Ty. Berjanjilah kalau kau akan menjadi penggantiku selama aku pergi."  



"Apa kau akan tetap di sini atau pergi?" Raja Zacharias bertanya tak sabaran. Ia tak ingin menunggu sebuah ketidakpastian. Pergi atau tidak, Tybalt tak akan membawa banyak perubahan untuknya. Tybalt hanya salah satu jalan agar ia mendapatkan keinginannya. Setelah berada sejauh ini di dalam Dragør, ia merasa tak membutuhkan Tybalt lagi.  



"Aku akan tetap di sini." Tybalt mengembuskan napas panjang setelah sekian lama diam. "Aku tidak bisa meninggalkan mereka."  



"Baiklah." Raja Zacharias memacu kudanya bersama ribuan pasukannya yang melewati Tybalt begitu saja.  



Tybalt menengadahkan kepala, melihat salju yang tiba-tiba turun dan memadamkan api di desa dengan mudah. Tidak ada lagi yang tersisa selain puing-puing rumah dan salju berwarna abu-abu karena berpadu dengan asap.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Di dalam perang akan selalu ada dua sisi: sisi yang menyerang dan sisi yang bertahan. Selama belasan tahun, Raja Alastair selalu menjadi sisi yang bertahan. Bertahan demi mempertahankan mahkota di atas kepala, harga diri, dan kedudukannya sebagai raja, tidak hanya di Austmarr, tetapi juga Inkarnate.  



Selama perjalanannya sebagai seorang raja di Inkarnate, tidak hanya sekali ia mengalami percobaan pembunuhan atau perang yang terang-terangan menyerang kerajaannya. Namun, ini pertama kalinya ia harus menghadapi perang seperti ini. Di mana dua kubu yang ada tidak berada di sisi menyerang atau bertahan. Mereka Menghancurkan dan membunuhnya adalah hadiah untuk semua memiliki semua kerja keras yang mereka lakukan. agenda tersendiri.  



Keheningan yang tadinya begitu pekat, terpecahkan ketika mereka mendengar derap langkah juga kuda yang semakin mendekat. Bahkan tanah lapang luas di bawah mereka bergetar cukup kencang.  



Raja Alastair mengganggam pedangnya lalu menggerakkan kuda untuk berada di baris terdepan. "Bersiap!" Ia mengangkat langan, bersiap memerintahkan pasukannya untuk melempar bola-bola api bila para ungrad itu bangkit kembali.  



"Alastair!" Raja Zacharias yang juga berada di baris terdepan di antara para pasukannya, terkekeh ketika melihat Raja Alastair juga sekumpulan tulang



belulang sisa para ungrad yang menyerang mereka menyangka akan menemuimu secepat ini." tadi. "Aku tidak  



"Apa yang kau harapkan di sini, Zacharias?"  



"Qyrsi tentu saja!" Raja Zacharis menjawabnya dengan lantang sembari mendengkus keras.  



"Tak menyangka akan bertemu denganku di sini? Mariella telah mempersiapkan ini. Bukan begitu, Amaranta?"  



Ratu Amaranta yang berada di antara para pengawalnya ikut maju. "Mariella mengumpulkan kita semua di sini, dia juga mengarahkanmu untuk datang ke tempat ini."  



"Untuk apa?" Raja Zacharias mengangkat alisnya tinggi tinggi.  



"Agar kalian menghabisi satu sama lain tentu saja. Sementara ia mencari sesuatu yang lebih penting." Ratu Amaranta menarik napas gusar. Ia jelas menyadari kalau Raja Zacharias tidak pernah peduli siapa yang akan dihadapi sepanjang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.  



"Aku hanya menginginkan Qyrsi. Bila aku juga bisa menghancurkan Alastair dalam proses itu, kenapa tidak?" Pria itu benar-benar gila.  



Raja Zacharias mungkin melupakan hal terpenting yang ada, Qyrsi juga terkurung di tempat ini, dan naga itu tidak bisa dijinakkan begitu saja hanya karena ia penerus Colthas yang sah.  



"Aku tidak memiliki waktu untuk ini." Raja Alastair bergerak menjauh. Ia tidak akan menghadapi perang kosong bersama Raja Zacharias walaupun ia



ingin, Tujuannya datang ke Drager adalah untuk menghancurkan Ratu Mariella dan menemukan Verity.  



"Apa kau takut?" Tawa mengejek Raja Zacharias terdengar begitu jelas di telinga Raja Alastair.  



"Kuharap kau tak mati karena ketamakanmu sendiri, Zachary." Raja Alastair mengembuskan napas gusar. Ia menarik napas dalam-dalam saat mendengar terompet penanda perang, juga pekikan hewan buas raksasa yang tiba-tiba melintas di atas mereka.  



"Qyrsi," ucap Raja Zacharias takjub saat hewan buas raksasa itu mengembuskan napas api yang membakar hutan di sekeliling mereka.  



