Transfer Pricing Kasus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

STUDI KASUS MANAJEMEN PAJAK “PERENCANAAN PAJAK ATAS PENENTUAN HARGA TRANSFER PRICING” Disusun dalam rangka memenuhi Tugas Manajemen Pajak



Dosen Pengampu : Ari Budi Kristianto Theresia Woro Damayanti Disusun Oleh : Amelia Rosaline



232013036



Alfian Nur M.Z.



232013201



Ignasius Risnu A.



232013203



Dwi Septina Sitompul



232013208



Raditya Okto W.



232013217



Victoria Nugraheni



232013242



FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATGA 2016



PENDAHULUAN Pada perekonomian saat ini, banyak sekali cara untuk menghindari pajak yang sering dilakukan oleh perusahaan. Salah satu cara menghindari pajak yang legal dan diperbolehkan oleh badan hukum adalah transfer pricing. Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down), biasanya transfer pricing dilakukan oleh perusahaan global (Multi National Enterprise). Tujuan utama untuk melakukan transfer pricing pada dasarnya untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Selain itu, transfer pricing juga untuk menggelembungkan profit yang berguna memoles (window-dressing) laporan keuangan.



Modus transfer pricing dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian,



overhead cost, bunga shareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, penjualan melalui pihak ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company). Dengan melakukan transfer pricing perusahaan dapat menghindari pajak tentunya dengan mendirikan perusahaan perantara di negara bertarif rendah seperti hongkong atau singapura, sebelum menjual ke enduser. Namun, dalam beberapa kasus terdapat perusahaan yang melakukan transfer pricing dengan cara ilegal, yaitu dengan membentuk perusahaan fiktif yang tidak jelas keberadaannya. Dalam melakukan tranfer pricing wajib pajak biasa nya harus menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat. Penentuan metode transfer prising iini wajib didukung dengan kajian mendalam serta kajian tersebut wajib didokumentasi. Terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP); 2. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM); 3. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM). Penerapan metode-metode di atas tidak bebas dilakukan tetapi harus dilakukan secara hirarkis. Pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat. Jika metode perbandingan harga antar pihak yang independen (CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat.



Contoh Kasus Nyata Transfer Pricing : Kasus PT Adaro Indonesia Adanya kasus transfer pricing antara PT. Adaro Indonesia dengan anak perusahaanya yaitu Coaltrade services International Pte Ltd, telah menunjukan bahwa adanya indikasi penyalahgunaan sistem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Sistem harga transfer sejatinya merupakan suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison) (Henry Simamora, 1999:272) serta terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101). Namun praktik yang dilakukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan multinasional sering tidak sesuai dengan apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak sesuai dengan mekanisme sistem harga transfer yang sesungguhnya. Dimana perusahaan melakukan praktik transfer pricing ini hanya untuk menghindari pungutan pajak dalam negeri supaya penghasilan perusahaan atau pemegang saham menjadi lebih tinggi. Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan: 1. Memaksimalkan penghasilan global 2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar 3. Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera 4. Penghidaran pengendalian devisa 5. Mengontrol kredibilitas asosiasi 6. Meningkatkan bagian laba joint ventura 7. Reduksi resiko moneter 8. Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri Menurut teori diatas seharusnya transfer pricing dilakukan untuk tujuan perusahaan Namun dalam kasus Adaro ini praktik transfer pricingnya dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang saham untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya, bukan untuk memfasilitasi perusahaan mendapatkan keuntungan. Ketika para individu atau pemegang saham ini hanya memfokuskan pada keuntungan individu tanpa memperhatikan keuntungan perusahaan, maka tujuan dari dilaksanakanya sistem harga transfer inipun menjadi tidak bisa dicapai serta sistem harga transfer yang dijalankan pun menjadi disfungsional.



Timpangnya harga transfer yang dilakukan antara Adaro dengan anak perusahaanya apabila dibandingkan dengan harga pasar batubara secara internasionla sebenarnya juga telah melanggar UU perpajakan yang berlaku di indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perpajakan No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan transfer pricing. Pasal ini berbunyi : Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan. Oleh karena itu, sebenarnya dibutuhkan peran langsung dari pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus Adaro ini di perusahaan-perusahaan besar di indonesia lainya. Apabila pemerintah kurang tanggap dalam mengantisipasi praktik-praktik penyalahguanaan sistem harga tranfer ini maka sangat wajar bila kedepanya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang karena perusahaan-perusahaan yang lain tentunya juga akan meniru cara yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya semakin ketat dalam melakukan pengawasan terhadap sitem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di indonesia . Adanya berbagai undang-undang yang mengatur mekanisme harga tranfer antar anak perusahaan yang masih dalam satu grup perusahaan seharusnya bisa mempermudah pemerintah unutk mencegah kasus adaro ini terulang. Keberadaan Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 , Surat Edaran Dirjen Pajak N0. SE-04/PJ.7/1993, dan undang- Undang lainya seharusnya bisa memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk melakukan pengawsan serta koreksi terhadap transaksi-transaksi perusahaan yang menyalahi aturan. Ketika seluruh elemen baik itu elemen dari pemerintah, ataupun perusahaan telah berkomitmen menjalankan kewajibanya masing-masing maka akan sangat mmudah untuk mencegah sistem harga transfer yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri menjadi disfungsional serta mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri melalu transaksi yang tidak wajar (non arm’s length price). Praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri memalaui transaksi yang tidak wajar (non arm’s length price) misalanya seperti yang dilakukan PT Adaro Indonesia telah memberikan efek negative bagi negara Indonesia, karena apabila dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan negara menderita kehilangan pendapatan pajak dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari berkurangnya pendapatan pajak itu sendiri saja sudah akan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia, belum lagi dampak-dampak tidak langsung yang kemudian muncul seperti berkurangnya dana untuk pelayanan masyarakat, berkurangnya dana bantuan/



subsidi dari pemerintah. Selain dari penghindaran pajak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia dari praktik semacam ini dapat dikatakan tidak sebanding, karena masyarakat Indonesia yang dalam kasus contoh ini juga diposisikan sebagai salah satu pasar target dari perusahaan tersebut hanya menjadi layaknya sapi perah yang tidak mendapatkan imbalan. Pembahasan Contoh Soal : 1. Metode Penjualan Kembali (RPM) Misalkan PT. A memiliki 30% saham PT.B. atas penyerahan barang PT.B, PT.A membebankan harga jual Rp 2.000,- per unit. PT.A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa. PT. B menjual kembali barang yang dibeli dari PT. A ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp 3.000,per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 25% dari harga jualnya. Jawab: Dengan menerapkan metode harga penjualan barang PT.A ke PT.B yang wajar untuk perhitungkan pajak penghasilan/ dasar pengenaan pajaknya adalah Rp 2.250 Rp 3.000 – (25% x Rp 3.000)



2. Metode Biaya Plus (CPM) misalnya PT. A memiliki 30% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp 2.500,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa. PT. A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi per unit adalah Rp. 2.000,dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 20% dari harga pokok. Jawab : Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT. A kepada PT. B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp 2.400 Rp 2.000 + (20% x Rp



3. Metode 2.000)Perbandingan Harga Antar Pihak Yang Independen (CUP)



Contoh penggunaan metode CUP ini misalnya PT. A memiliki 30% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp 1.700,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp 2.500,- per unit. Jawab : Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp 2.500,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak.