Tugas Hi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Muhammad Arfan Ibrahim



Nim



: 02011181520055



Mata Kuliah : Perjanjian Internasional



TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL



1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Internasional Beberapa istilah dan pengertian Perjanjian Internasional yang umum dipergunakan dalam praktik yaitu : A. TREATY Menurut Elias pengertian Perjanjian Internasional mencakup seluruh perangkat/instrument yang dibuat oleh subyek hukum internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional. B. CONVENTION Dalam pengertian khusus, terminology “convention” diindonesiakan dengan kata konvensi. Kata konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilatertal yang beranggotakan banyak negara pihak. C. AGREEMENT Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terminology “agreement” dikenalkan dengan sebutan “Persetujuan”. Menurut pengertian ini, persetujuan lazimnya hanya mengatur materi muatan yang memiliki cakupan yang lebih sempit dibandingkan dengan materi muatan yang lazim diatur dalam traktat. Hal demikian Nampak jelas dalam praktiknya yang lebih cenderung untuk menggunakan persetujuan untuk perjanjian bilateral. D. MEMORANDUM OF UNDERSTANDING Memorandum saling kesepahaman merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operaasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan pengesahan.



E. PROTOCOL Protocol disini berupa dokumen yang sering dipergunakan untuk menetapkan suatu perjanjian internasional, meskipun lazimnya bersifat perjanjian tambahan yang tidak begitu resmi dan penting seperti treaty. F. CHARTER Istilah charter pada umunya adalah Anggaran Dasar suatu organisasi internasional, seperti PBB. Charter adalah suatu kemajuan di dalam pengorganisasian masyarakat internasional. G. DECLARATION Deklarasi merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Deklarasi materi muatannya ringkas dan padar serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formalitas seperti surat kuasa, ratifikasi dan lain-lain. H. FINAL ACT Final act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konferensi internasional, yang memuat perjanjian-perjanjian atau konvensi yang dihasilkan dari konvensi tersebut, yang sering pula berisikan himbauan berupa harapan yang dianggap penting. I. ARRANGEMENT Arrangement merupakan bentuk persetujuan untuk mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk. J. EXCHANGE OF NOTES Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian dalam hukum perdara internasional. Pertukaran nota atau surat ini termasuk cara-cara yang lazim dipakai Indonesia dalam hubungannya dengan negara-negara sahabat. K. AGREED MINUTES AND SUMMARY RECORDS “Agreed Minutes and Summary Records” tidak lebih merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.



L. PROCESSS VERBAL Terminologi ini dipergunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan mengenai halhal yang bersifat teknik administrative atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan. M. PACT Terminologi ini digunakan untuk menunjuk suatu “soleman agreement” yang khusus. N. STATUTE Terminologi ini dipergunakan sebagai sebutan Anggaran Dasar suatu organisasi internasional. Namun dalam prakteknya terminology ini seringkali dipergunakan untuk memasukkan ketentuan yang dipandang sebagai hukum yang establish, terutama untuk mendirikan organ-organ khusus di bawah pengawasan organ-organ utama lembaga internasional tersebut. O. COVENANT Istilah “covenant” bersumber dari Presiden Amerika Serikat “Woodrow Wilson”, antara lain dipergunakan sebagai terminology Piagam Liga BangsaBangsa dan juga pernah dipergunakan pada Draft Piagam Hak-Hak Asasi Manusia.



2. Pengertian (definisi) Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah setiap perjanjian di bidang hukum public, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain.