"Ungrad!" Ratu Amaranta berseru ketika pasukan tulang belulang itu kembali bangkit dan mengepung, membuat mereka semakin terjebak.  



"Mariella!" Raja Alastair menggeram ketika melihat wanita berambut pirang platina yang tiba di hadapan mereka.  



"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari tempat ini." Ratu Mariella berseru lantang. Ada empat sisi yang saling berlawanan di antara mereka: Selencia, Dragør, Colthas, dan Austmarr. Sementara sebagian orang-orang Raria berada di sisinya. "Serang mereka!"    



Ratu Mariella tersenyum sinis saat ungrad yang digerakkan oleh sihir hitamnya bergerak cepat dan mulai menyerang siapa saja. Pasukan Colthas terlihat kepayahan dan tidak siap ketika ungrad itu tidak juga mati walaupun kepala dan badannya telah terpisah atau ditusuk dengan pedang.  



Raja Zacharias terlalu terpaku menghadapi Qyrsi yang tidak bisa dengan mudah dijinakkan. Ayahnya adalah orang terakhir yang dapat mengendalikan naga itu dan sudah nyaris dua dekade berlalu semenjak Qyrsi bertemu kembali dengan tuannya.  



Di tengah kekacauan yang ada, Raja Alastair menyadari Ratu Mariella pergi seorang diri meninggalkan pasukannya. "Amaranta!" Ia berseru, lalu mendekati Ratu Amaranta dan menarik lengannya dari atas kuda.  



"Apa yang ingin kau lakukan!"  



"Di mana Istana Dragør?" Raja Alastair berkata tegas.  



Ratu Amaranta juga menyadari Ratu Mariella telah pergi dengan memacu cepat kudanya. "Puncak tertinggi Inkarnate."  



"Verity berada di sana." Raja Alastair bergumam.  



"Jenderal!" Jenderal Irvin yang sedari tadi memerintahkan semua pasukannya untuk menyerang dan menghabisi para ungrad, segera menghampiri Raja Alastair. "Ya, Yang Mulia?"  



"Bunuh Zacharias Colthas! Bagaimana pun caranya."  



"Siap, Yang Mulia." Jenderal Irvin memacu kembali kudanya, memerintahkan para pasukannya untuk menyerang Qyrsi dan memastikan kalau Raja Zacharias tidak berada di dekat makhluk buas itu.  



"Kita harus segera menuju ke Istana Dragør!" Ratu Amaranta mengangguk dan mengikuti Raja Alastair menuju puncak tertinggi Inkarnate.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗  



Ratu Mariella menghentikan kudanya ketika melihat empat sosok berjubah hitam yang berada di kaki gunung Dragør sekaligus jalan masuk menuju istana.  



"Aku tidak menyangka kau akan berada di sini, Alexander." Ratu Mariella menyadari Pangeran Alexander semakin dewasa, tidak lagi seperti remaja tanggung yang pernah ia temui dulu di Pulau Mera. Ia menyadari kalau pria di hadapannya ini tak bisa diremehkan.  



"Aku tahu kau akan tiba ke tempat ini, Mariella," kata Pangeran Alexander dingin.  



"Di mana pasukanmu?" Ratu Mariella mengembuskan napas panjang. "Apa kau meremehkanku dengan mempersiapkan tiga pengawalmu?"  



"Aku tidak pernah meremehkanmu, Mariella." Mata hijau Pangeran Alexander menatap mata ungu pucat Ratu Mariella. Ia mengembuskan napas panjang ketika menyadari sejauh mana wanita ini telah mengorbankan diri demi sihir hitam yang ia dapatkan sekarang. "Kau bahkan mengorbankan kedua matamu demi menguasai Inkarnate."  



"Kau tahu?" Ratu Mariella tertawa nyaring. "Tidak ada seorang pun yang menyadarinya karena bahkan tanpa kedua mataku pun, aku masih bisa melihat dengan baik."  



"Aku tahu kau tidak membutuhkan kedua matamu untuk dapat melihatku, Alastair, atau Amaranta. Tapi bagaimana dengan anakmu sendiri? Apa kau bisa melihatnya?"  



Ratu Mariella terdiam sesaat, lalu kembali tersenyum sinis. "Apa kau akan membiarkanku lewat atau tidak?"  



Pangeran Alexander mendengar gemuruh longsor salju yang berada di atasnya. "Apa yang paling kau ingin, Mariella? Setelah bermain-main dengan semua keinginan terdalam orang orang ini, apa keinginanmu? Saat mengutuk hati Raja Austmarr kau juga kehilangan hatimu dalam prosesnya bukan? Ada timbal balik dalam sihir hitam, Mariella. Musim dingin di Dragør ini bukan proses sihir alami, melainkan isi hatimu yang dingin dan kelam, dipenuhi niat balas dendam." la memperhatikan mata ungu pucat Ratu Mariella yang nyaris putih seperti susu.  



