The Richest Man in Babylon [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KULIT MUKA, DAFTAR ISI DAN PENGANTAR



GEORGE S. CLASON



ORANG TERKAYA DI BABILONIA



Didepanmu terbentang masa depanmu, bagai sebuah jalan yang mengarah jauh ke ujung batas pandangmu. Sepanjang jalan itu ada banyak tujuan yang ingin engkau capai …. Keinginan-keinginan yang sangat ingin engkau penuhi. Untuk mencapai tujuan dan keinginan hatimu, engkau harus berhasil di bidang keuangan. Gunakan prinsip-prinsip dasar yang dijelaskan pada halaman-halaman berikut ini. Jadikan dia pembimbingmu menjauhi kecekakan dompetmu yang tipis ke yang lebih tebal, yang penuh, hidup dalam kehidupan yang lebih berbahagia yang dimungkinkan oleh dompet yang terisi penuh. Seperti hukum daya tarik bumi, hukum-hukum uang bersifat alamiah dan tidak berubah. Mudahmudahan hukum uang itu dapat berlaku juga bagimu, sebagaimana dia telah terbukti berlaku bagi sangat banyak sekali orang, kunci yang mantap bagi mendapatkan dompet tebal yang terisi penuh, rekening bank yang menggelembung dan perbaikan di bidang keuangan yang sangat memuaskan.



Uang adalah alat untuk mengukur keberhasilan di muka bumi.



Uang memungkinkan pemiliknya menikmati yang terbaik yang disediakan dunia. Uang sangat banyak sekali bagi sesiapa yang mengenal hukum sederhana yang mengatur cara memperolehnya. Uang hari ini diatur dengan hukum yang sama yang mengaturnya ketika orang berada dan para hartawan yang hidup berkelimpahan memenuhi jalan-jalan di Babilonia, enam ribu tahun yang lalu.



LIHAT, UANG BANYAK SEKALI BAGI MEREKA YANG MENGENAL HUKUM SEDERHANA YANG MENGATUR CARA MEMPEROLEHNYA



1.



Mulai gelembungkan kantung uangmu



2.



Atur dan cermati pengeluaranmu



3.



Lipatgandakan emasmu



4.



Jaga hartamu dari kerugian



5.



Jadikan tempat tinggalmu sebagai penanaman modal yang menguntungkan



6.



Jamin penghasilanmu di masa depan



7.



Tingkatkan kemampuan memperoleh penghasilan



- Orang Terkaya Di Babilonia



ORANG TERKAYA DI BABILONIA



GEORGE S. CLASON



DAFTAR ISI



Pengantar Orang Yang Menginginkan Emas Orang Terkaya Di Babilonia Tujuh Kutukan Kemelaratan Bertemu Muka Dengan Dewi Keberuntungan Lima Hukum Emas Pemberi Pinjaman Emas Di Babilonia Tembok Kota Babilonia Pedagang Unta Di Babilonia Lempeng Tanah Liat Dari Babilonia Orang Paling Beruntung Di Babilonia Sejarah Singkat Babilonia



PENGANTAR



Kemakmuran kita sebagai suatu negara tergantung kepada kemakmuran keuangan setiap orang sebagai warganya. Buku ini menceritakan keberhasilan bagi setiap pembaca. Keberhasilan berarti pencapaian hasil yang diperoleh dengan usaha dan kemampuan kita sendiri. Persiapan yang cukup merupakan kunci keberhasilan. Tindakan kita tidak dapat lebih arif dari buah fikiran kita. Karena fikiran kita tidak dapat lebih bijaksana dari pemahaman kita akan sesuatu. Buku penyembuh kantong uang yang kempis ini dapat disebut sebagai petunjuk pemahaman masalah keuangan. Itulah tujuannya : memberikan kepada orang yang begitu menginginkan keberhasilan di bidang keuangan, sebuah pemahaman yang dapat membantu mereka memperoleh uang, menyimpan uang, dan membuat kelebihan uangnya menghasilkan lebih banyak uang.



Pada halaman-halaman berikut, kita dibawa mundur ke masa Babilonia, tempat kelahiran yang membesarkan, membentuk prinsip-prinsip dasar keuangan yang sekarang diakui dan dipergunakan di seluruh dunia. Bagi pembaca baru kami merasa gembira menyampaikan salam dan harapan semoga halamanhalaman buku ini mengandung inspirasi bagi mereka untuk mengembangkan saldo rekeningnya di bank, keberhasilan di bidang keuangan yang lebih besar, dan membantu menyeselaikan masalah keuangan, sebagaimana telah dengan bersemangatnya disampaikan para pembaca mulai dari pantai atlantik hingga pantai pasifik. Bagi pengusaha yang telah menyebarkan cerita-cerita ini dalam jumlah besar kepada sahabatsahabatnya, keluarga, pegawai dan rekan kerja, kami mengambil kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih. Tidak ada pengakuan dan dukungan yang lebih baik dari pada para praktisi yang mneghargai ajaran yang disampaikan, karena merekalah yang telah bekerja keras hingga mencapai keberhasilan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar keuangan yang diajarkannya. Babilonia menjadi kota terkaya di zaman kuno itu karena warganya merupakan orang-orang terkaya pada masa itu. Mereka memberikan penghargaan yang tinggi kepada nilai uang. Mereka menerapkan prinsip keuangan yang sehat dalam memperoleh uang, menyimpan uang dan membuat uangnya menghasilkan lebih banyak lagi uang. Mereka memberi diri mereka sendiri apa yang kita semua inginkan ….. penghasilan bagi masa depannya.



G. S. C.



ORANG TERKAYA DI BABILONIA



I : ORANG YANG MENGINGINKAN EMAS ORANG YANG MENGINGINKAN EMAS



Bansir, pembuat kereta kuda di Babilonia, sangat kecewa. Dari tempat ia berdiri di depan rumahnya, ia memandang rumah yang sangat sederhana, dan sebuah bengkel kerja, yang masih terisi satu kereta kuda yang seolah terbengkalai, masih belum selesai dikerjakan. Istrinya beberapa kali terlihat dengan sengaja menampakkan diri di ambang pintu. Pandangan sayu yang dilontarkan ke arah Bansir seolah mengingatkan bahwa beras mereka sudah hampir habis, dan Bansir seharusnya bergegas menyelesaikan pekerjaan yang merupakan keahliannya itu, memalu dan membengkokkan tulang-tulang roda, melicinkan permukaan kereta dan mengecatnya, mengikat kulit pada tiap roda, mempersiapkan pengiriman kereta, agar ia bisa segera menagih upah dari hartawan pelanggannya. Kendati demikian, tubuh besarnya yang berotot hanya tersandar pada pagar rumah. Fikiran lambannya terus seolah dengan sabar berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang tak berujung, yang belum pernah ia temukan penyelesaiannya. Matahari tropis yang terik, yang memanasi lembah Furat, tanpa ampun membakar tubuhnya. Keringat bercucuran, dari dahi merembes ke alis dan kemudian menetesi dadanya yang penuh bulu. Upf panasnya. Dekat rumah Bansir, menjulang pagar-pagar tinggi yang mengelilingi kediaman Sang Raja. Di sebelahnya lagi, menusuk kebiruan langit, menjulang Menara Genta yang bercat cerah. Di bawah bayang-bayang kebesaran itulah rumah Bansir yang sederhana berada, beserta beberapa rumah lain yang juga kurang bagus dan kurang terawat. Begitulah Babilonia, campuran kemegahan dan kekumuhan. Hartawan kaya raya dengan orang terlunta-lunta, berbaur dalam lingkungan kota tanpa perencanaan tanpa ikatan sistem dalam dengung kehirukpikukan. Di belakangnya, kalau ia ingin atau sempat memperhatikan, betapa riuhnya kereta kuda para hartawan, berlalu sambil menyingkirkan para pedagang kaki lima dan pengemis tanpa alas kaki yang terpaksa berhamburan ke sisi jalan. Sementara itu, di tempat lainnya, orang beradapun harus terdorong ke tepian parit agar memuluskan jalan para budak pengangkut air, guna kepentingan raja, masing-masing memanggul sekantung air dari kulit kambing yang akan digunakan untuk menyiram Taman Gantung Sang Raja. Bukan main riuh-rendahnya suasana. Namun, Bansir sedang terlalu tenggelam dalam masalahnya sendiri. Ia tidak mengacuhkan kesibukan disekitarnya. Tiba-tiba, sebuah dentingan senar lyra yang tak disangka-sangkalah yang membangunkan Bansir dari lamunan bingungnya. Ia menoleh, menemukan sebuah senyum bersahabat yang sangat ia kenal, senyum sahabat karibnya – Kobbi, si pemusik. “Semoga Para Dewa memberkatimu dengan limpahan berkah-Nya, sahabat,” salam panjang Kobbi. “Ya kan, begitu berkahnya bahkan engkau kelihatannya santai-santai saja, tidak perlu bekerja lagi. Sukurlah kalau begitu, betapa beruntungnya engkau. Nanti, keberuntunganmu akan kutambah lagi. Terpujilah Para Dewa, maka dari simpananmu yang cukup, yang telah membuatmu istirahat dari kesibukan bengkel, sudilah engkau mengeluarkan, tidak banyak, hanya dua shekel, untuk dipinjamkan padaku, tidak lama, hanya sampai nanti lewat malam, setelah pesta para hartawan. Uangmu tak kan hilang, tapi kembali pasti.” “Kalau aku punya dua shekel,” jawab Bansir suntuk, “tidak ke siapapun kuberi pinjaman – bahkan ke padamu sekali pun, sahabat baikku, karena hanya itulah mungkin keberutunganku – bahkan seluruh peruntunganku. Tidak akan ada orang yang akan meminjamkan seluruh peruntungannya, bahkan ke sahabat terbaiknya kan?” “Apa?” seru Kobi terkejut. Benar-benar terkejut. “Engkau tidak punya satu shekel pun di kantung uangmu, tapi bersandar di pagar ini bagai patung!? Kenapa engkau tidak segera menyelesaikan kereta kuda itu? Bagaimana engkau akan menafkahi kehidupan keluargamu? Jangan begitu. Kemana keuletanmu yang sudah kukenal itu? Apa yang engkau fikirkan? Apakah Para Dewa telah memberikan engkau ujian lagi?



“Pastilah ini cobaan Dewa,” sahut Bansir menyetujui. “Awalnya cuma mimpi, mimpi kosong semata, saya seperti orang yang sangat berhasil. Kantung uangku penuh, melimpah. Shekel-shekel kecil dengan ringannya kusebar pada para pengemis. Uang perak kugunakan membeli perhiasan buat istriku dan apa saja yang kusukai. Uang pecahan emas cukup banyak sehingga dapat menenangkanku. Masih ada jaminan bagiku, meski uang perak habis kupergunakan, sangat memuaskan hati, bahagia! Engkau tidak akan mengenalku sebagai kuli seperti ini. Dan engkau tidak akan mengenal lagi istriku, wajahnya tidak ada kerutan sama sekali bersinar penuh senyum. Dia masih seperti perawan belia.“ “Mimpi yang benar-benar indah,” tanggap Kobbi, ”tapi bagaimana perasaan yang menyenangkan itu membuatmu mematung galau tersandar di pagar seperti ini?” “Kenapa? Kenapa tidak, begitu tersadar kudapati kantung uangku melompong, getir hatiku. Coba kita bahas hal ini bersama, karena, seperti kata para pelaut, kita berada di kapal yang sama, kita berdua ini. Selagi remaja, kita belajar budi pekerti kepada para imam yang bijaksana bersama-sama, sebagai anak muda kita bergembira bersama juga, menjelang setengah baya kita masih bersama-sama, selalu sebagai sahabat baik. Kita melakukan pekerjaan yang kita sukai, senang menghabiskan waktu berkarya dan menggunakan hasil usaha kita unntuk kehidupan sesuai dengan penghasilan kita. Banyak emas perak yang telah kita peroleh, dan juga pergunakan selama tahun-tahun itu, tetapi membayangkan kebahagiaan menjadi orang kaya, masih bagai mimpi bagi kita. Bah! Apakah kita lebih bodoh dari seekor kambing? Kita hidup di kota terkaya di dunia, para pengunjung kota ini menyanjungnya sebagai kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia. Segala hal yang menakjubkan itu hanya tontonan bagi kita. Setengah umurmu kau gunakan bekerja keras, kamu, sahabat karibku, namun kantung uangmu tetap saja kosong, dan apa yang kau katakan padaku, ‘sudilah engkau mengeluarkan, tidak banyak, hanya dua shekel, untuk dipinjamkan padaku, tidak lama, hanya sampai nanti lewat malam, setelah pesta para hartawan.’ Lalu, apa jawabku? Apa akau bilang, ‘Ini kantung uangku, silakan manfaatkan sesuai kebutuhanmu.’ Tidak, kantung uangku sama kosongnya dengan milikmu. Kenapa bisa begini? Kenapa kita tidak dapat mengumpulkan emas dan perak, lebih dari sekedar memenuhi sandang dan pangan?” “Apalagi kemewahan itu, coba perhatikan,” lanjut Bansir, “mereka seolah-olah sudah begitu saja dengan mudah mengikuti jejak pendahulunya? Mereka, keluarga mereka, anak-anaknya, keluarga anak-anaknya, seolah hidup sejahtera selamanya, sementara kita, harus sudah merasa cukup senang dengan kenduri susu kambing dan bubur nasi?” “Belum pernah selama aku mengenalmu mendengar engkau berbicara seperti ini, Bansir.” Kobi tercengang. “Belum pernah memang, selama itu. Aku berfikir seperti ini. Dari terang hari sampai jelang malam aku selalu sibuk, membuat kereta kuda terbaik yang pernah dibuat orang, dengan harapan suatu hari nanti, Para Dewa akan menghargai hasil kerjaku dan menghadiahkan aku dengan kekayaan berlimpah. Itu belum pernah terjadi. Akhirnya akau fikir hal itu tidak akan terjadi. Sedih hatiku. Maksudku, menjadi orang yang penuh kemakmuran. Membayangkan akan memiliki kebun luas dan banyak ternak, pakaian sutera halus dengan kantung uang yang penuh emas dan perak. Untuk itu semua aku rela bekerja sekuat tenagaku, dengan seluruh keahlian yang kumiliki, dan secerdas kecerdikan benakku, segala usahaku kuharapkan pada akhirnya akan menghasilkan yang terbaik sesuai anganku. Tapi, apa yang terjadi pada kita? Kutanyakan lagi kepadamu. Mengapa kita tidak memperoleh sesuai dengan usaha kita hal-hal yang melimpah yang biasa diperoleh dengan mudahnya dengan emas yang dimiliki para hartawan? “Aku pun tidak mengerti!” sahut Kobbi. “Keberadaanku juga tidak lebih baik dari kamu. Hasil yang kuperoleh dari memetik lyra sangat cepat habisnya. Kadang-kadang aku harus mengusahakan sebisaku agar keluargaku tidak kehabisan makanan. Begitu juga, dalam hatiku kuimpikan lyra terbagus yang ada difikiranku, yang dapat melantunkan keindahan yang ada dibenakku. Hingga aku mampu menciptakan musik terindah, yang, bahkan Sang Raja sekalipun, belum pernah mendengarnya.” “Lyra seperti itulah yang harus kau miliki. Tidak ada seorang pun di Babilonia ini yang dapat menciptakan musik semanis gubahanmu, melantunkan keindahan yang tidak hanya menyenangkan Sang Raja tetapi juga Para Dewa. Tapi bagaimana mungkin engkau akan melakukan hal itu



sementara kita berdua ini sama miskinnya dengan budak Sang Raja? Dengar bunyi lonceng itu. Nah, itu mereka,” Ia menunjuk ke arah barisan bertelanjang dada, bersimbah keringat, para pemanggul air mendaki jalan kecil dari tepian sungai. Mereka berbaris lima-lima, setiap orang memanggul kantung air kulit kambing yang berat di punggungnya. “Gagah sekali yang memandu arak-arakan pengangkut air itu”, kata Kobbi menyebutkan pemegang genta yang berjalan paling depan, “Orang penting di negeri ini. Dari penampilannya saja sudah terlihat.” “Banyak orang gagah di dalam barisan pengangkut air itu,” ucap Bansir, “sama seperti kita. Yang tinggi, pirang, orang dari utara, anak hitam yang tertawa-tawa itu, orang dari selatan, sedangkan yang berperawakan kecil dari negeri timur. Semua bersama-sama mengangkut air dari sungai ke tamantaman, pulang pergi setiap hari, tahun demi tahun. Tanpa masa depan yang menjanjikan. Ranjang jerami tempat tidurnya, bubur nasi santapannya. Menyedihkan sekali Kobbi!” “Aku mengasihani mereka. Tapi, tetap saja kita tidak lebih beruntung, meski kita bukan budak, meski kita manusia merdeka.” “Benar, Kobbi, memikirkannya saja aku sudah merasa tidak enak. Kita pasti tidak mau menjalani kehidupan para budak. Kerja, kerja, kerja, tidak sampai kemana-mana, tidak menghasilkan apa-apa.” “Mungkin kita perlu belajar bagaimana cara para hartawan itu mengumpulkan kekayaan dan melakukan hal yang mereka lakukan?” usul Kobbi. “Mungkin ada rahasia yang perlu kita cari dan pelajari dari mereka yang memilikinya,” jawab Bansir mnyetujui dengan penuh ingin tahu. “Hari ini,” ujar Kobbi, “aku berpapasan dengan sahabat lama kita, Arkad, mengendarai kereta kudanya yang berlapis emas. Harus kuakui, ia tidak merendahkan kesederhanaanku sebagaimana orang setaraf dengannya yang akan menganggap sebagai haknya untuk berbuat begitu. Ia bahkan melambaikan tangannya padaku, sehingga semua orang di sekitar kami melihat bagaimana ia menyampaikan salamnya dengan senyum ramah pada Kobbi, sang pemusik.” “Dia disebut-sebut sebagai orang terkaya di Babilonia,” sela Bansir. “Begitu kayanya sehingga Sang Raja mencari bantuan dan nasihat perbendaharaan padanya,” ujar Kobbi pula. “Begitu kayanya,” sela Bansir, “tapi, aku khawatir kalau bertemu dengannya di gelap malam, tanganku akan segera menggerayangi kantung uangnya yang gemuk itu, ha ha.” “Tidak mungkin,” sangkal Kobbi, “kekayaan hartawan itu tidak akan tersimpan dalam kantung uang yang dibawa-bawa. Seberapa penuh pun kantung uang, akan segera kosong apabila tidak ada aliran yang terus mengisinya. Arkad memiliki penghasilan yang terus menerus memenuhi kantung uangnya, sebanyak apapun ia pergunakan, uang di kantungnya akan tetap penuh.’ “Penghasilan, itu dia,” sergah Bansir. “Aku berharap penghasilan akan terus mengalir ke kantungku tidak perduli apakah aku sedang bersandar di pagar ini atau sedang melakukan ziarah ke tempattempat yang jauh. Arkad pasti tahu bagaimana cara menghasilkan uang bagi dirinya. Mungkinkah ia dapat menjelaskan sesuatu yang mencerahkan pikiran lambanku?” “Saya fikir ia sudah mengajarkan pada Nomasir, anaknya,” jawab Kobbi. “Nomasir tidak akan pergi ke Niniveth dan, seperti yang dibicarakan banyak orang di tempat penginapan, Nomasir telah menjadi, tanpa bantuan bapaknya, salah satu orang terkaya di kota itu?” “Kobbi, engkau telah membawaku ke pemikiran baru.” Sekilas cahaya berbinar dimata Bansir. “Bukankah tidak perlu mengeluarkan biaya jika kita hanya meminta saran yang baik dari seorang teman baik, dan, bukankah Arkad teman baik kita juga. Biarkan saja kita tidak berpunya, dengan kantung uang yang kosong bagaikan sarang elang yang sudah ditinggalkan penghuninya setahun yang lalu. Jangan hal itu menghalangi kita. Yang membuat kita risau adalah hidup berkekurangan di



tengah-tengah kelimpahan. Kita ingin makmur. Ayo, kita kunjungi Arkad dan bertanya padanya bagaimana caranya agar kita, juga, dapat memperoleh penghasilan yang berkelimpahan bagi diri kita.” “Engkau mengatakan hal sangat menarik, Bansir. Engkau mencerahkan fikiranku. Engkau menyadarkanku agar mencari alasan mengapa kita belum juga menemukan kekayaan belimpah. Kita belum pernah mencarinya. Engkau telah bekerja dengan rajin dan sabar untuk membuat kereta kuda yang terbaik di Babilonia. Untuk hal itu engkau telah mengerahkan segala kemampuanmu. Dalam hal itu engkau memang berhasil. Sangat berhasil bahkan. Aku sendiri telah berusaha menjadi pemain lyra terbaik, dan nyatanya aku berhasil.” “Dalam hal-hal yang kita usahakan dengan sepenuh daya terbaik kita, kita berhasil. Bahkan Para Dewa pun bangga dengan keberhasilan kita dan membuat kita meneruskannya. Sekarang, akhirnya, kita lihat cahaya itu, terang seterang mentari pagi. Ia menawarkan kita pelajaran baru agar kita lebih berhasil dan lebih makmur. Dengan pengertian baru itu kita akan berusaha dengan jalan yang benar dan tindakan yang membanggakan, dan akan dapat mencapai tujuan kita.” “Ayo kita pergi mengunjungi Arkad hari ini juga,” desak Bansir. “Juga, kita akan minta teman masa kecil kita yang lain yang tak jauh berbeda keberuntungannya dengan kita, untuk ikut serta, agar mereka, juga, dapat mempelajari pengetahuan ini.” “Engkau benar-benar sangat baik pada teman-temanmu, Bansir. Itu membuatmu memiliki banyak sahabat. Jadi, begitulah, seperti yang engkau katakan. Kita pergi hari ini juga dan ajak mereka bersama-sama.”



II : ORANG TERKAYA DI BABILONIA ORANG TERKAYA DI BABILONIA



Di Babilonia, pada zaman dahulu, hiduplah seorang yang sangat kaya bernama Arkad. Di seluruh Babilonia ia sangat dikenal sebagai orang yang memiliki harta yang berlimpah. Tetapi, ia juga terkenal akan kedermawanannya. Amat sangat ringan dan kuat dalam berderma. Murah hati pada seluruh sanak keluarga. Tidak terlalu perhitungan dalam pengeluaran-pengeluaran untuk memenuhi hajat hidupnya. Kendati demikian, setiap tahun kekayaannya bahkan bertambah lebih cepat dari pengeluaran-pengeluarannya. Dan ada beberapa sahabat masa kecilnya datang berkunjung padanya dan mengatakan : “Arkad, kamu lebih beruntung dari pada kami. Engkau telah menjadi orang terkaya di Babilonia sementara kami berjuang hanya untuk mempertahankan hidup kami dari hari ke hari. Engkau mengenakan pakaian terbaik dan menikmati makanan mewah, tetapi kami harus cukup merasa puas apabila kami dapat memberi pakaian pada keluarga kami dengan bahan sederhana, asal layak, dan memberi makan sesuai dengan hasil terbaik yang kami peroleh.” “Padahal, dulu kita sama setara. Kita belajar pada guru yang sama, bermain permainan yang serupa, bahkan dalam pelajaran dan permainan itu kita seimbang, tidak ada satu yang menonjol dari yang lainnya. Pada tahun-tahun itu, engkau juga tidak lebih terhormat dari pada kami.” “Dalam bekerja engkau juga tidak bekerja lebih keras dari pada kami atau pun lebih tekun, begitulah sepanjang yang kami ketahui. Tetapi mengapa, kemudian, seolah ada Dewi Fortuna yang membuatmu melebihi kami semua dalam memperoleh hal-hal yang terbaik dalam kehidupan ini dan Sang Dewi mengabaikan kami, padahal kita memiliki hak yang sama?” Menghadapi pernyataan itu Arkad langsung menyanggah mereka. Ia mengatakan, “Apabila engkau hidup dari hari ke sehari dan tidak mengumpulkan kekayaan apa-apa selama usia remaja kita hingga saat ini, itu disebabkan karena engkau gagal dalam mempelajari hukum pengembangan kekayaan, atau mungkin engkau tidak mengamatinya sama sekali.” “’Dewi Fortuna’ itu sebenarnya hanyalah dewi jahat yang tidak memberikan kebaikan yang abadi pada siapapun. Sebaliknya, ia menghancurkan hampir setiap orang yang dilimpahkannya dengan durian runtuh, dengan keberuntungan tanpa usaha. Menjadikan mereka orang yang suka berfoyafoya, yang dalam tempo sekejap menghapushabiskan kekayaan mereka dan kemudian meninggalkan mereka dengan angan-angan bahwa mereka dapat hidup senang tanpa merasakan bahwa mereka tidak mampu menyediakan pembiayaannya. Yang lainnya menjadi sangat kedekut dan menggenggam keras kekayaannya, takut menggunakannya, sadar bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengumpulkannya kembali apabila terkurangi. Lebih jauh lagi, merkea takut hartanya hilang atau tercuri, membuat kehidupannya kosong dan pantas dikasihani.” “Ada juga, mungkin, dapat memeliharanya dan menambah kekayaan itu dan berbahagia dan menjadi warga yang terhormat. Tapi sangat sedikit yang demikian itu, aku pun hanya mengenal mereka dari kabar burung semata.” “Coba cermati mereka-mereka yang mewarisi kekayaan mendadak, apakah apa yang baru kuungkapkan ini bukan kebenaran adanya?” Sahabat-sahabatnya membenarkan bahwa dari orang-orang yang mereka kenal yang mewarisi kekayaan, apa yang diucapkan Arkad ada benarnya, dan mereka meminta Arkad menjelaskan pada mereka bagaimana caranya ia menjadi orang yang memiliki kelimpahan yang tak terkira, jadi Arkad meneruskan : “Pada masa mudaku kurasakan dan kulihat hal-hal yang baik yang memberikan kegembiraan, kebahagiaan dan yang memberikan kepuasan dan kesejahteraan. Dan kusadari bahwa kekayaanlah yang dapat mempermudah kita memperoleh hal itu semua.” “Kekayaan itu kekuatan. Dengan kekayaan semua hal yang lain menjadi mungkin.”



“Kita dapat memenuhi rumah kita dengan perabot yang mewah.” “Kita dapat berlayar ke tempat-tempat yang jauh di seberang lautan.” “Kita dapat berpesta dengan makanan-makanan lezat dari negeri-negeri jauh.” “Kita dapat membeli perhiasan yang dibuat pandai emas atau perajin permata.” “Kita bahkan dapat membangun kuil yang megah bagi Para Dewa.” “Kita dapat melakukan hal itu semua dan banyak lagi hal lainnya apa pun yang dapat menyenangkan hati dan menyejukkan jiwa.” “Setelah kusadari hal itu, kuputuskan bahwa aku harus mengumpulkan hal-hal yang baik dalam kehidupan ini. Aku tidak mau menjadi penonton di kejauhan, melongo memperhatikan mereka yang menikmatinya. Aku tidak akan puas dengan pakaian sederhana yang terlihat bersahaja. Aku tidak akan puas berada di tengah orang-orang miskin. Sebaliknya akau akan menjadkan diriku sebagai tamu pada kemewahan pesta dan kesejahteraan. Aku harus menjadi hartawan.” “Sebagaimana yang engkau ketahui, menjadi seorang anak pedagang kecil, dalam sebuah keluarga besar tanpa harapan, tanpa warisan, juga tanpa kelebihan apa-apa, seperti yang telah dengan jujur engkau ungkapkan, juga tidak ungggul dalam kebijaksanaan, saya memutuskan bahwa apabila saya ingin mencapai apa yang saya cita-citakan, yang saya butuhkan adalah waktu dan belajar.” “Tentang waktu, semua orang memilikinya, berlebih-lebihan bahkan. Engkau, setiap orang, telah dikelabui oleh waktu yang cukup banyak untuk menjadikan dirimu kaya raya. Setelah sekian lama, apa yang terjadi. Ternyata, akhirnya engkau akui juga, bahwa tidak ada yang dapat engkau perlihatkan kecuali keluargamu yang baik yang dapat engkau bangga-banggakan.” “Halnya belajar, bukankah guru kita yang bijaksana telah memberitahu kita bahwa belajar itu ada dua jenis : pertama, belajar menjadikan kita mengetahui apa yang kita pelajari dan ketahui, yang kedua belajar merupakan sebuah latihan yang menjelaskan pada kita apa yang tidak kita ketahui.” “Oleh karena itu saya putuskan mempelajari bagaimana cara seseorang mengumpulkan kekayaan, dan setelah saya ketahui caranya, saya jadikan pembelajaran itu sebagai tugas saya dan melaksanakannya dengan bersunguh-sungguh. Karena, alangkah tidak bijaksana apabila kita terlalu menikmati hidup di hari-hari penuh keceriaan, sedangkan kesedihan pasti akan mendatangi kita pada waktunya atau pada saat kita kembali ke alam arwah.” “Aku bekerja sebagai penulis lempeng tanah liat di perpustakaan kota, berjam-jam setiap hari kulakukan pekerjaan itu. minggu demi minggu, bulan ke bulan, terus bekerja, tetapi penghasilanku tidak memadai sama sekali, tidak ada yang dapat kutunjukkan. Makanan, pakaian dan persembahan bagi Para Dewa, dan lain-lain yang tidak dapat kuingat sama sekali, telah menghabiskan semua penghasilanku. Tetapi, untung tekadku tidak meninggalkanku.” “Dan, pada suatu hari, Algamish, seorang pemberi pinjaman, berkunjung ke rumah wali kota memesan salinan Hukum Kesembilan, ia berkata padaku, ‘aku harus mendapatkannya dalam dua hari, apabila pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu itu, dua uang perak akan kuhadiahkan padamu.” “Jadi, saya berusaha mati-matian menyelesaikan, tetapi Hukum Kesembilan itu terlalu panjang, dan ketika dua hari kemudian Algamish datang, pekerjaan itu masih belum selesai. Ia marah sekali, mungkin kalau saya ini budak miliknya sudah pasti saya akan dipukulinya. Tapi dia tahu Wali Kota tidak mungkin akan membiarkan ia menyakiti saya, jadi saya tenang-tenang saja, dan mengatakan padanya, ‘Algamish, bukankah engkau orang yang kaya raya, beritahukan padaku bagaimana caranya agar dapat menjadi kaya sepertimu, nanti akan kukerjakan salinan Hukum Kesembilan ini sepanjang malam dan besok, pagi-pagi sekali pasti dapat terselesaikan.”



“Ia tersenyum padaku dan menjawab, ‘engkau memang pedagang cerdik, baiklah, aku setuju, engkau selesaikan salinan itu dulu, besok pagi kita lihat hasilnya.” “Sepanjang malam itu saya berusaha menyelesaikan salinan Hukum Kesembilan itu, meski punggungku terasa nyeri dan bau minyak pelarut tanah liat menyakitkan kepalaku dan membuat mataku berkunang-kunang. Akhirnya, ketika ia kembali bersamaan munculnya matahari, lempeng salinan itu selesai.” “’Nah,’ ucapku, ‘sekarang katakan padaku apa yang telah engkau janjikan.” “’Engkau telah menunaikan janjimu, anakku,’ katanya, ‘dan sekarang giliran saya memenuhi janjiku. Akan, kuberitahukan apa yang ingin engkau ketahui, bukankah aku telah tua dan orang tua senang sekali berbicara. Dan apabila ada anak muda datang memerlukan nasehat pada orang tua, dia akan memperoleh kebijaksanaan yang telah teruji bertahun-tahun. Tetapi anak muda sering beranggapan bahwa kebijaksanaan orang tua hanyalah kebijaksanaan masa lalu semata, tidak berguna bagi masa kini. Tapi, coba ingat-ingat hal ini, matahari yang bersinar hari ini sama dengan matahari yang bersinar pada masa ayahmu lahir, dan masih akan bersinar pada saat cucumu nanti kembali ke alam arwah.” “’Pikiran anak muda,’ lanjutnya, ‘memang bersinar terang bagai lintasan meteor yang menerangi cakrawala, tetapi kebijaksanaan orang tua bagaikan bintang yang tidak bergeming, menetap di langit malam sehingga para pelaut dapat bergantung padanya ketika melayarai samudera.’” “’Harus engkau serap ucapanku, sebab bila itu tidak engkau lakukan engkau akan gagal menyarikan kebenaran yang akan kusampaikan padamu, dan engkau akan mengira kerja kerasmu semalam suntuk tidak sepadan dengan apa yang engkau dapatkan.’” “Kemudian dari bawah alis lebat yang memutih, matanya menatapku langsung dengan tajamnya dan berucap dalam nada rendah yang sangat dalam, ‘aku menemukan jalan kekayaan ketika menyimpulkan sebagian dari semua yang kuperoleh adalah miliku yang harus kusimpan. Maka engkaupun harus begitu.’” “Selanjutnya, dengan tidak melanjutkan ucapannya, ia terus menghunjamkan pandangannya padaku dengan pandangan yang kurasakan langsung menusuk hatiku.” “’Hanya begitu?’ aku bertanya.” “’Ya, itu memadai untuk mengubah hati penggembala kambing menjadi hati rentenir,’ jawabnya.” “’Tapi, bukankah semua yang keperoleh dapat kusimpan?’ tuntutku.” “’Salah sama sekali,’ jawabnya. ‘Apakah engkau tidak membayar para penjahit untuk pakaianmu? Pembuat sandal? Engkau mengeluarkan uang untuk makan dan minummu? Dapatkah engkau hidup di Babilonia tanpa mengeluarkan uang? Apa yang tersisa dari penghasilanmu beberapa bulan belakangan ini yang dapat engkau tunjukkan? Atau penghasilanmu setahun yang lalu? Bodoh! Engkau mengeluarkan uang untuk membayar semua orang, tetapi tidak untuk dirimu sendiri. Guoblok, engkau bekerja untuk orang lain semata. Sama saja dengan budak yang bekerja untuk tuannya yang hanya memberikannya makanan dan pakaian. Tidak berbeda. Coba. Apabila engkau simpan untuk dirimu sendiri sepersepuluh dari seluruh penghasilanmu, berapa banyak yang sudah engkau kumpulkan selama sepuluh tahun?’” “Pengetahuanku berhitung masih ada, jadi kujawab, ‘sama dengan penghasilanku dalam setahun.’” “’Engkau Cuma separuh benar,’ sergahnya. ‘Setiap keping emas yang engkau simpan itu merupakan budak yang harus bekerja dan mengabdi padamu. Setiap perak yang dihasilkan emas itu merupakan anaknya, juga, harus menghasilkan sesuatu untukmu. Engkau hanya dapat menjadi kaya apabila apa yang engkau simpan memberikan penghasilan, begitupula anak-anaknya, penghasilan yang dihasilkannya, harus juga memberikan penghasilan. Itulah pertolongan yang dapat kuberikan padamu, kelimpahan yang begitu engkau dambakan’”



“’Apakah engkau kira aku telah menipumu supaya engkau bersusah payah menyelesaikan salinan itu,’ lanjutnya, ’sesungguhnya dengan ini aku telah membayarmu lebih dari seribu kali lipat, seandainya saja engkau cukup cerdas menangkap inti sari kebenaran yang kusampaikan.’” “’Sebagian dari semua yang engkau hasilkan adalah milikmu yang harus engkau simpan. Jumlahnya tidak buleh kurang dari sepersepuluh, seberapa kecilpun hasil yang engkau dapatkan. Lebih bagus lagi kalau engkau mampu menyimpannya lebih dari itu. Bayar dulu dirimu sendiri. Jangan membeli dari penjahit, atau pembuat sandal lebih dari kemampuanmu dan sediakan secukupnya untuk makan, berderma dan persembahan bagi Para Dewa.’” “’Kekayaan, seperti pohon, berkembang dari sebiji bibit yang kecil. Keping perak pertama yang engkau simpan bagai bijian yang akan menumbuhkan pohon kekayaanmu. Lebih cepat engkau tanamkan, maka lebih cepat pua ia akan tumbuh. Semakin tekun engkau memeliharanya, menyirami, memberi pupuk, dengan simpanan-simpanan berikutnya terus menerus, semakin cepat engkau akan berteduh di bawah rindangnya pohon kekayaan itu.’” “Begitulah, ia ambil lempeng salinan itu dan berlalu.” “Aku memikirkan dalam-dalam apa yang telah disampaikannya, sangat masuk akal. Jadi kuputuskan untuk mencobanya. Setiap kali aku dibayar, kuambil satu dari setiap sepuluh keping perak dan menyimpannya. Dan cukup aneh, aku tidak pernah mengalami kekurangan uang lebih dari sebelumnya. Aku mulai mendapatkan sedikit perbedaan ketika mampu melewati beberapa waktu. Tetapi berulang kali juga, aku tergoda, ketika melihat simpananku telah berkembang, utnuk menggunakannya, memperoleh barang-barang indah yang ditawarkan para pedagang, yang dibawa dengan unta dan kapal-kapal dari negeri Phunisia. Tetapi aku cukup bijaksana untuk tidak melakukannya.” “Dua belas bulan berlalu, Algamish datang kembali dan mengatakan kepadaku, ‘Nak, sudahkah engkau bayar dirimu sendiri tidak kurang dari sepersepuluh dari yang engkau hasilkan selama setahun ini?’” “Dengan bangganya kujawab, ‘Ya, tuan, sudah.’” “’Bagus,’ jawabnya dengan wajah ceria padaku, ‘dan apa yang telah engkau perbuat terhadap simpananmu itu?’” “’Kuberikan pada Azmur, pembuat bata, yang mengatakan ia akan pergi jauh ke seberang laut dan di Tyre ia akan membelikanku permata Phunisia yang langka. Apabila ia pulang kami akan menjualnya dengan harga yang tinggi dan berbagi keuntungannya.’” “’Orang bodoh harus belajar’,’ gerutunya, ‘mengapa engkau mempercayai pengetahuan tukang bata untuk masalah permata? Apakah engkau akan mendatangi tokang roti untuk menanyakan masalah tata surya? Tidak, alangkah bodohnya engkau, seharusnya engkau mengunjungi ahli perbintangan, kalau engkau memang dapat berfikir. Habislah simpananmu, anak kemarin sore, engkau telah mencabut pohon kekayaanmu sampai ke akar-akarnya. Tapi tanam lagi yang lainnya. Coba lagi. Lain kali kalau engkau memerlukan nasehat atau pengetahuan tentang permata, kunjungi pedagang permata. Kalau engkau ingin mengetahui segala sesuatu tentang kambing, datangi penggembala. Nasehat memang dapat diperoleh dengan tanpa biaya, tetapi berhati-hatilah, ambillah hanya nasehat yang berguna bagimu. Orang yang meminta nasehat tentang simpanannya kepada seseorang yang tidak berpengalaman di bidang itu, akan membayarnya dengan seluruh simpanannya justru untuk membuktikan betapa bodohnya nasehat itu.’ Setelah mengatakan hal itu iapun berlalu.” “Benar seperti yang dikatakannya. Orang-orang Phunisia memang penipu. Mereka menjual ke Azmur sepotong gelas yang tak bernilai yang terlihat seperti batu permata. Habis sudah simpananku. Tetapi seperti yang dinasehatkan Algamish, saya mulai menyimpan kembali setiap sepersepuluh keping perak yang saya peroleh, karena saya telah menjadi biasa melakukannya, usaha untuk menyimpan ini menjadi sangat tidak berat lagi.” “Sekali lagi, dua belas bulan berlalu, Algamish datang lagi ke perpustakaan kota menemui saya. ‘Bagaimana perkembanganmu setelah terkahir kita bertemu?’”



“’Aku telah membayar diriku sendiri dengan tekun,’ jawabku, ‘dan simpananku telah kupercayakan pada Aggar pembuat tameng, untuk membeli perunggu bahan pembuat tameng, dan setiap bulan ia membayar padaku sewa uang itu.’” “’Itu bagus. Dan apa yang engkau perbuat atas sewa uang itu?’” “’Lumayan, aku bisa menikmati madu dan anggur bermutu dan kue berrempah yang lezat. Aku juga telah membeli selendang sutera ungu. Suatu hari nanti akau akan membeli seekor keledai muda yang dapat kutunggangi kemana-mana.’” “Algamish tertawa mendengarkan hal itu. ‘Engkau telah memakan anak-anak simpananmu. Bagaimana mungkin engkau akan berharap mereka bekerja untukmu? Dan bagaimana pula mereka akan melahirkan keturunan yang juga dapat menjadi budakmu? Pertama-tama, himpun dan dapatkan dulu bala tentara budak emasmu baru kemudian pesta yang mewah dapat engkau nikmati tanpa penyesalan di kemudian hari.’ Sambil mengutarakan hal itu iapun berlalu.” “Kemudian aku tidak melihatnya lagi selama dua tahun, ketika ia muncul kembali wajahnya telah penuh kerutan dalam matanya lebih kuyu, ia telah menjadi seorang yang sangat tua. Dan ia mengatakan kepadaku, ‘Arkad, sudahkah engkau memperoleh kekayaan yang engkau impi-impikan itu?’” “Kujawab, ‘Masih belum semuanya, tetapi sebagian sudah kudapatkan dan bahkan memberikanku penghasilan tambahan, dan penghasilan tambahan itu juga menumbuhkan penghasilan baru yang lain.’” “’Apakah engkau masih meminta nasehat dari pembuat bata?’” “’Mereka memberi nasehat yang bagus tentang bagaimana membuat bata.’ Jawabku sekenanya” “’Arkad,’ lanjutnya, ‘engkau telah belajar dengan baik. Pertama engkau belajar hidup dengan biaya kebutuhan secukupnya yang lebih kecil dari yang mampu engkau peroleh. Kemudian engkau belajar mencari nasehat dari orang yang benar-benar menguasai yang berkeahlian di bidangnya. Dan terakhir, engkau telah belajar bagaimana membuat emas bekerja untukmu. “’Engkau telah belajar sendiri bagaimana memperoleh penghasilan, bagaimana menyimpannya dan bagaimana pula menggunakannya. Oleh karena itu engkau dapat dipercaya untuk menjalankan sebuah usaha. Aku sudah bertambah tua. Anak-anakku hanya memikirkan bagaimana caranya menggunakan uang tetapi tidak memikirkan sama sekali bagaimana cara memperolehnya. Usahaku sangat besar dan banyak, dan aku akan semakin tidak mampu untuk mengurus semuanya. Apabila engkau mau pergi ke Nippur dan mengurus serta mengusahakan tanahku di sana, akau akan menjadikanmu rekan usahaku dan akan berbagi hasil usaha bersama.’” “Jadi, aku pergi ke Nippur mengurus harta kekayaannya yang besar di sana. Oleh karena aku sangat berkeinginan dan karena aku telah berhasil menguasai tiga hukum pengelolaan kekayaan, aku mampu melipatgandakan kekayaannya. Akupun ikut sejahtera, dan ketika jiwa Algamish kembali ke alam baka, aku mendapatkan bagian dari kekayaannya sesuai dengan perjanjian yang telah rapi dibuatnya sesuai dengan ketentuan hukum.” Begitulah yang dikemukakan Arkad, dan ketika ia menyelesaikan ceritanya, salah seorang sahabatnya berkata, “Engkau memang sangat beruntung Algamish telah menjadikan engkau sebagai pewaris sebagian kekayaannya.” “Beruntung hanya karena saya memiliki keinginan untuk berkelimpahan sebelum saya bertemu dengannya. Bagaimanakah apabila selama empat tahun saya tidak membuktikan kegigihan saya mencapai tujuan itu dengan menyimpan sepersepuluh dari seluruh yang saya hasilkan? Apakah engkau mengatakan nelayan itu beruntung padahal bertahun-tahun ia mempelajari kebiasaan ikanikan yang berubah-ubah sesuai perubahan angin sehingga ia dapat menebar jaring pada waktu dan tempat yang benar-benar berikan. Kesempatan itu bagai Dewi sombong yang tidak memerlukan apaapa, yang tidak akan membuang waktu dengan orang yang tidak mempersiapkan diri.”



