Toaz - Info Laporan Praktikum Farmakologi Obat Otonom PR [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN III OBAT OTONOM (MIOTIK DAN MIDRIASIS)



NAMA ANGGOTA KELOMPOK 2 : DZURROTUN NASICHAH



22010317120010



TIRSA APRIANI P



22010317120011



DINDA RAHMADANI N



22010317120013



SULVIA SISYENI



22010317120014



RONA SAGA SUWANDI



22010317120015



FAHMI



22010317120018



DIAH AYU OKTAVIANI



22010317120019



WINA FRATIWI



22010317120020



FINA NURIL AENI



22010317120021



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2019



PERCOBAAN III OBAT OTONOM (MIOTIK DAN MIDRIASIS)



I. TUJUAN 1.1. Mengenal dan memahami efek beberapa obat yang mempengaruhi sistem otonom 1.2. Mengenal fisiologis mata tanpa pengaruh obat 1.3. Mengenal berbagai obat otonom 1.4. Mengenal dan memahami pengaruh obat otonom pada organ mata dan organ lainnya pada binatang percobaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci Kelinci merupakan hewan uji yang digunakan untuk memeriksa efek obat otonom. Kelinci memiliki bentuk mata yang cukup besar dibanding dengan hewan uji lainnya sehingga mudah untuk mengamati pupil mata kelinci ketika mengalami miosis atau midriasis. Perlakuan terhadap kelinci harus diperlakukan dengan halus, tetapi sigap, karena kadang-kadang memberontak. Kelinci diperlakukan dengan cara memegang kulit lehernya dengan tangan kiri, kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke dekat tubuh (Malole, 1986). 2.2. Obat Otonom Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang tidak dapat dikendalikan oleh kemauan kita melalui otak. Sistem saraf otonom mengendalikan beberapa organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, pupil mata, lambung dan usus. Sistem saraf ini dapat dipicu (induksi) atau dihambat (inhibisi) oleh senyawa obat. Menurut Sulistia (2009) Obat-obat otonom, antara lain : 2.2.1. Pilocarpin Pilokarpin adalah suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh asetilkolin esterase. Pilokarpin termasuk obat yang lemah disbanding dengan asetilkolin dan turunannya. Aktivitas utamanya adalah muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi. Penggunaan topical pada kornea dengan cepat menimbulkan miosis dan kontraksi otot siliari. Pada mata menimbulkan spasme akomodasi, dan penglihatan akan terfokus pada jarak tertentu sehingga sulit untuk memfokuskan suatu objek.



Pilokarpin termasuk pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, kelenjar saliva dan kelenjar air mata, namun obat ini tidak digunakan untuk maksud ini. Penggunaan dalam terapi glaukoma. Pilokarpin adalah obat terpilih untuk keadaan gawat darurat, yang dapat menurunkan tekanan bola mata, baik pada glaucoma bersudut sempit (bersudut tertutup) maupun yang bersudut lebar (bersudut terbuka). Pilokarpin sangat efektif untuk membuka anyamantrabekular di sekitar kanal Schlemm sehingga tekanan dalam bola mata turun dengan cepat karena cairan humor keluar dengan lancar. Efek ini dapat berlangsung selama sekitar 1 hari dan pemberiannya dapat diulangi lagi. Obat lain yang efektif untuk glaucoma adalah penghambat karbonat anhidrase seperti asetazolamid dan penyekat p-adrenergik, namun tidak berguna dalam keadaan gawat darurat mata. Efek samping obat perangsangan keringat dan salivasi yang berlebihan. Pilokarpin juga dapat masuk ke SSP dan menimbulkan gangguan SSP. 2.2.2. Atropine Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip anti muskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada saraf postganglionik kolinergık dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian anti kolinesterase (Achmad, 1986). Mekanisme kerja Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksı seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenililsiklase yang di akibatkan oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya (Jay dan Kirana, 2002). Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat.merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas eksitasi, paralisa medulila oblongata. Efek atropine pada system kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropine



tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetil kolin, Pada saluran pencernaan, atropine sebagai anti spasmodic yaitu menghambat peristaltic usus dan lambung sedangkan pada otot polos atropine mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin (Hidayat, 2005). Atropine dosis rendah (0.5 mg) menyebabkan bradikardi, hal ini terjadi karena pengeblokan reseptor M1 pada neuron pre-junctional inhibitor, dimana menyebabkan pengeluaran asetilkolin meningkat. Dosis atropine yang lebih tinggi > 1 mg) menyebabkan takikardi karena terjadi pengeblokan pada reseptor SA node. Atropine memilikiwaktu paro 2.5 jam. 2.3.Macam-macam Cara Pemeriksaan Refleks Pupil Dan Mekanismenya 2.3.1. Refleks Cahaya Jalur yang dilalui refleks cahaya seluruhnya adalah subkortikal. Serabut-serabut pupil aferen yang didalamnya termasuk saraf optik dan jalur lintas optik hanya sampai di tempat meninggalkan traktus optik tepat sebelum sinapsis serabut-serabut visual didalam badan genikulatum lateral. Kemudian berjalan ke daerah pretektal di mesenfalon dan bersinaps. Impuls-impuls kemudian disampaikan oleh serabutserabut yang menyilang melalui komisura posterior ke nukleus Edinger-Westphal di sisi satunya. Sebagian serabut-serabut berjalan langsung di sebelah ventral nukleus Edinger-Westphal ipsilateral. Jalur lintas eferen melalui saraf III ke ganglion siliar di dalam kerucut otot ekstra okular retrobulbar serabutserabut pascaganglion berjalan melalui saraf siliar brevis untuk mempersarafi otot sfingter iris (Sitepu, 2008). 2.3.2. Refleks Konsensual Apabila mata kiri yang di senter maka yang meredup mata kanan. Hal itu disebabkan karena ada chaisma opticum yaitu persilangan bawah otak. Cahaya merupakan stimulus utama terjadinya refleks cahaya/pupil. Cahaya yang jatuh pada retina akan menstimulasi sel-sel fotoreseptor di retina. Serabut parasimpatis preganglionik meninggalkan mid-brain (otak besar) untuk menginervasi m.sfingter pupil. Stimulus cahaya pada satu mata, akan menyebabkan terjadinya konstriksi pupil bilateral dan simetris (Guyton, 2008). 2.3.3. Refleks Melihat Dekat Pada waktu mata melihat ke obyek dekat, akan terjadi tiga reaksi : akomodasi, konvergensi dan penciutan pupil, dan memberikan bayangan terfokus tajam pada titik-titik di retina



yang bersangkutan. Ada petunjuk yang menyakinkan bahwa jalur lintas terakhir yang biasa berjalan melalui saraf okulomotor dengan sinapsis pada ganglion siliar. Jalur lintas aferen ini belum jelas kerjanya tapi kenyataannya ia masuk ke dalam mesensefalon di sebelah ventral nukleus Edinger Westhpal dan mengirimkan serabut-serabutnya ke kedua sisi korteks (Sitepu, 2008).



III. METODE PERCOBAAN 3.1. Alat 3.1.1. Penggaris millimeter 3.1.2. Pipet tetes 3.1.3. Flashlight 3.1.4. Kapas 3.1.5. Kotak binatang coba 3.2. Bahan 3.2.1. Atropin 1% 3.2.2. Pilocarpin 1% 3.2.3. Larutan NaCl fisiologis



3.3. Cara Kerja Kelinci Kotak binatang coba  Dimasukkan kelinci ke dalam kotak khusus dengan hanya kepalanya yang tampak  Dihadapkan kelinci ke arah yang tidak mendapatkan sinar secara langsung supaya perubahan pupil dapat diamati secara baik  Diamati keadaan mata kelimci antara lain : lebar pupil, refleks cahaya, refleks kornea dan keadaan pembuluh darah konjungtiva  Refleks kornea : disentuh bagian kornea dengan pilinan kapas secara perlahan  Refleks cahaya : diberika cahaya dengan flashlight Keduanya dilakukan dari arah agak samping mata  Atropin :  Diteteskan 2-3 tetes atropin sulfat 1% pada mata kiri kelinci  Diperhatikan menit ke 1, 5, 10, 15 dan 20  Diulangi penetesan bila perlu sampai obat menimbulkan midriasis  Dilakukan pemeriksaan pula pada terhadap refleks cahaya, refleks kornea  Diperhatikan reaksi yang timbul pada kelenjar ludah  Pilocarpin :  Diteteskan 2-3 tetes pilocarpin HCl 1% pada mata kanan kelinci  Diperhatikan menit ke 1, 5, 10, 15 dan 20  Diulangi penetesan bila perlu sampai obat menimbulkan miosis  Diperhatikan reaksi yang timbul seperti : salivasi dan defekasi  Dicatat waktu ketika reaksi timbul  Dicuci mata kelinci dengan larutan NaCl fisiologis