"Tahu apa kau, Alexander? Saat dirimu sendiri membunuh ayahmu dan mengancam Alastair demi mendapatkan apa yang kau inginkan?" Ratu Mariella menggerakkan tangan, sihirnya membuat longsoran es bergerak semakin cepat ke arah Pangeran Alexander.  



Di saat Pangeran Alexander berusaha menghindarinya, Ratu Mariella bergerak menuju Istana Dragør, tempat di mana semuanya bermula dan berakhir baginya.                            



         



XLVI WAYWARD SISTERS  



RATU AMARANTA MENARIK napas dalam-dalam, lalu memacu kudanya semakin cepat menuju puncak tertinggi Dragør, mengabaikan badai salju yang semakin kencang. Raja Alastair juga melakukan hal sama meski kini Istana Dragør tidak terlihat karena tertutup kabut dan badai salju.  



"Berhenti!" Raja Alastair berteriak saat mereka melihat beberapa pengawal Pangeran Alexander yang berpakaian serba hitam berada di bawah tebing curam. "Apa itu Alexander?" Ratu Amaranta terkesiap kaget  



melihat sebagian dari mereka telah mati karena terjatuh. mendongak, berusaha melihat Istana Dragør yang semakin "Bukan." tertutup badai salju. "Dia berada di atas sana." Raja Alastair menggelengkan kepala dan "Semua ini karena Mariella! Kita harus segera ke sana." Ratu Amaranta memegang erat tali kekang kudanya.  



"Apa yang akan kau lakukan di sana?" Raja Alastair menatap selidik mata violet Ratu Amaranta. "Apa yang membuatmu berada di sini? Sejauh ini, Amaranta?"  



"Clementine adalah putriku." Ratu Amaranta menggeram marah. Mereka telah berada cukup dekat dengan Istana Dragør dan Raja Alastair menahan langkahnya di sini.  



"Putrimu?" Raja Alastair menyadari kalau seluruh sihir di Dragør adalah jebakan, memerangkap dengan keinginan terdalam yang fana, mempermainkan berulang kali, lagi dan lagi, seolah tiada henti. Ia berhasil melewati, terus berjalan sampai sejauh ini, hanya untuk menyelamatkan Verity dan menyelesaikan apa pun yang tersisa dari perang dua dekade lalu.  



"Verity bukan putrimu!" tegasnya setelah lama terdiam. "Mariella mungkin orang yang telah melahirkannya, tetapi akulah yang membesarkannya. Dia adalah putriku, Alastair." Ratu Amaranta berbicara tak kalah tegas.  



"Kau membesarkannya untuk membalas dendammu, Amaranta. Kau membenci Mariella." Raja Alastair menatap mata violet Ratu Amaranta, ia bisa melihat sekelebat amarah juga dendam di mata wanita itu. Amarah juga dendam yang tidak bisa disingkirkan walaupun Ratu Mariella telah dianggap mati selama belasan tahun. Karena wanita itu hanyalah menginginkan sebuah pengakuan, pengakuan yang tidak bisa ia dapatkan dari rakyat Selencia bahkan kedua orang tuanya.  



"Menguasai Inkarnate tidak akan membuatmu serta-merta menjadi lebih hebat daripada Mariella. Verity bukan bonekamu lagi," imbuh Raja Alastair.  



"Apa kau lupa kalau kau juga pernah menganggapnya sebagai pionmu?" balas Ratu Amaranta.  



"Itu adalah kesalahanku. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama." Mungkin pada mulanya Verity hanyalah salah satu alat bagi Raja Alastair untuk mempersatukan Inkarnate. Pernikahan mereka direncanakan sedemikian rupa untuk menggabungkan kekuatan Selencia dan Austmarr, juga menghindari perpecahan di antara kedua kerajaan. Siapa yang menyangka ternyata wanita itu berhasil merebut hatinya dan tidak lagi dijadikan pion untuk menggerakkan kerajaan lain.  



Suara gemuruh petir yang tiba-tiba menggelegar dari puncak tertinggi Inkarnate membuat keduanya menatap kembali ke Istana Dragør.  



Ratu Amaranta membelalakkan mata melihat petir yang bersahutan dan badai salju semakin deras, mengaburkan pandangannya. "Apa yang terjadi di atas sana?"  



Raja Alastair mengabaikan perkataan Ratu Amaranta, dia memaksa kudanya untuk naik ke Istana Dragør.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Jenderal Irvin menyipitkan mata, berusaha melihat gerakan Raja Zacharias yang berada di antara prajurit Colthas dan berusaha melawan naganya sendiri.  



"Ungrad!" Di sisi lain, ada para ungrad menyerang mereka dengan kecepatan membabi buta. Dragør mungkin tidak memiliki banyak prajurit terlatih, sebagian besar mereka adalah orang-orang terbuang dari Pulau Mera dan Raria, sementara sisanya para ungrad. Meski begitu, kekuatan mereka tidak bisa dianggap sepele. Ungrad-ungrad nyaris sama seperti prajurit biasa, bahkan bisa dianggap lebih kuat karena mereka tidak mati hanya dengan sekali tusukan.  