3. Bentuk dan Klasifikasi Perjanjian Internasional A. Bentuk Perjanjian Internasional Secara garis besar, bentuk dari perjanjian internasional itu dapat dikenali dalam dua bentuk saja, yaitu: 1) Perjanjian Internasional dalam bentuk tertulis (written agreement) Perjanjian internasional dalam bentuk tertulis ini memiliki beberapa kelebihan, seperti ketegasan, kejelasan, dan lebih menjamin kepastian hukum para



pihak yang berjanji, dimana hasil kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam sautu dokumen tertulis. Dalam praktek hubungan antarnegara akhir-akhir ini, semua transaksi internasional, hasil kesepakatan kedua belah pihak ataupun banyak pihak lebih sering dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional tertulis. 2) Perjanjian Internasional dalam bentuk tidak tertulis atau lisan (unwritten agreement atau oral agreement) Perjanjian Internasional tak tertulis, isi dan luas lingkupnya jika dibandingkan dengan perjanjian internasional lisan akan nampak bahwa perjanjian internasional lisan ini hanyalah merupakan salah satu bentuk dari perjanjian internasional tak tertulis. Perjanjian Internasional tak tertulis tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional dan jurisprudensi ataupun prinsip-prinsip hukum internasional umum. Dengan adanya jurisprudensi dapat dipandang bahwa perjanjian internasional tak tertulis sudah mempunyai kedudukan kuat dan penting dalam hukum internasional, berdampingan dan sederajat dengan perjanjian internasional tertulis. B. Klasifikasi Perjanjian Internasional Perjanajian internasional dapat diklasifikasikan dalam enam segi sudut pandang, sebagai berikut: 1) Pihak-pihak (subyek) yang mengadakan perjanjian. Terdiri dari Perjanjian antar negara yang merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya paling banyak, Perjanjian antar negara-negara subyek hukum selain negara, dan Perjanjian antara subyek hukum internasional lain selain Negara satu sama lainnya. 2) Jumlah pihak yang membuat perjanjian. Terdiri dari Perjanjian Bilateral yaitu perjanjian yang diadakan hanya oleh dua negara saja, dan Perjanjian Multilateral yaitu perjanjian yang diadakan dan diikuti oleh banyak negara sebagai pihak peserta yang umumnya merupakan perjanjian internasional yang bersifat terbuka. 3) Corak atau bentuk dari perjanjian. Terdiri dari Perjanjian antar Kepala Negara, Perjanjian antar pemerintah, dan Perjanjian antar Negara.



4) Mekanisme dan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Terdiri atas Perjanjian yang diadakan secara sederhana yaitu melalui tahapan-tahapan: penjajakan, perundingan, perumusan dan penerimaan naskah serta penandatanganan dan Perjanjian yang dibuat harus melalui seluruh tahapan yang lengkap yaitu dari tahap penjajakan, perundingan, perumusan dan penerimaan naskah serta penandatanganan yang diikuti dengan proses ratifikasi sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh Hukum Konstitusi masing-masing negara peserta perjanjian internasional. 5) Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Terdiri dari Dispositive treaties (perjanjian yang menentukan) adalah perjanjian yang maksud dan tujuannya dianggap sudah tercapai dengan dilaksanakannya semua isi yang ada dalam perjanjian itu dan Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang pelaksanaanya tidak sekaligus selesai, akan tetapi harus dilanjutkan terus-menerus selama jangka waktu perjanjian berlaku. 6) Fungsi perjanjian dalam perkembangan hukum internasional secara progresif. Terdiri dari Law-making treaties (perjanjian yang menciptakan hukum) adalah perjanjian yang diadakan oleh sejumlah besar negara-negara dengan tujuan baik untuk menyatakan apakah hukumnya tentang sesuatu hal khusus, ataupun meletakkan suatu aturan baru untuk tindakan-tindakan yang akan datang, ataupun menciptakan beberapa lembaga internasional, Treaty contract (perjanjian yang bersifat kontrak) adalah perjanjian yang serupa dengan kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata hanya mengakibatkan hak-hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. 4. Fungsi Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat. Fungsi lain perjanjian internasional yaitu berfungsi sebagai sumber hukum internasional yang oleh keluarga bangsa-bangsa telah diakui mempunyai posisi penentu yang meningkat dengan pesat. Perjanjian internasional juga difungsikan sebagai sarana peningkatan kerja sama internasional secara damai telah pula menunjukkan hasil positif. Fungsi perjanjian internasional dalam hal pembentukan dan perkembangan hukum internasional tersebut, dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi:



a) Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada. b) Merubah dan/atau menyempurnakan ataupun menghapuskan kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang. c) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya. 5. Panduan Umum Membuat Perjanjian Internasional Adapun tahap-tahap membuat perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a. Tahap Penjajakan Adalah tahap dimana para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi lembaga pemerintahan di indonesia ataupun dapat pula merrupakan inisiatif dari calon mitra. b. Tahap Perundingan Adalah suatu kegiatan melalui pertemuan yang ditempuh oleh para pihak yang berehendak untuk membuat perjanjian internasional untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap penjajakan dan tahap ini juga untuk memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan perjanjian tersebut. c. Tahap Perumusan Naskah Adalah merukan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional dan juga pemarafan oleh para pihak. d. Tahap Penerimaan Dalam perundingan bilateral kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan disebut penerimaan yang biasanya ditandai dengan pemarafanoleh para pihak. Sedangkan perundingan multirateral proses penerimaan biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional. e. Tahap Penandatanganan Tahap ini merupakan tahap akhir dari sebuah perundingan untuk melegalisasi kesepakan yang dituangkan dalam naskah perjanjian internasional namun penandatangan tidak selalu merupakan pemberlakuan perjanjian internasional tergantung pada klausula pemberlakuan oleh para pihak.



6. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Saat berlakunya suatu perjanjian tergantung pada kesepakatan dari para pihak yag mengadakan perundingan dalam merumuskan naskah perjanjian itu sendiri. Prinsip ini juga dirumuskan secara tegas dalam pasal 24 aya (1) konvensi wina 1969 “suatu perjanjian mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian atau sesuai dengan persetujuan antara negaranegara yang berunding”. Dan ayat (2) “ ditentukan, bahwa bila mana tidak ada ketentuan atau persetujuan seperti itu, suatu perjanjian internasional mulai berlaku segera setelah semua negara yang berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian’’. 7. Pertukaran, Penyimpanan dan Pendaftaran Piagam Pengesahan Perjanjian Internasional A. Pertukaran Piagam pengesahan Perjanjian Internasional Untuk perjanjian bilateral kedua piagam ratifikasi haruslah dipetukarkan untuk dapat berlakunya suatu perjanjian. Dalam prakteknya untuk pertukaran kedua piagam ratifikasi diperlukasuatu upacara khusus yang dinamakan upacara pertukaran piagam pengesahandengan pembuatan suatu process verbal. B. Penyimpanan Piagam Pengesahan Perjanjian Internasional Dalam perjanjian bersifat multirateral piagam pengesahan haruslah disimpan atau didepositkan di suatu tempat atau negara tertentu.tempat tersebut umum nya adalah sekretariat suatu badan internasional atau disuatu atau beberapa negara tertentu sebahaimana yang telah disepakati oleh para pihak. C. Pendaftaran dan Publikasi Perjanjian Internasional Dalam pasal 102 piagam PBB ditentukan bahwa: “Tiap-tiap perjanjian dan persetujuan internasional yang dibuat oleh negara anggota PBB setelah berlakunya piagam harus segera didaftarkan pada sekretariat yang kemudian mempublikasikannya. Pihak-pihak yang tidak mendaftarkan perjanjian atau persetujuan internaional yang dibuatnya tidak dapat merujukpada perjanjian tersebut pada organ PBB”. Berlandaskan ketentuan tersebut apapun bentuk, isi dan sifatnya suatu perjanjian internasional wajib didaftarkan pada sekretariat PBB oleh pihak-pihak yang menjadi pesertaperjanjian internasional tersebut. Pendaftaran itu diikuti pula dengan publikasinya secara luas dan terbuka dalam media publikasi PBB yaitu UTNS (United Nations Treaty Series).



8. Persyaratan, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional a. Persyaratan Lembaga persyaratan ini muncul ketika suatu Negara pihak hendak melakukan pengesahan perjanjian dan/atau pada saat hendak melakukan pengesahan hasil amandemen perjanjian, jika perjanjian itu menentukan demikian. 1. Pengetian, Klasifikasi, Persyaratan.



