TUGAS KULIAH TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN Isu Isu Konservasi Sumber Dya Lahan Di Kawasan Pegunungan Perbukitan Dan Solusi Managemenya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KULIAH TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN “Isu-Isu Konservasi Sumber Dya Lahan Di Kawasan Pegunungan/Perbukitan dan Solusi Managemenya”



Disusun Oleh : Nama : Dekan Rahmat Wahyudiyanto NIM : 175040207111009 Kelas : F



PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019



Daftar Isi



Daftar Isi................................................................................................................................. i 1. Pendahuluan..................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1 1.2 Dampak Degradasi lahan.............................................................................................3 2. Analisis Masalah Degradasi Lahan.................................................................................5 3. Teknologi Konservasi Tanah dan Air yang Tepat Sasaran...........................................9 4. Strategi Manajemen Kawasan Pegunungan/Perbukitan.............................................14 5. Kesimpulan dan Saran...................................................................................................18 5.1. Kesimpulan................................................................................................................ 18 5.2. Saran......................................................................................................................... 18 Daftar Pustaka.................................................................................................................... 19



i



1 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang menjadi andalan dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat terutama di negara berkembang. Namun sumberdaya lahan bukanlah sumberdaya yang lestari. Namun, Sumberdaya lahan mengalami perubahan baik karena proses alami maupun aktivitas manusia. Perubahan karena proses alami disebabkan oleh perubahan permukaan bumi akibat berlangsungnya geomorfologis. Proses geomorfologis mengakibatkan turunnya kualitas dan daya dukung lahan yang selanjutnya akan menyebabkan degradasi lahan. Menurut Wahyunto (2014), degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Lahan terdegradasi dapat diartikan juga sebagai lahan tidak produktif, lahan kritis, atau lahan tidur yang dibiarkan terlantar tidak digarap dan umumnya ditumbuhi semak belukar. Proses degradasi lahan dimulai dengan tidak terkontrolnya konversi hutan, dan usaha pertambangan kemudian diikuti dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan pengelolaan lahan yang kurang tepat. Menurut sebuah laporan baru yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia PBB (FAO), United Nations Environment Programme dan World Soil Information (ISRIC) menyatakan bahwa lebih dari 20 % dari seluruh area budidaya, 30 % hutan dan 10 % padang rumput sedang memburuk. Sekitar 22 % lahan yang terdegradasi berada di wilayah arid, sementara 78 % berada di wilayah humid (FAO, 2008). Di Indonesia sendiri, luas hutan telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7 % dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2 % dari luas daratan) pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Sekitar 35 % dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun (Dephut, 2009). Peristiwa degradasi hutan tidak lepas dari peran pihak-pihak yang berlebihan memanfaatkan hutan dan isinya dengan tidak bertanggung jawab. Kerusakan hutan yang utama diakibatkan oleh pembangunan dan pengelolaan hutan secara eksploitatif sehingga mengurangi luasan hutan. Berdasarkan penyebab yang telah disebutkan, pihak kelembagaan hutan harus meningkatkan pengawasan terhadap hutan itu sendiri agar dapat dimanfaatkan dengan semestinya. Peran pemerintah juga dibutuhkan demi menindaklanjuti eksploitasi hutan yang menyebabkan degradasi oleh investor pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Masalah degradasi hutan harus segera diatasi mengingat hutan merupakan penunjang keseimbangan dari lingkungan disekitarnya. Banyak di kasus-kasus sumberdaya alam yang menyebabkan degradasi, antara lain dikarenakan hilangnya biodiversitas, kerusakan tanah akibat erosi, hilangnya kesuburan tanah, salinisasi, limbah air, penipisan aquifer, adanya polusi sedimen akibat erosi, polusi udara, dan lain sebagainya. Hal ini dijelaskan dari beberapa kasus yang ada di Indonesia. Salah satu contoh kasus dari degradasi lahan terjadi di Malang yang dikarenakan banyaknya lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi perumahan. Hal ini menyebabkan rendahnya resapan air sehingga dapat menyebabkan banjir. Menurut dosen Perencanaan Wilayah Kota UB, daerah yang sudah memiliki LP2B pasti memiliki lahan sawah yang sudah ditetapkan dan tidak boleh dialihfungsikan. Dikarenakan Kota Malang tidak memiliki LP2B, otomatis lahan yang dilindungi juga tidak ada. Pihak yang dirugikan dari kasus ini adalah masyarakat (Oktavia, 2016). Terdapat kasus yang serupa yaitu yang terjadi di Pulau Bali. Menurut berita yang dilansir oleh Republika.co.id pada Kamis, 2 April 2015 dengan judul “Bali Disebut Alami Degradasi Lingkuhan Hidup” menyatakan bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan



