The Sociology of Art  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

(hal. xvii – xxi) Pendahuluan Saya menerbitkan karya ini dengan harapan telah mengadakan diskusi komprehensif awal terhadap subjek—“komprehensif“, yakni dalam pengertian memiliki hubungan secara sistematis, dan merupakan representasi terpadu dari sosiologi seni yang memberikan gambaran menyeluruh akan berbagai pertanyaan esensial yang muncul di dalamnya dewasa ini. Meski demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang “menghabiskan tenaga”, karena tindakan semacam itu tentunya mensyaratkan totalitas pandangan yang hanya akan bisa dicapai melalui sebuah sudut pandang imajinatif artistik. Oleh karena seni (dengan mengutip salah satu karya saya sendiri) selalu berada dalam konteks pencapaiannya sendiri (sementara sains senantiasa berputar-putar pada keadaan yang tak pernah ada penyelesaian tuntasnya), pernyataan bahwa diskusi yang terdapat di sini merupakan yang pertama-tama muncul darinya, itu tidak berarti bahwa berbagai permasalahan sosiologi seni telah diabaikan pembahasannya hingga saat ini, atau bahwa hal-hal tersebut telah ditolak tanpa mempertimbangkan hasil penelitian yang masuk akal. Terdapat perlakuan tak terhingga, baik yang sifatnya monograf maupun perlakuan terhadap bagian-bagian dari karya yang lebih luas, yang sebagiannya sangat informative (bahkan tak akan bisa dihindari pembahasannya), sehingga karya yang ada di hadapan Anda saat ini tak akan mungkin terselesaikan tanpanya; bahkan, mungkin saja tak akan pernah ada tanpanya. Penulis merasa sangat berhutang pada tulisan-tulisan Diderot, Lessing, Mme de Staël, Marx, dan Hegel, juga pada tulisan-tulisan para kritikus maupun sosiolog yang melanjutkan penelitian tokoh-tokoh tersebut, seperti Sartre, Edmund Wilson, Walter Benjamin, Georg Lukács, dan Adorno hingga sampai yang sekarang ini— 1



di mana prosesnya mengalami keterputusan dari waktu ke waktu, namun tidak pernah benar-benar terputus. Sama halnya dengan berbagai usaha yang telah ditempuh hingga sekarang ini, karya ini pun tidak bermaksud untuk menawarkan solusi final yang tak terbantahkan, atau solusi yang tak akan pernah berubah, terhadap berbagai permasalahan yang ada. Sebaliknya, karya ini mencakup hal-hal yang masih kurang (karena setiap upaya untuk mendapatkan solusi merupakan suatu kebutuhan yang diperoleh dari sudut pandang khusus yang terkondisi secara sosial maupun historis, dan berbagai sudut pandang yang muncul dalam cara ini membentuk sebuah spiral dan lingkaran di sekeliling objek yang tengah diamati, ketimbang membuat sebuah garis lurus darinya). Seperti halnya berbagai upaya mutakhir yang secara objektif memiliki kisah prasejarah yang panjang dan berlikuliku demi mencapai simpulan dalam sejumlah fase perkembangan independen, sebegitu subjektif pulalah permasalahan dan sudut pandang investigasi ditemukan, diformulasikan, dan diklarifikasi secara bertahap. Karya-karya saya yang sebelumnya, mewakili berbagai kajian, persiapan, dan pendahuluan terhadap jawaban akan pertanyaan utama tersebut. Tetapi, hal ini muncul berkaitan dengan pekerjaan saya pada sebuah perusahaan korporasi film, dan dalam pengaruh sebuah peristiwa di mana sejarah—sejak permulaan drama Yunani kuno—tidak dapat menunjukkan kemiripannya. Hal itu merupakan kelahiran seni baru yang (oleh karena saya harus mempublikasikan film-film tersebut) dapat saya amati dalam kondisi serupa laboratorium. Tugas dalam menilai hubungan di antara produksi dan resepsi sejak semula telah menempatkan hasil penelitian dalam wilayah sosiologi. Hasil penelitian tersebut awalnya tergabung dengan basis pengalaman dan persepsi yang selalu tertidur dalam waktu yang cukup lama dan yang hanya digali 2



dan dipakai setelah lewat bertahun-tahun lamanya. Semula saya hanya tertarik untuk mengkaji seni yang justru sangat jarang terkait dengan masyarakat: ketertarikan saya akan hal itu murni formalistik, dalam konteks prinsip Wölfflin dan dalam kurun waktu yang cukup lama, sudut pandang estetik saya tetap seperti semula, berkenaan dengan doktrin-doktrin yang berorientasi pada logika inti sejarah seni. Dengan perlahan dan cukup ragu-ragu, akhirnya saya menyadari terbatasnya signifikansi formalisme dan kurang terbatasnya validitas realisme dalam seni, yang disebut Chekhov, dalam salah satu karyanya—cara berkisah mot (dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang tepat) yang luar biasa, di mana kita telah membantu orang lain hanya dengan cara menunjukkannya—apapun hasil yang akan keluar dari proses tersebut—sebagai hal-hal yang menjadi ciri-ciri alamiahnya. Semula hal itu hanya merupakan salah satu bahasan dalam buku saya, yang kemudian terwujud dalam The Social History of Art dan yang telah menyita waktu dan energi saya sepanjang tahun 1940 hingga 1950, sehingga saya menjadi lebih sadar akan adanya implikasi penuh terhadap fakta-fakta sosiologis pada perkembangan sejarah seni. Namun konsepsi, pilihan materi, dan pengorganisasian buku ini jelas-jelas sederhana dan tentu saja tidak selalu konsisten dalam menyikapi tujuan-tujuannya. Pelaksanaan proyek ini dimulai dengan penugasan sebuah kelompok kerja, yang tentu saja tak terkait dengan hasil penelitian. Dalam jalan lain, banyak hal lainnya yang muncul dari sekadar niat maupun harapannya semula. Pada awalnya, proyek ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang tak lebih dari sekadar sebuah pendahuluan ekstensif terhadap antologi yang akan dikumpulkan dari berbagai tulisan mengenai fungsi sosial seni dan karya tersebut, dan jika mungkin, ditujukan untuk merefleksikan perkembangan berkelanjutan dari permasalahan yang ada. Pada akhirnya, 3



tampak bahwa selain dari laporan-laporan fragmenter yang lebih singkat dan bervariasi nilainya, tak ada lagi karya ekstensif terhadap subjek penelitian. Bahwa hal itu boleh dikatakan hampir seluruhnya menawarkan dirinya, sebagaimana yang disebut oleh L’art au point de vue sociologique oleh J-M. Guyau—buku pertama semacam ini—yakni, bahwa sang penulis tak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai subjek yang didiskusikan selain dari apa yang sudah tertera di dalam judul. Hal itu juga menunjukkan bahwa sebuah sejarah berkelanjutan dari teori sosiologi seni bukanlah sesuatu yang bisa muncul begitu saja: awalnya hal itu pun merupakan hasil konstruksi. Komponenkomponennya harus diambil dari keseluruhan perkembangan seni dan budaya, dan dari fragmen-fragmen ini bisa dibuat sebuah jalinan yang hampir seluruh bagiannya merupakan perkiraan belaka. Dengan cara inilah—dari sebuah pengantar antologi— sebuah karya dua-jilid yang setiap lima ratus halamannya memunculkan dan menghadirkan tumpukan informasi sosiohistoris, dapat saya jadikan pegangan untuk penyusunan karya selanjutnya. Memang sudah tiada lagi ruang untuk sebuah pengantar yang akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip metodologis, yang menjadi dasar bagi “pengantar” yang sangat luas ini. Hal semacam itu harus dikesampingkan sebagai kajian lebih lanjut, dan setelah dibuat pertimbangan sejarah-filosofis yang lebih tajam, yang dulunya dipublikasikan dengan judul The Philosophy of Art History (1958) dan ditasbihkan lagi pada edisi selanjutnya sebagai Methoden moderner Kunstanschauung (Modern Methods of Viewing Art). Di sinilah untuk pertama kalinya saya mendefinisikan konsep-konsep fundamental di sekelilingnya secara tegas dan menyeluruh, yang sesudahnya akan mempertimbangkan sosiologi seni yang berputar-putar: konsep tujuan dan batasan-batasan sosiologi seni dari pondasi ideologis dari sasaran-sasaran, dari



4



pergerakan dalam hal rasa dan gaya (style), dari sudut pandang artistik, dari kontradiksi sudut pandang sosiologis dan psikologis yang menjadi sandaran dibuatnya penilaian estetik, dari sebuah fiksi “sejarah seni tanpa nama”, dan juga dari perkembangan seni yang sifatnya imanen dan endogenik, yang pada akhirnya menjadi asal-usul dan perkembangan konvensi, yang tetap bersifat fundamental hingga sampai pada konstruksi intelektual The Sociology of Art yang saya persembahkan ini. Dalam rangka melanjutkan ke diskusi yang lebih ekstensif mengenai permasalahan sosiologis seni, saya rasa akan lebih baik jika saya menyibukkan diri dengan sebuah permasalahan sejarah seni tertentu secara lebih menyeluruh. Hal yang menjadi perhatian saya adalah penjelasan pertama mengenai konsep stilistik dari kriteria dan berbagai komplikasi perubahan gaya pada suatu zaman, saat terjadi salah satu krisis seni yang paling serius, pelebaran yang disebut dengan mannerism (suatu aliran seni dan arsitektur yang muncul sebagai aliran dominan di Itali pada akhir abad ke-16, yang ditandai dengan bentuk terstilisasi dan warna-warna yang hidup), dalam perkembangan yang berlangsung antara zaman Renaisans dan Barok, yang (seperti halnya krisis seni masa kini) tampaknya mengancam banyak pihak dengan jatuhnya seni. Karena buku yang saya tulis mengenai hal ini, yakni yang berjudul Der Ursprung der modernen Kunst und Literature: Die Entwicklung des Manierismus seit der Krise der Renaissance (1964) [The Origin of Modern Art and Literature: The Development of Mannerism since the Crisis of the Renaissance], menaruh perhatian pada konsep gaya, maka seni murni pun menjadi kajian utamanya, terutama karena penciptaan dan perubahan stilistik merupakan aspek yang paling nyata dalam sejarah seni. Akan tetapi, hal-hal itu tidak lagi mendapat perhatian atau posisi khusus dalam buku ini ketimbang dalam buku-buku yang lain. 5



Dalam Sociology of Art terkini, orang mungkin bahkan mempertanyakan (lantaran daya tariknya yang lebih frekuen dalam aspek ideologis ketimbang dalam aspek wujudnya), di mana kita bisa membahas tentang predominansi literatur: ini mungkin akan menjadi sesuatu yang sama-sama tak berdasarnya, seperti halnya asumsi atau prasangka yang diputuskan, sehubungan dengan pembahasan dan konteks seni murni tersebut. Sehubungan dengan definisi yang tepat akan berbagai kepentingan yang mengarahkan saya dalam penyusunan tulisan ini, lebih lanjut harus saya akui bahwa sosiologi bagi saya selalu menjadi alasan untuk memandang seni dari suatu sudut pandang, dalam proses di mana akan muncul karakteristik-karakteristik yang tergolong baru atau berkekurangan. Dalam konteks terkini, yakni bahwa dari sudut pandang semacam ini, segala sesuatu yang berpijak pada hubungan-hubungan yang masuk akal pada objek diskusi yang bisa diikutsertakan, kita bisa menyebut karya itu—berdasarkan bentuknya—sebagai sebuah esai, kecuali sejak semula kita memang telah merasa keberatan, lantaran begitu luasnya cakupan karya di dalamnya. The Sociology of Art sebagaimana yang hadir sekarang ini didasarkan (dalam satu hal maupun hubungan lainnya) pada karya-karya saya yang telah diterbitkan sebelumnya. Aparat konseptual yang dikembangkan dalam Methoden moderner Kunstanschauung tentunya membentuk landasan yang lebih tepat bagi pengujian yang baru dan ekstensif ini, yang paling mungkin untuk dilanjutkan di dalam keadaan yang tengah berlangsung. Namun, beberapa konsep fundamental yang telah dipertahankan secara esensial di dalam rangkaian pengujiannya, tunduk kepada perubahan-perubahan makna dan re-evaluasi yang dengan pasti mengungkap bahwa sudut pandang final tidak akan mungkin bisa dicapai tanpa modifikasi semacam itu. Di antara berbagai modifikasi tersebut, dan di atas 6



semuanya itu, adalah perbedaan antara Marxisme teoritis dan politis, dalam antitesisnya terhadap kesatuan prinsip dan praktik ortodoks di mana Marx memproklamirkan dogmanya. Di antara landasan-landasan persepsi yang dikembangkan di sini adalah munculnya prinsip heretis, bahwa kita mungkin sepaham dengan Marxisme sebagai sebuah filsafat sejarah-dan-masyarakat, tanpa harus menjadi seorang Marxis dalam artian aktivis politis, tentunya, juga tanpa harus menjadi penganut paham sosialis dalam pandangan yang lebih sempit. Landasan yang lain adalah bahwa interpretasi “teoritis” terhadap pandangan tersebut memiliki keuntungan untuk membebaskan pemikiran Marxis dari beban metafisik yang terikat pada prognosis “masyarakat tanpa kelas”. Prinsip-prinsip fundamental Marxisme mengalami proses interpretasi lebih jauh berkenaan dengan teori materialisme historis. Bahwa segala bentuk ideologi dan sikap intelektual yang terkondisi secara ideologis dan terbentuk secara material—dan oleh sebab itu, secara sosial dan ekonomi—akan mampu bertahan secara alamiah. Akan tetapi, terdapat penekanan lebih terhadap sudut pandang yang telah disebutkan sebelumnya: bahwa “infrastruktur” yang menjadi sandaran sebuah “superstruktur” tidak seluruhnya terdiri dari konstituen material dan interpersonal, tetapi juga dari konstituen intelektual, kesadaran, dan individual. Doktrin materialisme historis ortodoks menjelaskan hubungan di antara kondisi-kondisi material keberadaan dan aspek-aspek ideologisnya, dengan asumsi yang disebut sebagai mediasi, terhadap jarak sikap dan tindakan yang berbeda dari basis materialnya—dan ini bervariasi pada setiap kasus—bahwa penanggulangan bertahap terhadap jarak pergerakan tersebut (yang menurut dugaan umum) bersifat objektif dan subjektif secara simultan, berangsur-angsur, dan tak terduga: yakni, secara esensial dengan sebuah karakter yang kontinu, alih-alih bersifat terpisah-pisah. 7



Representasi proses yang ada sekarang ini berbeda dari pendahulunya, dalam artian bahwa representasi itu menyatakan konsep mediasi yang tengah diperbincangkan sebagai sebuah fiksi, dan menerjemahkan setiap langkah dari hal yang serupa itu, betapapun singkat dan sementara, sebagai sebuah lompatan yang mengarah pada sesuatu yang baru, tanpa menyangkal fungsi awalnya sebagai sebuah batu loncatan. Tahapan yang tampak dari transisi di antara fase-fase perkembangan suksesif pada teori yang terdahulu muncul dari jarak yang cukup besar dari mana proses tersebut dipandang. Perubahan pada suatu bentuk kesadaran menuju bentuk lainnya tidak berbeda secara signifikan menurut kompleksitas sikap intelektualnya. Jarak antara kebiasaan dan adat dari dua periode sejarah secara berturut-turut hampir tidak kurang besarnya dari jarak antara norma-norma moral maupun legal. Perkembangan dalam hal-hal itu dalam berbagai kasusnya tidak pernah bersifat benar-benar kontinu maupun diskontinu. Dalam tulisan ini, konsep dialektika juga mengungkap sejumlah karakteristik baru—jika tidak mengalami perubahan secara tegas. Proses pemikiran maupun metode kerja seluruhnya tetap bersifat dialektis dalam pemahaman ortodoks: namun relevansi dialektis tersebut terkadang meluas maupun menyempit. Sedari awal, kita harus memahami sosiologi sebagai doktrin dialektis yang murni dan sederhana, karena pemikiran yang terkait dengan perkembangan historis dan yang mendasari normanormanya kurang lebih berorientasi dialektis secara esensial. Sikap-sikap yang terkondisi secara historis seringkali lebih terlibat dengan jelas dalam dialektik antinomy, juga dalam konflik maupun rekonsiliasinya, alih-alih terlibat dalam proses berpikir yang terkait dengan praktik maupun tindakan yang terwujud secara kritis. Akan tetapi, tidak semua hal yang terjadi bersifat historis dan dialektis; banyak darinya yang semata bergerak ke 8



arah diskursif yang kontinu, yang sekadar membedakan sudut pandangnya yang terdahulu. Dialektika itu sendiri bahkan tidak memperluas pembahasan pada seluruh wilayah yang disebut sebagai suatu hal yang historis. Ada tahapan perkembangan yang tidak bersifat dialektis secara alami dan yang mengarah pada konstelasi, di mana berbagai kemungkinan yang muncul tidak berlawanan satu dengan yang lain, namun bercabangcabang dan memungkinkan kita untuk membuat pilihan di antara dua alternatif yang ada. Meskipun demikian, dialektika tetaplah menjadi bentuk fundamental dari proses historisnya. Dilektika mungkin tak selalu menunjukkan berbagai kemungkinan yang darinya harus dipilih sebagai sebuah antinomy, namun sebuah perkembangan signifikansi yang tegas akan terjadi hanya jika berbagai antinomy tersebut memaksa kita untuk menentukan posisi dan bergerak maju. Catatan Penerjemah: Antinomy adalah hasil paradoks, yakni simpulan yang sifatnya kontradiktif dan tidak logis, yang dihasilkan oleh dua fakta atau pernyataan yang tampak sama-sama benar dan masuk akalnya.



Arnold Hauser Maret, 1974



9



(Hal. 3 – 17) Bagian 1



LANDASAN 1 Totalitas Kehidupan dan Totalitas Seni



Apa yang dipahami sebagai totalitas kehidupan di sini adalah hubungan langsung dari proses ada dan mengada, di mana manusia terlibat di dalamnya, dengan segenap kehendak dan kecenderungannya, juga kepentingan dan perjuangannya. Totalitas semacam itu muncul sebanyak dua kali dalam seluruh bidang aktivitas manusia: yang pertama adalah di dalam warna-warni dan keruhnya kompleks eksistensi keseharian yang tak terpecahkan, dan yang satunya adalah dalam wujud homogenitas tunggal seni. Kesemuanya itu tereduksi dalam sebuah bilangan pembagi. Dalam hubungan-hubungan lainnya—dalam wujud organisasi dan objektivisasi sosial, moral, dan ilmiah—kehidupan akan kehilangan karakter totalitasnya, juga konteks ketersinambungannya, serta sifat-sifat alamiahnya yang konkrit dan sensual, yang tampak dengan jelas dalam segala manifestasinya. Dibandingkan dengan kontinuitas tak terputus, tak terbedakan, dan tak diatur yang ada pada keseharian kehidupan, atau dibandingkan dengan imanensi seni (yang bersifat konkrit, memanjakan pancaindera, dan mampu mencukupi dirinya sendiri), wujud-wujud semacam itu selalu menghasilkan efek keadaan yang lebih maupun kurang tak sempurna, dan bersifat abstrak, yang diambil dari makhluk hidup dan berbagai pengalaman personalnya. Bahkan untuk tugas-tugas sehari-hari yang paling sederhana pun, praktikpraktik/tindakan yang normal berhutang pada keberlimpahan konsep-konsep keteraturan 10



dan keseimbangan nilai dari berbagai sistem abstrak, yang darinya realitas diatur secara sistematis, sosial, dan moral. Dalam rangkaian waktu, proses peminjaman ini cenderung untuk melipatgandakan diri. Hal-hal yang bersifat konkrit, heterogen, dan teratomisasi dari pengalaman praktik-praktik yang wajar tersebut menunjukkan pada segala sisi, akan adanya jejak-jejak abstraksi, generalisasi, dan tipifikasi dari wujud-wujud pemikiran. Akan tetapi, terlepas dari intrusi prinsip-prinsip yang asing bagi kehidupan tersebut, hal itu berhasil mempertahankan keistimewaan heterogen dan rapsodik (antusias/ekstatik) dari wujud aslinya, serta menentang adanya regulasi dan sistematisasi. Alih-alih, hal itu mewakili kompleksitas dari begitu banyak aspek, yang di dalamnya terkandung elemenelemen konkrit dan spontan yang selalu menonjol, namun dari dalamnya juga, abstrak dan fungsi reflektifnya tak pernah hilang secara keseluruhan. Dari segala wujud kesadaran, seni adalah satu-satunya hal yang sejak semula menentang segala bentuk abstraksi yang memunculkan unsur-unsur ketidakpekaan (desensitizing=mengurangi sensitivitas). Seni menolak segala sesuatu yang semata bersifat pemikiran, sistem, maupun generalisasi, juga segala sesuatu yang bersifat ideal maupun murni intelektual. Seni berupaya untuk menjadi objek visi langsung, kesan sensual sejati, dan pengalaman nyata. Seni membentuk landasan bagi prilaku estetik normatif, sepanjang tetap berhubungan dengan totalitas kehidupan yang konkrit, praktis, dan tak terpisahkan. Juga selama hal itu menjadi kendaraan ekspresi dan medium empati bagi “keseluruhan persona”, dan selama mampu merangkul jumlah pengalaman yang berasal dari praktik eksistensial, dan tetap mampu memasukkan keseluruhannya dalam wujud pernyataanpernyataannya yang homogen. Fenomena estetik sejati adalah keseluruhan pengalaman 11



manusia dari totalitas kehidupan—proses dinamik di mana subjek kreatif maupun reseptifnya tak terpisahkan dari dunia, juga dengan kehidupan nyata yang sungguhsungguh ditinggalinya. Bahwa bukanlah karya seni yang objektif dan terobjektivikasi yang memisahkan dirinya dari subjek, yang sesudahnya bisa diamati, diinterpretasi, dan dievaluasi bagi dirinya sendiri, sedangkan yang sebelumnya hanya memperoleh signifikansi dan nilai dalam keterkaitannya dengan totalitas kehidupan. Hanya pengalaman serupa, yang terhubung dengan keberadaannya dan terlibat dalam seluruh eksistensinya, yang akan mampu menjadi nilai emosional sejati terhadap individu dan memiliki kualitas pembentuk dan peningkat hidup. Karya seni di dalam dirinya sendiri— sebagai produk artistik sebagai sebuah sistem formal tertutup—sesungguhnya mewakili sebuah keretakan dalam proses estetik hidup, dan hal ini merupakan hal yang tak terelakkan, ketika landasan objektif sebuah pengalaman tercerabut dari konteks pencerapan dan nilai, dan dihapus dari fungsi yang telah diputuskan sebagai peran dalam kehidupan seseorang. Dalam pemenuhan diri dan isolasinya, karya seni akan berakhir sebagai mainan yang tak berguna, betapapun memesonanya, dan akan kehilangan makna kemanusiaannya, betapapun menariknya. Seni akan mencerminkan realitas secara penuh (terutama dalam caranya yang paling hidup) dan paling menyentuh saat ia berpegang pada karakteristik-karakteristiknya yang paling nyata. Untuk sejumlah hal di mana seni menolak hal-hal tersebut, representasi-representasinya akan kehilangan daya evokatif (membangkitkan ingatan) langsungnya. Kualitas mikrokosmiknya yang mendalam diperoleh hanya melalui penetrasi langsung dan bukan dari keberlimpahan tiada akhir dari karakteristikkarakteristiknya. Konsep “totalitas intensif” adalah penandaan yang paling menjelaskan 12



sensualitas penuh seni, juga keseluruhan mutlak, dengan mana, seni (berkat “batasan aktual”-nya) mampu menembus jantung permasalahan ketimbang sekadar berputar-putar di permukaan saja. Totalitas seni bukanlah jumlah dari bagian-bagiannya, melainkan diwarisi dari tiap-tiap bagiannya. Kekuatan individu akan sebuah karya seni merupakan suatu hal yang sifatnya serupa dengan totalitas dan kesatuannya; masing-masing darinya telah mengalami kejenuhan dengan hidup, dengan mana struktur keseluruhannya telah terisi. Oleh karenanya, sementara sains kehabisan tenaga dalam “totalitas ekstensif” yang dikejarnya (kapan dan di manapun juga), seni justru bisa mencapai tujuannya di manapun ia berada. Totalitasnya terkondisi tidak dengan angka ataupun variasi karakteristik realitas yang ia cerminkan. Itu sebabnya, tidaklah benar jika dalam konteks seni, tak ada yang bisa diambil darinya ataupun ditambahkan pada bagian-bagian komponennya, melainkan bahwa apapun perubahan ataupun peringkasan yang mungkin dibuat, karya tersebut mampu mempertahankan vitalitas total dan kesatuan intinya, dan akan tetap lengkap dan mampu berdiri sendiri sesuai dengan standar/polanya sendiri. Wawasan seni terpenting ditilik dari sudut pandang sosiologi seni adalah wawasan yang didasarkan pada fakta bahwa seluruh pemikiran, perasaan, dan kehendak kita diarahkan pada satu dan realitas yang sama—bahwa, pada dasarnya kita selalu dihadapkan pada fakta-fakta, pertanyaan, dan kesulitan yang sama, dan bahwa kita semua berjuang dengan segenap kekuatan maupun kemampuan kita untuk memecahkan permasalahan akan eksistensi yang menyatu dan tak terpisahkan. Apapun yang kita lakukan, dan dalam bentuk apapun itu, kita selalu berupaya untuk memahami dengan lebih baik, akan sebuah realitas yang (dalam segala maksud maupun tujuannya) bersifat kacau-balau, penuh teka-teki, dan seringkali mengancam, untuk menilainya dengan lebih 13



akurat dan menghadapinya dengan berhasil. Segala upaya kita berkisar pada tujuan ini, dan kesuksesan kita dalam kehidupan ini bergantung terutama pada akurasi penilaian kita terhadap berbagai kondisi keberadaan dan evaluasi kita terhadap permasalahan yang ada padanya. Kita mencobanya di dalam seni, sebagaimana yang kita lakukan di dalam praktik-praktik wajar dan dalam pengetahuan seseorang, untuk menemukan sifat dasar dunia yang dengannya harus kita hadapi dan bagaimana kita bisa paling bertahan di dalamnya. Karya-karya seni adalah simpanan dari berbagai pengalaman dan diarahkan (sebagaimana semua pencapaian budaya) pada tujuan-tujuan praktis. Hanya ketika dilakukan upaya-upaya khusus dan dalam kondisi sosiohistoris yang khusus pula, seni bisa dipisahkan dari hubungan eksistensial di mana ia berakar. Dan hanya dalam keadaaan-keadaan khusus saja ia bisa dipisahkan dari praktik general dan noesis (karakteristik) yang terpadu dengannya. Barulah kemudian seni bisa dinilai dan ditangani sebagai sebuah aktivitas independen yang memiliki hukum dan nilai-nilainya sendiri. Seni sama sekali tidak terpisah secara radikal dari pengalaman praktis dan pemahaman teoritis, sebagaimana kita cenderung memahaminya. Baik seni maupun sains menaruh perhatian pada pemecahan masalah yang timbul dari tugas-tugas, penderitaan, maupun berbagai kebutuhan hidup dan yang berkisar di seputar perjuangan eksistensi; dan oleh sebab itu, keduanya (seni dan sains) membentuk sebuah elemen yang tegas, dan pada akhirnya, tak terpatahkan. Seni adalah sebuah sumber pengetahuan bukan semata karena ia langsung melanjutkan pekerjaan sains dan melengkapi penemuan-penemuannya, khususnya dalam bidang psikologi, tetapi juga karena ia menunjukkan batasan-batasan kompetensi ilmiah dan mengambil alih pada suatu pokok (di mana pengetahuan yang lebih mendalam bisa 14



diperoleh darinya) hanya di sepanjang jalur-jalur yang tak bisa ditelusuri di luar seni. Melalui seni-lah kita bisa menuju pada pemahaman yang memperluas pengetahuan kita, meskipun pemahaman itu sendiri bukanlah suatu hakikat abstrak-ilmiah. Meskipun, misalnya saja, uraian berbagai hubungan spasial atau wujud-wujud stereometrik sebuah lukisan tidak selalu bersifat valid, selama kealamiahan visualnya tetap terjaga, lukisan itu tidak mengandung informasi yang terlampau jauh melebihi signifikansi teori dari perspektif utama ataupun dari struktur tiga-dimensi objek tersebut. Penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh seni terkait dengan berbagai fenomena (yang karena kurangnya sarana, hanya bisa diinvestigasi oleh sains) merupakan suatu hal yang benar-benar penting. Intuisi artistik menawarkan pandangan-pandangan yang bisa dijadikan penunjuk jalan bagi investigasi ilmiah. Tak diragukan lagi, inilah yang ada dalam benak Marx saat ia menyatakan bahwa ia belajar sejarah Perancis-modern lebih banyak dengan membaca karya-karya Balzac, ketimbang dari buku-buku sejarah yang ia lahap sepanjang hidupnya. Tentu saja, bukan fakta-fakta sejarah yang dimaksud oleh Marx, melainkan analisis dari proses sosial pascarevolusioner dan juga interpretasi akan perjuangan-kelas modern, di mana sejarah kontemporer dan ilmu pengetahuan sosial tak mampu memahaminya dengan baik—dan oleh karenanya, tidak memiliki aparat konseptual yang memadai. Di sisi lain, Balzac menyadari adanya kekuatan dan hukum gerakan yang terdapat dalam fakta-fakta sejarah, yang barulah kemudian diformulasikan dan dijelaskan secara ilmiah. Ini pula yang menegaskan, bahwa permulaan era novel modern dan landasan sosiologi (dalam pengertian modernnya) menemukan titik temu, dan bahwa seni dan sains mempunyai nilai-nilai dan bahasa yang sama, yang kemudian menjadi bukti bahwa



15



imajinasi terliar seorang seniman sekalipun tak akan terlalu ‘kelewat/keluar batas’ dan sesedikit apapun, selalu mengandung nilai-nilai kebenaran. Tak ada yang lebih kentara, bahwa seni (sebagai seni itu sendiri) berawal dari sebuah titik di mana ia menyimpang dari kebenaran-murni sains. Seni tidak berangkat dari sains, pun tak akan berakhir sebagai sains. Alih-alih, ia lahir pada permulaan pengetahuan dan spekulasi di luar kebutuhan-kebutuhan hidup, dan mendapati dirinya berada sejajar dengan sains, dan yang kelak akan berakhir pada jalur yang sama, yakni menerjemahkan sekaligus memandu keberadaan manusia. Akan tetapi, jika karya seni (sebagai sebuah wujud) selalu berhasil mencapai tujuan-tujuannya, tidak demikian halnya dengan seni sebagai doktrin atau pengetahuan. Seni dan sains terkait erat terutama karena keduanya—dari seluruh struktur intelektual—merupakan mimesis, atau imitasi kenyataan. Sementara struktur intelektual yang lain, kurang lebih dengan sadar mengubah berbagai fenomena menjadi persoalan prinsip, memperlakukannya sebagai wujud asing, prinsip-prinsip keteraturan, dan ukuranukuran



nilai.