Prosedur



dan



Perkembangan



Doktrin



1.1 Pengertian Persyaratan Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 24/ 2000, bahwa: Persyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu Negara tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu dari suatu perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional multilateral. 1.2 klasifikasi Persyaratan Terdapat jenis pembagian yang hanya membedakan persyaratan ke dalam dua golongan, yaitu: a. Minor Subtantive Reservation : pernyataan oleh suatu Negara yang tidak memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap berlakunya perjanjian. b. Major Subtantive Reservation : pernyataan oleh suatu Negara yang memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap berlakunya perjanjian. 1.3 Prosedur Pengajuan Persyaratan Pasal 23 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menentukan bahwa: suatu persyaratan, penerimaan secara tegas atas persyaratan dan penolakan atau keberatan terhadap persyaratan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan dikomunikasikan kepada Negara-negara peserta dan Negara-negara lain yang berhak untuk menjadi peserta pada perjanjian. Apabila telah lewat masa satu tahun, berarti persyaratn yang diajukan oleh Negara yang bersangkutan dianggap mengikat bagi seluruh Negara pihak perjanjian, atau dengan kata lain, penolakan



atau keberatan suatu Negara yang diajukan setelah lewat masa satu tahun tersebut, penolakan atau keberatan suatu Negara yang diajukan setelah lewat masa satu tahun tersebut, dianggap tidak sah atau tidak dapat diterima. 1.4 Perkembangan Doktrin Persyaratan Unanimity principle ini dalam prakteknya pernah dianut oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam rangka perjanjian internasional yang diadakan atas prakarsa LBB. Misalnya, Austria pernah mengajukan pensyaratan pada Convention on Opium and Drugs 1925 (Konvensi mengenai Minuman Keras dan Narkoba 1925), ternyata pensyaratan yang diajukan tersebut menimbulkan keragu-raguan (skeptis) untuk diterima. Masalah ini kemudian dibawa ke Panitia Hukum Internasional LBB untuk dikodifikasikan dalam Hukum Internasional positif. Kemudian, doktrin tentang perkembangan lembaga pensyaratan ini bersentuhan pula dengan"Sistem Pan Amerika". Menurut ajaran ini, tidak diperlukan persetujuan (consent) yang bulat dari semua Negara peserta konvensi atas pensyaratan yang diajukan oleh salah satu atau beberapa negara peserta lain dari konvensi tersebut, melainkan konvensi itu dianggap berlaku dengan pensyaratan yang diajukan antara negara yang mengajukan pensyaratan dan Negara yang menerimanya. Sedangkan di antara Negara-negara peserta konvensi yang menolak pensyaratan yang diajukan itu, konvensi itu dianggap utuh tanpa ada pensyaratan. Oleh karenanya bagi Negara yang mengajukan pensyaratan dan Negara-negara yang menolaknya dianggap tidak mempunyai hubungan apapun, atau konvensi itu tidak berlaku baginya. 2. Pensyaratan Menurut Ketentuan Konvensi Wina 1969 Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (internasional), bahwa ketentuan-ketentuan mengenai lembaga ("Reservation") dituangkan dalam pasal-pasal 19 s/d pasal 23 Konvensi. 3. Praktek Indonesia Dalam Hal Pensyaratan Menurut Mochtar Kusumaatmadja, “bahwa persoalan mengenai lembaga pensyaratan belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Berikut ini akan diutarakan beberapa konvensi internasional dimana Indonesia telah menyatakan turut serta :



