Trauma Maksiloasial Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN



Referat 2018



TRAUMA MAKSILOFACIAL



DISUSUN OLEH: Nurul Fadhillah C111 13 044 Muh Rezky Juni C111 13 045 Zaipullah S C111 13 046



PEMBIMBING: dr. Joy F.L.Tobing



DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa : Nurul Fadhillah



C111 13 044



Muh Rezky Juni



C111 13 045



Zaipullah S



C111 13 046



Judul Referat



: Trauma Maksilofacial



Telah menyelesaikan referat dalam rangka menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher (THTKL) Universitas Hasanuddin. Makassar, september 2018



Mengetahui,



SUPERVISOR



PEMBIMBING



dr. Joy F.L.Tobing



ii



iii



BAB I PENDAHULUAN Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsifungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup yang buruk (Singh, 2012). Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (Banks, 1992). Penilitian Rabi dan Khateery (2002), juga menunjukan bahwa diantara beberapa etiologi trauma maksilofacial, kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab lainnya seperti trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri, kecelakaan sewaktu berolahraga, dan lain-lain.



Skeleton fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga bawah atau mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulang dahi, dan sepertiga tengah daerah yang membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi pada alveolus atas (Sigh, 2012). Fraktur maksilofasial merupakan salah satu bagian dari bidang ilmu Bedah yang masih perlu mendapatkan perhatian khusus dalam jumlah kasus yang terjadi dan penanganan yang telah dilakukan. Hal tersebut dapat menjadi acuan bagi



dokter umum khususnya dalam bidang Bedah agar kedepannya dapat menentukan penatalaksanaan yang lebih baik pada kasus-kasus yang serupa



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1.



ANATOMI Secara umum tulang tengkorak / kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium adalah tulang-tulang yang membungkus otak dan Viscerocranium



adalah



tulang-tualang



yang



membentuk



wajah



/



maksilofasial (James & Leslie, 2010).



Neuroccranium dibentuk oleh :



Viscerocranium dibentuk oleh :



1. Os. Frontale



1. Os. Maksilare



2. Os. Parietale



2. Os. Palatinum



3. Os. Temporale



3. Os. Nasale



4. Os. Sphenoidale



4. Os. Lacrimale



5. Os. Occipitalis



5. Os. Zygomatikum



6. Os. Ethmoidalis



6. Os. Concha nasalis inferior 7. Vomer 8. Os. Mandibulare



Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sutura - sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang – tulang pembentuk wajah atau viscerocranium terdiri atas tulang – tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan untuk terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang – tulang tersebut dihubungkan oleh sutura – sutura yang juga dapat menjadi garis fraktur.



5



Gambar 1. Tulang – tulang kraniofasial (James & Leslie, 2010)



Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris pada



medial,



tulang



zigomatikomaksilaris



pada



lateral



dan



tulang



pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. (Miloro, 2004)



Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal (Miloro, 2004)



6



II.2.



DEFINISI Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula



(Muchlis, 2011).



7



II.2.



EPIDEMIOLOGI Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial (Guruprasad, 2014; Yoffe, 2008; dan Zargar, 2004). Di Indonesia, pasien fraktur maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% (Muchlis, 2011)



II.3.



ETIOLOGI Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh, 2012). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011).



II.4.



KLASIFIKASI



II.4.1. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal



8



dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010). Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013) a. Tipe I MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar. b. Tipe II MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis. c. Tipe III MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total. Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010)



Gambar 1. Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013)



9



II.4.2. Fraktur Zygomatikomaksila Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013). Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang



yaitu



zygomaticomaxillary,



frontozygomatic



(FZ),



zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012)



10



Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Dadas, 2007): a. Kelompok 1 Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi. b. Kelompok 2 Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam c. Kelompok 3 Fraktur yang tidak berotasi d. Kelompok 4 Fraktur yang berotasi ke medial e. Kelompok 5 Fraktur yang berotasi ke lateral f. Kelompok 6 Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama



Gambar 3. Fraktur Zygomatikomaksila II.4.3. Fraktur Nasal Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan



11



trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013). Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009): a. Tipe I Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah



Gambar 4. fraktur tulang nasal Tipe I



b. Tipe II Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah



Gambar 5. fraktur tulang nasal Tipe II c. Tipe III Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh



12



Gambar 6 fraktur tulang nasal Tipe III



d. Tipe IV Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum.



