TUGAS 1 Manajemen Pelayanan Umum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS 1 MANAJEMEN PELAYANAN UMUM



NAMA



: Dila Oktari



NIM



: 042391183



Birokrasi di Indonesia ketika persepsi yang muncul adalah suatu sistem pelayanan dan administrasi pemerintahan yang terkesan aneh, berbelit-belit dan lamban. Birokrasi merupakan penyakit menahun di tanah air yang sulit di ubah. Namun setelah reformasi politik sekitar tahun 1998 terjadi, maka banyak upaya dan program-program pembangunan dan pengembangan kelembagaan yang juga direformasi menuju sistem yang lebih demokratis. Birokrasi, dunia usaha dan masyarakat adalah tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep “good governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terkait dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang, semangat pelayanan publik, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis akan membawa kebaikan bagi Negara dan bangsa ini. Karena itu birokrasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya, menunjang pelaksanaan sistem pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu kondisi birokrasi yang profesional adalah memberikan pelayanan tehadap masyarakat (public service), sehingga cita-cita, inisiatif dan upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan guna memiliki wawasan pelayanan publik. Birokrasi hadir sebagai kreasi dari penguasa untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk memperluas dan memperbesar serta mempertahankan kekuasaan. Dengan reformasi birokrasi yang dilakukan, konsep pelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa sampai saatnya menuju orientasi pelayanan publik. 



Birokrasi dan pelayanan publik



Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era-reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanannya, ternyata tidak mengalami perubahan yang siknifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang sebagian di tandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Dalam bidang pelayanan



publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan. birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masarakat Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lan-lain adalah sederetan hal negative yang ditimpakkan kepada birokrasi. Bahkan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pelayanan publik, pemerintah telah menetapkan terbentuknya Komisi Pelayanan Publik (KPP) yang independen dan berada di tingkat pusat dan daerah. Akan tetapi, kenyataannya komisi ini tidak digunakan masyarakat dan malah terpuruk dengan masalahnya sendiri, terutama komisionernya yang sibuk mengurusi tidak turunnya gaji mereka. Pelayanan publik seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejak mana kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi penting pemerintah selain regulasi, proteksi dan distribusi. Pelayanan publik merupakan proses sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masayarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan biokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang tepaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan level organisasi publik yang memberikan pelayanan. Kondisi ini menandakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemeintah dalam menyelenggarakan pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat sejauhmana kemampuan mengaktulisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada sejauh mana pelayanan publickdapat dijalankan. Artinya, sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berperilaku transparan, akuntabel, dan demokratis akan berdampak pada sejauh mana pelayanan publik yang akan dan sudah dilakukan.



Untuk menuju pada terwujudnya birokrasi yang berwawasan atau beriorentasi pada pelayanan publik, beberapa kriteria harus dipenuhi seperti berikut. (Mohammad,2003 dalam bapenas, 2004): 1. Lebih memfokuskan dari pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat. 2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarkat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama. 3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas. 4. Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcome) sesuai dengan masukan yang digunakan. 5. Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat. 6. Pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperolah pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksankan. 7. Lebih mengutakaman antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. 8. Lebi mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan. 9. Menerapkan sistem pasar dalam membrikan pelayanan.



Sedangkan menurut Pemenpan No.36 Tahun 2012 pengertian pelayanan publik sebagai “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrative yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik”. Ada 3 faktor utama dalam UU No.25 Tahun 2009; 1. Korporasi/swasta, penyelenggara negara, lembaga independen, 2. Pelaksana adalah orang yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, 3. Masyarakat sebagai penerima manfaat. Tiga syarat: Responsif,Transparan dan Akuntabel



Ada beberapa jenis pelayanan publik yang ditinjau dari jenis penyediaannya: a) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi korporasi/ swasta. Ini adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, misalnya rumah sakit swasta, sekolah dan Perguruan Tinggi Swasta, perusahaan perumahan swasta dll. b) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemrintah dan bersifat primer. Ini merupakan semua penyedia barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan masyarakat mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan. c) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder. Ini adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus menggunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan, misalnya program asuransi kerja, program pendidikan, dan pelayanan yang diberikan oleh BUMN. Prinsip dalam pelayanan publik yang harus terus ditaati adalah responsive terhadap permohonan, transparan dari segi persyaratan, proses, waktu dan biaya. Dan, akuntabel atas dana yang dihimpun dalam prosesnya.