“Engkau memiliki tekad yang kuat untuk terus melanjutkan rencanamu setelah engkau kehilangan seluruh simpanan tahun pertamamu. Dalam hal ini engkau benar-benar luar biasa,” ujar sahabat lainnya. “Tekad!” bantah Arkad. “Omong kosong. Apakah engkau fikir tekad akan memberimu kekuatan untuk memanggul beban yag tidak bisa diusung seekor unta, atau menarik bajak yang tidak bisa dihela kerbau? Tekad hanyalah pemicu semata dalam usahamu melaksanakan rencana yang telah engkau tetapkan untuk engkau capai. Apabila kutetapkan tugas bagi diriku, meskipun tugas sederhana sekalipun, tetap saja akan kurencanakan secermat mungkin. Bagaimana mungkin aku akan percaya diri melakukan hal-hal besar yang penting kalau aku tidak merencanakannya? Misalnya, apabila kukatakan pada diriku, ‘Selama seratus hari, setiap hari aku melewati jembatan memasuki kota ini, aku akan memungut sebuah kerikil di jalan dan melemparkannya ke dalam aliran sungai.’ Itu akan kulakukan. Apabila pada hari ketujuh aku melewati jembatan itu dan baru teringat bahwa aku lupa akan tugasku. Aku tidak akan mengatakan pada diriku, ‘Besok akan kulemparkan dua buah batu sekaligus, hasilnya akan sama saja.’ Apa yang akan engkau lakukan. Aku akan melangkah mundur ke belakang ke jembatan itu dan melontarkan sebuah batu. Itu baru betul. Pada hari ke dua puluh aku tidak akan mengatakan pada diriku, ‘Arkad, ini tidak berguna. Apa untungnya bagimu melontarkan sebuah batu setiap hari selama seratus hari? Lemparkan saja seratus batu sekaligus, beres.’ Tidak, bahkan mengucapkannya saja aku tidak akan apalagi melakukannya. Apabila tugas sudah kutetapkan bagi diriku sendiri, akan kuselesaikan. Jadi, aku akan berhati-hati agar tidak menetapkan tugas yang terlalu berat dan tidak mungkin diselesaikan. Aku tidak mau kepayahan, aku suka bersenang-senang.” Lalu salah seorang shabat yang lain ikut berujar dengan mengatakan, “Apabila yang engkau ceritakan memang benar, dan sepertinya betul sebagaimana yang engau katakan, masuk akal, dan sangat sederhana, apabila setiap orang melaksanakannya maka tidak ada lagi harta benda yang tersisa untuk dimiliki.” “Kekayaan tumbuh dan berkembang bilamana manusia mengeluarkan energi, berusaha,” jawab Arkad. “Apabila ada seorang hartawan membangun istana baru, apakah uang dan kekayaan yang ia keluarkan untuk membangun lantas hilang? Tidak, pembuat bata akan mendapat sebagian, kuli bangunan akan mendapatkannya juga, begitu pula arsitek dan perajin hiasan istana itu. Semua yang ikut serta dalam usaha membangun istana itu mendapatkan bagian dari pembayaran dan ongkos pembangunan istana itu. Setelah istana itu selesai apakah nilainya tidak sama dengan biaya pembangunannya? Apakah tanah tempat istana itu didirikan tidak menjadi bertambah nilainya karena ia terletak disitu? Tanah di sekitar istana itu tidak naik nilainya karena terhampar disitu? Kekayaan berkembang dengan cara yang ajaib. Tidak ada seorangpun yang dapat meramalkan batas pertumbuhannya. Bukankah bangsa Phunisia membangun kota-kota besarnya di pantai-pantai gersang dengan kekayaan yang mereka peroleh dari kapal-kapal dagang yang menyebar di lautan?” “Jadi, apa yang engkau sarankan pada kami supaya kami lakukan agar kami juga bisa menjadi kaya?” masih ada lagi pertanyaan dari sahabatnya yang lain. “Tahun-tahun sudah berlalu, kami tidak lagi muda dan tidak ada harta yang telah kami simpan.” “Kusarankan engkau menerapkan nasehat Algamish dan katakan pada dirimu sendiri, ‘Sebagian dari semua yang kuperoleh adalah milikku yang harus kusimpan.’ Ucapkan itu di pagi hari pada saat engkau bangun dari tidurmu. Ucapkan pada siang hari. Ucapkan lagi pada malam hari. Ucapkan pula setiap jam tiap hari. Katakan itu pada dirimu sendiri sehingga kata-kata itu seolah tertulis jelas dengan huruf api terpampang melintang dilangit.” “Gugah dirimu dengan ide itu. Tanam dalam benakmu. Kemudian ambillah dengan bijak dari simpanan itu secukupnya. Tetapi tidak boleh kurang dari sepersepuluhnya harus tersimpan, untuk digunakan dimasa depan. Apabila perlu sekali, rencanakan pengeluaranmu. Tetapi tetap sediakan bagian untuk disimpan. Engkau akan segera dapat merasakan rasa sejahtera memiliki kekayaan yang tersimpan hanya engkau sendiri yang dapat menggunakannya. Semakin berkembang ia, akan semakin terdorong engkau. Kenikmatan hidup yang baru akan membuatmu bersemangat. Kegigihan yang lebih besar akan datang mendukungmu meraih tambahan penghasilan. Karena peningkatan penghasilanmu, tidakkah engkau dapat lebih menambah persentase jumlah penghasilan yang engkau simpan?”



“Kemudain belajar mempekerjakan harta simpananmu. Jadikan dia budakmu. Jadikan pula anakanaknya dan cucu-cucunya bekerja untukmu.” “Pastikan ada penghasilanmu di masa-masa yang akan datang. Perhatikan orang-orang yang sudah uzur itu, dan jangan lupa bahwasanya engkau juga akan seperti mereka. Oleh kerana itu usahakan dan pekerjakan simpananmu dengan sangat hati-hati kalau tidak engkau akan kehilangan semuanya. Penghasilan yang tinggi memukau sangat menipu, merayu orang-orang yang lengah kedalam kehancuran dan penyesalan.” “Perhatikan juga hal-hal yang tidak diinginkan keluargamu sendainya engkau dipanggil Para Dewa ke alam arwah. Perlindungan seperti itu selalu dapat disediakan apabila engkau menyediakan simpanan kecil secara bertahap. Orang yang mempersiapkan hal itu tidak akan menunda hingga penghasilan yang besar tersedia untuk keperluan-keperluan yang baik itu.” “Berkonsultasilah dengan orang bijak. Cari nasehat dari orang yang pekerjaan sehari-harinya mengelola uang. Mereka akan menyelamatkanmu dari kekeliruan yang pernah kulakukan ketika menggunakan nasehat keuangan dari Azmur, si pembuat bata. Penghasilan kecil yang lebih aman harus diutamakan dari pada menanggung resiko yang lebih besar.” “Nikmatilah hidupmu selagi hidup di bumi ini. Jangan terlalu membebani dirimu sendiri atau menyimpan terlalu banyak dari yang dapat engkau sediakan. Apabila sepersepuluh dari semua penghasilanmu merupakan jumlah yang terbanyak yang dapat dengan nyaman engkau sediakan untuk disimpan, cukuplah puas dengan jumlah itu, asal tetap engkau pertahankan. Hidup saja sesuai dengan penghasilanmu tetapi jangan pula membuat dirimu begitu pelit dan takut mengeluarkan uang. Hidup itu enak dan hidup itu kaya dengan hal-hal yang pantas engkau nikmati sepenuhnya.” Sahabat-sahabatnya berterima kasih kepadanya dan pergi berlalu. Beberapa terdiam karena mereka tidak punya bayangan sama sekali dan tidak dapat mengerti isi pembicaraan. Sebagian lagi sangat tidak menerima karena mereka fikir seseorang yang sudah sangat kaya seharusnya membagi kekayaannya dengan sahabat lamanya yang kurang beruntung. Tetapi ada beberapa orang yang memiliki harapan baru yang terbayang dimatanya. Mereka menyadari bahwa Algamish telah kembali setiap waktu ke ruangan penyalin naskah di perpustakaan karena ia mengamati perkembangan orang yang berusaha mencari jalan keluar dari kegelapan ke dunia yang gilang gemilang. Apabila orang tersebut sudah menemukan sinar gilang gemilang itu, sebuah tempat telah menunggunya. Tidak seorangpun dapat menempati kedudukan itu hingga ia dapat mengusahakan bagi dirinya sendiri dengan pengertiannya sendiri, hingga ia bersedia menghadapi setiap kesempatan yang muncul. Mereka dalam kelompok terkahir inilah yang dicari, yaitu mereka yang, dalam tahun-tahun mendatang, berulangkali mengunjungi Arkad, yang dengan sangat gembira menerima mereka. Mereka berkonsultasi, dan ia memberikan beberapa nasehat tanpa biaya dari perbendaharaan kebijaksanaannya sebagaimana seorang yang berpengalaman luas akan dengan senang hati melakukannya. Ia membantu mereka mempekerjakan simpanannya dengan hasil yang lumayan dengan aman sehingga tidak ada simpanan yang hilang percuma atau tidak mendatangkan hasill tambahan sama sekali. Titik balik kehidupan orang-orang ini datang pada hari ketika mereka menyadari kebenaran yang datang dari Algamish melalui Arkad dan dari Arkad menyentuh mereka.



SEBAGIAN DARI SEMUA YANG ENGKAU HASILKAN ADALAH MILIKMU YANG HARUS ENGKAU SIMPAN



II : ORANG TERKAYA DI BABILONIA ORANG TERKAYA DI BABILONIA



Di Babilonia, pada zaman dahulu, hiduplah seorang yang sangat kaya bernama Arkad. Di seluruh Babilonia ia sangat dikenal sebagai orang yang memiliki harta yang berlimpah. Tetapi, ia juga terkenal akan kedermawanannya. Amat sangat ringan dan kuat dalam berderma. Murah hati pada seluruh sanak keluarga. Tidak terlalu perhitungan dalam pengeluaran-pengeluaran untuk memenuhi hajat hidupnya. Kendati demikian, setiap tahun kekayaannya bahkan bertambah lebih cepat dari pengeluaran-pengeluarannya. Dan ada beberapa sahabat masa kecilnya datang berkunjung padanya dan mengatakan : “Arkad, kamu lebih beruntung dari pada kami. Engkau telah menjadi orang terkaya di Babilonia sementara kami berjuang hanya untuk mempertahankan hidup kami dari hari ke hari. Engkau mengenakan pakaian terbaik dan menikmati makanan mewah, tetapi kami harus cukup merasa puas apabila kami dapat memberi pakaian pada keluarga kami dengan bahan sederhana, asal layak, dan memberi makan sesuai dengan hasil terbaik yang kami peroleh.” “Padahal, dulu kita sama setara. Kita belajar pada guru yang sama, bermain permainan yang serupa, bahkan dalam pelajaran dan permainan itu kita seimbang, tidak ada satu yang menonjol dari yang lainnya. Pada tahun-tahun itu, engkau juga tidak lebih terhormat dari pada kami.” “Dalam bekerja engkau juga tidak bekerja lebih keras dari pada kami atau pun lebih tekun, begitulah sepanjang yang kami ketahui. Tetapi mengapa, kemudian, seolah ada Dewi Fortuna yang membuatmu melebihi kami semua dalam memperoleh hal-hal yang terbaik dalam kehidupan ini dan Sang Dewi mengabaikan kami, padahal kita memiliki hak yang sama?” Menghadapi pernyataan itu Arkad langsung menyanggah mereka. Ia mengatakan, “Apabila engkau hidup dari hari ke sehari dan tidak mengumpulkan kekayaan apa-apa selama usia remaja kita hingga saat ini, itu disebabkan karena engkau gagal dalam mempelajari hukum pengembangan kekayaan, atau mungkin engkau tidak mengamatinya sama sekali.” “’Dewi Fortuna’ itu sebenarnya hanyalah dewi jahat yang tidak memberikan kebaikan yang abadi pada siapapun. Sebaliknya, ia menghancurkan hampir setiap orang yang dilimpahkannya dengan durian runtuh, dengan keberuntungan tanpa usaha. Menjadikan mereka orang yang suka berfoyafoya, yang dalam tempo sekejap menghapushabiskan kekayaan mereka dan kemudian meninggalkan mereka dengan angan-angan bahwa mereka dapat hidup senang tanpa merasakan bahwa mereka tidak mampu menyediakan pembiayaannya. Yang lainnya menjadi sangat kedekut dan menggenggam keras kekayaannya, takut menggunakannya, sadar bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengumpulkannya kembali apabila terkurangi. Lebih jauh lagi, merkea takut hartanya hilang atau tercuri, membuat kehidupannya kosong dan pantas dikasihani.” “Ada juga, mungkin, dapat memeliharanya dan menambah kekayaan itu dan berbahagia dan menjadi warga yang terhormat. Tapi sangat sedikit yang demikian itu, aku pun hanya mengenal mereka dari kabar burung semata.” “Coba cermati mereka-mereka yang mewarisi kekayaan mendadak, apakah apa yang baru kuungkapkan ini bukan kebenaran adanya?” Sahabat-sahabatnya membenarkan bahwa dari orang-orang yang mereka kenal yang mewarisi kekayaan, apa yang diucapkan Arkad ada benarnya, dan mereka meminta Arkad menjelaskan pada mereka bagaimana caranya ia menjadi orang yang memiliki kelimpahan yang tak terkira, jadi Arkad meneruskan : “Pada masa mudaku kurasakan dan kulihat hal-hal yang baik yang memberikan kegembiraan, kebahagiaan dan yang memberikan kepuasan dan kesejahteraan. Dan kusadari bahwa kekayaanlah yang dapat mempermudah kita memperoleh hal itu semua.”



“Kekayaan itu kekuatan. Dengan kekayaan semua hal yang lain menjadi mungkin.” “Kita dapat memenuhi rumah kita dengan perabot yang mewah.” “Kita dapat berlayar ke tempat-tempat yang jauh di seberang lautan.” “Kita dapat berpesta dengan makanan-makanan lezat dari negeri-negeri jauh.” “Kita dapat membeli perhiasan yang dibuat pandai emas atau perajin permata.” “Kita bahkan dapat membangun kuil yang megah bagi Para Dewa.” “Kita dapat melakukan hal itu semua dan banyak lagi hal lainnya apa pun yang dapat menyenangkan hati dan menyejukkan jiwa.” “Setelah kusadari hal itu, kuputuskan bahwa aku harus mengumpulkan hal-hal yang baik dalam kehidupan ini. Aku tidak mau menjadi penonton di kejauhan, melongo memperhatikan mereka yang menikmatinya. Aku tidak akan puas dengan pakaian sederhana yang terlihat bersahaja. Aku tidak akan puas berada di tengah orang-orang miskin. Sebaliknya akau akan menjadkan diriku sebagai tamu pada kemewahan pesta dan kesejahteraan. Aku harus menjadi hartawan.” “Sebagaimana yang engkau ketahui, menjadi seorang anak pedagang kecil, dalam sebuah keluarga besar tanpa harapan, tanpa warisan, juga tanpa kelebihan apa-apa, seperti yang telah dengan jujur engkau ungkapkan, juga tidak ungggul dalam kebijaksanaan, saya memutuskan bahwa apabila saya ingin mencapai apa yang saya cita-citakan, yang saya butuhkan adalah waktu dan belajar.” “Tentang waktu, semua orang memilikinya, berlebih-lebihan bahkan. Engkau, setiap orang, telah dikelabui oleh waktu yang cukup banyak untuk menjadikan dirimu kaya raya. Setelah sekian lama, apa yang terjadi. Ternyata, akhirnya engkau akui juga, bahwa tidak ada yang dapat engkau perlihatkan kecuali keluargamu yang baik yang dapat engkau bangga-banggakan.” “Halnya belajar, bukankah guru kita yang bijaksana telah memberitahu kita bahwa belajar itu ada dua jenis : pertama, belajar menjadikan kita mengetahui apa yang kita pelajari dan ketahui, yang kedua belajar merupakan sebuah latihan yang menjelaskan pada kita apa yang tidak kita ketahui.” “Oleh karena itu saya putuskan mempelajari bagaimana cara seseorang mengumpulkan kekayaan, dan setelah saya ketahui caranya, saya jadikan pembelajaran itu sebagai tugas saya dan melaksanakannya dengan bersunguh-sungguh. Karena, alangkah tidak bijaksana apabila kita terlalu menikmati hidup di hari-hari penuh keceriaan, sedangkan kesedihan pasti akan mendatangi kita pada waktunya atau pada saat kita kembali ke alam arwah.” “Aku bekerja sebagai penulis lempeng tanah liat di perpustakaan kota, berjam-jam setiap hari kulakukan pekerjaan itu. minggu demi minggu, bulan ke bulan, terus bekerja, tetapi penghasilanku tidak memadai sama sekali, tidak ada yang dapat kutunjukkan. Makanan, pakaian dan persembahan bagi Para Dewa, dan lain-lain yang tidak dapat kuingat sama sekali, telah menghabiskan semua penghasilanku. Tetapi, untung tekadku tidak meninggalkanku.” “Dan, pada suatu hari, Algamish, seorang pemberi pinjaman, berkunjung ke rumah wali kota memesan salinan Hukum Kesembilan, ia berkata padaku, ‘aku harus mendapatkannya dalam dua hari, apabila pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu itu, dua uang perak akan kuhadiahkan padamu.” “Jadi, saya berusaha mati-matian menyelesaikan, tetapi Hukum Kesembilan itu terlalu panjang, dan ketika dua hari kemudian Algamish datang, pekerjaan itu masih belum selesai. Ia marah sekali, mungkin kalau saya ini budak miliknya sudah pasti saya akan dipukulinya. Tapi dia tahu Wali Kota tidak mungkin akan membiarkan ia menyakiti saya, jadi saya tenang-tenang saja, dan mengatakan padanya, ‘Algamish, bukankah engkau orang yang kaya raya, beritahukan padaku bagaimana caranya agar dapat menjadi kaya sepertimu, nanti akan kukerjakan salinan Hukum Kesembilan ini sepanjang malam dan besok, pagi-pagi sekali pasti dapat terselesaikan.”



“Ia tersenyum padaku dan menjawab, ‘engkau memang pedagang cerdik, baiklah, aku setuju, engkau selesaikan salinan itu dulu, besok pagi kita lihat hasilnya.” “Sepanjang malam itu saya berusaha menyelesaikan salinan Hukum Kesembilan itu, meski punggungku terasa nyeri dan bau minyak pelarut tanah liat menyakitkan kepalaku dan membuat mataku berkunang-kunang. Akhirnya, ketika ia kembali bersamaan munculnya matahari, lempeng salinan itu selesai.” “’Nah,’ ucapku, ‘sekarang katakan padaku apa yang telah engkau janjikan.” “’Engkau telah menunaikan janjimu, anakku,’ katanya, ‘dan sekarang giliran saya memenuhi janjiku. Akan, kuberitahukan apa yang ingin engkau ketahui, bukankah aku telah tua dan orang tua senang sekali berbicara. Dan apabila ada anak muda datang memerlukan nasehat pada orang tua, dia akan memperoleh kebijaksanaan yang telah teruji bertahun-tahun. Tetapi anak muda sering beranggapan bahwa kebijaksanaan orang tua hanyalah kebijaksanaan masa lalu semata, tidak berguna bagi masa kini. Tapi, coba ingat-ingat hal ini, matahari yang bersinar hari ini sama dengan matahari yang bersinar pada masa ayahmu lahir, dan masih akan bersinar pada saat cucumu nanti kembali ke alam arwah.” “’Pikiran anak muda,’ lanjutnya, ‘memang bersinar terang bagai lintasan meteor yang menerangi cakrawala, tetapi kebijaksanaan orang tua bagaikan bintang yang tidak bergeming, menetap di langit malam sehingga para pelaut dapat bergantung padanya ketika melayarai samudera.’” “’Harus engkau serap ucapanku, sebab bila itu tidak engkau lakukan engkau akan gagal menyarikan kebenaran yang akan kusampaikan padamu, dan engkau akan mengira kerja kerasmu semalam suntuk tidak sepadan dengan apa yang engkau dapatkan.’” “Kemudian dari bawah alis lebat yang memutih, matanya menatapku langsung dengan tajamnya dan berucap dalam nada rendah yang sangat dalam, ‘aku menemukan jalan kekayaan ketika menyimpulkan sebagian dari semua yang kuperoleh adalah miliku yang harus kusimpan. Maka engkaupun harus begitu.’” “Selanjutnya, dengan tidak melanjutkan ucapannya, ia terus menghunjamkan pandangannya padaku dengan pandangan yang kurasakan langsung menusuk hatiku.” “’Hanya begitu?’ aku bertanya.” “’Ya, itu memadai untuk mengubah hati penggembala kambing menjadi hati rentenir,’ jawabnya.” “’Tapi, bukankah semua yang keperoleh dapat kusimpan?’ tuntutku.” “’Salah sama sekali,’ jawabnya. ‘Apakah engkau tidak membayar para penjahit untuk pakaianmu? Pembuat sandal? Engkau mengeluarkan uang untuk makan dan minummu? Dapatkah engkau hidup di Babilonia tanpa mengeluarkan uang? Apa yang tersisa dari penghasilanmu beberapa bulan belakangan ini yang dapat engkau tunjukkan? Atau penghasilanmu setahun yang lalu? Bodoh! Engkau mengeluarkan uang untuk membayar semua orang, tetapi tidak untuk dirimu sendiri. Guoblok, engkau bekerja untuk orang lain semata. Sama saja dengan budak yang bekerja untuk tuannya yang hanya memberikannya makanan dan pakaian. Tidak berbeda. Coba. Apabila engkau simpan untuk dirimu sendiri sepersepuluh dari seluruh penghasilanmu, berapa banyak yang sudah engkau kumpulkan selama sepuluh tahun?’” “Pengetahuanku berhitung masih ada, jadi kujawab, ‘sama dengan penghasilanku dalam setahun.’” “’Engkau Cuma separuh benar,’ sergahnya. ‘Setiap keping emas yang engkau simpan itu merupakan budak yang harus bekerja dan mengabdi padamu. Setiap perak yang dihasilkan emas itu merupakan anaknya, juga, harus menghasilkan sesuatu untukmu. Engkau hanya dapat menjadi kaya apabila apa yang engkau simpan memberikan penghasilan, begitupula anak-anaknya, penghasilan yang dihasilkannya, harus juga memberikan penghasilan. Itulah pertolongan yang dapat kuberikan padamu, kelimpahan yang begitu engkau dambakan’”



“’Apakah engkau kira aku telah menipumu supaya engkau bersusah payah menyelesaikan salinan itu,’ lanjutnya, ’sesungguhnya dengan ini aku telah membayarmu lebih dari seribu kali lipat, seandainya saja engkau cukup cerdas menangkap inti sari kebenaran yang kusampaikan.’” “’Sebagian dari semua yang engkau hasilkan adalah milikmu yang harus engkau simpan. Jumlahnya tidak buleh kurang dari sepersepuluh, seberapa kecilpun hasil yang engkau dapatkan. Lebih bagus lagi kalau engkau mampu menyimpannya lebih dari itu. Bayar dulu dirimu sendiri. Jangan membeli dari penjahit, atau pembuat sandal lebih dari kemampuanmu dan sediakan secukupnya untuk makan, berderma dan persembahan bagi Para Dewa.’” “’Kekayaan, seperti pohon, berkembang dari sebiji bibit yang kecil. Keping perak pertama yang engkau simpan bagai bijian yang akan menumbuhkan pohon kekayaanmu. Lebih cepat engkau tanamkan, maka lebih cepat pua ia akan tumbuh. Semakin tekun engkau memeliharanya, menyirami, memberi pupuk, dengan simpanan-simpanan berikutnya terus menerus, semakin cepat engkau akan berteduh di bawah rindangnya pohon kekayaan itu.’” “Begitulah, ia ambil lempeng salinan itu dan berlalu.” “Aku memikirkan dalam-dalam apa yang telah disampaikannya, sangat masuk akal. Jadi kuputuskan untuk mencobanya. Setiap kali aku dibayar, kuambil satu dari setiap sepuluh keping perak dan menyimpannya. Dan cukup aneh, aku tidak pernah mengalami kekurangan uang lebih dari sebelumnya. Aku mulai mendapatkan sedikit perbedaan ketika mampu melewati beberapa waktu. Tetapi berulang kali juga, aku tergoda, ketika melihat simpananku telah berkembang, utnuk menggunakannya, memperoleh barang-barang indah yang ditawarkan para pedagang, yang dibawa dengan unta dan kapal-kapal dari negeri Phunisia. Tetapi aku cukup bijaksana untuk tidak melakukannya.” “Dua belas bulan berlalu, Algamish datang kembali dan mengatakan kepadaku, ‘Nak, sudahkah engkau bayar dirimu sendiri tidak kurang dari sepersepuluh dari yang engkau hasilkan selama setahun ini?’” “Dengan bangganya kujawab, ‘Ya, tuan, sudah.’” “’Bagus,’ jawabnya dengan wajah ceria padaku, ‘dan apa yang telah engkau perbuat terhadap simpananmu itu?’” “’Kuberikan pada Azmur, pembuat bata, yang mengatakan ia akan pergi jauh ke seberang laut dan di Tyre ia akan membelikanku permata Phunisia yang langka. Apabila ia pulang kami akan menjualnya dengan harga yang tinggi dan berbagi keuntungannya.’” “’Orang bodoh harus belajar’,’ gerutunya, ‘mengapa engkau mempercayai pengetahuan tukang bata untuk masalah permata? Apakah engkau akan mendatangi tokang roti untuk menanyakan masalah tata surya? Tidak, alangkah bodohnya engkau, seharusnya engkau mengunjungi ahli perbintangan, kalau engkau memang dapat berfikir. Habislah simpananmu, anak kemarin sore, engkau telah mencabut pohon kekayaanmu sampai ke akar-akarnya. Tapi tanam lagi yang lainnya. Coba lagi. Lain kali kalau engkau memerlukan nasehat atau pengetahuan tentang permata, kunjungi pedagang permata. Kalau engkau ingin mengetahui segala sesuatu tentang kambing, datangi penggembala. Nasehat memang dapat diperoleh dengan tanpa biaya, tetapi berhati-hatilah, ambillah hanya nasehat yang berguna bagimu. Orang yang meminta nasehat tentang simpanannya kepada seseorang yang tidak berpengalaman di bidang itu, akan membayarnya dengan seluruh simpanannya justru untuk membuktikan betapa bodohnya nasehat itu.’ Setelah mengatakan hal itu iapun berlalu.” “Benar seperti yang dikatakannya. Orang-orang Phunisia memang penipu. Mereka menjual ke Azmur sepotong gelas yang tak bernilai yang terlihat seperti batu permata. Habis sudah simpananku. Tetapi seperti yang dinasehatkan Algamish, saya mulai menyimpan kembali setiap sepersepuluh keping perak yang saya peroleh, karena saya telah menjadi biasa melakukannya, usaha untuk menyimpan ini menjadi sangat tidak berat lagi.” “Sekali lagi, dua belas bulan berlalu, Algamish datang lagi ke perpustakaan kota menemui saya. ‘Bagaimana perkembanganmu setelah terkahir kita bertemu?’”



“’Aku telah membayar diriku sendiri dengan tekun,’ jawabku, ‘dan simpananku telah kupercayakan pada Aggar pembuat tameng, untuk membeli perunggu bahan pembuat tameng, dan setiap bulan ia membayar padaku sewa uang itu.’” “’Itu bagus. Dan apa yang engkau perbuat atas sewa uang itu?’” “’Lumayan, aku bisa menikmati madu dan anggur bermutu dan kue berrempah yang lezat. Aku juga telah membeli selendang sutera ungu. Suatu hari nanti akau akan membeli seekor keledai muda yang dapat kutunggangi kemana-mana.’” “Algamish tertawa mendengarkan hal itu. ‘Engkau telah memakan anak-anak simpananmu. Bagaimana mungkin engkau akan berharap mereka bekerja untukmu? Dan bagaimana pula mereka akan melahirkan keturunan yang juga dapat menjadi budakmu? Pertama-tama, himpun dan dapatkan dulu bala tentara budak emasmu baru kemudian pesta yang mewah dapat engkau nikmati tanpa penyesalan di kemudian hari.’ Sambil mengutarakan hal itu iapun berlalu.” “Kemudian aku tidak melihatnya lagi selama dua tahun, ketika ia muncul kembali wajahnya telah penuh kerutan dalam matanya lebih kuyu, ia telah menjadi seorang yang sangat tua. Dan ia mengatakan kepadaku, ‘Arkad, sudahkah engkau memperoleh kekayaan yang engkau impi-impikan itu?’” “Kujawab, ‘Masih belum semuanya, tetapi sebagian sudah kudapatkan dan bahkan memberikanku penghasilan tambahan, dan penghasilan tambahan itu juga menumbuhkan penghasilan baru yang lain.’” “’Apakah engkau masih meminta nasehat dari pembuat bata?’” “’Mereka memberi nasehat yang bagus tentang bagaimana membuat bata.’ Jawabku sekenanya” “’Arkad,’ lanjutnya, ‘engkau telah belajar dengan baik. Pertama engkau belajar hidup dengan biaya kebutuhan secukupnya yang lebih kecil dari yang mampu engkau peroleh. Kemudian engkau belajar mencari nasehat dari orang yang benar-benar menguasai yang berkeahlian di bidangnya. Dan terakhir, engkau telah belajar bagaimana membuat emas bekerja untukmu. “’Engkau telah belajar sendiri bagaimana memperoleh penghasilan, bagaimana menyimpannya dan bagaimana pula menggunakannya. Oleh karena itu engkau dapat dipercaya untuk menjalankan sebuah usaha. Aku sudah bertambah tua. Anak-anakku hanya memikirkan bagaimana caranya menggunakan uang tetapi tidak memikirkan sama sekali bagaimana cara memperolehnya. Usahaku sangat besar dan banyak, dan aku akan semakin tidak mampu untuk mengurus semuanya. Apabila engkau mau pergi ke Nippur dan mengurus serta mengusahakan tanahku di sana, akau akan menjadikanmu rekan usahaku dan akan berbagi hasil usaha bersama.’” “Jadi, aku pergi ke Nippur mengurus harta kekayaannya yang besar di sana. Oleh karena aku sangat berkeinginan dan karena aku telah berhasil menguasai tiga hukum pengelolaan kekayaan, aku mampu melipatgandakan kekayaannya. Akupun ikut sejahtera, dan ketika jiwa Algamish kembali ke alam baka, aku mendapatkan bagian dari kekayaannya sesuai dengan perjanjian yang telah rapi dibuatnya sesuai dengan ketentuan hukum.” Begitulah yang dikemukakan Arkad, dan ketika ia menyelesaikan ceritanya, salah seorang sahabatnya berkata, “Engkau memang sangat beruntung Algamish telah menjadikan engkau sebagai pewaris sebagian kekayaannya.” “Beruntung hanya karena saya memiliki keinginan untuk berkelimpahan sebelum saya bertemu dengannya. Bagaimanakah apabila selama empat tahun saya tidak membuktikan kegigihan saya mencapai tujuan itu dengan menyimpan sepersepuluh dari seluruh yang saya hasilkan? Apakah engkau mengatakan nelayan itu beruntung padahal bertahun-tahun ia mempelajari kebiasaan ikanikan yang berubah-ubah sesuai perubahan angin sehingga ia dapat menebar jaring pada waktu dan tempat yang benar-benar berikan. Kesempatan itu bagai Dewi sombong yang tidak memerlukan apaapa, yang tidak akan membuang waktu dengan orang yang tidak mempersiapkan diri.”



“Engkau memiliki tekad yang kuat untuk terus melanjutkan rencanamu setelah engkau kehilangan seluruh simpanan tahun pertamamu. Dalam hal ini engkau benar-benar luar biasa,” ujar sahabat lainnya. “Tekad!” bantah Arkad. “Omong kosong. Apakah engkau fikir tekad akan memberimu kekuatan untuk memanggul beban yag tidak bisa diusung seekor unta, atau menarik bajak yang tidak bisa dihela kerbau? Tekad hanyalah pemicu semata dalam usahamu melaksanakan rencana yang telah engkau tetapkan untuk engkau capai. Apabila kutetapkan tugas bagi diriku, meskipun tugas sederhana sekalipun, tetap saja akan kurencanakan secermat mungkin. Bagaimana mungkin aku akan percaya diri melakukan hal-hal besar yang penting kalau aku tidak merencanakannya? Misalnya, apabila kukatakan pada diriku, ‘Selama seratus hari, setiap hari aku melewati jembatan memasuki kota ini, aku akan memungut sebuah kerikil di jalan dan melemparkannya ke dalam aliran sungai.’ Itu akan kulakukan. Apabila pada hari ketujuh aku melewati jembatan itu dan baru teringat bahwa aku lupa akan tugasku. Aku tidak akan mengatakan pada diriku, ‘Besok akan kulemparkan dua buah batu sekaligus, hasilnya akan sama saja.’ Apa yang akan engkau lakukan. Aku akan melangkah mundur ke belakang ke jembatan itu dan melontarkan sebuah batu. Itu baru betul. Pada hari ke dua puluh aku tidak akan mengatakan pada diriku, ‘Arkad, ini tidak berguna. Apa untungnya bagimu melontarkan sebuah batu setiap hari selama seratus hari? Lemparkan saja seratus batu sekaligus, beres.’ Tidak, bahkan mengucapkannya saja aku tidak akan apalagi melakukannya. Apabila tugas sudah kutetapkan bagi diriku sendiri, akan kuselesaikan. Jadi, aku akan berhati-hati agar tidak menetapkan tugas yang terlalu berat dan tidak mungkin diselesaikan. Aku tidak mau kepayahan, aku suka bersenang-senang.” Lalu salah seorang shabat yang lain ikut berujar dengan mengatakan, “Apabila yang engkau ceritakan memang benar, dan sepertinya betul sebagaimana yang engau katakan, masuk akal, dan sangat sederhana, apabila setiap orang melaksanakannya maka tidak ada lagi harta benda yang tersisa untuk dimiliki.” “Kekayaan tumbuh dan berkembang bilamana manusia mengeluarkan energi, berusaha,” jawab Arkad. “Apabila ada seorang hartawan membangun istana baru, apakah uang dan kekayaan yang ia keluarkan untuk membangun lantas hilang? Tidak, pembuat bata akan mendapat sebagian, kuli bangunan akan mendapatkannya juga, begitu pula arsitek dan perajin hiasan istana itu. Semua yang ikut serta dalam usaha membangun istana itu mendapatkan bagian dari pembayaran dan ongkos pembangunan istana itu. Setelah istana itu selesai apakah nilainya tidak sama dengan biaya pembangunannya? Apakah tanah tempat istana itu didirikan tidak menjadi bertambah nilainya karena ia terletak disitu? Tanah di sekitar istana itu tidak naik nilainya karena terhampar disitu? Kekayaan berkembang dengan cara yang ajaib. Tidak ada seorangpun yang dapat meramalkan batas pertumbuhannya. Bukankah bangsa Phunisia membangun kota-kota besarnya di pantai-pantai gersang dengan kekayaan yang mereka peroleh dari kapal-kapal dagang yang menyebar di lautan?” “Jadi, apa yang engkau sarankan pada kami supaya kami lakukan agar kami juga bisa menjadi kaya?” masih ada lagi pertanyaan dari sahabatnya yang lain. “Tahun-tahun sudah berlalu, kami tidak lagi muda dan tidak ada harta yang telah kami simpan.” “Kusarankan engkau menerapkan nasehat Algamish dan katakan pada dirimu sendiri, ‘Sebagian dari semua yang kuperoleh adalah milikku yang harus kusimpan.’ Ucapkan itu di pagi hari pada saat engkau bangun dari tidurmu. Ucapkan pada siang hari. Ucapkan lagi pada malam hari. Ucapkan pula setiap jam tiap hari. Katakan itu pada dirimu sendiri sehingga kata-kata itu seolah tertulis jelas dengan huruf api terpampang melintang dilangit.” “Gugah dirimu dengan ide itu. Tanam dalam benakmu. Kemudian ambillah dengan bijak dari simpanan itu secukupnya. Tetapi tidak boleh kurang dari sepersepuluhnya harus tersimpan, untuk digunakan dimasa depan. Apabila perlu sekali, rencanakan pengeluaranmu. Tetapi tetap sediakan bagian untuk disimpan. Engkau akan segera dapat merasakan rasa sejahtera memiliki kekayaan yang tersimpan hanya engkau sendiri yang dapat menggunakannya. Semakin berkembang ia, akan semakin terdorong engkau. Kenikmatan hidup yang baru akan membuatmu bersemangat. Kegigihan yang lebih besar akan datang mendukungmu meraih tambahan penghasilan. Karena peningkatan penghasilanmu, tidakkah engkau dapat lebih menambah persentase jumlah penghasilan yang engkau simpan?”



“Kemudain belajar mempekerjakan harta simpananmu. Jadikan dia budakmu. Jadikan pula anakanaknya dan cucu-cucunya bekerja untukmu.” “Pastikan ada penghasilanmu di masa-masa yang akan datang. Perhatikan orang-orang yang sudah uzur itu, dan jangan lupa bahwasanya engkau juga akan seperti mereka. Oleh kerana itu usahakan dan pekerjakan simpananmu dengan sangat hati-hati kalau tidak engkau akan kehilangan semuanya. Penghasilan yang tinggi memukau sangat menipu, merayu orang-orang yang lengah kedalam kehancuran dan penyesalan.” “Perhatikan juga hal-hal yang tidak diinginkan keluargamu sendainya engkau dipanggil Para Dewa ke alam arwah. Perlindungan seperti itu selalu dapat disediakan apabila engkau menyediakan simpanan kecil secara bertahap. Orang yang mempersiapkan hal itu tidak akan menunda hingga penghasilan yang besar tersedia untuk keperluan-keperluan yang baik itu.” “Berkonsultasilah dengan orang bijak. Cari nasehat dari orang yang pekerjaan sehari-harinya mengelola uang. Mereka akan menyelamatkanmu dari kekeliruan yang pernah kulakukan ketika menggunakan nasehat keuangan dari Azmur, si pembuat bata. Penghasilan kecil yang lebih aman harus diutamakan dari pada menanggung resiko yang lebih besar.” “Nikmatilah hidupmu selagi hidup di bumi ini. Jangan terlalu membebani dirimu sendiri atau menyimpan terlalu banyak dari yang dapat engkau sediakan. Apabila sepersepuluh dari semua penghasilanmu merupakan jumlah yang terbanyak yang dapat dengan nyaman engkau sediakan untuk disimpan, cukuplah puas dengan jumlah itu, asal tetap engkau pertahankan. Hidup saja sesuai dengan penghasilanmu tetapi jangan pula membuat dirimu begitu pelit dan takut mengeluarkan uang. Hidup itu enak dan hidup itu kaya dengan hal-hal yang pantas engkau nikmati sepenuhnya.” Sahabat-sahabatnya berterima kasih kepadanya dan pergi berlalu. Beberapa terdiam karena mereka tidak punya bayangan sama sekali dan tidak dapat mengerti isi pembicaraan. Sebagian lagi sangat tidak menerima karena mereka fikir seseorang yang sudah sangat kaya seharusnya membagi kekayaannya dengan sahabat lamanya yang kurang beruntung. Tetapi ada beberapa orang yang memiliki harapan baru yang terbayang dimatanya. Mereka menyadari bahwa Algamish telah kembali setiap waktu ke ruangan penyalin naskah di perpustakaan karena ia mengamati perkembangan orang yang berusaha mencari jalan keluar dari kegelapan ke dunia yang gilang gemilang. Apabila orang tersebut sudah menemukan sinar gilang gemilang itu, sebuah tempat telah menunggunya. Tidak seorangpun dapat menempati kedudukan itu hingga ia dapat mengusahakan bagi dirinya sendiri dengan pengertiannya sendiri, hingga ia bersedia menghadapi setiap kesempatan yang muncul. Mereka dalam kelompok terkahir inilah yang dicari, yaitu mereka yang, dalam tahun-tahun mendatang, berulangkali mengunjungi Arkad, yang dengan sangat gembira menerima mereka. Mereka berkonsultasi, dan ia memberikan beberapa nasehat tanpa biaya dari perbendaharaan kebijaksanaannya sebagaimana seorang yang berpengalaman luas akan dengan senang hati melakukannya. Ia membantu mereka mempekerjakan simpanannya dengan hasil yang lumayan dengan aman sehingga tidak ada simpanan yang hilang percuma atau tidak mendatangkan hasill tambahan sama sekali. Titik balik kehidupan orang-orang ini datang pada hari ketika mereka menyadari kebenaran yang datang dari Algamish melalui Arkad dan dari Arkad menyentuh mereka.



SEBAGIAN DARI SEMUA YANG ENGKAU HASILKAN ADALAH MILIKMU YANG HARUS ENGKAU SIMPAN



III : TUJUH KUTUKAN KEMELARATAN TUJUH KUTUKAN KEMELARATAN



Kemakmuran Babilonia bertahan lama, bergema ke seluruh wilayah dunia. Bertahun-tahun kemasyhurannya yang kita dengar sebagai kota terkaya, yang memiliki kelimpahan harta yang sungguh mencengangkan. Tetapi pada zaman dahulu, sebelumnya, tidaklah demikian halnya. Orang-orang kaya Babilonia bertumbuh sebagai hasil kebijaksanaan penduduknya. Mereka awalnya harus banyak belajar bagaimana menjadi kaya. Ketika Raja yang ternama, Sargon, kembali ke Babilonia, setelah mengalahkan musuh-musuhnya, bangsa Elamit, ia mendapatkan keadaan penduduk kota yang kurang bagus. Penasehat Raja menjelaskan hal itu kepada Sang Raja : “Dulu, setelah tahun-tahun makmur yang dialami penduduk kota karena kerajaan telah membangun kanal irigasi yang luar biasa dan mendirikan Kuil Raja bagi Para Dewa, tapi sekarang setelah pekerjaan tersebut selesai, rakyat kelihatannya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.. “Para kuli hidup tanpa pekerjaan. Saudagar kehilangan pelanggan. Para petani tidak dapat menjual hasil kebunnya. Masyarakat bahkan tidak mempunyai cukup emas untuk membeli makanan.” “Tetapi, kemana perginya semua emas yang kita keluarkan untuk pembangunan itu?” tanya Sang Raja. “Emas-emas itu beredar kemudian, saya khawatir,” sahut Sang Penasehat, “mengalir menjadi milik beberapa orang kaya di kota ini. Beredar cepat dari tangan-tangan pemiliknya seperti susu kambing mengalir melalui saringan, dalam perputaran kehidupan penduduk kota. Sekarang saat aliran emas itu terhenti, sebagain besar pemilik emas itu telah kehabisan kepemilikannya, penghasilannya habis tak berbekas.” Sang Raja menjadi masgul, terpekur beberapa saat. Kemudian ia bertanya, “Bagaimana mungkin hanya beberapa orang saja yang akhirnya menguasai seluruh emas itu?” “Karena mereka tahu caranya,” jawab Sang Penasehat. “Kita tidak dapat mengutuk keberhasilan seseorang hanya karena mereka mengetahui bagaimana cara mencapai keberhasilan. Kita juga tidak dapat dengan kekuatan hukum mengambil bagian kekayaannya yang didapat secara benar, dan memberikannya kepada yang kurang mampu.” “Tetapi mengapa,” tuntut Sang Raja, “tidak semua orang belajar bagaimana mengumpulkan emas dan dengan demikian dapat menjadikannya sebagai seorang hartawan dan penuh kemakmuran?” “Berkemungkinan bisa, Tuanku. Tetapi siapa yang akan mengajarkan mereka? Para Imam sudah pasti tidak bisa, karena mereka sama sekali tidak mengetahui permasalahan memperoleh penghasilan.” “Di seluruh kota kita ini, siapa yang paling mengetahui bagaimana cara menjadi kaya, Penasihat?” tanya Sang Raja. “Pertanyaan Tuanku sudah terjawab sendiri, Tuanku. Siapa yang paling kaya di Babilonia?” “Benar sekali, Penasihat ahliku. Dia Arkad. Dia orang terkaya di babilonia. Bawa dia menghadapku besok pagi.” Keesokan harinya, sesuai titah Sang Raja, Arkad menghadapnya, tegak dan terlihat gagah meski usianya sudah mencapai sembilan windu.



“Arkad,” ujar Sang Raja. “Apakah benar anda orang terkaya di Babilonia?” “Bagitulah yang saya dengar, Tuanku, dan kelihatannya tidak ada yang membantahnya.” “Bagaimana caranya engkau menjadi sebegitu kayanya?” “Dengan mengambil keuntungan atas kesempatan yang tersedia bagi seluruh masyarakat di kota kita yang baik ini.” “Engkau memulainya dari tidak memiliki apa-apa?” “Hanya keinginan besar untuk memperoleh kekayaan. Di samping itu tidak ada yang lain.” “Arkad,” lanjut Sang Raja, “Keadaan kota kita saat ini kurang begitu baik karena hanya segelintir orang saja yang mengetahui cara mengumpulkan kekayaan dan menguasai peredarannya, sementara sebagian besar masyarakat tidak mengetahui samasekali bagaimana cara mengumpulkan emas yang diperoleh dari usahanya.” “Cita-citaku, Babilonia menjadi kota terkaya di dunia. Oleh karena itu, kota ini harus menjadi kota yang penuh dengan orang yang kaya raya. Katakan padaku, Arkad, apakah ada rahasia dalam mengumpulkan kekayaan? Dapatkah hal itu diajarkan?” “Bisa, Tuanku. Sesuatu yang diketahui seseorang dapat diajarkan kepada yang lainnya.” Mata Sang Raja berbinar. “Arkad, engkau telah mengucapkan kata-kata yang sangat ingin kudengar. Maukah engkau melaksanakan tugas mulia yang besar ini? Maukah engkau menularkan pengetahuanmu kepada semua pendidik, yang selanjutnya saling mengajarkan sehingga kita mempunyai cukup banyak pendidik yang akan mengajarkan cara mengumpulkan kekayaan pada setiap anggota masyarakat di kota ini yang sangat memerlukannya.” Arkad mengusung sembah dan berkata, “Hamba akan patuh melaksanakannya, Tuanku. Pengetahuan apa pun yang hamba miliki akan dengan senang hati akan hamba sebarkan demi saudara-sudaraku di kota Babilonia dan demi kejayaan kerajaan ini. Hamba persilakan Sang Penasehat yang baik mempersiapkan sebuah kelas berisi seratus orang, dan akan hamba paparkan pada mereka tujuh obat yang telah menggemukkan pundi-pundi uang hamba yang dahulunya tidak ada pundi uang yang lebih kosong dari pundi milik hamba di seluruh Babilonia.” Dua minggu kemudian, mematuhi titah Sang Raja, seratus orang yang terpilih berkumpul di aula Kuil Pembelajaran, duduk berjejer setengah lingkaran di dalam ruangan bundar yang cerah. Arkad duduk di sebelah bejana kecil yang dari dalamnya keluar asap dari lampu keramat, menyebarkan bau dupa yang wanginya sangat menyenangkan. “Lihat, orang terkaya di Babilonia,” bisik salah satu peserta, sambil menyikut orang di sampingnya, ketika Arkad mulai berdiri. “Dia manusia biasa sama saja seperti kita semua.” “Sebagai warga yang patuh pada Raja kita yang agung,” Arkad memulai pembicaraannya, “Saya berdiri di hadapan kamu semua demi melayaninya. Karena dahulunya saya adalah anak muda yang sangat papa tetapi sangat menginginkan memiliki emas yang berlimpah, dan karena kudapatkan pengetahuan yang membuatku mampu mencapai keinginanku, Sang Raja memintaku agar menularkan pengetahuan itu kepada engkau semua.” “Aku memulai keberuntunganku dengan cara yang paling sederhana. Aku tidak memiliki kelebihan apa pun, aku juga tidak berkecukupan dibandingkan dengan engkau semua bahkan dibandingkan seluruh penduduk Babilonia.” “Gudang uangku yang pertama hanyalah sebuah kantung usang. Yang sangat kubenci karena selalu kosong dan tidak berguna. Aku menginginkan ia agar berbentuk bundar, penuh terisi, berdencing dengan suara emas. Jadi, kucari penyembuh kantung kosong itu. Aku menemukan tujuh penyembuh.