"Siapkan apinya!" Jenderal Irvin mengangkat tangan, memberikan aba-aba kepada para prajurit yang membawa anak panah serta pelontar bola api. "Serang!"  



Serangan berhasil mengenai beberapa ungrad juga prajurit Colthas di hadapan mereka.  



"Serang!" Jenderal Irvin memerintahkan lagi. Seandainya saja ia bisa memancing Qyrsi agar menyemburkan apinya dan menyerang para Ungrad itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Ratu Mariella melangkah memasuki Istana Dragør, satu satunya tempat di mana sihirnya tidak bisa menyentuh para mayat di bawah sana dan mengubahnya menjadi Ungrad. Keadaan kerajaan masih sama seperti saat ia pergi dulu. Masih banyak perabotan juga ornamen yang tersisa meskipun tertutup debu dan rusak termakan usia. Sementara bangunannya masih bisa disebut sebagai istana, Istana Dragør yang hancur.  



"Apa kau kira kau bisa menyingkirkanku dengan mudah?" Ratu Mariella berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang nyaris tidak terpengaruh dengan sihirnya tadi.  



"Aku tahu kalau aku tidak bisa menyingkirkanmu dengan mudah, Alexander." Ratu Mariella mengangkat tangan, hendak menyerang Pangeran Alexander dengan sihir ketika ia menangkap sekelebat tatapan khawatir dari mata pria itu. "Kenapa kau-"  



"Tidak seharusnya kau menempatkannya di posisi seperti ini, Mariella. Hatimu telah rusak, kau mengorbankannya demi dendam." Pangeran Alexander memotong perkataan Ratu Mariella. Ia mengatakan hal yang orang-orang telah katakan kepada wanita itu belasan tahun lalu, sebelum kehancuran Dragør mengubah dan merusaknya.  



"Katakan itu kepada orang-orang yang menghancurkan istanaku, membunuh telah suamiku, merebut anakku, dan menyiksaku!" Ratu Mariella mengangkat tubuh Pangeran Alexander dengan sihirnya dan melemparnya ke dinding. Ia lalu melangkah masuk ke ruang aula terbesar di dalam istana. Tempat yang dulu pernah dipenuhi canda tawa dan suka



cita, kini tersisa sebagai ruangan kosong yang hampa. Namun, Verity terbaring di sana.  



"Verity...." Ratu Mariella berbisik lirih saat mendekati sosok itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



Raja Alastair berhasil masuk Istana Dragør, mengabaikan sisa sisa perang dua dekade lalu di sekitarnya. Matanya bisa menangkap Pangeran Alexander yang terbaring tak jauh dari sebuah pilar besar, sebuah pertanda kalau Ratu Mariella telah benar-benar berada di sana.  



"Mariella!" Suara Raja Alastair menghentikan gerakan Ratu Mariella yang hendak mendekati Verity. "Berhenti!"  



Ratu Mariella menegakkan tubuhnya dan berbalik menghadap Raja Alastair. "Kau berada di sini." Ia menyunggingkan senyuman tipis dan menatap misterius ke arah Verity. "Mencari putriku?".  



"Mariella!" Ratu Amaranta yang berada di belakang Raja Alastair, melihat Ratu Mariella dengan mata terbelalak lebar. "Kau masih. .. "  



"Hidup?" Ratu Mariella tertawa kecil melihat kembarannya. "Aku tahu kau berharap aku mati, Sister."  



"Menjauh dari sana, Mariella!" Raja Alastair memperingati sekali lagi ketika menyadari Ratu Mariella hendak melakukan sesuatu kepada Verity.  



"Seorang Raja Inkarnate seharusnya tidak memperlihatkan kelemahannya dengan jelas." Ratu Mariella berkata dengan nada mencemooh.  



"Apa kau akan mengorbankan putrimu sendiri....." Raja Alastair segera menemukan jawaban ketika melihat tubuh Verity yang tadinya terbaring perlahan bangkit. "Verity!"  



Raja Alastair menahan napasnya saat melihat mata Verity yang biasanya berwarna violet terang, berubah seputih susu, nyaris menyerupai mata Ratu Mariella.  



"Dzel!" Ratu Amaranta terkesiap kaget.  



"Kau mengubah putrimu sendiri menjadi Dzel!" Dzel nyaris dengan Ungrad, yang membedakan hanyalah sama bila ungrad berasal dari orang-orang yang telah mati dan nantinya akan kembali mati, Dzel berasal dari orangorang yang masih hidup dan hingga saat ini tidak ada yang bisa bertahan hidup setelah menjadi Dzel.  



"Verity." Ratu Mariella tersenyum tipis saat menggenggam tangan putrinya yang kini tidak ada bedanya dengan mayat hidup.  



"Verity, apa kau mengenaliku?" Raja Alastair menatap mata violet pucat Verity, wanita itu tidak merespons sedikit pun. "Kenapa kau melakukan ini, Mariella?"  