Gambar 7. fraktur tulang nasal Tipe IV



e. Tipe V Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan.



13



Gambar 8. fraktur tulang nasal Tipe V



Fraktur nasal secara klinis terbagi 3 jenis, yaitu Bentuk depresi / depressed, Angulasi ke lateral dan Kuminutif. Fraktura nasal terbanyak pada fraktura tulang wajah (37% dari 1031 kasus) .



II.4.4. Fraktur Maksila dan LeFort Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013). Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013): a. Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul



14



b. Le Fort II Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid c. Le Fort III Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.



Gambar 9. Klasifikasi LeFort



II.4.5 . Fraktur Mandibula Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).



Mandibula



terhubung



dengan



kranium



pada



persendian



temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan 15



salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).



Gambar 10. Lokasi Fraktur Mandibula



16



Gambar 11. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya. A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp, 2008)



17



II.5.



PENILAIAN



II.5.1. Primary Survey Tatalaksana pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu tatalaksananya akan dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum tatalaksana defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure). Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka tatalaksana defenitif dapat dilakukan (Budiharja, 2011).



II.5.2. Secondary Survey a. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah, apakah terdapat : 1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. 2. luka tembus. 3. Asimetris atau tidak. 4. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. 5. Otorrhea / Rhinorrhea 6. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. 7. Cedera kelopak mata. 8. Ecchymosis, epistaksis 9. Defisit pendengaran. 10. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.



18



Gambar 13. Racoon’s Eyes



Gambar 14. Battle sign



b. Palpasi Bimanual dengan gerakan. Urutan pemeriksaan : Supra dan lateral orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar (zygoma), Arcus zygamoticus, Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla. 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati rasa, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau endophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis. 6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi



19



7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema. 8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.



Gambar 15. Palpasi daerah orbital



20



A



B



C



Gambar 16. (A) Pasien dengan depresi fraktur ZMC, kehilangan kontur pipi kiri, Palpasi eksternal zygoma (B) dan pada vesibula maksila (C) untuk memeriksa ireguleritas osseus.



Gambar 17. Pemeriksaan Zygoma



Fraktur Zygoma



 



  







  



Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang.  tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi.  Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan.







Parestesi pada lateral hidung  dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada nervus infraorbital. diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus inferior. Diplopia : terjadi akibat adanya fraktur pada dasar orbita shg terjadi “lubang”. M.rectus oculi inferior, m.obliq.oculi inf. terjebak pd.  lubang ini. Ini disebut Blow out fracture.



21







 



  







Diplopia diperiksa dgn menggerakkan bola mata keatas/bawah/kiri/kanan Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di mandibula. Ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.







Bila terjadi depresi zygoma biasanya terjadi fraktur pada 3 tempat :







- pada rim orbita inferior - pada zygomaticofrontal



 







- pd junction antara arcus zygoma dan os.temporal. Fraktura zygoma yg ringan,tidak diplaced tidak memerlukan tindakan.







9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi, epistaksis dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.



22



Gambar 18. Fraktur Nasal disertai Epistaksis



Gambar 19. Pasien dengan fraktur NOE, terdapat peingkatan jarak interkantal



A



B



C



Gambar 20. Pemeriksaan Nasal



Gambar 21. Pemeriksaan Nasal



23



Fraktur Nasal



      



Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin  mengalami epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF. Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena  adanya pergeseran septum dan fraktur septum. Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telecanthus, pelebaran jembatan hidung  dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.



13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak. Secara bimanual meraba mandibula dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, ginggiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit. 18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.



24



Gambar 22. Pemeriksaan Zygoma. Dental, Maxilla 19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.



25



Gambar 23. Pemeriksaan wajah bawah



Fraktur Le Fort I



 



  







  



Fraktur ini menyebabkan  rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas.  Edema pada wajah







hipoestesia  nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema. Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.