“Kepada engkau sekalian, yang hadir didepanku ini, akan kujelaskan ke tujuh penyembuh kantung kosong yang kusarankan kepada semua orang yang menginginkan kelimpahan emas. Setiap hari selama tujuh hari akan kujelaskan kepadamu satu dari tujuh penyembuh itu.” “Dengarkan dengan sepenuh hati pengetahuan yang akan kusampaikan. Bahas bersamaku. Diskusikan sesamamu. Pelajari sedalam-dalamnya inti sari pelajaran ini, agar engkau semua dapat mengisi di kantongmu masing-masing, bibit-bibit kekayaan. Pertama kali hendaklah setiap orang memulai dengan bijaksana mengumpulkan keberuntungan bagi dirinya masing-masing. Kemudian, apabila engkau sudah cukup mampu, hanya bila engkau sudah cukup mampu, ajarkanlah pengetahuan ini kepada orang lain.” “Aku akan mengajarkannya dengan cara yang sederhana bagaimana memenuhkan pundi-pundimu. Itu merupakan langkah pertama menuju ke kuil kekayaan, dan tidak akan ada yang akan sampai ke sana apabila dia tidak menanamkan kakinya kuat-kuat pada langkah pertama. “Sekarang kita bahas penyembuh pertama.”



Penyembuh Pertama Mulai gelembungkan kantung uangmu



Arkad menyampaikan pertanyaanya kepada seorang yang terlihat berpendidikan yang duduk di baris kedua. “Sahabat baikku, apa yang merupakan keahlianmu?” “Saya,” jawab orang itu, “penyalin dan penulis naskah pada lempeng tanah liat.” “Ya, dengan pekerjaan seperti itulah saya memperoleh perakku yang pertama. Jadi, engkau memiliki kesempatan yang sama untuk menghimpun kekayaan.” Ia berkata pada seorang yang tampan yang duduk di baris yang lebih di belakang, “Coba katakan pada kami apa yang engkau lakukan untuk menafkahi keluargamu.” “Saya,” balas orang ini, “tukang daging. Saya membeli kambing-kambing dari penggembala menyembelih dan menjualnya pada para ibu rumah tangga dan kulitnya saya jual kepada pembuat sandal.” Karena engkau bekerja dan menghasilkan uang, engkau memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil seperti yang saya alami.” Dengan cara itu Arkad memulai. Mencari keterangan bagaimana setiap peserta bekerja memperoleh penghasilan untuk kehidupannya. Setelah dia selesai menanyai semua peserta, ia berkata : “Sekarang, murid-muridku, engkau dapat melihat ada berbagai usaha dan kegiatan dalam memperoleh penghasilan. Setiap cara itu merupakan arus masuknya emas, dari situlah setiap penghasil uang itu menyalurkan sebagian dari hasilnya untuk kantung uagnya sendiri. Ke dalam setiap kantung uang kalian semua mengalir uang, baik dalam jumlah banyak ataupun sedikit, tergantung pada keampuannya masing-masing. Bukankah begitu?” Terlihat semuanya setuju dengan pendapat itu. “Kemudian,” lanjut Arkad, “apabila setiap orang berkeinginan untuk menghimpun kekayaan yang lebih besar bagi dirinya, sangat tidak mungkin untuk memulainya dari penggunaan sumber penghasilan yang telah engkau lakukan.” Dengan hal ini pun semua peserta menyetujuinya.



Kemudian Arkad menoleh kepada seorang yang terlihat sederhana yang telah menerangkan bahwa dirinya adalah pedagang telur. “Apabila engkau isi setiap keranjang telurmu setiap pagi dengan sepuluh butir telur, kemudian mengeluarkan dan menjual sembilan butir telur setiap petang, setelah beberapa lama apa yang akan terjadi?” “Akan banyak sekali sisa telur di rumahku.” “Mengapa?” “Setiap hari akau menjual lebih sedikit telur dari yang kukumpulkan, akhirnya aku menyimpan banyak kelebihan.” Arkad kemudian melayangkan pandangannya ke seluruh isi kelas dengan tersenyum, bertanya, “Apakah dalam kelas ini ada yang kantung uangnya kosong?” Semula mereka melihat hal itu lucu. Kemudian mereka tertawa. Akhirnya mereka tunjukkan kantung uang mereka dengan penuh canda getir. “Baiklah,” lanjut Arkad. “Sekarang kuberitahukan padamu obat pertama untuk mengisi kantung uang yang kosong yang aku telah pelajari. Lakukan seperti apa yang kusarankan pada pedagang telur. Setiap sepuluh keping uang yang engkau masukkan dalam kantung uangmu, pergunakanlah hanya sembilan untuk keperluan keseharian kehidupanmu. Kantung uangmu akan segera mulai terisi dan tambahan beratnya yang engkau rasakan ditanganmu akan seketika terasa menyenangkan hatimu.” “Jangan remehkan apa yang kukatakan karena kesderhanaannya. Kebenaran itu sangat sederhana. Kukatakan pada engkau semua akan kuceritakan bagaimana aku menghimpun kekayaanku. Inilah awal dari semuanya. Saya, juga, dulu memiliki kantung uang yang kosong dan sangat menderita karena dengan begitu tidak ada kesenanganku yang dapat kupenuhi. Tetapi begitu aku mulai hanya menggunakan sembilan keping uang dari sepuluh yang kuperoleh, kantung uangku mulai menggembung. Begitupula bisa, bagi engkau sekalian” “Sekarang akan kuceritakan kebenaran yang cukup aneh, yang alasannya tidak kuketahui. Sejak kukeluarkan hanya sembilan dari sepuluh yang kuperoleh, kehidupanku biasa-biasa aja, aku bahkan tidak merasa menjadi lebih berkekurangan apa-apa. Kemudian, tak selang beberapa lama, bahkan uang datang kepadaku lebih mudah daripada sebelumnya. Sudah pasti itulah ketentuan hukum Para Dewa, bahwa kepada siapa yang menyimpan sebagian dan menggunakan hanya sebagian tapi tidak seluruh penghasilannya, emas akan datang dengan lebih lancar. Sebaliknya, orang yang kantung uangnya kosong, akan dihindari emas.” “Apa yang paling engau inginkan? Apakah kesenangan sehari-hari yang engkau inginkan, perhiasan, sedikit barang mewah, pakaian bagus, makan lebih banyak; hal-hal yang segera berlalu dan dilupakan? Atau hal-hal yang lebih bermakna, emas, tanah, ternak, barang dagangan, pengeluaran yang memberikan hasil tambahan? Keping uang yang engkau keluarkan dari kantung uangmu akan memberikanmu hal-hal yag pertama, keping uag yang engkau tinggalkan dalam kantung uangmu sebagai simpanan akan memberikanmu hal yang terakhir.” “Itulah, murid-muridku, obat pertama yang aku temukan bagi menyembuhkan kantung uangku yang kosong : ‘Setiap sepuluh keping yang engkau peroleh, gunakanlah hanya sembilan.’ Bahaslah hal ini sesama peserta di kelas ini. Apabila ada di antara engkau yang dapat membuktikan ketidakbenarannya, katakan padaku besok ketika kita bertemu di kelas ini kembali.”



Penyembuh Kedua Atur dan cermati pengeluaranmu



“Sebagian peserta, murid-muridku, telah bertanya padaku: ‘Bagaimana mungkin seseorang menyimpan sepersepuluh dari yang diperolehnya dalam kantung uangnya sementara setiap keping uang yang dimilikinya itu tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-harinya?’” itulah yang pertama kali disampaikan Arkad pada hari kedua. “Kemarin ada berapa dari semua murid di sini yang memiliki pundi-pundi yang kosong?” “Kami semua,” seru seisi kelas. “Padahal, engkau semua tidak memiliki penghasilan yang sama. Yang satu memperoleh penghasilan yang lebih besar dari yang lainnya. Sementara ada yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih besar dari yang lainnya. Namun, mengapa semua sama, kantung uangnya kosong? Sekarang biar kunyatakan kebenaran yang tidak biasa yang dilakukan manusia dan anak cucunya. Yaitu : Apa yang masing-masing dari kita sebutkan ‘pengeluaran yang penting, yang harus dikeluarkan’ akan senantiasa berkembang sejalan dengan peningkatan penghasilan, kecuali kita menolaknya dengan melakukan sebaliknya.” “Jangan campur adukkan pengeluaran penting, yang harus dikeluarkan dengan keinginan hati. Setiap yang hadir di sini, bersama-sama dengan keluargamu yang berbahagia, memiliki keinginan hati yang jauh lebih besar dari yang dapat dipuaskan oleh penghasilanmu. Oleh karena itu meskipun seluruh penghasilanmu engkau gunakan memenuhi keinginan hatimu sebanyak yang dapat diperoleh dengan semua penghasilan itu. Tetap saja engkau akan masih memiliki keinginan hati yang belum terpenuhi.” “Setiap orang dibebani keinginan hati yang lebih besar dari yang dapat ia penuhi. Apakah dengan seluruh kekayaan yang kumiliki saat ini engkau fikir aku akan dapat memenuhi tak terbatasnya keinginan hatiku? Itu pemikiran yang salah. Pada setiap saat selalu ada batas waktu. Pada setiap kekuatan pasti ada batas kemampuan. Selalu ada batas jarak yang mampu kutempuh dalam perjalananku. Ada batas jumah yang dapat kumakan. Begitupula ada batas kepuasan yang kuperoleh dari sebuah kenikmatan.” “Kukatakan padamu, sebagaimana rerumputan akan bertumbuh di perkebunan apabila para petani meninggalkan sejumput akar dikebun yang disiangnya, begitulah keinginan hati akan tumbuh dibenakmu apabila ada kemungkinan tersedianya kemampuan untuk memenuhinya. Keinginan hati sangat banyak ragamnya dan yang dapat engkau penuhi hanyalah tidak lebih dari sebagian kecilnya.” “Perhatikan dan pelajari dengan mendalam kebiasaan dalam hidupmu. Disitulah nanti biasanya akan engkau temukan beberapa pengeluaran tertentu yang biasanya engkau keluarkan sesungguhnya dapat degan bijak engkau kurangi, bahkan menghilangkannya sama sekali dari daftar pengeluaranmu. Jadikan motto dalam dirimu bahwa untuk setiap keping uang yang engkau keluarkan harus memberikan nilai seratus persen, tidak ada yang disia-siakan.” “Oleh karena itu, coba tuliskan dalam lempeng tanah liat setiap pengeluaran untuk apa yang engkau inginkan. Pilihlah pengeluaran yang penting, yang harus dikeluarkan dan yang pengeluaran lainnya yang mungkin dapat engkau penuhi dengan sepersepuluh penghasilanmu. Coret pengeluaran yang lainnya dan pertimbangkanlah mereka sebagai beragam keinginan hati yang harus pergi tanpa perlu dipenuhi dan tidak perlu disesali.” “Rencanakan pengeluaran yang penting, yang harus dikeluarkan. Jangan sentuh sepersepuluh yang mengisi kantung uangmu sebagai simpanan. Jadikanlah kegiatan mengisi kantung uang itu sebagai keinginan hatimu yang sedang engkau penuhi. Terus hidup dengan rencana itu, dan terus sesuaikan dengan keadaanmu. Jadikan dia sebagai pengawal yang mempertahankan usaha memenuhkan pundi-pundi uangmu.” Sampai di sini, seorang murid, mengenakan jubah merah keemasan, berdiri dan bertanya, “Saya orang merdeka. Saya percaya bahwa adalah hak saya untuk menikmati hal-hal yang baik dan menyenangkan di kehidupan ini. Jadi saya menentang perbudakan yang dilakukan rencana pengeluaran ini yang membatasi berapa jumah yang dapat engkau keluarkan dan untuk apa pengeluaran dibolehkan. Saya rasa rencana itu akan mengambil sebagian besar kenikmatan hidupku dan membuat saya lebih seperti keledai pemanggul beban.”



Kepadanya Arkad meberikan jawaban, “Siapakah, temanku, yang akan menetapkan anggaran itu?” “Aku akan membuatnya untuk diriku sendiri,” jawab murid yang memberi kritik bantahan tadi. “Jika begitu, apakah keledai pemanggul tadi merencanakan juga beban yang ia panggul, permata, permadani dan batangan emas? Tidak begitu, yang direncanakan bukan beban yang akan dipanggul, yang direncanakan pemanggul tentunya, jerami dan biji-bijain serta kantung-kantung air untuk bekal makan minumnya diperjalanan.” “Tujuan perencanaan belanja adalah untuk membantu kita menggemukkan pundi-pundi uang. Untuk membantu kita memenuhi keperluan mendasar dan, sepanjang dapat dicapai, memenuhi sebagian keinginan hati. Rencana itu dapat membuat engkau mampu memenuhi keinginan engkau yang utama dengan menjaganya dari grogotan keinginan yang tidak jelas. Seperti cahaya terang di dalam gua, engkau akan mampu menemukan kebocoran yang ada pada kantung uangmu dan menutupnya dan mengawasi pengeluaran-pengeluaran untuk hanya hal-hal yang pasti diperlukan dan pengeluaran yang jelas tujuannya.” “Dengan itu, kemudian, berlanjut ke penyembuh kedua bagi kantung uang yang kosong. Rencanakan pengeluaranmu sesuai dengan keping uang yang engkau miliki untuk memenuhi kebutuhan mendasar hidupmu, membayar hal-hal yang akan menggembirakanmu dan memenuhi keinginan hatimu yang lain sepantasnya tanpa mengeluarkan lebih dari sembilan per sepuluh dari penghasilanmu.”



Penyembuh Ketiga Lipatgandakan emasmu “Lihat, kantung uang yang kosong mulai terisi. Apabila engkau telah mendisiplinan dirimu untuk menyisakan sepesepuluh dari seluruh penghasilanmu. Engkau telah rencanakan, atur dan cermati pengeluaranmu dan menjaga perkembangan kekayaanmu. Selanjutnya, kita mulai mempertimbangkan cara untuk mempekerjakan simpanan itu dan melipatgandakannya. Memiliki emas di pundi-pundi uang memang sangat memuaskan hati, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Emas yang terkumpul dalam simpanan kita merupakan awal perkembangan selanjutnya. Hasil yang akan diberikan emas itu akan menjadi alat yang dapat membantu membangun keberuntungan kita.” Itu, yang diucapkan Arkad di kelas pada hari ketiga. “Bagaimana, selanjutnya kita mempekerjakan emas itu? Usaha pertamaku gagal, aku menghabiskan seluruh simpananku. Ceritanya akan kita bicarakan nanti. Usaha yang pertama kali memberikanku keuntungan adalah pinjaan yang kuberikan pada Aggar, pembuat tameng. Sekali setahun ia membeli kiriman perunggu yang dibawa kapal dari seberang laut, yang digunakannya sebagai bahan baku usahanya. Kekurangan modal untuk membayar pedagang perunggu, ia meminjam pada orang yang berkelebihan uang. Dia orang jujur yang terhormat. Pinjamannya semua terbayar kembali, ditambah sisa sewa uang, ketika ia berhasil menjual perisai hasil buatannya. “Setiap kali, berikutnya ia kuberi pinjaman, kupinjamkan juga sisa sewa uang yang ia bayarkan padaku. Dengan begitu tidak saja modalku bertambah, hasil dari modal juga memberikan tambahan penghasilan. Sungguh memuaskan melihat bagaimana semua jumlah penerimaan itu masuk ke pundi-pundi uangku.” “Kukatakan kepadamu, murid-muridku, kekayaan seseorang bukan dari banyaknya uang yang dibawa dalam kantung uangnya kesana kemari; tetapi aliran penghasilan yang dibangunnya, aliran emas yang terus menerus mengalir ke dalam kantung uangnya dan terus menerus membuatnya berkelimpahan. Itulah yang diinginkan setiap orang. Itulah juga yang engkau, semua yang hadir disini, menginginkannya; penghasilan yang terus menerus datang meski kamu bekerja atau sedang bepergian.



“Penghasilan yang sangat besar telah kuperoleh. Begitu banyaknya sehingga aku disebut sebagai orang kaya. Pinjaman yang kuberikan pada Aggar adalah pelajaran pertamaku mengusahakan simpanan yang berhasil. Berdasarkan pengalaman itu, aku mulai memperluas usaha itu, dan modalku terus meningkat. Dari beberapa sumber, kemudian bertambah dari lebih banyak sumber, semua mengalir ke dalam kantung uangku, aliran emas yang tersedia untuk penggunaan lebih lanjut, tetapi tetap harus digunakan dengan pertimbanagn yang bijaksana.” “Begitulah, berawal dari penghasilan yang kecil sederhana aku telah memperoleh sepasukan budak emas, masing-masing budak bekerja dan memberikan hasi emas lebih banyak lagi. Sementara mereka bekerja untuk saya, anaknya, cucunya, juga menyertai mereka bekerja keras bersama-sama hingga semakin banyak penghasilan yang kuperoleh dari usaha bersama mereka.” “Emas akan berkembang dengan cepat, apabila memberikan penghasilan yang memadai seperti yang engkau dapat lihat dalam cerita berikut ini : Seorang petani, ketika anak petamanya lahir, menyimpan sepuluh keping perak kepada pemberi pinjaman uang dan meminta dia menyimpannya sebagai modal yang akan disewakan hingga anaknya mencapai usia dua puluh tahun. Pemberi pinjaman uang ini kemudian setuju melaksanakan hal itu, dan memberikan sewa seperempat dari modal dalam jangka waktu empat tahun. Sang Petani meminta, karena uang itu sudah dipersiapkan untuk anaknya, agar sewa yang ia terima dimasukkan sebagai tambahan modal yang ia tanamkan.” “Pada saat anak itu mencapai usia dua puluh tahun, Sang Petani berkunjung kembali kepada pemberi pinjaman uang menanyakan perihal uang peraknya. Pemberi pinjaman uang menjelaskan bahwa karena hasil sewanya telah ditambahkan pada modal yang semula ia tanam, jumlahnya bertambah lebih cepat, sepuluh keping perak yang ditanamkan sekarang telah berkembang menjadi tiga puluh setengah keping.” “Sang Petani cukup puas dengan berita itu dan karena anaknya belum membutuhkan uang, ia menempatkan kembali semua uang itu pada pemberi pinjaman uang. Ketika anak petani itu berumur lima puluh tahun, sementara itu sang ayah sudah pergi ke alam arwah, pemberi pinjaman uang mengembalikan modal yang ditanamkan beserta penghasilannya kepada anak petani itu semuanya sebanyak seratus enam puluh tujuh keping perak.” “Jadi, selama lima puluh tahun simpanan itu telah berlipat ganda beserta seluruh hasilnya sebanyak hampir tujuh belas kali lipat.” “Ini, kemudian, yang menjadi penyembuh ketiga atas kantung uangmu yang melompong : Pekerjakan setiap keping kekayaanmu sehingga mereka menghasilkan kekayaan tambahan, bagai pasukan, mereka bekerja mengalirkan penghasilan bagimu, aliran penghasilan yang tidak ada hentinya ke dalam kantung uangmu.”



Penyembuh Keempat Jaga hartamu dari kerugian “Kemalangan sangat senang pada yang berkilau. Kilauan emas yang ada dalam pundi-pundi seseorang harus dijaga dengan ketat, jika tidak dia akan segera hilang. Jadi, akan sangat bijaksana apabila kita mulai dari belajar menjaga harta yang sedikit dengan seksama, sebelum Para Dewa memberikan kekayaan yang lebih besar untuk dijaga.” Ucap Arkad, pada hari keempat di kelas. “Setiap pemilik emas akan selalu digoda berbagai kesempatan yang terlihat akan memberikannya hasil yang menggiurkan dalam bidang usaha yang terlihat sangat dapat dilaksanakan. Terkadang, sahabat bahkan keluarga bahkan mendukung usaha itu dan menganjurkan kita untuk terjun melaksanakannya.” “Hal pertama dan yang utama dalam menjalankan usaha adalah keamanan atas modal yang ditanamkan. Apakah baik apabila tergoda oleh penghasilan yang lebih besar apabila ada kemungkinan modal yang ditanamkan akan hilang? Aku bilang tidak. Hal terburuk yang akan dihadapi



dalam menjalankan usaha adalah kerugian. Pelajari dengan seksama, sebelum menanamkan kekayaanmu pada suatu usaha, yakinkan dirimu bahwa modal yang ditanamkan dapat kembali dengan selamat. Jangan tertuntun oleh bayangan keinginan hati yang indah tentang menghimpun kekayaan dengan cepat.” “Sebelum memberikan pinjaman kepada seseorang, yakinkan dirimu akan kemampuannya untuk membayar kembali dan bahwa dia memiliki reputasi yang cukup baik untuk itu, agar jangan engkau menjadi seolah-olah memberikannya hadiah dari simpanan yang telah engkau himpun dengan bersusah payah.” “Sebelum engkau menanamkan modalmu pada bidang usaha apapun kenalilah terlebih dahulu bahaya-bahaya yang mengintai dalam menjalankannya.” “Penanaman modalku yang pertama merupakan suatu tragedi pada saat itu. Simpanan yang kujaga dan himpun selama setahun yang kupercayakan kepada seorang tukang bata, bernama Azmur, yang bepergian ke negeri di sebarang lautan, dan di Tyre disepakati ia akan membelikanku permata langka dari Phunisia. Permata itu akan kami jual di Babilonia sekembalinya dari perjalanan itu, dan keuntungannya akan kami bagi bersama. Orang Phunisia memang penipu, mereka menjual kepadanya sepotong kaca yang terlihat bagai permata. Habis simpananku. Hari ini, usaha itu telah mengajarkanku bahwa betapa bodohnya memberikan kepercayaan kepada tukang batu untuk berdagang permata.” “Oleh karena itu, kuajarkan kepada engkau semua kebijakan yang telah kuperoleh dari pengalamanpengalamanku : jangan terlalu yakin terhadap hasil buah pikiranmu dalam hal menanamkan kekayaanmu, perhatikan kemungkinan-kemungkinan buruknya. Jauh lebih baik kalau engkau meninta nasihat kepada seseorang yang sudah berpengalaman dan berhasil dalam menjalankan usaha. Nasihat seperti itu akan dengan diberikan dengan cuma-cuma dan akan bernilai setara dengan emas yang sama nilainya dengan modal yang akan engkau tanam. Nilai yang sesungguhnya dari nasihat adalah menyelamatkan engkau dari derita kerugian.” “Inilah penyembuh keempat kantung uang yang kosong yang sangat penting, ia akan menjaga kantung uangmu dari kehilangan isinya setalah engkau berhasil menggemukkannya. Jaga kekayaanmu dari kerugian dengan cara menanamkannya hanya dalam usaha yang seluruh modalnya aman dan dapat engkau tarik kembali senadainya usah tersebut tidak menguntungkan. Berkonsultasilah dengan orang-orang bijak. Gunakan nasihat dari orang yang telah menunjukkan keberhasilan dalam menangani emas. Jadikan kebijaksanaan mereka menjaga kekayaanmu dari penanaman modal yang tidak aman.”



Penyembuh Kelima Jadikan tempat tinggalmu sebagai penanaman modal yang menguntungkan “Apabila seseorang telah menyisihkan untuk disimpan sepersepuluh dari penghasilannya, dan dia dapat hidup dengan sembilan bagian sisanya dengan hidup yang berkecukupan dan dari sembilan per sepuluh itu masih ada tersisa untuk dipergunakan sebagai modal usaha yang menguntungakan tanpa mengurangi keadaan kehidupannya, maka kekayaannya akan dapat lebih cepat berkembang,” itulah yang dikatakan Arkad pada pelajaran kelimanya. “Sangat banyak penduduk Babilonia ini yang hidup berumahtangga dalam rumah-rumah petak. Mereka membayar sewa yang cukup tinggi pada pemilik rumah untuk ruangan kecil yang tidak ada tempat secuilpun tersisa bagi istri-istri mereka untuk menanam bunga yang akan menggembirakan hati mereka dan tidak tersedia pula tempat bagi anak-anak mereka bermain kecuali dalam gang-gang yang sempit.” “Tidak ada satu keluargapun akan hidup dengan penuh kenyamanan kecuali ada tersedia lapangan bagi anak-anak untuk bermain dan sepetak kebun bagi istrinya untuk tidak hanya menanam bunga,



tetapi juga sedikit sayuran dan buah yang hasilnya dapat digunakan sebagai tambahan menu keluarga.” “Bagi hati seorang lelaki hal itu menambah kebahagiaan, memakan sayuran segar dan anggur dari kebun sendiri. Memiliki rumah sendiri yang dengan senang hati dirawat, menambah kebanggaan dalam hatinya dan akan semakin mendorong kegiatan usahanya. Oleh karena itu, aku sangat menyarankan agar setiap orang memiliki atap tempat mereka berlindung.” “Memiliki rumah bukanlah hal diluar kemampuan seseorang yang sangat bersungguh-sungguh. Bukankah Sang Raja telah memperluas wilayahnya dengan membangun tembok kota yang baru yang mencakup wilayah yang lebih luas yang didalamnya masih banyak tersisa tanah yang belum sepenuhnya terpakai, yang dapat dibeli dengan harga yang sedikit lebih terjangkau?” “Juga, kukatakan kepadamu, murid-muridku, pemberi pinjman uang akan dengan senang hati memberikan pinjaman untuk kepentingan pembelian tanah dan pembangunan rumah di atasnya. Engkau bisa meminjam uang untuk kepentingan yang bernilai seperti membayar pembuat bata dan kuli bangunan, apabila engkau sendiri dapat menunjukkan ada bagian dana yang cukup memadai yang engkau tanggung sendiri.” “Kemudian apabila rumah tersebut sudah jadi, engkau dapat membayar utang-utangmu secara teratur sebagaimana engkau dahulunya membayar sewa rumah petakmu. Karena setiap pembayaran akan mengurangi jumlah utangmu, dalam jangka waktu beberapa tahun utang-utang itu akan segera lunas.” “Setelah itu barulah engkau akan merasakan kegembiraan memiliki rumah sendiri yang sangat bernilai, dan biaya yang engkau keluarkan untuk itu hanya tinggal pajak yang engkau harus bayarkan kepada Sang Raja.” “Juga, apabila istrimu pergi ke sungai untuk mencuci pakaian, ia akan pulang dengan kantung kulti kambing berisi air yang akan dapat dia gunakan untuk menyirami tanaman di kebunnya.” “Akan sangat banyak berkah yang akan datang pada seseorang yang memiliki rumah sendiri. Rumah itu akan menghindarkannya dari beban sewa dan itu sangat mengurangi biaya hidupnya, membuat tersedia dana yang lebih besar bagi meningkatkan taraf kehidupannya. Inilah yang menjadi penyembuh kelima kantong uang yang kosong :Miliki rumah sendiri.”



Penyembuh Keenam Jamin penghasilanmu di masa depan “Hidup setiap orang beranjak dari masa kecilnya hingga sampai usia renta. Itulah jalan kehidupan yang tidak ada seorangpun akan mempu menghindarinya kecuali Para dewa memanggilnya lebih awal ke dunai para arwah. Oleh karena itu kukatakan bahwa seharusnyalah seseorang : membuat persiapan untuk memperolah penghasilan yang memadai bagi masa depannya, apabila ia tidak lagi muda, dan : membuat persiapan bagi keluarganya apabila mereka tidak lagi bersama mereka untuk memberi nafkah. Pelajaran ini akan mengharuskan engkau semua untuk mempersiapkan kantung uang yang penuh berlimpah sebelum kemampuanmu memperoleh penghasian surut sepanjang meningkatnya usia.” Arkad menympaikan hal itu di kelasnya pada hari keenam. “Orang yang, karena faham akan hukum kekayaan, akan memperoleh peningkatan perkembangan penghasilannya, harus memikirkan masa depannya. Ia harus merencanakan cara menanamkan modal simpanannya untuk cadangan yang diperkirakan akan tahan melalui jangka waktu yang cukup lama, dan akan tersedia baginya apabila diperlukan sesuai waktu yang diperkirakannya.” “Ada berbagai cara yang dapat ditempuh seseorang untuk memperoleh jaminan penghasilan di masa depannya. Dia dapat mencari tempat rahasia dan menanamkan emas peraknya di tempat itu, namun



begaimanapun ahlinya ia menyembunyikan hartanya paling tidak akan menjadi incaran penjarah. Dengan alasan ini aku tidak menyarakan melakukan hal itu.” “Seseorang dapat membeli tanah dan rumah dengan hartanya untuk tujuan ini. Apabila dilakukan dengan petimbangan yang tepat, nilai tanah dan rumah itu di masa yang akan datang akan terjaga, dan penghasilan yang dapat diperoleh darinya di masa yang akan datang lebih dapat diharapkan.” “Yang lainnya dapat menanamkan uangnya sebagai modal pada pemberi pinjaman uang sehingga jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Sewa uangnya ditambahkan sebagai tambahan modal yang ditanamkan akan lebih meningkatkan penghasilannya. Aku mengenal pembuat sandal, bernama Arsan, yang menjelaskan padaku belum lama berselang, bahwa setiap minggu selama delapan tahun ia telah menempatkan dua keping perak sebagai modal pada pemberi pinjaman uang. Pemberi pinjaman uang telah mengembalikan kepada Arsan perhitungan penanaman modalnya yang sangat menyenangkan hati Arsan. Jumlah penanaman kecilnya, dua keping perak setiap minggu dan hasil sewa uangnya yang disetujui sebesar seperempat nilainya setiap empat tahun, sekarang telah menjadi seribu empat puluh keping perak.” “Aku dengan bersemangat menganjurkan Arsan utnuk terus melanjutkan apa yang telah ia lakukan dengan menunjukkan nilai simpanannya dalam dua belas tahun ke depan, berdasarkan perhitunganku, apabila ia tetap melanjutkan penanaman tiap minggunya, pemberi pinjaman uang itu akan memperhitungkan penanaman modal Arsan sebesar empat ribu keping perak, jumlah yang cukup untuk mebuatnya sejahtera seumur hidupnya.” “Yakinlah, penanaman kecil yang dibuat terus menerus akan memberikan hasil yang menguntungkan, tidak ada orang yang mengharapkan akan mendapatkan masa tuanya atau masa depan keluarganya tidak terjamin, seberapa berhasil usahanya dan seberapa menguntungkan penanaman modalnya kini.” “Kulanjutkan dengan bahasan lebih mendalam berkenaan dengan hal ini. Dalam pikiranku, aku percaya bahwa suatu hari nanti orang-orang yang bijaksana akan menciptakan sesuatu rencana yang akan menjamin penghasilan di masa depan apabila sesorang meninggal, penghasilan tersebut di dukung oleh banyak sekali orang yang akan membayarnya dalam jumlah yang sedikit secara teratur, sehingga jumlah yang cukup beasar akan dapat diterima oleh keluarga yang ditinggalkan ke alam arwah. Hal inilah yang menurut pendapatku sangat bisa diterima dan sangat kuanjurkan untuk dilakukan. Tetapi saat ini hal itu tidak mungkin dilakukan karena kegiatan itu harus berlanjut melebihi umur manusia bahkan melebihi usia kegiatan usaha-usaha yang selama ini ada di Babilonia. Kegiatan atas usaha seperti itu haruslah berusia panjang dan dapat bertahan lama seperti usia sebuah kerajaan. Suatu hari aku yakin hal ini akan ada yang melaksanakannya karena sangat bermanfaat bagi banyak orang, karena meski dengan pembayaran berkala yang kecil, ia akan menyediakan penghasilan yang cukup besar bagi keluarga yang ditinggalkan ke alam arwah.” “Tetapi, karena kita hidup di masa kita sendiri, bukan di masa yang akan datang, kita hanya dapat manfaatkan setiap bentuk jalan yang tersedia saat ini bagi mencapai tujuan kita. Oleh karena itu aku menyarankan kepada setiap orang, agar mereka, dengan cara yang bijak dan yang telah difikirkan dengan mendalam, mempersiapkan diri bagi kosongnya kantung uang mereka di masa-masa hidupnya menjelang senja. Karena kantung uang yang kosong bagi orang yang sudah tidak lagi mampu menghasilkan pendapatan, karena tuanya, atau keluarga yang ditinggalkan karena telah mendahuluinya, sangat merupakan tragedi yang pahit.” “Inilah, penyembuh keenam bagi kantung uag yang kosong. Persiapkan sedini mungkin bagi kebutuhan masa tuamu dan persiapkan juga perlindungan bagi keluargamu.”



Penyembuh Ketujuh Tingkatkan kemampuan memperoleh penghasilan



“Hari ini kukatakan kepadamu, murid-muridku, tentang satu penyembuh utama bagi kantung uangmu yang kosong. Tetapi, aku tidak membicarakan tentang uang dan kekayaan, aku akan mebicarakan tentang dirimu, tentang seseorang di balik jubah beraneka warna yang duduk didepanku sat ini. Aku akan menyampaikan kepadamu tentang fikiran dan kehidupan seseorang yang mendukung atau menghambat keberhasilan mereka.” Begitulah Arkad membuka perckapan di depan kelasnya pada hari ketujuh. “Beberapa wkatu yang lalu datang kapadaku seorang anak muda mengajukan pinjaman uang. Ketika kutanyakan kepadanya keperluan apa yang mendesaknya melakukan pinjaman uang, ia mengeluhkan tentang penghasilannya yang tidak dapat memenuhi biaya hidupnya. Selanjutnya kujelaskan kepadanya, apabila begitu keadaannya, ia merupakan pelanggan yang buruk bagi pemberi pinjaman uang, karena ia tidak memiliki kelebihan uang atas seluruh penghasilannya, dan pasti tidak akan mampu membayar kembali pinjaman itu.” “’Apa yang engkau perlukan, anak muda,’ kukatakan padanya, ‘adalah berusaha memperoleh penghasilan yang lebih banyak. Apa yang akan engkau lakukan untuk mendapat penghasilan tambahan?’ “’Apa yang bisa kulakukan,’ jawabnya. ‘Enam kali dalam dua purnama saya sudah meminta pada tuanku untuk menambah penghasilanku, tapi tidak pernah dikabulkan. Tidak ada orang yang lebih sering dari diriku meminita tambahan penghasilan.’” “Kita tersenyum mendengar kesederhaan ini, namun anak muda itu memiliki sesuatu persyaratan yang utama bagi usaha meningkatkan penghasilannya. Dalam dirinya ada keinginan hati yang kuat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, sebuah niat yang pas dan sangat dianjurkan untuk dimiliki.” “Pencapaian selalu didahului dengan keinginan hati. Keinginan hatimu harus kuat dan jelas.” Keinginan hati yang umum, tidak jelas, merupakan angan-angan semata. Seseorang yang berkeinginan untuk menjadi orang kaya, keinginan hati itu tidak berguna sama sekali. Tetapi, apabila seseorang berkeinginan untuk memperolah lima keping emas, itu baru jelas dan dapat diusahakannya untuk dipenuhi. Setelah ia tekadkan tujuannya untuk memperoleh lima keping emas, selanjutnya ia akan dapat melakukan hal yang serupa untuk memperoleh sepuluh, kemudian untuk dua puluh keping dan berikutnya seribu keping dan, tanpa disadari, ia telah menjadi kaya. Dengan belajar mencapai tujuan hatinya yang kecil, ia telah melatih dirinya untuk mencapai tujuan lain yang lebih besar. Itulah proses yang akan menghimpun kekayaan bersamanya: pertama dalam jumlah sedikit, selanjutnya dalam jumlah yang lebih besar sejalan dengan perkembangan orang itu belajar dan akhirnya menjadi pengusaha yang lebih berkemampuan dan tangguh.” “Keinginn hati harus sederhana dan jelas. Tujuannya menjadi tidak jelas kalau terlalu banyak dan ruwet atau di luar kemampuan orang tersebut untuk mencapainya.” “Ketika seseorang meningkatkan dan menyempurnakan kemampuannya begitu pula kemampuannya untuk memperoleh penghasilan akan ikut meningkat. Dahulu pada saat awal aku menjadi penulis lempeng tanah liat, kuhasilkan beberapa keping perunggu sehari, kuperhatikan pekerja lain ada yang melakukan hal yang lebih baik dan berpenghasilan lebih banyak dariku. Lalu, aku bertekad untuk berusaha memperoleh penghasilan yang tidak bisa dilebihi dari pekerja lainnya. Tidak terlalu lama bagiku untuk mengetahui apa penyebab mereka memperoleh keberhasilan. Minat yang lebih banyak pada pekerjaanku, lebih tekun malakukan tugasku, bersungguh-sungguh dalam usahaku, akhirnya, tidak ada orang yang dapat menulis lempeng lebih banyak dari yang aku tulis dalam satu hari. Bersamaan dengan meningkatnya keahlianku penghasilanku pun bertambah dengan sendirinya, tanpa perlu aku enam kali mendatangi tuanku untuk meminta tambahan penghasilan.” “Semakin banyak ilmu yang kita miliki, semakin besar yang dapat kita hasilkan. Orang yang mencari keahlian dan belajar lebih banyak dalam bidang usahanya akan diganjar dengan penghasilan yang lebih besar. Apabila dia seniman, ia akan belajar cara-cara dan alat-alat yang paling baik dalam bidangnya. Apabila dia bergerak di bidang hukum atau pengobatan, ia akan berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan ahli di bidangnya. Apabla ia pedagang, ia akan terus mencari barang yang lebih baik yang dapat dibeli dengan harga yang lebih rendah.”



“Kehidupan dan ilmu seseorang selalu berubah dan menjadi lebih baik karena orang ingin selalu mencari keahlian yang labih sempurna, agar dapat memberikan sesuatu yang lebih baik pada lawan usahanya, itu yang sangat ia perlukan. Oleh karena itu kuminta agar setiap orang untuk selalu berada di baris terdepan dalam gerak kemajuan di bidangnya masing-masing, jangan berhenti, kalau tidak ia akan tertinggal di belakang.” “Bayak hal yang dihadapi seseorang yang dapat memperkaya hidupnya dengan perolehan pengalaman. Hal-hal yang berikut ini, adalah hal yang musti dilakukan seseorang apabila ia ingin menghargai dirinya sendiri : “Ia harus membayar utangnya tepat waktu sesuai dengan kemampuannya, tidak membeli susuatu yang tidak mampu ia bayar.” “Ia harus menjaga keluarganya sehingga mereka akan mengatakan hal yang baik tentang dia.” “Ia harus membuat catatan warisan tertulis agar, dalam hal Para Dewa memanggilnya, pembagian kekayaannya dapat dilakukan dengan tanpa pertikaian.” “Ia harus memiliki rasa kasihan pada orang yang terluka atau tertimpa bencana dan membantu mereka dalam batas-batas yang wajar. Dia juga harus melakukan hal-hal yang baik sepenuh hati bagi orang-orang yang bersikap baik kepadanya.” “Jadi, penyembuh ketujuh bagi kantung uang yang kosong adalah tanam dan pupuk kekuatanmu, terus belajar dan menjadi lebih bijaksana, menjadi lebih ahli di bidangnya, dan bertindak sebagaimana engkau menghargai dirimu sendiri. Dengan begitu engkau akan memperoleh kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam usaha mencapai keinginan hatimu yang telah engkau tetapkan dengan seksama.”



==== “Itulah ketujuh penyembuh kantung uang yang kosong, yang, dirangkum dari pengalaman panjang kehidupan yang berhasil, yang sangat kuanjurkan pada orang yang ingin mencari kekayaan.” “Di Babilonia ini sangat banyak sekali emas, murid-muridku, lebih banyak dari yang engkau pernah bayangkan. Semuanya berlimpah ruah.” “Berusahalah engkau menerapkan kebenaran ini, maka engkau akan sejahtera dan menjadi kaya raya, karena itu memang hakmu.” “Berusahalan engkau dan ajarkan pengetahuan ini agar setiap warga kerajaan ini dapat juga hidup berkecukupan, tidak kurang suatu apa, dan hidup penuh berkelimpahan di kota kita tercinta ini.”



IV : BERTEMU MUKA DENGAN DEWI KEBERUNTUNGAN BERTEMU MUKA DENGAN DEWI KEBERUNTUNGAN



”Apabila seseorang beruntung, tidak ada yang dapat memperkirakan sampai seberapa jauh, seberapa besar keberuntungannya. Benamkan dia ke dalam Sungai Furat, dan tanpa diduga dia akan muncul berenang ke tepian dengan mutiara di tangannya.” - Pepatah Babilonia



Keinginan untuk mendapat keuntungan merupakan hal yang manusiawi dan lumrah. Sama kuatnya hasrat itu di dalam dada orang-orang Babilonia pada masa ribuan tahun lalu dengan di dalam hati orang-orang yang hidup pada zaman kini. Kita semua mengharapkan dalam hidup ini akan selalu disentuh berkah dewi keberuntungan. Apakah ada cara, bagaimana agar kita dapat menemuinya dan menarik, tidak hanya perhatiannya, tetapi juga berkah yang menyertainya? Apakah ada cara untuk menarik perhatian dewi keberuntungan? Itulah yang justru ingin diketahui oleh orang-orang Babilonia pada masa itu. Itulah yang sebenarnya mereka putuskan untuk ditelusuri. Mereka orang-orang cerdas dan pemikir tangguh. Itulah juga, yang dapat menjelaskan mengapa kota mereka dikenal sebagai kota terkaya dan terkuat pada masa itu. Pada masa dahulu, yang sudah lama sekali itu, tidak ada sekolah ataupun perguruan tinggi. Kendatipun demikian, mereka memiliki pusat pembelajaran yang sangat mendukung perkembangan ilmu dan kehidupan. Di antara menara dan bangunan tinggi di Babilonia terdapatlah satu bangunan penting yang setara pentingnya dengan Istana Sang Raja, Taman Gantung dan Kuil Para Dewa. Engkau tidak menemukan bangunan itu ditulis dalam buku-buku sejarah, besar kemungkinan tidak pernah disebut sama sekali, namun demikian, ia memberikan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan keilmuan dan kesejahtearan masyarakat pada masa itu. Gedung itu adalah Kuil Pembelajaran, tempat kebijaksanaan masa lalu dipelajari dan dibahas oleh para guru yang penuh minat dan tempat masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat pada saat itu dibahas bersama dalam majelis terbuka. Dalam lingkungan dinding kuil itu semua orang dianggap setara. Budak-budak sederhana sekalipun dapat menyanggah, dengan bebas tanpa rasa takut, pendapat seorang pangeran dari keluarga kerajaan. Di antara orang-orang yang sering berulang kali berkunjung ke Kuil Pembelajaran itu, ada seorang kaya yang bijaksana bernama Arkad, yang digelari orang terkaya di Babilonia. Arkad memiliki ruangan khusus, yang hampir setiap petang serombongan orang, sebagian sudah cukup tua, sebagian masih remaja, sebagian besar berumur setengah baya, berkumpul untuk membahas, mendiskusikan dan saling berdalil atas hal-hal yang menarik perhatian mereka. Disanalah, seandainya dapat, akan kita dengar pembicaraan yang membahas mengenai cara memperoleh nasib baik. Mentari baru saja terbenam seperti bola api merah memancarkan sinarnya menembus kabut senja yang tersaput debu gurun ketika Arkad melangkah menuju undak-undak tempat ia biasanya duduk. Sudah ada delapan puluh orang menunggu kedatangannya, bersimpuhan pada ambal kecil beratur di atas lantai. Masih ada lagi beberapa peserta lain yang datang kemudian.