"Karena dia adalah kelemahanmu."  



Verity mengangkat tangannya dan menatap Raja Alastair.  



"Verity?" Raja Alastair menekan dadanya yang tiba-tiba sesak dan menyakitkan. Jantungnya seperti tengah diremas dengan kekuatan yang sangat besar.  



"Dia bisa membuatmu merasa hidup, juga bisa membuatmu berada di ambang kematian," ucap Ratu Mariella lirih. "Sementara kau, Amaranta. Bila saja aku bisa membuatmu merasakan apa yang telah kau lakukan selama ini kepada putriku dengan mudah.... "  



Ratu Amaranta terjatuh ketika merasakan darahnya memanas seperti telah menelan api. Alih-alih menjerit kesakitan, ia malah tertawa. "Aku senang kau tidak setengah-setengah ketika melawanku, Mariella."  



"Bukankah ini yang kau inginkan?" Ratu Mariella bergerak menuju Ratu Amaranta, lalu menunduk ke hadapannya.  



"Kau mengeluarkan seluruh kekuatanmu dan aku mengeluarkan seluruh kekuatanku." Ratu Amaranta terkekeh mendengar suaranya sendiri yang serak. "Aku telah memberikan hal terbaik yang aku bisa untuk menghancurkanmu."  



"Kau!" Ratu Mariella terpekik ketika Ratu Amaranta menyabet lengannya dengan belati. "Bodoh! Ini tidak akan bisa membunuhku dengan mudah."  



"Aku tahu." Ratu Amaranta memejamkan mata sekilas ketika merasakan api yang semakin membara di dalam dirinya. "Aku yang membesarkan Clementine... Verity, putrimu."      



Ratu Amaranta terbatuk beberapa kali dan memuntahkan darah berwarna hitam pekat. Ia tertawa getir. "Mengubahnya menjadi dzel, aku tidak menyangka ka-u akan melakukannya. Dia jauh le-bih ku-at daripada itu." Ia berucap terpatah-patah dan menyadari hidupnya kini berada di ujung tanduk. Sihir Ratu Mariella telah berhasil merusak tubuhnya.  



"Karena a-ku... y-ang membesarkannya." Ratu Amaranta tersenyum sinis ketika melihat raut wajah Ratu Mariella berubah sebelum wanita itu menyerangnya secara membabi buta, membuatnya menjerit kesakitan karena merasakan kematian yang pelan dan menyakitkan.  



"Verity, bunuh dia!" Ratu Mariella menghadap ke arah Verity dan memerintahkan wanita itu untuk tidak lagi memainkan jantung Raja Alastair, melainkan segera bunuh pria itu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa itu?" Jenderal Irvin melihat kedatangan pasukan baru yang bahu membahu membantu mereka melawan Colthas dan ungrad.  



"Thaurin, Jenderal." Jenderal Irvin mengangguk saat melihat bala bantuan menyatu dengan pasukan. Ia melihat sosok Qyrsi yang masih terbang di atas mereka. "Siapkan tombaknya!"  



Pasukann segera menyiapkan sebuah tombak terbesar yang terbuat dari baja terbaik di Inkarnate. Satu-satunya senjata yang dapat menembus kulit keras raksasa itu dan menyakitinya.  



"Serang!" Jenderal Irvin tidak akan menyia-nyiakan momentum untuk menghabisi musuh.  



Tombak baja melesat kencang ke arah Qyrsi dan berhasil melukainya. Naga raksasa itu memekik kencang dan menyemburkan apinya yang mengenai para ungrad dan pasukan Colthas.  



Tidak ada perang tanpa pengorbanan. Jenderal Irvin bergumam di dalam hati ketika melihat sebagian pasukannya ikut terkena semburan dan mati.  



"Ada jalan menuju Raja Zacharias, Jenderal." Salah satu anak buahnya menunjuk ke arah Raja Zacharias.  



"Persiapkan pasukan untuk membuka jalannya! Aku sendiri yang akan membunuhnya." Jenderal Irvin mencengkeram pedangnya ketika melihat sekumpulan orang-orang asing yang tiba-tiba berada di antara pasukan Colthas.  



"Tybalt Wildemarr." Jenderal Irvin bergumam ketika melihat sosok itu berada di antara mereka.  



Sihir itu berhasil menjebak mereka selama beberapa saat sebelum Tybalt mendengar suara Qyrsi dan memerintahkan seluruh warga Dragør untuk mengikutinya. Kini mereka berada di tengah-tengah peperangan antara lima kerajaan-bila saja sebagian orang-orang terbuang yang berasal dari Raria tidak dihitung sebagai pasukan Raria.  



"Tybalt!" Tybalt mendengar seruan warga Dragør yang tiba tiba berada di dalam kepungan prajurit Colthas.  



"Apa yang kau inginkan, Zacharias?" Tybalt menggeram marah melihat sekutunya telah kembali berbalik arah menjadi musuh.  