26



Gambar 24. Pemeriksaan wajah tengah



Fraktur Le Fort II







 



 







 



   



Edema pada wajah,







edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat  seperti racoon sign. Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus infraorbital, dapat terjadi  karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi







Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena sangat mudah digerakkan maka disebut  juga fraktur ini sebagai “floating maxilla (maksila yang melayang) ”.



27



Gambar 25. Pemeriksaan wajah atas



Fraktur Le Fort III



    



    







Edema wajah yang masif, ekimosis periorbital,











remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila,  pergerakan gigi, palatum durum,  epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.







Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini yaitu keluarnya  cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.



Gambar 26. Pemeriksaan Dental, Mandibula



28



Gambar 27. Pemeriksaan Mandibula



Gambar 28. Palpasi bimanual Mandibula



Fraktur Mandibula Gejala :



      



       



Maloklusi : sering lateral cross bite  Deviasi gigi kearah lingual  Deformitas : Arcus collaps  Fragmen fraktur mobil  Jaringan gusi ; robek  Jar. sublingual bengkak,











Masalah pada TMJ : Trismus,Sakit pada gerakan rahang,clicking noise  Pd subluksasi : Gerakan sangat terbatas



Pd dislokasi :Rahang terbuka & terkunci



29



30



Gambar 29. Jenis Oklusi Mandibula c. Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II – VIII 1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya. 2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis. 3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia. 4. N. Trigeminal (V) a)



Tes sensorik, sentuh di dahi, bibir atas dan dagu di garis tengah. Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit sensorik.



b) Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral. 5. N. Facial (VII) a)



Area temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.



b) Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat. c)



Area buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.



d) Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir. e)



Area cervical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).



31



6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.



d. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa yang tepat sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya dari satu posisi saja. Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maksilofasial antara lain : 1. PA position 2. Waters position 3. Lateral position 4. Occipito Mental Projection 5. Zygomaticus 6. Panoramic 7. Occlusal view dari maxilla 8. Intra oral dental Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.



32



Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort I,II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.



Gambar 7. CT Scan Koronal



Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk



33



Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe tersebut,



maka selanjutnya lakukan konfirmasi



dengan cara



mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.



Gambar 30. Pasien menunjukkan deviasi mandibula ke kanan saat membuka mulut (A) pasien ini memiliki fraktur condilar yang terlihat pada pencitraan panoramik (B)



34



II.6.



TATALAKSANA Tatalaksana pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu tatalaksananya akan dibahas satu per satu pada masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum tatalaksana defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC (Airway, Breathing, Circulation). Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah



penanganan



kegawatdaruratan



tersebut



dilaksanakan,



maka



tatalaksana defenitif dapat dilakukan (Budiharja, 2011).



II.6.1. Fraktur Nasal a. Konservatif



    







 



  



Pasien dengan  perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya  diletakkan dihidung selama 25 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya







Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk  mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.



b. Operatif







Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan  spontan.



35







Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.



Gambar 31. Tatalaksana Fraktur Nasal



Gambar 32. Splint Nasal



II.6.2. Fraktur Komplek Nasal Pada fraktur komplek nasal, ada dua cara perawatan yang dilakukan yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah



36



analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak. Kadang-kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu (Budiharja, 2011).



II.6.3. Fraktur Komplek Zigoma Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi (Budiharja, 2011): a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal b. Mengidentifikasi fasia temporalis, c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.



Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen-fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif. Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur ZMC kelompok 2 dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).



37



Gambar 33. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator.



II.6.4. Fraktur Maksilla Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan



pelat



pada



sutura



zigomatikofrontalis



dan



suspensi



kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.



38



Gambar 34. Pemasangan Arch Bars



Gambar 35. Pengungkitan



Gambar 36. Fikasasi maksilomandibular



39



Gambar 37. Reduksi Maksilla : memastikan kondilus terletak pada fossa glenoid (1) kompleks maksilomandibular dirotasi superior secara maksimum yaitu sampai terdapat kontak antar tulang pada fraktur (2)



Gambar 38. Pemasangan Plat Lateral



Gambar 39. Pemasangan Plat medial



40



Gambar 40. Fikasasi maksilomandibular dilepas & pemeriksaan oklusi



Gambar 41. Fiksasi interna Le Fort III



II.6.5. Fraktur Mandibulla Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular Pada prosedur terbuka , bagian yang



41



fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.



