Tindak Pidana Pencucian Uang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana diluar Kodifikasi



Disusun oleh : Nurmala Ita NIM 20170610141 Kelas E



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2018



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak



Pidana



Pencucian



Uang adalah



proses



atau



perbuatan



yang



menggunakan uang hasil tindak pidana. Dengan perbuatan itu, uang disembunyikan atau dikaburkan asal usulnya oleh si pelaku, sehingga kemudian seolah-olah muncul uang yang sah atau yang halal  dengan kata lain, pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang hasil kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui proses-proses sepertinya menjadi sah adanya. B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi tindak pidana pencucian uang ? 2. Apa bentuk tindak pidana asal pencucian uang? 3. Apa peran dan tugas lembaga hukum ? 4. Apa Fungsi PPATK ?



5. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana pencucian Uang ? 6. Apa jenis pemidaan tindak pidana pencucian Uang ?



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian. Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang



dan/atau



korporasi



dengan



sengaja



mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan,



menempatkan, menghibahkan,



menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau



patut



diduganya



merupakan



hasil



tindak



pidana



dengan



tujuan



menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya. Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam tiga tahap, yakni: 1. Tahap Placement Tahap dimana menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi



misalnaya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. 2. Tahap Layering Tahap layering ialah tahap dengan cara pelapisan. Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya ataupun asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain. Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi. 3. Tahap Integration Tahap integration merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pelaku melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi mengubah performance atau asal usulnya



hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari tuntutan hukum. Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Pelaku 2. Perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal). 3. Merupakan hasil tindak pidana Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan



menempatkan,



mentransfer,



membayarkan



atau



membelanjakan,



menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut. Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undangundang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima



penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan. Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; 1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini; 2. transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau 3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang



perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara. Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja: 1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana. 2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain. 3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain. 4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain. 5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.



6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana. 7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut. B. Bentuk Tindak Pidana Asal Tindak Pidana Pencucian Uang Sejak RUU Tindak Pidana Pencucian Uang diseminarkan pada tahun 2000, muncul masalah asal-usul harta kekayaan yang dicuci, yaitu berasal dari semua jenis tindak pidana atau berasal dari tindak pidana tertentu. Jadi, sebenarnya ada masalah mengenai “ Predicate Offence” (yaitu delik - delik yang menghasilkan “criminal proceeds” atau “hasil kejahatan” kemudian dicuci). Tindak



pidana



asal



intinya



adalah



suatu



tindak



pidana



tertentu



yang



hasilnyabermuara kepada tindak pidana pencucian uang. Karena telah diketahui bahwa pasal terhadap tindak pidana pencucian uang itu tidak dapat berdiri sendiri,karena harus ada kejahatan atau tindak pidana asal yang kemudian hasilkejahatan itu dicuci. Awalnya, UU No. 15 tahun 2002 ini mengambil sikap bahwa tindak pidana asal dalam undang-undang dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 2 Bab Ketentuan Umum yang terdiri dari 15 tindak pidana. Dengan dibatasinya kategori tindak pidana asal dalam undang-undang tersebut maka akan terjadi persoalan yaitu diantaranya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menentukan tindak pidana asal itu? Perlu kita ingat kembali bahwa Indonesia berusaha untuk keluar dari NCCs (non-cooperative countries) harus segera membuat ketentuan yang mengatur tentang pencucian uang. Dengan desakan dari FATF (The Financial Action Task Force on Money Laundering), mungkin dengan tergesa-gesa membuat suatu aturan secara kilat yang mengkriminalisasikan tindak pidana pencucian uang tanpa melihat kriteria-kriteria apa yang seharusnya masuk sebagai kategori kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang. Bila Indonesia tidak segera melakukan formalisasi hukum (dan kriminalisasinya) guna mencegah praktik pencucian uang (money