Tantangan pelayanan publik Ada beberapa tantangan yang ditenggarai mempengaruhi persepsi masyarakat yang miring tentang pelayanan publik, yaitu: 1. Kurangnya pemahaman mengenai UU No.25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dan Permenpan No.36 Than 2012 tentang petunjuk teknis penyusunan, penetapan dan penerapan standar pelayanan,



2. Komitmen pimpinan, 3. Standar Pelayanan Publik belum ada, 4. Sumber daya manusia, 5. Kemauan dan itikad pelaksana, 6. Koordinasi internal, 7. Sarana dan prasarana. Memang solusi permasalahan ini tidak semudah dalam teori dan tidak semudah membalikan telapak tangan. Tak dapat dipungkiri selama ini sudah banyak waktu, tenaga, pikiran dan upaya yang dilakukan oleh penyedia layanan. Kenyataannya masih tetap diperlukan upaya keras dan gerakan yang masif untuk mengatasi tantangan-tantangan diatas. Gencarnya diseminasi informasi di kalangan penyelenggara pelayanan publik menjadi harapan untuk dapat mengatasi kendala kurangnya pemahaman dan koordinasi internal penyelenggara layanan. Untuk tantangan komitmen pimpinan, kapasitas SDM (rotasi, pemecatan), kemauan dan itikad pelaksana dapat diupayakan melalui rekrutmen awal, lingkungan kerja yang penuh nilai-nilai moral dan kekuatan komitmen serta teladan dari pimpinan tertinggi. Guna dari standar pelayanan publik harus dijadikan tolok ukur pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian pelayanan publik, karena pelayanan yang mudah, terjangkau, cepat dan terukur adalah yang diperlukan. Mengenai tantangan tentang belum adanya standar pelayanan publik, perlu dibuat standar pelayanan publik yang mencakup, sistem, mekanisme dan prosedur, dalam UU sudah diatur tentang itu, yang cukup penting, penyusunan standar amanatnya harus melibatkan masyarakat. Peran lembaga pengawasan yang telah dibentuk juga harus dimaksimalkan dengan segenap kekuatan. Sarana dan prasarana merupakan kendala yang paling mudah diatasi di antara semua tantangan. Kuncinya hanya menyediakan kebutuhan pendukung berupa sarana dan prasarana yang berfungsi, layak dan terawat. Akhirnya peran masyarakat baik dunia usaha, media, DPR dan DPRD harus terus bersuara keras. Kita semua harus tegas, tidak boleh berhenti atau menghilang ditelan waktu demi untuk mengatasi tantangan-tantangan dan mendorong perbaikan peningkatan pelayanan publik.



Kompetensi yang harus dimiki pimpinan sebagai manajer pelayanan publik Kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti kecakapan, kemampuan. Competency berarti cakap, mampu (Echols dan Shadily, 1993: 132). Kompetensi memanage berarti kemampuan pimpinan dalam mengelola, mengatur dari merencanakan, mengkoordinasi, mengaktualisasikan dan mengawasi organisasi publik. Kompetensi bagi pimpinan publik ini dimaksudkan supaya organisasi publik dapat memecahkan masalah seperti pemborosan anggaran, arogansi, minta dilayani, senang mengatur, tidak rasional, mental dapur, dan otoriter. Adapun kompetensi yang harus dimiliki pimpinan publik adalah minimal tujuh kompetensi, yaitu:



1. kompetensi memanage diri sendiri Kepemimpinan berkenaan mengatasi perubahan lebih menekankan pada fisik kepemimpinannya. Dengan demikian, pemimpin harus memberikan inovasi dari sekedar melakukan tugas administrasi yang notabene dilakukan oleh seorang manajer. Pimpinan publik yang memiliki kompetensi diri sendiri adalah pimpinan yang memliki pengetahuan luas, inkuisitif, kemampuan analisis yang mendalam, daya kognitif dan penalaran di atas rata-rata. Sebuah aksioma yang diterima secara umum oleh teoritis dan praktisi adalah semangkin tinggi kedudukan dalam hierarki organisasi, ia dituntut untuk mampu berfikir. Kemampuan berfikir ini tidaklah dapat dimiliki pimpinan tanpa adanya pengetahuan yang luas terutama terkait dengan disiplin pengetahuan tentang pencapaian tujuan organisasi. (Saraswati & Solikhin, n.d.) Inkuisitif artinya rasa ingin tahu, yang merupakan sikap yang mencerminkan dua hal yaitu: 1) Tidak merasa puas dengan pengetahuan yang dimiliki, kedua, kemampuan untuk mencari dan menemukan hal-hal baru. (Solikhin, 2017) ini merupakan cermin dari pimpinan yang ingin tumbuh dan berkembang, kemampuan analisis yang dimaksudkan disini adalah cara dan kemampuan berfikir yang Integralistik, Strategik dan berorientasi pada pemecahan masalah. Persoalannya sekarang adalah bagaiman menerapkan kompetensi memanage diri sendiri dalam organisasi publik. Minimal ada empat strategi yang harus dilakukan, pertama, seorang pimpinan publik harus berfikir dan bertindak generalis. Artinya pimpinan organisasi publik dituntuk memiliki kemampuan untuk melihat dan memberlakukan



seluruh pegawai dan rakyat yang plural dengan persepsi dan pendekatan holistic, bukan dengan persepsi dan pendekatan inkrementalistik apalagi atomistic. (Saraswati & Sholikin, n.d.) Untuk memahami mengenai pendekatan holistic ini, pimpinan publik dituntut untuk mencari pengetahuan yang luas yakni pemahaman berbagai disiplin ilmu yang ada sangkut pautnya dengan tujuan, strategi, rencana dan kegiatan organisasi publik yang dipimpinnya. Bukankah latar belakang pendidikan dan pengalaman seorang pegawai cenderung terspesialisasi. Siagian (1999: 76-77) dengan tegas mengatakan pengetahuan yang spesialistik itu hanya akan menjadi penghalang bagi efektivitas pimpinan publik, apabila pengetahuan tersebut berakibat pada pemberin perhatian yang tidak proporsional. Dengan kata lain pimpinan publik harus mengenali hutan dimana dia berada, bukan mengenali pohon yang di sukainya yang ada dalam hutan itu. Misalnya seorang bupati yang berpikiran generalis akan melihat pegawai dan rakyat serta secara keseluruhan, bukan hanya pegawai dan rakyat yang mendukung dia untuk menjadi bupati. 2) Terus belajar. Belajar dari pengalaman-pengalaman sendiri, pengalaman-pengalaman orang lain maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan tujuan dan strategi organisasi publik yang dipimpinnya. Mengenai kemampuan belajar dan pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman dari orang lain, memiliki dua makna yang sangat penting. a. Dengan berusaha mengenali faktor-faktor penyebab keberhasilan, termasuk cara-cara dalam pemecahan masalah, menghilangkan ancaman dan gangguan. Pimpinan publik yang memiliki kompetensi diri sendiri adalah pimpinan yang memiliki pengetahuan luas, inkuisitif, kemampuan analisis yang mendalam, daya kognitiif dan penalaran di atas ratarata. Sebuah aksioma yang diterima secara umum oleh teoritisi dan praktisi adalah semangkin tinggi kedudukan dalam hierarki organisasi, ia dituntut untuk mampu berfikir. Kemampuan berfikir ini tidaklah dapat dimiliki pimpinan tanpa adanya pengetahuan yang luas terutama terkait dengan disiplin pengetahuan tentang pencapaian tujuan organisasi. (Saraswati & Sholikin,n.d) menghilangkan rintangan dan tetap memperhatikan dalam situasi dan kondisi yang bagaimana cara-cara efektif. b. Mengenali secara tepat faktor-faktor yang menghambat yang mengakibatkan keberhasilan bahkan kegagalan di masa lalu. Ini dimksudkan faktor penghalang dapat dieliminasi atau paling tidak diminimalisasi.