“Apa yang akan kita bicarakan malam ini,” tanya Arkad. Dengan sedikit ragu, seorang penenun permadani yang jangkung mengajukan pendapatnya, seraya berdiri, sesuai kebiasaan di situ. “Saya mempunyai satu masalah yang sangat ingin agar dapat dibicarakan dalam majelis ini, namun ragu menawarkannya karena khawatir akan terasa lucu dan remeh bagimu, Arkad, dan semua sahabat baikku di sini.” Karena di dorong-dorong oleh Arkad, dan beberapa peserta lainnya, ia melanjutkan. “Hari ini saya sangat beruntung, karena saya menemukan sekantung uang yang di dalamnya terdapat kepingkeping emas. Untuk terus mendapatkan keberuntungan seperti ini sangat saya inginkan. Saya kira semua orang akan berfikiran sama dengan saya. Jadi kutawarkan agar kita membicarakan bagaimana caranya agar keberuntungan datang mengunjungi kita atau dapat menemukan cara membujuk keberuntungan mendatangi seseorang.” “Sebuah masalah yang sangat menarik sudah diajukan,” timbal Arkad, “sesuatu yang cukup bernilai untuk kita bahas di sini. Bagi sebagian orang, nasib baik dikatakan sebagai kejadian yang, bagaikan kecelakaan, akan diperoleh seseorang begitu saja tanpa tujuan dan tanpa alasan. Sebagian lainnya percaya penganugerah semua keberuntungan itu adalah dewi paling dermawan kita, Ashtar, yang akan selalu siaga menganugerahkan hadiah dengan murah hatinya pada siapa saja yang menyenangkan hatinya. Berbicaralah, sahabat-sahabatku, bagaimana pendapatmu, kita akan mencari tahu apakah ada cara agar nasib baik dapat kita bujuk untuk mengunjungi kita semuanya?” “Ayo! Ya! Boleh!” tanggap kelompok yang terus bertambah yang terlihat begitu ingin mendengarkannya. Arkad melanjutkan, “Untuk memulai pembicaraan kita, ada baiknya kita mendengar dari orang-orang yang hadir di sini yang pernah mengalami pengalaman yang sama yang telah dialami penenun permadani, menemukan atau menerima benda berharga atau perhiasan, dengan tanpa usaha apapun yang dilakukan.” Keadaan menjadi hening sejnak, setiap orang saling toleh menoleh menunggu sesorang menjawabnya tetapi tidak seorangpun yang unjuk diri. “Wah, tidak seorangpun?” tanya Arkad, “jadi, jarang sekali terjadi nasib baik seperti itu. Apakah ada, siapa, sekarang yang dapat memberi saran kemana kita akan mencari lebih jauh, guna mendalami masalah ini?” “Nah, kalau begitu boleh lah,” kata seorang anak muda yang berjubah lumayan bagus seraya berdiri. “Apabila seseorang mebicarakan masalah nasib baik, bukankah sama halnya dengan orang yang fikirannya tertuju pada meja perjudian? Bukankah di sana dapat kita jumpai banyak orang-orang yang mengharapkan dewi keberuntungan menganugerahkannya hasil yang berlimpah?” Ketika ia kembali duduk seseorang menegahnya, “Jangan berhenti! Lanjutkan ceritamu! Ceritakan pada kami, bukankah engkau mengharapkan keberuntunggan sang dewi di atas meja judi? Apakah sang dewi menggelindingkan dadu sesuai dengan yang engkau perkirakan sehingga engkau dapat mengalahkan sang bandar, atau sebaliknya dia memenangkan bandar sehingga keping-keping perak yang kau peroleh dengan susah payah ludes di sana?” Anak muda itu ikut tertawa bersama orang yang hadir di majelis itu, kemudian menjawab, “Saya tidak membantah, bahwa, kelihatannya Sang Dewi bahkan tidak tahu saya ada di meja judi itu. Tidak pernah menang. Bagaimana dengan saudara-saudara semua? Apakah engkau menemukan dia menunggumu di tempat perjudian itu untuk membantumu memperoleh keuntungan dari perjudian? Saya sangat ingin mendengarnya sekaligus ingin mempelajarinya.” “Permulaan yang bagus,” tukas Arkad. ”Kita berkumpul di sini utnuk mempertimbangkan segala sisi pertanyaan atas masalah yang kita bahas. Mengabaikan meja judi sama saja artinya mengabaikan hasrat asli setiap orang, kesenangan untuk mengambil kesempatan dengan sedikit keping perak dengan harapan memenangkan sejumlah besar keping emas.”



“Percakapan tentang judi ini mengingatkanku pada pacuan kereta kuda kemarin,” ujar seseorang pendengar. “Apabila Sang Dewi mengunjungi rumah judi, tentunya ia juga tidak melewatkan pacuan kereta yang berkilau dan kuda-kuda dengan mulut berbusa yang bahkan memberikan lebih banyak hiburan. Katakan pada kami apa adanya, Arkad, apakah Sang Dewi membisikkan padamu agar engkau menempatkan taruhanmu pada kuda abu-abu dari Niniveth kemarin? Aku berdiri tepat di belakangmu dan sangat tidak percaya engkau berani menempatkan taruhanmu pada kuda abu-abu itu. Padahal engkau lebih tahu, sama seperti yang kami ketahui, bahwa tidak ada peserta dari seluruh Assiria yang dapat mengalahkan kuda pacuan Babilonia dalam setiap pacuan.” “Apakah dewi keberuntungan membisikkan padamu untuk memilih kuda abu-abu karena pada belokan terakhir kuda hitam akan terbalik dan menghalangi lajur kuda pacuan Babilonia sehingga kuda abu-abu dapat memenangkan pacuan itu meski kemampuannya diragukan?” Arkad tersenyum dengan senangnya pada orang yang menggodanya itu. “Apa alasan kita untuk percaya bahwa Sang Dewi akan sangat tertarik pada taruhan yang kita pasang pada pacuan kereta kuda? Bagiku Sang Dewi adalah dewi cinta dan kehormatan yang kesenangannya membantu siapapun yang memerlukan bantuan dan memberikan anugerah kepada siapapun yang layak menerimanya. Aku mencarinya, bukan dimeja judi atau pacuan kuda, tempat lebih banyak orang kehillangan keping-keping emas dari pada mendapatkannya, tetapi di tempat lain, tempat orangorang berkarya diberikan nilai lebih pada hasil kerjanya dan lebih pantas diberikan anugerah.” “Tempat petani membajak tanah, pedagang berdagang dengan jujur, dan dalam setiap bidang pekerjaan, selalu ada kesempatan memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha. Mungkin tidak setiap waktu mereka akan memperoleh anugerah karena kadang-kadang tindakannya mungkin keliru dan kala lainnya angin dan cuaca mengalahkan usahanya. Namun, apabila mereka tekun, mereka biasanya akan dapat mengharapkan hasil yang baik, Hal ini jelas, bahwa kesempatan memperoleh penghasilan selalu ada di fihak yang selalu berusaha. “Tetapi, apabila seseorang berjudi, keadaannya menjadi terbalik, karena kesempatan memperoleh keuntungan baginya jauh lebih kecil dari pada kesempatan bandar memperoleh keuntungan. Permainan itu telah diatur sedemikian rupa sehingga akan selalu menguntungkan sang bandar. Itulah usahanya, yang telah direncanakan secara cermat sehingga dapat memberikan keuntungan dari keping-keping yang dipertaruhkan para penjudi. Hanya sedikit penjudi yang menyadari betapa pastinya keuntungan bagi bandar dan betapa tidak pastinya kemungkinan penjudi untuk menang.” “Sebagai contoh, coba kita pelajari penjudi yang bermain dadu. Setiap kali dadu digelindingkan kita menempatkan pasangan untuk angka yang muncul di atas. Apabila angka tersebut cocok dengan yang dipertaruhkan kita memperoleh bayaran empat kali jumlah yang dipertaruhkan. Apabila selain angka itu yang muncul, kita kalah, keping yang kita pertaruhkan hilang. Kalau kita perhitungkan angka-angka yang muncul, maka setiap putaran dadu kita memiliki lima kemungkinan rugi, tetapi karena kecocokan angka dibayar empat kali lipat, kita memperoleh kemungkinan menang hanya empat kali. Setiap malam perjudian sang bandar dapat mengharapkan memperoleh keuntungan seperlima dari seluruh keping yang dipertaruhkan. Dapatkah seseorang berharap memperoleh keuntungan lebih dari sekali-sekali menghadapi kecilnya kemungkinan yang telah dirancang agar penjudi akan mengalami kerugian seperlima dari taruhannya?” “Memang betul itu, tetapi, beberapa orang memperoleh kemenangan yang cukup besar sesekali,” ujar salah seorang pendengar. “Benar, mereka menang,” lanjut Arkad. “Menyadari hal ini, pertanyaan berikut muncul di kepalaku, apakah uang yang diperoleh dengan cara itu memberikan nilai yang langgeng pada yang memperoleh keberuntungan itu. Di antara kenalanku, banyak yang merupakan orang berhasil di Babilonia, tetapi di antara mereka aku tidak dapat menemukan seorangpun yang bagian dari keberhasilannya diperoleh dari sumber seperti itu.” “Engkau yang berkumpul di majelis ini, malam ini, mungkin mengenal lebih banyak lagi warga masyarakat yang berada. Akan sangat menarik bagiku untuk mengetahui apabila ada beberapa warga yang berhasil itu memperoleh kekayaannya mereka himpun dari meja judi. Coba, setiap yang hadir, sebutkan siapa yang engkau ketahui? Bagaimana?”



Setelah beberapa masa hening, seorang yang biasanya suka bercanda memecah kesunyian, “Apakah yang engkau tanyakan termasuk Sang Bandar?” “Kalau engkau tidak dapat menemukan yang lain,” sahut Arkad. “Apabila tidak seorangpun di antara engkau dapat menyebutkan yang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah ada yang terus menerus memperoleh kemenangan sehingga agak enggan menyebutkan sumber kekayaannya?” Tantangannya dijawab oleh beberapa gerutuan dari barisan belakang dan menjalar menjadi bahan tertawaan. “Kelihatannya kita tidak mencari nasib baik pada tempat semacam itu, sebagai tempat yang selalu dikunjungi Sang Dewi,” lanjutnya. “Jadi, mari kita jelajahi tempat lainnya. Kita tidak menemukan Sang Dewi pada orang yang menemukan kantung uang yang hilang. Tidak juga kita temukan di meja perjudian. Atau, juga, di pertaruhan pacuan kereta kuda, harus kuakui, di pacuan itu, aku lebih banyak kehilangan keping emas perakku dari pada memenanginya.” “Sekarang, coba kita pertimbangkan kegiatan dan usaha kita masing-masing. Bukankah kita tidak menganggap kegiatan usaha yang menguntungkan sebagai nasib baik melainkan sebagai hasil kerja keras kita semata? Aku cenderung menganggap kita telah mengabaikan nasib baik yang kita peroleh sebagai anugerah Sang Dewi. Mungkin dia benar-benar telah membantu kita apabila kita tidak menghargai kedermawanannya. Siapa yang ingin meneruskan pembicaraan lebih lanjut majelis ini?’ Berdirilah seorang saudagar tua, sambil merapikan jubah putihnya yang indah. “Dengan izin engkau, sahabatku yang mulia, Arkad, aku mengajukan tawaran. Bila, seperti yang engkau telah katakan, kita mengganggap keberhasilan kita sebagai hasil usaha dan kerja keras kita sendiri, mengapa tidak kita amati keberhasilan yang nyaris kita peroleh, namun gagal terjadi, yang seharusnya dapat memberikan kita keuntungan yang lumayan. Pasti akan sangat jarang contoh-contoh nasib baik apabila kita tidak pernah gagal dan selalu berhasil dalam berusaha. Karena apabila tidak ada penghasilan yang kita peroleh dari usaha kita maka kita akan mengganggap kegagalan itu bukan imbalan usaha kita. Pasti banyak yang hadir di sini memiliki pengalaman serupa itu untuk dibahas bersama.” “Benar-benar suatu pendekatan yang bijaksana,” setuju Arkad. “Siapa diantara engkau semua yang memperoleh nasib baik yang hampir saja dapat engkau genggam, menguap begitu saja di depan wajahmu?” Beberapa lengan diacungkan, satu di antaranya dari sang saudagar tua. Arkad memberi isyarat kepadanya agar berbicara. “Seperti yang engkau sarankan, coba kami dengar pengalamanmu sendiri.” “Aku akan sangat senang menceritakannya,” lanjut dia, “suatu hal yang sangat berkaitan dengan betapa dekatnya nasib baik datang menghampiri seseorang dan betapa butanya orang itu membiarkan nasib baik itu berlalu meninggalkannya dengan beban kerugian dan penyesalan kemudian yang tidak berguna.” “Beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih sangat muda, baru saja menikah dan mulai berusaha mencari nafkah, suatu hari, datanglah ayahku menganjurkan dengan sangat agar aku melakukan penanaman modal usaha. Anak dari seorang sahabat baiknya telah menemukan dan tertarik pada sebidang tanah tandus tidak berapa jauh di luar dinding kota kita. Tanah itu letaknya jauh lebih tinggi dari saluran air, sehingga tidak ada air yang mengalir di atasnya.” “Anak sahabat ayahku itu memiliki rencana untuk membeli tanah itu, membangun tiga kincir air besar yang akan digerakkan oleh kerbau dan selanjutnya mengairi tanah itu agar dapat dibudidayakan. Apabila hal itu terlaksana, ia merencanakan pula untuk membagi tanah itu kedalam luasan-luasan yang lebih kecil untuk dijual kepada warga kota untuk dijadikan kebun.” “Anak sahabat ayahku tidak memiliki emas yang cukup untuk melaksanakan rencananya itu. Seperti halnya aku, ia masih muda dan hanya berpenghasilan yang sedikit lebih dari memadai. Ayahnya, seperti juga ayahku, memiliki keluarga yang besar dan berpenghasilan tidak berlebihan. Ia, kemudian, memutuskan untuk mengajak beberapa rekannya membantu mewujudkan rencana itu



bersamanya. Terkumpullah kelompok dengan dua belas anggota, setiap orangnya harus berpenghasilan dan setuju untuk menyisihkan sepersepuluh dari penghasilannya kedalam kelompok itu sampai tanah tersebut siap dijual. Selanjutnya semuanya akan memperoleh bagian keuntungan sebanding dengan modal yang mereka masing-masing tanamkan.” “’Engkau, anakku,’ kata ayahku, ‘saat ini berada pada masa mudamu. Aku sangat inigin melihat engkau mulai menghimpun kekayaan bagi dirimu sendiri sehingga engkau akan menjadi orang yang terpandang di antara warga masyarakat. Aku ingin melihat engkau memperoleh keuntungan dari pengalaman dan kesalahan akibat kurangnya pengetahuan ayahmu.” “’Memang itulah juga yang sangat saya inginkan, ayahku,’ jawabku.’” “’Sekarang, dengar nasihatku. Lakukan apa yang seharusnya telah aku lakukan saat aku seusiamu. Sisihkan sepersepuluh dari penghasilanmu dan tanamkan pada penanaman modal yang benar. Dengan sepersepuluh penghasilanmu itu, dan apa yang engkau peroleh dari hasil penanamannya, engkau dapat, sebelum usiamu mencapai umurku saat ini, menghimpun bagi dirimu sendiri harta yang akan sangat bernilai.” “’Kata-katamu merupakan kata-kata yang bijaksana, ayahku. Aku sangat menginginkan kekayaan. Tetapi ada sangat benyak keperluan yang harus kupenuhi dengan penghasilanku yang cekak ini. Oleh karena itu, aku agak ragu menjalankan apa yang engkau nasehatkan padaku. Aku masih muda. Masih banyak waktu.’” “’Itulah yang ada dalam fikiranku pada saat aku seusiamu, ternyata, tahun-tahun berlalu dan aku masih juga belum memulainya.’” “’Kita hidup dalam masa yang berbeda, ayahku. Aku pasti mampu menghindarkan diriku dari kesalahan seperti yang engkau lakukan.’” “’Kesempatan telah berdiri di depanmu, anakku. Ia menawarkan usaha yang dapat membawamu ke kekayaan. Aku minta padamu, jangan tunda lagi. Pergilah kamu besok pagi ke anak sahabatku itu dan tawarkan padanya sepersepuluh dari penghasilanmu untuk ikut serta dalam rencana usahanya. Datanglah tepat waktu besok pagi. Kesempatan tidak menunggu-nunggu seorangpun. Hari ini ia berdiri di depanmu; segara setelah itu ia pergi. Jadi, jangan menunda!’” “Meskipun telah disarankan dengan sepenuh hati ayahku, aku ragu dan enggan. Ada jubah baru yang indah yang baru saja datang dibawa para pedagang dari Timur, jubah yang berkilau mewah yang istriku yang baik dan kau sendiri merasa kami harus memilikinya satu seorang. Seandainya aku setuju untuk menanamkan sepersepuluh dari penghasilanku kedalam usaha itu, kami tentu harus menahan keinginan untuk memiliki jubah itu, juga kepuasan-kepuasan lainnya yang benar-benar kami inginkan bisa didapat dengan jumlah itu.Kutunda keputusan untuk menanamkan uangku pada usaha itu dan terlambat akhirnya, disusul kemudian oleh penyesalan-penyasalan yang menyertainya. Usaha tersebut ternyata sangat berhasil, bahkan melebihi semua yang diramalkan orang-orang. Itulah ceritaku, menggambarkan bagaimana aku mempersilakan nasib baik berlalu dari hadapanku.” “Dalam cerita itu dapat kita lihat bagaimana : nasib baik menunggu di hadapan seseorang yang memanfaatkan kesempatan,” begitu komentar seorang penghuni gurun yang berwajah kehitaman. “Untuk menghimpun kekayaan selalu ada awalnya. Permulaan, mestinya hanya akan berupa beberapa keping emas atau perak yang orang itu sisihkan dari penghasilanna dilanjutkan dengan pemanfaatan simpanan itu bagi usaha lainnya. Aku sendiri, memiliki banyak ternak. Usaha ternakku yang pertama kumulai ketika aku masih kanak-kanak lagi dengan membeli seeekor anak sapi seharga sekeping perak. Itulah, anak sapi yang kujadikan awal kekayaanku, sangat berarti bagiku.” “Untuk mengambil langkah pertama menghimpun kekayaan sama halnya memperoleh nasib baik bagi setiap orang. Pada semua orang, mengambil langkah pertama, yang mengubah dirinya dari seseorang yang memperoleh penghasilan dari usaha atau kegiatannya menjadi seseorang yang memperoleh bagian dari penghasilan yang dihasilkan emas miliknya, hal itu sangat penting. Beberapa orang, beruntung, melakukannya ketika masih berusia muda sehingga mampu mendahului mereka yang memulainya setelah menjelang setengah baya atau orang-orang yang kurang beruntung, seperti ayah saudagar ini yang tidak pernah memulainya.”



“Seandainya sahabat kita, saudagar ini, mengambil langkah itu pada usia mudanya ketika kesempatan itu berdiri dihadapannya, hari ini ia akan menghimpun kekayaan dari yang dimilikinya saat ini. Seandainya nasib baik yang mendatangi sahabat kita ini, dan penenun permadani, membuat mereka mengambil langkah meraih kesempatan itu, sudah dapat dipastikan itu akan menjadi awal datangnya nasib-baik dan munculnya kesempatan-kesempatan lebih besar lainnya.” “Terima kasih, terima kasih! Saya juga ingin berbicara.” Seorang asing dari negeri tetangga berdiri. “Saya orang Syria. Saya tidak begitu mahir berbicara dalam bahasa Babilonia. Saya ingin menyebut sahabat ini, sang pedagang, dengan suatu sebutan. Mungkin akan terdengar agak kurang sopan, sebutan ini. Tapi akau akan menyebutnya demikian. Tetapi, aduh, aku tidak mengenal sebutan ini dalam bahasamu. Jika kusebutkan dalam bahasa Syria, engkau tidak akan mengerti. Coba tolong, orang-orang yang baik di sini, beritahukan aku sebutan bagi orang yang mengabaikan berbuat sesuatu yang sesungguhnya sangat baik baginya.” “Penyia-nyia kesempatan,” kata seseorang. “Ya, itu dia,” tanggap orang Syria itu, sambil menggarak-gerakkan tangannya dengan ria, “ia tidak menanggapi kesempatan ketika kesempatan itu hadir di hadapannya. Kesempatan itu menunggu. Dia bilang aku sibuk saat ini. Lain kali, barangkali kita bisa beramah tamah. Kesempatan, tidak akan menunggu orang yang lamban seperti itu. Kesempatan beranggapan apabila apabila seseorang ingin beruntung ia akan bergerak seketika. Setiap orang yang tidak bergerak cepat ketika kesempatan tiba, dialah penyia-nyia kesempatan sepeti sahabat kita ini, sang saudagar.” Sang saudagar berdiri dan dengan santunnya membungkuk hormat menanggapi tertawaan hadirin. “Aku senang dan sangat menghargai engkau, orang asing dalam kota ini, yang segan tidak sama sekali mengemukakan kebenaran.” “Sekarang mari kita dengar cerita yang lain tentang masalah kesempatan ini. Siapa lagi yang memiliki pengalaman yang dapat diberikan pada kita?” pinta Arkad. “Saya punya,” jawab seorang berjubah merah umur setengah baya. “Saya pedagang ternak, umumnya unta dan kuda. Kadang-kadang saya juga membeli biri-biri dan kambing. Cerita yang akan kusampaikan dengan seungguhnya ini akan menggambarkan bagaimana kesempatan datang pada suatu malam ketika saya samasekali tidak mengharapkannya. Mungkin karena tidak diharapkan itu, aku membiarkannya berlalu. Engkau semualah yang akan menilainya.” “Pada suatu malam, ketika aku kembali ke kota, setelah malakukan perjalanan mencari unta dagangan selama sepuluh hari yang mengecewakan, aku sedikit gusar ketika medapatkan gerbang kota sudah ditutup dan terkunci. Sementara budak-budakku mendirikan tenda untuk bermalam yang mungkin akan kami lewati dengan hanya sedikit sisa makanan tanpa air, aku didatangi seorang peternak yang sudah agak tua, yang sama seperti kami, terkunci di luar gerbang kota. “’Salam Tuan,’ ia menyapaku, ‘dari penampilanmu, engkau pasti pedagang ternak. Apabila memang benar begitu, aku ingin menjual kepadamu sekawanan biri-biri unggul yang baru aku datangkan ke sini. Susahnya, istriku yang baik sedang terbaring sakit terkena demam. Aku harus segera kembali ke peternakanku. Belilah olehmu biri-biriku agar aku dan rombongan dapat segera naik ke unta kami dan segera kembali tanpa menunda-nunda lagi.’” “Ketika itu malam sangat gelap sehingga aku tidak dapat melihat kawanan biri-biri itu, tetapi dari suara-suara embekannya aku tahu pasti itu kawanan biri-biri yang bagus. Setelah menyia-nyiakan sepuluh hari tanpa hasil unta dagangan, aku menjadi sangat tertarik untuk menerima tawaran itu. Dalam kerisauannya, ia menawarkan harga yang paling baik. Aku menerimanya, dengan harapan budak-budakku akan menggiring kawanan biri-biri itu melewati gerbang kota besok pagi dan menjualnya dengan keuntungan yang lumayan besar.” “Segera saja kesepakatan di dapat, kupanggil budak-budakku untuk membawa obor agar kami dapat menghitung kawanan biri-biri itu yang dikatakan pedagang itu ada berjumlah sembilan ratus ekor. Aku tidak akan memberatkanmu, sahabatku, dengan tambahan penjelasan betapa tidak mungkinnya menghitung begitu banyak biri-biri yang sedang memamhbiak, kehausan, yang tidak dapat



ditenangkan dan terus berdesak-desakan. Penghitungan tidak mungkin dapat dilakukan. Oleh karena itu dengan tegas kuberitahukan pada peternak itu aku akan menghitungnya nanti di siang hari dan akan membayarnya setelah jelas jumlah perhitungannya. “’Tolonglah saya, Tuan yang mulia,’ pohonnya,’cukup bayar saya dua pertiga dari harga yang disepakati malam ini agar aku dapat segera kembali ke peternakanku. Akan kutinggalkan budakku yang paling pintar dan paling terpelajar, untuk membantu melakukan perhitungan di siang nanti. Ia dapat dipercaya dan engkau dapat membayar sisa kekurangannya pada dia.’” “Tetapi aku bersikeras dan menolak melakukan pembayaran pada malam itu. Kesepakatan batal terjadi. Keesokan paginya, sebelum aku bangun, gerbang kota sudah dibuka dan empat pembeli bergegas berdatangan mencari ternak dagangan. Mereka sangat bersemangat dan bersedia melakukan pembelian dengan harga yang sangat tinggi karena adanya berita akan adanya serangan ke kota dan warga kota sedang dalam keadaan siaga terhadap ancaman itu, tambahan lagi persediaan makanan saat itu sedang menipis. Hampir tiga kali lipat harga yang peternak itu tawarkan kepadaku, itulah jumlah yang akhirnya diterima sang peternak atas biri-birinya. Begitulah, nasib baik yang jarang terjadi, dibiarkan berlalu begitu saja.” “Benar-benar sebuah cerita yang luar biasa,” komentar Arkad. “Kebijakasanaan apa yang diajarkannya?” “Kebijaksanaan untuk membuat pembayaran segera apabila kita yakin keuntungan sudah sangat jelas,” simpul pembuat pelana yang cukup dikenal. “Apabila ada penawaran yang sangat menguntungkan, maka engkau perlu melakukan perlindungan terhadap penawaran itu dari kelemahan dirimu sendiri dengan cara yang sama seperti engkau menjaganya dari orang lain. Kita makhluk fana ini selalu berubah-ubah. Sayangnya, bisa kukatakan lebih tepat, kita mengubah pendirian kita lebih sering pada hal yang keliru dari pada yang benar. Salah, pada hal yang keliru kita benar-benar keras kepala. Betul, pada hal yang benar kita cenderung ragu dan membiarkan kesempatan berlalu. Keputusanku yang pertama selalu merupakan keputusan yang terbaik. Tetapi selalau saja aku menemukan kesulitan mendorong diriku sendiri untuk segera melaksanakan hal yang sudah jelas menguntungkan itu meski sudah menemukannya di depan mata. Oleh karena itu sebagai perlindungan atas kelemahan diriku sendiri, aku akan segera memberikan uang muka tanda jadi atas penawaran itu. Hal ini akan menghindarkanku dari penyesalan atas hilangnya nasib baik yang seharusnya menjadi milikku.” “Terima kasih! Aku sekali lagi ingin berbicara,” Orang Syria telah kembali tegak berdiri. “Cerita-cerita ini ada persamaannya. Setiap kali kesempatan hilang berlalu dengan berbagai alasan. Setiap kali ia datang dengan impian berkah kepada orang yang menyia-nyiakannya. Setiap kali mereka ragu, bukan, saat ini bukan waktu yang tepat, bahkan, tidak katanya. Bagaimana seseorang akan mencapai keberhasilan dengan cara seperti itu?” “Bijak sekali kata-katamu, sahabatku,” tanggap pedagang ternak itu. “Nasib baik meninggalkan sang penyia-nyia kesempatan dalam kedua cerita itu. Namun, hal itu bukanlah hal yang luar biasa. Sifat untuk menyia-nyiakan kesempatan ada pada diri setiap orang. Kita menginginkan kekayaan; tetapi seringkali ketika kesempatan muncul dihadapan kita, sifat untuk menyia-nyiakan dalam diri kita mendorong dengan berbagai cara untuk menunda menerimanya. Apabila kita mendengar bujukan itu, kita sendiri justru menjadi musuh terberat kita.” ”Pada masa mudaku aku tidak menyimpulkannya sebagaimana sahabat Syria kita ini dengan gembira membicarakannya panjang lebar di sini. Pertama kali aku berpikir, mungkin itu memang dikarenakan keputusanku sendiri yang tidak baik yang menyebabkan kerugian dalam usaha perdaganganku. Kemudian aku memang menyalahkan kekeras-kepalaanku. Akhirnya, aku menyadarinya sebagaimana apa adanya, suatu – kebiasaan untuk tidak perlu menunda apa yang harus segera dilakukan, lakukan dengan langsung dan tegas. Hal yang paling kubenci adalah apabila kutemukan sifat ini menampakkan dirinya tepat dihadapanku. Dengan kepahitan bagai bagal liar yang terikat pada kereta kuda. Keberhasilan kucapai ketika aku membebaskan diriku dari musuh besarku ini.” “Terima kasih! Aku ingin bertanya kepada sang saudagar.” Itu yang dikatakan orang Syria selanjutnya. “Engkau mengenakan jubah yang indah, tidak seperti orang-orang berkekurangan.



Engkau berbicara selayaknya secara orang-orang yang berhasil. Katakan pada kami, bila saatnya penyia-nyia kesempatan berbisik di telingamu?” “Seperti halnya sahabat kita sang pedagang ternak, aku juga harus menyadari keberadaannya dan mengalahkannya,” jawab sang saudagar. “Bagiku, dia bagaikan seorang lawan, selalu mengintai dan menunggu untuk menghalang-halangi keberhasilanku. Cerita yang kukemukakan tadi hanya satu dari sekian banyak kejadian serupa yang dapat kuuraikan semua, bagaimana dia telah mengusir kesempatan-kesempatan yang datang kepadaku. Sebenarnya hal itu tidak terlalu sukar untuk diatasi begitu kita sudah menyadarinya. Tidak ada orang yang akan mengizinkan dengan senang hati seorang pencuri merampok gandum dalam periuknya. Begitu juga tidak akan ada orang yang bersedia apabila musuhnya mengusir pelanggannya dan mengambil keuntungan yang seharusnya menjadi bagiannya. Sekali aku menyadari bahwa tindakan itu adalah hsil usaha yang dilakukan lawanku, dengan satu tekad yang teguh aku mengalahkannya. Setiap orang harus menjadi tuan dari sifat menyia-nyiakan kesempatan pada dirinya sebelum ia dapat mengharapkan mendapatkan bagian dari kelimpahan kekayaan Babilonia.” “Bagaimana menurutmu, Arkad?” Karena engkau orang terkaya di Babilonia, banyak yang mengatakan engkau orang yang paling beruntung di antara orang-orang yang beruntung. Apakah engkau sependapat denganku bahwa seseorang tidak akan mencapai keberhasilan yang penuh menyeluruh sebelum ia sepenuhnya menghancurkan sifat menyia-nyiakan kesempatan yang ada dalam dirinya?” “Sama seperti yang engkau katakan,” Arkad menerimanya. “Sepanjang hidupku yang sudah cukup lama aku memperhatikan satu generasi dilanjutkan dengan generasi yang lain, berjalan dalam usaha dagangnya, ilmu pengetahuan dan mempelajari apa yang dapat memberikan keberhasilan dalam hidup ini. Kesempatan datang kepada semua orang ini. Sebagian menggenggamnya segera dan terus maju mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi sebagian besar ragu, goyah dan tertinggal di belakang.” Arkad, bergeming ke arah penenun. “Engkau tadi yang menganjurkan kita membicarakan masalah nasib baik di majelis ini. Mari kita dengar apa yang engkau pikirkan tentang masalah ini?” “Aku semula memang melihat nasib baik dalam pandangan yang agak berbeda, Aku fikir nasib baik sebagai sesuatu yang kita inginkan yang mungkin terjadi kepada seseorang tanpa ada usaha sama sekali yang dilakukannya. Sekarang, aku sadari bahwa kejadian itu bukanlah sesuatu yang dapat diusahakan seseorang agar nasib baik datang mendekatinya. Dari pembicaraan kita dapat aku pelajari bahwa : untuk menarik nasib baik datang kepadamu, engkau harus memanfaatkan seluruh kesempatan. Jadi, di masa yang akan datang, aku akan berusaha sekuat tenaga memanfaatkan setiap kesempatan yang datang ke hadapanku.” “Engkau telah menyerap inti sari pembicaraan yang diungkap dalam majelis ini,” jawab Arkad. “Selamat, kita menemukan, bahkan mengikuti jalur kesempatan, jarang terjadi hal sebaliknya. Sahabat kita sang saudagar telah menemukan nasib baik yang sangat amat bagus apabila ia menerima kesempatan yang dianugerahkan dewi kebaikan padanya. Sahabat kita sang pedagang ternak, begitu juga, akan menikmati nasib baik apabila ia menyelesaikan penawaran untuk membeli sekawanan biri-biri dan menjualnya dengan keuntungan yang lumayan besar.” “Kita mengikuti pembicaraan ini, mencari cara bagaimana agar nasib baik tergoda untuk mengunjungi kita. Aku kira kita telah menemukan caranya. Kedua cerita tadi mengambarkan bagaimana nasib baik mengikuti kesempatan. Disitulah terletak kebenaran bahwa cerita tentang nasib baik yang serupa, dimenangkan, atau kehilangan, tidak dapat diubah. Kebenarannya adalah : Nasib baik dapat didatangkan dengan memanfaatkan kesempatan.” “Siapa pun yang bersemangat menggenggam setiap kesempatan bagi kebaikannya, akan menarik perhatian kebaikan sang dewi. Sang dewi selalu sangat bersedia membantu orang-orang yang menarik hatinya. Orang-orang yang senantiasa siaga bertindak, sangat menarik hatinya. “Tindakan akan membawa engkau ke depan ke arah keberhasilan yang begitu engkau inginkan.”



ORANG YANG SENANTIASA SIAGA BERTINDAK AKAN DIDAHULUKAN OLEH DEWI KELIMPAHAN



V : LIMA HUKUM EMAS



LIMA HUKUM EMAS



“Sekarung penuh emas atau sekarung penuh lempengan tanah liat bertuliskan kata-kata bijaksana; apabila engkau diberikan pilihan seperti itu, yang manakah yang engkau pilih?”



Di bawah bayangan api unggun dari belukar gurun, wajah-wajah terbakar matahari yang mendengarnya bergoyang binarnya dengan bayangan sinar unggun.



“Emas, emas,” seru keduapuluhtujuh orang itu.



Kalabab tua tersenyum, ia sudah dapat memastikan jawaban itu.



“Hei,” lanjutnya, sambil menaikkan lengannya. “Dengar gonggongan anjing liar di kelam malam itu. Mereka melolong dan mengibas-ngibaskan ekornya, mereka kurus dan lapar. Coba beri mereka makan, apa yang mereka perbuat? Berebut, berkelahi dan berkumpul lagi. Kemudian berebutan lagi berkelahi lagi dan berkumpul lagi, tanpa memikirkan apapun yang pasti akan terjadi esok hari.”



“Hal yang sama juga dilakukan manusia. Berikan mereka pilihan antara emas dan kebijaksanaan – apa yang mereka lakukan? Abaikan kebijaksanaan dan hamburkan emas. Besok mereka akan merengek kehabisan emas.”



“Emas memang hanya untuk dimiliki orang-orang mengetahui hukum-hukum emas dan mematuhinya.”



Kalabab menarik ujung jubah putihnya menutupi kaki kurusnya, melindunginya dari angin dingin gurun yang mulai berhembus.



“Karena engkau sudah melayaniku dengan sepenuh hati sepanjang perjalanan kita, karena engkau sudah merawat unta-untaku dengan baik, karena engkau semua telah menembus panas pasir gurun tanpa keluhan. Karena engkau telah berjuang melawan para perompak dengan berani sehingga membuat barang daganganku tak terganggu, aku akan menceritakan pada engkau semua malam ini



kisah lima hukum emas, kisah ini merupakan riwayat yang belum pernah engkau dengar sebelumnya.”



“Hai engkau semua, dengarlah dengan perhatian penuh apa yang akan akau kisahkan ini, karena apabila engkau dapat menangkap maksudnya dan mengingat dan menggunakannya, suatu hari nanti engkau akan dapat memiliki emas yang berlimpah.”



Ia tegun dengan berwibawa sejenak. Di atas, dalam lingkupan biru temaram langit, bintang-bintang bertaburan di langit Babilonia yang cerah tak berawan. Di belakang kelompok orang-orang itu bayangan kabur tenda-tenda yang terpasang kukuh yang dapat menghadang badai gurun apabila ia datang. Di sebelah tenda-tenda itu tertumpuk rapi berbungkus-bungkus barang dagangan ditutupi kulit. Tidak jauh dari situ unta-unta duduk berjajar di atas pasir, sebagian terus terlihat lahap memamah biak, lainnya berdengkur keras tanpa irama.



“Engkau telah menceritakan kepada kami banyak sekali cerita menarik, Kalabab,” ujar pimpinan pekerja. “Kami memerlukan kebijakanmu yang dapat mengajari kami, bukankah besok pekerjaan kami telah selesai.”



“Aku telah menceritakan kepada engkau pengalamanku di negeri asing dan negeri-negeri yang jauh, tetapi malam ini aku akan meriwayatkan kepada engkau kebijaksanaan Arkad, orang bijak yang kaya raya.”



“Sudah banyak yang kami dengar tentang dia,” sahut pemimpin pekerja itu, “karena dia orang terkaya yang pernah hidup di Babilonia.”



“Dia memang orang terkaya, dan itu disebabkan karena kebijaksanaannya dalam hukum emas, bahkan belum pernah ada orang sebijaksana dia sebelumnya. Malam ini aku akan ceritakan kebijaksanaan utamanya sebagaimana diceritakan oleh Nomasir, anaknya, beberapa tahun yang lalu di Niniveh, ketika itu aku masih seorang remaja.”



“Aku dan tuan-ku telah penuh berdebu berjalan melalui gelap malam ke istana Nomasir. Aku membantu tuan-ku membawa banyak sekali bungkusan permadani mewah, yang tiap-tiap permadani diamati oleh Nomasir hingga pilihan corak-warnanya sesuai dengan keinginannya. Akhirnya ia cukup puas dan meminta kami duduk bersama dengannya dan minum minuman terpilih yang langka yang baunya yang enak sangat melonggarkan nafas di hidungku dan minuman itu juga menghangatkan perutku, yang tidak terbiasa dengan minuman seperti itu.”



“Kemudian, ia menceritakan kepada kami kebijaksanaan Arkad, ayahnya, itulah yang akan kuceritakan kembali kepadamu.”



“Di Babilonia sudah menjadi adat kebiasaan, seperti yang juga engkau ketahui, anak laki-laki seorang yang kaya raya akan tinggal bersama orang tuanya kemudian diharapkan akan mewarisi kekayaan



itu. Arkad tidak begitu sependapat dengan adat kebiasaan itu. Oleh karena itu, ketika Nomasir mencapai usia dewasa ia menyampaikan pesan padanya :



“Anakku, aku berkeinginan agar engkau melanjutkan keberhasilan yang aku telah capai dalam hidupku. Namun, engkau harus, pertama-tama membuktikan bahwa engkau akan mampu mengelola kekayaan ini dengan bijaksana. Oleh karena itu, aku mengharapkan engkau pergi merantau ke dunia di luar sana dan tunjukkan kemampuanmu untuk menghasilkan emas dan buat dirimu menjadi orang yang terhormat di tengah masyarakat.”



“Untuk memulainya dengan baik, aku akan berikan dua hal yang, aku sendiri, ketika aku sebagai seorang muda yang miskin, yang mulai mengumpulkan kekayaan, tidak memilikinya.”



“Pertama, kuberikan sekantung emas. Apabila engkau gunakan dengan bijaksana, ia akan menjadi landasan keberhasilanmu di masa yang akan datang.”



“Kedua, kuberikan engkau lempeng tanah liat ini yang diatasnya tertulis lima hukum emas. Apabila engkau hayati dan wujudkan dalam kegiatan usahamu, ia akan memberikanmu kemampuan dan perlindungan.



“Sepuluh tahun dari sekarang kembalilah engkau kerumah ayahmu ini dan tunjukkan hasil kegiatanmu. Apabila ternyata engkau berhasil, aku akan menjadikan engkau ahli warisku. Sebaliknya, kalau engkau gagal, aku akan berikan harta bendaku pada para imam yang mungkin dapat menukarnya dengan sesuatu yang dapat menenangkan jiwaku dan hal-hal yang menyenangkan Para Dewa.”



“Lalu Nomasir merantau mencari kehidupan bagi dirinya sendiri, dengan membawa sekantung emas, dan lempeng tanah liat yang ia bungkus dengan hati-hati dengan sutera, budaknya dan dengan beberapa ekor kuda pergilah ia memulai usahanya.”



“Sepuluh tahun berlalu, dan Nomasir, sebagaimana telah disepakati, kembali ke kediaman ayahnya yang menyelenggarakan perjamuan besar menyambut kedatangan anaknya, mengundang banyak sahabat dan sanak saudara. Selesai berkenduri, kedua orang tuanya naik ke kedudukan mereka yang bagai tahta kerajaan pada satu sisi ruangan perjamuan yang besar itu, dan Nomasir berdiri di hadapan mereka menceritakan pengalaman dan hasil usahanya sebagaimana yang ia janjikan pada ayahnya.”



“Hari mulai malam. Ruangan itu sedikit berkabut asap dari sumbu dian minyak yang hanya dapat menerangi samar-samar ruangan itu. Budak-budak berbusana jaket putih tanpa kerah, mengayunkan kipas perlahan dengan berirama, mengalirkan udara lembab, dengan kipas bertangkai panjang dari pelepah palma. Suasana megah mewarnai ruangan saat itu. Istri Nomasir dan dua anak laki-lakinya, dengan sahabat dan para anggota keluarga lainnya, duduk di atas permadani di belakang Nomasir, semuanya bersiap-siap mendengarkan.”



“’Ayahku,’ ia mulai dengan tertib penuh kesopanan, ‘aku patuh pada ajaran kebijaksanaanmu. Sepuluh tahun lalu ketika aku beranjak dewasa, engkau minta aku merantau agar menjadi orang terhormat di dalam masyarakat, dari pada tinggal di rumah ini seolah menjadi raja di atas limpahan kekayaanmu.’”



“’Engkau antar aku berbekal sekantung emas. Engkau juga beri ajaran kebijaksanaan pengingat. Akan halnya emas, betapa sialnya! Harus kuakui bahwa aku telah mengelolanya dengan keliru. Semuanya lenyap, menguap, lari dari tanganku yang tidak berpengalaman bagaikan kuda betina liar yang pada kesepatan pertama lari dari jagaan remaja yang menangkapnya.’”



“Sang ayah tersenyum menikmati dengan mahfum. ‘Lanjutkan, anakku, ceritamu dengan segala perniknya sangat menarik hatiku.’”



“’Kuputuskan pergi ke Niniveh, kota yang sedang berkembang, dengan harapan aku akan mendapatkan kesempatan di sana. Aku bergabung dengan sebuah rombongan dan bersahabat dengan beberapa orang di antara anggota rombongan itu. Dua orang yang sangat fasih berbicara memiliki seekor kuda putih yang sangat bagus yang larinya sekencang angin.’”



“’Sepanjang perjalanan, mereka bercerita dengan yakinnya bahwa di Niniveh ada seorang kaya yang memiliki kuda yang dapat berlari sangat kencang dan tidak pernah terkalahkan. Pemiliknya percaya bahwa tidak ada seekorpun kuda yang dapat berpacu melampaui kecepatan kudanya. Oleh karena itu, ia berani bertaruh sebesar apapun bahwa kudanya akan mengalahkan semua kuda yang ada di Babilonia. Tetapi, dibandingkan dengan kuda putih miliknya, begitu kata sahabatku itu, paling-paling kuda di Niniveh itu hanya bagai bagai bagal kecapaian, dan pasti akan dengan mudah dikalahkan.’”



“’Mereka menawarkan, sebagai sebuah usulan pada rencana yang bagus, untuk mengizinkan aku menyertai mereka dalam taruhan itu. Aku benar-benar sangat tertarik dengan rencana itu.’”



“’Kuda kami kalah telak dan aku kehilangan sebagian besar emasku,’ Sang ayah tertawa. ‘Kemudian, baru kuketahui bahwa hal itu memang rencana jahat orang-orang itu, dan mereka telah melakukan hal itu berulangkali dengan menyertai rombongan-rombongan sambil mencari mangsa. Begitulah caranya. Orang kaya di Niniveh juga merupakan rekan kerja mereka, dan mereka mendapatkan bagian dari hasil kemenangannya. Cara penipuan yang canggih mengajarkan padaku pelajaran pertama dalam usahaku di rantau.’”



“’Segera setelah itu kupelajari lagi hal lainnya, yang sama pahitnya. Dalam rombongan itu ada seorang anak muda yang juga menjadi sahabatku. Dia anak seorang kaya dan, seperti halnya aku, merantau ke Niniveh untuk mencari lokasi yang cocok bagi usahanya. Segera setelah kesampaian kami di Niniveh, dia mengatakan kepadaku ada seorang saudagar yang meninggal dunia dan tokonya beserta banyak barang dagangan kepemilikannya akan dijual dengan harga yang sangat murah. Dia mengajak bekerja sama berdua dengan nilai yang sama separuh-separuh, tetapi untuk itu dia harus kembali dulu ke Babilonia mengambil emas untuk pembayaran bagian penanaman modalnya, jadi dia menganjurkan agar toko dan barang dagangan itu dibeli terlebih dahulu dengan emas milikku, dengan persetujuan bagian emas yang akan ia bayar akan kami gunakan nanti untuk memperluas usaha itu.’”



“’Lama ia menunda perjalanannya untuk kembali ke Babilonia, sementara itu ternyata juga bahwa dia bukanlah seorang yang pandai berdagang dan lebih-labih lagi dia suka berfoya-foya. Akhirnya, kerjasama dengannya kuhentikan, tetapi hal itu kulakukan lama setelah usaha kami menjadi sangat tidak menguntungkan, dan hanya barang-barang yang tidak laku yang masih tersisa dan sudah tidak ada lagi emas yang dapat digunakan untuk membeli barang dagangan baru. Kujual semua yang tersisa pada seorang Israel dengan harga yang sangat menyedihkan.’”