Hasil



IV. HASIL PENGAMATAN 4.1. Pemeriksaan Fisiologis Refleks Refleks kornea Lebar pupil sinar kanan Lebar pupil sinar kiri Lebar pupil tanpa sinar Pembuluh darah konjungtiva



Mata Kanan Berkedip 0,5 cm 0,8 cm 1 cm -



Mata Kiri Berkedip 0,8 cm 0,5 cm 1 cm -



4.2. Pemberian Obat Obat



Atropi n



Piloca rpin



Menit



1 5 10 15 20 1 5 10 15 20



Diameter Pupil Kanan Disinari Tidak disinari 0,5 cm 0,5 cm 0,5 cm 0,6 cm 0,8 cm 0,9 cm 0,6 cm 0,8 cm 0,8 cm 1 cm 0,3 cm 0,8 cm 0,5 cm 0,7 cm 0,4 cm 0,6 cm 0,4 cm 0,5 cm 0,4 cm 0,4 cm



Diamater Pupil Kiri Disinari 0,8 cm 0,8 cm 1 cm 1 cm 0,9 cm 0,7 cm 0,7 cm 0,7 cm 0,8 cm 0,8 cm



Tidak disinari 1 cm 1 cm 1,2 cm 1,2 cm 1 cm 0,8 cm 0,8 cm 0,8 cm 0,9 cm 0,9 cm



Salivasi



Defekasi



Tidak terdapat salivasi



Tidak terdapat defekasi



Adanya pergera kan mulut pada menit ke 5



Defekasi pada menit ke 17



V. PEMBAHASAN Praktikum Farmakologi tentang Obat Otonom (Miotik dan Midriasis) telah dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Mei 2019 pukul 13.0016.00 WIB bertempat di Laboratotium Basah Gedung E Lantai 5 FK UNDIP Semarang. Praktikum ini bertujuan mengenal dan memahami efek beberapa obat yang memengaruhi sistem otonom, mengenal refleks fisiologis mata tanpa pengaruh obat, mengenal berbagai obat otonom, dan mengenal serta memahami pengaruh obat otonom pada organ mata dan organ lainnya pada binatang percobaan. Langkah-langkah dalam praktikum ini yaitu seekor kelinci dimasukkan ke dalam kotak binatang coba dengan hanya bagian kepala yang tampak. Kelinci dihadapkan ke arah yang tidak mendapat sinar secara langsung, pada praktikum ini kelinci diletakkan di bawah meja praktikum agar tidak terpengaruh cahaya terlebih dahulu sebelum diteteskan obat pada bagian mata kelinci. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan keadaan mata meliputi lebar pupil, refleks cahaya, refleks kornea, dan pembuluh darah konjungtiva dari arah agak ke samping mata. Lebar pupil mata kelinci normal tanpa pengaruh cahaya adalah 1 cm baik mata kanan maupun mata kiri. Refleks cahaya diketahui dengan memberikan cahaya dari flashlight atau senter dari sisi samping. Pupil pada mata kelinci yang mendapat sinar cahaya akan mengalami miosis atau pengecilan ukuran pupil mata. Hasil dari sisi kanan yang diberikan cahaya ialah lebar pupil kanan 0,5 cm dan lebar pupil kiri 0,8 cm. Sedangkan hasil dari sisi kiri yang diberikan cahaya adalah lebar pupil kanan 0,8 cm dan lebar pupil kiri 0,5 cm. Berdasarkan praktikum, lebar pupil mata yang mendapat cahaya secara langsung akan mengalami miosis lebih dibanding mata yang tidak mendapat sinar cahaya secara langsung. Pada pemeriksaan refleks kornea, dilakukan dengan menyentuh mata kornea kelinci dengan pilihan kapas secara perlahan, dan reaksi dari kelinci ialah berkedip. Respon ini adalah normal akibat refleks yang diberikan pada daerah mata. Sementara pemeriksaan pembuluh darah konjungtiva pada praktikum ini tidak dilaksanakan. 5.1. Pilokarpin Menurut Katzung (2001), Pilokarpin adalah alkaloid muskarinik yang diperoleh dari isolasi daun Pilocarpus jaborandi, P. Microphyllus. Pilokarpin bekerja sebagai reseptor agonis muskarinik pada sistem saraf parasimpatik. Pilokarpin bekerja pada resptor muskarinik (M3) yang terdapat pada otot spingter iris, yang menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil mata mengalami miosis. Pemberian pilokarpin dengan indikasi glaukoma sudut terbuka kronis, glaukoma sudut tertutp sinekia kronis (setelah dilakukan iri, dektomi perifer), glaukoma sekunder akibat blok pupil