"Tidakkah kau lihat apa yang ada di depan sana, Tybalt? Ungrad. Aku harus membunuh Mariella agar bisa mengendalikan nagaku kembali." Raja Zacharias menarik pedang dan mengarahkannya ke Tybalt.  



"Kau tahu aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantumu." Tybalt menatap Raja Zacharias, pria yang telah dibutakan oleh ketamakannya sendiri. Cara apa pun tidak akan membuatnya puas sebelum mendapatkan apa yang diinginkan. "Mungkin saja ratumu bisa melakukan sesuatu demi rakyatnya?"



 



Tybalt melihat ke belakang Raja Zacharias, Jenderal Irvin yang telah siap dengan busur panahnya. "Aku tidak tahu." Ia menjawab perkataan Raja Zacharias tepat saat Jenderal Irvin menarik tali busur dan anak panahnya melesat cepat hingga tertancap di punggung Raja Zacharias.  



Tybalt mengambil alih pedang Raja Zacharias, lalu menusuk dada pria itu. Ia memastikan Raja Zacharias telah benar-benar mati sebelum menarik pedang yang tertancap di dada pria itu dan menghabisi prajurit Colthas yang menyerangnya satu per satu.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Verity!"  



"Verity!"  



Verity bisa mendengar dua suara yang memanggilnya, memohon juga memerintahnya. Raja Alastair berada di hadapannya dan memohon, sementara ia terus berjalan mendekat dan menyakiti pria itu.  



"Verity, aku tahu ini bukan kau yang sesungguhnya." Raja Alastair berbisik lirih. Ia mencengkeram dadanya sendiri, menahan sakit yang teramat sangat.  



"Ini bu-kan... a-ku." Verity mengucapkannya lirih sembari mengerjapkan mata berulang kali.  



"Jangan biarkan mereka mempermainkanmu lagi! Kau bukan pion. Kau bukan boneka. Kau bebas sekarang." Raja Alastair berbisik kepadanya. Tangan pria itu tidak lagi meremas dada, tetapi berusaha menyentuh wajahnya, menyadarkannya.



 



"Verity!" Ratu Mariella memanggil ketika menyadari sihirnya tidak lagi bisa memengaruhi Verity.  



"Aku bebas." Verity bergumam ketika ia berbalik dan melihat Ratu Mariella yang terpaku di tengah ruangan. Terkejut karena untuk pertama kalinya, ia melihat Dzel yang sanggup melawan tuannya.  



"Aku bebas!" jerit Verity.  



Ratu Mariella terpekik ketika merasakan sihir yang tadinya memenjarakan Verity di dalam tubuhnya sendiri, berbalik arah melawannya. Di tengah momentum itu, Raja Alastair bangkit dan segera mengeluarkan belati bertatah permata yang pernah Verity gunakan untuk membunuhnya, belati yang berasal dari sisik naga yang dapat membunuh penyihir.  



"Tidak!" Raja Alastair menusuk dada Ratu Mariella, membuat wanita itu terhuyung kaget.  



"Tidak, tidak, tidak!" Ratu Mariella terbatuk beberapa kali sembari menahan dadanya yang tertancap belati.  



Verity merasakan Raja Alastair yang tiba-tiba memeluknya. Lengannya, dadanya, aromanya. Verity bahkan tidak menyadari kalau dirinya tiba-tiba kesulitan bernapas dan tengah berusaha menenangkan degup jantungnya sendiri.  



"Bernapas, Verity. Semuanya sudah berakhir sekarang. Kau baik-baik saja sekarang. Kau bebas." Raja Alastair mengecup puncak kepala Verity.  



Verity memejamkan mata, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia berakhir di sini. Suara degup jantung Raja Alastair yang tenang



perlahan-lahan ikut membuatnya tenang. Ia lalu menarik napas dalamdalam dan menatap Raja Alastair. "Ibu-ku Mariella ... . Am-aranta."  



Verity terkejut ketika melihat sosok yang selama ini tidak pernah ada dalam hidupnya, kini berada di hadapannya. "Ibuku d-dia... dia bukan keluargaku. A-aku tidak memiliki keluarga. A-ku tidak punya siapa-siapa lagi." Ia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.  



"Aku akan menjadi keluargamu. Aku adalah keluargamu. Kita punya satu sama lain sekarang." Raja Alastair memeluk Verity semakin erat dan membiarkan wanita itu terisak di dadanya.  



Sihir yang memenjarakan Dragør selama bertahun-tahun perlahan runtuh. Untuk pertama kalinya cahaya matahari berhasil melewati awan kelabu pekat yang selama ini menggantung di atas langit Dragør.  



"Sihirnya...." Verity melepaskan pelukannya sesaat. Udara dingin yang tadinya berembus begitu kuat kini menghangat, layaknya musim semi yang baru saja tiba. Verity menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca saat melihat jasad dua wanita yang begitu serupa, tetapi juga begitu berbeda di saat yang bersamaan. Mariella dan Amaranta, ibunya. Verity terisak, selama bertahun-tahun ia mendambakan sebuah keluarga, tempat tinggal hangat di pinggir kota, sepiring santapan yang lezat dan mengenyangkan. Impiannya selama berada di penjara bawah tanah, untuk pertama kali ia menyadari jika mimpinya bukan hanya sekadar mimpi, bahwa mimpinya bisa menjadi kenyataan.  