2 hidup di Bali belakangan ini mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Degradasi lahan yang terjadi di Bali mengakibatkan berkurangnya lahan produktif seiring dengan semakin pesatnya wisatawan asing yang dating ke bali sehingga mnyebabkan investasi lahan yang boros untuk pembangunan villa ataupun hotel dan tidak adanya perlindungan terhadap sektor pertanian. Pulau Bali terkenal dengan destinasi pariwisatanya, namun sektor pertanian di Bali tidak kalah berpotensi jika dibandingkan dengan sektor pariwisatanya. Tetapi dapat dilihat dari prakteknya, pembangunan fasilitas yang penunjang sektor pariwisata sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Uraian berita tersebut menyebutkan bahwa karena terjadinya penurunan lahan produktif mengakibatkan kerawanan pangan sehingga untuk memperoleh pasokan beras, masyarakat Bali harus mendatangkan dari luar Bali. Kasus yang berbeda juga terjadi d iBali selain berkurangnya lahan pertanian, Bali juga mengalami krisis air. Berita tersebut dilansir dari bali.tribunnews.com pada Sabtu, 13 Juli 2019 dengan artikel yang berjudul “Tiga Desa di Jembrana Terancam Kekurangan Air Besih, 55 Hektare Sawah Kering di Desa Manistuti”. Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia khususnya Bali menimbulkan terjadinya kekeringan. Kekeringan yang melanda Bali mengakibatkan kurangnya pasokan air bersih dan berdasarkan berita yang dilansir, kurang lebih 15 hektare sawah di Desa Manistutu, Bali mengalami kekeringan. Akibatnya petani terancam gagal panen. Berdasarkan kasus kekeringan dan kekurangan air bersih di Bali, beberapa pihak-pihak terlibat (stakeholder) harus lebih memperhatikan kelestarian lingkungan. Masyarakat hendaknya menyadari pentingnya pasokan air bersih dan untuk mendapatkan air bersih harus melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan seperti mengelola sumber daya alam agar tercipta keseimbangan lingkungan sehingga dapat dimanfaatkan secara semestinya. Peran pemerintah juga diperlukan demi memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih memperhatikan lingkungan dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana. Diharapkan pemerintah juga dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tidak hanya Malang dan juga Bali, namun masih ada di beberapa di daerah khususnya di Indonesia yang mengalami kasus serupa. Salahy satu contoh lagi terjadi di daerah Dieng yang notabennya merupakan dataran tinggi. Dieng memiliki kurang lebih 20.161 hektar hutan Negara yang dikelola Perhutani dan 19.472 hektar hutan rakyat. Wilayah ini berada pada ketinggian antara 1.500 sampai dengan 2.095 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lebih dari antara 15-40% dan dibeberapa wilayah >40%. Curah hujan di dataran tinggi Dieng termasuk tinggi, yaitu 3.917 mm/tahun. Kepadatan penduduk rata-rata di Kawasan Dieng mencapai angka 100 jiwa/km 2 dengan pemilikan lahan sempit rata-rata sebesar 0,1 ha. Desa di Kawasan Dieng yang paling padat penduduknya adalah desa Dieng, dan kecamatan Kejajar kepadatan penduduknya mencapai 190 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dan tingkat kepemilikan lahan yang rendah ini yang menyebabkan terjadinya tekanan terhadap kawasan lindung, dengan adanya pengalihan fungsi lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Konversi lahan ini yang menyebabkan degradasi lahan sehingga semakin meluasnya lahan kritis yang menyebar hampir menyeluruh di Kawasan Dieng akibat pemanfaatan lahan hutan di pegunungan Dieng secara besar-besaran untuk kegiatan budidya masyarakat setempat. Dalam dekade terakhir ini kawasan tersebut telah mengalami banyak kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal yang mengakibatkan penurunan produksi pertanian dan jasa lingkungan. Pertanian di Dataran Tinggi Dieng saat ini sudah meluas dan merambah hutan-hutan di kawasan yang seharusnya tetap dilestarikan pepohonannya. Jika dilihat dari kejauhan hanyalah bukit-bukit gundul berwarna hijau dimana masyarakat memanfaatkannya untuk usaha budidaya tanaman kentang, sayuran dan tembakau, yang merupakan sumber mata pencaharian penduduk setempat. Pada umumnya, petani di sana membuat bedengan atau guludan searah lereng pada teras-teras bangku, namun tanpa upaya menstabilkan teras