dan setelah operasi dan pilokarpin memiliki kontraindikasi pada glaukoma inflamasi, glaukoma malignan dan riwayat alergi. Efek samping dari penggunaan pilokarpin yaitu okular bzruna keratitis pungtata superfisal , spasme otot sirial yang menyebabkan miopia, miosis (konstriksi dari pupil mata), kemungkinan retinal detachment, katarak dan toksisitas endotel kornea. Efek samping sistemik termasuk berkkeringat, salivasi, nausea tremor, nyeri kepala, bradikardia dan hipotensi. Langkah awal yang dilakukan pada pemberian pilokarpin yaitu dengan ditetesi 2 tetes pilokarpin HCl 1% pada mata kelinci sebelah kanan. Kemudian diamati pada menit ke 1, 5, 10, 15, dan 20 menggunakan stopwatch. Pada setiap menit dilakukan pengukuran diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan atau tanpa disenter dan sebelah kiri dengan atau tanpa disenter. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil pengamatan bahwa mata kelinci sebelah kanan (ditetesi pilokarpin) pada menit ke-1 diameter pupil mata kanan 0,8 cm dan diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan disenter menjadi 0,3 cm. Sedangkan pada diameter pupil mata kelinci sebelah kiri 0,8 cm dan dengan disenter menjadi 0,7 cm. Hal ini disebabkan karena pilokarpin mulai bereaksi sehingga menyebabkan miosis pada mata kelinci. Pada menit ke-5 diameter pupil mata kanan 0,7 cm dan diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan disenter menjadi 0,5 cm. Sedangkan pada diameter pupil mata kelinci sebelah kiri 0,8 cm dan dengan disenter menjadi 0,7 cm. Pada menit ke-10 diameter pupil mata kanan 0,6 cm dan diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan disenter menjadi 0,4 cm. Sedangkan pada diameter pupil mata kelinci sebelah kiri 0,8 cm dan dengan disenter menjadi 0,7 cm. Hal ini menujukan penurunan diameter pupil mata kelinci karena pilokarpin bekerja sehingga menyebabkan pengecilan pada pupil mata kelinci. Pada menit ke-15 diameter pupil mata kanan 0,5 cm dan diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan disenter menjadi 0,4 cm. Sedangkan pada diameter pupil mata kelinci sebelah kiri 0,9 cm dan dengan disenter menjadi 0,8 cm. Pada menit ke-20 diameter pupil mata kanan 0,4 cm dan diameter pupil mata kelinci sebelah kanan dengan disenter menjadi 0,4 cm. Sedangkan pada diameter pupil mata kelinci sebelah kiri 0,9 cm dan dengan disenter menjadi 0,8 cm. Efek pilokarpin masih bekerja hal ini ditunjukan dengan pengecilan pupil mata kelinci pada menit ke-15 dan 20. Pada menit ke-17 terjadi defekasi pada kelinci, akan tetapi belum dapat dipastikan defekasi yang terjadi dikarenakan pemberian pilokarpin