Tentu



saja,



seni



juga



mentransformasi,



menyesuaikan,



dan



mengidealisasikan realitas, sama halnya ketika sains yang sifatnya paling eksak mengukuhkan realitas dengan berbagai kategori kreatif-spontannya. Namun, keduanya tetap terikat pada realitas objektif, atau fakta-fakta sahih yang terkandung pada praktik vital normal. Dalam hal ini, seni pun menjadi sama realistisnya dengan sains. Sudah tentu hal ini tak berarti bahwa tidak didapati adanya ketegangan antara visi artistik dengan realitas empiris, atau bahwa jarak antara subjek kreatif dan fakta objektif perlu disangkal. Hal itu semata menunjukkan bahwa seni merupakan suatu hukum yang—betapapun struktur secara keseluruhannya telah diutak-atik sehingga bersifat fantastis, atau absurd— 16



elemen-elemen penyusun karya seninya berakar dari dunia pengalaman nyata, dan bukan dari dunia ide yang sifatnya supersensual ataupun supernatural. Adalah suatu fakta yang cukup masyhur, bahwa Balzac sendiri (dalam kapasitasnya sebagai penulis-klasik pertama dengan novel-novelnya ber-genre naturalis, juga sebagai pakar dalam realisme artistik, dalam pengertian yang sering dirujuk oleh Marx dan Engels) sering menggunakan fiksi murni untuk menggantikan observasi dan menciptakan karakterkarakter, fisiognomi, bentang alam, dan interior yang ia klaim pernah diobservasinya dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, metode Balzac ini menggunakan teori Engels sebagai paradigma atas “kejayaan Realisme” dan sebagai sebuah tipikal “kecerdasan” dengan bantuan kebenaran yang mampu ditembus seni lewat pintu belakang, saat pintu-pintu lainnya telah tertutup. Bentuk-bentuk objektivitas yang berbeda menghasilkan refleksi individual terhadap realitas, yang bersifat tak terreduksi dan tak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lain. Adalah kekeliruan, untuk memahami salah satunya—katakanlah, bahwa dalam refleksi ilmiah akan realitas, representasi fakta lebih dapat dipercaya, ketimbang dalam refleksi lainnya, yang mungkin akan dijelaskan kurang-lebih sebagai sebuah penyimpangan yang berubah-ubah dari realitas objektifnya. Konsepsi ilmiah tentang dunia tidaklah lebih mendekati kenyataan ketimbang konsepsi artistik, dan bahwa seni itu sendiri (sebagai sebuah prinsip) tidak lebih jauh menetapkan dirinya sendiri dari realitas dibandingkan dengan sains. Namun, jika kita menengok peranan konstitutif dari berbagai kategori subjek pembeda yang terdapat pada pengetahuan ilmiah, kita cenderung menaksir terlalu tinggi elemen kreatif, dan sebaliknya, menaksir terlalu tinggi elemen mimesis dalam seni. Unsur kesadaran seni dalam semua objektivisasinya 17



menghadapi sebuah realitas independen, yang (meskipun demikian) tetap benar-benar bersifat independen. Namun, tidak terdapat bentuk kesadaran di mana realitas tetap bersifat “bebas” dari berbagai pelekatan kategori. Bahkan saat kita mungkin membahasnya sebagai kebebasan yang relatif merdeka sebagai sebuah bentuk dibandingkan dengan bentuk lain, kita lebih sering membahasnya atas nama moralitas dan hukum, ketimbang sebagai seni itu sendiri. Terlepas dari segala bentuk fantasi dan sifat berlebih-lebihannya, seni—sama halnya dengan sains—juga terikat pada realitas, meski dalam cara yang berbeda. Struktur-struktur seni selalu dibangun dari susunansusunan realitas, bahkan meski rancangannya telah dipisahkan dari realitas. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Brecht (dalam Uber Lyrik), “Tak ada yang mencegah Cervantes dan Swifts, betapapun realisnya mereka, untuk melihat prajurit yang sedang bertempur di atas kudanya, dengan latar kincir-kincir angin, juga kuda-kuda yang pulang kembali ke rumah.” Dalam berbagai upayanya untuk membebaskan subjek dari rutinitas keseharian dan memunculkan realisasi-dirinya sendiri dalam sebuah dunia utopianisme yang bebas-lepas, seni pun seakan memiliki kebutuhan untuk selalu berpijak pada fakta yang ada, pengalaman langsung, dan ungkapan-vital murni. Tak ada yang lebih signifikan ketimbang peranan yang dimainkan oleh realisme di dalam seni, dibandingkan dengan titik tolak dalam penciptaan A la recherché du temps perdu karya Proust, di mana realitas diyakini penulisnya sebagai pemegang peranan utama dalam keseluruhan karyanya. Itu terjadi saat Proust (setelah bertahun-tahun menelusuri dan mencari-cari) menemukan apa disebutnya sebagai “realitas sastra”, dan tiba-tiba ia menjadi sadar akan kemampuannya untuk menangkap dan berpegang teguh pada realitas ini. Pada dasarnya, hal semacam ini merupakan sebuah pertanyaan yang 18



muncul dari sebuah penemuan dan pencatatan akan berbagai kesan yang sebenarnya sangat sederhana namun juga vital, yang sifatnya membingungkan karena usikannya yang sensual, juga karena teka-tekinya yang konseptual. Kesan-kesan itu merasuki Proust semasa ia masih belia, dan selalu memunculkan perasaan yang mengganggu sekaligus membahagiakannya, di mana ia merasa telah mengalami sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dia seolah merasa turut serta dalam pengalaman yang sangat berharga, yang akan menjadi bahan pertimbangannya, baik dalam apresiasi maupun penggambaran di mana ia menyaksikan seluruh makna dan tujuan keberadaannya. Ia ingin menuliskannya (terutama karena menyadari bahwa ia tak becus dalam bidang lainnya), dan secara esensial ia merasa bahwa apa-apa yang ada di dalamnya berfungsi untuk menjelaskan sekaligus “menemukan” hal-hal seperti gugusan pohon, yang pernah dilihatnya di Hudimésnil, tak jauh dari Balbic, juga barisan puncak menara gereja di Martinville, yang perspektif(sudut pandang)nya ia peroleh saat berada dalam sebuah perjalanan menaiki kereta, dan—sebagai aspek yang paling menonjol dari seluruh pengalaman itu—rasa kue Madeleine yang dicelupkan ke dalam secangkir teh. Adalah sebuah pertanyaan juga, untuk menemukan dari mana perasaan “sejahtera” yang tak berkesudahan itu bermula, yang terhubung dengan cerapan-cerapan itu. Yang mana yang merupakan potongan-potongan kenangan yang terbuang, yang mana yang realitas tersembunyi, yang kesemuanya pasti ada di dalamnya, sehingga terasa begitu signifikan dan menjanjikan. Tahun-tahun penuh kegelapan mengikuti periode saat Proust mendapati kilatan-kilatan “kenangan yang tak diharapkan”-nya itu, tahun-tahun di mana ia berjuang untuk mengenyahkan semua itu dari ingatannya, tahun-tahun yang dilalui dengan penderitaan tanpa suara, tanpa rasa, dan tanpa tujuan. Dan tiba-tiba terbukalah sebuah



19



pintu yang sebelumnya telah ia ketuk ribuan kali dengan sia-sia. Mendadak ia bagai dibanjiri dengan perasaan “penuh”, disergap oleh realitas hal-hal tersebut. Ia dikuasai oleh kejutan, bahwa ketinggian yang berbeda dari dua batu-jalan bisa menyulap dan menghadirkan kenangan akan Venesia, di sepanjang trotoar gereja baptis Saint Mark, juga bagaimana suara denting sendok di atas piring bisa mengingatkannya akan suara palu yang diketuk-ketukkan di sepanjang rel kereta api, dan demikian membuat ia terkenang akan stasiun-stasiun nun jauh di sana yang pernah disinggahinya selama bepergian bertahun-tahun yang lalu. Sentuhan sehelai serbet mengingatkannya akan kakunya rajutan handuk tangan yang pernah ia gunakan bertahun-tahun silam saat berada di sebuah hotel di tepi laut. Sebuah memori yang terisi dengan realitas yang begitu menusuk perasaan itu mampu membentangkan sebuah pemandangan akan lautan birukehijauan yang terhampar di depan matanya pada saat itu. Kini Proust telah mencapai tingkatan yang dulunya tak pernah berhasil diraihnya, yakni tingkatan sebagai seorang seniman yang telah dikaruniai berkah yang tak bisa dijelaskan, seorang seniman yang mampu menggenggam realitas dan menyimpannya. Apa lagi yang bisa dikatakan mengenai kenyataan menyenangkan ini, selain bahwa hal-hal tersebut begitu nyata, begitu “aktual”? Terkait dengan realitas ini, dengan lebih singkat dan mengesankan, Goethe berhasil mengekspresikan sifat “realisme” yang tak-acuh, stilistik, yang secara kualitatif tak terreduksi lagi. Karya-karya paling penting dari para sastrawan atau tokoh besar—Homer dan Dante, Shakespeare dan Cervantes, Rubens dan Rembrandt, Stendhal dan Balzac, Dostoevsky dan Tolstoy, Cézane dan Van Gogh—semuanya “realistis” dalam pengertian yang sama: kesemuanya haus akan (dan pada saat yang sama, ‘meneguk’) sari-sari realitas. Ketika Cézane¹ dan Proust² sama20



sama menggunakan istilah réaliser untuk menjelaskan tujuan dan metode seni, keduanya merujuk pada realisme, yakni tindakan realisasi yang kita bahas ini. Mereka tak pernah berhasil mengungkapkannya dengan lebih tepat. Benar bahwa Proust mungkin cenderung menghubungkan substansialitas dan cita-cita Platonis dengan realitas yang dicarinya, namun Platonisme-nya yang kabur tidaklah berhubungan dengan tujuan-tujuan artistik aktualnya, ataupun dengan karakter sejati dari seninya. Realitas yang ia coba untuk gumuli dari “masa yang hilang” tak berkaitan dengan sebuah eksistensi yang lebih substansial, yang mengandung kebenaran yang lebih tinggi ataupun ide yang lebih murni. Realitas tersebut membentuk kandungan pengalaman individu yang benar-benar konkrit, yang diletakkan pada perspektif yang unik. Kesulitan yang tak berkesudahan untuk menyingkap tirai yang menyelubungi pengalaman-pengalaman tersebut dalam suatu rangkaian waktu memaksanya untuk mencoba membayangkan bahwa ia terikat pada kondisi yang lebih dalam dan esensial. Sebenarnya ini merupakan sebuah pertanyaan (sebagaimana halnya pada setiap karya seni), untuk melepaskan berbagai fenomena langsung yang bersifat sensual dan bisa dipahami (yang telah dialami dalam berbagai kepelikan kualitatifnya) dari segala sesuatu yang bersifat abstrak, universal, dan ideal, juga dari semua sifat tak-berkesudahan dan tak-mendunia. Penciptaan artistik bukan merupakan



pertarungan



untuk



mempertontonkan



“gagasan-gagasan”,



melainkan



perjuangan melawan penyembunyian/pengaburan hal-hal dengan sarana penyampaian gagasan, esensi, dan ke-universal-an. Dapat dipahami mengapa Plato sangat paham dengan alasannya melarang keberadaan puisi dari republiknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang pakar bahasa pada seorang penulis muda, bahwa seni pertama-tama dan terutama adalah berkaitan dengan kesan-kesan 21



sensual yang jernih, tajam, dan lengkap. Menurut pandangan pakar bahasa ini, si penulis harus mampu menulis dengan baik, sehingga pembaca seolah-olah bisa mendengar suara uang logam yang dilemparkan pada pemain orgel jalanan dari jendela bawah, hingga kepingan itu jatuh di jalan. Proust (dengan Platonisme latennya) tentu saja memahami hal ini. Setiap tokoh realis hebat pun telah berpikir dengan cara yang sama-sama sadar dan objektifnya, dan telah mengamati segala sesuatu dengan sama-sama netral dan jujurnya. Mulai dari Homer, yakni saat tokoh Telemachus membicarakan sang ayah, Odisseus, yang diyakini telah mati, sebagai orang asing yang “Tulang-belulang putihnya membusuk oleh guyurran hujan, di sebuah pantai gelap entah di mana.” Juga Balzac, yang tidak mengatakan apa-apa tentang jasad Lucien de Rubempré yang tergantung, selain dengan menyebutkan bahwa ia tergantung bagai jas yang disampirkan pada sebuah kaitan, dari tiang jendela tempatnya menggantung dirinya sendiri. Naturalisme yang sedang kita bahas di sini sebaiknya tidak dipahami sebagai seni dalam konteks petits faits vrais, melainkan sebagai seni yang oleh Balzac (sebagai contohnya) diungkapkan sebagai fakta, bahwa bahkan Eugénie Grandet juga merupakan sesuatu yang bersifat “Grandet”. Deskripsi cara hidupnya sesudah kematian sang ayah merupakan salah satu dari kemenangan besar yang dicapai oleh seni hebat yang beraliran tragis ini, dan tetap bertahan seperti itu, terlepas dari segala “remeh-temeh” yang menyertainya. Si Tua yang kikir itu menghancurkan kebahagiaan puterinya sendiri dengan mencegahnya menikah dengan sepupu (si gadis) yang miskin, namun sangat dicintainya itu. Selain hal itu, wujud tiraninya—yang diekspresikan dalam peraturan yang ia tetapkan (misalnya, dengan melarang penghangatan rumah antara pertengahan Maret dan akhir Oktober)—hampirhampir tak cukup berarti untuk dibahas. Hal semacam itu semata bertujuan untuk



22



menghadirkan kepada pembaca, kesadaran akan atmosfir yang begitu dingin dan mencekik yang mengelilinginya. Hubungan antara sang ayah dengan puterinya merupakan perjuangan antara hidup dan mati, yang tak ternyatakan, namun juga tak berkesudahan. Hal itu tak cuma terletak pada sang ayah yang bengis, yang kapan saja rela menukar puterinya, anak satu-satunya itu, dengan satu ons emas, tetapi juga pada Eugénie, si gadis yang sabar dan patuh itu, yang pada suatu ketika hampir saja membunuh ayahnya sendiri. Ini terdapat pada moment, di mana sang ayah yang naik pitam merampas lukisan portret kekasih si gadis (yang selama ini disembunyikan oleh si gadis), terutama setelah mendapati bahwa bingkai lukisan itu terbuat dari emas. Setelah semua yang terjadi, saat akhirnya berada dalam ketidakbahagiaan dan kebingungan, dengan warisan sebesar jutaan franc, si gadis tetap tidak mau menyalakan pemanas ruangan di rumahnya, antara pertengahan Maret dan akhir Oktober, meski udara begitu dingin menggigit. Itu bukan karena ia berniat menghemat uang, namun semata karena “darah” Grandet lebih “panas” ketimbang pribadi Eugénie sendiri. Kritik seni beraliran Marxis Orthodoks berpendapat bahwa adanya signifikansi yang berlebih itu berasal dari pembedaan realisme dan naturalisme. Hal ini terutama menyangkut pertanyaan akan perbedaan derajat. Apa yang secara umum dipahami sebagai naturalisme (sebagai lawan dari realisme) adalah sesuatu yang semata buruk, ilmiah, dan oleh karenanya, menjadi sebuah “realisme” yang tidak mencukupi secara artistik. Dalam sejarah seni, batasan antara realisme dan naturalisme bersifat mengalir— jika sebenarnya tidak menyesatkan, dan tak ada gunanya membuat perbedaan di antara keduanya. Keduanya terutama menggambarkan, paham yang berkebalikan dari apa yang disebut sebagai aliran klasik, formalistik, dan distilistisasi secara kaku; mereka 23



merupakan sebuah aliran yang terpadu, lebih bebas, dan lebih dekat hubungannya dengan realitas pengalaman. Tentunya akan lebih bijak untuk mendefinisikan seluruh trend realis-naturalis sebagai naturalisme, sebagaimana yang ditempuh oleh sejarah seni, dan mempertahankan istilah realisme untuk merujuk pada pandangan umum dunia, sebagai kebalikan dari irasionalisme dan idealisme aliran romantik. Dalam hal ini, naturalisme tetap menjadi sebuah istilah untuk gaya seni secara murni dan juga sebuah kategori estetik yang bersifat tegas. Realisme (yang jika dipandang sebagai sebuah aliran hanya akan memperumit formasi konseptual sejarah gaya/aliran seni, dan memunculkan permasalahan semu dalam kritik seni) semestinya lebih dipertalikan dengan sebuah pandangan filosofis. Penciptaan artistik yang dikenal pada masa-masa awal, yakni lukisan gua pada periode Paleolitikum, merupakan citra orisinil dan prototipe dari semua aktivitas artistik. Mereka mewakili sarana praktikalitas, yang berkaitan erat dengan cara penunjang hidup. Penciptaan artistik itu berakar dari para pemburu primitif yang hidup di sebuah dunia yang diatur oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat murni praktis, yang membiasakan mereka pada kondisi-kondisi, di mana seluruh energi yang ada ditujukan pada perolehan sumber-sumber pangan. Produksi-produksi artistik mereka merupakan instrumen dari teknik sederhana yang berorientasi pada tujuan, dan menggambarkan sebuah jebakan di mana binatang yang akan diburu dan dibunuh harus bisa terperosok ke dalamnya, jika tujuan magisnya cukup harmonis/sesuai dengan alam. Kreasi mereka tidak bersandar pada sebuah tindakan yang bersifat simbolik, relijius, ataupun estetik; tidak juga pada imitasi sembrono atau gambaran akan sebuah ritual pengorbanan, melainkan pada sebuah aktivitas praktis terang-terangan yang sederhana, di mana di dalamnya (dari 24



aspek virtual) tak perlu memunculkan pertanyaan semacam efek dekoratif ataupun keindahan murni tanpa unsur kegunaan. Yang belakangan tampaknya paling tepat untuk menjadi sebuah “hasil sampingan” dari praktik magis yang hanya dimaksudkan untuk aspek kebermanfaatannya. Seberapapun dekatnya hubungan gambar-gambar hewan Paleolitik dengan bentuk-bentuk seni yang mula-mula (yang tak lagi dapat dikenali), mereka sebenarnya hampir-hampir tak identik. Apakah mereka (jika mungkin) mewakili prototipe refleksi artistik dari realitas, dalam kasus pemisahannya yang paling ekstrim sekalipun, tentunya tak pernah hadir tanpa mengandung suatu maksud ataupun fungsi. Struktur spesifik dari sikap mental, otonominya, juga kualitas-kualitas yang melekat padanya, tak ketinggalan pula struktrur kategorisnya yang tidak umum akan pengetahuan ilmiah, evaluasi moral, dan kreasi artistik, merupakan signifikansi sekundernya, baik secara historis maupun psikologis. Sedangkan apa yang termasuk ke dalam kepentingan primer dalam pengertian praktis adalah, jukstaposisinya, partisipasi umumnya dalam usaha manusia untuk menjadi sadar dengan realitas dan bertahan dalam perjuangan eksistensi. Seni, terutama, terlepas dari sifatnya yang bermain-main, tak-acuh, fantastis, dan berlebih-lebihan, juga berfungsi (tidak hanya secara tak langsung, yakni dengan mempertajam cerapan realitas) sebagai instrument magis, yang bersifat ritual dan propaganda, dalam penciptaan senjata dalam pejuangan meraih eksistensi. Jauh dari pemahaman menggunakan seni sebagai jeda dalam perjuangan tersebut, manusia memasang jebakan yang paling berbahaya bagi musuh dan saingan mereka, di balik tampilan niat-niat damai. Mereka menyusun peralatan perang yang paling mematikan justru pada saat mereka tampak seolah tengah beristirahat dan melakukan gencatan senjata. Kedamaian dan harmoni boleh jadi merupakan hasil-sampingan dari sebuah 25



karya seni, namun keduanya justru jarang menjadi sumber dari seni itu sendiri. Kebohongan dan kegilaan/obsesi, kejutan dan penaklukan, adalah senjata yang jauh lebih sering dikobarkan oleh seni, ketimbang persuasi yang ramah dan konversi damai. Seni seringkali hanya mencapai gencatan senjata di antara dua kubu, yakni dalam bentuk jeda menarik nafas untuk menghimpun kembali kekuatan yang masih ada, dan bertindak sebagai narkotik atau candu untuk menenangkan jiwa dan untuk mengenyahkan segala syak-wasangka. Seni selalu terkait dengan mengubah kehidupan. Tanpa munculnya perasaan bahwa dunia ini—sebagaimana yang diucapkan oleh Van Gogh, adalah “an unfinished sketch” (=sketsa yang belum selesai), tak akan ada seni sama sekali. Seni sama sekali bukanlah merupakan produk dari sebuah sikap kontemplatif murni yang sekadar menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, ataupun menghadirkan sesuatu kepadanya dengan pasif. Alih-alih, seni (secara langsung maupun tidak) merupakan sarana untuk menguasai dunia dengan kekuatan atau kecerdikan, guna meraih hegemoni atas manusia, dengan cinta atau kebencian, guna mencengkeram para korban/mangsa yang telah dilumpuhkan. Manusia Paleolitik menggambar binatang dengan tujuan memburu, menangkap, dan membunuh mereka. Dalam cara yang sama, gambar yang dibuat oleh anak-anak tidaklah menghadirkan pandangan yang sifatnya “netral dan tak berpihak” akan realitas; gambar-gambar itu juga mengejar tujuan magis, mengekspresikan cinta atau kebencian, dan bertindak sebagai cara memperoleh kekuasaan atas orang yang digambar. Oleh sebab itu, kita mungkin saja menggunakan seni sebagai sebuah sarana penghidupan/subsistensi, sebagai sebuah senjata perjuangan, sebagai kendaraan lesapan bagi dorongan-dorongan agresif, atau sebagai penawar yang akan menghilangkan 26



keinginan-keinginan yang bersifat destruktif. Kita bisa menggunakan seni untuk membenahi sifat tidak-lengkap dari segala sesuatu, lantas mengungkapkannya terhadap karakternya yang suram dan tak bergairah, juga terhadap kesiaa-siaan maupun ke-tanpatujuannya. Apapun alasannya, seni tetaplah bersifat realistis dan aktivis, dan hanya dalam kasus-kasus perkecualian-lah, seni mengekspersikan sikap tak-memihak atau netral terhadap permasalahan praktis. Terdapat gambaran tak terpisahkan akan sebuah kelompok yang homogen secara sosiohistoris. Usaha untuk memisahkan berbagai wilayah yang berbeda pada kebudayaan kelompok tersebut satu sama lain—sungguhpun hal itu sangat menggiurkan dan bermanfaat dari sudut pandang analisis struktural atau teori kognisi—tentunya bukannya tidak membahayakan dari segi sosiologis. Ekonomi, hukum, moralitas, sains, dan kesenian hanya merupakan berbagai kekuatan atau aspek yang berbeda dari sikap terhadap realitas, yang terpadu secara esensial. Secara hakiki, hal ini bukanlah sebuah pertanyaan, baik dalam menentukan kebenaran ilmiah ataupun menciptakan karya-karya dalam kehidupan, namun hanyalah sekadar pertanyaan dalam membentuk gambaran yang memiliki (sebagai fungsinya) perolehan dari berbagai petunjuk yang bisa dijadikan sebagai sandaran dalam praktiknya. Orang melakukannya dalam wujud budaya, perjuangan melawan kekacauan yang membingungkan dan anarki eksistensi yang lemah, bukan saat mereka telah memperoleh mata pencaharian mereka, tetapi biasanya dengan tujuan untuk mempertahankannya. Keunggulan chaos yang mengancam seluruh aspek kehidupan, baik melalui penguasaan wilayah, agama, moral, pengetahuan, dan seni, adalah salah satu sangkaan dalam pengertian keamanan, dan oleh karenanya, dalam rangka meraih kesuksesan dalam perjuangan eksistensi. 27



Sains mungkin lebih universal, lebih objektif, dan lebih otonom ketimbang seni, dan mungkin juga lebih independen daripada berbagai kepentingan yang ada pada masyarakat, yang berubah menurut situasi historis yang sudah ada; meski demikian, sains juga bermula dari kebutuhan-kebutuhan sosial, dan batasan-batasan dan prinsip-prinsip pemandunya ditentukan oleh kepentingan kelas. Objektivitas, imparsialitas, dan kurangnya asumsi merupakan bagian dari cita sains, betapapun ia berhasil mewujudkannya. Netralitas dan kurangnya prasangka, di sisi lain, bahkan bukan merupakan tujuan ideal seni, setipis apapun tujuan praktis yang hendak diwujudkannya. Pada teorinya, netralitas juga bukanlah perkiraan dari keberhasilan artistik. Keberpihakan dan prasangka paling tepat digunakan untuk menggambarkan reaksi seniman terhadap kesan-kesan dan tantangan yang dialaminya. Subjek kognitif yang berorientasi ilmiah harus menolak kesempatan, yakni berbagai karakteristik variabel individual pada manusia biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara inilah dia bisa mengambil tindakan kognisi yang objektif, normatif, dan patut dicontoh, yang bebas dari impuls psikologis sesaat, juga dari motif individu yang sangat bersyarat. Di sisi lain, berbagai keadaan yang unik tersebut, yang berbeda-beda menurut tempat dan waktunya, merupakan suatu sumber orisinalitas dan individualitas bagi cara berekspresi sang seniman yang kreatif. Kepada hal-hal itulah, seniman berhutang akan bertambahnya pengetahuan (yang didapat oleh dunia gagasan dan imaji) melalui karyanya. Keberpihakan dan prasangka personal yang muncul dari asumsi akan sebuah pendirian tertentu, perspektif yang berubah secara konstan, baik secara psikologis maupun ideologis, merupakan sumber pengalaman yang senantiasa baru dan tak terduga bagi sang seniman, dari persepsi individu yang tak terbandingkan dan sangat dibutuhkan. Dalam