“’Segera saja datang susul menyusul, benar, ayahku, datang hari-hari yang pahit. Kucari pekerjaan tidak satu pun kudapatkan, karena aku tidak memiliki keahlian, dan tidak terlatih mencari nafkah keseharian. Aku jual kuda-kudaku. Aku jual budak-budakku. Aku jual pakaian-pakaianku untuk pembeli makanan dan pembayar tempat berteduh, hari-hari yang datang berikutnya semakin membawa hal-hal pahit yang kian memburuk.’”



“’Tetapi, pada hari-hari pahit sebegitu, aku selalu ingat akan kepercayaanmu padaku, ayahku. Engkau telah mengirimku ke rantau untuk menjadi orang, dan itulah yang membuat bulat semangatku menjalani dan mencapainya.’ Sang ibu menutup wajahnya dan terisak perlahan.”



“’Pada saat itu, teringat olehku akan lempeng tanah liat yang telah engkau bekalkan padaku yang di atasnya telah engkau goreskan lima hukum emas. Kemudian, kubaca dengan cermat uraian kebijaksanaan itu, dan kusadari bahwa sendainya saja kebijaksanaan ini telah kupelajari terlebih dahulu, emas-emasku tidak akan berlarian meninggalkanku. Kupelajari sampai hafal di luar kepala tiap-tiap hukum-hukum emas itu dan bertekad, apabila sekali lagi dewi kemujuran itu datang bersenyum kehadapanku, aku akan dipandu oleh kebijaksanaan yang sudah teruji oleh waktu itu, dan tidak oleh remaja hijau yang kurang berpengalaman.’”



“’Untuk pelajaran dan kebaikan bagi semua yang hadir setelah perjamuan malam ini. Aku akan bacakan ajaran kebijaksanaan ayahku yang digoreskannya pada lempeng tanah liat yang diberikannya padaku sepuluh tahun yang lalu :



Lima Hukum Emas



1. Emas akan datang dengan senang hati dan dalam jumlah yang terus lebih banyak kepada seseorang yang menempatkan tidak kurang dari sepersepuluh yang dihasilkannya untuk dihimpun bagi masa depan dirinya dan keluarganya.



2. Emas akan bekerja dengan rajin dan tekun bagi pemiliknya yang bijaksana yang dapat mengenal keuntungan yang dapat diperoleh dengan mempekerjakan emas, emas akan mampu melipatgandakan dirinya bagai ternak di padang yang subur.



3. Emas akan senang bernaung dibawah lindungan pemiliknya yang berhati-hati, yang menanamkannya pada usaha-usaha dengan petunjuk ajaran kebijaksanaan orang yang sudah berpengalaman di bidangnya.



4. Emas akan berlalu mengabaikan orang yang menanamkannya pada usaha atau penggunaannya dengan tujuan yang tidak begitu dikenalnya atau tidak diusahakan oleh orang ahli dalam pengelolaannya.



5. Emas akan lari meninggalkan orang yang memaksakan pekerjaan padanya dengan harapan hasil yang tidak mungkin dicapai, atau orang yang mengikuti rayuan para penipu atau perancang kejahatan, atau orang yang terlalu percaya pada diri sendiri padahal ia kurang berpengalaman, atau mempekerjakannya pada usaha berdasarkan keinginan hati yang muncul dari angan-angan semata.’”



“’Itulah lima hukum emas sebagaimana ditulis oleh ayahku. Aku bahkan menyatakan hukum-hukum ini lebih bernilai dari pada emas itu sendiri, sebagaimana akan kutunjukkan dalam ceritaku selanjutnya.’”



“Ia kemudian mengulangi, berhadap-hadapan dengan ayahnya, ‘Telah kuceritakan betapa dalamnya jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah diberikan ketidakberpengalamannya aku.’”



“’Namun, tidak ada rantai kemalangan yang tidak berakhir. Kejatuhanku terhenti, ketika kuperoleh pekerjaan mengawasi para budak yang dipekerjakan membangun tembok terluar kota yang baru.’”



“’Memanfaatkan pengetahuanku pada hukum emas yang petama, aku sisihkan sekeping perunggu dari penghasilanku yang pertama, menambahkan simpanan itu pada tiap kesempatan hingga dapat kuperoleh simpanan senilai sekeping perak. Sungguh suatu proses yang lamban sekali, apalagi aku juga masih harus memenuhi kebutuhan hidupku sehari-hari. Aku berbelanja dengan penuh gerutuan dan keluh kesah, kuakui, karena aku bertekad untuk mengembalikan semuanya sebelum jangka waktu sepuluh tahun berakhir sebanyak yang telah engkau, ayahku, berikan padaku.’”



“’Suatu hari, tuan para budak, yang aku sudah menjadi sangat bersahabat dengannya, berkata padaku : “Engkau memang anak muda yang hemat yang tidak menghambur-hamburkan apa yang engkau peroleh. Bukankah emas simpananmu tidak memberikanmu hasil apa pun?”’”



“’”Ya,” jawabku, ”Memang sudah kuniatkan untuk mengumpulkan emas untuk menggantikan apa yang telah diberikan ayahku yang telah kusalahusahakan.”’”



“’”Niat yang sangat baik, aku akan menjamin, dan tahukah engkau bahwa emas yang engkau kumpulkan itu dapat bekerja untukmu dan menghasilkan lebih banyak lagi emas bagimu?”’”



“’”Aduh! Pengalamanku teramat getir, emas ayahku berlarian meninggalkanku, dan aku masih sangat khawatir akan mengulang kejadian yang sama.”’”



“’”Kalau engkau mempercayaiku, aku akan berikan engkau pelajaran cara mengelola emas yang menguntungkan,” jawabnya. “Dalam satu tahun tembok terluar ini akan selesai dibangun dan segera disusul pembangunan gerbang perunggu pada tiap pintu masuk untuk melindungi kota dari musuh sang raja. Di seluruh Niniveh tidak tersedia cukup bahan untuk membuat gerbang itu dan sang raja belum lagi memikirkan bagaimana memperolehnya. Ini rencanaku : Kita bergabung, berkongsi mengumpulkan emas yang kita miliki dan mengirimkan satu karavan ke penambang-penambang perunggu dan timah, yang cukup jauh letaknya, dan membawa logam-logam itu ke Niniveh. Apabila sang raja memerintahkan, ‘Bangun gerbang-gerbang itu,’ hanya kita yang dapat menyediakan logamnya dan harga yang cukup lebih tinggi akan dibayarnya. Apabila sang raja tidak membelinya dari kita, kita tetap saja masih memiliki logam itu dan masih dapat menjualnya dengan harga pasar yang wajar.”’”



“’Dalam penawarannya aku meihat adanya kesempatan yang bagus yang harus diambil sesuai dengan hukum emas ketiga dan kutanamkan emas-emasku dengan petunjuk seorang yang bijaksana. Sungguh tidak mengecewakan. Kerja sama kami berhasil, dan bagian emasku yang kecil segera bertambah dengan hasil usaha itu.’”



“’Sejalan dengan berlalunya waktu, aku diterima berkongsi dalam kelompok yang sama dalam usahausaha lainnya. Mereka memang orang-orang bijaksana yang sangat berpengalaman dalam cara mengelola emas yang menguntungkan. Mereka bahas setiap rencana yang diajukan dengan menyeluruh dan sangat hati-hati sebelum benar-benar terjun kedalamnya. Mereka tidak membiarkan adanya kemungkinan kehilangan emas yang ditanamkannya atau membenamkannya pada usahausaha yang tidak menguntungkan yang tidak memungkinkan mereka menarik kembali emas yang ditanamnya. Hal-hal yang bodoh seperti mengikuti taruhan pacuan kereta kuda, atau pada kerjasama yang pernah kulakukan tanpa pengetahuan atau pengalaman sama sekali tidak mereka pertimbangkan. Mereka akan segera dapat menunjukkan kelemahan dan kekurangannya.’”



“’Melalui hubungan kerja dengan orang-orang ini, aku belajar menanamkan emasku dengan aman namun tetap memberikan hasil. Setelah beberapa tahun, harta simpananku bertambah lebih cepat. Aku tidak saja memperoleh kembali sebanyak yang pernah hilang dariku, bahkan jauh melebihinya.’”



“’Melalui kemalangan yang kualami, berbagai usaha-usahaku, dan keberhasilanku, aku telah menguji dari waktu ke waktu kebenaran ajaran kebijaksanaan lima hukum emas, ayahku, dan telah membuktikan hukum itu benar pada setiap pengujian. Bagi mereka yang tanpa pengetahuan akan lima hukum emas ini, emas sangat jarang datang, dan berlalu dengan cepatnya. Tetapi bagi mereka yang patuh melaksanakan lima hukum emas, emas datang kepadanya dan bekerja untuk dia bagaikan budak patuh yang sangat berguna.’”



“Nomasir menghentikan pembicaraannya dan memberikan aba-aba pada seorang budak yang berada di sudut belakang ruangan itu. Sang budak maju ke depan, membawa satu, setiap kali, tiga kantung kulit yang berat. Salah satunya diambil Nomasir dan ditempatkannya di atas lantai di hadapan ayahnya sambil mengatakan :”



“’Engkau telah memberiku sekantung emas, emas Babilonia. Di tempat yang sama ini, aku mengembalikan kepadamu satu kantung emas Niniveh yang sama beratnya. Pembayaran yang setimpal, aku kira semua akan menyetujuinya.’”



“’Engkau juga telah memberiku satu lempeng tanah liat berisikan ajaran kebijaksanaan. Untuk itulah, saat ini aku mengembalikan dua kantung emas.’ Sambil berkata begitu ia mengambil dua kantung lainnya dari sang budak, seperti kantung yang pertama, ia tempatkan di atas lantai di hadapan ayahnya.”



“’Dengan ini aku membuktikan padamu, ayahku, bahwa betapa lebih besarnya nilai yang kuberikan kepada ajaran kebijaksanaanmu dibandingkan dengan nilai emas. Tapi siapa yang dapat mengukur dengan berkantung emas, ajaran kebijaksanaan itu? Meski tak seorang pun dapat menilai ajaran kebijaksanaan dengan emas? Tanpa kebijaksanaan, emas akan lenyap dari tangan pemiliknya, tetapi dengan kabijaksanaan, emas dapat diperoleh siapa yang belum memilikinya, sebagaimana tiga kantung emas ini telah membuktikannya.’”



“’Sungguh, sungguh, memberikan aku rasa puas yang amat sangat, ayahku, berdiri dihadapanmu menyatakan hal ini, karena ajaran kebijaksanaanmu, aku telah mampu menjadi kaya, berada dan menjadi orang terhormat dalam masyarakat.””



“Sang ayah menempatkan telapak tangannya di atas kepala Nomasir. ‘Engkau telah melalui dengan baik pelajaranmu, dan aku, sungguh-sungguh, beruntung memiliki anak yang dapat kuandalkan menjaga harta dan meneruskan usahaku.’”



Kalabab menghentikan ceritanya dan memandang dengan menyelidik pada para pendengarnya.



“Apa artinya ini bagimu, cerita Nomasir ini?” lanjutnya.



“Siapa diantara kamu yang berani datang kepada ayahmu atau mertuamu dan menceritakan kebijaksanaannya dalam menggunaan hasil pencahariannya?”



“Apa yang akan difikirkan oleh orang yang kita hotmati itu jika engkau menghadap kepadanya dan berkata : ‘Saya telah merantau jauh dan belajar banyak hal bekerja keras dan memperoleh pencaharian yang banyak, tetapi emas hanya sedikit yang saya miliki. Sebagian penghasilan aku pergunakan dengan baik, sebagian lagi aku gunakan dengan sembarangan dan sebgian besar hilang karena salah penggunaannya.’”



“Apakah engkau masih mengira bahwa nasibmulah yang tidak menentu yang menentukan sehingga sebagian orang memiliki banyak emas, sebagian lagi tidak? Engkau samasekali keliru.”



“Seseorang memiliki banyak emas apabila dia mengetahui lima hukum emas dan menerapkannya dengan patuh.”



“Karena aku belajar lima hukum emas ini pada masa mudaku dan berpegangan padanya, aku dapat menjadi seorang saudagar berada. Bukan karena mantera-mantera aneh yang membuatku mengumpulkan semua kekayaanku.”



”Kekayaan yang datang dengan cepat akan bersegera pergi.”



“Kekayaan yang tinggal menetap yang dapat memberikan kegembiraan dan rasa puas bagi pemiliknya akan datang secara perlahan dan bertahap, karena ia lahir dari dan dengan pengetahuan dan ketekunan untuk mencapai tujuan jelas.”



“Memperoleh kekayaan hanyalah beban yang ringan semata bagi orang yang berpengetahuan. Menanggung beban ringan terus menerus berkepanjangan dari tahun ke tahun akan mendatangkan hasil sesuai dengan tujuan akhirnya.”



“Lima hukum emas menawarkan pada engkau semua imbalan kekayaan bagi yang melaksanakannya.”



“Tiap satu dari lima hukum emas ini kaya dengan sari pati ajaran, dan mungkin engkau semua tidak mencermati keberadaannya dalam cerita singkatku tadi. Sekarang aku akan mengulanginya. Aku menghafalnya diluar kepala karena pada masa mudaku, aku telah melihat betapa besar nilainya sehingga aku tidak cukup puas kalau tidak aku menyerapnya kata demi kata.”



Hukum Emas Yang Pertama



Emas akan datang dengan senang hati dan dalam jumlah yang terus lebih banyak kepada seseorang yang menempatkan tidak kurang dari sepersepuluh yang dihasilkannya untuk dihimpun bagi masa depan dirinya dan keluarganya.



“Setiap orang yang menyisihkan sepersepuluh hasil pencahariannya terus menerus dan menanamkannya dalam usaha dengan bijaksana pasti akan menghimpun harta yang bernilai yang akan dapat memberikan penghasilan baginya di masa yang akan datang dan lebih jauh lagi akan menjamin kemanan bagi keluarganya apabila terjadi Para Dewa memanggilnya ke alam arwah. Hukum ini selalu menyatakan bahwa emas akan datang dengan senang hati kepada orang yang sedemikian itu. Aku sudah membuktikannya pada kehidupanku sendiri. Semakin banyak emas yang kuhimpun, semakin banyak emas yang siap datang kepadaku dengan jumlah yang terus meningkat.



Emas yang kusimpan memberikan tambahan hasil, bahkan kalau engkau menginginkan hasil yang dihasilkan emas itu akan ikut serta pula memberikan hasil lainnya, itulah cara kerja hukum emas yang pertama.”



Hukum Emas Yang Kedua



Emas akan bekerja dengan rajin dan tekun bagi pemiliknya yang bijaksana yang dapat mengenal keuntungan yang dapat diperoleh dengan mempekerjakan emas, emas akan mampu melipatgandakan dirinya bagai ternak di padang yang subur.



“Emas itu, memang, pekerja yang amat gigih. Ia akan bekerja lebih bersemangat melipatgandakan dirinya apabila kesempatan dihadapkan padanya. Bagi setiap orang yang telah memiliki simpanan emas, kesempatan akan datang bagi orang itu untuk memanfaatkannya dengan sepenuh guna. Selagi masa dan tahun berlalu, emas akan bertumbuh berlipatganda dengan kecepatan yang tak terduga.”



Hukum Emas Yang Ketiga



Emas akan senang bernaung dibawah lindungan pemiliknya yang berhati-hati, yang menanamkannya pada usaha-usaha dengan petunjuk ajaran kebijaksanaan orang yang sudah berpengalaman di bidangnya.



“Emas itu, memang, akan senang bernaung dibawah lindungan pemiliknya yang berhati-hati, seperti halnya ia meninggalkan pemiliknya yang cuai. Orang yang meminta nasihat dari orang yang ahli mengelola emas akan segera menyadari untuk tidak membahayakan dirinya dan emas miliknya, belajar untuk dengan hati-hati selalu menjaganya agar selamat dan dengan leganya melihat dan menikmati perkembangannya yang ajeg.”



Hukum Emas Yang Keempat



Emas akan berlalu mengabaikan orang yang menanamkannya pada usaha atau penggunaannya dengan tujuan yang tidak begitu dikenalnya atau tidak diusahakan oleh orang ahli dalam pengelolaannya.



“Bagi orang yang memiliki emas, tetapi tidak berpengetahuan untuk mengelolanya, beberapa diantaranya menggunakan emas untuk kegiatan yang terlihat paling sangat menguntungkan.



Biasanya, hal ini berbahaya dan selalu diintai kerugian, dan apabila dicermati oleh orang yang bijaksana, akan terlihat hanya tipisnya keuntungan yang ada. Jadi, pemilik emas yang kurang berpengalaman yang hanya bertindak berdasarkan pengetahuan dan keinginannya, dan menanamkan emasnya pada usaha apapun atau tujuan apapun, yang tidak sama sekali dikenalnya, akan sering sekali mendapatkan bahwa tindakannya sangat tidak sempurna, dan harus membayarnya dengan emas-emasnya sebagai akibat hijaunya dia dalam pengalaman. Betuul, memang sangat bijaksana, orang yang menanamkan emasnya sesuai dengan anjuran kebijaksanaan orang yang berpengalaman dengan hukum emas.”



Hukum Emas Yang Kelima



Emas akan lari meninggalkan orang yang memaksakan pekerjaan padany dengan harapan hasil yang tidak mungkin dicapai, atau orang yang mengikuti rayuan para penipu atau perancang kejahatan, atau orang yang terlalu percaya pada diri sendiri padahal ia kurang berpengalaman, atau mempekerjakannya pada usaha berdasarkan keinginan hati yang muncul dari angan-angan semata.



“Tawaran yang menggiurkan yang menimbulkan gairah selalu datang kepada para pemilik emas yang baru. Usaha yang disuguhan seolah-olah memberikan kemampuan ajaib pada emasnya untuk memperoleh hasil yang menakjubkan yang hampir mustahil. Jadi berhati-hatilah, orang yang bijaksana akan selalu mengetahui ancaman yang mengendap-endap di balik setiap rencana yang menjanjikan kekayaan besar secara seketika.”



“Jangan lupakan orang kaya Niniveh yang tidak pernah membiarkan uang yang ditanamkannya dalam usaha akan berkurang atau terikat mati dalam penanaman usaha yang kurang menguntungkan.”



“Inilah akhir ceritaku tentang lima hukum emas. Dengan menyampaikannya kepada engkau semua, berarti aku telah menceritakan juga rahasia keberhasilanku sendiri.”



“Meskipun begitu, ternyata, tidak ada rahasia, hanya kebenaran semata yang pertama kali harus disadari oleh engkau semua, dan kemudian mengikuti orang yang melangkah keluar dari kebenaran yang sudah menjadi kebiasaan itu. Apakah engkau ingin seperti anjing liar itu, setiap hari masih harus memikirkan apa yang akan dimakan hari itu.”



“Besok, kita masuk ke Babilonia. Lihat! Lihat api yang membakar abadi di atas Kuil Genta! Kita sudah dapat memandang kota emas itu. Besok, setiap engkau akan mendapatkan emas, emas yang engkau peroleh dengan baik dari mata pencaharianmu.”



“Sepuluh tahun dari malam ini, apa yang akan engkau ceritakan tentang emas-emas itu?”



“Apakah ada di antara engkau, seseorang, seperti Nomasir, yang akan menggunakan sebagian emasnya untuk mulai menghimpun awal kekayaannya dan selanjutnya mengelolanya dengan bimbingan ajaran kebijaksanaan Arkad, sepuluh tahun dari sekarang, berkembang dengan aman dan leluasa, seperti anak Arkad, dia akan kaya-raya dan menjadi orang yang terhormat dalam masyarakat.”



“Tindakan bijaksana yang kita lakukan akan menyertai perjalanan hidup kita, melegakan hati dan menolong kita. Sama pastinya, tindakan sembrono akan membuntuti, tertempel dan menyengsarakan kita dengan penyesalan. Sayang! Mereka tidak dapat kita lupakan. Hal-hal pertama yang paling kita sesalkan yang akan selalu menelangsakan hati adalah hal yang seharusnya kita lakukan tetapi tidak, dan kesempatan yang datang kehadapan kita untuk kita raih, tetapi tidak.”



“Sungguh melimpah kekayaan Babilonia, begitu berlimpahnya tidak seorangpun dapat menghitung berapa kantung emas nilainya. Setiap tahun mereka bertambah kaya dan lebih bernilai. Seperti kekayaan di mana pun adanya, akan selalu mendatangkan hasil, hasil yang lebih melimpah menunggu orang yang mengetahui dengan jelas arah usahanya dan bertekad untuk memperoleh hasil yang pantas sesuai pencahariannya.”



“Dalam semangat tekadmu ada kekuatan ajaib. Arahkan kekuatan ini dengan apa yang engkau ketahui dari lima hukum emas maka engkau akan memperoleh bagian dari kekayaan Babilonia.”



VI : PEMBERI PINJAMAN EMAS DI BABILONIA PEMBERI PINJAMAN EMAS DI BABILONIA



Lima puluh keping emas! Belum pernah seumur hidupnya, Rodan, pembuat tombak dari wilayah Babilonia Tua, membawa begitu banyak emas dalam kantungnya. Dengan gembira berjalan sepanjang jalan raya Sang Raja dari gerbang istana raja yang paling dermawan ia mengurai langkah. Berseri-seri, diiringi gemrincing emas di kantungnya yang berayun pada setiap langkah – bagai musik terindah yang pernah didengarnya. Lima puluh keping emas! Semua miliknya! Hampir tidak dapat mempercaayai betapa bernasib baiknya dia. Kekuasaan apa yang dimiliki dalam rincingan keping emas itu. Emas itu dapat membeli apa saja yang dia perlukan, rumah megah, tanah, ternak, unta-unta, kuda-kuda, kereta kuda, apa saja yang dia inginkan. Akan digunakan untuk apa? Senja itu, ketika ia berbelok ke jalan kecil menuju rumah adiknya, pikirannya tidak menemukan akan apa yang ingin dimilikinya selain barang yang berkilau sama, keping emas yang berat - yang ingin disimpannya. Hingga pada suatu sore beberapa hari kemudian Rodan yang kebingungan masuk ke gerai Mathon, pemberi pinjaman emas dan pedagang perhiasan dan sutera mewah. Tanpa melirik ke kiri atau kanan pada beraneka warna barang dagangan yang disusun mewah menawan, ia langsung menuju ruang kediaman di belakang gerai. Di sana ia temukan Mathon yang santun duduk diatas permadani sedang menyantap makanan yang disajikan seorang budak hitam. “Aku ingin meminta nasihatmu karena aku tidak tahu akan berbuat apa.” Rodan berdiri tegak, dengan kaki direnggangkan, dada berbulunya terpapar di antara celah jaket kulitnya. Wajah Mathon yang sempit, putih, memberikan senyum bersahabat. “Apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau mencari pemberi pinjaman emas? Apakah engkau sudah kalah di meja judi? Atau ada masalah dengan wanita yang menuntutmu? Sudah lama aku mengenalmu, selama ini belum pernah engkau mencariku untuk membantu menyelesaikan masalahmu.” “Tidak, bukan. Bukan seperti itu. Aku bukan mencari pinjaman emas. Tetapi, aku memerlukan nasihatmu.” “Apakah akau tidak salah dengar! Apa yang dikatakan orang ini. Tidak ada orang yang datang ke pemberi pinjaman emas untuk meminta nasihat. Telingaku mesti sudah menipuku.” “Telingamu masih mendengar yang sesungguhnya.” “Mengapa bisa demikian? Rodan, pembuat lembing, melakukan hal yang cerdik aneh dibandingkan orang lain, dia datang ke Mathon, bukan mencari pinjaman emas, tetapi mencari nasihat. Banyak orang yang datang kepadaku meminjam emas untuk menyelesaikan masalah akibat kebodohannya, tapi tidak satu pun meminta nasihat. Tetapi, siapa yang lebih mampu memberikan nasihat dari pada pemberi pinjaman emas, yang setiap orang dalam masalah pasti mendatanginya?” “Engkau harus ikut makan bersamaku, Rodan,” lanjutnya. “Engkau menjadi tamuku sore ini. Ando!” perintahnya pada budak hitam, “bentangkan permadani untuk sahabatku, Rodan, pembuat tombak, yang datang meminta nasihat. Dia merupakan tamu terhotmatku. Sajikan makanan yang banyak dan tuangkan minuman di piala besar. Pilih anggur terbaik agar dia dapat menikmati minumnya.” “Sekarang, ceritakan padaku masalahmu.” “Masalahnya hadiah Sang Raja.”



“Hadiah Sang Raja? Raja memberimu hadiah dan hadiah itu memberimu masalah? Hadiah seperti apa itu?” “Karena Sang Raja sangat puas dengan contoh tombak yang kupersembahkan dengan bentuk mata tombak yang baru yang akan digunakan bagi para pengawal raja, kemudian Sang Raja menghadiahkan aku dengan lima puluh keping emas, dan sekarang aku bahkan menjadi kebingungan.” “Aku bermohon setiap jam sepanjang waktu selama matahari melintas di atas langit, demi orangorang yang selalu ingin ikut menikmati emas ini? Agar jangan menggodaku” “Itu hal yang lumrah. Lebih banyak orang yang menginginkan emas daripada yang memilikinya, dan selalu berharap orang yang kebetulan memilikinya mau berbagi. Dan engkau tidak bisa mengatakan ‘Tidak?’ Apakah kekuatan hatimu tidak sekuat remasan kepal tanganmu?” “Kepada beberapa orang aku dapat mengatakan tidak, tetapi kadang-kadang lebih mudah untuk mengatakan ya. Bagaimana mungkin aku menolak merayakan dan menikmatinya bersama dengan adikku yang sangat kusayangi?” “Pasti, adikmu sendiri tidak mungkin akan berharap atau sengaja menyengsarakanmu dengan menikmati keberuntunganmu.” “Tapi, untuk kepentingan Araman, suaminya, yang ingin ia harapkan menjadi seorang saudagar kaya. Adikku merasa bahwa suaminya tidak pernah mendapat kesempatan dan dia memohon padaku agar meminjamkan emasku pada suaminya agar dia dapat menjadi saudagar yang berhasil dan akan mengembalikan emasku dengan keberhasilannya.” “Sahabatku,” simpul Mathon, “ini masalah yang sangat penting yang perlu kita bahas. Emas membawa kepada pemiliknya tanggungjawab dan mengubah kedudukannya di hadapan para sahabatnya. Emas membawa ketakutan akan kehilangan atau akan dicurangi lepas dari dirinya. Emas membawa rasa kekuatan dan kemampuan untuk berbuat baik. Begitu juga, emas membawa kesempatan-kesemptan, yang jika salah dimanfaatkan, niat baiknya sekali pun dapat membawanya ke dalam kesulitan.” “Pernahkah engkau mendengar tentang seorang petani di Niniveh yang dapat mendengar dan mengerti bahasa binatang? Aku tidak akan menceritakan hal ini pada orang seolah-olah ini hanya cerita sambil lalu yang diceritakan sambil menempa perunggu. Aku akan menceritakan hal ini karena engkau harus tahu bahwa melakukan pinjam meminjam tidak sesederhana memindahkan keping emas dari tangan seseorang kepada tangan orang lainnya.” “Petani ini, yang dapat mengerti apa yang diperbincangkan sesama binatang, setiap sore selalu berjalan di sekitar halaman kandang ternaknya mendengarkan pembicaraan mereka. Pada suatu senja ia mendengar seekor kerbau mengeluh pada seekor keledai betapa berat tugas yang harus dikerjakannya : ‘Aku menghela bajak dari pagi hingga petang. Betapapun teriknya hari, atau lunglainya kakiku, atau ketatnya busur bajak mencekik pundakku, tetap perintah harus aku kerjakan. Tetapi engkau, makhluk yang santai. Engkau dibungkus sadel warna warni dan tidak mengerjakan apa pun selain memanggul tuan kita kemanapun yang ia inginkan. Apabila dia tidak pergi kemanamana, engkau beristirahat dan makan rumput hijau sepanjang hari.’” “Kemudian sang keledai, meski dia seekor hewan yang tendangannya sangat membahayakan, dia masih merupakan sahabat yang baik dan memberikan tenggang rasa pada sang kerbau. ‘Sahabat baikku,’ sahutnya, ‘engkau memang bekerja dengan berat dan aku dapat memberikan saran untuk meringankan bebanmu. Jadi, kukatakan kepadamu cara agar engkau dapt beristirahat sehari. Pagi hari ketika sang budak menjemputmu di kandang untuk membajak hari itu, berbaringlah engkau di lantai dan banyak melenguh agar dia menyangka engkau sedang sakit dan tidak bisa bekerja.’” “Jadi sang kerbau menggunkan nasihat keledai, pada pagi berikutnya sang budak menghadap ke petani dan mengatakan padanya sang kerbau sedang sakit dan tidak dapat digunakan untuk membajak pada hari itu.”



“’Jadi,’ kata petani, ‘gunakan sang keledai utnuk membajak, pekerjaan harus diteruskan.’” “Sepanjang hari sang keledai, yang maksudnya semula hanya ingin menolong sahabatnya, mendapatkan dirinya terpaksa mengerjakan pekerjaaan sang kerbau. Ketika malam tiba dia dilepaskan dari ikatan di bajak, hatinya getir dan sendi-sendi kakinya goyah keletihan dan lehernya lecet tercekik busur bajak.” “Sang petani, seperti biasa, berjalan-jalan di halaman kandang ternaknya mendengarkan.” “Sang kerbau mulai terlebih dahulu. ‘Engkau memang sahabatku yang baik. Karena nasihatmu yang bijaksana aku dapat menikmati istirahat satu hari penuh.’ “’Dan aku,’ rutuk sang keledai, ‘hanya seperti orang lugu yang semula hanya ingin membantu sahabatnya tetapi justru berakhir dengan aku yang mengerjakan tugas sahabatnya itu. Besok engkau tarik kembali bajakmu, karena aku mendengar tuan kita mengatakan pada budaknya untuk membawamu kepada tukang jagal apabila besok engkau sakit lagi. Mudah-mudahan saja ia jadi melakukannya, karena engkau memang pemalas.’ Selanjutnya mereka, satu sama lain, tidak pernah berbicara lagi – hal ini menghentikan persahabatan mereka. Dapat engkau sebutkan ajaran daam cerita ini, Rodan?” “’Cerita yang bagus,’sahut Rodan, ‘tapi aku tidak melihat ajarannya.’” “’Aku tidak berfikir engkau dapat menemukannya. Tapi ada ajarannya, sangat sederhana bahkan. Kira-kira begini : Apabila engkau ingin menolong sahabatmu, lakukanlah dengan cara yang tidak membuat beban sahabatmu itu menjadi bebanmu.” “Iya, tidak terfikirkan olehku. Sungguh sebuah ajaran yang bijaksana. Aku juga tidak tentu mengharapkan akan menanggung beban suami adikku. Tetapi katakan padaku. Engkau meminjamkan emas kepada banyak orang. Tidakkah mereka membayarmu kembali?” Mathon tersenyum dengan senyuman seseorang yang jiwanya sudah sangat kaya dengan pengalaman. “Mungkinkah pinjaman akan bagus apabila sang peminjam tidak dapat membayarnya kembali?. Apakah yang memberikan pinjaman tidak berfikir bijaksana dan memutuskan dengan hatihati bagaimana caranya agar emasnya dapat berfungsi sesuai dengan keperluan peminjam dan kemudain akan kembali lagi kepadanya; atau bagaimana kalau emas itu disia-siakan oleh orang yang tidak mampu memanfaatkannya dengan bijaksana sehingga menyebabkannya kehilangan semuanya, dan meninggalkan si peminjam dalam utang yang tidak mampu ia lunasi? Aku akan tunjukkan padamu hal yang berkaitan dengan pinjaman yang kuberikan dan lihat apa yang telah dilakuan para peminjam.” Ia membawa ke ruangan itu sebuah kotak selebar lenannya terbalut kulit dan dihiasi ornamen perunggu. Ia meletakkannya di lantai dan duduk di depannya, kedua lengannya diletakkan di atas tutup kotak itu. “Dari setiap orang yang kuberikan pinjaman, aku tentukan suatu jaminan yang akan kusimpan dalam kotak jaminan ini, dan tetap tersimpan di situ sampai pinjaman itu dibayarkan kembali. Apabila mereka melunasinya, jaminan itu kukembalikan, tetapi apabila mereka tidak membayarnya kembali, jaminan itu akan selalu mengingatkanku akan seseorang yang telah menyalahgunakan kepercayaanku.” “Pinjaman teraman, seperti kotak jaminanku ini selalu mengingatkanku, adalah pinjaman kepada orang yang nilai hartanya melebihi jumlah yang ia ingin pinjam. Mereka memiliki tanah, atau barang perhiasan, atau unta-unta, atau harta lain yang dapat dijual untuk membayar utangnya. Sebagian jaminan yang diberikan kepadaku berupa barang perhiasan yang nilainya lebih besar dari pijaman yang mereka inginkan. Yang lainnya berupa perjanjian bahwa apabila pinjaman tersebut tidak dapat dikembalikan sesuai dengan yang telah diperjanjikan mereka akan menyerahkan kepadaku harta bendanya sebagai alat pelunasan. Untuk peminjaman seperti itu aku menjamin emas yang kupinjamkan akan kembali sekaligus dengan sewanya, karena semua yang kupinjamkan dijaminkan dengan harta benda yang bernilai.’



“Untuk jenis lainnya, kuberikan pinjaman kepada orang-orang yang bermata pencaharian. Orang seperti engkau, yang bekerja atau menyediakan tenaga dan memperoleh imbalannya. Mereka memiliki penghasilan dan apabila mereka jujur dan tidak menghadapi halangan atau kemalangan apa-apa, aku tahu mereka dapat membayar kembali emas yang kupinjamkan kepada mereka beserta sewanya yang diperjanjikan kepadaku. Pinjaman seperti itu kuberikan berdasarkan usaha atau mata pencaharian seseorang.” “Yang lainnya mereka yang tidak memiliki harta dan mata pencahariannya tidak terjamin. Hidup memang susah dan selalau saja ada orang yang tidak dapat mengatasinya atau menyesuaikan hidupnya. Sayangnya, untuk pinjaman kepada orang seperti ini, meskipun hanya seketip, kotak jaminanku akan menyuruhku menolaknya selamanya kecuali mereka dijamin oleh sahabat baik sang peminjam yang mengetahui bahwa sang peminjam adalah orang yang berkehormatan dan berkelayakan.” Mathon, melepas penguncinya dan membuka tutup kotak jaminan. Rodan membungkuk ingin melihat isinya. Pada bagian paling atas kotak itu sebuah kalung perunggu terletak di atas selembar kain sutera ungu. Mathon mengambil kalung itu dan mengusapnya dengan lembut. “Barang ini akan selalu ad dalam kotak jaminanku ini karena pemiliknya telah meninggalkan dunia ini ke alam arwah. Akan kusimpan, jaminannya, dan dia akan sellu kukenang keberadaannya; karena ia salah seorang sahabat baikku. Kami berdagang bersama dan sangat berhasil hingga suatu hari datang dari negeri timur ia membawa seorang wanita untuk dinikahinya, sangat cantik, tetapi tidak seperti wanita-wanita Babilonia. Seorang makhluk yang sempurna. Ia hamburkan emas-emasnya untuk menyenangkan hati sang wanita. Ia datang kepadaku dengan risaunya ketika emasnya benar-benar habis. Kami bicarakan masalah ini bersama. Kukatakan padanya akau akan membantunya kembali mengendalikan dirinya sendiri. Ia berjanji di atas medali Lembu Agung bahwa ia akan mengendalikan diri. Tetapi hal sebaliknya yang ia lakukan. Dalam sebuah pertengkaran, sang wanita menusukkan belati kejantungnya ketika ia menantang sang wanita itu untuk melakukannya.” “Dan sang wanita?” tanya Rodan. “Ya, tentu saja, ini milik sang wanita.” Ia mengambil kain sutera ungu. “Dalam penyesalan yang memilukan sang wanita membenamkan dirinya ke Furat. Dua piutang ini tidak akan pernah terbayar. Kotak ini mengatakan padamu, Rodan, bahwa orang yang dilanda masalah hati dan kejiwaan bukanlah orang tanpa risiko bagi pemberi pinjaman emas.” “Ini! Ini hal yang berbeda.” Ia menjangkau sebuah cincin yang dibuat dari tulang lembu. “Cincin ini milik seorang petani. Aku membeli permadani yang dirajut istrinya. Ketika datang hama belalang, dan mereka tidak memiliki apapun untuk dimakan. Aku membantu mereka dan ketika tanaman baru kembali tumbuh dan dia memperoleh panen yang baik, ia membayar kembali pinjaman yang kuberikan. Kemudian ia datang lagi dan menceritakan adanya kambing unggul dari daerah yang jauh sebagaimana diceritakan oleh para pengembara. Kambing-kambing itu memiliki bulu yang lebih panjang, lebih halus, dan lebih lembut yang kalau dirajut menjadi permadani akan diperoleh permadani yang lebih cantik dari yang pernah dilihat di Babilonia. Ia menginginkan ternak itu tetapi tidak memiliki emas. Jadi kupinjamkan kepadanya emas untuk melakukan perjalanan ke negeri jauh dan membeli kambing unggul itu. Sekarang dia mulai menernakkan kambing itu dan tahun depan aku akan mengejutkan para pangeran Babilonia dengan permadani termahal, yang akan sangat beruntung bagi mereka, kalau dapat membelinya. Nanti cincin ini harus segera kukembalikan karena petani ini menginginkan segera melunasi utang-utangnya tepat waktu.” “Banyak peminjam emas melakuan hal begitu?” tanya Rodan. “Apabila mereka meminjam untuk kepentingan yang memberikan penghasilan padanya, rata-rata kudapatkan mereka membayar kembali utang-utangnya. Tetapi kalau mereka meminjam emas untuk dipergunakan pada hal-hal sesuai dengan kehendak hatinya, kuingatkan engkau untuk lebih berhatihati apabila emas yang engkau pinjamkan itu dapat kembali utuh kepadamu.” “Ceritakan padaku hal itu,” pinta Rodan, sambil mengambil sebuah gelang wanita dari emas yang berat, berhiaskan batu permata dengan potongan-potongan yang indah.



“Wanita menarik perhatianmu sahabatku,” canda Mathon. “Aku masih jauh lebih muda daripadamu,” sahut Rodan. “Aku pastikan itu, tapi pada hal ini engkau jangan menaruh curiga ada masalah percintaan atau apapun, tidak. Pemilik gelang ini, orangnya gemuk dan sudah berkerutan dan terlalu banyak berbicara meski untuk mengatakan hal yang sedikit membuatku cukup pusing. Semula mereka memiliibanyak harta dan menjadi pelanggan yang baik, tetapi masa-masa sulit dialami mereka. Ia memiliki seorang anak laki-laki yang sangat ingin agar anaknya menjadi seorang pedagang. Dia mendatangiku dan meminjam sejumlah emas dan kemudian anaknya menjadi rekan dagang suatu pemilik karavan yang bepergian dari satu kota membeli seuatu dan menukarkannya dengan barang lain di negeri lainnya.” “Pemilik karavan ini ternyata seorang penipu, ia meninggalkan anak laki-laki itu pada suatu kota yang sangat jauh tanpa uang dan tanpa teman, mereka pergi meninggalkan negeri itu pagi-pagi sekali ketika anak itu sedang tertidur. Mungkin kalau anak ini dewasa nanti ia akan membayar utangnya kembali; sementara itu akau tidak meminta imbalan sewa atas emas yang kupinjamkan itu – dan hanya pembicaraan yang tersisa dari pinjaman itu. Tetapi harus aku akui gelang emas ini sama nilainya dengan pinjaman yang kuberikan.” “Tidakkah wanita ini meminta pendapatmu tentang penggunaan pinjaman itu?” “Bagaimana mungkin. Sebaliknya bahkan. Ia bahkan sudah membayangkan anak laki-lakinya itu menjadi orang kaya yang berpengaruh di Babilonia. Menyebutkan hal yang tidak sama dengan bayangan itu bahkan membuatnya marah. Sergahan kasar yang kudapat. Aku sendiri dapat menilai risiko yang mungkin dihadapi anak yang belum berpengalaman itu, tetapi karena wanita itu menawarkan jaminan yang senilai, aku tidak dapat menolaknya.” “Ini,” lanjut Mathon, mengayunkan rantai perak halus yang disimpul indah, “milik Nebatur, pedagang unta. Apabila ia akan membeli unta dengan nilai yang melebihi keuangannya ia membawa rantai perak ini padaku dan aku memberikan pinjaman padanya sesuai kebutuhannya. Dia seorang pedagang yang bijaksana. Aku yakin pada kemampuannya berdagang dan berani dengan ringan memberikannya pinjaman yang dia perlukan. Banyak pedagang-pedagang di Babilonia yang dapat kupercaya karena telah kukenal tingkah lakunya yang terhormat. Jaminan yang mereka berikan datang dan pergi berulengkali dari kotak jaminanku ini. Pedagang yang baik merupakan harta tak ternilai bagi kota ini, mereka memberikan keuntungan kepadaku yang membantu mereka tetap menggulirkan usahanya yang membuat Babilonia menjadi berlimpah.” Mathon meraih sebuah patung kumbang yang diukir dari batu baiduri hijau melemparkannya begitu saja ke atas permadani. “Kumbang dari Mesir. Anak muda yang memiliki kumbang ini tidak perduli apakah aku akan mendapatkan kembali emas yang kupinjamkan atau tidak. Apabila aku mengunjunginya dia akan menjawab, ‘Bagaimana mungkin akau dapat membayarmu apabila nasib buruk terus menerus menghantuiku? Lagi pula, bukankah engkau masih memiliki banyak harta.’ Apa yang dapat kulakukan? Jaminan ini milik ayahnya – orang yang terpandang tetapi tidak terlalu berada, yang menjaminkan tanah dan ternaknya sebagai pendukung usaha anaknya. Awalnya, anak itu memperoleh keberhasilan dan kemudian menjadi sangat berambisi untuk memperoleh kekayaan lebih banyak. Pengetahuannya belum sepadan. Usahanya berkecaian. “Anak muda penuh keinginan. Anak muda akan bersedia mengambil jalan pintas ke kekayaan dan hal-hal lain yang diinginkannya dan akan mati-matian mempertahankannya. Untuk mendapatan kekayaan dengan cepat anak muda sering melakukan pinjaman dengan tidak berhati-hati. Sebagai anak muda, belum pernah memiliki pengalaman, tidak menyadari bahwa utang yang tidak memberikan hasil sama seperti perigi buta yang dalam yang kedalamnya seseorang akan terjun dengan segera dan menderita beberapa masa di dalamnya. Perigi buta itu perigi kesedihan dan penyesalan, sinar matahari tidak dapat mencapaimu dan malam-malam tidak bahagia selalu membuat engkau terjaga dari tidurmu. Tetapi aku tidak melarang melakukan pinjaman. Aku bahkan menganjurkannya. Aku menyarankannya apabila pinjaman itu benar-benar digunakan untuk tujuan yang jelas menjanjikan. Aku sendiri pun memulai keberhasilanku yang pertama sebagai saudagar dengan emas yang kupinjam.”