HCl 1%. Reaksi salivasi tidak ditemukan pada percobaan ini, hal ini dimungkinkan dosis yang diberikan sangat kecil. Berdasarkan hasil pengamatan didapat bahwa pemberian pilokarpin HCl 1% menghasilkan efek miosis, yaitu mengecilnya diameter pupil mata kelinci. Hal ini sesuai dengan literatur, karena kerja pilokarpin sebagai obat golongan agonis muskarinik (agonis kolinergik yang sifatnya menyerupai asetilkolin), yang dapat menurunkan kontraksi otot siliaris dan tekanan intaokuler bola mata. Sesuai dengan pendapat Tan Haan Tjay (2002), obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan penurunan kontraksi otot siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan cepat, serta merangsang sekresi kelenjar yang terikat pada kelenjar keringat, mata dan saliva. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengaruh rute pemberian (tetes mata) dan dosis obat yang diberikan 5.2. Atropin Menurut Ditjen POM (1979), Atropin sulfat merupakan golongan obat kardiovaskular yang memiliki indikasi seperti tukak peptic, gastritis dan hiperasiditas saluran cerna. Kontra indikasinya yaitu pada glaukoma sudut tertutup, obstruksi saluran kemih atau saluran cerna, asma, miastenia gravis, penyakit hati atau ginjal. Efek samping pada atropine adalah anti muskarinik, bradikardia, penurunan secret bronchial, retensi urin, mulut kering kulit kering Farmakokinetiknya yaitu aksi onsetnya cepat, absorpsi lengkap, terdistribusi secara luas dalam badan, menembus plasenta, masuk dalam air susu, menembus sawar darah otak, metabolisme hepatik, dan ekskresi urin. Farmakodinamik atropine yaitu peningkatan tekanan intravaskular, mulut keris, midriasis, mengantuk dan pusing. Cara kerja pada pemberian atropine yaitu pada mata kelinci sebelah kiri ditetesi 2 tetes atropine sulfat 1%. Lalu menggunakan stopwatch untuk memperhatikan setiap menit ke 1, 5, 10, 15, dan 20. Pada setiap menit dilakukan pengukuran diameter pupil mata kelinci sebelah kiri yang disenter maupun yang tidak dan sebelah kanan yang disenter maupun yang tidak disenter. Reaksi-reaksi yang timbul pada kelenjar saliva juga diperiksa. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa mata kelinci pada menit ke-1 diameter pupil mata kanan normal (tidak disenter) berukuran 0,5 cm dan saat disenter juga berukuran 0,5 cm. Sedangkan pada diameter pupil kiri yang ditetesi atropine saat tidak disenter berukuran 1 cm dan saat disenter menjadi 0,8cm. Hal ini disebabkan karena atropin telah bekerja atau sudah bereaksi sehingga menyebabkan midriasis pada mata kelinci.



Pada menit ke-5 diameter pupil mata kanan normal (tidak disenter) berukuran 0,6 cm dan saat disenter berukuran 0,5 cm. Sedangkan pada diameter pupil kiri yang ditetesi atropine saat tidak disenter berukuran 1 cm dan saat disenter menjadi 0,8 cm. Pada menit ke-10 diameter pupil mata kanan normal (tidak disenter) berukuran 0,9 cm dan saat disenter berukuran 0,8 cm. Sedangkan pada diameter pupil kiri yang ditetesi atropine saat tidak disenter berukuran 1,2 cm dan saat disenter menjadi 1 cm. Hal ini menandakan terjadinya peningkatan ukuran diameter pupil karena efek dari atropin masih bekerja sehingga menyebabkan pembesaran pada pupil mata. Pada menit ke-15 diameter pupil mata kanan normal (tidak disenter) berukuran 0,8 cm dan saat disenter berukuran 0,6 cm. Sedangkan pada diameter pupil kiri yang ditetesi atropine saat tidak disenter berukuran 1,2 cm dan saat disenter menjadi 1 cm. Ukuran diameter pupil konstan. Pada menit ke-20 diameter pupil mata kanan normal (tidak disenter) berukuran 1 cm dan saat disenter berukuran 0,8 cm. Sedangkan pada diameter pupil kiri yang ditetesi atropine saat tidak disenter berukuran 1 cm dan saat disenter menjadi 0,9 cm. Efek yang ditimbulkan oleh atropin mulai berkurang dikarenakan telah terjadi penurunan kerja oleh atropine. Hal tersebut tekah sesuai dengan literatur. Karena menurut Ganiswara et al (1995), atropin merupakan parasimpatolitik (antikholinergik). Semua antikolinergik adalah antagonis kompetitif untuk pengikatan asetilkolin pada reseptor muskarinik. Pemberian atropin memberikan efek yang sama dengan efek simpatis. Hal tersebut dikarenakan atropin merupakan obat yang tergolong parasimpatolitik (antikolinergik), yang memiliki efek menghambat efek parasimpatis yang dapat menyebabkan midriasis. Setelah diteteskan atropin mata mengalami midriasis. Semakin lama pupil mata semakin membesar. Atropin merupakan obat antikolinergik yang bekerja secara antagonis kompetitif dengan Asetilkolin untuk berikatan dengan reseptor kolinergik. Sebelumnya pilokarpin berikatan pada reseptor kolinergik pada mata, tetapi ikatannya reversible sehingga setelah diteteskan atropine, pilokarpin terlepas dari ikatannya dan reseptor kolinergik dapat diduduki oleh atropine. Atropin menyebabkan penurunan rangsangan simpatis sehingga terjadi midriasis yaitu relaksasi dari otot sfmgter iris Menurut Robensthok et al (2002), reaksi toksik dari atropin berasal dari sifat antikolinergiknya yang bermanifestasi pada sentral dan perifer. Toksisitas atropin dapat bersifat lokal dan sistemik. Reaksi lokal ditandai dengan keringnya periorbital dan mata



