Tugaas Wawancara Masjid Kota Gede Jogja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Kenapa Masjid Gede Kotagede? Kotagede, bagi sebagian orang terkenal dengan penghasil perak. Jika berkunjung ke sana kita akan mudah menemukan toko-toko yang menjual pernak-pernik kerajinan tangan dari perak terutama pinggir-pinggir jalan. Di Kotagede sendiri juga banyak menyimpan peninggalan sejarah Mataram Islam bangunan masjid menjadi salah bukti sejarah dan icon budaya pada suatu masa salah satunya adalah Masjid Gede Mataram Kotagede, yang juga merupakan masjid tertua di Yogyakarta. Untuk itu saya bersama teman-teman satu kelompok memilih Masjid ini sebagai obyek penelitian budaya. Penilitian ini berusaha mengungkapkan sejarah adanya masjid Gede dan peran masjid Gede dalam usaha pendidikan agama Islam. Sejauhmana kegiatan pendidikan Agama Islam berlangsung di tempat tersebut. Dan bagaimana hubungan dari budaya dengan masjid tersebut. Saya dalam penilitian kelompok mendapatkan tugas untuk mewawancarai pengunjung dan penjaga (Juru Kunci) Masjid Gede Mataram. Maka di dalam laporan studi budaya ini saya menyertakan sedikit opini dan analisis untuk melihat data-data yang telah bersama-sama kami kumpulkan. Maka tentunya ada unsur subyektif yang kemungkinan besar dalam pengeloahan data-data yang telah kami peroleh, akan tetapi saya Dengan adanya wawancara ini kami berharap mendapat keterangan-keterangan dari berbagi perspektif orang yang berbeda-beda. Mulai dari pengunjung sampai Juru kunci, sehingga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang mengenai Masjid dan peranannya dalam meningkatkan pendidikan agama.



2. Sejarah Transisi Mataram ke Mataram Islam1



Masjid Gede Mataram keberadaanya tidak bisa dipisahkan dari sejarah beridirinya Mataram di Yogyakarta Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candicandi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Prambanan dan Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.



Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.



Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun



benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.



Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.



Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Pleret) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam. Pada masa mataram islam inilah Masjid Gede di dirikan oleh Sultan Agung.



3. Selayang Pandang Masjid Gede Mataram Lokasi Masjid Gede Mataram berada di Jalan Watu Gilang, Kotagede Yogyakarta dan sangat dekat dengan pasar kotagede. Sebelum masuk ke area Masjid Gede, akan ditemui sebuah pohon beringin yang cukup besar dan konon usianya sudah ratusan tahun. Di bawah pohon berinngin tersebut digunakan sebagai lahan parkir untuk para pengunjung baik yang ingin mengunkungi makam Panembahan senopati ataupun Masjid Gede. Penduduk setempat menamai beringin yang umurnya kira kira sudah ratusan tahun dengan sebutan "Wringin Sepuh". Setelah itu sebelum masuk ke komples masjid, akan ditemui gapura yang berbentuk paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha. Masuk ke kompleks masjid ada sebuah prasasti yang berwarna hijau sudah lumayan kusam. Prasasti kira-kira setinggi 3 meter itu merupakan sebuah tanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid Gede Mataram. Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat. Masuk ke masjid terdapat 4 saka dan 1 blandar gantung seperti pada masjid-masjid kuno terdapat nilai filosofis tak terkecuali mesjid Gede, filosofi dari 4 saka dan 1 blandar tersebut adalah untuk mencapai ketauhidan kepada Allah harus ditopang dengan 4 kekuatan yaitu syahadat, shalat, puasa. Area masjid gede juga hanya boleh di tanami sawo maniko/kecik yang dalam bahasa jawa diartikan sebagai sarwo becik (serba baik). yang ditanam dimesjid ini diharapkan berasas pada kebecikan, Kebaikan. Baik sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah



SWT. dan salah satu dari yang serba baik itu yaitu melaksanakan sholat lima waktu sehingga di area masjid terdapat 17 pohon sawo kecik yang menunjukkan 17 raka’at, jumlah rakaat sholat 5 waktu jika dijumlahkan. Ada juga pohon Kantil yang mempunyai makna filosofi bahwa jika seseorang bisa mengerjakan sawo kecik (serba baik) maka seseorang akan kemanthil (bergantung dan bertautan) kepada Allah SWT. di Masjid Gede ini tidak ada sisi simetris karena kesimetrisan (kesempurnaan) hanya milik Allah SWT. Untuk dapat melihat keunikan masjid ini akesnya tidaklah begitu sulit dan mahal cukup membayar Rp. 2000 atau Rp. 1000 untuk parkir sepeda motor. Karena untuk berkunjung kemasjid tidak di pungut biaya. 4. Wawancara Dengan Pengunjung Saya berkesempatan untuk mewawancarai dua orang pengunjung Masjid Gede, yang kebetulan sedang berada di serambi masjid.