28



hal ini, kepribadian sang seniman tak perlu untuk di-desubjektivikasi dan diubah sifatnya dengan tujuan meraih signifikansi bagi hal-hal lainnya: sebaliknya, semakin subjektif dan khas karakteristik sebuah karya seni, (secara artistik) semakin signifikan-lah karya itu. Karena sifat mimesisnya, seni dan sains merupakan struktur makna yang paling dekat satu sama lain dibandingkan dengan semua struktur makna lainnya. Mereka (seni dan sains) dibedakan secara tajam oleh fakta bahwa seni-lah yang paling mengungkap berbagai karakteristik yang secara antropomorfis, fisiologis, dan psikologis terkait dengan human nature, sementara sains justru paling sedikit menunjukkan karakteristikkarakteristik tersebut. Sains mengisyaratkan pada sebuah subjek, sifat abstrak, polos (tak berwarna), yang bisa dibilang sebagai kesadaran transparan. Secara kontras, seni terhubung dengan manusia qua manusia, pada individu sebagai makhluk khas yang tak terbandingkan, sebagai hasil dari kombinasi tak terulang dari watak dan berbagai tendensinya. Sejak masa Renaisans dan sejalan dengan munculnya divisi buruh dan spesialisasi kerja yang progresif, interpretasi filosofis dari sikap dan capaian-capaian menjadi makin didominasi secara eksklusif oleh gagasan otonomi dan imanensi. Hingga akhir abad terakhir, saat menganalisis sikap-sikap terhadap realitas, orang beranggapan (khususnya dalam kasus seni dan sains), bahwa mereka harus memulai dari individualitas dan isolasi mereka, dan meyakini bahwa mereka dapat menemukan di dalamnya semacam kebenaran valid, atau nilai yang mengikat, yakni sebuah tipe fundamental dari bentuk dan norma yang independen dan sama-sama tidak dapat dipertukarkan. Semakin tinggi ranking yang disandangkan pada kategori individual, semakin mutlak-lah otonomi dari prinsip-prinsip konstitutifnya, juga dari nilai-nilai yang menentukannya. Dari seluruh sistem yang ada, 29



kedaulatan yang paling lengkap telah diklaim bagi kategori estetik, setidaknya sejak era romantik. Seni semestinya (menurut apa yang telah diajarkan dan diyakini) tak berkaitan dengan kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsuan, ataupun dengan apa-apa yang diinginkan atau dicela secara politis. Meskipun realistis dan (diduga) rasionalistis, sebuah doktrin semacam psikoanalisis tetap memainkan sebuah peranan dalam pemisahan seni dari sisa realitas, dari totalitas kehidupan normal. Freud menemukan di dalam seni, seperti halnya dalam neurosis, adanya kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan realitas. Seniman mengasingkan diri dari dunia, dan dia mempertahankannya, sebagai akibat dari ketidakmampuannya mengontrol dorongan asosialnya. Dia menciptakan bagi dirinya sendiri, dalam lingkaran seni yang tak nyata, suatu kompensasi akan tempat yang tak dimilikinya dalam dunia nyata. Seniman menjalani suatu keberadaan yang sama terasingnya dari realitas, sebagaimana yang diciptakan oleh penderita neurosis dalam alam sakit jiwanya yang terpisah dari alam nyata. Freud membahas dalam kedua kasus tersebut, adanya faktor/keadaan “hilangnya realitas”, dengan perbedaan bahwa penderita neurosis (dalam pandangannya) tidak menyangkal kenyataan, namun sekadar melupakannya; sebaliknya, seniman justru menyangkalnya dan menggantinya dengan fiksi—itu sebabnya, seniman lebih menyerupai seorang psikosis ketimbang neurosis. Namun, Freud juga mengakui bahwa seniman—berlawanan dengan penderita neurotik atau psikotik—selalu bisa memulai untuk melakukan proses “back to nature” (kembali pada keadaan semula). Dengan kata lain, ia bukanlah korban dari ilusionisme yang senantiasa menghantuinya, terlepas dari pengasingannya



dari



kenyataan,



melainkan



memiliki



fleksibilitas



jiwa



yang



memungkinkannya untuk mengubah jaraknya dari berbagai fakta, yakni untuk 30



mengencangkan atau melonggarkan hubungannya dengan fakta-fakta itu, dan terutama untuk menciptakan kontak langsung dengannya. Fleksibilitas ini adalah salah satu dari berbagai gejala karakteristik dari sikapartistik. Fleksibilitas itu mengungkapkan dirinya sebagai suatu perubahan berkelanjutan dalam penegakan dan pembongkaran simulasi dan penipuan diri, dan mendatangkan dalam rentetannya, suatu fluktuasi konstan dalam hubungan antara ilusi dan kenyataan, dari puisi dan kebenaran, dan dari penerimaan atau penolakan fakta-fakta. Namun, Freud terlalu kuat menekankan hubungan tak terputus antara seniman dengan kenyataan, dengan tujuan menyeimbangkan dengan harmoni orisinalnya dengan hal itu. Signifikansi berlebihan yang disandangkan Freud terhadap anomalitas tersebut, terutama sebagai akibat dari sifat ahistoris doktrinnya. Pengasingan sang seniman, yang ditekankannya (meskipun ia juga berasumsi akan adanya kemungkinan untuk “kembali ke realitas”), merupakan satu kesatuan dengan situasi historis tertentu yang ia (dan generasinya sendiri) dapati, dan tak berkaitan dengan hukum biologis universal yang disangkanya. Konsep alienasi Freud itu sendiri terkondisi secara historis, dan tanpa adanya era romantik (yang paling sering diasosiasikan dengan doktrin Freud), konsep itu tentu saja akan memiliki bentuk yang jelas-jelas berbeda. Periode terpanjang dalam sejarah hanya mengenal kegiatan artistik yang berkaitan dengan praktikalitas dan yang ditujukan pada keberhasilan instan: akan terasa sia-sia rasanya, untuk membahasnya dalam kaitannya dengan alienasi (pengasingan) dan hilangnya realitas. Sebelum datangnya era romantik, belumlah dikenal adanya konsep seni sebagai kepuasan pengganti dan kompensasi untuk sesuatu yang lebih nyata, bernilai, namun lebih tidak-tercapai. Seni mungkin telah mewakili pemenuhan harapan 31



dan fantasi yang melebihi dunia keseharian; seni bukanlah pengganti yang akan diterima dalam pertukarannya dengan kehidupan nyata. Sebagai sebuah wujud “terbang menggila”, gagasan akan terbang dari realitas ke dalam dunia rekaan, benar-benar asing bagi pandangan seni pada era praromantik. Hanya era romantik-lah yang mengubah keteramat-pentingan realitas normal menjadi perkiraan penciptaan artistik dan penolakannya ke dalam kondisi bagi keberhasilan artistik, yang kemudian mulai mereka kontraskan dengan keberhasilan eksternalnya. Sejak saat itu, seni tak lagi sekadar menjadi sebuah kompensasi bagi apa-apa yang hilang dalam hidup; seni hanya memiliki nilai dan makna bagi mereka-mereka yang telah kehilangan kesempatan untuk memiliki dan menikmati kehidupan. Seni telah menjadi sebuah legenda kehidupan, di mana manusia merasa dikucilkan. Hal itu tak lebih dari sebuah simbol, bukan lagi sebuah kemiripan. Sang penyair hanya membicarakan apa yang bukan dirinya, dan apa-apa yang tak ia miliki. Cinta, keteguhan, dan kepahlawanan, menurut Flaubert, hanya bisa dilukiskan jika Anda bukanlah seorang pencinta, orang alim, atau pahlawan. Siapapun yang termasuk ke dalam salah satu/bagian dari ketiganya, hanya memiliki sedikit minat untuk membicarakan watak, cinta, dan hasratnya. Hanya orang yang gagal dalam hidupnya-lah yang memiliki kecemasan untuk melakukannya, dengan kata lain, orang yang tak mampu menjadi apa yang ia inginkan dan harus berupaya sekuat tenaga untuk menggambarkan orang yang hidupnya tak mampu ia jalankan/teladani. Kesadaran yang dimiliki oleh generasi terbaru akan status sosial mereka beserta implikasinya telah memunculkan krisis artistik yang muncul sejak era romantik dan merebaknya doktrin l’art pour l’art (seni untuk seni). Ini merupakan sebuah krisis di mana seni telah menanggalkan dirinya sendiri lebih jauh dan semakin jauh dari berbagai 32



kepentingan praktis, pertimbangan moral, sudut pandang ilmiah, dan sekadar menjadi sebuah fenomena sosiohistoris, yakni sebuah gejala dari spesialisasi dan atomisasi progresif dari tugas-tugas vital. Sebagai akibatnya, telah terlihat bahwa asumsi dari eksistensi seni yang tertutup bersifat tak dapat dipertahankan dalam kehidupan yang terpadu, yang dalam seluruh tujuan praktisnya bersifat tak terpisahkan/tak terbagi, yang tak memungkinkan adanya keterputusan dalam pandangannya terhadap dunia. Meski demikian, gagasan bahwa seni dan sains mengaitkan dirinya sendiri dengan dua tipe pengalaman yang berbeda, akan tetap dan selamanya ada. Namun, keyakinan bahwa dalam seni kita bisa mengucapkan perpisahan final pada kehidupan normal, berbagai kepentingan yang melingkupinya, juga perhatiannya, menjadi semakin kehilangan gaungnya. Dengan pemahaman bahwa manusia menjalani eksistensi sosial yang hakiki, sosiologi telah bergerak ke pusat pemikiran ilmiah; sosiologi telah menjadi ilmu pusat dan telah mengambil alih (di dalam sistem budaya) fungsi pemersatu yang sebelumnya menjadi milik filosofi dan agama. Seni memiliki orientasi baru ini berkat tumbuhnya kesadaran bahwa ia memperoleh kesatuan dengan seluruh sistem struktural lainnya. Refleksi sosiologis atas asal-usul yang terpadu dan dependensi mutual dari berbagai sikap intelektual dan keterputusan (yang menyertai otonomi dari selera kriteria artistik, konsep-konsep kebenaran ilmiah, dan pertimbangan nilai-nilai moral), menggambarkan sebuah tahap perkembangan yang lambat dalam sejarah budaya. Namun, bukan debilitasi dan penyangkalan secara orisinal—melainkan penemuan dan penekanan atas otonomi nilai-nilai yang merupakan hasil sebuah perkembangan yang panjang, dan penutupan dari sebuah periode historis yang panjang, sebuah era di mana orang-orang tampaknya tidak memertimbangkan sama sekali kemungkinan adanya 33



sejumlah sikap yang berbeda terhadap realita, dan hukum inti dari bentuk konseptual, cara-cara berpikir, dan evaluasi yang berkaitan dengannya. Tetapi, jika kita ingin dengan tepat mengikuti proses yang melahirkan keadaan-kesadaran modern (yang semula memisahkan dengan tegas berbagai sikap tersebut dan menyatukannya kembali), kita tetap harus kembali jauh ke belakang, yakni ke prasejarah pertimbangan-diri sosiologis. Diferensiasi gradual dari sikap-sikap individu dari satu dengan lainnya dan dari kompleks praktik kehidupan yang tak terbedakan tentunya telah menuntut waktu yang tak terhitung dan telah terjadi jauh sebelum gagasan independensi mereka diformulasikan. Pemisahan tugas produktif dari keajaiban, dari sains dengan agama, dari hukum dengan moral, dari penemuan artistik dan sekadar doa yang dipanjatkan demi tujuan-tujuan magis, animistis, atau ritualistis, merupakan sebuah proses yang tak diragukan, yang tersebar pada hampir sepanjang awal sejarah budaya. Perkembangan itu agaknya meraba-raba dengan raguragu, dengan mengambil sedikit langkah maju dan (justru) banyak langkah mundur. Bahkan tahapan perkembangan yang progresif mungkin tidak langsung disadari sebagaimana adanya, dan tahapan yang baru saja diraih tentunya tak bisa dibedakan secara sekilas dengan tahapan yang mendahuluinya. Tahapan itu semestinya merupakan bagian dari sifat dasar kegiatan artistik yang muncul dari kebutuhan akan eksistensi keseharian praktis—dan ini adalah kasus pada setiap fungsi yang perlahan memisahkan diri dan menjadi independen terhadap praktik kehidupan yang terpadu—bahwa tahapan itu semula muncul kurang-lebih secara kabur, samar, dan tak terlukiskan, dan bahwa produk-produknya sekadar perlahan membedakan dirinya dengan penciptaan lainnya. Produk-produk artistik terdahulu tentunya tampak tidak “artistik” pada orang-orang di masa itu. Kita sendiri (jika kita juga melihatnya) mungkin hampir-hampir tak



34



menganggapnya sebagai sebuah karya seni. Karya-karya itu tentunya akan sangat mirip dengan produk-produk lainnya yang dibuat untuk tujuan praktis lainnya, sehingga kita tak akan berada pada sebuah posisi untuk menarik garis yang tegas antara apa yang “belum” dan “sudah” bersifat artistik. Kurangnya pembedaan pada hubungan-hubungan primitif ini memiliki sedikit kemiripan dengan integrasi sikap dan capaian yang hanya akan bisa terjadi setelah diferensiasi dan spesialisasinya telah disempurnakan. Pertimbangan-diri sosiologis (yang membuat kita sadar akan adanya asal-usul terpadu dan tujuan umum dari berbagai sikap dan fungsi) secara alamiah tidak menyatakan keter-kembali-an kepada kesatuan primitif dari berbagai kepentingan dan sarana pemuasnya yang tak berkembang. Sosiologi hanya “mengelompokkan” individualitas dan hukum-hukum inti yang mengatur sikap manusia yang berbeda-beda. Sosiologi akan mengabaikan hal-hal itu saat menemukan (dalam otonomi individual) adanya wilayah kesadaran, dari praktik dan teori, hukum dan moral, sains dan seni, yang sekadar berupa hipotesis yang bekerja bagi teori kognisi, dari analisis struktural, dan aktivitas budaya yang terspesialisasi. Namun, sosiologi tidak menutup adanya perbedaan aktual dari fungsi-fungsi budaya dengan menaruh otonomi berlebih ke dalam kategori tersebut, atau serta-merta mengabaikannya. Sosiologi juga tidak menyangkal adanya kemungkinan dan produktivitas dari pemusatan kesadaran pada tujuan-tujuan tertentu. Untuk mengabaikan fakta bahwa manusia pada dasarnya berjuang dengan solusi tugas-tugas yang identik dan berkaitan erat, yang mengarah pada konsep yang sama sekali salah akan sifat kebutuhan mereka, dan sarana yang berfungsi untuk memuaskannya. Tetapi pengabaian keadaan bahwa kehidupan mereka yang semula begitu sederhana dan terpadu telah memberi tempat bagi sebuah sistem produk yang 35



rumit tak-terbatas dan yang hanya bisa berfungsi di dalam kompleksitas hubungan ini, memiliki efek yang sama-sama menyesatkannya, dan dapat menyumbangkan sifat cobacoba pada setiap karya budaya yang sukses. Mengabaikan peranan yang dimainkan oleh kesatuan dan totalitas masyarakat dalam seluruh usaha manusia, membuat kehidupan dan kebudayaan menjadi sesuatu yang sia-sia. Pada saat yang sama, peremehan derajat pada mana tugas-tugas dispesialisasikan dan pembuangan percabangan dan kemurnian metode kerja akan menjadi sebuah kemunduran, yang dari situ akan menyebabkan kemajuan langsung menjadi suatu hal yang mustahil.



(Halaman 40-70) 3 Sosiologi dan Psikologi Individu dan masyarakat secara historis dan sistematis merupakan bagian yang tak terpisahkan. Masyarakat terdiri dari individu-individu, dan mereka (individu-individu itu)-lah, satu-satunya representasi dari masyarakat, sama halnya mereka hanya bisa eksis dalam sebuah masyarakat. Eksistensi individual dan sosial itu sendiri merupakan penjelmaan simultan, berkembang pada taraf yang sepadan, dan berubah dengan sifat saling ketergantungan. Hanya dengan basis mutualitas inilah kita bisa membahasnya sebagaimana apa yang ada. Tak ada yang lebih absurd ketimbang meyakini bahwa keberadaan manusia muncul pertama-tama sebagai subjek independen dan baru kemudian sebagai anggota dari sebuah masyarakat. Adalah suatu kekeliruan untuk beranggapan bahwa mereka (manusia) menggunakan berbagai karakteristik dari 36



eksistensi sosial, seolah karakteristik tersebut adalah sebuah koreksi atau pelengkap bagi bawaan asosial orisinal mereka. Adalah keliru juga untuk menganggap bahwa mereka berubah dari individualis yang independen tanpa kewajiban, menjadi anggota dari sebuah komunitas sosial di bawah tekanan penderitaan dan kebutuhan, atau sebagai akibat dari kebiasaan dan pengalaman. Mereka sebenarnya lahir sebagai makhluk sosial yang menyerupai satu dengan lainnya jauh sebelum mereka saling membedakan satu sama lain. Mereka mengembangkan ciri-ciri individual hanya dalam keterkaitannya satu sama lain, dengan perserikatan atau perlawanan, imitasi dan individualisasi, kerjasama dan kompetisi, kekuasaan dan pengabdian, juga hak dan kewajiban. Suatu individu yang bebas dari segala ikatan interpersonal dan segala pengaruh sosial merupakaan rekaan pikiran yang terasing, yang menciptakan abtraksi realitas. Jikalau tidak, keberadaan semacam itu adalah contoh abnormalitas, sebuah kasus yang kurang lebih bersifat patologis dari sebuah déraciné (keadaan tercerabut dari akarpenerj.) yang pengisolasiannya menggambarkan sebuah fenomena sosial, yang merupakan sebuah eksistensi yang terasing dari masyarakat dan bukannya tidak tersentuh olehnya. Jika kita menolak pemakaian kategori sosiologis dalam fenomena individual, kita tidak cuma gagal untuk menyadari, bahwa individu tersebut berkembang hanya dalam konteks masyarakat, tetapi kita juga gagal menyadari bahwa isolasi tersebut hanya akan masuk akal jika terkait dengan sebuah eksistensi sosial. Sekadar menjadi sendiri tentunya adalah suatu hal yang remeh dan tak bermakna: kita sendiri dan merasa terabaikan hanya ketika kita sadar akan adanya realitas sosial yang meniadakan kita darinya. Pemisahan fundamental individu dari masyarakat akan mengarah pada munculnya pseudoproblem (masalah semu). Hal itu tak cuma lantaran individu (sejak 37



sangat semula) memiliki karakter sosial dan hanya bisa dibayangkan dalam pengertian sebuah hubungan fungsional dengan kondisi-sosial eksistensinya, tetapi juga karena ia diperintah/diatur oleh kekuatan-kekuatan sosial dan ditentukan oleh pencapaianpencapaian sosial setiap saat ia berontak dari masyarakat. Ini juga merupakan sebuah kebenaran bahkan jika berpikir bahwa ia berhutang akan segala sesuatu yang menurutnya positif dan bernilai dalam dirinya sendiri dan pencapaian-pencapaiannya, yang membuatnya berontak pada institusi-institusi sosial yang dipandangnya tak lebih dari sekadar sumber rintangan, hambatan, dan marabahaya. Oposisi, pemberontakan, dan pengasingan jelas-jelas merupakan wujud sikap sosial, yang termotivasi secara ideologis. Hubungan aktual seniman dengan masyarakat dalam pengertian ini adalah bersifat berseberangan dengan doktrin idealistis—yang klasik ataupun romantik—dari teori seni. Para seniman, sama halnya dengan sesama manusia, adalah makhluk sosial, produk dari dan pencipta masyarakat, yang tidak sepenuhnya bersifat independen dan tiran, dan tidaklah pula bersifat tercerabut dan terasing sedari awalnya. Seniman tak lagi menjadi korban yang terkucil dari masyarakat yang dimanipulasi dengan kejam dan diorganisir secara tidak fleksibel (yang tidak mereka sadari), dan tempat di mana mereka berusaha mencari perlindungan di dalam seni. Alih-alih, mereka menjadi corong yang menyuarakan kemanusiaan abadi dan terpadu. Betapapun superior anggapan mereka terhadap diri sendiri dibandingkan dengan sesamanya, dan betapapun terasingnya mereka dari masyarakat, para seniman itu memakai bahasa yang sama, yang diucapkan pada sesamanya, dan ditujukan untuk sesamanya juga. Kita menarik garis yang terlalu tajam antara elemen individu dan elemen sosial dalam sikap-dan-tindakan manusia dan capaian-capaiannya, jka kita berasumsi bahwa 38



individu dan masyarakat menjalani eksistensinya masing-masing menurut hukumhukumnya sendiri dan mampu eksis tanpa satu sama lain. Nyatanya, keduanya tak cuma saling membutuhkan, tetapi juga membentuk dua aspek dari suatu fenomena tunggal yang serupa. Bukan saja bahwa masyarakat merupakan satu-satunya bentuk di mana sesuatu seperti keberadaan individu bisa dimengerti, tetapi pada saat yang sama, individu adalah satu-satunya agen masyarakat, suatu perwakilan aktifnya, suatu ekpresi eksplisit dari dorongan-dorongan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sebagai sesuatu yang sifatnya se-takterhapuskan seperti halnya elemen sosial dari segala aktivitas manusia, individu-lah yang berpikir, merasa, dan bertindak, yang menyadari kebenaran, dan menciptakan karya seni, bahkan jika ia melakukannya sekadar sebagai bagian dari usaha kooperatifnya. Individu dan masyarakat berinteraksi dalam kreasi artistik dalam suatu cara yang beraneka ragam dan rumit sehingga hubungan mutualnya tak bisa sekadar dinyatakan dalam makna sebuah dualisme sederhana. Untuk bertanya sampai sejauh mana faktorfaktor individu memberikan sumbangsihnya pada proses artistik, terutama yang paling penting, dan apa yang berubah dalam hubungan mereka, tentunya hal-hal itu akan kehilangan tujuan riilnya. Gagasan akan suatu kondisi sosiohistoris (yang bersifat memotong-dan-menuntaskan dan sewenang-wenang yang bisa diterima tanpa perlu dipertanyakan) dari suatu style periode objektif atau sebuah tren selera yang patut dicontoh, juga dari sebuah kepribadian individu yang secara spontan bersifat independen dalam situasi ini, dan yang secara arbitrer merupakan tugas-tugas moment tersebut. adalah sumber kesalahan yang luas jangkauannya. Terdapat lebih sedikit independensi dari faktor-faktor sosial dan asosial di sini, daripada di wilayah aktivitas-manusia lainnya. 39



Lantaran hal ini merupakan sebuah kasus yang tidak sesederhana konsep “di mana tidak ada masyarakat, di situ juga tidak akan ada individu”, melainkan juga bahwa, bahkan kepribadian yang tampaknya bertindak dengan sepenuhnya spontan, hanya akan mewujudkan sebuah reaksi, menerima sebuah tantangan, dan menjawab pertanyaan yang ditangguhkan. Seorang seniman menjadi seperti dirinya yang sekarang ini dalam rangkaian penaklukan tugas yang terkondisi secara historis dan sosial, yang ia coba interpretasikan dan pecahkan dengan caranya sendiri. Ia tak memiliki individualitas artistik sebelum tugas itu terpecahkan dan hanya bisa dibedakan dan didefinisikan hanya dalam keterkaitannya dengan situasi konkret yang diciptakan oleh tugas yang sudah ada itu. Tanpa masyarakat Renaisans, bumi Italia, dan masa lampau bangsa itu; tanpa Florenzia dan Roma, quattrocento Florentina (era seni dan kesusasteraan di Italia pada abad ke-15) dan pencapaiannya, juga dewan pemerintah Romawi beserta segenap aspirasi dan tampuk kekuasaannya; tanpa Perugino sebagai guru dan Michelangelo sebagai rivalnya, maka tak akan lahir sosok Rafael. Tetapi, tanpa Rafael, Renaisans tak akan menjadi Renaisans, dan Romawi pun tak akan menjadi layaknya Romawi yang kita kenal sebagaimana kita memandangnya. Tidaklah menentukan bagi proses tersebut, apakah Rafael menjadi representasi perkembangan di mana quattrocento menyeberang jalur untuk menuju padanya, baik secara artistik maupun sosial karena lokakarya-lokakarya para seniman yang telah terorganisir dengan lebih baik, kondisi pasar seninya yang lebih menguntungkan, juga dukungan material dan intelektual yang diberikan oleh pasar di tengah-tengah kebudayaannya. Proses itu pun tidak menentukan bahwa Rafael sendiri menciptakan gaya klasik. Apa yang menentukan justru bahwa Renaisans dan kepribadian artistik Rafael berkembang secara simultan dan juga pada kecepatan yang sama tanpa



40



menjadi terpisahkan satu dengan yang lainnya. Bukan cuma solusi yang ditujulah— dalam hal ini, karya seniman-seniman Renaisans-lah, yang menjadi hasil permasalahan konkret tersebut, tetapi permasalahan-permasalahan itu sendiri muncul hanya jika berbagai kemungkinan solusinya juga tersedia. Problem, yang dalam rangkaian perkembangan seniman harus ia munculkan terhadap dirinya sekaligus harus ia pecahkan sendiri dalam satu atau cara lain, bukan terletak pada bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat dan berbagai konvensinya, tetapi sebaliknya justru terletak pada bagaimana ia paling berhasil membebaskan diri dari mereka. Karena sama halnya seorang anak yang semula hanya menggunakan bahasa dari lingkungan di sekitarnya, begitu juga halnya dengan seniman yang memulainya dengan meniru yang lain, dengan mengkopi dan memodifikasi prototipe-prototipenya. Biasanya, ia berkembang dari memakai bahasa yang lebih umum, ke bahasa formal yang bersifat lebih individual. Ia berangkat dari ungkapan umum dan mendekati suatu bentuk ekspresi personal, alih-alih berangkat dari rangkaian yang sebaliknya. Saat ia membebaskan diri dari berbagai formula konvensional dan solusi stereotipikal, menjadi jelas bahwa lebih sulit baginya untuk melupakan (ketimbang untuk memelihara) apa-apa yang ia pelajari dari hal-hal di sekitarnya. Seiring berlalunya waktu, ia mungkin (atau mungkin juga tidak) menjadi semakin orisinal, namun pada awalnya ia merupakan sesuatu yang paling tak-orisinal. Memang ada sejumlah sosok berbakat yang tumbuh matang lebih dini dan sejak masa mudanya telah memiliki kepekaan, ide-ide nonkonformis, dan nada-nada yang jelas dan tak teragukan lagi. Namun, hampir-hampir tak ada seniman yang sejak semula sudah mengutarakan bahasa formal yang sifatnya benar-benar baru. Revolusi artistik aktual jarang muncul dari sosok-sosok muda. Titian, 41



Michelangelo, Rembrandt, Shakespeare, Beethoven, dan Goethe, kesemuanya menjadi lebih progresif dan inovatif dalam kematangan usia, ketimbang dalam masa mudanya. Hubungan antara individu dan masyarakat tidak selalu—tepatnya, tidak pernah— berkaitan dengan antithesis antara spontanitas dan konvensi; antithesis ini hanya merepresentasikan salah satu aspek yang berbeda dari hubungan tersebut. Individu merupakan sebuah kompleksitas dinamis yang mengandung dalam dirinya sendiri, antinomy dari hal-hal yang bersifat inheren (melekat/menurun) dan asing, juga mengandung orisinalitas dan norma, ketetapan dan perubahan, dan ia sendiri menjadi kancah dari perjuangan hal-hal tersebut antara satu dengan yang lain. Kesenjangan antara apa yang bersifat sosial dengan apa yang asosial tidak berada di dalam batasan-batasan individu, melainkan justru melampauinya. Karena seperti halnya masyarakat yang tidak hanya terdiri dari tetapi juga terkandung dalam individu-individu, begitu juga halnya individu tak hanya terkondisi oleh masyarakat dari luar, tetapi menemukan prinsip sosial (melalui stimulus atau resistansi) dalam keberadaannya sendiri dan dari segala hal yang dilakukannya. Analogi antara seni dan bahasa adalah salah satu paralelisme paling nyata dalam keseluruhan estetika, setidaknya sejauh hubungan sarana ekspresi spontan dengan ekspresi konvensional itu terjalin. Seniman tak hanya memakai bahasa orang lain sampai ia berhasil menemukan bahasanya sendiri, tetapi ia kemudian mengekspresikan dirinya dalam sebuah dialek bahasa yang sama. Dalam proses ini, bukan saja bahasanya sendiri yang berubah, tetapi bahasa kelompok tersebut juga tunduk kepada perubahan itu dan menjadi produk dari sebuah perkembangan, tahapan-tahapan yang ditandai dengan sejumlah kontribusi individual. Seni, sama halnya dengan bahasa, adalah hasil 42



amalgamasi suatu idiom kolektif tradisional dengan inovasi-inovasi konstan yang diciptakan oleh individu-individu. Seni vital, seperti bahasa hidup yang vital, membentuk sebuah jaringan hubungan yang terurai dengan berbagai cara, di mana terdapat banyak partisipan yang terlibat. Jalinan benang itu terulur dari satu partisipan ke partisipan yang lain, sampai akhirnya hampir-hampir tak mungkin bagi kita untuk membedakan bagaimana proses memberi-dan-menerima, yang mana yang properti dan yang mana yang meminjam, yang mana yang inisiatif dan yang mana yang rutin, karena kesemuanya terpisahkan sekaligus juga tersatukan. Akan tetapi, seniman—sebesar apapun keyakinannya akan metode penciptaannya sendiri—hampir-hampir tak mampu untuk menentukan mengenai di mana dan kapan ia memperoleh motif tertentu, memetik dari peristiwa yang tidak ia alami secara langsung, atau menengok sekilas sebuah gambaran atau kata, yang menjadi bibit dari buah yang tak diharapkan itu. Ia hampir-hampir tak mengetahui apa yang ia ambil dari publik, lawan-lawan, atau para pengikutnya, atau juga peran apa yang ia mainkan dalam tugasnya, dengan pemahaman bahwa ia akan menemukan (atau berharap akan menemukannya di sana), kritik yang untuknya telah ia persiapkan



dan



yang



diam-diam



ia



menangkan,



sorakan



yang



kelak



akan



memabukkannya, cita-cita untuk menyenangkan dan mengomunikasikan dirinya, dan juga untuk mewujudkan suatu keluarga imajiner yang beranggotakan orang-orang yang setuju dengannya. Fungsi individu berubah secara berkelanjutan dalam rangkaian sejarah, dan individu menjalani perubahan yang cukup fundamental sehingga kita mungkin akan bisa membedakannya dengan jelas, antara periode individualitik dan antiindividualistik dalam kebudayaan. Namun, dalam kenyataannya, tak ada tahapan dalam perkembangan budaya 43



di mana fenomena individu menjadi tak dikenali. Tak ada pula fase individualisme di mana individu tidak mempunyai lawan. Sama halnya komunitas heterogen yang paling terpadu tersusun atas individu-individu yang berbeda, begitu pun bentuk individualisme yang paling berbeda dan paling primitif, juga menanggung stempel masyarakat di dalam dirinya sendiri. Hal itu tidak terletak pada strukturnya sebagai ekspresi dialektika yang penuh dengan ketegangan, melainkan pada kekuatannya sebagai sebuah kekuatan kreatif, yang mengalami perubahan dalam rangkaian sejarah. Peranannya boleh jadi cukup besar, tetapi mungkin juga tidak seberapa. Sejak era Renaisans, peranannya berkembang secara konstan, dan sejak era romantik, ia telah mendominasi wilayah kehidupan budaya Barat. Individualitas dari subjek-subjek kreatif mungkin memberikan sumbangsih secara esensial dalam pencapaian individual, bahkan ketika pendirian personalnya hampir tidak terlihat, sehingga bahkan periode



yang tidak bersinggungan dengan konsep



individualisme pun tidaklah tak familiar dengan fenomena individualitas. Individual-individual (yang dalam pengertian sosok-sosok tunggal, dan yang kurang lebih bisa dibedakan satu dengan yang lainnya) telah ada sejak sejarah kehidupan muncul, suatu proses sosialisasi, persatuan sosial, dan antithesis, yang muncul sejak adanya para pemimpin dan kaum yang dipimpin, para pengatur dan yang diatur. Awalmula diferensiasi jelas-jelas kembali ke keadaan alam pada era prehistoris, di mana kita bisa menemukannya pada golongan binatang. Fenomena individu sebagai sesosok pemimpin yang masih benar-benar berada dalam satu kesatuan dengan kelompok yang dipimpin dan dipandunya, bukanlah sesuatu yang sifatnya problematis, memecah-belah, atau menguraikan, meskipun di situ terdapat suatu otoritas yang dijalankan. Tetapi individu semacam ini (bahkan sosok yang secara khusus aktif atau mampu) adalah suatu 44



hal; seseorang yang sadar akan bakat dan kemampuannya untuk bertindak, mengakui adanya kebisaan-kebisaan khusus, dan berupaya untuk meningkatkan kualitasnya, merupakan suatu hal yang lain sifatnya. Perubahan dari sekadar fakta individualitas ke individualisme hanya terjadi saat pengetahuan-akan-diri ini hadir. Bahkan sekadar kesadaran “menjadi beda” dari yang lain pun (sejauh hal itu terkait dengan klaim akan prestise dan keistimewaan khusus) dapat menciptakan sebuah ketegangan antara individu dan seluruh komunitas, dan bisa mengarah ke kendornya kesatuan di dalam kelompok tersebut. Di Mesir, pada era New Kingdom (periode sejarah Mesir kuno, dari dinasti ke-18 hingga ke-20, yakni sekitar tahun 1580-1090 Sebelum Masehi), dan yang lebih mencolok, yakni pada masa Kekaisaran Helenistik, situasi ini telah menunjukan tanda-tanda yang mengingatkan kita akan atomisasi budaya pada masa kini. Tetapi, tidak lama sampai era Renaisans, terjadilah krisis kebudayaan sesungguhnya sebagai bagian paling awal dari sebuah persaingan intelektual. Ini terjadi bersamaan dengan era di mana individualisme tampak benar-benar berkembang dan sebuah kesadaran individual refleksif menggantikan apa yang terdahulu, yang kurang-lebih tetap merupakan reaksi mekanis terhadap kesan-kesan yang muncul. Perkembangan insiatif individu dibarengi dengan jatuhnya pandangan otoriter era medieval (pertengahan) akan dunia, kemunduran gagasan akan kebudayaan Kristen universal, terputusnya kesatuan iman dengan pengetahuan, hukum dan moralitas, seni dan kerajinan. Sebagai akibatnya, ketegangan antara individu dan masyarakat berkembang menjadi sebuah antithesis sejati, yang mengancam individu dengan hilangnya tempat yang terjamin dalam masyarakat. Pengamat yang teliti akan melihat bahwa dependensi individu yang terasing dari realitas sosial bahkan lebih jelas (tak diragukan) ketimbang dependensi seseorang yang benar45