3 tersebut, sehingga pada bibir dan tampingan teras cenderung mengalami longsor. Teras bangku tersebut umumnya miring keluar sehingga erosi atau longsor masih mungkin terjadi. Selain itu, pada ujung luar teras (talud) tidak ditanami tanaman penguat teras dan permukaan tanah pada tampingan teras juga terbuka atau bersih tidak ada tanaman. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan, karena seharusnya daerah perbukitan ditanami tanaman keras dan berumur panjang untuk menjaga kestabilan tanah dan resapan air. Akibat dari erosi tersebut, sedimentasi di DAS semakin meluas serta terjadi penurunan kesuburan di dataran tinggi Dieng. Hal ini dikarenakan hara tanah yang terkandung di lapisan teratas tanah hanyut terseret arus air. Miskinnya hara tanah otomatis akan berakibat pada penurunan produktivitas lahan pertanian. Begitu banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang berkaitan tentang degradasi lahan. Paparan informasi tentang kasus degradasi lahan di atas hanya segelintir kasus yang terekpos publik. Hal tersebut menjadi pukulan bagi kita semua yang notabennya sebagai rakyat Indonesia. Solusi yang paling pertama ialahkesadaran diri kita semua bahwa kasus tersebut bukan kasus yang ringan setelah itu kita semua bergerak untuk mencegah hal serupa terjadi lagi. Solusi yang lebih terstruktur ialah untuk mencegah degradasi lahan tersebut dengan pemanfaatan lahan untuk pertanian tanaman pangan dan pengolahan tanah yang sesuai dengan kaidah konservasi perlu dipertahankan untuk menjaga konsistensi penggunaan terhadap kemampuan lahan tetap terjaga. Untuk mengantisipasi degradasi tersebut diperlukan upaya pencegahan perambahan hutan melalui kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengendalikan terjadinya alih fungsi hutan menjadi belukar, kebun campuran dan tegalan. 1.2 Dampak Degradasi lahan Degradasi lahan atau kerusakan lahan merupakan faktor utama penyebab menurunnya produktivitas suatu lahan. Oleh karena itu dampak negatif degradasi sumberdaya lahan di daerah hulu dan daerah hilir dapat sangat merugikan pada bidang biofisik/ekologis, sosial-ekonomi, dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini menyebabkan perlunya upaya yang maksimal untuk dapat mengendalikan akar masalah dari degradasi lahan tersebut. Degradasi lahan berdampak negatif pada pembangunan. Menurut Adikusuma (2014), komponen biogeofisik menjadi komponen utama dalam pembangunan destinasi wisata. Hal ini disebabkan komponen ini menjadi obyek yang dijual dalam konteks pembangunan destinasi wisata. Luasnya area yang terdegradasi membuat upaya penghijauan kembali sulit untuk diwujudkan dalam waktu dekat. Fisik lingkungan pada ekosistem untuk pengembangan ekowisata diprioritaskan pengelolaannya dalam bentuk inventarisasi jenis sumberdaya alam yang ada, rehabilitasi dan proteksi. Namun pengembangan teknologi ramah lingkungan dalam bentuk pengelolaan tersebut perlu diarusutamakan. Dampak pada aspek ekologi yaitu menyebabkan kerusakan lingkungan. Seperti pengaruhnya terhadap pembukaan tutupan lahan, sehingga peluang kejadian erosi dan degradasi lahan diproyeksikan meningkat. Menurut Njurumana (2008), dengan informasi mengenai zat-zat kimia dan non kimia (kandungan asam dan basa) yang dihasilkan dan dampaknya terhadap kesuburan tanah, kelembaban tanah, suhu tanah dan aerasi untuk mendukung nilai guna lahan terhadap aspek produksi, distribusi pertumbuhan dan keragaman jenis vegetasi permukaan, dan pola-pola usaha/tindakan/pemanfaatan yang perlu diperhatikan berdasarkan tipologi jenis batuan. Dampak buruk pada aspek sosial dan ekonomi diakibatkan karena adanya ketersediaan lahan yang terbatas seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari



4 degradasi lahan. Simulasi historis tersebut terbukti bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Luas lahan kritis per kapita memberikan dampak buruk yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan dengan pencemaran air dan udara karena karakteristik kerusakan menyangkut gangguan keseimbangan ekosistem (Alghifari, 2014). Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap besarnya laju erosi adalah perlakuan manusia, salah satu bentuk perlakuan yang dilakukan manusia adalah pengolahan tanah. Pengolahan tanah secara signifikan dapat mempengaruhi kerentanan tanah terhadap erosi yang dapat mempercepat dan memperbesar laju erosi (Meijer, dkk., 2013). Pengolahan tanah dapat diartikan dengan kegiatan manipulasi mekanik tanah. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk membolak-balik tanah dan mencampur tanah, mengontrol tanaman penggangu, mencampur sisa tanaman dengan tanah dan menciptakan kondisi tanah yang baik untuk daerah perakaran tanaman. Menurut Putte, dkk. (2012), pengolahan tanah dapat merubah struktur tanah yang mengakibatkan peningkatan ketahanan tanah terhadap penetrasi gerakan vertikal air tanah atau yang lebih sering disebut daya infiltrasi tanah. Hal tersebut dapat mengakibatkan air menggenang di permukaan yang kemudian dapat berubah menjadi aliran permukaan (surface run off). Oleh karena itu diperlukan sistem olah tanah konservasi untuk menekan besarnya aliran permukaan dan erosi. Penelitian Banuwa (1994) juga menunjukkan tindakan konservasi tanah terutama perlakuan penanaman pada guludan mengikuti kontur sangat efektif dalam menekan besarnya aliran permukaan dan laju erosi tanpa menurunkan produksi tanaman. Tindakan konservasi tersebut dapat menekan aliran permukaan sebesar 71,4 % dan erosi sebesar 87,3 %.