“Jadi, apa yang harus dilakukan pemberi pinjaman uang dalam masalah ini? Sang anak muda sedang dalam kesulitan, dan usahanya tidak menghasilkan apa-apa. Dia tidak dapat diandalkan. Dia tidak berusaha untuk membayar kembali pinjaman emas itu. Hatiku tidak menginginkan aku mengambil alih tanah dan ternak orang tuanya.” “Engkau telah menceritakan banyak hal yang sangat ingin kudengar,” ucap Rodan, “tetapi, aku belum mendapatkan jawaban atas pertanyaanku. Haruskah aku meminjamkan lima puluh keping emas milikku kepada suami adikku? Mereka sangat berarti bagiku.” “Adikmu orang yang sangat baik dan sangat kuhormati. Tetapi, seandainya suaminya datang kepadaku ingin meminjam lima puluh keping emas aku akan bertanya pada suaminya untuk apa akan ia gunakan emas yang akan kupinjamkan itu.” “Apabila ia menjawab bahwa dia ingin menjadi saudagar seperti diriku berdagang perhiasan permata dan perabotan mahal, akan kukatakan, ‘Apa yang engkau ketahui dalam seluk beluk perdagangan itu? Tahukah engkau dimana engkau dapat membeli barang-barang itu dengan harga yang serendah-rendahnya? Tahukah engkau dimana engkau dapat menjual barang perniagaan itu dengan harga yang pantas?’ Dapatkah ia menjawab ‘Ya’ pada pertanyaan-pertanyaan itu?” “Tidak, di tidak bisa,” aku Rodan. “Dia banyak menolongku dalam membuat lembing dan dia juga membantuku di gerai penjualannya.” “Jadi, dapat kukatakan padanya bahwa tujuannya tidak jelas dan kurang bijaksana. Saudagar harus mempelajari secara menyeluruh bidang usahanya. Keinginannya, cukup bagus, tetapi tidak dapat dilaksanakan dan aku tidak akan memberikannya pinjaman emas.” “Tapi, kalau seandainya dia dapat menjawab : ‘Ya, aku telah banyak membantu para saudagar. Aku tahu jalan ke Smyrna dan dapat membeli permadani dengan harga yang murah dari para ibu-ibu yang merajutnya di sana. Aku juga mengenal banyak orang kaya di Babilonia yang kepada mereka permadani itu dapat kujual dengan laba yang tinggi.’ Kemudian aku akan bertanya : ‘Tujuanmu jelas dan bijaksana sekali dan keinginanmu sangat kuhormati. Aku akan sangat senang memberikanmu pinjaman lima puluh keping emas apabila engkau dapat memberikan jaminan bahwa pinjaman itu akan engkau kembalikan.’” “Tetapi kalau ia mengatakan : ‘Aku tidak memiliki jaminan apa pun selain bahwa aku orang yang terhormat dan tidak tercela dan aku akan membayar kembali pinjaan itu.’ Aku akan mengatakan, ‘Aku sangat menghargai emas-emasku, tiap kepingnya. Apabila ada penjahat yang merampok emasmu saat engkau bepergian ke Smyrna atau menyamun permadani-permadani indahmu saat engkau kembali, engau kemudian tidak memiliki apa-apa untuk mengembalikan emas pinjaman itu padaku, maka lenyaplah emas-emasku.’” “Emas, ketahuilah, Rodan, adalah barang dagangan bagi pemberi pinjaman sepertiku. Sangat mudah memberikan pinjaman. Apabila diberikan dengan tidak bijaksana akan sangat sukar untuk memperolehnya kembali. Pemberi pinjaman yang bijaksana tidak menginginkan terjadinya resiko pemberian pinjaman, yang diinginkan justru jaminan pengembalian pinjaman.” “Juga,” Mathon melanjutkan, “membantu mereka yang dalam kesulitan. Pinjaman ini juga diberikan pada siapa yang nasibnya sedang dalam kesulitan. Pinjaman juga diperlukan mereka yang akan memulai usahanya yang selanjutnya akan berkembang dan menjadi orang yang berhasil. Tetapi, pertolongan harus diberikan dengan bijaksana, jika tidak, sama seperti keledai petani, dengan keinginan kita menolong akhirnya kita sendiri yang justru menanggung beban yang seharusnya menjadi milik orang yang kita tolong.” “Sekali lagi aku menyatakan hal yang menyimpang dari pertanyaanmu, Rodan, tapi dengar jawabanku : Simpan lima puluh keping emas milikmu itu. Apa yang mata pencaharianmu hasilkan untukmu dan apa yang telah diberikan padamu sebagai hadiah kerja kerasmu adalah milikmu sendiri, tidak akan ada seorangpun yang harus mewajibkan engkau meminjamkannya pada siapa pun kecuali sesuai dengan keinginanmu sendiri. Apabila engkau akan menanamkannya sebagai modal yang engkau pinjamkan agar memberikan engkau tambahan lebih banyak emas, maka lakukanlah dengan



penuh kehati-hatian dan di beberapa tempat. Aku tidak senang melihat emas nganggur yang tidak dimanfaatkan, tetapi aku lebih tidak suka menghadapi risiko yang terlalu besar.” “Berapa tahun sudah engkau melakukan pekerjaan membuat lembing?” “Tiga tahun penuh.” “Berapa banyak simpanan emasmu selain hadiah Sang Raja?” “Tiga keping emas.” “Setiap tahun dari hasil pencaharianmu setelah engkau tahan keinginanmu untuk menggunakan semua penghasilanmu engkau telah dapat menyisihkan satu keping emas?” “Ya, begitu, seperti yang engkau katakan.” “Jadi, bukankah nanti setelah engkau memerlukan lima puluh tahun bertungkus lumus baru dapat terkumpul lima puluh keping emas?. “Sepertinya, pekerjaan seumur hidup.” “Apakah engkau fikir adikmu akan menginginkan engkau membahayakan simpanan lima puluh tahun kerja keras demi gentong perunggu yang akan dicoba untuk diperdagangkan oleh suaminya agar menjadi seorang saudagar?” “Pastinya tidak, apabila aku jelaskan seperti apa yang engkau katakan.” “Jadi pergilah mendapatkannya dan katakan : ‘Tiga tahun aku bekerja setiap hari kecuali hari-hari puasa, dari pagi hingga sore hari, dan aku telah menahan keinginan hatiku dari memperoleh hal-hal yang kuperlukan. Untuk setiap tahun kerja keras dan menahan diri aku dapat menyisihkan satu keping emas. Engkau memang adikku yang sangat kusayangi dan kuharapkan suamimu akan berusaha dalam mata pencahariannya dan berhasil. Apabila dia dapat menyampaikan padaku rencana yang jelas dan bijaksana dan mungkin dijalankan menurut sahabatku, Mathon, maka aku akan sangat senang meminjamkan simpananku setahun dan dia akan mendapatkan kesempatan membuktikan bahwa dia akan berhasil.’ Lakukan itu, kataku, dan apabila dalam hatinya terdapat bibit keberhasilan ia akan dapat membuktikannya. Apabila ia gagal ia tidak akan berutang padamu lebih dari yang dia perkirakan mampu ia bayar.” “Aku memberi pinjaman emas karena aku memiliki emas lebih banyak dari yang aku butuhkan untuk menjalankan usaha dalam mata pencaharianku. Keinginanku hanya agar kelebihan emasku ini dapat bekerja pada orang lain dan memberikan emas tambahan bagiku. Aku tidak mau mengambil risiko kehilangan emasku yang sudah kuperoleh dengan susah payah dan telah menahan diriku dari menggunakannya untuk banyak kepentinganku yang lain agar aku dapat memperolehnya. Oleh karena itu, aku tidak akan memberikan pinjaman pada hal-hal yang aku tidak merasa yakin akan kemanannya dan kemungkinan emas itu dikembalikan kembali kepadaku. Aku tidak juga akan memberikan pijaman emasku apabila aku tidak yakin sewa yang harus dihasilkannya dibayarkan padaku sesuai dengan yang diperjanjikan.” “Telah kukatakan kepadamu, Rodan, sebagian rahasia yang disimpan di kotak jaminan ini. Dari cerita-cerita itu engkau dapat mempelajari kelemahan manusia dan keinginannya untuk meminjam emas meski mereka tidak memiliki sarana untuk membayarnya kembali. Dari situ engkau dapat melihat betapa seringnya harapan yang tinggi terhadap hasil terbaik yang diharapkan, ketika emas sudah ditangannya, ternyata hanya bayangan semu yang tidak dapat mereka capai karena tidak berkemampuan atau pun cukup berpengalaman untuk mencapainya.” “Engkau, Rodan, sekarang memiliki emas yang seharusnya engkau pekerjakan untuk memperoleh tambahan emas lainnya. Engkau akhirnya dapat saja menjadi sama seperti aku, pemberi pinjaman emas. Apabila engkau dengan hati-hati menjaga emas-emasmu, mereka akan memberikan hasil yang berlipatganda bagimu dan menjadikannya sumber kegembiraan dan keberuntungan pada setiap



hari-harimu. Tetapi apabila engkau biarkan ia berlalu pergi darimu, ia akan menjadi sumber kesedihan berlarut dan penyesalan sepanjang ingatanmu.” “Apa yang paling ingin engkau lakukan terhadap emas yang ada di kantungmu?” “Menjaganya agar aman tersimpan.” “Ucapan yang bijaksana,” jawab Mathon menyetujui. “Harapanmu yang pertama adalah agar emasmu aman. Apakah engkau fikir, dalam tangan suami adikmu emas ini akan benar-benar aman dari risiko usahanya?” “Aku khawatir tidak aman, karena aku kira dia kurang bijaksana dalam mengelola emas.” ”Jadi, jangan goyah oleh bayangan kewajiban yang bodoh itu, jangan begitu saja mempercayakan emasmu kepada siapapun. Kalau engkau ingin membantu keluargamu atau sahabat-sahabatmu, cari cara lain selain membahayakan kepemilikanmu yang berharga. Jangan lupa, emas akan lenyap dengan cara tak terduga di tangan orang yang tidak berpengalaman mengelolanya. Sama halnya menghambur-hamburkan emasmu untuk hal-hal yang tidak perlu seperti membiarkan orang lain menghilangkannya untukmu.” ”Apa selanjutnya, setelah keamanan emasmu, yang engkau inginkan.” “Memperoleh lebih banyak emas.” “Sekali lagi engkau telah berbicara dengan bijaksana. Emas harus dipergunakan untuk memperolah hasil dan berkembang lebih banyak. Emas yang dipinjamkan dengan bijaksana, akan mampu menggandakan dirinya dari hasil yang diusahakannya bahkan sebelum orang seumurmu menjadi tua. Apabila engkau menghilangkannya, engkau kehilangan hasil yang mungkin dapat diusahakan emas itu juga.” “Oleh karena itu, jangan tergoda oleh rencana besar yang tidak mungkin dicapai hanya karena pembuat rencana berfikir dapat mempekerjakan emas dengan lebih keras agar hasilnya lebih besar. Rencana seperti itu biasanya hanya diciptakan orang yang hanya mampu bermimpi tanpa memperhatikan risiko dan hukum-hukum perdagangan yang dapat dipercaya. Berhati-hatilah pada apa yang engkau harapkan dapat dihasilkan emas-emas itu agar engkau tetap dapat memilikinya dan menikmati emas-emasmu. Menyewakannya kepada seseorang dengan janji hasil yang luar biasa sama saja dengan mengundang kerugian sebagai tamu datang kepadamu.” “Cari dan berkumpullah dengan orang-orang atau kongsi-kongsi yang hasilnya sudah terbukti sehingga emasmu akan memberikan hasil yang bagus dibawah pengelolaan mereka yang sudah ahli dan terjaga oleh kebijaksanaan dan pengalaman mereka.” “Dan, hendaknya engkau hindari kemalangan yang mengikuti sebagian besar anak manusia yang pada mereka Para Dewa telah melihat cukup pantas untuk diberi kepercayaan mengelola emas.” Ketika Rodan menyampaikan terima kasih atas saran bijaksana yang ia berikan, yang terima kasih itu Mathon abaikan, Mathon berkata lagi, “Hadiah Sang Raja akan banyak memberimu pelajaran kebijaksanaan. Engkau harus menyimpan lima puluh keping emas itu dengan penuh kerahasiaan. Banyak sekali jalan untuk menggunakannya yang akan menggodamu. Banyak sekali saran-saran yang akan engkau dengar. Banyak kesempatan berharga untuk memperoleh keuntungan yang besar akan ditawarkan padamu. Cerita-cerita dari kotak jaminanku seharusnya akan mengingatkanmu, bahwa sebelum engkau mengeluarkan setiap keping emas yang ada di kantungmu engkau harus yakin engkau akan dapat dengan selamat menariknya kembali. Apabila nasihatku yang lain engkau perlukan, kembalilah kemari. Aku akan dengan senang hati memberikannya.” “Ini, engkau harus membaca tulisan yang kupahat dibawah tutup kotak jaminanku ini. Kalimat ini berlaku bagi keduanya, peminjam atau pemberi pinjaman.”



LEBIH BAIK SEDIKIT BERHATI-HATI DARI PADA PENYESALAN YANG BERLARUT



VII : TEMBOK KOTA BABILONIA TEMBOK KOTA BABILONIA



Si tua Banzar, bekas prajurit yang gagah berani, tegak berdiri menjaga pintu gerbang masuk lorong menuju ke atas tembok kota lama Babilonia. Di atasnya pengawal-pengawal perkasa berperang mempertahankan kota. Kepada kekuatan merekalah tergantung kelangsungan kehidupan kota besar ini bersama dengan ratusan ribu penghuninya. Di balik tembok terdengar teriakan-teriakan para penyerang, jeritan banyak sekali manusia, depakan kaki ribuan kuda, dentuman memekakkan palang penggempur gerbang yang terus melantak gerbang perunggu kota. Pada jalan di depan gerbang berjaga barisan pemanah, menunggu para penyerang seandainya mereka berhasil menembus gerbang kota. Jumlah mereka tidak cukup banyak untuk tugas itu. Pasukan utama Babilonia sedang menyertai Sang Raja, jauh di timur dalam sebuah ekspedisi mengenyahkan pemberonrak Elamites. Tidak ada penyerangan ke kota yang diperkirakan datang pada saat kepergian mereka, pengawal kota sangat sedikit. Tanpa diduga, dari utara, datang menyerang pasukan Assyria. Dan sekarang tembok kota harus dipertahankan atau Babilonia akan hancur. Banyak sekali penduduk di sekeliling Banzar, pucat dan ketakutan, sangat ingin mengetahui perkembangan peperangan itu. Dengan mata tertegun gerun mereka melihat para serdadu yang luka atau tewas dibawa ke garis belakang melalui lorong tembok kota. Di tembok sekitar inilah titik terpenting dalam penyerangan itu. Setelah tiga hari mengurung kota, para musuh tiba-tiba melancarkan serangan terkuatnya pada sisi tembok yang dekat dengan lorong yang dijaga Banzar. Pengawal di atas tembok kota berhadapan dengan tangga-tangga dan tiang pemanjat yang disandarkan penyerang pada sisi luar tembok, memanahi penyerangnya, menyiramkan minyak panas, atau menombaki siapa saja yang berhasil mencapai atas tembok. Melawan para pengawal, ribuan pemanah dari pihak penyerang terus menerus menyirami prajurit di atas tembok kota dengan anak-anak panah yang mematikan. Si tua Banzar, berada di posisi terbaik untuk mendengarkan berita perkembangan peperangan. Ia pihak terdekat ke pusat peperangan dan yang pertama mendengar setiap denyut terbaru perkelahian dan getar keganasan penyerangan. Seorang saudagar yang sudah cukup tua yang berkumpul dekat dengan Banzar, tangannya pucat kaku dan gemetar. “Katakan padaku! Ceritakan!” pintanya. “Mereka tidak boleh masuk. Anakku sedang bersama Sang Raja. Tidak ada yang menjaga istriku yang sudah tua. Barang milikku, mereka akan merampoknya semua. Makananku, tidak akan ada yang mereka sisakan. Kita sudah tua, terlalu tua untuk dapat menjaga diri kita sendiri – terlalu tua juga untuk menjadi budak. Kita akan kelaparan. Kita akan mati. Katakan padaku bahwa mereka tidak akan bisa masuk.” “Tenangkan dirimu, saudagar tua,” jawab sang pengawal. “Tembok kota Babilonia sangat kuat. Kembalilah ke pasar dan katakan pada istrimu bahwa tembok kota akan melindungimu dan seluruh harta bendamu seselamat tembok itu melindungi harta kekayaan Sang Raja. Merapatlah lebih ke sisi tembok, nanti anak-anak panah yang melayang-layang itu dapat mengenaimu.” Seorang wanita dengan bayi digendongannya menggantikan tempat saudagar tua berdiri ketika sang saudagar berlalu. “Sersan, apa berita baru dari atas?” Ceritakan padaku yang sesungguhnya agar akau dapat menenangkan suamiku. Ia masih terbaring demam akibat luka-lukanya, tetapi tetap masih memintaku menyiapkan tameng dan lembing agar dia dapat menjagaku, beserta anakku. Sudah pasti akan sangat mengerikan apabila musuh yang haus darah itu sampai berhasil masuk ke dalam kota.”



“Tetaplah tenangkan hatimu, setenang hati ibumu, dan akan tetap tenang begitu, karena tembok kota Babilonia akan melindungimu dan anakmu. Tembok ini tinggi dan sangat kuat. Tidakkah engkau dengar teriakan pengawal kita yang gagah itu ketika mereka mencurahkan minyak panas berapi pada penyerang di tangga-tangga pemanjat?” “Ya, aku memang mendengarnya, tetapi aku juga mendengar batang penggedor gerbang yang terus memalu gerbang kota.” “Kembalilah pada suamimu. Katakan padanya gerbang kota amat sangat kuat dan dapat menahan batang penggedor. Juga para penyerang yang memanjat tembok kota akan menghadapi tombakan pengawal. Jaga dirimu, dan berlindunglah dalam bangunan.” Banzar melangkah ke samping untuk memberikan jalan kepada pertahanan beralat berat. Dengan dentangan tameng perunggu dan rantai-rantai yang berat, mereka menapaki lorong itu, seorang anak perpempuan memegangi sabuk perunggu Banzar. “”Katakan padaku prajurit, tolong, apakah keadaan kita aman?” pintanya. “Aku mendengar bunyibunyi yang tidak menyenangkan. Aku lihat para punggawa berdarah-darah. Aku takut sekali. Apa yang akan terjadi pada keluargaku. Ibuku, adikku dan para bayi?” Prajurit tua yang gagah itu mengedipkan matanya dan menegakkan wajahnya ketika ia menenangkan anak itu. “Jangan takut, anak kecil,” ia meyakinkannya. “Tembok kota Babilonia akan melindungimu dan ibumu dan adikmu dan para bayi. Untuk mengamankan hal itu semualah Ratu Semiramis kita yang baik itu membangunnya lebih dari seratus tahun yang lalu. Tidak pernah tembok kota ini ditembus oleh musuh manapun. Pergi kembali, katakan pada ibumu dan adikmu dan para bayi bahwa tembok kota Babilonia akan melindungi mereka dan mereka tidak perlu gentar.” Hari demi hari si tua Banzar berjaga pada posnya dan mengamati pasukan pertahanan beralat berat memenuhi lorong ke atas tembok kota, tetap di sana mempertahankan kota hingga terluka atau tewas baru mereka meninggalkan tembok itu. Di sekitarnya, tidak henti-hentinya berdatangan kerumunan penduduk kota yang dalam ketakutan mencari tahu dan bertanya apakah tembok kota dan pengawalnya masih mampu bertahan. Kepada mereka semua, Banzar memberikan jawaban dengan penuh keyakinan seorang serdadu tua, “Tembok kota Babilonia akan melindungi engkau.” Selama tiga minggu dan lima hari penyerangan itu berlangsung dengan kekerasan tanpa henti. Semakin kuat dan perkasa terlihat rahang Banzar, sementara lorong di belakangnya basah oleh darah para prajurit yang terluka, bercampur lumpur di tanah yang terus terinjak-injak oleh para prajurit yang berlalu lalang ke atas tembok dan kembali ke bawah. Setiap hari penyerang yang terbunuh menumpuk di sekitar tembok kota. Setiap malam rekan-rekannya mengumpulkan dan menguburkan mereka. Pada malam kelima minggu keempat suara-suara teriakan yang biasanya riuh rendah berkurang. Pada pagi berikutnya, ketika sinar mentari pertama menerangi padang luas di luar tembok kota, tampak kabut debu mengambang terhambur oleh jejak para penyerang yang sedang mengundurkan diri. Teriakan kemenangan bergema di pihak pengawal tembok kota yang bertahan. Tidak diragukan lagi artinya. Teriakan itu disahuti oleh keriuhan teriakan para prajurit lainnya yang sedang siaga di sisi dalam tembok, diulangi lagi oleh gemuruh suara-suara penduduk di jalan-jalan dalam kota. Bergemuruh menyapu seluruh kota bagai badai tetapi melegakan. Orang-orang keluar dari kediamannya. Jalan-jalan dipenuhi kerumunan manusia. Rasa takut yang memberatkan dada bermingu-minggu seolah menguap bertukar dengan arak-arakan kegembiraan. Dari puncak Kuil Bel yang tinggi dinyalakan api kemenangan. Melambung ke udara asap biru dari padanya, menyampaikan pesan sampai ke tempat-tempat yang jauh dan lebih luas.



Tembok kota Babilonia telah sekali lagi menangkal serangan musuh yang kuat dan garang yang meski telah berazam menjarah perbendaharaan kota dan memusnahkan penduduknya atau menjadikan mereka budak, terjadi tidak. Babilonia bertahan dari abad ke abad karena kota itu terjaga secara meneyeluruh. Dia tidak boleh lalai melakukannya. Tembok kota Babilonia merupakan contoh yang luar biasa tentang kebutuhan manusia dan keinginanan untuk tetap terlindungi dengan aman. Keinginan yang selalu ada dalam sejarah kemanusiaan. Keinginan itu masih sama kuatnya sekarang dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, tetapi untuk tujuan yang sama, kita telah mengembangkannya menjadi lebih luas dan merencanakan dengan labih baik. Pada hari ini, dibalik banyak sekali perlindungan asuransi, tabungan dan sarana investasi lainnya, yang tidak ada yang dapat kita hindari, kita dapat menjaga diri kita sendiri dari kemalangan yang tidak dapat diduga yang dapat saja datang melintas atau bahkan duduk bersama di ruang tamu.



KITA TIDAK DAPAT MENGATASI KEHIDUPAN TANPA PERLINDUNGAN YANG CUKUP



VIII : PEDAGANG UNTA DI BABILONIA PEDAGANG UNTA DI BABILONIA



Semakin lapar seseorang, semakin terang batinnya bekerja – juga semakin tajam penciumannya pada aroma makanan. Tarkad, anak laki-laki Azure, setidaknya berfikir begitu. Selama dua hari penuh dia tidak mencicipi makanan kecuali dua buah kesemek kecil yang dicurinya di atas pagar sebuah kebun. Dia tidak dapat memetik yang lainnya karena tiba-tiba datang seorang wanita yang dengan marahnya mengejar Tarkad sepanjang jalan. Suara teriakannya yang tajam masih terngiang-ngiang di telinganya ketika ia berjalan menyusuri keramaian pasar. Lengkingan itu membuatnya menahan diri dari mencuri buahbuahan yang menggoda, yang begitu banyak dijual di pasar itu. Belum pernah disadarinya betapa luar biasa banyaknya bahan makanan di bawa ke pasar Babilonia dan betapa enaknya aroma bebauan yang menyertai sayur dan buah itu. Meninggalkan pasar, ia berjalan ke sebuah penginapan dan mondar-mandir di depan sebuah rumah makan. Mungkin di sini dia dapat bertemu dengan seseorang yang dikenalnya, seseorang yang dapat ia minta diberi pinjaman sekeping perunggu yang akan dapat membuat penjaga penginapan yang tidak ramah itu tersenyum, dan dengan itu juga, rela memberikan bantuan. Tanpa keping perak itu dia sangat tahu bagaimana perilaku sangat tidak senangnya penjaga penginapan itu ketika berhadapan dengannya. Ketika ia sedang asik memikirkan hal itu, secara tak terduga ia terserempak muka dengan muka dengan seseorang yang paling dihindarinya, seorang yang berperawakan tinggi dan bertulang besar Dabasir, pedagang unta. Di antara semua sahabat dan siapapun yang pernah ia pinjam sedikit, paling-paling beberapa keping perunggu, Dabasir yang paling tidak membuatnya nyaman karena kegagalannya untuk memenuhi janji untuk mengembalikannya tepat waktu. Wajah Dabasir sedikit lega mendapatkannya. “Ha! Ini dia Tarkad, orang yang kucari-cari mungkin dia akan mengembalikan dua keping perunggu yang kupinjamkan kepadanya satu bulan yang lalu; juga satu keping perak yang kupinjamkan padanya sebelum itu. Akhirnya kita bersua. Aku sangat memerlukan keping-keping itu hari ini. Apa katamu, Nak? Bagaimana?” Tarkad tergagap dan wajahnya semu memucat. Dengan perut yang kosong dia tidak lagi memiliki nyali untuk bertengkar dengan Dabasir yang gemar berbicara itu. “Maafkan aku, maaf sekali,” ia bergumam pelahan, ”tetapi hari ini aku tidak memiliki keping perunggu ataupun keping perak untuk membayarmu.” “Maka carilah,” deask Dabasir. “Tidak dapatkah engkau memperoleh beberapa keping perunggu dan sekeping perak untuk membayar kembali kemurahan hati seorang sahabat lama ayahmu yang menolongmu ketika engkau dalam kesempitan?” “Aku sedang dirundung malang, bagaimana mungkin aku akan dapat membayarmu kembali.” “Kemalangan! Engkau menyalahkan para dewa karena kelemahanmu sendiri. Kemalangan merundung orang yang hanya memikirkan meminjam uang dari pada membayar utang-utangnya. Mari ikut besamaku, nak, aku mau makan. Aku lapar, sambil makan akan kuceritakan kepadamu sebuah cerita.” Tarkad kecut hatinya mendengar keterusterangan Dabasir, tapi paling tidak ada ajakan masuk ke rumah makan yang memang selalu diidamkannya. Dabasir mendorongnya ke sudut ruangan yang agak jauh dimana mereka duduk diatas sebuah permadani kecil.



Ketika Kauskor, pemilik rumah makan, muncul sambil tersenyum, Dabasair menyapanya dengan bahasanya yang agak kasar tetapi sangat terbuka, “Kadal gurun gendut, hidangkan aku sepotong kaki kambing, agak berlemak setengah matang, dan roti dan semua sayur-sayuran, aku lapar dan mau makan agak banyak.Jangan lupakan sahabatku ini. Bawakan dia seteko air. Air yang dingin, bukankah hari ini panas.” Hati Tarkad tersumbat. Haruskah ia duduk disini dan hanya minum air sementara melihat orang ini melahap kaki kambing segar itu? Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak dapat menemukan kata-kata untuk diucapkan. Dabasir, sebaliknya, tidak pernah mengenal kata diam. Tersenyum dan melambaikan lengannya dengan halus kepada pelanggan lainnya, yang semuanya dikenalnya dengan baik, melanjutkan pembicaraannya. “Aku mendengar dari seorang yang baru datang dari Urfa cerita tentang seorang yang kaya yang memiliki sepotong batu yang di belah tipis sekali sehingga sehingga seseorang dapat melihat menembus batu itu. Ia menaruh batu itu di jendela rumahnya agar tidak dimasuki air hujan. Warnanya kuning, begitu kata orang yang baru datang itu, dan dia diberikan kesempatan untuk melihat menembusnya dan semua dunia di luar sana terlihat aneh dan tidak sama dengan keadaan yang sebenarnya. Apa pendapatmu tentang hal itu, Tarkad? Apakah engkau fikir dunia akan dapat terlihat dengan warna yang berbeda bagi seseorang?” “Aku tidak berani mengatakannya,” jawab anak muda itu, ia lebih tertarik pada kaki kambing yang terhidang di depan Dabasir. “Baiklah. Aku tahu itu benar karena aku sendiri telah melihat dunia dengan warna yang berbeda dengan warna yang seharusnya, dan kisah yang akan kuceritakan ini berhubungan dengan bagaimana aku dapat kembali melihat dunia dengan warna yang sesungguhnya.” “Dabasir mau bercerita,” bisik orang yang sedang makan di sebelah Dabasir kepada tetangga duduknya sambil menarik permadani tempat dia duduk lebih mendekat ke Dabasir. Orang yang sedang makan lainnya yang tertarik membawa makanannya duduk di sekeliling Dabasir membentuk setengah lingkaran. Mereka mengunyah makanannya dengan lahap berkecap-kecap di telinga Tarkad dan seolah melambai-lambaikan daging-daging empuk itu di depan matanya, sedangkan dia sendiri duduk tanpa makanan suatu apa. Dabasir tidak menawarkann makan bersamanya, bahkan perduli pun tidak menyuruhnya menjumput bagian roti yang agak keras yang terpotong dan jatuh di lantai. “Kisah yang akan kuceritakan ini,” mulai Dabasir, berhenti sejenak menggigit bagian gemuk enak kaki kambing, “mengenai masa mudaku dan bagaimana aku kemudian menjadi pedagang unta. Tidakkah ada di antara engkau yang mengetahui bahwa aku dulu pernah menjadi budak di Syria?” Bisik-bisik terkejut terdengar di antara pendengar, hal itu membuat senang hati Dabasir. “Ketika aku masih muda,” lanjut Dabasir setelah satu lagi gigitan tertancap lahap pada kaki kambing, “aku belajar berpencaharian pada ayahku, sebagai pembuat pelana. Aku bekerja padanya di toko dan kemudian mendapat seorang istri. Sebagai orang muda mentah tidak terlalu ahli, aku hanya berpenghasilan sedikit saja, tidak banyak, hanya dapat memenuhi keerluan istriku yang cantik secara sederhana. Aku menginginkan barang-barang bagus yang tidak dapat kupenuhi. Kemudian kudapatkan pemilik toko mempercayaiku untuk membayar kemudian meski aku tidak mampu membelinya saat itu.” “Sebagai orang muda mentah tidak berpengalaman aku tidak tahu bahwa siapa saja yang membelanjakan lebih dari pada yang dapat ia hasilkan ia telah menaburkan angin pemenuhan keinginan yang tidak perlu dan dari situ ia pasti akan menuai badai kemalangan dan akan mempermalukannya. Jadi aku bersenang-senang sesuai keinginan hatiku, berpakaian bagus, membeli perhiasan dan perabotan mewah untuk istri dan rumahku, semua diluar batas kemampuanku.”



“Aku membayar utangku semampuku, untuk sementara semua berjalan lancar. Tetapi, pada saat kusadari aku tidak dapat lagi menggunakan penghasilanku untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan membayar utang-utangku. Para pemberi pinjaman mulai mencari-cariku meminta melunasi pembelanjaan mewahku dan kehidupanku mulai menjadi menyedihkan. Aku meminjam lagi pada sahabatku, tetapi tidak mampu melunasinya juga. Keadaan berubah dari buruk ke lebih buruk lagi. Naas. Istriku kembali ke orang tuanya dan untuk diriku sendiri aku putuskan meninggalkan Babilonia menuju ke kota lain di mana anak muda diharapkan akan mendapat kesempatan yang lebih baik.” “Selama dua tahun aku mengembara tanpa hasil bekerja pada sebuah karavan pedagang. Dari situ, kemudian aku berhubungan dengan sekelompok penyamun yang menyusuri gurun mencari karavan tanpa pengawalan. Pekerjaan itu sangat tidak pantas, apalagi sebagai anak dari seorang yang terhormat seperti ayahku, tetapi aku sedang melihat dunia dari belakang batu yang warnanya berbeda dan tidak menyadari lembah kemunduran apa yang aku sedang jatuh kedalamnya.” “Kami mendapatkan hasil yang bagus pada perampokan yang pertama, menjarah harta benda berharga berupa emas dan sutera dan barang dagangan bernilai lainnya. Jarahan ini kami bawa ke Ginir dan berfoya-foya di sana.” “Kali kedua kami tidak terlalu beruntung. Bagitu selesai kami garap sebuah karavan, kami diserang oleh penombak-penombak kepala suku setempat yang sudah dibayar karavan itu untuk perlindungan mereka. Dua pemimpin kami terbunuh, sisanya diangkut ke Damaskus dimana kami ditelanjangi dari pakaian kami dan dijual sebagai budak.” “Aki dibeli seharga dua keping perak oleh kepala suku gurun Syria. Dengan kepala yang sudah digunduli dan dengan hanya mengenakan cawat, aku tidak ada bedanya dengan budak-budak yang lainnya. Sebagai anak muda yang kurang hati-hati, aku kira keadaan ini hanya sebagai salah satu petualangan biasa hingga suatu saat tuan-ku membawaku kepada ke empat istri-istrinya dan mengatakan kepada mereka behwa mereka dapat menjadikan aku sebagai salah seorang kasim mereka. “Baru saat itulah, benar-benar, kusadarai betapa tidak berdayanya situasiku. Penduduk gurun ini begitu keras dan kejam. Saat itu aku harus tunduk pada keinginan mereka tanpa senjata ataupun kesempatan atau cara meloloskan diri.” “Dengan penuh ketakutan, aku terdiri di situ, sementara empat wanita itu memandangiku. Aku sangat berharap aku akan memperoleh belas kasihan dari mereka. Sira, istri yang pertama, lebih tua dari istri-istri yang lain. Wajahnya dingin seolah tanpa perasaan dan dia memandang ke arahku. Aku dilewatinya dengan sedikit harapan. Yang berikutnya merupakan wanita cantik yang sangat sombong yang memandangku tanpa minat sama sekali seolah-olah aku seekor cacing tanah. Dua yang terakhir tersenyum-senyum geli seakan semua kejadian ini hanya lelucon semata.” “Waktu terasa berjalan lama sekali ketika aku beriri disitu menunggu putusan. Setiap wanita terlihat menginginkan yang lainnya yang memutuskan. Akhirnya Sira angkat bicara dengan suara yang dingin.” “’Kasim kita telah cukup banyak, tetapi perawat unta yang hanya beberapa, sementara yang kita miliki semuanya tidak begitu berguna. Bahkan hari ini, ketika aku ingin menjenguk ibuku yang sedang sakit demam tidak ada satu budak pun yang dapat kupercaya untuk menggiring unta bagiku. Tanyakan pada budak ini apakah ia mampu menggiring unta?” “Tuan-ku lantas bertanya padaku, ‘Apa yang kau ketahui tentang unta?’” “Sambil berusaha menutupi keinginanku, aku menjawab, ‘Aku bisa membuat mereka duduk, aku dapat mengatur bebannya, aku mampu menggiring mereka berjalan jauh tanpa lelah. Apabila diperlukan aku dapat memperbaiki hiasan pelananya.’” “’Budak ini telah menyatakan mengenal semuanya,’ simpul tuan-ku. ‘Apabila engkau inginkan, Sira, ambil budak ini jadikan perawat untamu.’”



“Kemudian aku diberikan kepada Sira dan hari itu juga aku giring untanya melalui suatu perjalanan yang cukup jauh ke tempat ibunya yang sedang sakit. Aku menggunakan kesempatan itu berterima kasih padanya karena telah begitu baik menjadikanku perawat untanya dan juga menceritakan padanya bahwa aku bukanlah budak karena kelahiran, tetapi anak seorang merdeka, seorang pembuat pelana di Babilonia. Aku juga menceritakan padanya sebagian besar riwayat perjalananku. Ia memberikan pendapat yang mengecewakan aku dan setelah itu aku terus memikirkan apa yang dikatakannya padaku.” “’Bagaimana engkau dapat mengatakan engkau orang merdeka sedangkan kelemahanmu telah menjadikan engkau seperti ini? Apabila seseorang memiliki dalam dirinya jiwa budak apakah ia akhirnya tidak akan menjadi seorang budak, tidak perduli apakah ia dilahirkan sebagai budak atau merdeka, bukankah ia menjadi seperti air yang akan menyesuaikan ketinggiannya pada akhirnya? Apabila seseorang memiliki dalam dirinya jiwa merdeka apakah ia tidak akan menjadi orang terhormat dan dihargai dalam negerinya sendiri meski ia tidak terlalu beruntung?’” “Selama satu tahun aku menjadi budak dan hidup bersama para budak lainnya, tetapi aku tidak dapat menjadi salah seorang dari mereka. Pada suatu hari Sira bertanya padaku, ‘Pada saat para budak dan bercanda bergurau sesamanya, mengapa engkau duduk sendiri di sini di dalam tenda?’” “Kepada pertanyaan itu kujawab, ‘Aku memikirkan apa yang engkau katakan padaku. Aku bertanyatanya pada diriku apakah aku memiliki jiwa budak. Aku tidak bisa bersenda gurau bersama mereka, jadi aku harus memisahkan diriku.’” “’Aku, juga, harus memisahkan diri,’ ia menerangkan dirinya. ‘Maharku sangat besar dan tuan ku menikahiku karena mahar. Ia tidak benar-benar menginginkanku. Apa yang diimpikan setiap wanita adalah diinginkan. Tetapi karena adanya mahar, dan karena aku tidak dapat memberikan keturunan baik lelaki maupun wanita, aku harus memisahkan diri. Seandainya aku seorang laki-laki aku lebih suka mati dari pada menjadi budak, tetapi kebudayaan suku kami memperlakukan wanita seolah budak.’” “’Apa pendapatmu tentang diriku saat ini?’ kutanyakan padanya seketika itu juga. ‘Apakah aku memiliki jiwa merdeka atau jiwa budak?’” “’Apakah engkau memiliki keinginan untuk melunasi utang-utangmu di Babilonia?’ ia balik bertanya.” “’Ya, aku memiliki keinginan itu, tetapi tidak menemukan jalannya.’” “’Apabila engkau cukup puas dengan membiarkan tahun-tahun berlalu dengan tenang tanpa melakukan usaha untuk membayar lunas utangmu, maka engkau memang pantas memiliki jiwa rendah seorang budak. Tidak seorangpun orang akan dikatakan terhormat apabila ia tidak menghargai dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang dikatakan menghargai dirinya sendiri apabila ia tidak membayar lunas utang-utangnya.’” “’Tetapi apa yang dapat aku lakukan, aku hanya seorang budak di Syria?’” “’Jadilah budak di Syria, si lembek’” “’Aku bukan si lembek,’ kusangkal keras. “’Coba buktikan.’” “’Bagaimana?’” “’Bukankah Sang Raja yang perkasa memerangi musuh-musuhnya dengan segala cara yang dapat ia lakukan dengan segala daya yang ia miliki? Utangmu adalah musuhmu. Dia membuatmu meninggalkan Babilonia. Engkau meninggalkan mereka tanpa perlawanan dan itu membuat mereka bertambah kuat bagimu. Engkau harus memeranginya sebagai seorang lelaki, engkau dapat mengalahkan mereka dan menjadi warga terhormat dalam masyarakat. Tetapi engkau tidak memiliki jiwa seorang lelaki untuk melawan mereka dan akhirnya harga dirimu sebagai orang merdeka turun hingga engkau menjadi budak di Syria.’”



“’Banyak sekali kegalauan dalam fikiranku yang ditimbulkan oleh tuduhannya yang tidak menyenangkan itu dan banyak kalimat-kalimat bantahan tersusun untuk membuktikan bahwa jiwaku bukanlah jiwa budak, tetapi aku tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakannya. Tiga hari kemudian pelayan Sira membawaku menghadap tuannya. “’Ibuku, kembali, sakit keras,’ katanya. ‘Persiapkan dua unta suamiku yang terbaik. Gantungkan kantung-kantung air dan perkakas untuk perjalanan jauh. Pelayan akan memberimu persediaan makanan di tenda dapur.’ Aku persiapkan unta sambil bertanya-tanya kenapa begitu banyak perbekalan yang disediakan sang pelayan, sedangkan kediaman ibunya dapat ditempuh dalam kurang dari satu hari. Sang pelayan menaiki unta kedua di belakang dan aku menggiring unta tuanku di depan. Ketika kami sampai ke kediaman ibunya hari sudah gelap. Sira membebaskan pelayannya pergi dengan urusan sang pelayan itu sendiri dan kemudian berkata kepadaku.” “’Dabasir, apakah engkau mempunyai jiwa seorang merdeka atau jiwa seorang budak?’” “’Jiwa seorang yang merdeka,’ aku bertahan dengan itu. “’Sekarang saatnya kesempatan buat engkau membuktikannya. Saat ini, tuan mu pasti sedang mabuk berat dan anak buahnya lagi teler. Ambil unta ini dan larilah. Dalam kantung ini ada pakaian tuan mu untuk engkau gunakan sebagai samaran. Aku nanti akan mengatakan bahwa engkau mencuri unta ini dan melarikan diri ketika aku sedang mengunjungi ibuku yang sakit.’” “’Engkau memiliki jiwa seorang ratu,’ kukatakan padanya, ‘aku doakan agar engkau dapat memperoleh kebahagiaan.’” “’Kebahagiaan,’ jawabnya, ‘tidak menunggu istri yang melarikan diri yang mencarinya ke negeri yang jauh di antara orang-orang yang asing. Pergilah menuruti jalanmu sendiri, mudah-mudahan para dewa gurun melindungi engkau karena perjalananmu sangat jauh dan engkau akan jarang mendapatkan air dan makanan.’” “Aku tidak memerlukan hal-hal yang lain, hanya beterima kasih padanya dengan sangat dan langsung menembus malam. Aku tidak mengenal wilayah asing ini dan hanya memiliki gambaran samar arah dimana keberadaan letak Babilonia, namun dengan tanpa rasa takut kurambah padang pasir itu mengarah ke perbukitan. Seekor unta kutunggangi sambil menarik unta lainnya. Aku bergerak sepanjang malam dan sepanjang hari berikutnya, dengan rasa takut tertangkap, dikejar bayangan hukuman yang akan dikenakan pada seorang budak yang mencuri unta dan harta tuannya dan mencoba melarikan diri. “Pada petang harinya sampailah aku ke daerah bebatuan yang sama tidak dapat dihuninya dengan sebuah gurun. Bebatuan tajam menyakiti kaki-kaki untaku yang setia selanjutnya mereka melangkah dengan hati-hati, perlahan memilih tempat menelapak dan melaluinya dengan sengsara. Aku tidak menemukan manusia atau binatang buas dan dapat memaklumi mengapa mereka menghindari tempat yang tidak bersahabat ini.” “Melanjutkan perjalanan itu sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa yang dapat diceritakan oleh hanya sedikit orang yang dapat hidup-hidup melaluinya. Hari demi hari kami tapaki. Air dan makanan habis sudah. Panasnya matahari memberi siksa tak berampun. Pada akhir hari ke sembilan, aku jatuh menggelosor dari punggung untaku dengan perasaan aku terlalu lemah untuk naik kembali ke atasnya dan aku pasti akan mati, lenyap ditelan negeri tak bertuan ini.” “Tak berdaya, aku terbaring di atas tanah dan tertidur, tidak bangun-bangun hingga muncul matahari pagi.” “Aku duduk dan memandangi keadaan sekitar. Ada sedikit kesejukan di udara pagi itu. Unta-untaku terpuruk nelangsa tidak berapa jauh dariku. Di sekelilingku terhampar daerah gersang luas ranggas tak berguna ditutupi pasir dan bebatuan serta belukar berduri, tidak ada tanda-tanda adanya air, tidak juga makanan buat unta apalagi buat manusia.”



“Mungkinkah dalam suasana sepi yang damai ini aku menghadapi hari akhirku? Batinku menjadi lebih jernih dari sebelumnya. Tubuhku sekarang terasa tidak begitu penting lagi. Bibirku yang kering pecah-pecah dan berdarah, lidah yang membengkak kering mengeras, perut kosongku, semua telah kehilangan rasa tersakit, yang menyerang sampai hari sebelumnya.” “Aku melihat jauh sejauh mata memandang ke seberang dan pertanyaan itu muncul lagi, ‘Apakah aku memiliki jiwa seorang budak atau jiwa seorang manusia merdeka?’ Kemudian dengan jernih kusadari bahwa jika jiwaku jiwa seorang budak, aku akan menyerah, menggeletak ditengah gurun dan mati, sebuah akhir yang pantas bagi seorang budak yang melarikan diri.” “Tetapi apabila aku memiliki jiwa seorang manusia merdeka, aku akan bagaimana? Pasti aku akan kerahkan kemampuanku mencari jalan ke Babilonia, melunasi utang pada orang yang telah mempercayaiku, bawa kebahagiaan pada istriku yang benar-benar mencintaiku dan timbulkan ketenangan dan rasa puas pada orang tuaku.” “’Utang-utangmu adalah musuhmu yang membuat engkau lari meninggalkan Babilonia,’ seperti dikatakan Sira. Ya memang begitu. Mengapa aku menghindar untuk tetap berdiri tegak seperti seorang lelaki? Mengapa aku telah membiarkan istriku kembali pada ayahnya?” “Lantas seuatu yang aneh terjadi. Seisi dunia ini seakan menjadi berbeda warnanya seolah-olah selama ini aku telah melihatnya melalui batu berwarna yang seketika di pindahkan dari hadapanku. Akhirnya aku melihat nilai yang sesungguhnya dari kehidupan ini.” “Mati di tengah gurun! Aku tidak! Dengan pandangan yang baru, aku melihat hal-hal yang harus aku lakukan. Pertama aku akan kembali ke Babilonia dan berhadapan dengan setiap orang yang aku berutang padanya dan kubayar kembali, belum sama sekali. Kepada mereka akan kukatakan bahwa setelah tahun-tahun berkelana dengan masa penuh bencana, aku telah kembali untuk membayar kembali utang-utangku secepat yang diizinkan para dewa. Selanjutnya aku akan membangun sebuah rumah untuk istriku dan menjadikan diriku seorang warga yang dapat dibanggakan orang tuaku.” “Utangku adalah musuh-musuhku, tetapi mereka yang memberikanku pinjaman adalah sahabatsahabatku yang telah menaruh kepercayaan padaku.” “Dengan sisa kekuatan aku berusaha berdiri di atas kakiku yang bergetar lemah. Lapar? Bagaimana haus? Itu semua hanya hal yang harus dilalui pada jalan ke Babilonia. Di dalam diriku mengalir deras jiwa seorang merdeka yang kembali berusaha mengenyahkan musuh-musuhnya dan kembali membuat perhitungan agar impas dengan sahabat-sahabatnya. Aku benar-benar bersemangat dengan bayangan penuntasan itu.” “’Mata unta-untaku yang kuyu menjadi berbinar oleh nada baru suaraku yang parau. Dengan usaha yang keras, setelah beberapa kali percobaan, beranjak, mereka dapat berdiri. Dengan penuh kesengsaraan dan susah payah, mereka terus bergerak ke arah utara ke arah mana seuatu dalam diriku mengatakan aku akan menemukan Babilonia.” “Kami temukan air. Kami melewati daerah yang agak subur yang terdapat rumput dan bauh-buahan segar di situ. Kami temukan jalan ke Babilonia karena jiwa seorang yang merdeka melihat kehidupan sebagai rangkaian masalah yang harus diselesaikan dan menyelesaikannya, sementara jiwa seorang budak hanya akan mengeluh, ‘Apa yang dapat aku lakukan, bukankah aku hanya seorang budak?’” “Bagaimana dengan dirimu, Tarkad? Tidakkah perut laparmu membuat fikiranmu menjadi lebih terang? Apakah engkau siap mengambil jalan yang akan memberimu harga dirimu kembali? Tidak dapatkah engkau memandang dunia ini dengan warnanya yang sesungguhnya? Tidakkah engkau mempunyai keinginan untuk melunasi utang-utangmu, seberapa banyak pun mereka, dan sekali lagi kembali menjadi orang yang terhormat di Babilonia?” “Air mata menumpuk di bola mata anak muda itu. Dari duduk ia berlutut. ‘Engkau telah menunjukkan padaku sebuah pandangan baru; aku bahkan sudah dapat merasakan jiwa seorang yang merdeka mengalir dalam diriku.’”