benar berada dalam kesesuaian dengan aturan yang telah ditetapkan dan benar-benar terikat/sepakat dengan nilai-nilainya, dan yang sejak semula berpikir menurut/sesuai dengan ketentuan-ketentuannya—yakni, yang singkatnya, tak pernah mencoba untuk pergi dari situ. Spontanitas individual merupakan sebuah pengalaman besar dalam era Renaisans, yakni konsep jenius dan gagasan akan karya seni sebagai ekspresi dari kepribadian seorang jenius sebagai penemuan besarnya. Abad Pertengahan, yang tak mengenal konsep persaingan (dan oleh karenanya, sama sekali tak tersentuh oleh gagasan intelektual atau persaingan ekonomi), tak melihat adanya keuntungan dalam orisinalitas atau kekurangan apapun dalam stereotipikalitas. Namun, anonimitas prestasi juga bukan suatu tujuan yang diperjuangkan olehnya. Akan tetapi, gejala yang paling nyata dari datangnya era Renaisans adalah titik balik dalam sejarah individualisme. Hal itu tak hanya ditandai oleh fakta bahwa individu kreatif menjadi sepenuhnya sadar akan keistimewaan-keistimewaannya, dan menghendaki hak-hak istimewanya, melainkan juga oleh fakta bahwa perhatian publik mengalami perubahan yang sesuai dalam orientasi dan berubah dari karya ke seniman. Ini adalah permulaan dari krisis individualisme— ketegangan yang memuncak, antara seniman dengan publik, juga kecurigaan mutual yang pada akhirnya menimbulkan pergolakan dan reaksioner dari kedua belah pihak. Pemujaan terhadap kecerdasan pikiran yang menandai puncak individualisme pada era Renaisans (yang darinya seniman memperoleh hak untuk memberontak terhadap tradisi, doktrin, dan berbagai peraturan) tak cuma memperkenalkan suatu pertimbangan ulang akan nilainilai, sebagai hasil dari suatu keadaan di mana seniman cenderung ingin ditempatkan di atas karya-karyanya, tetapi juga mempersiapkan sebuah kancah konflik yang sejak 46



semula mengancam untuk menumbangkan keseimbangan genting yang terdapat di antara pretensi-pretensi individu dan tuntutan masyarakat. Pergeseran aksen dari prestasi menuju pada kemampuan untuk berprestasi, dari sukses dan penuntasan ke gagasan dan tujuan artistik—pendeknya, pertimbangan satu-sisi bahwa jenius merupakan suatu prinsip yang berwenang—membawa ke sebuah destruksi harmoni antara karya dan kepribadian yang teruntai sebagai sebuah tujuan sebelum datangnya era Renaisans, tetapi yang kemudian secara tak terelakkan ia renggut dari makna apapun segera setelah ia tak lagi melihat individu sebagai pembawa pesan belaka, tetapi juga penjelmaan dari pesan itu sendiri. Michelangelo adalah orang yang pertama kali mencapai emansipasi-penuh individu dari berbagai aturan, dan ia mengambil langkah final dalam pendakiannya. Seniman itu menjadi idola, penjelmaan suatu ideal yang mempersatukan nilai-nilai tertinggi dalam dirinya. Dia tak lagi perlu mengidentifikasi dirinya sebagaimana keadaan dirinya. Michelangelo tetap—bahkan setelah kenaikannya menuju ke “rengkuhan Kristus”—dikenang sebagai master “suci” sebagaimana ia dulu disebut. Tak ada seniman yang pernah dikelilingi aura sebagaimana aura yang mengelilingi Michelangelo; tak satupun yang bisa mewariskan peralatannya untuk melayani Tuhan selain dari karyakaryanya sendiri, dan sekaligus mempertahankan reputasinya sebagai seorang seniman. Seniman mannerist kehilangan pegangan mereka pada institusi keteraturan sosial dan sebuah pandangan dunia yang terpadu. Proteksi yang dimiliki serikat sekerja sanggup mencukupi para pendahulunya, hubungan tak ambigu dengan patronnya, Gereja, dan aturan-aturan sekuler, kepercayaan penuh terhadap dogma eklesiastik dan tradisi artistik, kesemuanya itu telah berlalu dan lenyap. Prinsip individualisme membuka berbagai kemungkinan yang sebelumnya tak pernah diimpikan bagi mereka, dan membawa 47



mereka ke dalam sebuah vacuum kemerdekaan. Jeda spiritual mengandung makna bahwa mereka tidak dapat mempercayakan diri mereka sepenuhnya pada aturan eksternal, tidak juga pada desakan-desakan internal mereka. Terlempar kesana-kemari antara subordinasi dan anarki yang lemah, mereka berdiri tak bersenjata dalam menghadapi chaos yang mengancam akan menenggelamkan mereka, dan yang darinya bahkan seniman terhebat pun seringkali hanya bisa berhasil melarikan diri melalui suatu tour de force (kemampuan/talenta brilian). Mereka merupakan seniman modern pertama dalam pengertian bahwa individualisme ekstrim mereka berubah menjadi suatu perasaan terbelah/terpisah akan kehidupan, dan berakhir dalam sebuah sikap di mana ikatan sejarah dan pemberontakan terhadap sejarah menggabungkan kekuatannya dengan perjuangan kaum romantic dalam meraih kebebasan, yakni percumbuan dengan keteraturan dan disiplin, eksibisionisme yang tak terhalang, dan sebuah kesederhanaan yang genit, yang tampaknya selalu menjanjikan hal yang penuh tipu-daya/rewel. Hal ini merepresentasikan tahapan akhir dalam sejarah individualisme dan juga tahapan dalam hubungan individu dengan dirinya sendiri—yakni tahapan perkembangan, di mana tak hanya nilai individualisme saja yang menjadi problematika dan di mana individu itu tak tahu apa yang harus ia capai, tetapi juga di mana keduanya terlepas dari maknanya. Itu merupakan kegagalan yang terinspirasi oleh gagasan Renaisans, pencegahan kebebasan gerakan antara masa lampau dan masa kini, tradisi dan penemuan baru, peraturan dan keberubahan, norma klasik dan angan-angan spontan, dan ini menjadi warisan yang menumpuk pada keseluruhan seni modern. Sebagaimana kita tak bisa mendalilkan entitas kolektif sebagai representasi dari proses-proses kultural—apakah itu medium perasaan, kehendak, atau produksi artefak— 48



atau mendalilkan fungsi pikiran atau tindakan tanpa turut menyertakan individu-nya, maka kita tidak dapat mengantisipasi bahwa individu akan berpikir, berkehendak, atau bertindak sepenuhnya melalui motivasi-diri. Sudah jelas bahwa tak cuma mekanisme subjektif-psikologis yang menentukan tindak-tanduk seseorang dan bahwa tidak semua yang ia lakukan atau terjadi (karena ulahnya) terjadi atas keinginannya sendiri, tetapi juga bahwa ia selalu berbicara dan bertindak atas nama orang lain, bahkan saat ia terlihat bersikap berdasarkan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan pribadinya. Satusatunya pertanyaan adalah, seberapa banyak dari tingkah-lakunya yang tampaknya murni psikologis, yang sesungguhnya merupakan suatu hal yang sifatnya sosiologis. Bahwa fungsi-fungsi interpersonal selalu dibawa melalui medium psyche (keadaan kejiwaan) individual, bukan berarti bahwa mereka juga berasal dari sana. Ada sebuah alternatif nyata, yakni untuk menarik struktur-struktur sosial, berbagai hubungan sosial dan kondisi-kondisi dari subjek psikologis individu atau agenagen fiktif dari sebuah kesadaran kolektif, dari sebuah psyche populer atau psychekelompok, atau dari semangat suatu ras, bangsa, atau sebuah periode historis. Terdapat juga penjelasan ketiga yang lebih jelas, bagi keberadaan objektif mereka dan sifatsifatnya yang mengatur: individu-individu (sebagai subjek sosial) tunduk pada suatu konteks makna khusus, yang berasal dari suatu dasar pemikiran, keteraturan internal, dan konsistensi proses sosial. Itu merupakan konjungsi dari bermacam pola ingkah-laku, yang mengondisikan dan menyebabkan satu sama lain, dan yang mengeluarkan hal-hal lainnya, lalu menghubungkannya dengan subjek empiris konkret. Hal-hal itu membentuk kesatuan hubungan, yang tidak terlokalisasi secara psikologis, yang asal-usulnya tidak bisa ditentukan dengan tegas, namun memperoleh kekuatan dari pemikiran-pemikiran 49



dan kehendak individu yang bersangkutan, begitu dia memasuki lingkup sosial. Oleh karenanya, meskipun masyarakat tidak pernah berpikir dalam pola pikir individual, begitu individu mendapati dirinya berada dalam sebuah situasi sosial dan terlibat dalam hubungan-hubungan interpersonal, dia benar-benar berpikir berdasarkan “logika” situasi, yang tidak identik dan kongruen dengan cara berpikirnya sebagai sosok individu secara psikologis, melainkan sosok yang diperintah oleh hukum-hukum koherennya yang mengandung tujuan tertentu. Identifikasi dan diferensiasi fenomena terjadi di dalam wilayah sosiologi dan psikologi berdasarkan kriteria-kriteria yang benar-benar berbeda. Secara umum, variabilitas psikologis dari struktur sosial yang sama lebih besar daripada ketidaktetapan sosial dari tipe psikologis semacam itu. Ini sudah jelas, karena terdapat lebih banyak tipe psikologis ketimbang struktur-struktur sosial. Misalnya saja, saat Balzac berkata bahwa ketamakan berubah, dari sebuah keburukan menjadi kebaikan begitu ia memiliki objek spesifik, perubahan yang ada dalam benaknya merupakan perubahan yang bersifat moral dan psikologis: kategori sosioekonomi dari kerakusan, sebagai sebuah sikap pikiran yang berkaitan dengan akumulasi kepemilikan, akan tetap pada keadaannya semula. Namun, Balzac tidak bermaksud untuk memberikan kedudukan tinggi pada psikologi ketimbang pada sosiologi. Ini dilakukan oleh Freud saat dia menegaskan bahwa individu-individu yang berbeda akan mengambil sikap yang berlainan bahkan di bawah kondisi-kondisi ekonomi yang sama, dengan mengabaikan fakta bahwa dalam kondisi ekonomi yang sama, mereka seringkali (bahkan, jauh lebih sering) bertindak serupa dan memunculkan karakteristik-karakteristik kelompok yang sama, seperti kesadaran kelas, ideologi kelas,



50



norma-norma prilaku yang sesuai dengan kelas mereka, landasan selera yang baik, dan hal-hal semacam itu. Dalam banyak hal, hubungan antara psikologi dan sosiologi terkait dengan hubungan antara hereditas dan lingkungan. Setiap struktur kultural merupakan karya individu yang dikaruniai dengan kebiasaan-kebisaan mental, akan tetapi individu tersebut selalu berada dalam situasi yang dikondisikan oleh ruang dan waktu. Pencapaianpencapaiannya adalah sebesar hasil dari berbagai penempatan dan kecenderungannya, sebesar hasil dari berbagai situasi di mana ia mendapati dirinya sendiri. Sebagai contoh ciri-ciri di luar ciri psikologis dari berbagai proses sosioekonomi, Georg Simmel mengutip fenomena yang diamati oleh Marx: “Penjelasan dari pergantian sistem ekonomi-perbudakan oleh perekonomian feodal, dan perekenomian feodal oleh pekerja-upahan, tidaklah diperoleh dalam kesadaran subjek-subjek, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi logisnya, begitu tepatnya, dari teknik ekonomi… Dan di sinilah, kesadaran sepenuhnya dihapus.” Meskipun demikian, saat ia meneruskan pernyatannya di dalam tulisannya yang lain, bahwa “tidak ada keadaan yang terealisasikan melalui logikanya sendiri, melainkan oleh kekuatan-kekuatan sosial dan mental”, ia hanya sekadar mencoba mempertimbangkan motivasi ganda dari berbagai proses historis dan untuk menunjukkan kesulitan, yang telah ditekankan oleh Engels, bahwa dalam rangkaian dari proses-proses tersebut, motif-motif yang sifatnya ekstrapsikologis dan asing bagi kesadaran tentunya harus “melewati pikiran orang-orang” (Ludwig Feuerbach) untuk bisa teraktivasi. Dependensi mutual antara sosiologi dan psikologi bekerja sedemikian rupa sehingga apa yang hanya bisa dialami secara psikologis, bisa muncul efektif secara sosial dan historis. Impuls-impuls psikologis sejak semula memang 51



bersifat interpersonal. Seperti halnya segala sesuatu yang “menggerakkan manusia harus melewati pikiran terlebih dahulu,” demikian pula halnya, apa-apa yang melewati pikiran juga harus merujuk pada orang lain. Memang benar, bahwa mekanisme-sosial dari akumulasi kapitalistik tidaklah identik dengan keserakahan individu, namun tanpa adanya rangsangan psikologis semacam itu, motif keuntungan tak akan menjadi seefektif itu. Motivasi sosiologis dan psikologis dari hal-hal ini (dan yang semacamnya) biasanya muncul secara simultan, berkembang secara bersamaan, dan meraih sukses yang sama. Tetapi, resiprositas dari berbagai motif itu tidak selalu diekspresikan secara jelas, baik di dalam rangkaian ataupun di dalam penjelasan proses-proses sejarah. Pada suatu waktu, perhatian yang berlebihan terhadap wujud-psikologis fenomena justru akan membebani makna sosiologis suatu keadaan; sedangkan pada kesempatan yang lain, semua manifestasi sosial yang terlalu nyata atau penjelasan sosial yang berlebihan akan bentukbentuk prilaku, akan mengaburkan karakteristik-karakteristik psikologis. Dalam satu kasus, psikologi hanyalah sekadar pemikiran di luar sosiologi, yang sifatnya terselubung, tak terjelaskan dan tidak layak; dalam kasus yang lain, sosiologi tak lebih dari sekadar psikologi yang tersembunyi, yang tak kasat mata, yang menyelinap ke dalam tendensi kolektif di atas impuls-impuls psikologis individu. Penjelasan



psikologis



murni



dari



erotisisme



lirik



cinta



troubadour



(penyair/penyanyi era medieval) merupakan sebuah contoh metode sosiologis yang menyolok, yang belum “dipertimbangkan dengan semestinya”. Tak ada yang mengekspresikan antithesis kehidupan ksatria dengan lebih hidup dan tak ada yang lebih signifikan bagi bentuk transisi dari budaya eklesiastikal (gereja Kristen) dari Zaman Pertengahan menuju ke budaya sekuler Renaisans, dibandingkan dengan sikap ambivalen 52



ksatria terhadap permasalahan cinta, di mana spiritualitas tertinggi dikombinasikan dengan sensualitas yang paling terang-terangan. Ambivalensi ini bisa dipahami hanya jika kita mempertimbangkan latar belakang sosiohistoris dari hubungan-hubungan yang kontradiktif tersebut. Baru sesudahnya, hal itu nyata-nyata menjadi keterusterangan yang aneh, yang ditumpahkan ksatria (abad pertengahan) terhadap persoalan cinta. Hal itu merupakan akibat dari melemahnya prasangka-prasangka sosial dan kendornya batasan antarkelas, dan bahwa nada baru dalam syair cinta mengisyaratkan kebangkitan kelas baru, yang terdidik dan termerdekakan. Contoh luar biasa yang serupa dengan itu, akan tercampurnya kategori-kategori sosiologis dan psikologis dengan upaya untuk menjelaskan fenomena psikologis yang hanya rentan terhadap sebuah penjelasan sosiologis, terdapat pada narsisisme, yakni sebuah konsep dari mana psikologi mengambil konsep alienasi. Akan tetapi, konsep ini bisa diperjelas dan dibuat masuk akal secara ilmiah hanya jika dijelaskan sebagai sebuah krisis dalam hubungan interpersonal dan sebagai suatu ancaman terhadap akar individu dalam masyarakat. Pada tingkatan psikologis, hal itu tetap dirundungi oleh gagasan kabur dan ambigu dari perasaan tidak enak (malaise) pada pribadi seseorang. Keadaan patologis keruh semacam itu (yang dipahami Freud sebagai narsisisme) memang pada kenyataannya berkaitan dengan alienasi. Tetapi, persamaan dari kedua fenomena tersebut hanyalah bahwa alienasi merupakan sebuah penyakit masyarakat dan narsisisme merupakan penyakit kejiwaan seseorang. Sebagai fenomena historis, adalah mungkin bahwa hal-hal itu merupakan ekspresi dari krisis spiritual yang sama, dari perasaan yang sama akan keadaan tertinggal, kepasrahan, dan ketidakberdayaan, tetapi yang menentukan adalah bahwa, saat hal-hal tersebut terjadi bersamaan, adalah keadaan psikologisnya-lah yang dipersiapkan dan



53



disebabkan oleh sosial, dan bukan sebaliknya. Keadaan krisis psikologis memang mengisyaratkan berbagai kesulitan sosiohistoris—alienasi bisa ada tanpa narsisisme— tetapi tak akan ada narsisisme (setidaknya, bukan narsisisme patologis) tanpa adanya alienasi. Sebelumnya, orang-orang hanya memprotes institusi-institusi atau sejumlahtindakan pemerintah tertentu, atau penyalahgunaan keistimewaan-keistimewaan tertentu oleh suatu kelas sosial atau yang lainnya. Kini, mereka mendapati bahwa masyarakat hanya bisa berfungsi jika masyarakat tersebut menyalahgunakan kekuasaan dan menghilangkan mayoritas hak-haknya. Sebagian dari penemuan ini muncul dari pengetahuan bahwa harapan-harapan yang dijumpai oleh Era Pencerahan dan Revolusi Perancis pada kaum intelektual dan juru bicaranya, diupayakan supaya tidak disadari. Para penyair dan filsuf, yang telah kehilangan prestise dan pengaruh politisnya pada era pascarevolusi, berkeyakinan bahwa mereka berlebih-lebihan, dan perasaan kesia-siaan ini mendorong pada segala bentuk pelarian yang mereka coba. Masa lampau dan utopia, masa kanak-kanak dan alam, rasa sakit dan ilusi, rahasia dan keajaiban, ketidaksadaran dan irasionalitas sekadar menjadi tempat perlindungan atau persembunyian di mana mereka bisa meraih ketiadaan tanggung-jawab dan mengakui kekalahannya. Namun, apapun yang membuat mereka menjadi antusias atau memasrahkan diri kepadanya, mereka tetap merupakan para pemberontak, terlepas dari kedekatan mereka dengan berbagai gagasan tata-tertib medieval dan institusi-institusi tetap, dan mereka menjadi perintis sebuah revolusi baru yang sejak saat itu telah menjadi sesuatu yang permanen. Penjelasan psikologis akan pandangan romantik terhadap seni dan dunia (sebagai ragam berpikir dan merasa yang baru) jelas-jelas tidak mencukupi. Kekecewaan kaum romantik 54



adalah refleksi dari kurangnya keberhasilan sosial mereka. Kaum intelektual pada periode praromantik bisa mengizinkan diri mereka untuk diperintah oleh orang lain karena mereka meyakini bahwa hidup bisa diatur dan bahwa keberadaan pemerintah memang ada manfaatnya. Kaum romantik berjuang melawan segala ikatan karena mereka telah kehilangan kepercayaan pada norma-norma dan nilai-nilai konvensional, dan sejak semula telah menyangkal/menolak hak masyarakat dalam mengekang individu. Orang yang merasa relatif terjamin dan berharap untuk bisa berhasil adalah mereka yang lebih cenderung menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan sosial dan lebih siap meninggalkan/menolak desakan-desakan yang menyimpang, ketimbang mereka yang merasa tak puas dan mencurigai setiap tuntutan yang bersifat tak adil dan hal-hal yang melanggar hak-hak mereka. Menjadi jelas bahwa psikologi yang mendasari kebutuhan akan emansipasi ini sifatnya tergantung pada keadaan-keadaan sosial. Seluruh sikap romantik (yang teralienasi dari realitas sekaligus memusuhinya) semata bersesuaian dengan posisi, peranan, prospek-prospek, dan kesempatan akan kesuksesan, yang ditawarkan oleh masyarakat kepada kaum terpelajar yang dikecewakan oleh kegagalan revolusi. Karena inilah, masyarakat berontak terhadap tatanan dan moral, bukan lantaran mereka tiba-tiba menyadari betapa tinggi dan agungnya Pegunungan Alpen, atau bahwa parit-parit di sepanjang lembah mengalir dengan riang dan begitu damai, atau karena mereka lebih senang menyebut “prajurit” ketimbang “serdadu”. Semua itu terjadi melainkan karena mereka berpikir dan merasakan segalanya secara begitu berbeda dari apa yang ada sebelumnya, dan karena tak ada apapun yang mereka miliki selain dari antipati akan pandangan dan konvensi masyarakat di mana mereka terlibat.



55



Institusi, prinsip-prinsip moral, dan norma-norma hukum bukanlah hasil dari rintangan—suatu hal yang dipertahankan oleh para psikoanalis—tetapi, justru sebaliknya, hambatan/rintangan merupakan hasil dari kesadaran akan nilai-nilai moral dan institusi sosial yang sesuai dengan upaya pemeliharaan kesadaran akan seperangkat nilai. Aturan yang mengekspresikan kepentingan-kepentingan sosial tertentu muncul lebih dulu, baru kemudian muncullah larangan yang disamarkan sebagai rintangan, yang melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Di mana tak ada institusi dan peraturan, maka tak ada pula larangan atau rintangan. Hanya apa-apa yang mengancam pengabadian sebuah peraturan yang telah ditetapkan-lah, yang dilarang. Hukum—moral maupun yuridis— bersandar pada otoritas, bukan pada perasaan abstrak akan keadilan. Dependensi merupakan perintis jalan bagi segala bentuk pelengkap dan kepatuhan, beserta segala bentuk pemberontakan dan agresi. Tindakan-tindakan psikologis dalam sejumlah keadaan mungkin tampak lebih mekanistis ketimbang stimuli sosial, dan konstitusi psikologis mungkin melawan perubahan tertentu, alih-alih memajukan/melanjutkannya. Ferdinand de Saussure, bapak strukturalisme bahasa, menyebut bentuk konvensional bahasa sebagai sesuatu yang “arbitrer” (arbitraire) dalam antitesisnya terhadap spontanitas pembicara, yang, jika ditinjau dari sudut pandang yang lain, akan jauh lebih terlihat sebagai sesuatu yang disengaja. Tidak semua yang muncul dalam wujud proses-proses psikologis berasal dari suatu mekanisme psikologis. Identifikasi psikologi dengan pengetahuan pikiran tidak lebih naïf ketimbang asumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi ini merupakan objek studi geografis belaka.



56



Kaitan yang nyata antara motivasi sosiologis dan psikologis sesungguhnya didasarkan pada resiprositas total, dan hakikatnya terdiri dari fakta, bahwa suatu modifikasi sosial dari invariabilitas psikologis pada satu sisi berhubungan dengan suatu diferensiasi psikologis dari konstanta-konstanta sosial pada sisi yang lain. Hubungan semacam ini meniadakan kemungkinan kelanjutan atau penghapusan suatu order oleh order lainnya. Karena inilah, Talcott Parson, yang (memang) mengakui kekhususan dan otonomi relatif mereka, mengalami kekeliruan dalam memandang hubungan mereka satu dengan yang lain, saat ia memandang penggabungan dan integrasi mereka sebagai sebuah pertanyaan akan metodologi dan organisasi karya ilmiah. Masyarakat merupakan sebuah konteks yang menyatakan eksistensi dari keberadaan psikologis individu, yang mengisyaratkan suatu entitas sosial—di mana, hampir tak mungkin untuk menarik masyarakat dari entitas tersebut. Kita bisa menentukan di dalam seni, sebagaimana halnya di dalam logika dan etika, urutan ketiga dari struktur-struktur makna yang saling terkait, yang didasarkan pada kekhususan dari bentuk respektif objektivitasnya. Begitu proses kreasi selesai dan struktur formalnya tercipta, dan karya tersebut dialami dan dipikirkan sebagai sebuah struktur formal, maka karya seni segera memerdekakan dirinya dari kepribadian si pencipta dan dari tanah sosial, yang dari situ ia melepaskan diri melalui kebajikan makna estetisnya yang imanen. Karakter estetik dan kualitas artistik tidak memiliki kaitan langsung dengan fakta bahwa sebuah karya mungkin telah melayani penciptanya sebagai sebuah solusi akan suatu permasalahan personal, atau bahwa karya itu cocok untuk berfungsi sebagai senjata politik bagi sebuah masyarakat. Sarana ekspresi dan komunikasi yang paling berbeda secara formal bisa melayani pencipta dan audiens 57



dengan cara yang sama. Bahkan elemen-elemen yang terdapat pada sebuah karya seni tersebut (di mana penulis mengekspesikan emosi terdalamnya atau menyeleseikan masalah tersulit dan yang tampak paling penting baginya karena peran yang mereka mainkan dalam perkembangan moral dan intelektualnya, atau elemen-elemen yang merupakan manfaat terbesarnya bagi masyarakat), sama sekali tak selalu sama dengan elemen-elemen yang paling berharga dan signifikan secara artistik. Nilai estetis tidak memiliki ekuivalensi psikologis ataupun sosiologis. Kepentingan sosial dan tujuan politik yang sama bisa diekspresikan baik di dalam karya yang paling berhasil, maupun karya yang paling tidak berhasil. Dengan cara yang serupa, keadaan mental, pengalaman, sentimental, dan kecenderungan yang sama, bahkan juga gagasan dan upaya artistik yang sama mendasari produk dari kualitas yang paling berlainan. Hasrat-hasrat seksual, agresivitas, atau kecenderungan submisif, juga oportunisme sosial, atau gangguan terhadap order yang ada bisa menginspirasi seniman untuk berkarya dan memberi tenaga pada mekanisme yang menggerakkannya, tetapi hal-hal itu tidak menyediakan sarana penciptaan karya baginya. Sarana-sarana ini tidak bersifat psikologis ataupun sosiologis. Namun, bukan cuma elemen-elemen formal, tetapi juga motif-motif emosional, yang berhutang pada konteks karya di mana mereka muncul—jadi, bukan rentetan pengalaman yang mereka ambil—atas signifikansi artistik mereka. Mereka memiliki keberadaan mereka, dalam bahasa T. S. Elliot, “di dalam puisi, dan bukan pada sejarah penyair”. Seluruh komponen dari sebuah kreasi artistik bisa tampak kosong dan sepele jika mereka tercerabut dari konteks karya dan berusaha sangat keras dalam proses perkembangannya, kepada “sejarah penyair”. Mereka berhutang hidup mereka bukan pada konsepsi, melainkan pada kelahiran dari rahim sang ibu yang telah mengandungnya. 58



Makin kita dekat dengan asal-usul karya, boleh jadi akan semakin jauh kita dari makna artistiknya. Jika terdapat interdependensi antara karya dengan biografi sang seniman, hal itu merupakan interdependensi yang sifatnya mutual dan dialektis. Biografi seorang penulis ditentukan oleh sifat-sifat karyanya, sebesar karya itu ditentukan oleh sifat-sifat kepribadiannya. Seniman meringkas keseluruhan hidupnya dalam karyanya dan memprediksi skema karyanya di dalam apa yang dialaminya. Dia mengantisipasi material dan signifikansi karya dalam biografinya, tetapi kandungan hidupnya hanya terdiri dari apa yang bisa ia ciptakan sebagai seorang seniman. Ia membuang apapun yang didapatinya sebagai hal-hal yang biasa-biasa saja. Sosiologi dan psikologi sama-sama asingnya bagi karya seni sebagai sebuah struktur estetis. Karya seni sebagai sebuah struktur formal merupakan sebuah sistem yang mandiri, lengkap dalam dirinya dan tak memerlukan motivasi eksternal. Sebagai sebuah dokumen psikologis, karya seni tidaklah sangat memerlukan sebuah penilaian estetisformal, tidak juga penilaian praktis-sosiologis. Dan sebagai sebuah fenomena sosial, karya seni tidak menjadi lebih bermakna atau signifikan karena nilai formalnya, atau karena motivasi psikologisnya. Estetisisme memang mendewa-dewakan sarana, medium, dan kendaraan fungsi, sama halnya dengan psikologi yang mendewa-dewakan asal-usul dan sosiologi atas tujuan terakhir. Untuk dua yang terakhir itu, hal itu hakikatnya adalah kandungan dan ekspresi, sementara untuk yang pertama adalah bentuk dan dekorasi. Ketika mereka saling melengkapi satu sama lain, mereka mengingat bahwa seni tentunya harus terdiri dari kandungan dan ekspresi, namun bahwa seni tak akan bisa terdiri dari hal-hal itu saja, dan bahwa seni tak pernah sepenuhnya ditentukan dari dalam, tidak juga hanya ditentukan secara eksternal. 59



Kita bisa membahas sosiologi sebagai sebuah disiplin independen hanya jika kita melekatkan sebuah eksistensi objektif pada lapisan dasar dari berbagai hubungan interpersonal, konteks, dan fungsi. Objektivitas semacam itu haruslah bebas dari subjek empiris individu dan motif-motif psikologisnya. Fakta khas bahwa kumpulan-kumpulan kolektif memulai suatu wujud eksistensi spesial yang berbeda dari wujud entitas individu yang berisikan kumpulan-kumpulan tersebut, diekspresikan di dalam kata benda kolektif paling sederhana, semacam alliance (aliansi/persektuan/perserikatan), army (bala tentara), atau herd (sekawanan gembala). Kata-kata benda tersebut sekadar mewakili kumpulan person individual atau hewan, dan seperti itulah kurangnya kegamblangan dari fenomena individu yang konkret. Berbagai konteks, order, dan struktur sosiologis merupakan sintesis integrasi, juga totalitas-totalitas yang terdiri atas berbagai elemen yang pada dasarnya tidak bersifat sosiologis, tetapi hanya memulai karakter itu saat mereka dihubungkan satu sama lain. Namun, pada kenyataannya, suatu kolektif sosial bukanlah sekadar penjumlahan dari komponen-komponen penyusunnya, tetapi juga berbeda dengannya secara kualitas. Kolektif sosial tak hanya mengontraskan sebuah elemen baru tetapi juga menambahkan indeks pada komponen-komponennya dengan bantuan setiap elemen yang telah termodifikasi dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Misalnya saja, begitu kita memiliki warna hijau, maka menghilanglah warna biru dan kuning. Elemen-elemen itu (warna biru dan kuning) memungkinkan keseluruhan keberadaan (warna hijau) tetapi tidak mengandungnya. Sama halnya sifat dasar komponen-komponen hilang saat mereka bercampur, begitu juga kualitas keseluruhannya berhenti mengada begitu ia terlarut ke dalam bagian-bagian komponennya. Akan tetapi, bahkan pada kasus-kasus semacam itu, 60



di mana unsur-unsur elemen tidak sepenuhnya lenyap—misalnya, unsur-unsur tembaga dan timah pada perunggu—unsur-unsur baru pun bisa muncul, yang disebut dengan kekerasan, yang benar-benar baru, tidak diperkirakan, dan tidak bisa (secara teori) dihasilkan begitu saja. Unit-unit sosiologi merupakan bagian dari integrasi semacam ini. Individu-individu beserta segenap sifat dasar khususnya, juga berbagai kepentingan dan tujuannya, tidak terhapus begitu saja di dalam struktur sosial, tetapi memulai suatu keseluruhan perangkat karakteristik baru yang tidak mereka miliki secara perseorangan. Maka dari itu, individu-individu hanya merupakan representasi agen-agen sosial, dan bukan kreator atau sumbernya. Tak ada satu orang pun yang sepenuhnya bisa mewakili makna suatu struktur sosial atau totalitas, dari suatu sarana produksi, dari status kelas dan ideologinya, dari rasionalitas fenomena semacam keserakahan kaum kapitalis atau persaingan, dari tradisionalisme aristokrat atau konformisme borjuis. Meski demikian, wujud-wujud sosial ini selalu dihadirkan oleh subjek-subjek individu dan menemukan ekspresinya dalam proses-proses psikologis empiris. Marx menyadari dengan cukup dini bahwa eksistensi sosial memiliki realitasnya sendiri dan bahwa “momen-momen individualnya… berasal dari kehendak sadar dan tujuan-tujuan khusus dari individu-individu,” namun mereka “tidak terletak pada kesadarannya ataupun juga tergolong di dalamnya sebagai suatu keseluruhan”. “Perselisihan (dari momen-momen individu) menghasilkan sebuah kekuatan sosial yang asing yang berdiri di atasnya: interaksi mutualnya adalah sebuah kekuatan dan proses yang bersifat independen darinya.” Apa yang ditemukan Marx di sini, adalah fenomena yang aneh, bahwa saat suatu individu masuk ke dalam situasi saling-mempengaruhi dari berbagai kekuatan sosial, tingkah-lakunya membawa motivasi sebagai efek yang dengan 61



jelas berasal darinya tetapi yang tidak memperoleh makna atau arahnya dari berbagai niat, kepentingan, dan tujuannya. Korelasi yang muncul dalam cara ini mendasari sebuah realitas yang berbeda dari realitas individu, namun tak mengandung substansialitas supernatural. Saat Emile Durkheim (yang jelas-jelas terinspirasi oleh Marx) menekankan hadirnya sebuah “realitas sosial sui generis,” dia terutama hendak menjelaskan bahwa “sosial” di sini merupakan prinsip final tak-tereduksi yang hanya bisa diambil dari hubungan-hubungan interpersonal. Suatu cara di mana Durkheim menggambarkan tesisnya adalah melalui pernyataannya mengenai fenomena bunuh diri, peningkatan yang sepenuhnya didasarkan (sebagaimana yang ia tunjukkan) pada realitas sosial. Bunuh diri tidaklah bisa dimotivasi oleh konstitusi psikologis ataupun fisiologis dari pihak yang terlibat, tidak juga oleh rasa tau kebangsaan mereka, atau oleh pekerjaan atau tingkat pendidikan mereka, melainkan merupakan akibat dari ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi dengan order sosial dalam sejumlah situasi-situasi tak umum. Mereka melakukan itu di bawah tekanan motif-motif yang berbeda (dan bahkan yang bersifat antithesis), yang muncul bersamaan satu sama lain sampai pada taraf di mana motif-motif itu mendorong individu keluar dari jalur normalnya. Durkheim



melanjutkan,



bahwa



perubahan



nasib



yang



mendadak



bisa



memunculkan dorongan bunuh diri, dan dia menyatakan sebuah tipe sosial dari individu pribadi yang menjadi tuan dari takdirnya sendiri. Berkat realitas sosial yang sama, Paul Lacombe menyatakan sebuah “institusi” dari suatu kejadian tunggal (événement), sebuah struktur permanen dari suatu penemuan yang tak terduga, suatu aturan estetis dari sebuah ide spontan. Irama seperti heksameter, genre seperti sonata, skema komposisi seperti 62



“kesatuan dramatis” merupakan institusi-institusi—dari jenis yang mengubah suatu kasus individu menjadi sebuah genre sosiologis—yakni sebuah norma dengan hukumhukumnya sendiri, yang bisa dilanjutkan dan dikembangkan. Dasar pemikiran khusus dari proses sosial (yang dianggap Marx sebagai kekuatan yang melekat dalam realitas sosial) muncul pada setiap bentuk interpersonal, konvensional, dan konstitusional. Tak ada yang menyatakan ini dengan lebih jelas selain dari hukum pasar, yang bagi semuanya (baik sebagai produsen maupun konsumen) merupakan subjek pada setiap kesempatan. Setiap pembeli-baru menaikkan harga dan menjadi korban dari sebuah dasar pemikiran yang melawan tujuan aktualnya sendiri. Orang-orang melibatkan dirinya sendiri setiap hari, bahkan setiap jam, dalam berbagai situasi di mana mereka tidak bisa bertindak menurut kecenderungan-kecenderungan mereka sebagai subjek-subjek sosial. Alih-alih, mereka diatur oleh motif-motif antusiasme, rasa takut, atau kekuatan yang sesuai dengan kondisi pikiran dari kelompok di mana mereka mendapati diri mereka sendiri. Realitas sosial (yang sedang kita bahas di sini) bukanlah esensi melainkan keadaan, bukan suatu hal melainkan sebuah hubungan, bukan sesuatu yang telah diatur dan ditetapkan melainkan sebuah proses: realitas itu mengada dan mengaktifkan dirinya sendiri saat individu berkontak dengan individu-individu lain dan menciptakan hubungan independen. Masyarakat tidaklah mengada, melainkan menjadi; ia tak akan pernah menjadi lengkap, melainkan tetap menjadi sebuah sistem hubungan yang selalu berada pada proses “direalisasikan”. Hal ini berkaitan dengan sebuah konsep fungsi, alih-alih berkaitan dengan konsep substansi.



63



Sebagai makhluk sosial, orang tak perlu bertindak untuk memajukan tujuantujuan akhir personalnya sendiri. Pada umumnya, mereka bertindak dan berpikir berdasarkan prinsip-prinsip itu, yakni prinsip yang menjamin eksistensi dan kesejahteraan berkelanjutan kelas mereka, tetapi yang sering samar bagi mereka dan hanya terkait secara mediasi dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Mereka tak selalu sadar akan kelas dalam pemikirannya, bahkan saat mereka bertindak sesuai dengan kepentingan-kepentingan kelasnya. Kesadaran kelas merupakan contoh paling mencolok dari sebuah dasar pemikiran sosial yang bersifat bijak tetapi bebas dari pilihan. Kesadaran ini merefleksikan sebuah konsistensi pemikiran dan kehendak yang tidak memancar dari suatu organisasi kelompok yang bersifat disengaja atau direncakanan, politik atau taktik yang berlaku. Hal itu hanyalah sekadar persetujuan spontan, yakni sikap-sikap individual di mana perasaan solidaritas mutual yang sama dan jarak dari kelas yang lain seolah terbangun dalam seluruh representasi mereka, yang kesemuanya tidak memiliki tujuan apa-apa selain dari keberhasilan kelas mereka sendiri. Berbagai realitas dan dasar pemikiran sosial semacam kesadaran kelas tak hanya membentuk resistansi terhadap kehendak terendah individu tertentu, namun juga merepresentasikan konstituen-konstituen esensial dari sikap-sikap dan tindakan yang sudah ada. Meskipun demikian, saat kita mendefinisikan kesadaran kelas, kita harus menekankan kolektivitas alih-alih kekuatan sadar, karena (dalam pemahaman yang tepat), hanya individu konkret tunggal-lah yang dikontrol dan dipengaruhi oleh sebuah kesadaran.



64



Sebagaimana yang diucapkan oleh Geog Lukács, kesadaran kelas merupakan “sebuah ketidaksadaran yang ditentukan oleh kelas,” lebih tepatnya, sebuah “kemungkinan untuk menjadi sadar”, alih-alih “menjadi sadar”. Dengan kata lain, hal itu merupakan sebuah potensialitas alih-alih suatu aktualitas, dan hanya ada lantaran individu-individu berprilaku berdasarkan ajaran-ajaran kelas mereka. Namun, yang menentukan adalah, individu-individu (yang meskipun digerakkan oleh impuls-impuls yang menggerakkan mereka sebagai anggota sebuah kelas) tak harus menyadari hal itu. “Itu bukanlah sebuah pertanyaan,” ucap Marx dalam Holy Family, “mengenai apakah anggota yang ini atau yang itu dari kaum proletariat, atau (sejauh yang terkait dengannya) seluruh proletariat, melihatnya sebagai tujuan/cita-cita mereka. Itu adalah pertanyaan akan apakah itu sebenarnya dan apa yang secara historis terpaksa ia lakukan menurut entitas ini.” Orang bersikap baik atau buruk terhadap satu sama lain berdasarkan kondisi sosioekonomi mereka. “Mereka tidak mengetahui hal ini, tetapi mereka melakukannya.” Jika dari sudut pandang seorang aktivis politik bahwa hal terpenting adalah untuk membuktikan apakah kesadaran kelas bersifat sadar secara empiris dan psikologis atau tidak, maka dari sudut pandang fenomenologi sosial, hal itu tidaklah memunculkan perbedaan esensial. Alternatif psikologis, baik sadar maupun tidak, berada dalam taraf yang berbeda dengan perbedaan antara motif-motif sosial yang dikejar oleh individuindividu tersebut secara sadar, atau apa-apa yang menjadikannya sebagai instrumen kesejahteraan kelas dengan meniadakan kesadaran mereka. Secara psikologis, ketidaksadaran hanya akan menjadi masuk akal saat dikaitkan dengan individu, dan “ketidaksadaran kolektif” versi Jung bersifat lebih tak riil dibandingkan dengan kesadaran kolektif, baik dalam pengertian romantik atau psikologis. 65



Tetapi, jika dalam pikiran, represi-represi yang berakar dari ketidaksadaran berhenti menjadi efektif pada saat asal-usulnya ditemukan, maka rintangan-rintangan yang berasal dari kesadaran kelas pada hakikatnya akan tetap ada bahkan setelah mereka terungkap sebagaimana adanya. Sebagai konsekuensinya, perjuangan kelas (terlepas dari sifat dasar kesadaran kelas yang bersifat kabur, secara impersonal maupun parsial) secara tidak terbandingkan, hanya memiliki sedikit kaitan dengan psikologi mendalam ketimbang keterkaitan operasi defensif dengan penyingkapan dorongan-dorongan yang direpresesi, dirasionalisasikan, dan disublimasi, yang dikenal dalam wilayah psikoanalisis. Rangkaian operasi ini sama-sama samar dan kaburnya dengan asal-usul represi, rasionalisasi, dan sublimasi itu sendiri. Ideologi sebagai saripati dari sebuah pandangan dunia, dari sebuah perasaan akan kehidupan dan nilai dan norma-norma dari suatu kelas sosial, merupakan sebuah konsep yang berkaitan dengan kesadaran kelas. Ideologi dan kesadaran kelas membedakan diri satu dengan yang lain di atas semuanya, yakni bahwa pengaruh ideologi pada pikiran dan kehendak efektif dari subjek-subjek individual, bersifat lebih jelas dan konkret ketimbang pengaruh kesadaran kelas. Kesadaran kelas mengandung prinsip-prinsip yang kurang terdefinisi dengan lebih tajam. Perbedaan yang lebih jauh adalah bahwa ideologi hanyalah sekadar sarana bagi perjuangan kelas dan kesadaran kelas. Konsekuensinya, ideologi bersifat lebih dekat dengan konsep psikoanalisis dari rasionalisasi dan kesadaran kelas, ketimbang dengan konsep ketidaksadaran yang harus dirasionalisasi. Analogi antara pembentukan rasionalisasi ideologis dan psikologis telah ditunjukkan berulang kali. Ideologi sebagai “kesadaran palsu” (yang dengannya anggotaanggota dari sebuah kelas sosial akan bertahan, menyembunyikan, atau menutupi 66



kesalahan dari motif-motif tindakan mereka yang sesungguhnya) adalah bagaikan “rasionalisasi” yang dengannya (berdasarkan psikoanalisis) orang berusaha menutupi atau membenarkan berbagai pikiran dan tendensi ofensifnya. Perbedaannya adalah, bahwa



ideologi



tidak



jatuh



setelah



tugas



disempurnakan,



sebagaimana



kita



memperkirakan rasionalisasi akan jatuh setelah diadakan penyembuhan psikoanalitis. Ideologi hanya sering berubah menjadi sebuah bentuk propaganda yang sifatnya eksplisit maupun ambigu. Seniman, yang memainkan peranan yang begitu penting dalam formulasi, justifikasi, atau ekspos berbagai ideologi, tentunya cukup diprasangkai dan tidak dihalangi untuk membenarkan parodi ideologis terhadap kebenaran jika terdapat segala keraguan, atau dia harus memiliki keberanian untuk menyatakan perang terhadap fiksi dan kebohongan yang terkait dengannya. Jika tidak, ia harus berdusta secara tak sadar, mengkontradiksi dirinya sendiri, menutupi gambaran realitas yang ia lukis dan dengan demikian mengorbankan kredibilitasnya. “Manusia menciptakan sejarahnya sendiri,” tegas Marx dalam Deutsche Ideologie karyanya, “namun mereka tidak tahu jika mereka tengah menciptakannya.” Proses ini merupakan sejarah yang terarah atau terkondisikan secara ideologis. Mereka-mereka yang menciptakan jalannya sejarah ini tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan, karena bukan tujuan dan kepentingan sadar, atau prinsip dan nilai-nilai yang mereka sahkan-lah, yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi, melainkan motif-motif yang seringkali ditutupi atau yang seharusnya dikurangi. Secara umum, kekuatan nyata dari sejarah terdapat di dalam wujud yang tertutupi ini sehingga orang-orang tak mengetahui seberapa jauh sumber atau instrumennya. 67



Pengabaian individu dan spontanitasnya (baik yang didorong oleh idealisme atau materialisme) memunculkan sebuah konsepsi sifat proses kultural yang sama kelirunya dengan kesalahpahamannya yang besifat berkebalikan. Sudah jelas bahwa masyarakat tidak menciptakan ideologi dengan seenaknya dan tanpa sejumlah dalil tertentu, dan tepatnya pada penciptaan ideologi-lah, terlihat jelas bahwa mereka berpikir dalam suatu konteks bentuk dan fungsi yang asing bagi mereka sebagai individu-individu. Masyarakat tidak menciptakan ideologi berdasarkan kesukaan atau apa-apa yang akan memuaskan mereka: mereka tunduk dalam proses menuju pada suatu objektivitas, meskipun tidak harus yang merupakan objektivitas dari sebuah kebenaran imparsial. Kesadaran kelas borjuis terikat erat dengan sebuah epos khusus, sama eratnya dengan naturalisme, dan seperti halnya naturalisme, meskipun pada dasarnya ia bersifat kolektif, ia direpresentasikan dalam berbagai cara berbeda oleh berbagai individu dari periode yang bersangkutan. Satu fenomena tak lagi merupakan sebuah kreasi dari individu-individu tunggal dibandingkan dengan fenomena lainnya. Suatu aliran artistik, sebagaimana yang diucapkan oleh Ernst Gall (yang khususnya merujuk pada seni era Gothik), tidaklah “ditemukan”; dengan kata lain, aliran artistik tidak dihasilkan secara spontan sebagai sebuah pencapaian pribadi atau berdasarkan rencana khusus dari seorang seniman tertentu. Akan tetapi, entah bagaimana, pada suatu saat aliran itu pastinya telah muncul dari sebuah ide kreatif pribadi individu, bahkan jika ide ini tidak bisa dirunut pada arus pemikiran tertentu, yakni sebuah visi yang hanya bisa muncul dengan satu individu tunggal. Dari semua sudut pandang lainnya, suatu kategori sosiologis seperti kesadaran kelas, ideologi, atau tata-cara produksi ekonomi, berbeda secara esensial dengan konsep 68



aliran semacam Renaisans atau naturalisme. Suatu gaya/aliran berkembang secara konstan; ia tak akan pernah sempurna, dan tak akan pernah bisa direalisasikan sebagai suatu totalitas-tentu. Pada sisi lain, kesadaran kelas mungkin saja lebih atau kurang diekspresikan dengan berbeda dan mendalam oleh individu-individu tunggal. Gagasan bahwa suatu gaya/aliran artistik terkandung dalam kekuasaan yang setara dalam output dari seluruh era (dalam karya berskala luas maupun kecil, pada karya monumental maupun ornamen terkecilnya), tentunya akan menjadi suatu gagasan yang tak realistis dan tak dapat dipertahankan. Seperti halnya seorang seniman tidak selalu mengekspresikan dirinya dengan intensitas dan konsentrasi yang sama, begitu juga karakteristik-karakteristik dari suatu gaya tidaklah muncul dalam setiap aneka-ragam manifestasinya, dengan kejernihan dan daya meyakinkan yang sepadan. Setiap gaya merupakan konsep perbatasan yang tak pernah hadir secara keseluruhan dalam karya tunggal ataupun dalam kasus individu lainnya. Konsep itu memiliki sejumlah karakteristik yang sama dengan apa yang dipahami Max Weber sebagai “tipe ideal”, terutama karakteristik-karakteristik yang membedakannya dari suatu ide metafisik, suatu nilai permanen, atau sebuah norma sahih tanpa syarat. Tipe-tipe ideal dari kapitalisme, kerajinan, atau dari kota pertengahan, bagi Weber bukanlah “esensi” fenomena individual yang membentuk kategori-kategori ini, melainkan hanya sebagai bentuk utopia berlebihan mereka, yaitu suatu abstraksi yang (tanpa harus menjadi lebih baik atau sempurna) tak pernah terjadi dalam kenyataan. “Idealitas” mereka tidak terdapat pada sifat-sifat dasarnya yang “patut dicontoh”, tapi semata-mata pada fakta bahwa (setelah dibersihkan dari karakteristik-karakteristik asing atau tak esensial, dan bebas dari



69



aksesori-aksesori yang menjelekkannya), mereka menunjukkan karakteristik properti tipe mereka, dalam suatu (sebagaimana dulunya) “budaya murni”. Bahkan sebuah gaya semacam suatu tipe ideal, merupakan semacam “utopia” lantaran ia dihadirkan secara penuh dan final oleh sebuah karya tunggal. Sama sekali tak ada realitas, melainkan hanya fungsi heuristik saja, yang bisa dianggap berasal dari sebuah tipe ideal, karena hal itu pada kenyataannya tak lebih dari sekadar “bantuan konstruksional metodologis” dan berfungsi untuk membandingkan, menggolongkan, dan mengklasifikasikan hal-hal konkret. Gaya pada suatu periode (bagi seniman dan audiens) merupakan sesuatu yang seluruhnya objektif dan diterima pada kerangka/terminologinya sendiri, suatu gerakan yang yang bisa diuraikan terperinci dan independen, dan yang memiliki seperangkat aturannya sendiri. Subjek bisa terbawa oleh gerakan itu, bisa menerima ataupun melawannya, tetapi dalam berbagai kasus, hal itu lebih dari sekadar konsep kolektif, suatu konstruk pemikiran, atau suatu gagasan tanpa substansi. “Sang” kota medieval tak pernah ada dalam hal ini: yang ada hanyalah “kota-kota” medieval, yang padanya-lah, tipe ideal dari kota medieval berada dalam hubungan yang sama sebagai konsep—yang tidak terkait sama sekali dengan realita—“gaya”, melainkan berada dalam gaya individu yang berbeda-beda. Misalnya saja, pada era Renaisans atau naturalisme, yang bukanlah sekadar abstraksi, bahkan jika mereka tak pernah bisa dirasakan. Sama halnya pada kenyataannya, tak ada sesuatu sebagai “seni”, maka tak ada pula “style”—yang ada hanyalah “styles” (berbagai macam gaya). Begitu juga halnya, hanya ada berbagai bahasa, atau lebih tegasnya, berbagai dialek, dan bukan “bahasa” itu sendiri. Pada kedua kasus tersebut, kita berhadapan dengan modifikasi-modifikasi konkret dari suatu bentuk dasar yang tidak eksis. Seni pun berbicara dalam dialek-dialek. 70



“Style” merupakan sebuah abstraksi, sama halnya bahasa Esperanto sebagai suatu artefak tak bernyawa. Bahasa-bahasa modern yang berbeda-beda—Jerman, Perancis, Inggris— dengan aturan-aturannya yang terkondisi secara historis dan geografis. Formasi kata yang stereotipikal, dan perubahan idiomatik frase-frasenya, berkaitan dengan gaya. Konsep dari style “itu” sendiri sebagai kategori seni teoritis universal, gaya seni historis tertentu, dan karya individual seni, merepresentasikan tiga tahapan mengada yang muncul dari konsep genre tak riil sempurna menuju ke sebuah realitas hit et nunc dari hal-hal konkret yang sifatnya unik dan empiris. Gaya artistik individu (seperti Renaisans dan naturalisme) berada di tengah-tengah skala ini. Sifatnya tidaklah langsung ataupun nyata seperti sebuah lukisan atau patung, melainkan menjadi (berbeda dengan suatu tipe ideal) dasar suatu sikap, di mana selera dan emosi ditekankan. Tipe-tipe ideal bisa dikonstruksikan pada berbagai fenomena yang paling beragam, juga pada objek pengalaman sensual dan pemikiran abstrak, individu maupun kolektif, juga pada fakta-fakta historis maupun abadi. Representasi suatu gerakan stilistik pada berbagai kasus bersikap seolah-olah mereka digerakkan oleh suatu impuls tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Benar jika doktin Hegel mengenai “kecerdikan alasan” memistifikasikan kesengajaan perkembangan super-individual dengan menciptakan kekuatan penggerak aktual, yang muncul dari konsep yang hanya disusun untuk tujuantujuan spekulatif. Akan tetapi, fenomena semacam gaya ideologi atau historis hanya bisa dijelaskan dengan menyatakan bahwa representasi-representasi mereka dikondisikan oleh suatu rasionalitas yang tidak keluar dari kesadarannya sendiri, yang tidak selalu mereka sadari, dan yang boleh dibilang, memanifestasikan dirinya sendiri melampaui dirinya masing-masing. 71



Tingkat kesulitan yang mengelilingi pembentukan sebuah konsep gaya/aliran adalah sama besarnya dengan tingkat kesulitan yang mengelilingi definisi konseptual dari struktur-struktur sosial. Kita juga harus memahami gaya sebagai suatu hal yang umum, suatu pola yang terpisah dari individu beserta karya-karyanya, tanpa sekaligus menganggapnya sebagai sesuatu semacam prototipe transendental yang dihadirkan pada individu-individu. Gaya bukanlah suatu konsep dasar yang akan tetap dan tak berubah sepanjang masa. Ia juga bukan konsep dasar yang menggolongkan fenomena dari sifat dasar yang kurang umum. Gaya juga bukan konsep logis tertinggi yang darinya bisa diambil konsep-konsep subordinat lainnya. Alih-alih, ia adalah kategori dinamis, dialektis dan rasional, yang berubah secara konstan menurut kandungan, jangkauan, dan lingkup validitas, dan ini pun akan berubah dengan kehadiran setiap karya yang memiliki nilai yang penting. Sudah semestinyalah jika kita tidak memandangnya sebagai suatu entelechy (eksistensi penuh/kekuatan pemberi hidup) yang terkait dengan gagasan Hegel akan “semangat/ruh dunia” (Weltgeist). Gaya tidak berkaitan dengan tujuan atau rencana universal (sebagaimana para filsuf sejarah memaknainya), ataupun dengan kemungkinan supernatural dari sejumlah gagasan intuitif. Gaya tak lain dan tak bukan merupakan hasil dari suatu momen yang sudah ada pada produk-produk individu murni, yakni suatu hasil yang memiliki bentuk yang berbeda dari masa ke masa. Produk-produk itu sendiri selalu ditujukan pada tugas langsung dan konkret; secara individual, mereka punya tujuan yang selalu dijaga, tetapi (tujuan finalnya) tidak mereka sadari. Suatu gaya tidak pernah terwujud dalam kesadaran pencetusnya, lebih dari sebuah langkah pada suatu waktu yang sama. Dengan kata lain, gaya tidak memasuki kesadaran individu yang memunculkan produk-produk itu sendiri.



72



Sikap kolektif yang diekspresikan dalam sebuah gaya artistik menyadari sesuatu yang tidak “dikehendaki” dan direalisasikan oleh siapapun juga, lebih dari individu manapun yang menghendakinya. Apa yang dikehendaki pada suatu waktu adalah sebuah karya seni tunggal khusus—misalnya, lukisan Last Supper karya Leonardo atau Sistine Madonna karya Raphael, jadi bukan “High Renaissance.” Meski demikian, gaya merupakan suatu entitas yang bisa kita bahas tanpa realisme konseptual apapun dan tanpa membenarkan/mendukung abstraksi apapun. Gaya bukanlah hal tunggal konkret, bukan juga konsep kolektif; ia tak bisa diambil dari karakteristik-karakteristik eksponennya, pun pula dengan penambahan abstraksi-abstraksinya. Gaya selalu bersifat lebih, tetapi sekaligus juga kurang, dibandingkan dengan apa yang terekspresikan di dalam karya yang menyusunnya. Gaya tidaklah terkandung di dalam karya ataupun sebaliknya, karya terkandung di dalam gaya. Cara yang paling tepat untuk menjelaskannya adalah melalui terminologi tema musical, di mana hanya berbagai variasinya saja yang masih bisa ditemukan. Tema yang harus diciptakan kembali tak akan menjadi penjumlahan berbagai variasi ataupun juga seleksi dari berbagai karakteristiknya, dan juga bukan merupakan kompilasi abstrak dari berbagai karakteristik yang sama dengan variasi-variasinya. Penjumlahan tak pernah mengandung lebih dari apa yang sudah ada sebelumnya, sedangkan abstraksi selalu bersifat kurang dari itu, dan tak ada yang lebih jauh ketimbang elemen-elemen yang menyusunnya. Tema dan variasi brsifat saling melampaui satu sama lain, meskipun keduanya saling terikat. Tak cuma berbagai variasi tetapi juga berbagai macam kemungkinan formulasi tema—yang (berkenaan dengan masalah yang kita diskusikan di



73



sini) berkaitan dengan bermacam definisi dari gaya yang sudah ada—sekadar berkisar pada sebuah struktur ideal tanpa selalu memahaminya dengan memuaskan. Observasi psikologi Gestalt terhadap fenomena struktur yang tak berubah (yang memiliki bermacam-macam sifat) juga valid untuk diterapkan pada konsep gaya (di mana konsep gaya itu sendiri jelas-jelas juga merupakan sebuah konsep Gestalt). Psikologi Gestalt menekankan fakta bahwa kita merasakan melodi bahkan jika ia dimainkan dengan kunci yang berbeda dari kunci yang sebelumnya kita dengar pertama kali. Struktur, koherensi, dan rangkaian interval dinyatakan melalui (tetapi bukan di dalam) nada, dan inilah yang membuatnya bisa dikenali, meski segala sesuatu yang terdengar (dalam bentuk bunyi-bunyian yang nyata) telah berubah. Struktur ini tidaklah kurang riil dibandingkan dengan nada yang dimainkan secara terpisah, bahkan jika struktur itu tidak bisa dipahami oleh indera kita. Dalam berbagai kasus, kita mengalaminya secara langsung dan tidak menentukan kehadirannya melalui pertimbangan mendalam ataupun spekulasi. Kita dihadapkan pada sebuah fenomena serupa dalam kasus gaya artistik. Sama seperti struktur musik, ada juga gaya Renaisans yang merupakan suatu struktur kolektif objektif yang tidak terkandung dalam berbagai karya Leonardo atau Raphael, tetapi tetap memiliki realitas tak-ambigu yang sama. Dalam rangka membentuk gagasan simbol yang tepat dari hal-hal semacam ini, kita harus senantiasa mengingat (pada satu sisi) bahwa mereka memiliki kekurangan substansi empiris dan metafisik, bahwa realitas mereka tidaklah bijak/pantas ataupun juga transendental, dan (pada sisi yang lain) bahwa mereka memiliki pokok isi dan objektivitas mereka yang khas. Kita tidak boleh lupa bahwa di dalam hal-hal itu, kita berhadapan dengan struktur-struktur, yang tidak bisa disebut sebagai hal-hal atau sekadar 74



konstruksi belaka. Kaum positivis yang tidak kritis gagal mengenalinya dalam semua lingkup budaya, dalam semua objektivasi valid dan interpretasi eksistensi yang bisa dibuktikan, cara berpikir dari makna koheren dan konsistennya—dari sebuah “rationale” (dasar pemikiran). Idealism yang terasing dari pengalaman juga gagal untuk mengetahui bahwa prinsip-prinsip yang melekat pada struktur-struktur kultural bukanlah merupakan kekuatan otonom yang menggerakkan sejarah, melainkan lebih condong sebagai hubungan objektif yang berubah dari suatu kasus ke kasus yang lain. Pengaruh otoriter mereka terletak pada fakta bahwa mereka membentuk wadah quasi-institusional, di mana subjek yang telah terbentuk oleh tradisi dan konvensi dan yang terhubung oleh kondisi saling-memengaruhi itu bisa berjalan. Dalam konteks pernyataan Ranke, “Bayangkanlah aristokrasi dalam seluruh aspeknya, maka Anda tak akan pernah bisa membayangkan seperti apa Sparta,” kita tak pernah bisa menerka individualitas dari seniman tertentu, hanya dari karakteristikkarakteristik sebuah gaya. Betapapun tepatnya pengetahuan kita akan Renaisans, kita tidak bisa mengetahui berbagai kemungkinan yang melekat pada representasi tunggal sebuah gaya. Hubungan yang serupa juga terdapat dalam sejarah budaya antara setiap unsur kolektif maupun komponen-komponennya. Totalitas normatif yang dimilki gaya artistik serupa dengan struktur-struktur sosial yang mencegah kita pada kedua kasusnya, dari menarik simpulan definitif tentang komponen-komponennya. Totalitas-totalitas semacam ini (secara tak terhindarkan) akan mengorbankan sifat-sifatnya yang khas, begitu mereka terpecah menjadi tindakan-tindakan, sikap-sikap, dan produk-produk. Sama halnya totalitas sosial terwujud bukan melalui penjumlahan akhir dari sikap-sikap individual, melainkan dari fungsi yang dijalankan oleh individu-individu tersebut, hanya 75



jika mereka sudah berkontak dengan satu sama lain, maka begitupun juga halnya dengan kesatuan dan totalitas karya seni tidaklah semata muncul sebagai jumlah dari kata-kata, nada, baris, dan warna. Alih-alih, mereka merupakan hasil dialektis dari ketegangan yang diperbarui, dipertinggi, dan dipertajam dari kata ke kata, nada ke nada, sapuan-kuas ke sapuan-kuas, dengan mana struktur keseluruhannya muncul pari passu (berbarengan) dengan diferensiasi detil-detilnya.