5 2. Analisis Masalah Degradasi Lahan Menurut Arsyad (2010), penanganan masalah degradasi lahan, penyebab terjadinya degradasi lahan dibagi ke dalam tiga kategori, pertama penyebabnya adalah erosi dan sedimentasi. Kategori kedua disebabkan oleh limbah bahan organik dari industri, pestisida, radioaktif, keracunan logam berat dan ancaman banjir serta kekeringan. Sementara untuk kategori ketiga, penyebabnya adalah proses penambangan, penggunaan pupuk yang salah, penggunaan air berkualitas buruk, tercemar deterjen dan amblesan. Berdasarkan jurnal yang dikutip berjudul “Degradasi Lahan Akibat ErosiPada Areal Pertanian Di Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar” dapat diketahui bahwa Kecamatan Lembah Seulawah merupakan daerah rawan bencana dan rentan terhadap degradasi lahan berupa longsor dan erosi. Kecamatan Lembah Seulawah memiliki morfologi perbukitan dan pegunungan yang mengakibatkan sering terjadi proses-proses pengikisan permukaan tanah oleh air hujan mengakibatkan erosi dan longsor berjalan intensif. Penduduk setempat sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dengan mengolah lahan dilereng perbukitan. Uraian diatas menunjukkan bahwa Kecamatan Lembah Seulawah sebagaian besar berupa perbukitan dan mayoritas lahannya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Karena kondisi morfologi dari Kecamatan Lembah Seulawah yang berupa perbukitan yang dialihfungsikan untuk kegiatan pertanian, masalah degradasi lahan yang timbul adalah dipengaruhi oleh erosi yang disebabkan oleh air hujan. Laju erosi diiringi dengan hilangnya tutupan tanah, lahan berlereng dan panjang ketebalan olahan tanah sehingga bahan organik yang berada di permukaan tanah terbawa oleh aliran permukaan. Menurut Arsyad (2010), faktor yang mempercepat proses terjadinya erosi adalah kegiatan manusia dalam bentuk usaha pertanian maupun kegiatan lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Klasifikasi kelas tingkat bahaya erosi dikelompokkan dalam kelas Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B) dan Sangat Berat (SB). Persamaan yang digunakan mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam peubah utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik. Rusdi, Alibsyaah, dan Karim (2013), berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya erosi meliputi pola penggunaan lahan, tindakan pengelolaan tanah, nilai erodibilitas. Jadi apabila memanfaatkan lahan miring untuk digunakan dalam kegiatan pertanian harus memperhatikan faktor-faktor tertentu dan melakukan pengelolaan tanaman serta konservasi yang sesuai. Hal tersebut dimaksudkan agar alih fungsi lahan tidak menimbulkan terjadinyadegradasi lahan sehingga dapat terjamin keberlanjutannya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya alam (Pasandaran et al. 2011). Pertama, politik pengelolaan sumber daya tanah dan air. Manufer politik sering digunakan untuk memperoleh akses terhadap sumber daya lahan dan air. Kejadian krisis air yang sering dikaitkan dengan crisis of governance menunjukkan bahwa masalah air tidak semata terkait dengan pengelolaan sumber daya air atau operasional dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air, tetapi juga terkait dengan struktur sosial politik. Kedua, peningkatan populasi penduduk yang menyebabkan tekanan pemanfaatan lahan makin tinggi. Di Jawa, hal tersebut mulai dirasakan pada akhir abad ke-19, terutama akibat pemanfaatan lahan kering di lerenglereng pegunungan. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) pada masa kolonial merupakan salah satu instrumen politik untuk menunjang kepentingan perdagangan pemerintah kolonial. Ketiga, konspirasi antara pengusaha dan penguasa. Penjarahan hutan secara sistematik di Jawa dimulai oleh Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada tahun 1611, ketika perusahaan tersebut memperoleh izin dari Raja Mataram untuk menebang pohon bagi keperluan usaha. Di luar Jawa, kondisi hutan masih relatif utuh dan dikuasai oleh lembaga adat, masyarakat setempat maupun kesultanan. Keempat, kebijakan yang merefleksikan kepentingan politik dan birokrasi. Tidak



