Tokoh Pergerakan Nasional1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TOKOH PERGERAKAN NASIONAL Sutomo



Sutomo (3 Oktober 1920 – 7 Oktober 1981) atau lebih dikenal dengan sapaan akrab Bung Tomo adalah pahlawan nasional Indonesia yang terkenal karena peranannya dalam Pertempuran 10 November 1945. Perjuangan Bung Tomo pada Pertempuran 10 November 1945 Sutomo muda lebih banyak berkecimpung dalam bidang kewartawanan. Ia antaranya menjadi jurnalis lepas untuk harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer. Baru setelah ia mulai bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di Surabaya yang disponsori Jepang. Bisa dibilang, inilah titik awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya itu, ia bisa mendapatkan akses radio yang lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-orasinya yang membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung Tomo juga memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Meskipun pada akhirnya pihak Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November 1945, namun rakyat Surabaya dianggap berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.



Setelah kemerdekaan Antara



1950-1956,



Bung



Menteri Burhanuddin



Tomo



masuk



dalam



Harahap sebagai Menteri



Kabinet



Negara



Perdana



Urusan



Bekas



Pejuang Bersenjata/Veteran, merangkap Menteri Sosial (Ad Interim). Sejak 1956 Sutomo menjadi anggota anggota Konstituante mewakili Partai Rakyat Indonesia.



Ia



menjadi



wakil



rakyat



hingga



badan



tersebut



dibubarkan Sukarno lewat Dekrit Presiden 1959. Sutomo memprotes keras kebijakan Sukarno tersebut, termasuk membawanya ke pengadilan meski akhirnya kalah. Akibatnya perlahan ia menarik diri dari dunia politik dan pemerintahan. Di awal Orde Baru, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh yang mulanya mendukung Suharto. Namun sejak awal 1970-an, ia mulai banyak mengkritik program-program Suharto, termasuk salah satunya proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Akibatnya pada 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara selama setahun atas tuduhan melakukan aksi subversif. Sekeluar dari penjara Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal pada pemerintah dan memilih memanfaatkan waktu bersama keluarga dan mendidik kelima anaknya. Selain itu Sutomo juga menjadi lebih bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya. Pada 7 Oktober 1981, Sutomo meninggal dunia di Padang Arafah saat sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi memakamkan jemaah haji yang meninggal di tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air. Sesuai wasiatnya, Bung Tomo tidak dimakamkan di taman makam pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Surabaya.



Soekarno



Dr.



(H.C.) Ir. H. Soekarno (ER, EYD: Sukarno, nama



lahir: Koesno



Sosrodihardjo; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970) adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967. Ia adalah seorang tokoh perjuangan yang memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno



adalah



yang



mengenai Pancasila sebagai



dasar



pertama



kali



mencetuskan



negara Indonesia dan



ia



konsep



sendiri



yang



menamainya. Achmed Soekarno Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian penamaan di Indonesia, terutama nama Jawa, yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.



Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata. Kiprah politik Masa pergerakan nasional Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin dan di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930 ia membacakan pleidoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat



dalam



setiap



suratnya



kepada



seorang



Guru Persatuan



Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu, ia baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.



Tjipto Mangoenkoesoemo



dr.



Tjipto



Mangoenkoesoemo 



Tengah, 1886 – Jakarta, 8



Maret 1943)



(Pecangaan, Jepara,



adalah



seorang



tokoh



Jawa pergerakan



kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917. Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920. Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur



pendidikan,



Cipto



tetap



berjalan



di



jalur



politik



dengan



menjadi



anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda. Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa. Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, pecahan Rp. 200,-



Budi Utomo Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto semakin tampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa. Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedyodiningrat. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.[1] Cipto



tidak



menolak kebudayaan



Jawa,



tetapi



yang



ia



tolak



adalah



kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi zaman nya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitas nya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme. Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.



Indische Partij Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. Ia juga berandil besar dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911. Berkat jasanya itulah, Dokter Tjipto mendapat bintang emas, penghargaan dari pemerintah kolonial Hinda Belanda. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukan melayani pasien, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat untuk mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerja sama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto, Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama. Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de



Express dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan muridmurid STOVIA. Pada



November 1913,



Belanda



memperingati



100



tahun



kemerdekaannya



dari Prancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara



perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera. Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De



Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express, Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan. Pada 18



Agustus 1913,



keluar



surat



keputusan



untuk



membuang



Cipto



bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda. Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.



Ernest Douwes Dekker



Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; 8 Oktober 1879 – 28 Agustus 1950) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke20, penulis yang



kritis



terhadap



kebijakan



pemerintah



penjajahan Hindia



Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai"



pejuang



pergerakan



kemerdekaan



Indonesia,



selain



dr. Tjipto



Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.



Kehidupan pribadi Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindahpindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius



(1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1] Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai. Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (19051978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas. Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat. Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia



perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.



Indische Partij Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing. Berangkat



dari



organisasi



kaum Indo, Indische



Bond dan Insulinde,



ia



menyampaikan gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi. Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan



partai



berhaluan



nasionalis



bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye



ke



inklusif



beberapa



kota



menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat



populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah



kolonial Hindia



Belanda setahun



kemudian, 1913 karena



dianggap



menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.