3) Mengedepankan cara berfikir yang integralistik, strategic dan berorientasi pada pemecahan masalah. Dalam hal ini pimpinan publik harus menumbuhkan dan memperlakukan dinas yang dipimpinnya sebagai satuan bulat meskipun di dalamnya terdapat satuan kerja yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan aneka ragam spesialisasi. Untuk itu pendekatan holistic adalah jalan keluar untuk memungkinkan interaksi dan interalasi antara satuan kerja yang dapat ditumbuhkan dan dipelihara sehingga menghasilkan hubungan yang sifatnya simbiosis mutualis. (Solikhin 2017) cara berfikir strategic adalah pimpinan publik harus mampu menganalisis mana prioritas program yang utama, mendesak, penting, mana program yang harus dikerjakan sendiri, mana yang harus dikerjakan orang lain dan menganalisis dampak-dampak alasannya secara mendalam. Cara berfikir yang berorientasi pada pemecahan masalah jelas menuntut publik memiliki kemampuan analitik, mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan dan penelaahan informasi yang diperlukan, alterrnatif pemecahan masalah yang mungkin ditempuh, penentuan pilihan pemecahan sehingga implementasinya benar-benar membawa kepada pemecahan yang tuntas dan akuntabel.



Empat pimpinan publik harus sepenuhnya memusatkan kepada organisasi publik yang dipimpinnya. ini dimaksudkan disamping optimalisasi kerja pimpinan, apabila pimpinan publik tidak terfokus pada dinas yang dipimpinnya, akan berakibat pada daya kognitif penalaran yang lemah. dari banyak literatur yang ada, terutama pimpinan publik, tidaklah harus seorang yang jenius tetapi yang penting ada daya intelektualnya. salah satu daya intelektual ini adalah daya ingat yang kuat. daya ingat bisa kuat apabila pimpinan hanya terpaku pada satu pusat perhatian. 2. kompetensi memanage komunikasi. menurut sejak (19 90: 77) Komunikasi diartikan sebagai transfer informasi beserta pemahamannya dari suatu pihak ke pihak yang lainnya melalui alat-alat berupa simbol yang penuh arti. ini berarti suatu komunikasi merupakan media tukar-menukar ide, sikap, nilai-nilai opini opini dan fakta. kompetensi memanage komunikasi berarti kemampuan seorang



pimpinan publik dalam menyampaikan ide, sikap, nilai-nilai kepada pegawainya. peran kompetensi komunikasi tidak boleh dianggap kecil karena paling tidak memiliki makna: . a. sebagai motivasi para pegawai untuk bekerja secara tekun dan giat b. sebagai ekspresi emosi pimpinan c. sebagai penyampaian informasi d. sebagai pengendalian perilaku pegawai untuk itu, perilaku yang harus dilakukan pimpinan publik dalam memanage komunikasi adalah sebagai berikut: pertama hakekat komunikasi adalah mengalihkan suatu pesan dari satu ke pihak lain. agar Pesan yang disampaikan pimpinan publik tidak mengalami distorsi maka diperlukan kode nisasi ( Sholikin & abdul gaffar karin, 2015) Kode nisasi berarti menerjemahkan pesan yang hendak disampaikan dalam bentuk tertentu. untung itu pimpinan publik harus memiliki keterampilan dan menyusun pesan sehingga jelas bagi aparatur Pemerintah dan memudahkan kegiatan pemerintahan. Mc Gregor Menyebutkan komunikasi juga dapat diimplementasikan melalui reward atas tugas tertentu karena teori X mengharuskan pemimpin menciptakan kontrol atas bawahan yang dianggap lalai mengerjakan tugas yang dibebankan. kedua pimpinan publik Harus Memiliki sikap yang tepat dalam menyampaikan pesan dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkat pendidikan dan kedudukan aparatur Pemerintah baik dalam organisasi publik maupun di luar. ketiga pimpinan publik harus menggunakan dan mengembangkan sistem komunikasi terbuka. artinya secara objektif pemimpin publik di samping menyampaikan informasi kepada pegawai, pimpinan publik harus siap mendengarkan informasi ( tuntutan dan keluhan) anne-marie pun kritik dari pegawai bawahannya. ini berarti disamping pemimpin publik sebagai sender juga siap sebagai pendengar yang baik. ke-4