laudering), maka jangan heran bila Indonesia akan masuk kedalam deretan surga keuangan (money heaven. Dari berbagai sumber, memang terdapat bermacam-macam variasi “predicate offence”. Namun, untuk menentukan kebijakan sebaiknya ada kriteria atau ramburambu yang cukup rasional. Stephen R. Kroll misalnya pernah mengemukakan kriteria/rambu-rambu untuk menetapkan “money laundering predicate offenses” yaitu sebagai berikut: 1. Kejahatan (tindak pidana) adalah kejahatan yang menyebabkan timbulnya uang/dana itu. 2. Kejahatan (tindak pidana) itu berhubungan dengan perdagangan narkoba. 3. Kejahatan (tindak pidana) itu melibatkan pelanggaran-pelanggaran serius terhadap tatanan internasional yang memerlukan transfer uang yang banyak (seperti perdagangan senjata dan terorisme). 4. Kejahatan berhubungan dengan “organized criminal enterprises/activities” 5. Kejahatan itu menyerang secara serius kredibilitas bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Kriteria diatas hanya sekedar contoh,. kriteria lain dapat misalkan diorientasikan pada: 1. Delik-delik yang bersifat transnasional/internasional; 2. Delik-delik yang sangat mengganggu sistem perekonomian/moneter, baik nasional maupun internasional; atau 3. Batas maksimum ancaman pidana untuk delik-delik serius tertentu. Akhirnya, patut dikemukakan bahwa kebijakan menentukan kriteria itu pun tentunya sangat bergantung pada tujuan/strategi



kebijakan



kriminal



dan kebijakan



pembangunan nasional. Bahkan, terkait dengan kebijakan global karena ketidaksamaan “predicate offence” di antara berbagai negara dapat menghambat kerjasama internasional maupun regional dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai “transnational crime”. Seiring berkembangnya waktu, kategori tindak pidana asal dalam pencucian uang semakin diperluas dengan berlakunya UU No. 25 tahun 2003 dan terakhir di berlaku-



kannya UU No. 8 tahun 2010. Namun, masih juga banyak jenis atau kategori lainnya yang belum termasuk di dalam jenis tindak pidana asal, antara lain kejahatan transnasional lainnya, cyber crime, pembajakan kapal atau pesawat, dan perbuatan lain yang termasuk tindak pidana di Negara lain. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, perlu pemberantan pula dari tindak pidana asal karena keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Kalau memerhatikan unsur-unsur delik dalam pencucian uang, bahwa harus dibuktikan terdakwa mengetahuinya atau patut diduganya harta kekayaan itu merupakan hasil dari suatu kejahatan/tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (sikap batin jahat/kesalahannya) bukan unsur objektifnya yaitu bukan dengan membuktikan apakah kejahatan itu telah terjadi atau belum. Dalam tindak pidana pencucian uang, jika sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana pencucian uang maka tidak perlu membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal demikian sama dengan pembuktian dalam tindak pidana “Penadahan” (di dalam Pasal 480 KUHP juga mengandung unsur “yang diketahuinya atau patut di duganya bahwa diperoleh dari kejahatan). Sebagaimana kita ketahui, pengaturan terhadap pembuktian tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian telah diatur di dalam Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 yang menyatakan: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Menurut bapak Halif, S.H., M.H. Pasal 69 tersebut adalah pasal yang kontradiktif. Karena jika di dalam penuntutan dan persidangan ternyata tidak ditemukan tindak pidana asalnya, maka tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam penyidikan dimungkinkan untuk tidak lebih dahulu tindak pidana asalnya yang dipertegas dengan adanya Pasal 75 UU No. 8 tahun 2010. Jika kita kembali lagi pada rumusan dari tindak pidana pencucian uang itu sendiri berdasarkan Pasal 1 ke-1 bahwa pengertian tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuia dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Berarti dalam pasal tersebut, tidak boleh menyidik atau menuntut atau bahkan