memerah. Reaksi sistemik meliputi tachycardia (peningkatan frekuensi jantung), tachypnoea (peningkatan frekuensi napas), dan stimulasi sistem saraf pusat yang ditandai dengan rasa letih, bingung, delirium dan kejang. Mekanisme kerja atropine, yaitu pada mata: atropine menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmampuan memfokus untuk penglihatan dekat). Berdasarkan hasil pengamatan juga, reaksi-reaksi yang timbul yaitu tidak terdapatnya salivasi pada kelenjar saliva. Hal ini telah sesuai dengan literatur karena menurut Mycek (2001), Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut kelinci menjadi kering (serostomia). Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropine.



VI. KESIMPULAN 6.1. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas resptor spesifik. 6.2. Lebar pupil mata kelinci normal tanpa pengaruh cahaya adalah 1 cm baik mata kanan maupun mata kiri. Refleks cahaya menghasilkan lebar pupil mata yang mendapat cahaya secara langsung akan mengalami miosis lebih dibanding mata yang tidak mendapat sinar cahaya secara langsung. Refleks kornea menghasilkan reaksi dari kelinci ialah berkedip. 6.3. Obat otonom yang digunakan pada percobaan kali ini yaitu Atropine dan Pilocarpine Obat otonom dibedakan berdasarkan khasiatnya yaitu yang bekerja pada Susunan simpatik (adrenergic dan adrenolitik), yang bekerja pada susunan parasimpatik (kolinergik dan antikolinergik), dan zat perintang ganglion (senyawa ammonium kwartener). 6.4. Obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan penurunan kontraksi otot siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan cepat, serta merangsang sekresi kelenjar yang terikat pada kelenjar keringat, mata dan saliva, namun hal ini berkaitan dengan pengaruh rute pemberian (tetes mata) dan dosis obat yang diberikan. Atropin dan antimuskarinik lain yang diberikan secara putopikal dapat menyebabkan pupil midriasis atau melebar dan kelemahan otot siliaris (cycloplegia) sehingga tidak mampu melakukan akomodasi. Atropin menghambat sekresi kelenjar saliva sehingga mukosa mulut menjadi kering.



DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1985. Tanaman Obat Indonesia Jilid I. Jakarta: Depkes RI Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI Ganiswara SG, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC Jay, Than Hoon dan Kirana Raharja. 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: PT. Gramedia Katzung, Bertram. G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 9. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Malelo, M.M.B., Promono, C. S. U. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan di Laboratorium. Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Robensthok E. 2002. Adverse Reaction to Atropine and the Treatment of Organophosphate Intoxication. IMAJ (4): 535 Sitepu, Bobby R. E. 2008. Hubungan Ukuran Pupil Dengan Miopia Derajat Sedang Dan Berat. Medan : USU e-Repository