pimpinan publik harus mengatur media informasi yang dibutuhkan pegawai dan ke-5 mendorong timbulnya feedback 3. Kompetensi memanage kemajemukan kemajemukan dalam sebuah organisasi publik adalah merupakan hal yang wajar yang tidak wajar adalah mereka tidak diperlakukan sama oleh pimpinan publik. maka dalam hal ini strategi yang mungkin bisa diterapkan pimpinan organisasi publik adalah: pertama pimpinan publik harus mampu sebagai koordinator dan integrator dari berbagai komponen organisasi, sehingga dapat bergerak sebagai sebuah totalitas. (solihkin, 2016) oleh karena itu, pendekatan yang harus dipakai adalah pendekatan holistik dan integralistik karena pimpinan publik mau tidak mau harus menyusun organisasi sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan organisasi. 4. kompetensi memanage etika etika secara sederhana dapat dipahami sebagai scince of morality atau sesuatu yang mendeskripsikan baik (setiyono,2005). dalam organisasi privat lebih-lebih organisasi sektor publik mutlak diperlukan karena a. setiap profesi membutuhkan etika sebagai standard of Conduct b. dapat menimbulkan publik trust C. ketiadaan etika dapat menyebabkan weekend support for government, distruisted public offici als, reduced civic engangement ( MC Carthy dalam Setiyono, 2005) Melihat hal ini, kemampuan seorang publik dalam memanage etika adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan karena dengan etika keadilan yang merupakan salah satu tujuan organisasi mungkin dapat diperlihatkan kepada publik. untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dimiliki pimpinan di sektor publik dalam memanage etika ini. pertama,



Pimpinan publik harus mengembangkan sistem yang terbuka ( transparan). (Sholikin,2018a) keterbukaan merupakan kata yang mudah untuk diucapkan, tetapi sampai saat ini hampir semua pimpinan publik masih enggan bahwa isi dapurnya diobok-obok oleh pegawainya, apalagi rakyat. tetapi apabila pimpinan publik tidak transparan, yang terjadi justru tingkat kepercayaan rakyat akan menurun dan itu merugikan pemerintah. kedua pimpinan publik harus mengedepankan pelayanan sebagai Fokus utama dalam sektor publik. harus dipahami bahwa sektor publik tidaklah semata-mata mengejar keuntungan seperti sektor privat, tetapi lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan Titik maka dari itu sikap yang seringkali cenderung mengatur dan memerintah hendaknya segera dieliminasi. Selain itu yang harus dipahami pimpinan organisasi publik sekarang ini masyarakat sudah mulai sadar dan mengerti bahwa mereka menghendaki sikap egalitarianisme, rasional dan demokrasi (setiyono,2004: 170). ketiga pimpinan publik harus akuntabel. Akuntabilitas pimpinan publik tidak boleh hanya ada atasan (accountability up wards), juga pada staf (accountability staff) lebih diarahkan pada accountability down wards yaitu akuntabilitas as yang diarahkan dengan proses konsultatif dan kerjasama antara Wakil Rakyat dengan masyarakat di tingkat lokal. terkait dengan ini pimpinan harus mampu memperluas aternatif penyediaan pelayanan publik serta menunjang informasi atau menetapkan standar yang dapat menjamin adanya akuntabilitas yang baik dalam pelayanan publik. juga konsep salf accountability yang merupakan proses akuntabilitas internal yang sangat tergantung pada penghayatan mengenai nilai-nilai moral atau etika pimpinan publik dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. menurut denhardt( 1998:18) akuntabilitas ini harus lebih diarahkan pada pentingnya kualitas subjektif , Rasa tanggung jawab dan pentingnya kontrol struktural. keempat. Pemimpin publik harus lebih responsif. untuk itu menurut Haylan dalam Komorotomo (2005:8) pemimpin publik harus membuka lebar partisipasi masyarakat dan konsultasi publik, debat publik, mentolerir dan memfasilitasi lembaga-lembaga advokasi, sering



mengadakan pertemuan pertemuan yang bersifat publik dan mempelopori kebebasan berpendapat. kelima tegas. Apabila ada pejabat yang melanggar aturan dan kode etik yang telah ditetapkan, sikap eweh pekeweh sungkanisme, Hendaknya dieliminasi. pimpinan harus tegas dalam merumuskan sesuatu dan mengambil tindakan yang bersifat punitif setelah dipahami secara seksama membahayakan kehidupan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. d. kompetensi memanage tim langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pimpinan publik minimal dua hal yaitu: 1.



menjaga kohesi antara anggota yang satu dengan yang lain. atau mungkin menjaga kohesi antara masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain,



ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya konflik baik pada pejabat



bawahan juga masyarakat yang sangat peternalistik. 2.