“Tapi apa yang terjadi sepulangnya engkau ke Babilonia?” tanya pendengar yang sangat tertarik dengan cerita Dabasir. “Dimana kemauan berada, disitu jalan di dapat,” jawab Dabasir. “Aku sekarang memiliki kemauan jadi kucari jalan keluarnya. Pertama kudatangi setiap orang yang aku berutang kepadanya dan meminta kemudahan sampai aku dapat bermatapencaharian dan membayar utang-utang padanya. Sebagian besar dari mereka senang dapat melihatku kembali. Beberapa orang masih marah dan memakimakiku tapi ada juga yang menawarkan bantuan kepadaku; salah seorang bahkan benar-benar memberikan aku bantuan yang sangat aku butuhkan. Dia Mathon, pemberi pinjaman emas. Mengetahui bahwa aku pernah menjadi perawat unta di Syria, ia mengirim aku ke si tua Nebatur, pedagang unta, yang baru saja dititahkan Sang Raja kita yang baik untuk membeli unta-unta unggul yang baik yang akan digunkan dalam ekspedisi Sang Raja berikutnya. Dengan Nebatur, aku dapat menerapkan pengetahuanku tentang unta dengan baik. Secara bertahap aku mampu membayar kembali setiap perunggu dan setiap keping perak. Dan akhirnya aku dapat dengan berani mengangkat wajahku dan merasakan bahwa aku seorang yang terhormat di mata masyarakat.” Sekali lagi Dabasir kembali ke makanannya. “Kauskor, lambatnya engkau, bagai keong,” teriaknya keras hingga terdengar sampai ke dapur, ”makanan ini sudah dingin. Bawakan lagi aku daging yang baru dipanggang. Bawakan juga seporsi besar untuk Tarkad, anak sahabat lamaku, yang lapar dan harus makan bersamaku.” Begitulah akhir cerita Dabasir pedagang unta di Babilonia kuno. Ia menemukan jiwanya sendiri ketika ia menyadari kebenaran yang agung, kebenaran yang sudah dikenal dan dipergunakan oleh orangorang yang bijaksana pada masa-masa jauh sebelumnya. Ajaran kebijaksanaan itu telah membimbing orang-orang di berbagai zaman keluar dari kesulitan menuju keberhasilan dan akan terus melakukan hal yang sama pada siapa saja yang memiliki kearifan untuk mengenal kekuatan ajaib. Ajaran yang dapat digunakan setiap orang yang membaca kalimat ini :



DIMANA KEMAUAN BERADA DI SITU JALAN DIDAPAT



IX : LEMPENG TANAH LIAT DARI BABILONIA LEMPENG TANAH LIAT DARI BABILONIA



ST. SWITHIN’S COLLEGE Universitas Nottingham Newark-on-Trent, Nottingham 21 Oktober, 1934 Professor Franklin Caldwell Kepala Ekspedisi Ilmiah Inggeris Hillah, Mesopotamia. Professor yang terhormat. Lima lempeng tanah liat hasil penggalianmu yang terakhir di reruntuhan Babilonia telah sampai dengan kapal yang sama yang membawa suratmu. Aku sangat tertarik pada lepeng-lemeng tanah liat itu, dan telah menghabiskan beberapa jam yang mengasikkan tanpa hentinya menerjemahkan tulisan yang ada di atasnya. Seharusnya aku segera langsung membalas suratmu, tetapi kutunda hingga akau selesai melakukan penerjemahan yang dengan surat ini kusertakan sebagai lampiran. Lempeng tanah liat itu kuterima tanpa kerusakan, berkat kehati-hatianmu memberikan pengawet dan pengepakan yang sempurna. Engkau akan terkesima seperti kami di laboratorium ini jika membaca cerita yang tertulis di lempeng itu. Seseorang mungkin akan mengharapkan membaca sebuah cerita yang tidak jelas dari masa lampau yang menceritakan percintaan dan petualangan. Seperti cerita-cerita “Arabian Night.” Namun, ternyata lempeng itu mengungkap permasalahan hidup seorang bernama Dabasir yang berusaha melunasi utang-utangnya, kita menjadi sadar bahwa kondisi yang ada di dunia kuno ini tidak berubah sama sekali selama lima ribu tahun, tidak sebagaimana yang diperkirakan banyak orang. Cukup aneh, tetapi tulisan kuno ini agak mengejutkan aku, seperti dikatakan murid-muridku. Sebagai seorang professor, aku dianggap sebagai seorang pemikir yang memiliki hampir semua pengetahuan dalam segala bidang. Namun, ini, tiba-tiba ada seorang pada zaman dahulu kala yang muncul dari bawah debu reruntuhan Babilonia memberikan jalan keluar yang belum pernah kudengar, tentang bagaimana caranya membayar utang-utangmu sekaligus menyimpan emas yang berdentingan di kantung uangmu. Hail buah pikiran yang menarik, dapat kukatakan begitu, akan sangat baik jika kita dapat membuktikan bahwa jalan keluar ini dapat juga dipergunakan pada masa kini, sebagaimana dia berhasil diterapkan di Babilonia. Nyonya Shrewsbury dan saya sendiri merencanakan akan mencoba rencana ini, yang mungkin akan dapat memperbaiki masalah kami sendiri.



Kami ucapkan selamat kepadamu dalam usaha penggalianmu, dan kami tunggu dengan senang hati kesempatan lain untuk membantu. Hormat saya, Alfred H. Shrewsbury Fakultas Arkeologi



Lempeng Pertama



Sekarang, bulan telah sempurna purnama, Aku, Dabasir, yang baru saja kembali dari menjalani perbudakan di Syria, bertekad penuh untuk membayar kembali semua utang-utangku dan menjadi seorang yang dapat dihargai di kota asalku Babilonia, aku tuliskan di atas lempengan tanah liat ini sebuah catatan kegiatan usahaku itu, yang akan membimbing dan membantuku menjalani keinginan hatiku ini. Dengan nasihat yang bijaksana dari sahabat baikku, Mathon, pemberi pinjaman emas, aku memutuskan untuk menjalani sebuah rencana yang jelas, yang akan diberikannya, yang akan membawaku menjadi salah seorang yang terhormat, tanpa utang yang melekat pada hartaku dan dapat memiliki harga diri yang pantas. Rencana ini memilik tiga tujuan yang merupakan harapan dan keinginanku. Pertama, rencana ini mempersiapkan kemakmuranku di masa yang akan datang. Oleh karena itu sepersepuluh dari seluruh hasil pencaharianku harus disisihkan sebagai simpananku sendiri. Seperti yang dikatakan Mathon dengan arifnya ketika ia mengatakan : “Orang yang menyimpan di kantung uangnya emas dan perak yang tidak dibelanjakannya, sangat baik bagi keluarganya dan mematuhi Sang Raja.” “Orang yang hanya memiliki beberapa keping perunggu di kantung uangnya tidak begitu berarti bagi keluarganya dan tidak begitu mematuhi Sang Raja.” “Orang yang tidak memiliki apa-apa di kantung uangnya sangat tidak berguna bagi keluarganya dan tidak mematuhi Sang Raja, karena hatinya sendiri getir.” “Oleh karena itu, seseorang yang menginginkan mencapai sesuatu harus memiliki keping-keping yang terus berdencing di kantung uangnya, dan ia memiliki dalam hatinya cinta pada keluarganya, dan kepatuhan pada Sang Raja.” Kedua, rencana ini memerintahkan bahwa aku harus menafkahi istriku yang baik yang telah dengan setia dikembalikan kepadaku dari rumah ayahnya. Karena Mathon mengatakan bahwa dengan menjaga dengan baik istrimu yang setia engkau menanamkan harga diri dalam dirimu sendiri dan menambah kekuatan dan tekad dalam mencapai tujuanmu. Oleh karena itu, tujuh persepuluh dari seluruh hasil pencaharianku harus kuperuntukkan untuk rumah, pakaian untuk dipakai, dan makanan untuk dimakan, dengan sedikit kelebihan untuk keperluan lainnya, yang tidak membuat kehidupan kita terasa kurang dapat dinikmati atau kurang memberi kebahagiaan. Tetapi dia juga menekankan untuk dengan hati-hati menjaga agar aku tidak mengeluarkan lebih dari tujuh persepuluh dari seluruh hasil pencaharian untuk keperluan-keperluan yang utama itu. Disinilah terletak keberhasilan rencana itu. Aku harus hidup hanya dengan jumlah bagian itu, dan tidak pernah menggunakan lebih dari itu atau membelanjakan untuk sesuatu yang harus aku bayar, dengan keping di luar dari bagian itu.



Lempeng Kedua



Ketiga, rencana ini mengharuskan, dari hasil pencaharian itu juga, semua utang-utang harus dibayarkan kembali.. Oleh karena itu setiap kali purnama telah sempurna, dua persepuluh dari seluruh hasil pencaharianku harus dibagi dengan adil dan merata kepada orang-orang yang telah mempercayai aku dan kepada mereka aku telah melakukan pinjaman. Dengan demikian pada akhirnya akan terbayar lunaslah semua utang-utangku. Oleh karena itu, disini kutuliskan nama-nama setiap orang kepada siapa aku telah berutang dan jumlah sebenarnya utang-utangku. Fahru, penenun kain, 2 perak, 6 perunggu. Sinjar, pembuat perabot, 1 perak. Ahmar, sahabatku, 3 perak, 1 perunggu. Zankar, sahabatku, 4 perak, 7 perunggu. Askamir, sahabatku, 1 perak, 3 perunggu. Harinsir, pembuat perhiasan, 6 perak, 2 perunggu. Diarbeker, sahabat ayahku, 4 perak, 1 perunggu. Alkahad, pemilik rumah, 14 perak. Mathon, pemberi pinjaman emas, 9 perak. Birejik, petani, 1 perak, 7 perunggu. (Selanjutnya, rusak, tidak terbaca)



Lempeng Ketiga



Kepada semua pemberi pinjaman seluruhnya aku berutang seratus sembilan belas keping perak dan seratus empat puluh satu keping perunggu. Karena begitu banyak jumlah yang terutang dan aku tidak melihat cara membayarnya kembali, dan dengan kebodohanku aku mengizinkan istriku kembali kepada ayahnya, dan kemudian aku meninggalkan kampung halamanku demi mencari kehidupan yang lebih mudah di tempat lain, hanya untuk mendapatan kemalangan dan mendapatkan diriku dijual ke dalam kehinaan menjadi seorang budak. Sekarang karena Mathon telah menunjukkan kepadaku bagaimana caranya membayar kembali pinjaman-pinjaman itu hanya dari sebagian kecil hasil pencaharianku, aku semakin sadar betapa besarnya ketololanku telah pergi lari dari hasil keborosanku. Oleh karena itu aku mengunjungi setiap pemberi pinjaman padaku dan menjelaskan kepada mereka bahwa aku tidak memiliki sumber penghasilan yang lain untuk membayar kembali utang-utangku kecuali hanya dari hasil pencaharianku, dan aku bermaksud menggunakan duapersepuluh dari hasil pencaharianku guna membayar utang-utangku dengan adil dan merata. Hanya sebatas itulah yang dapat aku lakukan dan tidak lebih. Oleh karena itu, apabila mereka sabar, pada saatnya seluruh kewajibanku akan terselesaikan. Ahmar, yang aku anggap sebagai sahabat terbaikku, memarahiku dengan keji dan aku meninggalkannya dengan penuh rasa malu. Birijek, sang petani, memohon agar aku membayar utangku padanya terlebih dahulu sebab dia sedang sangat membutuhkan peraknya. Alkahad, pemilik rumah, sungguh sangat tidak setuju dan menekankan bahwa ia akan membuat aku dalam kesulitan kecuali aku segera menyelesaikan semua utangku padanya. Semua yang lain dengan rela setuju dengan rencanaku. Oleh karena itu aku menjadi lebih yakin dari sebelumnya untuk menjalankan rencana ini sepenuhnya, menjadi yakin bahwa lebih baik membayar



semua utang-utangku daripada menghindari mereka. Meskipun aku tidak dapat memenuhi kebutuhan dan permintaan dari beberapa pemberi pinjaman aku akan menghadapi dengan adil pada semuanya.



Lempeng Keempat



Sekali lagi purnama bersinar sempurna. Aku telah bekerja keras dengan jiwa yang bebas. Istriku yang baik telah mendukung niatku untuk membayar kembali semua pemberi pinjaman. Karena niat kami yang cukup bijaksana, aku telah memperoleh penghasilan selama satu purnama, karena membantu membeli unta-unta yang sehat dengan kaki-kaki yang kuat, untuk Nebatur, sebanyak sembilan belas keping perak. Jumlah itu sudah kubagi sesuai dengan rencana. Sepersepuluh kusisihkan untuk simpananku, tujuh persepuluh keberikan pada istriku yang baik untuk keperluan kehidupan kami sehari-hari. Duapersepuluh kubagikan kepada seluruh pemberi pinjaman seadil dan semerata mungkin dalam kepingan perak. Aku tidak menemui Ahmar tetapi meninggalkan pembayaran kepadanya pada istrinya. Birejik sangat senang, ia bahkan mencium tanganku. Alkahad tua sendiri yang tidak puas dan mengatakan bahwa aku harus membayarnya lebih cepat. Untuk keluhannya itu kujawab bahwa apabila aku diizinkan untuk hidup secukupnya dan tidak terlalu disusahkan, dengan begitu saja akan dapat memungkinkan aku membayar lebih cepat. Semua yang lain berterima kasih kepadaku dan mengatakan hal yang baik-baik tentang usahaku. Oleh karena itu, pada akhir setiap purnama, utang-utangku berkurang hampir empat keping perak dan aku masih menyimpan dua keping perak di kantung uangku, yang tidak dapat diganggugugat oleh orang lain. Hatiku menjadi lebih ringan dari sebelumnya, sudah lama aku tidak merasakannya. Lagi purnama bersinar sempurna, Aku telah bekerja sama kerasnya tetapi dengan hasil yang lebih sedikit. Hanya sedikit unta yang dapat kubeli. Hanya sebelas keping perak yang dapat kuhasilkan. Meskipun demikian istriku yang baik dan aku tetap berpegang pada rencana kami, meski kami tidak membeli pakaian baru dan makan pun hanya sedikit sayuran. Sekali lagi kubayar pada diriku sendiri sepersepuluh dari sebelas keping perak untuk disimpan, dan hidup dengan tujuh persepuluh. Aku agak terkejut mendengar pujian Ahmar atas pembayaranku, meski pun jumlahnya sangat kecil. Birijek begitu pula. Alkahad naik pitam tetapi ketika kukatakan akau akan mengambil kembali jumlah yag akan kubayarkan apabila dia memang tidak menginginkannya, dia agak terhibur. Yang lainya, sebagaimana sebelumnya cukup puas. Lagi purnama bersinar sempurna dan aku sangat bergembira. Aku terserempak pada kawanan unta yang bagus dan membeli cukup banyak unta terbaik, sehingga aku mendapatkan empat puluh dua keping perak. Bulan ini aku dan istriku telah membeli sandal dan pakaian baru yang sangat kami perlukan. Dan kami juga dapat menikmati daging dan unggas. Lebih dari delapan keping perak sudah kami bayarkan kepada pemberi pinjaman. Bahkan Alkahad sudah tidak mengeluh lagi. Sungguh baik rencana itu berjalan sehingga kami akan dapat melunasi utang-utang kami dan masih memiliki sebagian kekayaan yang dapat kami simpan dan nikmati. Tiga kali purnama sempurna telah berlalu sejak terkahir kali aku menulis lempeng ini. Setiap kali kubayarkan buat diriku sendiri sepersepuluh dari hasil pencaharianku. Setiap kali pula istriku yang baik dan aku hidup dengan tujuh persepuluh meski kadang-kadang penuh kesulitan. Setiap kali pula kubayarkan kepada pemberi pinjman dua persepuluh. Dalam kantung uangku sekarang aku memiliki dua puluh satu keping perak milikku. Ia membuatku mampu mengangkat wajahku di atas bahu ketika berhadapan dengan siapapun dan membuatku bangga dan bebas berjalan bersama sahabat-sahabatku.



Istriku memelihara rumah kami dengan baik dan dia dapat berpakaian lebih pantas. Kami gembira hidup bersama. Rencana itu benar-benar tak ternilai. Dia telah menjadikanku seorang terhormat, seorang bekas budak.



Lempeng Kelima



Lagi purnama bersinar sempurna dan aku teringat sudah lama sekali terakhir aku menulis lempeng tanah liat ini. Dua belas bulan penuh telah datang dan pergi. Tetapi hari ini aku tidak akan melupakan catatanku karena pada hari ini aku telah membayar utangku yang terakhir. Inilah hari dimana istriku yang baik dan aku yang penuh syukur pada diriku sendiri dengan perayaan besar karena dengan penuh tekad tujuan kami telah tercapai. Banyak hal terjadi pada kunjungan terakhirku pada para pemberi pinjaman yang akan selalu aku kenang. Ahmar meminta maaf atas kekasarannya dan mengatakan bahwa aku adalah salah satu orang yang paling ingin dan pantas dijadikan sahabat. Alkahad tua ternyata tidak terlalu jahat, dia mengatakan, “Engkau sebelumnya sepotong tanah liat lembek yang diperas dan dibentuk oleh banyak tangan yang menyentuhmu, tetapi sekarang engkau telah menjadi sekerat perunggu yang dapat membuat sudut keras. Apabila engkau membutuhkan perak atau emas, setiap waktu engkau dapat datang kepadaku.” Tidak hanya dia yang meberikan aku penghargaan yang tinggi. Beberapa yang lainnya memberikan rasa hormatnya padaku. Istriku yang baik memandangku dengan kilauan dalam matanya yang membuat seorang lelaki sepertiku menjadi lebih percaya diri. Itulah rencana yang telah membuat aku berhasil. Ia telah membuat aku mampu melunasi semua utang-utangku dan mebuat kantung uangku penuh dengan rincingan emas dan perak. Aku menyarankan kepada siapapun yang ingin maju. Sesungguhnya, apabila ia dapat menjadikan bekas budak membayar kembali semua utang-utangnya dan memiliki emas dalam kantung uangnya, mungkinkah ia tidak dapat membantu siapa saja memperoleh kemerdekaan? Tidak hanya aku, diriku sendiri, berhasil dengannya, karena aku yakin apabila aku mengikuti rencana ini lebih lanjut, dia akan menjadikanku orang berada di antara para orang-orang kaya.



ST. SWITHIN’S COLLEGE Universitas Nottingham Newark-on-Trent, Nottingham



7 Nopember, 1936 Professor Franklin Caldwell Kepala Ekspedisi Ilmiah Inggeris Hillah, Mesopotamia.



Professor yang terhormat. Apabila, dalam penggalianmu lebih lanjut pada reruntuhan Babilonia, engkau bertemu dengan hantu bekas penghuninya terdahulu, seorang pedagang unta tua bernama Dabasir, maka bantulah aku. Katakan padanya bahwa tulisannya pada lempeng tanah liat itu, berabad yang lalu, telah memberikan rasa terima kasih seumur hidup baginya dari sepasang orang-orang unversitas di London. Engkau mungkin masih ingat isi suratku setahun yang lalu yang mengatakan bahwa Ny Shrewsbury dan aku sendiri bemeksud mencoba rencana seperti yang dituliskan pada lempeng tanah liat itu agar terbebas dari utang dan pada saat yang sama dapat memiliki emas yang berdencingan. Engkau pasti sudah menduga, meski kami sudah mencoba merahasiakannya dari sahabat-sahabat kami, tentang kehidupan kami yang pas-pasan. Kami sangat malu pada diri sendiri selama bertahun-tahun dengan utang yang menumpuk tidak ada habisnya dan sealalu merasa was-was kalau-kalau salah satu dari kreditur itu mulai mencari-cari atau mempermasalahkan hal ini sehingga menjadi hal yang dapat memaksa kami keluar dari Universitas. Kami terus membayar - setiap kali sebanyak yang dapat kami peras dari penghasilan kami – tetapi tetap saja tidak dapat menyelesaikan semuanya. Disamping itu kami terus saja membelanjakan semua kebutuhan kami sepanjang kredit masih dapat diperoleh tanpa perduli berapapun tinggi bunganya. Hal itu berlangsung hingga menjadi suatu lingkaran setan yang terus menerus berkembang menjadi lebih buruk, tidak pernah membaik. Perjuangan kami semakin sia-sia. Kami tidak dapat pindah ke kamar yang sewanya lebih rendah lagi karena kami masih berutang pada pemilik rumah. Kelihatannya tidak ada lagi yang dapat kami buat untuk memperbaiki keadaan kami. Kemudian, datang sahabatmu ini, pedagang unta yang sudah tua dari Babilonia, dengan rencana yang sesuai dengan apa yang kami ingin peroleh. Ia benar-benar menggugah kami untuk melakukan sistem yang dirancangnya. Kami buat daftar utang-utang kami, kubawa berkeliling mengunjungi setiap pemberi utang itu. Aku jelaskan betapa tidak mungkinnya bagiku untuk akhirnya menyelesaikan semuanya dengan cara-cara yang selama ini kami lakukan. Mereka sendiri dapat melihat hal ini dari perhitungan yang kutunjukkan. Kemudian kujelaskan bahwa satu-satunya cara yang dapat kulakukan untuk menyelesaikan semuanya adalah dengan menyisihkan dua puluh persen dari penghasilanku setiap bulan untuk dibagi sama rata pada setiap kreditur, sehingga akhirnya semua utang itu, menurut rencana, akan dapat kami selesaikan dalam jangka waktu dua tahun. Dan, sementara itu untuk pembelanjaan selanjutnya, kami hanya akan membeli secara tunai yang akan lebih menguntungkan bagi mereka. Rencana itu ternyata memang cukup baik. Penjual sayur, orang tua yang bijaksana, menjelaskan hal itu dengan cara yang lebih tegas. “Apabila engkau berbelanja dengan uang tunai dan juga membayar sebagian utangmu, itu jauh lebih baik dari yang selama ini engkau lakukan, selama tiga tahun ini engkau belum pernah mengurangi pokok pinjamanmu.” Akhirnya aku mencatat semua nama-nama mereka dan membuat perjanjian kepada masing-masingnya yang mengikat mereka untuk tidak mengganggu kami dengan cara apapun demi sisa utang itu selama dua puluh persen dari penghasilanku digunakan untuk menyelesaikan utang itu. Kemudian kami mulai merencanakan bagaimana kehidupan kami dapat kami lalui dengan tujuh puluh persen. Kami bertekad untuk menyimpan sepuluh persen untuk dihimpun. Harapan dapat mengumpulkan perak, atau jika mungkin, emas, merupakan bagian rencana yang paling menarik.



Melakukan perubahan-perubahan ini seperti menjalani sebuah petualangan. Kami menikmati menyusun rencana itu, dan mencoba hidup dengan nyaman dengan sisa tujuh puluh persen. Pertama dimulai dengan sewa, dan ternyata berhasil mendapat pengurangan. Kemudian dengan teh merek kesukaan dan dengan sedikit ketelitian lebih kami cukup berhasil, betapa seringnya kami bisa medapatkan barang dengan kualitas tinggi pada harga yang lebih rendah. Ini cerita yang cukup panjang untuk sebuah surat tetapi bagaimanapun juga, kesemuanya itu terbukti tidak terlalu menyulitkan. Kami berhasil melaluinya dan sangat menikmatinya. Betapa melegakan nyatanya keadaan kami dengan situasi tanpa ancaman dari utang-utang terdahulu. Harus tidak kuabaikan, bagaimanapun juga, untuk mengatakan padamu tentang sisa sepuluh persen yang kami harapkan dapat menumpuk. Ya, ia bertambah terus selama ini, Tapi, jangan cepat tersenyum. Begini, ini bagian yang sedikit menyenangkan, mulai mengumpulkan uang yang tidak mau engkau gunakan. Lebih banyak enaknya mengelola simpanan itu dari pada menggunakannya. Setelah beberapa waktu kami merasa cukup puas memiliki simpanan, meski hanya sedikit, kami mendapatkan kegunaannya yang lebih menguntungkan. Kami mulai menanamkannya pada lembaga keuangan, dan itu dapat kami lakukan dengan menanamkan sepuluh persen dari penghasilan setiap bulannya. Hal ini ternyata merupakan hal yang paling memuaskan dalam usaha melipatgandakan simpanan itu. Penanaman ini lah hal pertama yang justru kami dahulukan pada penghasilan bulanan kami. Ada rasa aman yang menenangkan menyadari penanaman kami berkembang secara teratur. Pada saat akhir masa kerja mengajarku nanti, jumlahnya pasti sudah cukup lumayan, cukup besar sehingga hasil yang diberikannya akan dapat mencukupi kehidupan kami selanjutnya. Semua ini berasal dari penghasilan yang sama dengan yang aku terima sebelumnya. Sulit dipercaya, tetapi sungguh nyata. Semua utang kami secara teratur terkurangi dan pada saat yang sama investasi kami terus meningkat. Di samping itu kami hidup secukupnya, secara materi, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Siapa yang akan percaya akan begitu besarnya perbedaan apabila kita mengikuti perencanaan keuangan dibandingkan dengan hanya mengikuti aliran kehidupan. Pada akhir tahun depan, apabila semua utang-utang kami sudah terbayar lunas, kami akan memiliki sedikit kelonggaran menambah investasi kami atau sedikit ekstra untuk melakukan perjalanan atau rekreasi. Kami sudah bertekad tidak akan pernah lagi membiarkan biaya kehidupan kami melebihi tujuh puluh persen dari penghasilan kami. Sekarang engkau akan faham mengapa kami ingin menyampaikan salam terima kasih kami kepada orang tua itu yang rencana rancangannya telah menyelamatkan kami dari “Neraka Dunia.” Dia tahu. Dia telah mengalami hal itu semua. Dia ingin ada orang lain yang dapat manfaat dari pengalaman pahitnya. Itulah sebabnya ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan tekunnya mengguratkan pesannya pada lempeng tanah liat itu. Ia menyampaikan pesan yang benar bagi teman senasib buruk dan sependeritaan, sebuah pesan yang sangat penting meski sudah lima ribu tahun dia masih dapat keluar dari reruntuhan Babilonia, masih sangat benar dan masih sangat penting, seperti benar dan pentingnya pesan itu pada saat ia terkubur.



Hormat saya, Alfred H. Shrewsbury Fakultas Arkeologi



X : ORANG PALING BERUNTUNG DI BABILONIA



ORANG PALING BERUNTUNG DI BABILONIA



Di depan karavannya, di atas kuda, duduk dengan gagahnya Sharru Nada, pangeran saudagar Babilonia. Dia menyukai kain sutera halus dan mengenakan pakaian mewah, dengan itulah ia berjubah. Dia menyukai hewan unggul dan duduk dengan nyamannya di atas kuda Arab yang kekar. Melihatnya, seseorang akan sukar menduga masa depannya. Dan, pasti juga orang tidak akan menyangka bahwa di dalam hatinya ia sedang bergulat dan masalah sedang meliputi hatinya.



Perjalanan dari Damaskus sangat jauh dan banyak melalui gurun-gurun yang menyulitkan. Tetapi hal itu bukan apa-apa bagi Sharru Nada. Suku bangsa Arab sangat garang dan senang sekali menyamun karavan yang kaya. Itu juga tidak menakutkannya karena dalam armadanya ada pasukan penjaga yang mengamankannya.



Tentang anak muda di sebelahnya, yang ia bawa dari Damaskus, inilah yang menyusahkan hatinya. Dia Hadan Gula, cucu dari rekan usahanya dulu, Arad Gula, yang kepadanya dia banyak berutang budi yang tidak akan pernah terbayarkan. Ia ingin melakukan sesuatu bagi cucunya, tetapi semakin dia ingin melakukannya, semakin sulit hal itu terlihat akan terlaksana dikarenakan ulah anak muda itu sendiri.



Melirik ke cincin dan anting anak muda itu, ia mereka-reka pada dirinya sendiri, “Dia fikir perhiasan itu untuk lelaki, padahal ia masih memiliki wajah keras kakeknya. Tetapi kakeknya tidak mengenakan jubah berkilau seperti ini. Sedangkan, aku mengajaknya, dan berharap aku dapat membantunya memulai sesuatu yang baru bagi dirinya sendiri, dan segera melupakan kebangkrutan yang telah dilakukan ayahnya terhadap warisan sang kakek.”



Hadan Gula memecah lamunannya, “Mengapa engkau bekerja terlalu keras, selalu mengikuti perjalanan karavanmu menempuh jalan yang jauh? Tidak pernahkah engkau beristirahat sejenak untuk menikmati kehidupanmu?”



Sharru Nada tersenyum. “Menimati hidup?” ulangnya. “Apa yang akan engkau buat untuk menikmati hidupmu kalau engkau Sharru Nada?”



“Kalau aku memiliki kekayaan sebanyak kekayaanmu, aku akan hidup bagai seorang pangeran. Aku tidak akan pernah menyeberangi gurun. Aku akan gunakan keping uang itu secepat ia terkumpul di



kantung uangku. Akan kukenakan pakaian termahal dan memakai perhiasan terlangka. Itulah kehidupan yang kusukai, hidup yang pantas dijalani.” Mereka berdua tertawa-tawa.



“Kakekmu tidak mengenakan perhiasan sama sekali,” Sharru Nada menukas tanpa berfikir, dan melanjutkannya dengan canda, “Engkau tiak menyediakan waktu untuk bekerja?”



“Kerja disediakan bagi para budak,” jawab Hadan Gula.



Sharru Nada menggigit bibirnya tetapi tidak memberikan tanggapan, berjalan dalam diam hingga jalan yang mereka lalui agak menurun. Di situ ia hentikan kudanya dan menunjuk ke lembah hijau di kejauhan, “Lihat, itu lembahnya. Lihat lebih jauh, di bawah samar-samar terlihat tembok kota Babilonia. Menara itu Kuil Genta, Apabila matamu cukup tajam engkau akan dapat melihat asap api abadi di ujung menaranya.”



“Jadi, itu Babilonia? Aku selalu mengimpikan melihat kota terkaya di seluruh dunia,” ujar Hadan Gula. “Babilonia, tempat kakekku memulai kejayaannya. Seandainya dia masih hidup. Kita tidak akan terlalu tertekan.”



“Mengapa mengharapkan jiwanya terus hidup melebihi jatah waktu hidup di dunia? Engkau dan ayahmu dapat terus melanjutkan hasil kerjanya.”



“Sayang, di antara kami, tidak ada yang memiliki bakat seperti dia. Ayahku dan aku tidak mengetahui rahasia yang dimilikinya, bagaimana mendatangkan keping-keping emas.”



Sharru Nada tidak memberikan tanggapan tetapi terus mengendalikan kudanya dan berjalan berhatihati menuruni tebing itu menuju lembah di bawahnya. Di belakang mereka berarakan anggota karavan dalam kepulan debu kemerahan. Beberapa waktu kemudian mereka sampai di Jalan Raya Sang Raja dan berbelok ke arah selatan melalui hamparan tanah pertanian yang teririgasi dengan baik.



Tiga lelaki tua yang sedang membajak menarik perhatian Sharru Nada. Mereka terlihat agak tidak asing baginya. Luar biasa! Seseorang tidak melalui pertanian ini selama empat puluh tahun dan kemudian menemukan orang yang sama masih membajak tanah itu. Dan, sesuatu dalam dirinya mengatakan mereka masih tetap sama. Satu, dengan genggaman longgar, memegang bajak. Yang lainnya berjalan disisi sapi dengan giatnya, dengan tanpa hasil memukuli dengan tongkat agar sang sapi terus menarik bajak.



Empat puluh tahun yang lalu ia memandang dengan iri pada para petani itu! Ia rela bertukar tempat dengan sang petani! Tetapi lihatlah bedanya sekarang. Dengan bangga ia memandang ke rombongan karavan di belakangnya, unta-unta dan keledai terpilih, penuh dengan muatan barang tak ternilai harganya dari Damaskus. Semua itu miliknya sendiri.



Ia menunjuk kepada sang pembajak, sambil berkata, “Masih membajak ladang yang sama yang mereka bajak empat puluh tahun yang lalu.”



“Itu mereka, mengapa engkau fikir mereka masih orang yang sama?”



“Aku melihat mereka di situ,” jawab Sharru Nada.



Kenangan berlalu dengan cepat menelusuri benaknya. Mengapa ia tidak menguburkan saja masa lalunya dan hidup pada masa kini? Kemudian ia melihat, bagai sebuah lukisan, wajah Arad Gula yang tersenyum. Dinding pembatas antara dirinya dan anak muda yang sinis di sebelahnya segara lenyap.



Tetapi, bagaimana ia dapat membantu anak muda yang angkuh, pemboros dan tangan penuh perhiasan ini? Banyak pekerjaan yang dapat ia tawarkan kepada siapa saja yang mau bekerja, tetapi tidak pada orang yang merasa dirinya terlalu hebat untuk bekerja. Tetapi ia berutang pada Arad Gula untuk melakukan sesuatu, tidak dengan setengah hati. Dia dan Arad Gula tidak pernah melakukan hal seperti itu. Mereka tidak seperti anak muda ini.



Sebuah rencana seketika datang melintas. Ada beberapa masalah. Ia harus mempertimbangkan keluarganya sendiri dan kedudukannya. Rencana ini agak kejam, bisa melukai bahkan. Sebagai orang yang cepat mengambil keputusan, ia kesampingkan masalah yang mungkin timbul dan memutuskan untuk malaksanakannya.



“Tidakkah engkau ingin mendengar bagaimana kakekmu yang terhormat itu dan aku bekerjasama dalam kongsi yang sangat menguntungkan?” ia bertanya.



“Mengapa tidak langsung ceritakan padaku bagaimana engkau berdua membuat keping emas,” jawab sang anak muda balas bertanya.



Sharru Nada mengabaikan jawaban itu dan melanjutkan, “Kami mulai dengan orang-orang yang sedang membajak itu. Aku tidak lebih tua dari dirimu sekarang. Ketika barisan serombongan orang yang aku ikut di dalamnya, sampai ke tempat itu, Megiddo tua yang baik, sang petani, mengeluhkan bagai mana buruknya kerja para pembajak itu. Megiddo di rantai di sebelahku. “Lihat pada orangorang malas itu,’ kesahnya, ‘pemegang bajak tidak berusaha menekan bajaknya dalam-dalam, penerik kerbau juga tidak mempertahankan lembunya pada jalurnya dengan baik. Bagaimana mungkin mereka mengharapkan panen yag bagus kalau tanahnya tidak dibajak dengan baik.’”



“Engkau katakan Megiddo dirantai bersamamu?” Hadan Gula bertanya agak terkejut.



“Ya, dengan gelang perunggu di leher kami dan rangkaian rantai menghubungkan kami. Di sebelahnya lagi Zabado, pencuri kambing. Aku telah mengenalnya di Harroun. Di ujung sekali seorang yang kami panggil Lanun karena ia tidak mau mengenalkan namanya. Kami duga ia seorang pelaut karena ada gambar dua ekor ular saling melilit tertatto di dadanya sebagaimana umumnya para pelaut kala itu. Barisan rombongan kami dibuat berbanjar empat orang sebarisnya terus memanjang ke belakang.”



“Engkau dibelenggu sebagai budak?” Hadan Gula bertanya setengah tidak percaya.



“Tidakkah kakekmu menceritakan padamu bahwa aku dulu pernah menjadi seorang budak?”



“Dia sering membicarakan tentang engkau tetapi tidak pernah menyebutkan hal ini.”



“Dia memang seorang yang dapat engkau percayai, dapat memegang rahasia terdalammu. Engkau, juga, orang yang dapat aku percaya, bukankah benar begitu?” Sharru Nada berkata begitu sambil menatapnya langsung.



“Engkau dapat mempercayaiku, tapi aku agak terkejut. Katakan padaku bagaimana sampai engkau dapat menjadi seorang budak?”



Sharru Nada mengangkat bahunya, “Setiap orang merdeka dapat saja menjadi seorang budak. Rumah judi dan bir barley lah yang telah menjerumuskanku. Aku menjadi korban kecerobohan saudaraku. Dalam sebuah perkelahian ia membunuh seorang sahabatnya. Aku dijaminkan pada janda, istri korban, agar saudaraku tidak dituntut secara hukum. Ketika ayahku tidak dapat mengumpulkan perak untuk membebaskanku, sang janda naik darah dan menjualku pada pedagang budak.”



“Memalukan dan sangat tidak adil.” Kata Hadan gula menunjukkan ketidaksetujuannya. “Tetapi, katakan padaku, bagaimana engkau dapat memperoleh kemerdekaanmu kembali?”



“Kita akan sampai ke situ nanti, sekarang belum. Biar kulanjutkan dulu ceritaku. Ketika kita melewati para pembajak ladang itu, mereka menertawai kami. Seorang di antaranya mengangkat topi usangnya dan membungkuk rendah, sambil berteriak, ’Selamat datang di Babilonia, para tamu sang raja. Dia menunggumu di atas tembok kota dan telah siap menjamu, lumpur bata dan sup bawang.’ Setelah itu mereka semua tertawa terbahak-bahak.”



“Lanun menjadi marah dan memaki mereka dengan sama kerasnya. ‘Apa maksud mereka dengan raja menuunggu di atas tembok kota?’ aku bertanya padanya.”



”’Ke tembok kota engkau berbaris sambil memanggul bata sampai patah pinggangmu. Mungkin mereka akan memukulmu hingga mati sebelum tulang punggumngu patah. Mereka tidak akan memukulku. Aku yang akan membunuh mereka.’”



“Kemudian Megiddo berkata, ‘Tak masuk akal bagiku mendapatkan tuan hamba memukul mati budak yang patuh, dan mau bekerja keras. Tuan hamba suka dengan budak yang baik dan akan memperlakukan mereka dengan baik.’”



“’Siapa yang mau bekerja keras?’ komentar Zabado. ‘Para pembajak itu benar-benar orang yang bijaksana. Mereka tidak bekerja keras hingga patah tulang punggungnya. Bekerja seadanya asal dapat diselesaikan.’”



“’Engkau tidak akan maju jika mencuri-curi kerja seperti itu,’ bantah Megiddo, ‘Apabila engkau membajak satu hektar dalam sehari, itu baru kerja yang baik, semua tuan juga mengetahuinya. Tetapi apabila engkau hanya menyelesaikan setengah hektar, itu mencuri kerja namanya. Aku bukan pencuri kerja. Aku suka bekerja dan aku suka bekerja dengan baik, karena kudapatkan kerja sebagai sahabatku yang terbaik yang pernah kukenal. Kerja telah memberikanku hal-hal yang baik yang pernah kuperoleh, kebunku, sapi-sapiku, panen raya, semuanya.’”



“’Ya, mana barang-barang itu semua, sekarang?’ ejek Zabado. ‘Aku membayangkan lebih baik jika dapat dengan cerdik melalui semuanya tanpa bekerja. Lihat Zabado, apabila kita dijual ke tembok kota, dia akan memanggul kantung air atau pekerjaan mudah lainnya ketika engkau, yang senang bekerja, akan mematahkan tulang punggungmu memikul bata.” Dia tertawa dengan gelinya.



“Malam itu aku dilanda ketakutan. Aku tidak dapat tidur. Aku merapat dekat ke batas penjagaan, dan ketika semua sedang tertidur, aku tarik perhatian Godoso yang mendapat giliran penjagaan pertama malam itu. Dia salah satu dari prajurit Arab, yang sangat bengis, yang apabila ia merampok kantungkantung uangmu, pasti dia akan sekaligus menyembelihmu.



“’Katakan padaku Godoso,’ bisikku, ‘apabila kami sampai di Babilonia akankah kami dijual ke tembok kota?’”



“’Mengapa engkau ingin tahu?’ ia bertanya penuh kecurigaan.”



“’Tidakkah engkau mngerti?’ aku memohon, ‘aku masih muda. Aku masih ingin hidup. Aku tidak ingin bekerja atau dipukuli hingga mati di tembok kota. Apakah ada kesempatan bagiku mendapatkan tuan yang baik?’”



“Ia membalas dengan bisikan, ‘kuberitahukan engkau sesuatu. Engkau anak yang baik, tidak merepotkan Godoso. Biasanya pertama kali kita akan pergi ke pasar budak. Dengar. Apabila ada calon pembeli, katakan pada mereka engkau pekerja yang baik, ingin bekerja bagi tuan yang baik.



Buat mereka ingin membelimu. Apabila tidak ada yang membelimu, hari berikutnya engkau pasti akan menjadi penganggkut bata. Kerja yang kerasnya membunuh.’”



“Setelah dia pergi, aku berbaring di hangatnya pasir, menatap bintang-bintang dan memikirkan masalah kerja. Apa yang dikatakan Megiddo bahwa kerja adalah sahabat terbaiknya menyebabkanku berfikir mungkin kerja juga merupakan sahabat terbaikku juga. Pasti ia jadi sahabatku seandainya aku dapat keluar dari permasalahan ini.”



“Ketika Megiddo sudah bangun, kubisikkan padanya berita baik yang kudengar. Ada secarik sinar harapan muncul ketika kami mulai bergerak memasuki Babilonia. Senja hari kami mendekati tembok kota dan dapat melihat barisan manusia, seperti jajaran semut hitam, berjalan naik turun di tangga diagonal yang curam. Ketika semakin dekat, kami dibuat takjub oleh ribuan orang yang bekerja; sebagian menggali di bantaran sungai kecil, yang lainnya mencampur lumpur itu hingga menjadi bata lumpur. Jumlah terbanyak adalah yang memanggul bata lumpur itu dalam keranjang-keranjang besar ke atas tangga yang curam itu ke tempat pembuat tembok di bagian atas.”*



* Bangunan-bangunan terkenal di Babilonia kuno, tembok-tembok kotanya, kuil-kuil, taman gantung dan aluran-saluran air, semua dibangun dengan menggunakan tenaga budak, terutama para tawanan perang, sehingga hal itu cukup menjelaskan perlakuan tidak manusiawi yang dialaminya. Dalam kelompok para pekerja ini juga termasuk beberapa warga Babilonia dan daerah kekuasaan sekitarnya yang telah dijual sebagai budak karena tindakan kejahatan yang dilakukannya atau karena kesulitan keuangan yang dialaminya. Sudah menjadi kebiasaan di sana bag seseorang untuk menempatkan dirinya, istrinya atau anak-anaknya sebagai jaminan untuk pembayaran utang, keputusan hakim atau kewajiban lainnya. Jika kewajiban itu tidak dipenuhi, orang yang dijaminan dijual sebagai budak.



“Para pengawal memaki pekerja yang malas dan menyambuki dengan cambuk sapi ke punggung siapa saja yang tidak berjalan sesuai dengan baris jalan yang lainnya. Menyedihkan sekali, pekerja yang sudah keletihan, dengan kaki yang bergetar tumbang kebelakang terbawa keranjang berat yang dipanggulnya, tidak mampu berdiri lagi. Apabla sabetan cambuk tidak dapat lagi membuat mereka berdiri, mereka akan didorong ke samping jalan yang dilalui para penganggkut bata itu dan ditinggalkan meregang nyawa dalam kepedihan. Tidak lama mereka akan diseret ke bawah dikumpulkan bersama tubuh tak berdaya lainnya di tepi jalan menunggu penguburan seperti menguburkan hewan. Sementara itu aku merasa miris melihat keadaan itu, pemandangan yang membuat aku gemetar. Jadi inikah yang menunggu anak ayahku ini apabila dia tidak laku dijual di pasar budak.”



“Godoso benar sekali. Kami dibawa melalui gerbang kota ke penjara budak dan keesokan harinya langsung ke pelataran lelang di pasar. Di situ kami, semua budak berbondong rapat dalam ketakutan dan hanya cambuk pengawal kami yang dapat membuat kami berjalan sehingga para pembeli dapat melihat-lihat keadaan budak yang akan dibelinya. Megiddo dan diriku sendiri dengan bersemangat berbicara dengan pembeli yang mengizinkan kami mengemukakannya.”



“Penjual budak membawa prajurit dari pengawal raja yang kemudian memborgol Lanun dan dengan kasar memukulnya ketika ia menentang. Ketika mereka berhasil membawanya pergi, aku agak merasa kasihan juga pada Lanun.”



“Megiddo berfikir kami akan segera berpisah. Katika tidak ada pembali di sekitar kami, ia berbicara padaku dengan penuh kesungguhan untuk agar aku benar-benar perhatikan bagaimana pentingnya kerja bagiku di masa yang akan datang : ‘Sebagian orang membencinya. Mereka membuat kerja sebagai musuhnya. Labih baik memperlakukannya sebagai sahabat, buat dirimu menyukainya. Jangan perdulikan apabila kerja itu terasa berat. Apabila engkau fikirkan betapa indahnya rumah yang akan engkau bangun, engkau tidak akan perduli betapa beratnya gelagar atau betapa jauhnya air harus diambil untuk membuat plester tembok. Berjanjilah padaku, nak, apabila engkau mendapat tuan yang baru, bekerjalah untuknya sekuat yang dapat engkau lakukan. Apabila ia tidak memperdulikan hasil kerjamu, biarkan saja. Ingat, kerja, hasil yang baik, akan memberi kebaikan pada yang melakukannya. Ia membuatnya menjadi manusia yang lebih baik.’ Ia berhenti berbicara sesaat seorang petani yang gempal datang ke kurungan kami dan memperhatikan kami dengan teliti.”