Mereka berdua adalah mahasiswi UPN



Yogyakarta. Mencoba menggali informasi dari kedua mahasiswi ini, kedatangan mereka ke kotagede adalah untuk melihat sendang yang ada di sekitar masjid dan makam raja-raja mataram, mereka mengetahui ada sendang yang cukup terkenal itu dari teman dan dari informasi yang mereka baca. Oleh karena itu mereka berdua berkunjung kesendang tersebut. Ketika ditanya oleh para pewawancara (saya, Huda, Baeti) tentang mesjid Gede mataram mereka sebenarnya tujuan berkunjung ke mesjid tersebut untuk melaksanakan ibadah, dan kurang begitu tahu tentang sejarah masjid Gede Mataram. Sehingga kamipun hanya mendapatkan sedikit informasi pandangan kedua mahasiswi itu tentang masjid Gede mataram. Kamipun sepakat untuk mewawancarai juru kunci masjid Gede.



5. Wawancara dengan Bapak Muhammad (Juru Kunci) Di masjid Gede Mataram terdapat juru kunci yang bernama Bapak Muhammad atau akrab dipanggil Mbah Mad oleh banyak orang, wawancara dengan mbah mad ini saya mendapat banyak informasi mengenai kehidupan beliau di Masjid Gede. Beliau sendiri mengisahkan bagaimana awal mula dia bisa tinggal di Masjid Gede. Mbah Mad menuturkan bahwasanya ketika beliau masih muda dulu beliau sering berpindah-pindah tidak menetap di Bantul, sampai pada suatu saat beliau bermipi bertemu dengan Sunan Kalijaga, dan mendapat mandat untuk menetap di masjid Gede. Mbah Mad pada berasal dari daerah Pleret, Bantul dan telah tinggal berasama dengan salah satu anakanya di masjid Gede cukup lama, sekitar tujuh tahun. Adapun kesehariannya yang dilakukan oleh Mbah Mad yaitu menjaga masjid dan membersihkan mesjid dan sekitaran mesjid. Dan aktif untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang di programkan oleh takmir masjid. Sehingga pada saat wawancara berlangsung tidak jarang saya mendapatkan nasihat dari beliau. 6. Kegiatan Pendidikan Keagamaan di Masjid Gede Masjid Gede tergolong masjid tua yang tergolong masih aktif. Untuk Kegiatan Pendidikan keagamaan di Mesjid Gede terbilang aktif, hal ini dibuktikan dengan banyaknya santri yang belajar di mesjid tersebut. Menurut takmir masjid ada sekitar 80 santri dan 12 Guru yang mengajar di Mesjid Gede, yang dilaksanakan 3 kali dalam seminggu, dan pada rabu malam kamis selepas melaksanakan sholat magrib ada kajian tafsir-tafsir yang di isi oleh Prof. Muhammad. Sedangkan untuk hari kamis pagi di isi oleh Ustad Fadlan(ketua Ru’yah Nasional). Pada malam jumat ada kegiatan tadarus, ada malam selasa diadakan kajian Hadits. Dukungan dari berbagai pihak menjadikan mesjid ini tetap kokoh baik bangunan fisik



maupun non fisik (kegiatan) dan salah satu bentuk dari pewarisan budaya adalah lewat pndidikan. Untuk itu kegiatan di mesjid Gede ini coba untuk di uri-uri (jw) oleh masyarakat sekitar salah satunya dengan mengikuti berbagai kegiatan pendidikan yang di programkan oleh Takmir Masjid pendidikan menjadi kunci untuk terus mengajarkan karifan budaya kepada generasi-generasi penerus, ankulturasi dan sosialisasi kebudayaan islam yang ada di masjid Gede terus dilakukan oleh masyarakat sehingga keberadaan masjid bukan hanya keberadaan secara fisik tapi lebih dari itu masjid dipergunakan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Sejauh ini keberadan masjid Gede begitu berarti bagi masyarakat karena dengan berbagai kegiatan seperti yang telah disebutkan memberikan akses bagi masyarakat atau pengunjung untuk ikut menjaga fungsi dari masjid dan menjaga nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para pendahulu. Sejarah mulai dari Mataram Hindu sampai dengan Mataram Islam memberikan hikmah bagi kita bahwa peradaban terus berubah dan sebisa mungkin peradaban yang baik harus dilanjutkan dan dikembangkan dan budaya yang buruk



medatangkan kerusakan



(mafsadat) maka sepatutnya digantikan dengan budaya-budaya yang baik dan mashlahah baik bagi individu maupun orang lain. Sesuai dengan kaidah: “almuhafadotu ‘ala qodim as-sholih, wal akhdu ‘ala jadid al-ashlah” Wa Ba’du, pendidikan sebagai investasi masa depan, media pembudayaan masyarakat dan pengenalan terhadap Allah harus tetap dilestarikan. Pendidikan islam yang di selenggarakan di Masjid yang penuh sejarah menjadi metode yang tepat untuk tetap menjaga eksistensi masjid agar tidak lapuk oleh kemodrenan sehingga lingkungan sekitar yang begitu dekat dan memiliki nilai sejarah yang begitu besar bisa dikenal, dipelajari, diramaikan dan dikembangkan. WaAllahu A’lam



Lampiran Foto Dokumentasi



(Foto: Salah satu Gerbang Masjid Gede Matararam)



(Foto: Wawancara dengan Mbah Mad (Juru kunci Masjid))



(Foto: Bangunan sebelum masuk kompleks Masjid Gede)