sebagai mediator. Dalam kehidupan organisasi situasi konflik akan selalu ada untuk itu pimpinan publik harus mampu sebagai mediator. ( Saraswati & Sholikin,n.d) sebagai mediator pemimpin publik harus memiliki keyakinan berbagai kepentingan dalam organisasi meskipun sukar pasti bisa di pertemukan. ini mutlak diperlukan demi kekompakan tim. Karena kalau dibiarkan berlarut-larut tujuan organisasi akan terhambat.



e. kompetensi memanage keragaman budaya sudah menjadi hukum alam, bahwa manusia diciptakan tidak sama. maka pluralisme budaya dalam sebuah organisasi adalah sebuah kenyataan. untuk itu, strategi yang harus dilakukan pemimpin organisasi publik adalah sebagai berikut: 1.



perbedaan budaya harus dilihat sebagai sebuah kekayaan yang harus dikembangkan bukan sebagai suatu ancaman. karena setiap budaya pasti memiliki nilai-nilai positif. nilai-nilai positif inilah yang akan dijadikan input dalam Memajukan organisasi.



2. sebagai integrator sikap mementingkan kelompok dan satuan kerja seringkali mudah timbul dalam organisasi. ini mungkin disebabkan karena Dalam organisasi tersebut menuntut adanya spesialisasi yang berlebihan sistem alokasi dana dan daya yang kurang atau tidak rasional dan kurangnya pendekatan pada kesisteman. keadaan ini seringkali biasanya terkait suasana kompetisi di kalangan Kelompok kerja yang ada ada yang diupayakan agar satuan kerja sendiri di perlukan satuan kerja strategic. jika pimpinan publik membiarkan persepsi yang demikian berkembang, dapat dipastikan bahwa satuan anggota kerja yang bersangkutan akan berjuang supaya satuan kerja sendiri memperoleh alokasi dana, sarana dan prasarana dan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan satuan kerja yang lain. upaya yang demikian konsekuensinya akan melahirkan cara berpikir dan bertindak yang terkotak-kotak. Oleh karena itu pimpinan publik yang efektif tentunya tidak akan membiarkan cara berpikir dan bertindak yang demikian karena organisasi publik yang diterapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan hanyalah yang bergerak sebagai suatu totalitas. Meskipun tidak bisa disangkal suatu organisasi pemerintahan modern disusun dalam suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas dan kegiatan yang beraneka ragam. keragaman itu menghilangkan perlunya interaksi, interelasi dan interdependensi yang didasarkan pada prinsip simbiosis mutualisme ini artinya tidak ada organisasi publik yang tujuan dan sasarannya bersifat mutually eksklusif. f. kompetensi memanage perubahan ( Warella,2005) Perubahan dalam segala bidang kehidupan, termasuk sektor publik adalah sebuah keniscayaan. untuk itu sikap yang harus diaplikasikan oleh pimpinan publik dalam memanage Perubahan ini adalah: pertama pimpinan publik harus mempunyai sikap adaptabilitas yang tinggi, sikap adaptif mungkin bisa diwujudkan dalam beberapa contoh 1.



seorang pemimpin publik tidak akan mudah melakukan generalisasi, melainkan melihat cat setiap perkembangan situasi sebagai suatu yang khas.



2.



dalam memecahkan masalah, ia tidak akan terperangkap oleh cara pemecahan tertentu hanya karena cara tersebut pernah dipergunakan di masa lalu dan dinilai membuahkan pemecahan yang diharapkan.



3.



dalam berkomunikasi dengan orang lain gaya, teknik dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan, kedewasaan dan kondisi pihak dengan siapa pimpinan publik berkomunikasi.