Gambar 42. Fiksasi Mandibula



42



BAB III KESIMPULAN



1. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula 2. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) terdiri atas tipe I, II,dan III. 3. Fraktur Zygomatikomaksila terdiri atas kelompok 1,2,3,4,5 dan 6. 4. Fraktur Nasal terdiri atas tipe I, II,III,IV, dan V 5. Fraktur Maksilla terdiri atas Le Fort I,II dan III 6. Fraktur Mandibula terdiri atas klasifikasi I,II, dan III 7. Penilaian fraktur terdiri atas primer dan sekunder. 8. Penilaian primer terdiri atas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure). 9. Penilaian sekunder dilakukan berdasarkan urutan dari atas ke bawah, yaitu Supra dan lateral orbital, Infra orbital rim, Tonjolan malar (zygoma), Arcus zygamoticus, Nasal (bone), Maxilla, Mandibulla. 10. Pada penilaian sekunder dilakukan inspeksi, palpasi, evaluasi integritas saraf kranial II – VIII dan pemeriksaan penunjang. 11. Pemeriksaan peunjang yang dilakukan berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik 12. Pada dasarnya tatalaksana fraktur maksilofasialis adalah reduksi-fiksasi yang disesuaikan dengan lokasi fraktur.



43



DAFTAR PUSTAKA



Aktop, S., et al., 2013. Management of Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery Baek, H.J, et al., 2013. Identification of Nasal Bone Fractures on Conventional Radiography and Facial CT: Comparison of the Diagnostic Accuracy in Different Imaging Modalities and Analysis of Interobserver Reliability. Iran Journal of Radiology 10: 140-147. Banks P : Fraktur sepertiga tengah skeleton fasial, terjemahan, ed 4, 1992, Gajah Mada University Press Budiharja AS, Rahmat M. Trauma oral dan maksilofasial. Juwono L: Editor. Jakarta: EGC, 2011: p.33-171. Boies adam.2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC. Galloway, T., 2012. Midface Trauma. University of Missouri. Guruprasad, Y., et al., 2014. An Assessment of Etiological Spectrum and Injury Characteristics among Maxillofacial Trauma Patients of Government Dental College and Research Institute, Bangalore. Journal of National Science Biology and Medicine 5: 47-51 Haraldson,



S.J.,



2013.



Nasal



Fracture.



Available



From:



http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [Accessed on 26 March 2015] Hiatt James L.& Gartner Leslie P. 2010. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. 2009. Oral and Maxillofacial Surgery Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



44



Meslemani, D., dan R.M., Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary Complex Fractures. Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62-66 Michael Miloro. 2004. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC Decker Inc. Hamilton. London. Moe KS. 2013. Maxillary and Le Fort Fractures Treatment & Management.



Available



From:



http://emedicine.medscape.com/article/1283568treatment#a1133 [Accessed on 26 March 2015] Muchlis,



2011.



Gambaran



Fraktur



Maksilofasial



akibat



Kecelakaan Lalu Lintas pada Pengendara Sepeda Motor. Universitas Sumatera Utara Nguyen, M., J.C. Koshy, dan L.H. Hollier, 2010. Pearls of Nasoorbitoethmoid Trauma Management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-388 Rabi AG, Khateery SM. 2002. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg.14:10-14. Singh V, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral and Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University,



Lucknow,



India,



National



Journal



of



Maxillofacial Surgery Vol 3. Steward C., Fiechtl JF, Wolf SJ. 2008. Maksilofacial Trauma.: Challenges in ED Diagnosis and Management. An EvidenceBased



approach



to



Emergency



Medicine.



Emergency Medicine Practice. Volume 10. Num.2. Tollefson, T.T., 2013. Nasoorbitoethmoid Fractures. Available From:



http://emedicine.medscape.com/article/869330-



overview [Accessed on 26 March 2015]



1



Ykeda, R.B.A., et al., 2012. Epidemiological Profile of 277 Patients with Facial Fractures Treated at the Emergency Room at the EN Department of Hospital do Trabalhador in Curitiba/PR



in



2010.



International



Archives



of



Otorhinolaryngology 16



2