memeriksa sebelum dibukikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate Offence). Tindak pidana asal dalam pencucian uang tidak terbatas pada wilayah dimana tindak pidana asal itu dilakukan. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf z UU No. 8 tahun 2010. Ketentuan demikian tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds from Crime yang menegaskan bahwa “tidak menjadi masalah apakah ‘predicate offence’ itu termasuk dalam yurisdiksi kriminal dari Negara/pihak yang bersang-kutan”. Demikian pula dalam “The 1991 European Communities Directive” ditegaskan bahwa tetap dianggap ada money laundering sekalipun aktivitas kejahatan yang menyebabkan timbulnya harta kekayaan yang di cuci itu dilakukan di wilayah Negara lain. Dari ketentuan diatas maka timbul suatu pertanyaan, yaitu bagaimana jika suatu tindak pidana asal itu dilegalkan oleh suatu negara? Seperti halnya di Las Vegas dan Macau suatu judi itu dilegalkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kembali kepada asas hukum pidana yaitu Asas Perlindungan atau Asas Nasional Aktif sesuai dengan Pasal 4 KUHP bahwa ketentuan peraturan perudangundangan Indo-nesia berlaku bagi setiap orang (warga negara) yang melakukan diluar wilayah Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun di dalam suatu Negara tindak pidana itu di-legalkan tapi di Indonesia di larang, maka orang atau Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dipidana sesuai dengan aturan di Indonesia. Masalah pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang sangatlah sulit. Dikarenakan kejahatan ini menggunakan suatu metode atau tahapan yang sulit dilacak. Tahapan tersebut antara lain Placement (penempatan) kemudian Layering (pelapisan) dan kemudian Integration (penyatuan) yang dilakukan menggunakan sistem keuangan khususnya perbankan.9 Maka dari itu, untuk alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang ditambah dengan alat bukti lain yaitu berupa informasi yang diucapkan, dikrimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik/alat yang serupa optik dan dokumen (Pasal 73 huruf b).



C. Peran dan Tugas Lembaga Hukum Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)



dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain: 1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; 2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang 3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; 4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa; 5. Perluasan Pihak Pelapor; 6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya; 7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan; 8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi; 9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; 10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang; 11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK; 12. Penataan kembali kelembagaan PPATK; 13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;



14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; danpengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. D. Fungsi PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Mengenai fungsi dan tugas PPATK sendiri sesungguhanya sudah di atur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.



Dimana tugas pokok PPATK



adalah memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang. Dilihat dari tugas PPATK ini maka dapat kita bagi dua, pencegahan dan pemberantasan. Dalam menjalankan tugas PPATK tersebut, maka PPATK juga memiliki fungsifungsi yang menjadi acuan dalam menjalankan tugasnya, yang tertuang dalam pasal 40 Undang-undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang 2. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK 3. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor, dan 4. Analisis atau pmeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Dalam fungsi PPATK sesuai dengan pasal 40 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan TPPU, PPATK mempunyai empat (4) fungsi, dimana dalam setiap fungsi tersebut PPATK juga mempunyai kewenangan. Dalam fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf a UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan anatara lain : 1. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola datadan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu



2.



Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan



3. Mengkordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait 4. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang 5. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang 6. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang 7. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam fungsi PPATK dalam pasal 40 huruf b UU TPPU, PPATK mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan sistem informasi, seperti yang tertuang dalam pasl 42 UU TPPU. Sedangkan dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf c, PPATK berwenang untuk : 1.



Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor



2.



Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang



3.



Melakukan audit kepatuhan dan audit khusus



4.



Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor



5.



Memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan



6.



Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor, dan



7.



Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.



Sedangkan dalam menjalankan fungsi pasal 40 huruf d PPATK meiliki kewenagan sebagaimana dalam pasal 44, yaitu : 1. Meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor



2. Meminta informasi kepada instansi atau pihak yang terkait 3. Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK 4. Meminta informasi kepda pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri 5. Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun luar negeri 6. Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang 7. Meminta keterangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uanga 8. Merekomendasikan kepada instansi pengak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 9. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana 10. Meminta informasi perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang 11. Mengadakan kegiatan adminstratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, dan 12. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik E. Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, maupun UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak ada ketentuan yang memberikan wewenang kepada KPK untuk menuntut pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 menyatakan: “Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini”. Selanjutnya pada Pasal 75 menyatakan: “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana



pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana



asal



dengan



penyidikan



tindak



pidana



pencucian



uang



dan



memberitahukannya kepada PPATK”. Berdasarkan ketentuan di atas, maka penyidikan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal dapat dilakukan KPK secara bersamaan, namun penuntutannya terpisah Jaksa KPK tidak berwenang menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini berarti KPK harus menyerahkan kepada Penuntut Umum pada Kejaksaan untuk menuntut pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya yang berkaitan dengan bentuk kesalahan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 khususnya kata-kata “Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”, maka dapat dipastikan sebagian untuk kesengajaan, sebagian untuk kealpaan. Konsekuensi logisnya, pasal tersebut tidak hanya mensyaratkan kesengajaan tetapi juga kealpaan yang dialternatifkan dengan kesengajaan. Dalam konteks penyebutan culpa yaitu culpa yang sesungguhnya dan culpa yang tidak sesungguhnya. Culpa sesungguhnya berarti akibat yang dilarang itu timbul karena kealpaannya, sedangkan culpa tidak sesungguhnya berarti melakukan suatu perbuatan berupa kesengajaan namun salah satunya diculpakan. Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 tersebut termasuk dalam culpa yang tidak sesungguhnya. Masalahnya ketentuan tersebut kontradiktif dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1), yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) ini mengubah konsekuensi bentuk kesalahan dari kealpaan menjadi kesengajaan. Hal ini dari kata-kata “........suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan.....”adanya pengetahuan dan keinginan atau weten en willen adalah syarat mutlak kesengajaan dan bukan kealpaan. Terakhir yang berkaitan dengan pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78. Pasal 77 menyatakan: “untuk kepentingan pemeriksaan di



sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”. Pasal 78 menyatakan: (1) Dalam pemeriksaan di siding pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Kedua Pasal tersebut tidak mengatur mengenai prosedur beracaranya atau setidaktidaknya mengatur konsekuensi dari pembuktian terbalik tersebut. Seharusnya hal itu diatur secara tegas, bagaimana jika terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari hasil kejahatan. Sebaliknya bagaimana jika terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari hasil kejahatan. Dengan demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan. Inilah yang dikenal dengan pencucian uang (money laundering). Sutan Remy Sjahdeni mengartikan pencucian uang sebagai: Kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan asal usulnya dari pihak yang berwenang agar tidak dilakukan penindakan terhadap tindak pidana tersebut dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila akhirnya uang tersebut dikeluarkan dari sistem keuangan itu maka uang itu telah berubah menjadi uang sah. Melalui proses pencucian uang, maka pelaku kejahatan dapat mempergunakan uang hasil kejahatannya seolah-olah uang tersebut didapatkan dari suatu hasil yang sah. Hal ini merupakan salah satu pemicu tumbuh berkembangnya tindak pidana korupsi



di Indonesia, karena pada koruptor dapat dengan mudahnya memasukkan uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya kedalam sistem keuangan dan kemudian mempergunakannya kembali seolah-olah didapat dari hasil yang sah. Hal tersebut mendorong FATF (Financial Action Task Force) pada tahun 1990 mengeluarkan Forty Recommendation, yaitu rekomendasi bagi negara-negara untuk mengurangi pencucian uang, salah satu caranya adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang. Atas Forty Recommendation tersebut, pada tahun 2002 diundangkanlah Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 25 Tahun 2003 disebutkan bahwa : hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana di bidang asuransi. Tindak pidana narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, Penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, tindak pidana dibidang perpajakan, tindak pidana dibidang kehutanan, tindak pidana di bidang lingkungan hidup, tindak pidana di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Dari rumusan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No. 25 tahun 2003 tersebut maka jelaslah bahwa korupsi dipandang sebagai salah satu asal kejahatan dari tindak pidana pencucian uang. Untuk memberantas tindak pidana korupsi maka Indonesia melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan korupsi melalui Undang-undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Meskipun demikian tindak pidana korupsi tetap terjadi, Undang-undang No. 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 25 Tahun 2003 tentang



tindak pidana pencucian uang diharapkan dapat membatasi ruang gerak para koruptor untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya. F. Jenis Pemidanaan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang menempatkan,



mentransfer,



mengalihkan,



membelanjakan,



membayarkan,



menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).