(Halaman 89-97) Pengantar Interaksi dan Dialektika Saat membicarakan sosiologi seni, kita lebih cenderung untuk berpikir akan pengaruh yang bermula dari seni (dan yang ditujukan pada masyarakat), ketimbang pengaruh yang berasal dari masyarakat, yang menemukan ekspresinya di dalam seni. Hal semacam ini terlepas dari fakta, bahwa seni memengaruhi maupun dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial, juga bahwa seni memunculkan perubahan sosial sementara ia sendiri berubah bersama dengan perubahan sosial tersebut. Seni dan masyarakat tidaklah terkait secara monolitik; masing-masing bisa menjadi objek maupun subjek. Pengaruh seni dalam masyarakat bahkan bukan merupakan suatu kekuatan yang lebih dominan atau signifikan dalam hubungan mutual ini. Pengaruh yang bermula dalam masyarakat dan yang ditujukan pada seni menentukan sifat dasar dari hubungan tersebut, ketimbang sebagai kebalikannya, di mana suatu bentuk seni—yang dibedakan oleh hubungan



interpersonalnya—bereaksi



terhadap 76



masyarakat.



Ketika



masyarakat



menentukan seni (terutama sebagai karakteristik budaya primitif), mereka jarang sekali (dan hampir-hampir tidak) dipengaruhi oleh seni. Dalam tahapan sejarah yang lebih maju, bahwa tak cuma seni yang sejak permulaannya telah menampakkan ciri-ciri sosial, tetapi juga masyarakat-lah, yang mula-mula mempertahankan jejak-jejak perkembangan artistik atau artistik-magis. Itu sebabnya, kita harus selalu membahas hal ini dalam ranah kesementaraan dan mutualitas, dari efek-efek sosial dan artistiknya. Dalam proses interaksi antara seni dan masyarakat, kita tak bisa memastikan yang mana dari keduanya yang memulai langkah paling awal. Stimuli artistik akan tetap kembali pada “sungai terdasar” di mana asal-usulnya berada, dan menciptakan produk dari rahim yang telah melahirkan eksistensi mereka. Hal semacam ini sama sekali tidak menggambarkan pengaruh total masyarakat terhadap seni, melainkan justru menegaskan dirinya dalam kerangka independensi mutual, dari sebuah fungsionalisme resiprok. Permasalahan “primum mobile” merupakan sesuatu yang tak relevan; satu-satunya hal yang menjadi soal adalah bahwa setiap efek dalam hubungan antara seni dan masyarakat bereaksi terhadap, dan secara konstan mengubah penyebab dari mana mereka muncul. Tentu saja, predominansi sosial dinyatakan dalam fakta bahwa pertukaran di antaranya tetap berlangsung sepanjang rentetan/rangkaian sosial (yang di dalamnya berbagai kepentingan sosial dan artistik dikombinasikan) akan tetap dan senantiasa ada. Sejauh yang bisa kita telusuri dari sejarah manusia, kita menaruh perhatian bukan pada pengaruh yang dimiliki oleh seni (yang lengkap secara sosial) terhadap masyarakat yang belum terkena dampak seni. Alih-alih, kita lebih mempertimbangkan adanya keterkaitan, peningkatan silang dan mutual, ataupun melemahnya pengaruh yang ada. Dengan kata lain, ini terletak pada permasalahan akan batasan seni oleh masyarakat yang 77



nyata-nyata bisa menunjukkan komponen-komponen artistiknya, juga perubahan masyarakat oleh produk-produk artistik yang dengan sendirinya adalah produk sosial. Akan tetapi, sifat-dasar khusus dari hubungan tersebut tak hanya terkandung dalam resiprositasnya, tetapi juga dalam simultanitas pengaruhnya. Hal yang paling signifikan dari seluruh keadaan yang bermasalah ini adalah dualitas motivasi, yang kontras dengan kausalitas satu-sisi yang ditampilkan dalam hubungan-hubungan yang lain. Yang kita bicarakan di sini adalah kurangnya independensi, apakah itu komponen tetap atau komponen bebasnya (pada satu sisi), atau apakah itu (pada sisi yang lain) merupakandependensi mutual dari suatu variabel pada setiap kasusnya. Seberapapun problematisnya sifat konsep kausalitas itu di dalam dirinya sendiri, tak diragukan bahwa proses di mana dua fenomena terhubung satu dengan yang lain (dalam kasus-kasus yang tak terkira jumlahnya) ditentukan dan ditampakkan dari satu sisi/pihak saja. Sebagai contoh: matahari—saat melelehkan salju—itu sendiri tidak mengalami perubahan sedikitpun. Sebaliknya, dalam proses-proses sosial, di mana segala sesuatu bergantung pada hubungan resiprok (sebagaimana ditekankan oleh Georg Simmel), kita tak pernah dihadapkan pada kausalitas satu-sisi semacam ini. Sesosok manusia—sebagai makhluk biologis, fisiologis, dan psikologis—ditentukan, dan (begitu juga) pada gilirannya akan menentukan secara sepihak. Sebuah karya seni, semata sebagai suatu benda—sebongkah marmer atau kanvas, struktur guratan-guratan dan warna-warnanya yang asli—hanya menggambarkan asal-usul atau produk dari kausalitas serupa. Dalam pengalaman estetik normatif, faktor-faktor spontan dan konvensional, subjek dan objek, produsen dan konsumen, terkait secara timbal-balik.



78



Dalam kasus proses sosio-historis yang menampakkan paralelisme dan fungsionalisme resiprok dari berbagai fenomena heterogen, tetap tak ada gunanya jika kita berupaya mencari pusat-hubungan kausalnya. Karena dalam hal ini, proses-proses tersebut tak bisa diulangi, dan kita tak bisa mengadakan percobaan dengan menghapus kekuatan-kekuatan individual. Tak ada satupun faktor yang bisa dipisahan secara arbitrer dari suatu konstelasi historis, tanpa mengubah seluruh keadaan hal-ikhwalnya. Artefak individu—contohnya, sebuah patung dari zaman Yunani—bisa mempertahankan nilai artistiknya, betatapun ia telah rusak atau hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, kita harus mengakui bahwa keterkaitan antara berbagai kondisi sosial (bahkan jika kondisi-kondisi tersebut memiliki manifestasi artistik yang berbeda) bisa seluruhnya bersifat penuh makna, dan sedikit pun tak harus bersifat kebetulan belaka. Masyarakat borjuis modern bukanlah penyebab utama dan satu-satunya dari kemunculan novel-novel ber-genre naturalis: namun, ini pun tak berarti bahwa kemunculan kaum borjuis modern dan novel-novel naturalis yang bersamaan itu tak mengandung makna apapun atau terjadi begitu saja. Keduanya terlibat di dalam banyak kompleks sosioartistik lainnya, yakni dalam keadaan di mana suatu kombinasi tak merusak relevansi kombinasi yang lain. Jika keterkaitan semacam itu dikonstruksi menurut tindak-tanduknya (dan oleh sebab itu menjadi tak relevan lagi), maka sosiologi seni harus benar-benar membatasi dirinya sendiri, yakni hanya pada penelaahan pengaruh sebuah karya dari latihan-latihan seni terhadap orang-orang yang menjalani keberadaan sosial. Dan hal ini akan menjadi sedikit melebihi sebuah cabang psikologi sosial dan filosofi moral. Hanya motif-motif dan tujuan-tujuan yang menegaskan dirinya sendiri (dalam rangkaian penciptaan, 79



modifikasi, dan diferensiasi dari wujud dan kandungan artistik)-lah yang menampakkan hukum-hukum struktur sosiologis secara spesifik. Dalam pemahaman yang sama, masyarakat bisa terpengaruh oleh berbagai sarana, dan seni (sebagai salah satu dari sarana-sarana tersebut) menunjukkan sedikit dari sifat-sifat sosial yang dimilikinya. Hal ini bukanlah untuk menegaskan bahwa hubungan antara seni dan masyarakat (jika dipandang dari sisi yang lain)—dari asal-usul sosial akan kreativitas artistiknya— menyibak gambar-penuh-makna yang utuh, yang sangat menyedot tenaga dari proses estetik-nya yang nyata. Kita sampai pada sebuah gambar yang utuh, hanya jika kedua aspek itu terpenuhi. Bahkan suatu karya yang tak penah dipublikasikan oleh penulis/pengarangnya tetaplah ditentukan secara sosial, tak hanya karena ia mengambil dari sumber-sumber sosial—berbagai tradisi dan konvensi, bentuk-bentuk umum dari gaya bicara dan kemajuan teknis yang telah dicapai secara kolektif—tetapi juga karena ia menujukan dirinya sendiri (meski secara tak sadar) pada sumber-sumber yang lain itu. Ketika berbagai stimuli berpotongan, salah satu atau yang lainnya akan muncul sebagai sesuatu yang paling menonjol. Pada suatu saat, pengaruh masyarakat atas karya seni, dan pada kesempatan yang lain, partisipasi karya seni dalam metamorfosis masyarakat, akan tampil paling mencolok. Epos-epos karya Homer, Divine Comedy, drama era Elizabeth, dan novel naturalis menyatakan dengan lebih jelas, era dan masyarakat di mana mereka lahir. Sementara itu, tragedi Athena, tragédie classique, dan karya-karya sastra zaman Pencerahan sifatnya lebih propagandis empatis, mendikte, dan provokatif. Apa yang bertahan di atas segala keraguan, terletak pada kenyataan bahwa kita bisa saja membayangkan adanya masyarakat tanpa seni, tetapi tidak demikian halnya untuk membayangkan keadaan, di mana seni bisa muncul tanpa masyarakat. Seniman 80



senantiasa berada dalam lingkup agen-agen masyarakat, bahkan jika ia berupaya untuk memengaruhinya. Dalam hal ini, terulanglah kembali resiprositas antara “ada” dengan “kesadaran”, antara hal-hal dengan persepsi, juga antara kesan sensori objektif dengan aparat kategoris subjektif. Apa yang bersifat menentukan bagi determinasi proses sosioartistik (yang asal-usulnya tetap tak diketahui) bukan terletak pada urutannya, melainkan pada jukstaposisi dari berbagai faktornya. Seni dan masyarakat berada dalam suatu keadaan dependensi mutual berkesinambungan yang menyebarkan dirinya masing-masing bagaikan sebuah rangkaian reaksi. Mereka tak cuma saling memengaruhi. Setiap perubahan dalam suatu lingkup terkait dengan perubahan dalam lingkup yang lain dan menggerakkan perubahan lebih lanjut dalam sistem tempat bermulanya seluruh perubahan tersebut. Terdapat multiplikasi dan intensifikasi stimuli yang bersifat konstan, sebuah serbuan dan pacuan yang datang bertubi-tubi akan kedudukan dalam arena persaingan kekuatan-kekuatan sosial dan artistik yang (tanpanya) akan memunculkan karakter dialektis. Tidak ada perjuangan aktual antara posisi-posisi yang berseberangan itu, melainkan kontradiksi terdalam yang senantiasa menggerakkan kesemuanya, membuat mereka terus bergerak, dan memacu mereka untuk menuju ke arah penyelesaian. Dialektika bermula dari sebuah kesatuan di mana sebuah keretakan—yakni pemisahan berbagai



impuls,



kepentingan,



dan upaya—terjadi,



dan karenanya



membangkitkan kontradiksi yang tak tertahankan, berupa konflik parah yang timbul akibat adanya bermacam-macam motif yang mendesak eliminasi kontradiksi tersebut. Dalam keteraturan-keteraturan ekonomis atau gerakan artistik yang terpadu-lah, muncullah berbagai kecenderungan yang bertentangan, yang mengarah pada timbulnya 81



konflik



dan—dalam



fase



perkembangan



selanjutnya—sebuah



rekonsiliasi



dan



penyelesaian berbagai antithesis. Bertentangan dengan hal ini, jiwa dan raga, sebagai contoh, sejak semula mewakili dua prinsip yang berinteraksi satu dengan yang lain, namun tak akan pernah bisa disatukan. Mereka bukanlah kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, dan bukan juga komponen-komponen dari sebuah sintesis, terlepas dari fakta bahwa keduanya tak bisa diturunkan satu dari yang lainnya, dan sifatnya tak terreduksi secara mutual. Dualitas jiwa dan raga bersifat tak terdamaikan, sebanding dengan tak terpatahkannya sifat kebersesuaian mereka. Hubungan antara masyarakat dan seni dalam beberapa hal memang mirip dengan hubungan antara jiwa dan raga: mereka tidak saling bertentangan, tetapi juga tak akan pernah berada dalam keharmonian. Perkembangan dialektis seni, apakah itu dalam penciptaan karya-karya individual, dalam tindakan resepsi, atau dalam rangkaian sejarah gaya (style), tidaklah muncul dari antagonisme antara kepentingan-kepentingan sosial dan artistiknya, melainkan sebagai akibat dari tujuan-tujuan artistik, juga permasalahan, kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya, serta sarana representasinya, yang saling bersinggungan satu sama lain. Pendeknya, hal itu merupakan hasil dari suatu diferensiasi individual, dari perubahan selera dan gaya, di mana perkembangan sosial hanya menyediakan sarana pemacunya, tetapi tidak berasal dari kontradiksi antara seni dan masyarakat. Sikap antithesis bukanlah suatu antagonisme, dan sebuah interaksi juga bukan merupakan perdebatan dialektis. Ada berbagai antagonisme dalam seni maupun masyarakat itu sendiri (secara terpisah), tetapi tidak terdapat antagonisme apa-apa di antara keduanya. Di satu sisi, fakta bahwa masyarakat memengaruhi seni dan seni di sisi yang lain juga memengaruhi masyarakat, tidaklah berarti bahwa sebuah perubahan pada satu pihak 82



memiliki keterkaitan dengan perubahan pada pihak yang lain. Seni dan masyarakat hadir sebagai dua realitas yang berlainan (meski tak harus terisolasi satu dengan yang lain), yang sifatnya seiring sejalan. Keduanya, seperti halnya jiwa dan raga, memang tak terpisahkan, tetapi tak memiliki tujuan atau makna yang sama. Sebab itu, hubungan resiprok antara keduanya cukup berbeda dengan hubungan (di dalam seni) antara spontanitas dan konvensi, antara kehendak menuju ekspresi dan sarananya, juga antara bentuk dan isi. Di sanalah kita mendapati antithesis yang secara konstan menyangkal satu sama lain, yakni antithesis yang mengarah pada keadaan-keadaan ekuilibrium yang baru, dan juga pada sintesis di mana tak satupun premisnya tetap tak berubah, melainkan di mana tak satupun darinya benar-benar hilang. Meski demikian, seni muncul bukan sebagai “negasi” masyarakat ataupun “negasi dari negasi tersebut”, dan dalam masyarakat, seni tidaklah “tergantikan” (aufgehoben), melainkan hanya terakomodasi ke komponen-komponen lain dari totalitas masyarakat.



5 Seni sebagai Sebuah Produk Masyarakat Elemen-elemen Kreasi Artistik Sebagai sebuah proses sosiohistoris, produksi karya seni bergantung pada sejumlah faktor yang berbeda-beda. Produksi karya seni ditentukan oleh alam dan kebudayaan, keadaan geografis dan ras, waktu dan tempat, biologis dan psikologis, dan juga oleh kelas ekonomi serta sosial. Sama halnya dengan tipe-tipe etnografis yang membedakan dirinya masing-masing berdasarkan stratifikasi sosialnya, begitu juga 83



halnya dengan berbagai ideologi, yang memperoleh karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan



penempatannya



serta



kecenderungan



dari



individu-individu



yang



mewakilinya. Faktor-faktor yang terlibat dalam tindakan artistik yang sifatnya kreatif atau reseptif memperoleh karakter konkrit mereka hanya dalam cara membatasi satu sama lain—jika diukur dengan totalitas pengalaman artistik, mereka tak lebih dari sekadar abstraksi-abstraksi belaka. Seberapapun besarnya peranan yang mereka mainkan dalam pembentukan konsep estetik, tak satupun dari mereka (yang menunjukkan dalam dirinya masing-masing kualitas spesial) yang mengubah sebuah struktur menjadi sebuah karya seni. Berbagai komponen dari keseluruhan artistik (apakah itu produk objektif atau pengalaman subjektif) sebagiannya dimiliki oleh kelas fenomena yang natural dan konstan (atau konstan secara relatif), dan sebagian yang lainnya lagi merupakan bagian dari kelas fenomena kultural, sosial, yang bisa diubah secara historis. Seiring sejalan dengan spontanitas, variabilitas, dan fleksibilitas dari upaya yang dikerahkan, konstistusi statis dari data natural eksternal dan juga dari properti organik intinya memainkan peranan yang sama dalam tindakan artistik, sebagaimana yang selalu dimainkannya dalam setiap proses kultural. Jika kita memberikan keunggulan pada kekuatan-kekuatan natural di dalam proses kultural, kita mengubah genesis dari struktur kultural menjadi suatu “proses natural yang misterius.” Di sisi lain, jika kita memberikan keunggulan pada kesadaran, kita menciptakan (dari lapisan terdasar ini) suatu keganjilan yang tak berisi. Pada kesadaran kreatif, sifat dasar yang pasif dan buta adalah sama misteriusnya dengan kesadaran spontan dari sudut pandang nature atau sifat dasarnya.



84



Sekilas, kreasi artistik tampaknya terdiri dari interaksi berbagai faktor yang sebagiannya variabel (bersifat tidak tetap) dan yang sebagian lagi invariabel (bersifat tetap), dalam suatu proses yang melibatkan berbagai kekuatan yang sama-sama saling tergantung (pada) dan tidak tergantung satu sama lain. Tugas sosiologi seni akan terseleseikan dengan esensial jika kita bisa menemukan sebuah “variabel independen”, dari perkembangan yang bisa dimodifikasi dari keterpaduannya sendiri dan yang bisa dijadikan untuk tergantung pada berbagai perubahan pada faktor-faktor yang lain. Sebenarnya, kreasi artistik tidak tergantung baik pada faktor tidak tetap maupun faktor tetap independen dalam berbagai jenisnya. Hal itu seluruhnya merupakan hasil dari interaksi berbagai variabel-dependen secara mutual. Semua elemen natural maupun elemen kultural dari suatu tindakan artistik menegaskan dirinya sendiri dalam sebuah kesalingtergantungan yang tak terpisahkan. Para pakar psikologi memandang masyarakat sebagai sebuah hambatan bagi kebebasan gerakan individu; sedangkan bagi para sosiolog, psyche (keadaan kejiwaan) seringkali (secara tak dikehendaki) memenuhi fungsi-fungsi sosial. Setiap subjek konkret (secara historis) yang bisa berpikir dan bertindak, akan mendapati dirinya dalam sebuah situasi yang riil, temporal, dan ditentukan oleh lokailitasnya, yakni sebuah milieu (lingkungan tempat seseorang tinggal dan menerima pengaruh) objektif yang telah ada dari dulu. Potensialitas intinya selalu terkait dengan seperangkat kondisi-eksternal statis. Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa faktor-faktor dinamis dan statis dari proses historisnya sekadar bersifat komplementer, atau bahwa faktor-faktor tersebut mempertahankan sifatnya masing-masing di saat mereka saling memengaruhi. Dalam proses ini, karakter mereka mengalami sebuah perubahan 85



fundamental. Faktor-faktor yang tampaknya konstan berubah menjadi dinamis dan menjalankan berbagai karakteristik yang berhubungan dengan keadaan perkembangannya pada saat itu juga, sementara komponen-komponen yang secara esensial bisa diubah, dalam beberapa hal justru menjadi tak-bergerak (diam/tetap) dan terobjektifikasi (menjadi suatu objek sederhana, seolah-olah memang sudah ada sejak semula), dan membentuk struktur otonom yang membebaskan mereka dari akar dan kondisi eksistensi orisinal mereka. Kendaraan yang diciptakan oleh manusia dalam pengelompokan sosial dan pembentukan budaya, konvensi dan institusi, norma dan nilai-nilai, tata-prilaku dan hukum yang mengatur pemikiran, termasuk tren stilistik dan wujud-wujud ekspresi, berubah menjadi prinsip-prinsip tegas yang berlawanan dengan spontanitas murni dan kebebasan individu. Kelemahan serius dan mendalam dari sosiologi seni yang bersifat kabur (secara metodologis) dan tidak kritis, yakni prototipe dari teori milieu Taine, berada pada kurangnya suatu prinsip yang bisa membedakan faktor-faktor yang alami dan yang kultural, yang statis dan dinamis, juga faktor-faktor perkembangan dari berbagai variabel yang bisa diubah secara esensial atau yang benar-benar tak berubah. Bagi Taine, konsep “milieu” berperan sebagai pengelompokan/penggolongan mekanistik yang sifatnya mentah, dari berbagai kondisi natural (terutama secara iklim-geografis), kultural, dan interpersonalnya. Konsep ini mengabaikan interaksi antara berbagai faktor yang berbeda yang berada dalam proses terkait. Di manapun efek itu muncul, Taine serta-merta membahas kausalitas dalam pengertian ilmiah. Ketidakcukupan dari teorinya terungkap secara tajam dalam asumsi, bahwa terdapat sebuah dependensi unilateral antara data fisik dan sikap intelektual, dan bahwa keduanya membentuk sebuah nexus (penghubung). 86



Akibat kurangnya kejernihan metodologis inilah, seluruh klasifikasi pretensius dari berbagai faktor perkembangan artistik ke dalam ras, milieu, dan momen, menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Apa yang dipahami Taine sebagai “ras” memang benar nyata dan jelas, tetapi peranan yang ia sandangkan pada faktor ini, sejak semula bersifat problematik, dan dalam rangkaian perkembangan sejarah seni, telah kehilangan maknanya dari waktu ke waktu. Konsep dari faktor rasial boleh jadi bersifat tidak ambigu, tetapi justru dalam kurangnya ambiguitas konseptual dan imutabilitas(tak berubah/tak bisa diubah)nya-lah, faktor ini menjadi tidak riil alias imajiner. Dalam pengertian Taine, tidak ada ras yang konstan. Fleksibilitas dari dua prinsip Taine lainnya justru berangkat dari kurangnya kejelasan akan hal yang didefinisikannya. Taine memaknai “milieu” sebagai totalitas dari berbagai kondisi eksternal, di mana kekhususan sebuah karya seni bergantung padanya. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa ia membedakan ketiga faktor tersebut dalam perkembanganya. Yang paling tidak samar di antara kesemuanya itu adalah, apa sebenarnya yang ditandai oleh momen (dalam versi Taine) dalam hubungan ini. Jika dengan ini kita memahami poin waktu munculnya sebuah karya atau tren stilistik, maka kategori tersebut harus ditempatkan dalam sebuah konsep urutan yang berbeda dari dua faktor lainnya. Oleh sebab itu, “moment” di sini tidak menjadi sebuah “faktor” di dalam struktur yang akan dianalisis, melainkan hanya sebagai medium di mana dua kategori lainnya menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, jika kita hendak memahami istilah tersebut sekadar sebagai sebuah titik dalam rangkaian waktu, maka hal itu hanyalah sebuah varian milieu. Oleh sebab itu, jika kita menetapkannya sebagai suatu kategori dasar dari konstruksi artistik, tentu saja itu adalah suatu hal yang berlebih-lebihan dan tak bermakna. Pendeknya, apa yang bisa



87



dipertahankan dari seluruh teori Taine adalah fakta bahwa sastra terkondisi oleh lokasi sang penulis, dalam dimensi ruang dan waktunya. Namun, itu bukanlah suatu penemuan yang baru dalam era Taine: Mme de Staël sudah pernah berada dalam jalur ini. Meski demikian, analisis terhadap teori Taine ini tidak secara langsung mengarah pada sebuah pandangan akan signifikansi terbesarnya. Memang tak ada yang sanggup mengungkap dengan lebih jelas, akan ketidakcukupan penjelasan genetik-unilateral terhadap kreasi artistik. Setiap usaha untuk menjelaskannya dalam cara ini adalah didasarkan pada konsepsi evolusioner menurut asal-usul proses perkembangan yang bersifat menentukan bagi sifat sebuah produk final. Tetapi, mereka yang berargumen tentangnya menemukan kegagalan untuk menyadari bahwa—dalam kasus sikap intelektual dari sebuah penciptaan, khususnya yang bersifat artistik—sang seniman terstimulasi, menghadapi berbagai permasalahan, dan menyelesaikannya dalam titik waktu yang berbeda-beda dan dalam titik tolak yang berbeda pula, di sepanjang jalan yang dilaluinya, yang akan mengarahkannya secara langsung dari ide orisinalnya ke sebuah solusi final. Gagasan bahwa fase pertama dari proses tersebut merupakan faktor yang paling menentukan bagi wujud final sebuah produk, adalah suatu kekeliruan yang berakar pada pemikiran ilmiah dan formasi konsep biologis. Pada kenyataannya, hasil dari setiap perkembangan historis seringkali menjadi produk sampingan yang termediasi secara beraneka ragam dari kekuatan-kekuatan karya dalam proses tersebut. Setiap teori genetik dari pembentukan budaya yang berangkat dari berbagai kondisi natural (apakah itu geografis, etnografis, ataupun psiko-fisiologis) cenderung untuk menaksir rendah akan deviasi yang dimunculkan oleh perkembangan dari tendensi orisinalnya. Hanya sebuah metode yang secara prinsip diorientasikan kepada interaksi dan dengan sebuah konstruk 88



kultural (yakni hasil yang muncul secara bertahap dari berbagai faktor yang menciptakan komplikasi-komplikasi segar dan di mana setiap langkah dalam prosesnya memiliki kemungkinan untuk mengarah pada penemuan sebuah elemen yang akan menciptakan dan membentuk hasil final, yang bisa membenahi gambaran genetik unilateral yang salah-kaprah itu.



Faktor-faktor Natural Kita bisa membahas sejarah dan masyarakat hanya dalam konteks asumsi, bahwa terdapat kondisi-kondisi ekstrahistoris dari eksistensinya, terlepas dari seberapapun menentukannya segala sesuatu yang memengaruhi manusia saat ia berpartisipasi dalam suatu lingkaran sejarah. Keberadaan alam yang ahistoris dan asosial bukan saja satusatunya prasyarat yang dengannya kita bisa memahami sejarah dan masyarakat, tetapi juga suatu hal yang esensial bagi fondasi material yang menjadi sandaran budaya sebagai sebuah superstruktur.