1. Ratifikasi Konvensi Jenewa tentang Hukum Laut 1958 (UNCLOS I) 2. Konvensi Tokyo tahun 1963 tentang "Offences and Certain other Acts Comitted on Board Air Craft” 3. Konvensi Tunggal Narkoba ("Single Convention on Narcotic Drugs") tahun 1961 4. Konvensi mengenai Perbudakan 1926 ("The Slavery Convention") B. Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional A. Istilah G. von Glahn, dalam bukunya Law among Nations" menjelaskan bahwa: istilah yang umum dipergunakan dalam literature-literatur tahun 1930-an adalah istilah "peaceful change", dan alasan perubahannya paling banyak adalah berlandaskan pada pertimbangan politik murni. B. Pengertian Amandemen, secara etimology dapat kita temukan dalam Black's Law Dictionary. Dalam kamus hukum ini istilah amandemen diartikan yaitu: "... merubah atau mengadakan modifikasi untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Dalam praktek, diartikan sebagai koreksi dari suatu kesalahan yang dilakukan dalam setiap proses, pembelaan, proses dalam hukum, atau dalam kepatutan dan dikerjakan juga setelah ada persetujuan para pihak, atau atas usul yang diajukan kepada pengadilan dalam perkara yang ditangguhkan”. C. Pengaturan Umum mengenai Amandemen dan Modifikasi perjanjian Berpangkal tolak pada ketentuan Pasal 39 Konvensi Wina 1969, maka suatu perjanjian mungkin dapat diadakan perubahan melalui persetujuan antara Negara-negara pihak perjanjian itu sendiri. Pasal 39 ini sebenarnya berasal dari draft article 35 yang diajukan/disusun oleh Panitia Hukum Internasional, kemudian diterima oleh peserta konferensi tanpa diadakan perubahan isi (materi), hanya pasalnya saja dirubah menjadi pasal 39 dalam Konvensi Wina 1969. C.1. Amandemen Perjanjian Multilateral Konvensi Wina 1969 mengatur tentang amandeen perjanjian multilateral ini dalam PART IV, Pasal 40 Ayat (1, 2, 3, 4 dan 5). 9. Akibat-Akibat Hukum Perjanjian Internasional Ad. 1. Akibat Perjanjian Terhadap Negara-negara Pihak



Sebagai sumber utama hukum internasional, perjanjian pada prinsipnya hanya mengikat negara-negara pihak saja. Sifat mengikat ini berarti negara-negara pihak suatu perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Tentu saja yan melaksanakan perjanjian tersebut adalah organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjami pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian adalah didasarkan atas prinsi "pacta sunt servanda”. Ad.2.Akibat Perjanjian Terhadap Negara Ketiga Dalam kepustakaan internasional cukup dikenal suatu prinsip dasar yang berasal dari hukum Romawi, yaitu "Pacta tertiis nec nocent nec present" artinya "suatu perjanjian tidak menimbulkan hak ataupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuannya". Suatu asas yang berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara, dan persamaan derajat Negara. Prinsip yang sama berlaku sehubungan dengan pasal 36 Statuta Mahkamah Intemasional, dan dikenal dalam hukum perikatan nasional (the law of contract). 10. Penafsiran Perjanjian Internasional Selanjutnya mengenai penafsiran (interpretation) perjanji internasional, Konvensi Wina 1969 hanya mengatur tiga pasal saja tetapi meliputi masalahmasalah yang amat luas. Oleh karena itu masala penafsiran ini memerlukan pembahasan secara tersendiri. Dalam sub-bab ini hanya diberikan penjelasan pokok-pokoknya saja sesuai ketentuan Konvensi Wina 1969. Dalam kepustakaan hukum internasional, dikenal tiga aliran ("school of thoughts") atau "approach penafsiran perjanjian internasional, yaitu "Preparatories”, “Textual school”, dan “Teleological school”. 11. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perjanjian Internasional Meskipun Konvensi Wina 1969 telah menetapkan sekian banyak lasan yang dapat dipergunakan oleh suatu negara pihak untuk mengklaim pembatalan, penangguhan, dan pengakhiran perjanjian, namun konvensi ini ternyata tidak menetapkan suatu cara penyelesaian perselisihan yang wajib Dengan kata lain, konvensi tidak mewajibkan kepada negara-negara yang terlibat dalam suatu perselisihan untuk tunduk kepada badan ketiga yang dapat memaksakan cara- cara penyelesaian perselisihan. Sehingga jika timbul antara negara-negara pihak yang menuntut pembatalan perjanjian, dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang diperkenankan konvensi, namun alasan tersebut ditolak oleh negara pihak lainnya, maka besar nungkinan tidak tercapai suatu penyelesaian secara damai antara kedua belah pihak yang berselisih tersebut.