“Megiddo bertanya tentang kebunnya dan panenan, dan meyakinkan petani bahwa ia akan menjadi sangat berguna baginya. Setelah tawar menawar yang alot, sang petani akhirnya mengambil kantung uang dari balik jubahnya, dan segera Megiddo mengikuti tuan barunya menghilang dari pandangan.”



“Beberapa orang lainnya terjual pada pagi itu. Pada siang hari Godoso menyampaikan sesutau yang sangat penting bagiku bahwa pedagang budak sudah habis kesabarannya dan tidak mau menunggu satu malam lagi dan akan membawa semua budak yang belum laku ke pembeli wakil sang raja sore ini. Aku menjadi sangat terdesak dan ketika seorang yang gemuk, berperilaku santun mendatangi kami dan menanyakan adakah seorang pembuat roti di antara kami.”



“Aku mendekat kepadanya sambil mengatakan, ‘Mengapa seorang pembuat roti handal seperti engkau mencari seorang pembakar roti yang belum jelas kemampuannya? Bukankah akan lebih mudah untuk mengajarkan kepada seseorang yang begitu rajin bekerja seperti aku cara engkau membuat roti? Lihat diriku, aku muda, kuat dan gemar bekerja.Beri aku kesempatan dan aku akan berbuat semampuku untuk menghasilkan emas dan perak ke dalam kantung uangmu.’”



“Dia cukup terkesan dengan kesediaanku dan mulai melakukan penawaran pada pedagang budak yang tidak pernah memperhatikan aku sejak dia membeliku tetapi sekarang membual dengan fasihnya tentang kemampuanku, kesehatanku yang bagus dan betapa berharganya diriku. Aku merasa sepeti seekor lembu gemuk yang sedang ditawarkan kepada tukang jagal. Akhirnya, sangat menggembirakan hatiku, mereka mendapatkan kata sepakat. Aku mengikuti tuan baruku, sambil berandai-andai dan berfikir bahwa aku orang paling beruntung di Babilonia.”



“Rumah baruku, sangat sesuai dengan seleraku. Nana-naid, tuanku, mengajariku bagaimana caranya menggiling barley dengan gilingan batu yang terletak di tengah halaman, bagaimana menghidupkan api di dalam ruang pembakaran dan kemudian bagaimana caranya menggiling halus tepung bijian untuk membuat kue madu. Aku diberi ranjang di dalam gudang tempat ia menyimpan biji-bijian. Budak tua yang megurus rumah tangga, Swasti, menyediakan makanan bagiku dan terlihat cukup puas dengan kesediaanku selalu membantu dia dalam tugas-tugasnya yang berat-berat.”



“Inilah kesempatan yang sudah kutunggu-tunggu untuk membuat diriku semakin berharga bagi tuanku dan, aku berharap, mendapatkan jalan memperoleh kemerdekaanku.”



“Aku minta Nana-naid menunjukkan padaku cara menguli roti dan membakarnya. Dia mengajarkanku, dan dia terlihat puas dengan keinginanku. Kemudian, ketika aku sudah dapat bekerja dengan bagus, aku minta padanya menunjukkan cara membuat kue madu, dan akhirnya aku mengerjakan semua pekerjaan pembuatan roti. Tuanku senang hatinya dapat berleha-leha, tetapi Swasti menggeleng-gelengkan kepalanya menunjukkan ketidaksenangannya. ‘Tidak ada pekerjaan itu hal yang buruk bagi seseorang,’ tegasnya.”



“Aku fikir inilah saatnya aku dapat mulai befikir bagaimana caranya aku mulai mengumpulkan kepingkeping untuk pembeli kemerdekaanku. Saat pembuatan roti selesai di tengah hari, aku perkirakan Nana-naid akan menyetujui apabila aku dapat melakukan pekerjaan lain yang memberikan penghasilan di sore hari dan dia akan berbagi hasil pencaharian itu dengan diriku. Kemudian terlintas dalam pikiranku, mengapa tidak membuat kue madu lebih banyak dan menjajakannya kepada orangorang yang mau membelinya di jalan-jalan di dalam kota?



“Aku jelaskan rencanaku pada Nana-naid seperti ini : ‘Apabila aku dapat gunakan waktu sore hariku setelah selesai pembuatan roti untuk menghasilkan tiga keping, bukankah cukup adil apabila tuan membagi hasil kerjaku itu dengan diriku sehingga aku dapat memiliki keping milikku sendiri yang dapat kugunakan untuk keperluan sehari-hariku?’”



“’Cukup adil, cuku adil,’ dia menerimanya. Kemudian ketika kukatakan padanya rencanaku untuk menjajakan kue madu keliling kota, dia semakin senang. “Inilah yang akan kita lakukan,’ dia menyarankan. ‘Engkau jual kue-kue itu dua sekelip, dan separuh kelip menjadi milikku sebagai pembayar tepung dan madu dan kayu pembakar. Sisanya, aku akan ambil separuh dan engkau bisa menyimpan separuhnya lagi.’”



“Aku sangat bergembira dengan penawarannya yang dermawan bahwa aku dapat menyimpan untuk diriku sendiri, seperempat dari hasil penjualanku. Malam itu aku bekerja hingga larut membuat nampan pembawa roti. Nana-naid memberikan padaku jubah usangnya agar aku terlihat lebih sebagai penjual roti yang baik, dan Swasti membantuku mengepaskannya dengan diriku, dan mencucinya bersih-bersih.”



“Keesokan harinya aku membakar lebih banyak kue madu. Di atas nampan mereka terlihat coklat dan sangat menggoda selagi aku menjalani jalan-jalan di kota, sambil berteriak cukup keras menjajakan daganganku. Awalnya tidak ada orang yang terlihat tertarik, aku menjadi agak sedikit kecewa dan ragu. Tetapi tetap kuteruskan dan kemudian, ketika menjelang senja ketika orang-orang mulai merasakan lapar, kue-kue itu terjual dan nampanku segera kosong.”



“Nana-naid puas dengan keberhasilanku dan dengan senang hati membayar bagianku. Aku sangat terhibur dengan memiliki uangku sendiri. Megiddo sungguh benar ketika ia mengatakan bahwa seorang tuan akan menghargai kerja keras budak-budaknya. Malam itu aku begitu bersemangat menikmati keberhasilanku sampai-sampai aku susah tertidur dan terus mengira-ngira berapa jumlah yang dapat kuhasilkan dalam setahun dan berapa tahun yang kubutuhkan untuk dapat membeli kemerdekaanku.”



“Saat-saat aku menjajakan kue daganganku di kota setiap hari. Aku mendapatkan beberapa pelanggan tetap. Salah satunya tidak lain adalah kakekmu, Arad Gula. Dia saudagar permadani yang



menjual permadaninya pada ibu-ibu rumah tangga, beredar dari satu ujung kota ke ujung lainnya, ditemani seekor keledai yang dibebani penuh dengan permadani dan sorang budak hitam menjaganya. Dia biasanya akan membeli dua potong kue untuk dirinya dan dua potong untuk budaknya, ia selalu sangat senang berbicara denganku sambil memakan kue yang dibelinya.”



“Kakekmu mengatakan sesuatu padaku suatu hari, hal yang selalu kuingat. ‘Aku menyukai kuekuemu, nak, tetapi aku lebih suka jiwa wirausahamu dan caramu menawarkannya. Jiwa itu akan membawamu jauh ke jalan keberhasilan.’”



“Tetapi bagaimana engkau bisa mengerti, Hadan Gula, bahwa kalimat dukungan seperti itu sangat berarti bagi seorang budak muda, sebatang kara di tengah kota besar, berjuang dengan semua kemampuannya untuk mencari cara keluar dari kehinaan seorang budak?”



“Beberapa bulan berlalu, aku terus menerus menambah keping-keping ke dalam kantung uangku. Mulai terasa berat yang menyenangkan kala terikat di pinggangku. Kerja telah terbukti menjadi sahabat terbaikku seperti yang pernah diucapkan Megiddo. Aku bergembira, tetapi Swasti tidak.”



“’Tuanmu, aku khawatir dia telah menggunakan banyak waktu luangnya di rumah perjudian,’ begitu khawatirnya dia.



“Aku sangat gembira suatu hari bertemu dengan sahabatku Megiddo di jalan. Dia menggiring tiga ekor keledai penuh dibebani sayur-sayuran ke pasar. ‘Aku cukup berhasil,’ katanya. ‘Tuanku telah menghargai kerja kerasku sehingga saat ini aku dijadikannya sebagai mandor. Lihat, dia mempercayakan pemasaran hasil kebunnya padaku, dan juga mengirimkan sebagian pada keluargaku. Kerja telah membantuku keluar dari masalah yang lebih besar. Suatu hari nanti, ia akan menolongku membeli kemerdekaanku dan kemabli memiliki kebun milkku sendiri.’”



“Waktu berlalu dan Nana-naid betambah gelisah menungguku pulang dari berjualan setiap sore. Ia akan menunggu bila saja aku kembali dan akan dengan penuh semangat menghitung dan membagibagi uang kami. Dia juga menganjurkan aku agar mencari pasar yang lebih luas dan meningkatkan penjualan kami.”



“Kadang-kadang, aku berjualan sampai ke luar gerbang kota untuk mengunjungi pengawal budak yang sedang membangun tembok kota. Sebenarnya aku tidak begitu suka kembali melihat pemandangan yang tidak menyenangkan di situ tetapi para pengawal itu merupakan pelanggan yang sangat royal. Suatu hari aku agak terkejut melihat Zabado sedang berdiri di barisan yang akan mengisi keranjang dengan bata. Dia terlihat kurus kering dan agak sedikit bungkuk, dan punggungnya dipenuhi kapalan dan luka bekas cambukan para pengawal. Aku sedih melihatnya dan memberikannya sepotong kue yang langsung dilahapnya bagai binatang lapar. Melihat begitu inginnya ia mendapatkan makanan, yang terlihat diwajahnya, langsung saja aku segera melarikan diri sebelum sempat ia mengambil nampanku.”



“’Mengapa engkau bekerja begitu keras?’ Arad Gula mengatakan padaku suatu hari. Sama seperti pertanyaan yang engkau ajukan padaku hari ini, masih ingat engkau? Aku katakan padanya apa yang



dikatakan Megiddo padaku tentang kerja dan bagaimana telah terbukti menjadi sahabat terbaikku. Kutunjukkan padanya dengan bangga kantung uangku yang penuh keping dan menjelaskan padanya bagaimana aku telah mengumpulkannya untuk membeli kemerdekaanku.”



“’Apabila kamu merdeka, apa yang akan engkau lakukan?’ tanyanya ingin tahu.”



“’Nanti,’ jawabku, ‘aku ingin menjadi seorang saudagar.’”



“Ketika mendengar itu, ia menceritakan padaku sebuah rahasia. Sesuatu yang tidak pernah kuduga sebelumnya. ‘Engkau tahu tidak bahwa aku, juga, seorang budak. Aku berusaha dengan bekerjasama bersama tuanku.’”



“Hentikan,” pinta Hadan Gula, ”Aku tidak akan mendengar kebohongan yang mempermalukan kakekku. Dia bukan budak.” Matanya menyala penuh kemarahan.



Sharru Nada tetap tenang. “Aku menghormati kakekmu yang telah berhasil keluar dari keterpurukannya dan menjelma menjadi orang terkemuka di Damaskus. Bukankah engkau, cucunya memiliki trah yang sama? Apakah engkau cukup jantan untuk menghadapi kenyataan ini, atau engkau lebih memilih hidup dalam ilusi yang tidak benar?



Hadan Gula menegakkan duduknya di atas pelana. Dengan suara dalam penuh emosi dia menjawab, “Kakekku disayangi oleh siapapun. Tidak terbilang perbuatan baiknya. Apabila ada bencana kelaparan apakah tidak dengan keping emasnya ia membeli biji-bijian dari dari Mesir dan apakah tidak juga dengan karavannya membawa kembali ke Damaskus dan membagi-bagikannya kepada masyarakat yang memerlukan sehingga tidak ada yang mati kelaparan? Sekarang engkau mengatakan dia hanyalah budak yang dianggap tidak berguna di Babilonia.”



“Apabila dia tetap sebagai seorang budak di Babilonia, pastilah dia akan dianggap tidak berguna, disia-siakan, tetapi ketika, dengan usahanya sendiri, ia menjadi orang terhormat di Damaskus, para dewa telah mencabut kemalangannya dan menganugerahkannya dengan kehormatan,” jawab Sharru Nada.



“Setelah mengatakan kepadaku bahwa dia seorang budak,” Sharru Nada melanjutkan, ‘dia menjelaskan betapa bersemangatnya dia untuk memperoleh kemerdekaannya. Dan sekarang, ketika dia memiliki uang yang cukup untuk membeli kemerdekaan ia mulai terganggu dengan fikiran apa yang akan dilakukannya setelah itu. Begitu mengganggunya sehingga penjualannya merosot dan khawatrir kehilangan dukungan tuannya.”



“Aku tentang keraguannya : ‘Jangan lagi tergantung pada tuanmu. Kembali rasakan memiliki perasaan orang merdeka. Bertindaklah sebagai seorang merdeka dan berhasillah seperti seorang merdeka! Tentukan apa yang engkau inginkan untuk dicapai dan kemudian kerja akan membantu



engkau mencapainya!’ Dia melanjutkan perjalanannya dengan mengatakan bahwa dia sangat senang ia telah mempermalukannya atas kepengecutannya tadi.”*



* Ketentuan perbudakan di Babilonia kumo, meski terlihat tidak konsisten bagi kita, sebenarnya diatur ketat dengan peraturan sang raja. Sebagai contoh, seorang budak dapat memiliki harta jenis apapun, bahkan memiliki seorang budak yang tuannya tidak dapat memilikinya. Budak dapat berkeluarga dengan bebas dengan bukan budak. Anak yang diperoleh dari seorang ibu yang merdeka merupakan anak merdeka. Sebagian besar saudagar di kota itu adalah budak. Sebagian budak-budak itu bekerjasama dengan tuannya dan memiliki kekayaan milik sendiri.



“Suatu hari aku berjualan ke luar gerbang kota, dan terkejut menemukan ada kerumunan orang berkumpul disana. Ketika kutanyakan pada seseorang apa yang terjadi dia menjawab : ‘Apakah engkau belum mendengar? Seorang budak yang melarikan diri, yang telah membunih salah satu pengawal raja telah diadili dan hari ini akan dicambuk hingga mati atas kejahatan yang dilakukannya. Bahkan sang raja sendiri akan menyaksikannya.”



“Begitu ramainya kerumunan itu yang mengelilingi tiang pencambukan itu, aku tidak berani mendekat karena takut nampan rotiku pasti akan terbalik-balik oleh padatnya orang disitu. Oleh karena itu aku pergi menaiki bagian tembok yang belum selesai dibangun untuk melihat melalui atas kepala orangorang itu. Aku sangat beruntung dapat melihat langsung Nebukadnezar saat dia datang dengan mengendarai kereta kudanya yang keeamasan. Belum pernah aku menyaksikan kemewahan seperti itu, jubah-jubahnya yang dihiasi kain emas dan beludru.”



“Aku tidak dapat melihat pencambukan itu tetapi akau dapat mendengar terikan budak yang malang itu. Aku bayangkan betapa seseorang begitu terhormat dan tampan seperti sang raja dapat dengan tenang menyaksikan kejadian yang menyengsarakan itu, namun ketika aku melihat ia tertawa-tawa dan bersenda gurau sesama para orang terhormat lainnya, aku pastikan dia orang yang kejam dan memahami mengapa pekerjaan biadab diperlukan bagi budak-budak yang membangun tembok kota itu.”



“Setelah budak itu mati, tubuhnya digantung di sebuah tiang dengan tali yang diikatkan ke pergelangan kakinya agar setiap orang dapat melihatnya. Ketika kerumunan itu sudah jauh berkurang, aku mendekat, Pada dadanya yang berbulu, aku melihat tatto, dua ekor ular yang saling melilit. Dia Lanun.”



“Kala berikutnya akau bertemu dengan Arad Gula dia telah terlihat berbeda. Dengan penuh semangat dia menyapaku : ‘Ketahuilah, budak yang paling engkau kenal itu sekarang seorang yang merdeka. Ada kejaiaban dalam kata-katamu. Penjualan dan keuntungan ku meningkat lagi. Istriku berbahagia. Dia orang merdeka, keponakan tuanku. Dia begitu menginginkan kami pindah ke negeri asing dimana tidak seorangpun pernah mengenalku sebagai mantan seorang budak. Agar anak-anak kami tidak dapat dijangkau kemalangan yang pernah menimpa orang tuanya. Kerja sudah menjadi pembantu terbaikku. Kerja telah membuatku mampu memperoleh kembali kepercayaan diriku dan keahlian menjualku.’”



“Aku sangat berbahagia bahwa aku sudah dapat, meski dengan upaya yang sangat sedikit dan kecil, membalas dukungan dan dorongan yang pernah diberikannya padaku.”



“Suatu senja Swasti datang kepadaku terlihat penuh kekhawatiran : ‘Tuanmu dalam kesulitan. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Beberapa bulan yang lalu ia menderita kekalahan yang besar di meja judi. Kemudian ia tidak membayar utang-utangnya pada petani atas pembelian biji-bijian tidak juga untuk pembelian madu. Dia tidak juga membayar utangnya pada pemberi pinjaman emas. Mereka semua sudah mulai kehilangan kesabaran, marah, dan mengancam tuanmu.’”



“’Mengapa kita harus khawatir atas kebodohannya itu. Kita bukan orang yang memeliharanya,” jawabku sekedarnya.



“’Bodoh benar engkau budak hijau, engkau tidak mengerti. Kepada pemberi pinjaman emas itu engkau telah dijaminkan tuanmu bagi pinjamannya. Dibawah hukum pemberi pinjaman dapat mengambil alih hak atasmu dan menjual engkau sebagai budak kepada siapa saja. Aku tidak tahu akan berbuat apa. Dia tuan yang baik. Mengapa? Oh mengapa, kesulitan sebesar itu datang kepadanya?”



“Ketakutan Swasti bukannya tidak berdasar. Ketika aku sedang membakar roti keesokan harinya, pemberi pinjaman emas datang dengan seorang lelaki yang dipanggilnya dengan nama Sasi. Orang ini mengamatiku dan mengatakan boleh juga.”



“Pemberi pinjaman emas tidak menunggu tuanku datang bahkan mengatakan pada Swasti untuk mengatakan pada tuanku bahwa dia telah mengambil aku. Dengan hanya mengenakan jubah yang kukenakan saat itu dan dengan kantung uangku yang tergantung aman di pinggangku, aku digiring meninggalkan roti yang belum selesai kubakar.”



“Aku digulung pergi dari harapan terbaikku bagaikan puting beliung mencabut pepohonan dari hutan dan melemparkannya ke laut yang sedang membadai bergelora. Lagi, rumah judi dan bir barley telah menyengsarakanku.”



“Sasi seorang yang kasar, tidak memiliki sopan santun dan bersuara kasar. Ketika ia menggiringku membelah kota, kuceritakan padanya kerja yang baik yang sudah kulakukan bagi Nana-naid dan mengharapkan akan mengerjakan hal yang bagus juga bagi dirinya. Jawabannya tidak menggembirakan :”



“’Aku tidak suka pekerjaan ini. Tuanku juga tidak. Sang Raja telah memerintahkan tuanku untuk mengirimkan aku dan memintaku menyelesaikan pekerjaan pada sebagian seksi dari Saluran Besar. Tuannya telah memerintahkan Sasi untuk membeli budak lebih banyak, kerja keras dan selesaikan segera. Bah, bagaimana mungkin ada orang-orang yang akan dapat menyelesaikan pekerjaan besar dengan cepat?’”



“Bayangkan sebuah gurun pasir tanpa satu batang pohon pun, hanya belukar berduri dan matahari membakar dengan gilanya sehingga air di gentong menajdi begitu panas sampai kita tidak sanggup meneguknya. Kemudian bayangkan barisan orang, berjalan menuruni galian yang dalam dan kemudian menyeret keranjang berat ke atas melalui jalan lunak berdebu dari pagi hingga gelap hari. Bayangkan juga makanan yang diberikan dengan meletakkannya ke dalam sebuah palungan terbuka



dan kami memakannya bagai babi mendapatkan ransum. Kami tidak memiliki tempat berteduh, tanpa jerami tempat berbaring. Itulah kondisi yang aku alami. Aku menanamkan kantung uangku dalam tanah di tempat yang kutandai, sambil meragukan apakah aku dapat menemukan dan menggalinya kembali.”



“Pada mulanya aku bekerja dengan keinginan yang baik, tetapi setelah beberapa bulan beringsut, kurasakan semangatku mulai patah. Lalu serangan demam panas merajam tubuhku yang sudah kelelahan. Aku kehilangan selera makan dan tidak dapat sama sekali menugunyah daging atau pun sayuran. Pada malam hari aku selalu terjaga oleh rasa sakit dan gerun yang tidak menenangkan.”



“Dalam kesengsaraanku, aku membayangkan apakah tidak Zabado memiliki rencana yang baik, untuk mencuri pekerjaan dan menjaga punggungnya agar tidak patah oleh pekerjaan, Tetapi ketika aku mengenang pertemuan terakhirku dengannya dan kusadari bahwa rencananya pasti tidak bagus.”



“Aku mengenang Lanun dengan kegetirannya dan membayangkan mungkin akan lebih baik melawan dan terbunuh. Membayangkan tubuhnya yang bersimbah darah mengingatkanku bahwa rencananya sepeti ini juga tidak berguna sama sekali.”



“Kemudian aku teringat pertemuan terkahirku dengan Megiddo. Tangannya penuh dengan kapalan akibat bekerja keras tetapi jiwanya ringan dan ada kebahagiaan terpancar diwajahnya. Dia memiliki rencana yang terbaik.”



“Tetapi, akau sama inginnya bekerja keras seperti Megiddo; dia pasti tidak bisa bekerja lebih keras dari pada aku. Mengapa hasil kerjaku tidak membawaku kepada kebahagiaan dan keberhasilan? Apakah kerja yang membawa Megiddo ke kebahagiaan, ataukah kebahagiaan dan keberhasilan semata anugerah dari pangkuan para dewa? Haruskah aku bekerja sepanjang umurku tanpa mendapatkan keinginanku, tanpa kebahagiaan dan tanpa keberhasilan? Semua pertanyaan itu bergejolak di benakku dan aku tidak dapat menemukan jawabannya. Aku benar-benar dalam kebingungan yang menyakitkan.”



“Bebarapa hari kemudian ketika seakan-akan aku sudah berada di ujung kemampuanku untuk bertahan dan pertanyaan-pertanyaanku masih jauh dari terjawab, Sasi mendatangiku. Seorang pembawa pesan telah diutus tuanku untuk membawaku kembali ke Babilonia. Aku segera menggali kantung uangku yang sangat berharga, menutupi diriku dengan sisa jubahku yang sudah tercabikcabik dan segera pergi.”



“Ketika kami berjalan, fikiranku bagai tersapu putting beliung memutar aku kesana kemari terus berpacu melalui otakku yang kepanasan oleh demam. Aku bagaikan hidup dalam kalimat aneh yang selalu dinyanyikan di kota asalku Harroun :”



Gelandang seseorang dengan putting beliung. Hempas dia dengan badai.



Jalan hidupnya, tidak dapat diikuti seorangpun. Takdirnya tidak dapat diduga siapapun



“Akankah aku akan terus menerus dihukum karena aku tidak mengetahui apa-apa? Kesengsaraan dan kekecewaan apa lagikah yang sedang menungguku?”



“Ketika kami melalui halaman tengah rumah tuanku, bayangkkan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat Arad Gula sedang menungguku. Dia membantu menurunkanku dari tunggangan dan memelukku bagai menemukan seorang saudara yang telah lama hilang.



“Ketika kami berjalan aku ingin mengikutinya dari belakang sebagai seorang budak harus mengikuti tuannya yang orang merdeka, tetapi dia tidak mengizinkanku. Dia meletakkan lengannya dipunggungku, sambil berkata, ‘Aku mencarimu kemana-mana. Ketika akau hampir berputus asa, aku bertemu dengan Swasti yang mengatakan kepadaku tentang pemberi pinjaman emas, yang kemudian mengarahkan aku ke petinggi pemilikmu. Dengan penawaran yang berat yang membuatku harus membayar sangat mahal demi membelimu, tetapi engkau cukup bernilai untuk itu. Pendapatmu dan jiwa wirausahamu telah menjadi inspirasiku ke keberhasilanku yang baru ini.’”



“’Pendapat Megiddo, bukan pendapatku,’ aku memotong kata-katanya.”



“’Pendapat Megiddo dan pendapat engkau. Terima kasih kepada kalian berdua, kita akan pergi ke Damaskus karena aku memerlukan engkau sebagai rekan kerjaku. Lihatlah,’ dia menegaskan, ‘dalam beberapa saat engkau akan menjadi seorang yang merdeka!’ Sambil berkata begitu dia mengeluarkan dari balik jubahnya lempeng tanah liat yang menyatakan aku sebagai budak. Diangkatnya tinggi di atas kepalanya dan membantingnya ke batuan di tanah sehingga pecah berkeping-keping. Dengan penuh rasa kemenangan ia menginjak-injak pecahan tanah liat itu hingga hancur menjadi debu.”



“Air mata kebahagiaan menggenang di mataku. Aku tahu bahwa aku orang paling beruntung di Babilonia.”



“Kerja, tahukah engkau, dengan kerja, pada saat kesengsaraan terdalamku telah terbukti kerja menjadi sahabat terbaikku. Kesediaanku untuk bekerja memungkinkan aku terhindar dari terjual bersama dengan budak-budak yang bekerja membangun tembok kota. Kerja juga yang telah memberi kesan khusus pada kakekmu, dia memilihku menjadi rekan kerjanya.”



Kemudian Hadan Gula bertanya, “Apakah kerja juga yang merupakan kunci rahasia kakekku memperoleh uang emas?”



“Itulah satu-satunya kunci yang dimilikinya ketika pertama kali aku mengenalnya,” jawab Sharru Nada. “Kakekmu menikmati kerja. Para dewa menghargai usahanya dan menganugerahinya dengan sebanyak-banyaknya kelebihan-kelebihan.”



“Sungguh benar sekali, aku dapat melihatnya,” sahut Hadan Gula sambil mengenang dengan sepenuh hati. “Kerja telah mendekatkannya dengan banyak sahabatnya yang mendambakan kerja keras seperti dia dan keberhasilan yang diraihnya. Kerja membawanya kepada kehormatan yang dirasakaannya di Damaskus. Kerja memberikannya semua hal-hal yang kusukai. Padahal aku mengira kerja hanya cocok bagi budak.”



“Hidup penuh dengan kebahagiaan yang dapat dinikmati seseorang,” komentar Sharru Nada. “Tiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Aku senang bahwa tidak semata disediakan bagi para budak. Apabila memang demikian aku tidak dapat menikmati kebahagiaan terbaikku. Banyak hal yang aku suka lakukan tetapi tidak ada yang dapat menggantikan kerja.”



Sharru Nada dan Hadan Gula berjalan beriringan di bawah bayangan tebok kota yang tinggi hinga mencapai pintu besar, gerbang perunggu kota Babilonia. Pada saat kedatangannya pengawal gerbang yang berjaga segera berdiri sigap memberikan penghormatan warga yang mereka hormati itu. Dengan kepala diangkat tinggi Sharru Nada memimpin karavan itu melintasi gerbang menuju jalan-jalan di dalam kota.



“Aku selalu berharap dapat menjadi orang yang seperti kakekku,” Hadan Gula menyatakan padanya. “Tidak pernah kusadari sebelumnya orang seperti apa dia. Engkau telah menunjukkan padaku. Sekarang aku faham, aku bahkan menjadi lebih menghormatinya dan merasa lebih mantap menjadi seperti dia. Aku khawatir aku tidak dapat membalas budimu yag telah memberikan aku kunci keberhasilan kakekku. Sejak hari ini dan seterusnya, aku harus menggunakan kunci miliknya itu. Aku akan memulai dengan rendah hati seperti yang dilakukannya, yang lebih sesuai dengan kebenaran pusat jiwaku yang jauh lebih berharga dari pada perhiasan dan jubah mewah.”



Dengan berkata begitu Hadan Gula mencabuti perhiasan yang berkilauan di teliganya dan cincincincin dari jari tangannya. Kemudian, mengendalikan kudanya, ia mundur ke belakang, dengan penuh penghargaan, menapakkan kudanya di belakang pemimpin karavan.



XI : SEJARAH SINGKAT BABILONIA



SEJARAH SINGKAT BABILONIA



Dalam catatan sejarah terdapatlah kota Babilonia yang tidak ada kota lainnya yang melebihi kecemerlangannya. Nama Babilonia itu sendiri langsung akan membawa pada bayangan kekayaan dan kemegahan. Perbendaharaan emas dan perhiasannya sangat mewah. Seseorang secara alamiah akan menggambarkan sebuah kota dengan kekayaan sebegitu megahnya, seharusnyalah terletak pada daeah tropis yang kaya, dikelilingi sumber daya alam, hutan dan tambang, yang melimpah. Ternyata bukan begitu keadaannya. Babilonia terletak disisi sungai Furat, pada sebuah dataran, di sebuah lembah yang gersang. Kota itu tidak memilki hutan, tidak ada tambang – bahkan tidak ada batu untuk membuat bangunan. Tidak juga ia dibangun di atas sebuah jalur perdagangan alami. Curah hujan tidak cukup banyak untuk menghidupkan tanaman.



Babilonia adalah conoh yang luar biasa tentang kemampuan manusia untuk mencapai tujuan besar, menggunakan segala kemampuan yang ada yang dapat dipergunakannya. Semua sumber daya yang mendukung kehidupan di kota itu merupakan rekayasa manusia. Semua kemewahan dan kelimpahan itu hasil karya manusia.



Babilonia hanya memiliki dua sumber daya alam – tanah yang subur dan air di sungai. Dengan salah satu pencapaian teknologi terbaik pada saat itu atau masa sebelumnya, para ahli teknik Babilonia membelokkan aliran air di sungai dengan membangun dam dan saluran irigasi yang besar. Jauh membelah lembah gersang itu kanal-kanal dibuat untuk mencurahkan air yang memberi kehidupan ke atas tanah yang menjadi subur. Pekerjaan ini merupakan rekayasa teknik yang pertama yang dikenal sejarah. Panen yang melimpah merupakan hasil dari sistem irigasi yang belum pernah dilihat di mana pun di dunia pada waktu itu.



Sangat beruntung, dalam masa kejayaannya yang cukup lama, Babilonia diperintah oleh beberapa turunan raja yang jarang diperangi atau jarang mengalami pemberontakan. Apabila ia berperang, kebanyakan dari perang itu hanya perang lokal kecil atau hanya mempertahankan diri dari serangan penyerbu yang ingin menundukkan dan menjarah kekayaan Babilonia. Pemerintah yang terkenal yang diketahui sejarah karena kebijaksanaannya, kewirausahaan dan keadilan. Babilonia dalam sejarahnya tidak mengenal pemimpin yang mementingkan kepentingan rajanya saja, yang biasanya mencari daerah-daerah untuk dikuasai agar setiap negara memberikan upeti kepada kepentingan kerajaan penakluk.



Sebagai sebua kota, Babilonia tidak ada lagi di muka bumi ini. Ketika masyarakatnya yang penuh semangat membangun dan memelihara kota itu beratus-ratus tahun mulai menurun, Babilonia berubah menjadi hanya sebagai reruntuhan di gurun pasir. Letak kota itu di Asia sekitar enam ratus mil sebelah timur terusan Suez, tepat di utara teluk Persia. Pada garis lintang sekitar tiga puluh



derajat sebelah utara khatulistiwa, selintang dengan Yuma, Arizona. Ia memiliki iklim yang berkemiripan dengan kota di Amerika itu, panas dan kering.



Saat ini, lembah sungai Furat, yang dulunya merupakan daerah teririgasi yang padat penduduk, kembali menjadi daerah gersang tersapu angin yang terbengkalai. Rerumputan yang jarang dan belukar gurun hidup dengan susah payah menghadapi pasir yang ditiup angin gurun. Hilang sudah tanah yang subur itu, kota raksasa dengan karavan panjang dengan barang-barang yang berlimpah. Tinggal beberapa kelompok Arab nomaden, menjalani hidupnya yang sederhana dengan menggembala sekawanan kecil hewan, merupakan penghuni tempat ini. Begitulah kehidupan di sini sejak awal masa Kristen.



Pada beberapa tempat di daerah ini, ada beberapa gundukan bukit kecil dari tanah liat. Selama berabad-abad, gundukan itu tidak dianggap apa-apa oleh orang-orang yang melaluinya. Perhatian para ahli arkeologi akhirnya terarah kesana, ketika melihat pecahan-pecahan tembikar dan susunan bata tersingkap oleh badai hujan yang datang sesekali. Ekspedisi, yang didanai museum-museum Eropa dan Amerika, dikirimkan ke situ untuk menggali dan melihat apa yang mungkin dapat ditemukan di bawah pasir gurun itu. Beliung dan sekop akhirnya membuktikan bahwa gundukan bukit-bukit itu ternyata merupakan reruntuhan kota-kota kuno. Kuburan kuburan kota, begitu mereka disebut.



Babilonia salah satunya. Di atas Babilonia yang sudah tertimbun selama duapuluh abad, pasir gurun yang disebar angin. Dibuat awalnya degan bata, semua tembok yang tersingkap telah hancur dan kembali menjadi gundukan tanah seperti semula. Seperti itulah keadaan Babilonia, kota yang kaya, hari ini. Setumpuk lumpur, begitu lama ditinggalkan sehingga tidak ada orang yang masih hidup pernah mengenal namanya hingga ia ditemukan kembali dengan menyingkirkan berabad timbunan pasir dari jalan-jalannya dan rertuntuhan dari kuil-kuil dan istana-istananya.



Beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa peradaban Babilonia dan kota-kota lainnya di lembah ini sebagai peradaban tertua yang memiliki catatan yang pasti. Penanggalan yang tepat telah membuktikan bahwa kota-kota ini berumur lebih dari 8000 tahun. Sebuah fakta yang menarik dalam hubungannya dengan cara menetapkan usia reruntuhan itu. Pada penggalian di reruntuhan Babilonia ditemuan catatan tentang gerhana matahari. Para ahli astronomi modern telah melakukan penghitungan waktu saat gerhana itu, terlihat di Babilonia, terjadi dan menentukan hubungan antara almanak Babilonia dengan almanak pada masa ini.



Dengan cara itu, mereka telah membuktikan bahwa 8000 tahun yang lalu, bangsa Sumeria, yang mendiami wilayah Babilonia, hidup dalam tembok-tembok kota. Orang hanya dapat menduga-duga berapa abad sebelumnya kota seperti ini sudah terbangun. Penduduknya bukan semata orang liar yang hidup dalam lindungan tembok. Mereka merupakan orang yang terdidik dan berpemikiran tinggi. Sejauh yang dituliskan dalam sejarah, mereka ahli teknik yang pertama, astronomer yang pertama, ahli matematika yang pertama, ahli keuangan yang pertama dan orang yang pertama memiliki bahasa tulis.



Sudah disebutkan tentang sistem irigasi yang mengubah lembah gersang menjadi surga pertanian. Sisa sisa kanal ini masih dapat ditelusuri, meski selruruhnya telah tertimbun pasir. Sebagaian saluran itu berukuran sangat besar, apabila dikeringkan. Selusin kuda apabila dijejerkan akan dapat ditunggangi melaluinya. Dalam ukuran dapat diperbaandingkan dengan mudah dengan kanal terbesar di Colorado dan Utah.



Selain mengairi lembah-lembah, ahli teknik Babilonia menyelesaikan pekerjaan lainnya yang sama besarnya. Dengan teknik pengaturan drainase yang rumit mereka berhasil mengeringkan dan memuliakan tanah rawa yang luas pada muara sungai Furat dan Tigris dan dapat memanfaatkannya untuk usaha pertanian.



Herodotus, seorang pengembara Yunani dan seorang sejarawan, mengunjungi Babilonia ketika kota itu dalam kondisi terbaiknya dan dia telah memberikan satu-satunya rincian penjelasan tentang kota itu dan beberapa kebiasaan yang aneh pendudukya. Dia menyebutkan betapa suburnya tanah di situ dan betapa melimpahnya panen gandum dan barley yang dihasilkannya.



Kejayaan babilonia memudar tetapi kebijaksanaannya telah di simpan untuk kita. Untuk itu kita telah berutang budi kepada mereka atas catatan-catatan yang ditinggalkannya. Pada hari yang sudah sangat lama itu, kertas masih belum ditemukan. Sebagai alat tulis, mereka dengan telitinya mengukir tulisannya di atas lempeng tanah liat yang hampir mengering. Apabila selesai ditulis, lempeng itu dibakar dan menjadi lempeng kering yang keras, ukurannya antara enam kali delapan inchi, dengan ketebalan satu inchi.



Lempeng tanah liat ini, demikian biasa diesbut, banyak digunakan sebagaimana kita menggunakan berbagai bentuk tulisan pada saat ini. Di atasnya tertulis legenda-legenda, puisi, sejarah, salinan keputusan Sang Raja, hukum tanah, kepemilikan harta, surat pengakuan utang bahkan surat-surat biasa, yang diantarkan oleh pembawa pesan ke kota-kota yang jauh. Dari lempaneg tanah liat ini kita dapat mengetahui sampai kepada hal-hal yang bersifat pribadi. Sebagai contoh, pada satu lempeng, terlihat jelas catatan penjaga gerai, sehubungn dengan tanggal dan nama pelanggan yang membawa lembu dan menukarkannya dengan tujuh karung gandum, tiga dikirimkan pada saat itu juga dan sisa empat karung akan dikirim sesuai dengan permintaan pelanggannya.



Dengan aman tertanam di bawah reruntuhan kota, arkeolog telah menmukan pustaka yang berisi lempeng tanah liat, ratusan ribu jumlahnya.



Salah satu keajaiban yang luar biasa Babilonia adalah tembok kotanya yang tebal dan tinggi yang mengelilingi kota. Para ahli menyetarakannya dengan piramid besar di Mesir dan memesukkannya dalam “tujuh keajaiban dunia.” Ratu Semiramis dikatakan sebagai yang pertama kali mendirikan tembok kota pada awal sejarah kota itu. Penggalian pada masa ini tidak dapat menemukan tembok kota awal yang asli. Tidak juga diketaui seberapa besar ukurannya. Berdasarkan hal yang disebutsebut para penulis sebelumnya, diperkirakan memiliki tinggi antara lima puluh sampai enam puluh kaki, sisi luar ditempatkan bata-bata bakaran dilindungi saluran air yang besar di sekelilingnya.



Tembok kota yang belakangan dan lebih terkenal mulai didirikan sekitar enam ratus tahun sebelum Masehi oleh Raja Nabopolassar. Dengan suatu rencana raksaa ia membangun kembali tembok itu, tetapi ia meneninggal sebelum sempat menyaksikan tembok itu selesai dibangun. Pembangunannya akhirnya dilanjutkan oleh anaknya, Nebukadnezar, nama yang sangat dikenal dalam cerita-cerita injili.



Tinggi dan lebar tembok kota ini sangat luar biasa. Dilaporkan oleh fihak yang dapat dipercaya, memiliki tinggi kira-kira seratus enam puluh kaki, setara dengan bangunan perkantoran berlantai lima belas saat ini. Panjangnya diperkirakan mencapai antara sembilan dan sebelas mil. Begitu lebarnya pada bagian atas tembok itu sampai enam kereta kuda dapat berjalan berjajar di atasnya. Tembok yang berukuran raksasa ini, musnha tanpa sisa kecuali sedikit bagiannya dan fondasi serta saluran air yang mengelilinginya. Sebagai tambahan atas kehancuran yang telah dialami, orang-orang Arab melengkapinya dengan mengambili bata-batanya untuk kebutuhan bangunan di tempat lain.



Menyerang tembok Babilonia, pada masa itu, dilakukan juga oleh para penakluk. Pada masa perang saling menaklukkan yang berlangsung di era tersebut. Beberapa raja melakukan penyerangan dan mengurung Babilonia, tetapi selalu gagal menaklukkannya. Para penyerang pada ketika itu tidak dapat di anggap enteng. Para sejarawan menyebutkan satuan-satuan 10.000 pasukan berkuda, 25.000 kereta kuda, 1.200 resimen prajurit yang berjalan kaki dengan 1.000 anggota setiap resimennya. Kadang-kadan dua atau tiga tahun persiapan diperlukan untuk mengerahkan perlengkapan tempur dan logistik serta depot makanan sepanjang perjalanan sebuah penyerangan.



Kota Babilonia dikelola laaknya sebuah kota di zaman modern. Ada jalan-jalan dalam kota dan geraigerai. Para pedagang menawarkan barang dagangannya ke dalam daerah pemukiman. Para imam ditasbihkan bagi kuil-kuil. Di dalam kota ada lingkungan terdalam bagi istana raja yang dikelilingi oleh tembok. Tembok yang dibuat mengelililingi kawasan terdalam ini dikatakan jauh lebih tinggi dari tembok kota.



Orang-orang Babilonia sangat memiliki keahlian di bidang kesenian. Karya yang mereka hasilkan termasuk patung-patung, lukisan, tenunan, pandai emas dan menghasilkan senjata dari logam, dan aneka alat-alat pertanian. Perajin perhiasannya menciptakan perhiasan-perhiasan indah yang bermutu tinggi. Beberapa contoh ditemukan pada kuburan penduduknya yang kaya dan sekarang dipertunjukkan di museum utama di dunia.



Pada masa paling awal ketika seisi dunai masih menebang pepohonan dengan kapak batu, atau berburu dan berperang dengan tombak dan panah bermata dari batu, orang Babilonia sudah menggunakan kapak, tombak dan anak panah yang matanya terbuat dari logam.



Orang Babilonia merupakan ahli keuangan dan pedagang yang cerdik. Sepanjang yang kita ketahui, mereka orang yang pertama kali menemukan uang sebagai alat tukar, surat pengakuan utang dan tanda kepemilikan harta yang tertulis.



Babilonia tidak pernah dilanda pasukan yang menundukkannya hingga 540 tahun sebelum Masehi. Bahkan kala itu tembok kota tidak diduduki. Cerita kejatuhan Babilonia sangat tidak biasa. Cyrus, salah seorang penakluk terhebat pada masa itu, bermaksud menyerang kota dan memperkirakan dapat mengalahkan tembok yang tidak tertembus itu. Penasihat Nabonidus, raja Babilonia, membujuk sang raja supaya mendahului Cyrus dan menyerangnya sebelum ia dapat mengurung kota. Setelah kekalahannya dari serangan balatentara Babilonia, para penyerang lari menjauhi kota. Tetapi membuat tembok kota tak terjaga. Cyrus, karenanya, dapat dengan mudah memasuki gerbang kota dan mengambil alihnya tanpa perlawanan yang berarti.



Setelah itu kekuatan dan kemasyhuran kota secara bertahap memudar, dalam jangka waktu beberapa ratus tahun, kota itu akhirnya ditinggalkan penghuninya, kosong, hanya tersisa bagi angin dan badai meratakannya kembali, serata dengan gurun pasir yang kemegahan kota semula dibangun di atasnya. Babilonia telah jatuh, tidak pernah bangun kembali, tetapi padanya peradaban banyak berutang.



Rentang waktu yang panjang telah menghancurkan tembok kota yang perkasa dan kuil-kuilnya, hancur menjadi debu, tetapi kebijaksanaan orang Babilonia mampu bertahan.



GEORGE SAMUEL CLASON Tentang Pengarang



George Samuel Clason dilahirkan di Louisiana, Missouri, pada bulan Nopember 1874. Dia menyelesaikan pendidikan di Universitas Nebraska dan mengabdi pada Angkatan Darat Amerika Serikat pada masa Perang Spanyol-Amerika. Seorang pengusaha yang berhasil, ia mendirikan Clason Map Company di Denver, Colorado, dan menerbitkan atlas jalan Amerika Serikat dan Kanada yang pertama. Pada tahun 1926, iamenerbitkan seri tulisan yang terkenal dalam bentuk pamflet tentang budaya hemat dan keberhasilan mengatur keuangan, menggunakan cerita-cerita parabel berisi ajaran kebijaksanaan dan moral dengan menggunakan Babilonia kuno sebagai tempat kejadian dalam menegaskan tiap-tiap permasalahan. Pamflet-pamflet ini kemudian diedarkan dalam jumlah yang cukup banyak oleh bank-bank dan perusahaan asuransi dan menjadi dikenal oleh jutaan pembaca, yang paling terkenal adalah “Orang Terkaya Di Babilonia”, cerita yang berisi ajaran kebijaksanaan yang kemudian berubah bentuk menjadi buku ini yang mengambilnya sebagai judul. “Parabel Babilonia” ini telah jadi bacaan yang memberikan inspirasi yang klasik bagi pembaca modern.