"Sihirnya berakhir." Alastair mengusap air mata yang membasahi pipi Verity. "Semuanya sudah berakhir, Verity."  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Musuh kini saling bersatu menjadi sekutu bersama-sama melawan ungrad yang terus hidup kembali, tak peduli berapa kali mereka menebas kepala, tangan, dan anggota tubuh mereka.  



Makhluk hidup berbeda dengan makhluk yang telah mati, manusia memiliki batasan tenaga. Tidak hanya Jenderal Irvin, Tybalt pun nyaris menyerah ketika ungrad yang mereka lawan hidup kembali. Para prajurit yang mati pun berubah menjadi ungrad.  



Tybalt memejamkan mata saat merasakan embusan hangat, tubuhnya bersiap menerima serangan apa pun yang para ungrad lontarkan, begitu juga napas api Qyrsi.  



"Sihirnya." Jenderal Irvin terdiam saat melihat satu per satu ungrad yang menyerang mereka kembali mati berubah menjadi abu. "Sihirnya... berakhir."  



Tybalt membuka mata, ungrad yang mereka lawan telah roboh dan kembali ke wujud mereka yang sesungguhnya yang seharusnya telah hancur sejak bertahun-tahun lalu. Musim dingin yang berlangsung terus menerus selama dua dekade mengawetkan tubuh mereka, tetapi kini, setelah sihirnya berakhir, para ungrad berubah menjadi debu, menyisakan sisa sisa jasad para prajurit yang tidak berhasil diselamatkan.  



Awan pekat yang menyelubungi Dragør memudar, memudahkan cahaya matahari memasuki tanah Dragør untuk pertama kalinya setelah bertahuntahun. Jenderal Irvin membelalakkan mata saat melihat Qyrsi yang terbang menjauh, para prajurit telah bersiap menembakkan tombak ke arah makhluk raksasa itu ketika Tybalt menghentikan mereka.  



"Berhenti." Tybalt menggeleng. "Biarkan dia. Hanya Colthas sejati yang bisa mengendalikan naga." Berusaha melawan makhluk purba itu hanya akan membawa kehancuran kepada mereka. Qyrsi telah terperangkap selama



nyaris dua dekade di dalam sihir yang menyelubungi Dragør. Tidak akan mudah membawa makhluk itu keluar dari Dragør. Sama seperti dirinya, mereka mungkin bisa membawa raganya keluar dari Dragor, tetapi mereka tidak bisa membawa Dragør keluar dari dalam dirinya.  



Pada akhirnya perang berakhir, ungrad yang musnah pun juga menjadi pertanda bahwa Mariella Dragør telah tiada. Bila ini adalah akhir demi sebuah kedamaian, Tybalt tak bisa membantahnya. Verity Dragør adalah penerus sah takhta kerajaan Dragor.                      



EPILOGUE  



VERITY MENATAP GAUN yang ia kenakan di depan cermin. Ja kembali ke Austmarr sekarang, bukan sebagai Clementine Selencia, tetapi Verity Clementine Dragør. Ia memutuskan untuk menyelipkan nama Clementine sebagai bentuk simbolis kalau ia juga keturunan Selencia, walaupun hanya pengganti Putri Clementin dan Ratu Amaranta bukan ibunya.  



Tiga bulan berlalu semenjak perang kedua pecah dan lima kerajaan lagi-lagi berperang demi membalaskan dendam mereka. Kematian Ratu Mariella tidak hanya menghentikan langkah para ungrad, tetapi membuka segel sihir yang mengunci Kerajaan Dragør selama belasan tahun.  



Pada hari ini bukan hanya Verity yang disahkan menjadi ratu di Dragør dan Selencia, Hadrian Colthas menggantikan kakaknya yang gugur di medan perang, dan Orion Raria juga akan menggantikan ibunya. Namun, karena usia Orion yang masih sangat muda, Raja Alastair akan menggantikannya untuk sementara.  



Verity menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan ketika menyadari dirinya masih belum pantas menjadi ratu. Pada awal musim semi lalu, ia masih seperti seekor tikus kecil yang terkurung di penjara, menunggu Ratu Amaranta membebaskannya dari penderitaan selama belasan tahun. Verity mencengkeram erat gaun yang ia kenakan, tiba-tiba teringat kembali saat baru menikah dengan Raja Alastair dan mencari waktu yang tepat untuk membunuh pria itu. Bila saja ia benar benar membunuh Raja Alastair, mungkin saat ini masih menjadi boneka Ratu Amaranta dan tidak akan pernah bebas.  