(halaman 308-327) 6 Masyarakat sebagai Produk Seni Konsep bahwa seni adalah suatu godaan yang membahayakan tentunya sama tuanya dengan gagasan pendidikan estetis dalam sejarah manusia. Pada masa klasikisme Yunani, (dalam berbagai kasus) masih belum ada teori seni yang muncul sebagai alat 89



pendidikan yang bersifat lebih ekspresif dan mengarah-langsung, dibandingkan dengan larangan dan pengasingan Platonik terhadapnya, dari keadaan ideal sang filsuf. Sejak itu, tidak kurang-kurang jumlah pihak yang menentang seni, dengan mempertanyakan kebermanfaatannya, juga makna dan nilai edukasi estetiknya. Apakah semuanya itu seiring sejalan dengan peningkatan pengetahuan, pembersihan moral, dan pemajuan masyarakat? Argumentasi Plato terhadap pengelabuan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh ilusionisme terhadap berbagai gagasan, sudah cukup lama menjadi hal yang tak relevan. Tesisnya akan sifat-alami sensual dari representasi artistik, serta kesesuaiannya untuk menstimulasi indera dan melemahkan kemauan, (pada sisi yang lain) telah mempertahankan sejumlah validitasnya. Semua bentuk gerakan ikonoklastik itu sendiri di dalam dirinya masing-masing, kurang-lebih juga mengandung jejak-jejak doktrin Platonik yang dalam. Sikap antiartistik dari para Pemimpin Gereja yang terutama menyerang sensualitas, lebih mengingatkan kita akan para filsuf yang kafir (menyembah berhala dan tak mengakui Tuhan), ketimbang mengingatkan kita pada para rasul. Ikonoklasme Bizantium mempertahankan teorinya, dengan memakai konsep dari doktrin ide-ide Plato, dan menentang “pemujaan” yang terkandung dalam gambar-gambar pengabdian sebagai bentuk keburukan sensual dari sosok spiritual suci. Permusuhan yang ditujukan oleh semua kaum sektarian pada Zaman Pertengahan terhadap seni (bahkan juga kaum Reformasi), pada prinsipnya bersifat Platonik—yakni, irasionalistis dan idealistis—setidaknya sejauh langkah resistensinya terhadap tubuh dan indera, betatapun rasional dan realistis perlawanannya terhadap gereja Romawi sebagai singgasana pemujaan tersebut. Savonarola dan juga kaum anabaptis menyatakan (dalam tabir 90



ikonoklasme) perlawanannya terhadap masyarakat yang ada dan kelas-kelas yang tengah berkuasa. Mereka melakukan hal ini dengan lebih nyata dibandingkan dengan para pendahulunya, yang hampir-hampir tak menyadari fakta bahwa dalam melawan hierarki spiritual dan institusi eklesiastikal, pada saat yang sama mereka juga tengah berjuang melawan kelahiran feodalisme. Latar belakang ideologis terhadap perjuangan tersebut tampak semakin jelas dalam rangkaian perkembangan historis. Hal itu juga telah menjadi sesuatu yang makin nyata pada era Pencerahan, yakni pada saat peranan Platonisme (dengan permusuhannya terhadap seni) diambil alih oleh Rousseau (dengan permusuhannya terhadap budaya). Sejak itulah, kecenderungan pada penyangkalan-diri telah menjadi salah satu ciri-ciri permanen dari kebudayaan Barat, dan dalam kamp-kamp yang radikal politis, telah terdapat kecurigaan terhadap seni sebagai candu yang bersifat menumpulkan, meskipun tak kurang-kurang juga upaya untuk berdamai dengannya, contohnya dalam aliansi sosialisme dengan naturalisme pada sekitar pertengahan abad ke-19. Sementara itu, semakin estetistik bangsa Barat, maka semakin tinggilah perlawanan seni terhadap dominasi kehidupan, sehingga tak perlu kiranya menunggu gerakan Dadaisme dan antiseni (pada masa kini) dalam rangka mencari makna dan tujuan seni yang dipertanyakan (bahkan) oleh para senimannya sendiri. Bukankah Flaubert (yang menganggap bahwa seni-lah hal yang paling berharga dalam hidup) telah bertanya pada dirinya sendiri, “Bukankah ekspresi nihilisme yang ketakutan—yakni kekuatan yang memusuhi kehidupan itu sendirilah—yang merupakan bentuk pemujaan yang bersifat mengasingkan?” Dengan seluruh resistensi, keberatan dan keraguan inilah, maka diekspresikanlah sebuah pengujian dan ringkasan dari pengutukan terhadap seni, tanpa mengaitkan peran 91



sosial atau moralnya dengan kreasi-kreasi individualnya. Adalah zaman Renaisans-lah (sebagai sebuah periode yang membuat astetisisasi secara tegas) yang pertama kali sampai pada gagasan, bahwa seni yang dihasilkan oleh master-master hebat itu sendiri bersifat memuliakan, dan bahwa efek edukasional yang ditimbulkan oleh seni tumbuh dari keberhargaan artistiknya. Pada Masa Pertengahan, tidak ada nilai moral yang disandangkan pada kualitas artistik semacam itu, meskipun tentunya tetap terdapat sensitivitas terhadapnya dan tampaknya hanya ada sedikit diferensiasi antara dua urutan nilai tersebut. Kaum visionari religius (yang menolak seni secara fundamental) berpandangan bahwa seni patut dimintai pertanggungjawaban dalam segala wujudnya, dan para penguasa temporal maupun spiritual yang bertujuan memakainya sebagai sarana propaganda tidak menilai seni berdasarkan nilai estetiknya. Sama halnya ketika penolakan terhadap seni tak harus selalu dipandang sebagai tanda nonreseptivitas atas pesonanya, maka pihak-pihak yang mempekerjakan dan melindungi para seniman pun tak harus selalu dipandang sebagai para pakar seni itu sendiri. Antipoda/antisimpul dari para ikonoklasik (yang sejak semula menolak seni) tidaklah (dalam pengertian sosiologis) termasuk ke dalam golongan para estetis, yang menilai kehidupan dari pertimbangan seni dan ‘mengabaikan’ kehidupan demi seni itu sendiri. Tak satupun dari mereka yang memiliki kepercayaan diri dalam edukabilitasestetis manusia, ataupun memiliki kemungkinan untuk membentuk atau menciptakan masyarakat melalui seni. Karena baik para estetis maupun para ikonoklasik memisahkan keduanya satu sama lain, maka tak ada hal semacam itu yang bisa terjadi. Seni menampakkan dirinya sebagai makna yang efektif secara sosial (dalam pengertian yang positif maupun negatif, konstruktif atau destruktif, apologetik ataupun kritikal) hanya saat 92



ia ditujukan pada sebuah urutan kekuasaan tertentu, tetapi tidak saat ia mendapati dirinya sendiri dikonfrontasikan dengan kehampaan sosial oleh humanitas. Seni itu sendiri tidaklah bermanfaat atau membahayakan per se. Tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu, seni—yang tak cuma merefleksikan realitas sosial tetapi juga mengkritik masyarakat— akan sesuai dengan diagnosis dan mampu menyembuhkan penyakit-penyakit yang terkandung di dalamnya. Peranan yang dimainkan oleh seni dalam pembentukan masyarakat tidak selalu penting dan muncul secara berimbang. Tidak harus para seniman besar (master pemahat patung Yunani dan katedral Gotik, bukan juga Leonardo atau Michaelangelo, Rubens dan Rembrandt, bahkan juga bukan para manipulator pengaruh artistik pada masyarakat, semacam Le brun atau Vandyke) yang mengubah karakteristik masyarakat secara fundamental dan terang-terangan, melainkan para kritikus sosial seperti Breughel, Callot, Hogarth, Goya, Miller, dan Daumier-lah, yang melakukannya. Dalam kasus mereka (di mana hal itu muncul sebagai pertanyaan akan kritisisme sosial dalam pengertian serangan langsung terhadap sebuah sistem sosial—sebagai suatu keseluruhan atau kelas individual, institusi tertentu, dan konvensi, penyalahgunaan, dan dalam hal mengungkapkan dan menjadikannya sebagai bulan-bulanan, sejumlah prasangka dan ketimpangan, di mana penuduhan dan dakwaan ditujukan), usaha untuk mengubah masyarakat menjadi jelas dan lebih berhasil ketimbang dalam karya yang (pertama dan terutama) merupakan refleksi ideologis atau kendaraan propaganda tersebut. Dalam membawakan tendensi menuju pencerahan (yang sudah ada dalam masyarakat), karya-karya tersebut merupakan produk, dan bukan produsen dari berbagai kondisi sosial. Sebagai kritik sosial, seni adalah pencipta berbagai keadaan ini, hanya sejauh ia bereaksi atas masyarakat dengan 93



impuls yang telah ia terima darinya dan yang terkondisi oleh berbagai kontradiksi, tegangan, dan konflik yang ada. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap kritik sosial akan tetap bertahan sebagai kritik-diri masyarakat. Matthew Arnold tampaknya tidak berpikir tentang kritik sosial apapun dalam pengertian ini, ketika ia menyebut sastra sebagai “kritik kehidupan”. Alih-alih, ia beranggapan bahwa sastra sejak semula dan tanpa henti akan terus mencari eksistensi utopia ideal, dan bahwa keadaan (yang tak dapat ia persatukan) berada di luar jangkauan-jangkauannya. Sastra hanya mengalami sedikit perubahan (dalam esensinya) oleh kehidupan, sama kecilnya dengan perubahan yang muncul dalam kehidupan akibat pengaruh sastra. Kehidupan akan tetap menjadi sebuah objek yang memerlukan kritisisme, yakni sastra sebagai organ seni yang bersifat mencukupi dirinya sendiri. Aforisme Oscar Wilde bahwa seni tidak meniru kehidupan tetapi justru sebaliknya, tampaknya beranjak pada sebuah tingkatan yang cukup berbeda dari aforisme bahwa sastra merupakan “kritik kehidupan”. Apa yang mirip darinya dengan kritik kehidupan yang disampaikan oleh Arnold terdapat pada ciri-ciri inefektivitas sosialnya. Pernyataan Wilde secara esensial menyatakan bahwa hampir semua orang tak mampu memahami wujud dan makna hal-hal tanpa melihatnya (ditunjukkan secara langsung) di depan mata. Kehidupan tampaknya meniru karya, dan tampaknya seni tidaklah tampil sebagai bentuk kritik dan koreksi terhadapnya, melainkan sebagai contoh dan ukuran realita. Akan tetapi, fungsi seni tidak sekadar terkandung di dalam membukanya mata orang-orang, tetapi juga dalam mencegah mereka dari menutup mata akan berbagai fakta, tugas-tugas sulit, solusi-solusi yang tak nyaman, dan alternatif yang bersifat tragis. Wilde mungkin telah merenungkan segala sesuatu yang terkait dengan peran penyibak yang dimainkan oleh seni, namun ia tampaknya telah



94



mengabaikan untuk mempertimbangkan responsibilitas yang ditempatkan oleh seni pada mereka-mereka yang tercerahkan. Tampaknya ia telah melupakan makna sosial humanistik yang dimiliki oleh pencerahan artistik. Sementara itu, bagi masyarakat, seni bersifat normatif sekaligus tipikal, tidak cuma saat ia mengesahkan gagasan-gagasan dan norma-norma humanistiknya, tetapi juga saat ia menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru, termasuk juga moral, juga cara berpikir dan merasa, yang bisa diterima dan dihargai. Seni menjadi sebuah faktor sosial ketika masyarakat menjadikannya sebagai faktor sosial; seni berevolusi setelah ia sendiri menjadi sebuah kekuatan revolusioner. Tetapi, jika pengaruh masyarakat pada seni seringkali tetap tak terungkap dan tak terlihat, efek seni (betapapun kecilnya) mau-takmau akan tampak ‘mencolok’ mata. Itu sebabnya, seni bersifat immaterial, terlepas apakah dampak finalnya tetap tersembunyi di dalam pangkuan masyarakat atau apakah ia akan terungkap; karena tujuan dan arahnya bersifat jelas dan langsung terasa. Efek sosial seni, juga perannya sebagai faktor dalam produksi masyarakat, tampak paling jelas saat ia menjadi kekuatan pendorong dari gangguan, pembaharuan, dan perubahan revolusioner dan mengekspresikan aspirasi yang menggugat keteraturan yang ada dan mengancamnya dengan sebuah penghancuran. Tetapi, seni tampaknya juga berperan sebagai penenang, untuk menstabilisasi kondisi yang ada, dan untuk menstabilkan konflik-konflik yang meletus, tak hanya saat ia mencoba muncul sebagai sebuah apologia untuk merekonsiliasi strata masyarakat yang lebih luas (dengan ideologi yang lebih terbatas), tetapi juga pada saat ia menegaskan prinsip-prinsip seleranya yang seringkali merupakan sebuah apriori (suatu syak wasangka) yang merangkul-semua,



95



dibandingkan dengan struktur-struktur ideologis lainnya, dan yang bersifat lebih cocok untuk mendatangkan keharmonisan dalam strata kultural yang heterogen. Tetapi, akan menjadi suatu hal yang sifatnya romantisis murni, untuk mengabaikan fakta bahwa seni bersifat memisahkan (sesering ia menyatukan), semata karena ia memisahkan orang-orang menurut karya apa saja yang mampu mereka apresiasi dalam berbagai lingkungan yang berbeda, dalam proses di mana ia sama sekali bukan merupakan karya terpenting yang memiliki pengikut terbanyak. Akan tetapi, hal yang berkebalikan dari itu tampaknya menjadi aturan yang berlaku. Nilai estetik dan fungsi penentu sosial dari hasil-hasil artistik—dalam hubungan ini pula—berdiri dalam sebuah proporsi yang berlawanan satu sama lain. Bukanlah Richardson, bukan pula Jane Austen, Béranger, Baudelaire atau Alfred de Vigny, yang memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pembentukan masyarakat mereka. Dalam berbagai kasus, adalah keliru untuk menganggap pribadi seniman sebagai faktor sosial positif yang benar-benar bekerja sebagai semacam pelipur sosial, sama kelirunya untuk memandang seni secara takbersyarat sebagai elemen penghibur dan pemersatu dalam masyarakat. Dalam banyak hal, seni dengan jujur tampil sebagai sebuah kekuatan yang memusuhi masyarakat, sebuah sumber perselisihan, disintegrasi, dan keretakan. Jika seniman tampak menaruh perhatian pada masyarakat yang harmonis, ia secara umum hanya berpikir akan suatu kebulatan yang mengikutinya; ambisinya mendorongnya untuk membedakan diri dari yang lain, untuk menjadi unik dan tak terbandingkan. Perjuangannya menuju kesuksesan ditentukan oleh rasa iri hati, kecemburuan, juga sentimen yang ia tujukan pada saingan, kritikus, maupun lawan-lawannya, sama seringnya perjuangan itu ditentukan oleh hasrat akan simpati, solidaritas, dan pemahaman dari semua lainnya. Sejak periode romantik, 96



seniman—dengan subjekivitas, kondisi patologisnya sebagai orang asing di luar masyarakat, kurangnya fungsi publik di dalam diri, serta alienasi fatalnya—telah menjadi makhluk asosial yang murni dan sederhana, prototipe dari pribadi yang mempunyai hakhak istimewa, yang dalam masyarakat mempunyai hak untuk menjalani semacam eksistensi ekstrateritorial. Tak ada yang lebih signifikan bagi situasi sosial yak tak stabil dan nilai yang senantiasa dipertanyakan dari keberadaan semacam ini, ketimbang makna kompleks dari prinsip l’art pour l’art (seni untuk seni).



Permasalahan Seni untuk Seni Pertanyaan berkaitan dengan prinsip seni untuk seni merupakan permasalahan paling sulit, dan dalam banyak hal, paling menentukan di dalam sosiologi seni, lantaran klaim disiplin prinsip itu terhadap validitas ilmiah, yang akan bangkit atau jatuh menurut jawaban yang tersedia untuknya. Jika posisi “seni untuk seni” bisa dipertahankan dan sebuah karya seni dinilai sebagai sebuah sistem tertutup yang sifat mikrokosmiknya terancam oleh segala jenis hal yang transendental, oleh segala pelanggaran terhadap berbagai batasannya (sekecil apapun itu), maka klaim bahwa makna dan tujuan seni bisa ditentukan secara sosiologis, akan tampak tak sah dan tak dapat dilaksanakan. Apakah esensi dan nilai sebuah karya seni akan ditemukan di dalam struktur inti dan daya pikat sarana ekspresinya—yakni, dalam hubungan resiprok dan proporsi elemen-elemen konstitutifnya, varietas dan semangat yang hidup dalam wujud optik dan akustiknya, dalam struktur harmonis dan élan melodisnya, kehebatan warna dan musik bahasanya? Ataukah, esensi dan nilai karya seni terletak di dalam fungsi-fungsinya—sebagai sebuah 97



ajaran, sebagai seruan dan amanat, sebagai interpretasi, sebagai kritik dan koreksi atas hidup? Dengan kata lain, apakah seni sekadar sebuah sarana sampai pada sebuah titik yang berada di luar batasan-batasan sekaligus lingkup estetisnya sendiri? Pertanyaan itu berujung pada apakah seni adalah sebuah tujuan dan maksud di dalam dirinya sendiri, ataukah ia hanya sarana untuk mencapai hasil akhir yang terletak di luar dirinya. Dari sudut pandang materialisme historis, ketidaksesuaian antara fungsi sosial dan estetis terkait dengan kontradiksi yang mungkin terdapat di antara signifikansi artistikkualitatif dari sebuah karya dan keserasiannya dengan pemenuhan berbagai kewajiban sosial dan moral. Sebuah lukisan mungkin saja dilukis tanpa cacat, namun di sisi lain sama sekali bersifat acuh terhadap sekelilingnya; sebuah novel boleh jadi ditulis dengan sangat brilian, namun di satu sisi juga bersifat sembrono dan merusak akhlak. Nilai kebermanfaatan sosial, juga nilai moral dan kemanusiaan sebuah karya seni tak ada kaitannya dengan imoralitas yang mungkin dimunculkannya dalam pengertian yang lazim. Yang memberikan signifikansi sosial, moral, dan kemanusiaan pada sebuah karya seni bukan terletak pada motif-motif, aksi, karakter-karakter, ataupun maksud implisit yang dikandungnya, melainkan pada kecerdasan dan ketegaran—singkatnya, dalam kematangan spiritual yang digunakan untuk mendekati berbagai permasalahan dalam hidup. Seni yang tak bermakna atau tak berbobot bukanlah seni yang mengangkat kejadian-kejadian atau karakter yang dipertanyakan, melainkan seni yang mengadosi sebuah pendirian remeh-temeh dan palsu vis-à-vis tugas kehidupan, yang oleh karenanya menyesatkan orang-orang ke perkiraan fakta-fakta yang keliru atau ceroboh, dan justru membawa mereka pada penipuan-diri dan kemunduran. Protes terhadap doktrin “seni untuk seni” merupakan protes terhadap prinsip romantik yang menganjurkan untuk 98



melenggang pergi dari kewajiban hidup yang riil dan menghindari berbagai kesulitan eksistensi (alih-alih menggerakkan sesorang untuk berjuang melawannya), dan sebagai akibatnya, mampu menerima dan bersahabat dengannya. Tendensi struktur-struktur kultural untuk menjadi mandiri dari keadaan genesisnya, untuk menjadi bagian akhir di dalam dirinya sendiri, untuk mengobjektivikasi, memformalisasikan, dan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang konkret,



yakni



untuk



mengubahnya—dari



sarana



pemahaman



dan



kerjasama



interpersonal, menjadi sesuatu yang bernilai abstrak, apakah itu dalam wujud sebuah monumen atau pemujaan, sekarang tidak tampak di manapun selain di dalam metamorfosis karya seni dari sebuah instrument komunikasi, pembangkitan, dan pergolakan, untuk menjadi sebuah kompleksitas bentuk yang harus diinterpretasi dan dievaluasi sebagaimana adanya. Teori seni-untuk-seni ini menerima pertidaksetujuan yang paling serius dari pandangan kaum utilitarian, tepatnya karena fakta bahwa metamorfosis ini sesungguhnya bisa dicapai dan bahwa karya seni tersebut bisa dipandang sebagai sebuah struktur formal independen, yang tertutup dan kompleks di dalam dirinya sendiri, yang momen-momennya seluruhnya dapat diterangkan berdasarkan basis kohesi intinya masing-masing. Oleh karenanya, menurut doktrin seni untuk seni ini, asal-usul psikologis dan tujuan sosial-moral sebuah penciptaan artistik dinilai tidak signifikan, dan interpretasi genetis atau teleologisnya akan menjadi sesuatu yang dicela, karena hal itu tak hanya akan membuat struktur formal intinya menjadi tak terjelaskan, tetapi bahkan juga (tampaknya) akan menyembunyikan serta memalsukannya dengan menarik perhatian pada bagaimana seniman sampai pada komponen-komponen individual karyanya, alih-alih menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi tersebut saling 99



berhubungan satu sama lain. Doktrin yang berakar dari sifat ketercukupan seni dan yang berpegang teguh pada gagasan bahwa asal-usul psikologisnya adalah suatu permasalahan kelalaian, dan efek-efek sosialnya yang tak berujung menyesuaikan dengan konsep romantik, yang terletak pada seniman yang “hanyalah sekadar” pencipta karya-karyanya. Pada kenyataannya, seorang seniman tidaklah lebih eksis ketimbang seorang pembaca atau penonton, yang semata berperan sebagai penampung kesan-kesan artistik. Hanya anak sekolah dan penggemar (bukan pakar) seni yang menulis puisinya dalam vacuum (keadaan bebas dari apa-apa) semacam ini; merekalah representasi termurni dari prinsipprinsip seni untuk seni. Sementara itu, seniman yang benar-benar matang selalu bekerja di tengah-tengah situasi sosial, senantiasa meneriakkan atas orang lain (dan di saat yang sama, juga bagi dirinya sendiri). Mereka juga menaruh perhatian pada solusi permasalahan hidup yang tak hanya berdampak bagi diri mereka sendiri. Kesulitan untuk memutuskan berbagai fakta dengan tepat, muncul dari kontradiksi-kontradiksi bahwa karya seni selalu dihasilkan dari tuntutan atau kebutuhan sosial yang sifatnya interpersonal, tetapi sekaligus juga memiliki kualitas estetiknya sendiri, yakni sebuah nilai khusus yang tak terreduksi, agar ia bisa menjadi efektif. Jadi, karya-karya seni bisa dipandang, baik sebagai pemenuhan kebutuhan sosial maupun sebagai eksponeneksponen dari kualitas spesial, yang bersifat mencukupi-diri dan tidak tak terreduksi. Teori l’art pour l’art tak menghendaki adanya keterkaitan dengan berbagai kontradiksi tersebut. Ia tak hanya menyangkal kegunaan moral dan sosial dalam seni, tetapi juga segala fungsi praktis yang mungkin muncul darinya. “Tak akan ada yang menulis puisi,” ucap Eugenio Montale, “jika permasalahan sastra terdapat pada upaya untuk membuatnya (seseorang itu) dipahami.” Bahkan terdapat juga keraguan, pada 100



apakah kapasitas untuk membuat seseorang dipahami, komunikasi perasaan dan pengalamannya yang terang, terdapat dalam kekuatan seni. Apa yang ditegaskan oleh Eduard Hanslick tentang musik (di dalam Von musikalischem Schönen), bahwa keterkaitannya dengan segala sesuatu yang bersifat nonmusikal, yakni segala sesuatu yang memiliki kandungan emosional dan ideal, adalah sesuatu yang samar dan tidak menegaskan apa-apa, dan bahwa pandangan ini dalam taraf tertentu juga berlaku dalam bentuk seni apapun. Sama halnya musik yang mengekspresikan sesuatu yang tak bisa diterjemahkan dalam bentuk lain apapun, begitu juga halnya dengan sastra yang lebih mampu mengekspresikan sesuatu secara literer dan linguistik, yakni dengan menggunakan sesuatu yang terkunci di dalam kata-kata dan struktur sintaktik. Begitupun juga, kandungan tak terjemahkan dari sebuah lukisan, sebuah gagasan bergambar, sebuah visi, hanya bisa ditangkap dan dipelihara dalam bentuk-bentuk optik. Komposer berpikir dalam wujud nada, pelukis dalam wujud goresan dan warna, penyair dalam wujud katakata, gaya bahasa dan ritma. Tak diragukan lagi, hal itu tidaklah sepenuhnya benar; Bahwa akan tetap ada sebuah nilai intrinsik yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk. Tesis bahwa setiap medium seni bersifat tunggal dan homogen, bisa disandangkan sebagian pada aparatus konseptual dari teori seni untuk seni, dan berdiri dalam kebutuhan akan sebuah koreksi fundamental. Tesis ini juga terlalu tajam memisahkan bentuk dari seluruh struktur artistiknya, dan menyatakan bentuk sebagai sesuatu yang tak terreduksi, tak terjemahkan, dan tak tergantikan. Dengan adanya pemindahan realitas heterogen kepada medium homogen dari seni individual, varietas eksistensi yang membingungkan sampai taraf tertentu akan menjadi tak terkontrol, tetapi juga menjadi sesuatu yang tak 101



akan pernah berhenti. Penjelasan kreativitas artistik sebagai proyeksi dari berbagai fenomena multidimensional ke dalam sebuah taraf sederhana merupakan sebuah penjelasan yang sifatnya parsial dan metaforikal. Karena dalam proses menciptakan sebuah objektivitas yang terpadu secara sensual dari material pengalaman empiris yang semrawut, sang seniman tak cuma melihat bagaimana kaleidoskop material akan sesuai dengan kategori-kategori homogen dari suatu organ makna atau organ lainnya. Struktur homogen, sama halnya dengan struktur mikrokosmik, adalah sebuah faktor esensial dalam sebuah karya seni, tetapi bukan merupakan faktor yang harus ada; kesatuan tak lebih dari sekadar sebuah bagian dari segala bentuk artistik, ketimbang dari sebuah kelengkapan atau finalitasnya. Menurut ucapan terkenal dari Max Liebermann, sebonggol kubis yang dilukis dengan baik tentu saja lebih bernilai (dalam dirinya sendiri) ketimbang lukisan kepala Madonna yang dilukis dengan amburadul. Kepala Madonna akan menjadi lebih bernilai jika dilukis dengan lebih baik dan hanya akan menjadi sebuah objek artistik jika dilukis dengan baik. Namun, bahkan pernyataan semacam ini pun (sama halnya dengan reduksi kualitas artistik ke dalam satu medium homogen) tidak mengandung kebenaran penuh; pernyataan tersebut harus diperluas untuk menunjukkan bahwa lukisan kepala Madonna yang dilukis dengan baik mungkin saja naik ke wilayah yang semata tak bisa dimasuki oleh lukisan sebongkah kubis. Tetapi bagaimana kita bisa sampai pada pertimbangan semacam itu, yakni bahwa subjek Madonna menempati tempat yang lebih tinggi, jika kualitas lukisan merupakan sebuah kriteria nilai yang tak bersyarat? Atau sebaliknya: bagaimana bisa kita menyimpulkan bahwa kualitas lukisan menjadi suatu hal terpenting, jika Madonna—atau, dalam hal itu, elemen manusia secara umum—mewakili sebuah 102



nilai yang spesial? Di sinilah nyata-nyata terletak inkongruitas standarnya: bahwa manusia dan gambar termasuk ke dalam dua lingkup hal yang berbeda dan mewakili nilai-nilai yang tak terreduksi satu sama lain—kebesaran/keunggulan yang satu boleh jadi terikat erat dengan kesia-siaan pada yang satunya. Inkonsistensi ini bisa diwakili oleh sebuah imej: sebuah karya seni adalah bagaikan sebuah jendela yang dengannya kita bisa mengamati dunia tanpa mempertimbangkan sifat-sifat instrument observasinya, baik wujud, warna, struktur kaca beling jendela, tetapi kita juga bisa memfokuskan perhatian pada jendela tanpa harus menjadi waspada dengan wujud dan makna objek yang ditampakkan melaluinya. Dengan cara ini, akan selalu muncul di hadapan kita, dua aspek dan kita bisa bergerak kesanakemari di antara keduanya. Terkadang, kita memandang sebuah karya sebagai hasil pembuatan yang mencukupi-diri, lepas dari realitas dan semua objektifikasi lainnya, dan yang lain sebagai cermin realitas yang terikat erat dengan keberadaan manusia dan membantu kita untuk merasa, memahami, dan menilainya. Dari sudut pandang pengalaman-estetis murni, otonomi dan imanensi bentuk tampaknya menjadi sesuatu yang esensial bagi sebuah karya seni; ia hanya mampu menciptakan ilusi total dan menjadi gambaran totalitas yang kredibel saat ia memerdekakan dirinya dari segala sesuatu yang berdiri di luar lingkupnya yang semestinya. Akan tetapi, ilusi sama sekali tidak menyusun keseluruhan kandungan sebuah karya seni dan seringkali memainkan peranan yang tak menentukan bagi efek yang ia timbulkan. Seni adalah—dan akan tetap menjadi—refleksi realitas, yang mempertahankan hubungan fleksibel secara tak umum dengan realitas, sekaligus mengubah jarak darinya. Seni hanya akan eksis sejauh ia membedakan diri dari realita, pada satu sisi, dan terlibat di dalamnya, pada sisi yang lain. 103



Seni tak cuma merefleksikan tetapi juga meninggalkan dan menggantikan realitas; adalah bagian dari esensi seni untuk menjaga kesadaran refleksi, fakta penipuan-diri, yang akan tetap ada dengan secara konstan menyinggung kebenaran yang direfleksikannya. Tak ada karya seni otentik yang memiliki kekurangan akan perbedaan realitas, dan karya-karya yang paling penting seringkali merupakan diskusi langsung dari eksistensi manusia, beserta permasalahan dan tugas-tugasnya dalam kehidupan nyata. Tujuan dari karyakarya ini pastinya bukan untuk membius pembaca atau penonton, atau membawa mereka ke dalam suatu kondisi di mana ia gagal menyadari fakta atau meremehkan signifikansinya. Karya seni yang otentik sedari awal telah menolak ilusionisme yang memperdaya, yang ditimbulkan oleh mikrokosmos dan sikap artistik yang berpusat-padadiri, melalui sebuah poin yang melebihi jangkauan estetisnya sendiri. Karya-karya itu menaruh perhatian pada jawaban-jawaban terhadap permasalahan kontemporer mengenai kehidupan dan dengan pemahaman situasi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bagaimana makna bisa muncul di luar kehidupan itu sendiri? Bagaimana kita bisa berpartisipasi dalam makna ini? Bagaimana kita (hanya sebagai diri kita apa adanya) menjalani hidup yang baik dalam rangkaian waktu dan masyarakat? Keputusan akan apakah sebuah karya seni harus dipahami sebagai suatu wujud yang memenuhi-dirinya sendiri (self-sufficient), ataukah sebagai kendaraan akan sebuah seruan, tesis, atau makna, tentu saja tak selalu bergantung pada sikap sang pencipta karya. Setiap karya-penting kurang-lebih akan memenuhi kedua fungsi tersebut. Bahkan, representasi realitas yang bersifat paling politis atau penuh prasangka moral, bisa dinikmati sebagai seni murni, sebagai sebuah struktur formal yang murni, jika hal itu sepenuhnya bersifat relevan secara estetis. Di sisi lain, produk yang tampaknya paling 104



artistik sekalipun (bahkan jika kreatornya tak memiliki tujuan praktis apapun) bisa berfungsi sebagai kritik sosial tersembunyi. Aktivisme Dante tak lebih meniadakan apresiasi estetik murni dalam Divine Comedy karyanya, dibandingkan dengan estetisisme dan formalism Flaubert, yang meniadakan sebuah interpretasi sosiologis dalam Madame Bovary atau L’éducation sentimentale. Flaubert menilai dirinya sendiri sebagai representasi impasibilitas (ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi) dan dari prinsip seni untuk seni; dia beranggapan bahwa prinsip ini telah benar-benar dipenuhi oleh reproduksi-realitasnya yang termurni, tanpa adanya pembubuhan, penyensoran, atau ceramah moral. Akan tetapi, hampir seluruh karya Flaubert justru mengekspresikan filosofi hidup yang dikelilingi oleh permasalahan moral dan sosial. Madame Bovary, khususnya, jelas-jelas merupakan sebuah novel yang mengandung sebuah tujuan. Keseluruhan novel tersebut merupakan kritik terhadap romantisisme sebagai sebuah bentuk kehidupan, yakni pengungkapan akan cita-citanya yang keliru—sentimentalitas dan ekstasi pencarian-dirinya, penipuan-diri dan kebohongan-kebohongannya, berbagai pemalsuan yang dilakukannya terhadap seseorang dan realitas, yang tak semestinya kita sembunyikan, melainkan justru harus disadari. Pengalaman artistik otentik mengisyaratkan daya-tarik formal dari sarana yang digunakan, kesempurnaan teknis pelaksanaannya, dan efek sensual langsung yang ditimbulkan oleh warna, nada, atau kata-kata di dalamnya. Prasyarat bagi kualitas artistik dan fungsi yang harus dipenuhi oleh seni merupakan bentuk keberhasilannya. Semua bentuk seni berangkat dari sini, meski jika mereka semua tak akan berakhir padanya. Tanpa wujud pemuas, seni tak bisa berhubungan dengan tugas ekstra-estetik apapun. Efek artistik tentunya juga memiliki ambang penerimaan syarat estetik, sebuah titik 105



minimum formal yang yang harus dicapai supaya karya tersebut memasuki lingkup seni, tetapi yang juga jauh dari kondisi “cukup” baginya untuk menembus wilayah-wilayah seni yang tertinggi dan terdalam. Fakta bahwa apa-apa yang benar dan tepat dari segi politis, sosial, dan kemanusiaan, hanya bisa direalisasikan dalam karya yang (secara formal disebut) sukses, bukan merupakan keunggulan aksiologisnya, melainkan sekadar sine qua non (syarat mutlak) ontologis dari kualitas estetisnya. Nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang tak muncul di dalam bentuk yang sukses secara estetis merupakan suatu noneksisten secara artistik. Prioritas wujud di atas kandungan di sini tidaklah menandakan sebuah formalisme satu-sisi, melainkan justru sekadar berarti bahwa bentuk dari transmisi kandungan (isi) harus tersedia dan bisa digunakan oleh sang seniman. Di samping itu, keunggulan aksiologis dari “isi” tidak mengurangi pentingnya “bentuk”, karena di sini kita berhubungan dengan kandungan yang hanya bisa diekspresikan secara memadai dalam suatu bentuk tertentu dan bukan dalam bentuk yang lain, dan yang (dalam rangkaian prosesnya) mengalami perubahan sebanyak yang dialami oleh bentuk yang digunakannya. Yang membuat seseorang menjadi seorang “seniman” bukanlah hal yang sedang ia coba untuk lukiskan, untuk ia rekomendasikan, dan untuk ia puja, melainkan pada cara bagaimana ia melakukan kesemuanya itu. Tetapi, yang membuat seseorang menjadi seniman besar adalah hal, di mana ia berdiri untuknya, dan untuk itu ia mau mendayagunakan bakatnya. Identifikasi bentuk dan isi terletak terutama pada ketakberpisahannya, bukan pada sifat konsubstansialitasnya (konsubstan=mengandung unsur-unsur yang sama dengan yang lain). Bahkan bagi Marxisme, betapapun problematisnya identifikasi keduanya, keduanya paling terlukiskan oleh fakta, bahwa pemisahannya terhadap satu sama lain 106



akan (pertama-tama) dianggap sebagai sebuah pembagian tugas. Tetapi, fungsi terpisah mereka dalam pemenuhan pencapaian artistik tak ada hubungannya dengan “pembagian/pemisahan tugas” dalam pemahaman Marxisme dengan alasan sederhana, bahwa pembagian tersebut tidak terjadi pada sebuah moment yang telah ada tetapi sejak semula merupakan proses dialektika estetik. Sintesis dari bentuk dan isi tidak mengeliminasi, melainkan sekadar menangguhkan antagonismenya. Dugaan akan keadaan pengabaian yang ada di antara keduanya sering dianggap sebagai mediasi antara sebuah prinsip formal intelektual dan sebuah prinsip sensual, material yang manusiawi. Mediasi ini telah disebut—sebagai contohnya—sebagai tahap simbolis, oleh Goethe, tahap khusus oleh Hegel, dan (dalam pengertian yang sama) tahap tipikal, oleh Lukács. Bentuk dan isi adalah dua hal yang benar-benar berbeda—yang paling masuk akal untuk tampak berbeda—meski mereka hanya bisa dipahami dalam kaitannya satu sama lain. Perbedaan keduanya (bahkan sifat-sifatnya yang bertentangan) tak serta-merta bisa dihapuskan dari seni, yang mungkin didefinisikan sebagai sebuah ketegangan yang ada di antara keduanya. Tak ada satupun karya seni yang semata murni bentuk ataupun murni isi. Keinginan Flaubert untuk menulis sebuah buku tanpa suatu objek, yakni sebuah buku tanpa kandungan yang akan menjadi suatu bentuk murni, akan selamanya menjadi sebuah khayalan; dalam berbagai kasus, hal semacam itu hanya akan menjadi sekadar latihan lima-jari sebagaimana seluruh formalisme murni lainnya. Kandungan (isi) tak akan pernah bisa “dihapuskan dari Bentuk”, ujar Schiller. (73) Sama halnya ketika setiap objek artistik hanya menciptakan kesan melalui wujud yang ia gunakan, bahkan bentuk yang paling sederhana dan mendasar memperoleh efeknya dari ketegangan antara kebutuhan untuk mengekspresikan isi dan upaya formal untuk pengekspresiannya. 107