4.



menggunakan dan memakai sarana organisasi dengan teknologi teknik, demi menunjang efektivitas, efisiensi dan kualitas pelayanan.



kedua pimpinan publik harus fleksibel. sikap fleksibel yang berarti mampu melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, sikap dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan dan situasi serta kondisi tertentu yang dihadapi tanpa mengorbankan prinsip yang dianut oleh organisasi publik. karena itu, fleksibilitas hendaknya tidak Diidentikkan dengan tidak ada pendirian, sifat bunglon dan sifat yang sejenis yang seringkali dinilai negatif. agar pemimpin publik terhindar dari sikap yang kaku maka hendaknya organisasi publik sebagai mana gagasan Osborne dan gaebler (1996:21-27) harus digerakkan oleh misi bukan peraturan. pemerintahan yang digerakkan oleh misi jauh lebih memperhatikan kepentingan pelaksanaan misi yang dikembangkannya dari pada pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan yang kaku dan mengikat. Organisasi publik yang digerakkan oleh misi, aturan dilaksanakan secara luwes dan memberikan otonomi kepada birokrat secara proporsional. sehingga aparatur Pemerintah memanfaatkan sumberdaya dan lingkungan dengan efektif dan seefisien mungkin tanpa melanggar aturan yang baku organisasi. Seperti yang ditulis Osborne dan Gaebler dalamTanlikisan ( 2005: 105) organisasi yang dijalankan berdasarkan peraturan akan tidak efektif dan kurang efisien karena kinerjanya lambat dan terkesan bertele-tele. Hal ini karena mendudukan misi organisasi publik yang berangkutan mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada anggota organisasi untuk mencapai misi tersebut. Adanya peraturan memang suatu kenyataan yang memiliki tujuan yang baik, tetapi dalam praktiknya organisasi berjalan lambat dan kurang mampu merespon tuntutan lingkungan yang berubah dengan cepat. Alasannya adalah pemimpin publik tidak akan mampu melakukan apa yang menurut pandangannya baik, karena takut terkena sanksi jika



ternyata perbuatan maupun keputusannnya dianggap melanggar peraturan. Kondisi ini jika berlarut-larut akan menimbulkan sikap dan tindakan aparatur pemerintah menjadi apatis dan kehilangan inovasi dalam memberikan pelayanan publik. Konsekuensi organisasi publik yang digerakkan oleh peraturan ( meski peraturan mungkin bisa menekan penyimpanan dan korupsi ) tetapi akibatnya terjadi pemborosan. Sedangkan menurut Osborne dan Gaebler (1996:133-134) organisasi publik yang digerakkan oleh misi memiliki keunggulan nyata yaitu: lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih mempunyai semangat lebih tinggi ketimbang digerakkan oleh peraturan. Untuk itu, maka syarat yang harus disediakan oleh pimpinan publik adalah: 1. menciptakan pernyataan misi yang jelas, konkrit dan teratur 2. memecah organisasi besar menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyatukan beberapa tim dan organisasi baru 3. menciptakan suatu budaya organisasi dalam misi. Akhirnya, tawaran sederhana ini tetap perlu didiskusikan lebih lanjut demi menciptakan pelayanan publik yang lebih berkualitas. Tugas pimpina birokrasi sebagai menajer pelayanan publik Agar kepeminpinan tetap berhasil mencapai tujuan, pelaksanaan kepemimpinannya yang baik dapat dilihat dari cara seorang pemimpin melakukan tugasnya, hal ini dapat dilihat dari ciriciri sebagai berikut: 1. penglihatan sosial, suatu kemampuan untuk melihat dan mengrti gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat sehari-hari. 2. kecakapan berfikir abstrak, dalam artian seorang pemimpin harus mempunyai otak yang cerdas, intelegensi yang tinggi, dalam menganalisa dan memutuskan adanya gejala yang terjadi dalam kelompoknya, sehinggah bermanfaat dalam tujuan organisasi. 3. keseimbangan emosi dalam mengambil tindakan dan kebijakan dalam mengambil keputusan.



4. seorang pemimpin juga harus bisa memberikan motivasi, hal ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan semangat kepada para bawahan dalam pencapaian target yang diharapkan. Menurut Malthis motivasi merupakan hasrat didalam diri seorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan. Sedangkan Rivai berpendapat bahwa motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Motivasi adalah kesediaan melakukan usaha tingkat tinggi guna mencapai sasaran organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut memuaskan kebutuhan sejumlah individu. Motivasi merupakan faktor psikologis yang menunjukan minat individu terhadap pekerjaan, rasa puas dan ikut bertanggung jawab terhadap aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan Hasibun berpendapat bahwa motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Mptivasi merupakan sesuatu yang membuat bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu.



Sumber: IPEM4429/Modul 1-9/Manajemen Pelayanan Umum Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol.10 No.1 2018(79-9) ISSN 2085-143X