"Verity?" Verity berbalik dan melihat Pangeran Alexander yang membawa sebuah kotak. Pria itu maju dengan susah payah. Sebuah tangan palsu yang terbuat dari perak dan emas menggantikan tangan kanannya, ada guratgurat kesakitan di wajahnya setiap kali ia melangkah. Serangan Ratu Mariella mengakibatkan luka cukup dalam di tubuhnya.  



"Apa itu?" Verity mengerutkan kening, kembali teringat saat Raja Alastair membawa kotak berisi mahkota ibunya ke hadapannya.  



"Ini berasal dari Selencia." Pangeran Alexander menaruh kotak kayu di hadapan Verity dan membukanya. Satu set perhiasan dengan hiasan amethyst dan berlian. "Seperti warna mata para keturunan Selencia. Ini pernah menjadi milik Mariella dan Amaranta."  



Verity mengangguk kaku. Ia masih tidak tahu harus memiliki perasaan seperti apa kepada Ratu Mariella ataupun Ratu Amaranta. Hatinya mungkin dulu pernah dipenuhi dengan kebencian kepada Ratu Amaranta



karena wanita itu telah menyiksanya, juga kekosongan kepada Ratu Mariella karena wanita itu tidak pernah berada di sisinya. Namun, bagaimana pun juga kedua wanita itu adalah ibunya.  



"Aku..." Verity memutuskan untuk mengatupkan bibirnya, menerima kotak itu dari tangan Pangeran Alexander, dan meletakkannya di atas meja.  



Pangeran Alexander mengambil kotak lain yang lebih besar dan kembali memberikannya kepada Verity. "Ini milik ayahmu, Ferdinand Dragør." Sebuah mahkota berukuran cukup besar dengan batu permata hitam yang langka berada di dalamnya.  



Verity mengangguk lagi. Kini ia benar-benar mengerti maksud Pangeran Alexander datang dan membawa dua benda bersejarah milik Dragør dan Selencia. "Terima kasih, Alexander."  



Verity menyerahkan benda bersejarah itu kepada pelayannya yang segera memasangkan di leher dan telinganya.  



"Apa kau siap?" Pangeran Alexander menatap Verity sembari tersenyum tipis.  



Dengan ragu-ragu, Verity meletakkan tangannya lekukan tangan Pangeran Alexander, lalu mengangguk. "Terima kasih telah menemaniku sejauh ini, Alexander."  



Hari ini, Pangeran Alexander akan menggantikan Richard Blaxton dan membawanya ke hadapan Raja Alastair yang akan meresmikannya sebagai Ratu Dragør dan Selencia.  



 



亗 TheKɪɴɢBride 亗



Verity melangkah ke hadapan Raja Alastair. Mata violetnya menatap lurus ke depan, tidak lagi menunduk seperti dulu. Hadrian Colthas telah berdiri di depan sana, mahkota Raja Colthas berada di kepalanya. Pria itu telah benar-benar menggantikan Raja Zacharias III Colthas. Di sebelahnya berdiri Tybalt Wildemarr yang menatap lurus ke arah Verity. Pria itu menjadi Jenderal Wildemarr dan menetap di Dragør sembari membangun kembali kerajaannya yang hancur.  



Langkah Verity terhenti ketika tiba di ujung altar. Pangeran Alexander melepaskan genggaman tangan dan tersenyum tipis kepadanya.  



"Berlutut!"  



Verity berlutut di hadapan Raja Alastair. Prosesinya berlangsung cepat dan khidmat, tidak ada satu pun yang bersuara ketika Raja Alastair meletakkan mahkota Dragør di atas kepalanya.  



"Dengan ini kusahkan Verity Clementine Dragør menjadi Ratu Dragør, Selencia, dan Austmarr."  



Suara tepukan tangan terdengar dari segala penjuru arah ketika dua pelayan wanita membantunya kembali berdiri. Ia adalah seorang ratu sekarang, tidak hanya ratu di Dragør, tetapi juga di Selencia dan Austmarr.  



亗 TheKɪɴɢBride 亗



 



"Apa kau yakin ini yang kau inginkan?" Raja Alastair berbisik di telinga Verity yang hanya diangguki sekilas sebagai jawaban pertanyaannya. "Kau bisa bebas, Verity."  



"Aku memilih terikat bersamamu karena kau berjanji akan menjadi keluargaku. Aku tidak pernah punya keluarga, Alastair. Hingga kau yang



mengatakan kalau kau akan menjadi keluargaku." Verity berkata lirih.  



"Setidaknya kita punya satu sama lain sekarang." Raja Alastair meraih tangan Verity dan mengecupnya sekilas sebelum diletakkan di dadanya. Verity bisa merasakan degup jantungnya yang berdetak tenang.  



"Dan kita punya waktu sekarang." Verity tertawa kecil ketika melihat kerutan di wajah Raja Alastair. Ia lalu berjinjit dan mengecup pipi Raja Alastair. "Terima kasih karena telah membebaskanku.  



"Where there is love, nothing is too much trouble and there is always time."    



-THE END