Sebuah bentuk bisa dibilang berhasil jika ia berhubungan (dalam taraf tertentu) dengan isi yang diekspresikannya. Bentuk tak akan pernah menjadi sekadar fungsi subject matter (permasalahan)nya: sedangkan bentuk-bentuk tertentu boleh jadi akan ditiadakan sebagai sesuatu yang tidak layak. Jadi, akan ada lebih dari satu bentuk yang mampu mengekspresikan permasalahan khusus yang serupa. Cara di mana seniman mengungkapkan sesuatu terikat erat dengan apa yang harus ia katakan. Jika seorang seniman modern, sebagai contoh, mengekspresikan dirinya sebagai sesuatu yang “tak bisa dipahami”, boleh jadi inkomprehensibilitas (ketakterpahaman), ketakterucapan, dan ambiguitas dari bahasa formalnya merupakan hal yang tak terpisahkan dari permasalahan yang ia angkat. Teapi, bahasa yang ia gunakan harus menjelaskan bahwa ia hendak mengekspresikan sesuatu yang tak jelas dan tak bisa dijelaskan. “Oedipus Complex” Hamlet tak akan dinamai semacam itu jika saja Shakespeare bisa menamainya dengan jelas. Kita juga hanya mampu memaknai cinta Pangeran Myshkin pada Nastasya Filippovna sebagaimana yang digambarkan oleh Dostoevsky kepada kita sebagai pembaca. Tak seorangpun yang bisa memastikan lingkup di mana cerita-cerita Franz Kafka bisa diperankan dengan lebih tepat, ketimbang oleh penulisnya sendiri. Suatu elemen material tentunya akan terungkap lebih dulu oleh sarana-sarana formal, sama halnya bentuk akan pertama kali muncul saat ia dihadapkan pada latar-belakang material. Tujuan dari upaya artistik tampaknya merupakan kesegeraan total dari isi dan bentuk, gabungan absolut dari pikiran dan perasaan yang dikomunikasikan dalam medium komunikasi. Meski demikian, hal itu tetap merupakan sebuah tanda dari apa yang sifatnya artistik, bahwa bentuk bukanlah isi, dan isi pun juga bukan bentuk.



108



Kemunculan/gabungan satu prinsip dengan prinsip yang lainnya tak lebih dari sekadar ekspresi metaforis figurative bagi akomodasi mutualnya. Seni jelas-jelas berubah saat terjadi perubahan isi. Sebuah konsep moralitas, kewajiban, atau penghargaan yang sifatnya baru, boleh jadi akan benar-benar mengubah bentuk dramatisnya. Sebuah pandangan baru akan dunia bisa mengakibatkan perkembangan novel dari segi epos; sebuah bentuk sensibilitas yang baru boleh jadi akan memunculkan cara ekspresi liris yang baru. Tetapi, bentuk tetap mengandung arti sesuatu di luar tingkatan material, sesuatu yang tak bisa direduksi pada material, dan sesuatu yang tak bisa diambil darinya. Bentuk bisa mengandung elemen-elemen spontan, tetapi ia juga merupakan suatu rintangan, perbatasan, dan bahkan juga antithesis dari spontanitas itu sendiri. Proses dialektis merupakan pola fundamental di mana paradoks-paradoks— resiprositas tunggal dari bentuk dan isi beserta ketakterpisahan mereka, juga kurangnya identitas yang resultan, keunggulan dari apa yang dialami dan apa yang material, juga desakan mutlak dari elemen formal—termasuk di dalamnya dan di mana mereka akan selalu berada. Bentuk dan isi terstimulasi dan termajukan satu sama lain dalam perkembangannya. Kelengkapan formal akan dicapai saat suatu isi ditolak, dan dengan demikian apa yang tersisa menjadi sesuatu yang bisa dilukiskan. Perkembangan bentuk dan isi merupakan serangkaian pertanyaan dan jawaban, dari permasalahan yang lebih menjerat dan dari solusi yang sifatnya lebih tak-terjangkau, juga dari persangkaan yang lebih terbedakan, dan efek-efek yang jauh lebih rumit. Untuk menyebut proses ini sebagai kemunculan yang satu ke dalam yang lainnya tak cuma tidak menjelaskan apa-apa, tetapi juga menyembunyikan fakta bahwa meski bentuk dan isi bisa memengaruhi satu sama lain, mereka juga tak akan pernah bisa berubah dari satu ke yang lainnya. 109



Akan bisa dibenarkan sepenuhnya untuk mempertanyakan, akan tenggelam menjadi apakah nantinya, karya-karya tragedi Yunani atau Shakespeare, juga Divine Comedy atau Don Quixote, novel-novel Dostoevsky atau Tolstoy, jika mereka ditarik dari kandungan moralnya. Juga, akan jadi apa nantinya jika kita hanya menarik signifikansi moral darinya. Jawaban stereotip bahwa bentuk dan isi bersifat tak-terpisahkan satu dengan lainnya tentunya akan menjadi hal yang tak sepenuhnya memuaskan. Memang ada contoh-contoh tak terhitung dari keberhasilan formal dari seni di mana kandungannya tak memiliki signifikansi tertentu, tetapi tak ada karya yang menerima nilai artistiknya sepenuhnya dari signifikansi, sebesar apapun kita menilai bagian kandungannya dalam peningkatan nilai formalnya. Sebuah puisi yang bernilai secara artistik terdiri dari sejumlah larik yang cemerlang, namun larik-larik yang cemerlang itu tidak menghasilkan sebuah puisi yang bernilai, apalagi signifikan. Perbedaan antara sarana artistik dan makna isi, yang diajukan dengan begitu menarik oleh Valéry, memiliki sejarah yang panjang. Tampaknya, ia bermula pada konsep arkhaisme (ungkapan kuno) Yunani yang berkaitan dengan gagasan (yang pada masa itu tentu saja tidak begitu dikembangkan) bahwa karya seni bukanlah sebuah sarana pada akhirnya, yang sampai pada poin tersebut mereka tampak eksklusif sebagaimana adanya, tetapi bahwa mereka adalah maksud dan tujuan dalam diri mereka sendiri. Sebelumnya, segala bentuk seni merupakan seni terapan, yakni perangkat magis dan agama, sarana untuk mempengaruhi dewa-dewa, roh-roh, dan masyarakat; pada titik sejarah ini, dalam bagiannya, seni menjadi bentuk yang murni tak-memihak—seni demi seni itu sendiri, dan demi keindahannya. Segera setelah sikap-sikap tersebut dipisahkan satu dari yang lainnya, dan pengetahuan akan dunia yang sampai sekarang ini tak 110



terbedakan membagi secara adil pada sektor-sektor budaya individual, jarak antara realitas praktis dengan lingkup etis-relijius, filosofis-ilmiah, dan juga dalam lingkup artistik evokatif (membangkitakan ingatan) maupun dekoratifnya, mulai meluas. Tetapi, pemerdekaan wilayah-wilayah budaya individual (khususnya seni) dari totalitas praktikalitas tak pernah benar-benar dicapai, dan bahwa perjuangan untuk re-kreasi dari gambaran semesta yang terpadu dan telah tertutup diperbarui secara konstan. Tak ada suatu karya seni asli sejati yang semata dialami dalam kontemplasi, dalam penerimaan pasif, dan hanya dengan penikmatan “tak memihak” akan bentuk artistiknya. Bahkan struktur musik yang murni (yang tak memiliki kandungan konseptual atau objektif) adalah lebih dari sekadar “bentuk”; mereka pun juga membutuhkan (di dalam subjek reseptifnya) sebuah kesiapan dan kecenderungan untuk mengangkat suatu sikap yang lebih terbuka, lebih langsung dan lebih baik, terhadap takdir manusia; mereka juga menghadirkan tantangan moral dan humanistis dan menghadirkan sebuah gambaran akan keberadaan yang masuk akal dan yang telah mencapai tujuan dan titik penyelesaiannya, yakni sebuah keberadaan yang telah dikuasai dan dikendalikan. Nature dari aktivitas yang menghasilkan bentuk yang dengan sendirinya memuaskan dan yang telah disebut sebagai “self-rewarding” (berharga dengan sendirinya) memainkan peranan yang besar dalam kreativitas artistik sejati. Tetapi, jika satu-satunya motif adalah kepuasan dan sang seniman kehilangan seluruh minat dalam karyanya—sama seperti monyet-monyet yang bosan dengan permainannya segera setelah permainan itu berakhir—dia hanya sekadar membebaskan energi (dalam pengertian biologis) atau menumpahkan mimpi-mimpi, fantasi, dan semangatnya yang bergelora, dalam pengertian teori pertunjukan; singkatnya, aktivitasnya terkait erat dengan teori seni 111



untuk seni. Sejarah seni menawarkan rangkaian contoh-contoh yang hampir tak terceraikan dari ketidakcukupan dari bentuk-bentuk “bermain-main” ini. Contoh terbaik untuk menyangkal teori seni untuk seni dan pertunjukan tersebut tampak pada aktivitas kreatif David, yang sangat representatif secara sosial dan formal, yang karya-karyanya menunjukkan nilai-nilai artistik dan politik praktis yang senantiasa lekat satu sama lain. semakin kuat karyanya berakar secara sosial, maka semakin terang-terangan pulalah ia mengasah bakatnya, sampai pada kualitas karyanya yang lebih tinggi. Jawaban akan permasalahan hidup yang mentransendensikan seni—pertanyaan akan makna, nilai, dan tujuan dari keberadaan manusia—dan jalan menuju solusinya, tak cuma tak terpisahkan dari kriteria-kriteria formal pencapaian artistiknya, tetapi juga seringkali disyaratkan oleh bentuk itu sendiri. Dalam kasus seorang pelukis seperti Greuze atau seorang komposer semacam Tchaikovsky, tidaklah sulit untuk mengaitkan banalitas (kedangkalan) ide-ide dengan trivialitas (kesepelean) bentuknya; tetapi bagaimana kita bisa mendeskripsikan signifikansi universal dari karya seni Bach atau Cézanne, di mana kita tak bisa menunjuk pada kandungan sifat humanistiknya tanpa melibatkan diri kita sendiri dalam metafor-metafor dan pembangkitannya yang bermakna? Jawaban dari permasalahan hidup yang harus dipecahkan, daya tarik, pesanpesan bagi umat manusia terkandung di dalam struktur formal karya tersebut. Karena struktur karya tak sekadar merepresentasikan solusi dari pemasalahan teknisnya, tetapi juga menyampaikan penguasaanya akan berbagai pengalaman yang buram dan menyesatkan, termasuk juga perasaan-perasaan tak terucapkan dan membingungkan. Dalam sebuah karya seni yang penting, eksistensi dihindarkan dari sifat-sifat kebingungan dan kesementaraannya: fragmen-fragmennya yang terputus dan tercerai112



berai muncul ke dalam sebuah pola yang bijak dan terstruktur dengan jelas. Jika berbagai kontradiksi intinya tidak selalu mengatur untuk memuaskan harmoni, berbagai kontradiksi maupun konflik yang mengisi karya tersebut tidak akan ditekan dan didiamkan, melainkan justru ditampilkan sebagaimana adanya, dan krisis yang mendasarinya akan muncul ke permukaan. Resolusi dari ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis ini tak serta-merta berarti bahwa sang seniman telah berhasil mengalahkan kekacauan yang memunculkan penderitaan tersebut, bahwa dia telah mencapai sebuah keberhasilan formal yang berdampak pada dirinya sendiri; kemenangannya itu juga berdampak pada pendengar atau penonton dengan sebuah kekuatan yang memurnikan dan sebuah desakan di mana tak akan ada manipulasi yang dimunculkan oleh “bentuk” (semata-mata sebagai bentuk itu sendiri). Siapapun yang membuat pendekatan secara tepat terhadap berbagai karya, akan merasa terinspirasi untuk mengukur hingga sampai pada tuntutan-tuntutannya, bahwa dia akan memandang hidup dan dirinya sendiri dengan serius, bahwa dia akan sampai pada sebuah pemahaman akan dirinya sendiri untuk mengatur keadaan di dalam hidupnya, untuk membersihkan segala yang ambigu dan suram, baik pada dirinya sendiri maupun lingkungannya, sama halnya yang dilakukan oleh sang seniman (sebagai pencipta karya tersebut) terhadap hal-hal duniawi. “Keteraturan” sang seniman tampaknya tak sekadar suatu estetik formal, tetapi juga merupakan sebuah pencapaian moral. Keteraturan tak bisa serta-merta habis oleh bentuk pengalaman sensualnya. Setiap karya seni yang riil (sebagai sebuah struktur formal) merepresentasikan penolakan terhadap teori seni untuk seni. Daya tarik moral dan pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan oleh tidaklah terdiri dari rekomendasi-rekomendasi istimewa dan menyatakan berbagai larangan, 113



melainkan pada seruan untuk mengadopsi sebuah sikap serius, tenang, dan masuk akal, terhadap dunia, kehidupan, dan segala sesuatu yang hidup bersama dengan yang dinyatakan oleh orang-orang lainnya. Seni menantang kita untuk ikut serta dan melakukan reformasi, tetapi ia tak melakukannya dalam suatu cara langsung atau melalui bentuk-bentuk konseptual abstrak. Seni memanfaatkan citra-citra konkret yang bisa diapresiasi oleh indera, sebagai contoh, saat Rilke mendeskripsikan “Torso arkhaik Apollo” (arkhaik=kuno) sebagai salah satu symbol nilai-nilai dan perintah yang dipersonifikasikan oleh seni. Kita tak bisa mengukur “kepalanya yang tak terceritakan” tetapi ia tetap “bersinar bagai kandelabra” (kandelabra=tempat lilin yang memiliki sejumlah cabang/gagang pegangan); lekuk dadanya membutakan kita dan dalam “gemulai tubuhnya”, terdapat sebuah “senyuman yang ditujukan di tengah, di mana ia menampakkan kejantanannya”; batu itu memang tampak jelek, tetapi berkerlap-kerlip bagaikan “kulit bulu pada dada si mangsa” dan tiba-tiba terbuka “keluar, bebas lepas dari segala ikatan, bagai sebuah bintang”—“tak ada tempat yang tak menghadap ke arahmu”. Segala sesuatu menjadi tampak dan terlihat jelas dan transparan. Segala sesuatu berbicara padamu, tetapi ia hanya berbicara sebagai sebuah bentuk, sebuah kurva, sebagai perputaran, sebagai kulit bulu yang berkilauan, dan bintang yang cemerlang. Apa yang dimaksud si penyair dengan semuanya itu adalah ajaran yang terkandung di dalam setiap karya seni sejati—“kamu harus mengubah hidupmu”—dan ini harus dibaca dimanapun juga antara baris-barisnya tetapi hanya diucapkan secara langsung pada akhir puisi tersebut. Tuduhan bahwa kita tak bisa meneruskan hidup dengan cara yang kita jalani hingga saat sebelumnya, hasrat untuk merealisasikan dalam eksistensi keseriusan kita



114



sendiri, keteraturan, dan pesona dari sebuah karya seperti torso ini, merupakan nilai tertinggi dari sebuah pengalaman artistik. Setiap karya seni mewakili sebuah citra dari aspirasi dan gagasan kehidupan. Setiap masing-masing adalah pemenuhan akan sebuah harapan, semacam legenda atau utopia, bahkan saat ia melukiskan gambaran eksistensi termurung sekalipun; itu akan membuka dunia yang lebih bijak, dan bisa dimengerti, sesuatu yang tanpanya akan menjadi hal yang tak bisa didekati, suatu dunia di mana manusia menjalani kehidupan yang sesuai dengan keberadaannya sebagai seorang insan, kemampuan-kemampuannya, beserta seganap kapasitasnya. Bahkan sebuah bentuk seperti tragedi juga dapat “meningkatkan” hidup, karena di dalamnya terdapat prinsip inkonsistensi dan keperluan, di mana yang lainnya hanya terdapat ketidakteraturan dan kekacauan. Tragedi pun memiliki karakter ideal: ia mengkonstruksi sebuah dunia di mana norma-norma yang tegas, tak berubah, jelas, juga prinsip-prinsip keteraturan yang tak termusnahkan mendominasi, di mana seseorang beserta seluruh takdir, sekejam apapun itu, dan di mana perasaan-perasaan, keputusan, dan tindakan-tindakannya tidak bergantung pada kesempatan, mood, dan perubahan pikiran yang datang sekonyong-konyong. Dalam tragedi-lah, sifat-sifat yang tak bisa dipertahankan dari teori seni untuk seni dan relevansi humanistic dan moral seni terungkap dengan paling jelas. Gagasan katarsis yang mengelilingi tragedi, terletak dalam pengertiannya sebagai sebuah nasihat/peringatan, yakni “kamu harus mengubah hidupmu”, yang merupakan aksis dari seluruh pokok/arti artistiknya. Akan tetapi, hal itu menjadi sesuatu yang dipertanyakan, terutama pada apakah kita bisa beranjak sejauh berkaitan dengan fungsi praktik seni—daya tarik manusiawi dan 115



pesan sosial sebagai kendaraannya—untuk bisa melihatnya di dalam kualitas estetisnya, segala sesuatu yang lebih dari sekadar bujukan. Keindahan sebagai umpan semata akan berkaitan dengan pandangan alam, di mana bunga tampak berwarna-warni dan buah beri tampak merah supaya bisa memikat kawanan burung dan lebah. Dalam hal ini, Freud menyederhanakan hubungan antara efek estetik dengan efek praktis yang dimunculkan oleh seni saat ia menginterpretasi penikmatan artistik sebagai sebuah kenikmatan seksual yang menempatkan sebuah premi atas kopulasi. Tetapi, saat ia mendeskripsikan kenikmatan estetik sebagai pra-kenikmatan (Vorlust) yang mempersiapkan jalan bagi jiwa untuk melepaskan diri dari ketegangan-ketegangan intinya—yang diduga sebagai tujuan seni—dia tidak menegakkan prinsip, bahwa setiap pengalaman artistik harus menimbulkan efek yang membebaskan, tidak juga bahwa pengalaman tersebut semata terdiri dari pra-kenikmatan. Dia hanya sekadar menjelaskan bahwa kenikmatan estetik bisa memenuhi berbagai fungsi yang bahkan tak diperdulikan oleh subjek kreatif ataupun reseptifnya. Terlepas dari simplifikasi hubungan antara fenomena-fenomena praktis dan estetisnya, penjelasan tersebut tidak berbeda secara esensial dari doktin sosiologi seni, yang menyatakan bahwa seniman itu sendiri tidak selalu sadar akan adanya efek praktis dari seni yang diciptakannya dan tak mesti bertujuan akan hal itu. Bahwa seni harus melayani tujuan-tujuan yang ada di luar kualitas estetiknya sendiri, dan bahwa seniman— secara sadar ataupun tidak—digerakkan oleh motif-motif yang berada di luar lingkup seni. Sama halnya dengan materialisme sejarah yang bisa benar-benar berdamai dengan ketidakcocokan antara nilai-nilai sosial dan estetis, begitu juga halnya dengan alasan/pijakan yang sama di mana seniman dan masyarakatnya bertemu, yang lebih luas 116



dari sekadar pihak politis atau kelas sosial tertentu yang melingkupinya. Penolakan terhadap sudut pandang seni untuk seni dan perasaan yang sama akan hic tua res agitur tidak mensyaratkan bahwa audiens akan mengasingkan dirinya dari pandangan politik si penulis, ataupun—sebagaimana yang diusulkan oleh Diderot—merasakan solidaritas kelas dengan karakter yang diciptakan di situ. Adalah humanisme, humanitas, ketulusan tujuan, perasaan kebertanggungjawaban, dan juga kejujuran intelektual sang penulis-lah, yang mengizinkannya untuk menaruh minat pada subjek, problematika, dan nasib/takdir dari karakter-karakternya, yang mungkin (kurang-lebih) juga asing secara sosial baginya. Memang sejauh itulah sulitnya mendirikan sebuah komunitas, dan mensyaratkan peranan yang lebih jauh pada sisi penulis, di saat jarak ideologis antara sudut pandang si penulis dengan ideologis subjek reseptifnya juga semakin lebar. Empati, solidaritas, dan pemahaman estetis pada sisi masyarakat membentuk sebuah fenomena kompleks yang tak umum, yang seringkali dihasilkan semata sebagai hasil dari motif-motifnya yang saling berlawanan. Pembaca, pendengar, atau penonton seringkali harus berjuang dengan sama kerasnya untuk mencapai pandangan yang layak akan karya tersebut, sebagaimana yang harus mereka lakukan untuk sampai pada sebuah sikap sosial yang sesuai, atau perkiraan yang tepat dari kepentingan-kepentingan dan problematikanya sendiri. Seperti halnya perjanjian sosiopolitis yang dibawa oleh produsen (karya seni) antara aktivitas propagandistik dan kewajiban ideologisnya, begitu juga halnya dengan simpati yang dibawa oleh subjek reseptif antara solidaritas kelas tak sadar dan kesadaran yang tak terhitung, atau kecenderungan-kecenderungan, aspirasi, dan tingkatan kehendaknya yang terendah yang sifatnya setengah-sadar. Baik penghasil maupun penikmat sebuah karya tergabung bersama secara ideologis dalam sebuah cara yang kurang-lebih bersifat



117



ambigu, dan jaringan ini sering diperbolehkan untuk menegaskan dirinya sendiri hanya dalam alasan resistansi internal dan eksternal yang kuat. Akan tetapi, jika suatu ideologi tertentu (bahkan jika ia disembunyikan atau ditekan) akan tampak kentara di balik setiap kreasi artistik, kita bisa membahas perjanjian hanya saat sang seniman berdiri secara sadar (dan tanpa oposisi inti) di atas sebuah citacita sosiopolitis. Dia—tanpa dakwaan apapun—boleh jadi menghasilkan propaganda bagi berbagai kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin beberapa di antaranya benarbenar asing baginya, dan dia boleh jadi secara sadar memalsukan kebenaran atau membengkokkan keadilan. Dia terikat hanya saat ia mengidentifikasikan dirinya dengan ideologi yang ia tegaskan dalam karyanya. Identifikasi ini mungkin merupakan hasil dari sebuah hubungan-rumit yang ekstrim, antara faktor-faktor yang bertentangan, betapapun ambigu sudut pandang finalnya, dengan identifikasi pembaca dengan karakter-karakter dalam sebuah drama atau novel, bergantung pada kompleksitas dan motif-motif antagonisme-nya yang serupa. Interpretasi pembaca sering bergerak, dari suatu level ke level yang lain; di mana pada setiap level kesadaran yang dikembangkan dengan lebih tinggi, mungkin akan terdapat sejumlah aspek yang berbeda. Mungkin Machbeth adalah seorang pembunuh yang menjijikkan, sedangkan Othello adalah si bodoh yang egois, Lear adalah si tua tolol, Hamlet seorang sadis yang berbahaya, sementara Antony adalah alat permainan (bulan-bulanan) seorang sundal; tetapi mereka semua merupakan sosoksosok ideal, penjelmaan dari kekuatan tak tertolak dari sebuah kehendak tetap, contoh dari kesetiaan pada sebuah penyebab, betatapun penyebab itu bisa dipertanyakan dan seberat apapun penyebab itu terbebani olehnya sendiri. Hubungan antara produsen dan konsumen (karya seni) berkembang menjadi semakin rumit pada saat simpati dan 118



solidaritas ideologis saling berkonflik. Kaum borjuis yang keras kepala mendapati para penulis seperti Stendhal, Flaubert, Baudelaire, Proust, dan Kafka sebagai orang-orang yang menjijikkan; tetapi, di atas semua perbedaan mereka, masing-masing penulis tersebut tetap terikat erat dengan kaum borjuis itu sendiri; tak satupun dari mereka yang bisa benar-benar berhasil menyangkal ideologi borjuis mereka. Salah satu alasan mengapa solusi fundamental terhadap permasalahan seni untuk seni menjadi suatu hal yang sulit, terletak pada fakta bahwa seni memang berbeda dengan sendirinya dalam kaitannya dengan jangkauan-jangkauan wilayahnya yang mungkin, sarana ekspresi mereka, juga fungsi sosialnya. Kepentingan-kepentingan, pendirian, komitmen, dan usaha-usaha yang diekspresikan tanpa banyak keributan di dalam sastra juga bisa dieskpresikan dalam seni murni, dan terutama dalam musik, hanya saja secara tidak langsung, dan seringkali dalam cara-cara fragmenter yang tak umum. Meski demikian, perbedaannya hanya merupakan salah satu derajatnya saja. Karena, sama halnya sastra yang mengandung elemen-elemen yang sekadar memiliki fungsi dan elemen dekoratif yang murni, tidak pasti, serta membangkitkan ingatan (yang sifatnya konseptual dan bisa dikomunikasikan segera), maka begitu pun juga halnya yang terkandung di dalam musik, di sepanjang komponen-komponen formalnya, yang tak terdefinisikan secara konseptual, selain dari yang beranjak melampaui batasan-batasan formal dan yang jelas-jelas mengandung makna manusiawi. Benar, bahwa ada sejumlah komposisi instrumental yang secara langsung bisa dikaitkan dengan suatu permasalahan tertentu, dan hal ini (jarang) menjadi yang terbaik darinya. Musik, sudah pastinya mengekspresikan suatu emotivitas tertentu ketimbang emosi-emosi khusus, dan kita tak perlu menunggu perkembangan libretto (kata-kata nyanyian) untuk mengetahui apa yang 119



akan dihadirkan oleh sang komposer. Dalam Fidelio, contohnya, kuartet G-mayor dari babak pertama telah menampakkan sublimitas karya tersebut. Selain itu, bagi seorang master sekelas Beethoven, sebuah komposisi yang mentransendensikan bentuk tak harus selalu berupa sebuah opera. Stravinsky menyatakan bahwa peran Napoleon dalam Eroica bersifat murni eksternal, dan bahwa Beethoven mungkin saja telah terinspirasi untuk menggubah karya serupa dengan motif yang berbeda. Tidak juga monarki absolut ataupun Persekutuan Suci dengan konsep kebebasan mereka yang tak-mencukupi, juga gagasan-gagasannya (akan hak asasi manusia) yang dipertanyakan, yang bisa memunculkan karya serupa ini. Siapapun yang tidak sadar akan adanya latar belakang dari penciptaan komposisi Eroica tidak bisa sampai padanya, hanya sekadar dari struktur musiknya saja; akan tetapi, Revolusi dan Napolen tak cuma menjadi milik sejarah karya seni itu, tetapi juga milik prasyarat bagi keadaan artistiknya. Diketahui atau tidak, fakta-fakta politik berada sebagai basis bagi upaya mental dari mana karya itu lahir. Setelah kita menyadari hal ini, tak akan ada lagi keraguan bahwa mereka memainkan peranan yang menentukan dalam mengaitkan elemen musik dengan elemen-elemen nonmusikal, bahkan jika mereka bukan satu-satunya pendorong bagi penciptaan karya seni tersebut.



120