6 semua produk kebijakan bersifat eksploitatif terhadap SDA. Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama yang menonjol ialah Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Menurut Badan Litbang Pertanian (2018), budidaya pertanian di lahan pegunungan dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi dan curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah pegunungan dapat menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di lahan pegunungan, tetapi juga di dataran rendah. Penerapan teknologi sistem usahatani konservasi dan pengelolaan lahan pegunungan yang tepat guna dan tepat sasaran dapat memberi keuntungan ekonomi dan melindungi lingkungan secara simultan. Dengan demikian pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan dapat terwujud. Oleh karena itu dipandang perlu menerbitkan Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Pedoman ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan petunjuk teknis oleh instansi terkait di daerah. Lahan merupakan sumber daya alami yang mendukung kehidupan manusia. Lahan dapat berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat bercocok tanam, dan penyedia berbagai macam sumber daya mineral dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia. Dalam kenyataannya, lahan tidak selalu memberikan kontribusi positif terhadap manusia, vegetasi, maupun hewan. Hal ini diakibatkan adanya penurunan kualitas lahan itu sendiri. Penurunan kualitas daya dukung itulah yang seringkali disebut sebagai degradasi fungsi lahan. Penyebab atau permasalahan penurunan daya dukung lahan tersebut dapat karena faktor alam itu sendiri, faktor manusia atau kedua-duanya saling mendukung. Faktor – faktor tersebut dijabarkan oleh Misra (2019), kualitas fungsi lahan yang rendah karena faktor alam adalah seluruh bentuk aktivitas alam tanpa campur tangan manusia, seperti berikut : 1. Erosi Hampir seluruh bentang alam di permukaaan bumi ini merupakan hasil pengerjaan air mengalir. Fungsi air mengalir dalam hidrologi adalah sebagai alat pengikis dan pengangkut material, pasir, dan lumpur untuk diendapkan di dataran banjir maupun di lautan untuk dijadikan dataran pantai, tanggul, delta, dan lain-lain. Erosi yang terjadi di daerah pegunungan atau hulu dalam bentuk erosi lembaran (sheet erosion) pada lapisan tipis dapat mengakibatkan berkurangnya kesuburan tanah. Besar-kecilnya erosi sangat tergantung pada beberapa faktor berikut: - Kecepatan gerakan air. - Besarnya debit air.  - Tingkat ketahanan tanah atau batuan terhadap erosi.  - Vegetasi penutup. Selain dapat mengurangi tingkat kesuburan lahan, erosi juga dapat mengaikibatkan longsor, lahan bergelombang, munculnya batuan dasar ke permukaan, yang dapat mengganggu sarana dan prasarana kehidupan manusia.



7 Gambar 1. Erosi di daerah pegunungan



2. Perubahan Iklim Perubahan unsur-unsur cuaca, seperti hujan, kelembapan, dan angin mem-berikan pengaruh terhadap perubahan kesuburan lahan. Wilayah Indonesia yang beriklim tropis basah memiliki musim penghujan yang lebih panjang dari musim kemarau. Pada waktu musim penghujan, air hujan yang mengguyur permukaan lahan mengakibatkan proses pencucian tanah (leaching). Proses ini mengakibatkan tanah menjadi tandus dengan membentuk tanah laterit. Perubahan iklim bumi yang semakin panas memberikan pengaruh besar terhadap perluasan gurun di wilayah Asia dan Afrika sehingga tanah tidak lagi ditumbuhi vegetasi.  Gambar 2. Degradasi lahan yang diakibatkan perubahan iklim



Selain itu rendahnya kualitas lahan juga diakibatkan oleh faktor manusia, yaitu: 1. Populasi Manusia Populasi manusia di bumi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Seiring peningkatan populasi itu diperlukan sarana penunjang kehidupan, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Akibat nyata adalah tekanan manusia terhadap alam akan semakin kuat, dalam bentuk ekploitasi sumber daya alam karena sumber daya alam mempunyai keterbatasan, maka akan terjadi kerusakan. Misalnya saja intensifikasi lahan yang melebihi daya dukungnya, mengakibat-kan berkurangnya hara tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi.



8 2. Kerusakan Hutan Pertumbuhan populasi yang terus meningkat, diiringi dengan tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman. Hutan sering kali dialihfungsikan menjadi lokasi permukiman. Seperti yang terjadi di pedalaman Kalimantan, Sumatera, sekitar hutan lindung di Jawa. Kerusakan hutan mengakibatkan erosi, longsor, banjir, dan bertambahnya lahan kritis.  Gambar 3. Kerusakan Hutan



3. Pencemaran Tanah Faktor-faktor polutan yang mempercepat penurunan kualitas fungsi lahan antara lain sampah, bahan insektisida, limbah rumah tangga, limbah industri, zat-zat kimia, bahan radioaktif, dan sebagainya. Apabila bahan-bahan tersebut tidak dapat ditoleransi oleh tanah maka tanah akan menjadi rusak dan produktivitasnya menurun. Gambar 4. Banyaknya sampah di daerah pegunungan



9 3. Teknologi Konservasi Tanah dan Air yang Tepat Sasaran Konservasi tanah menurut HMIT Unpad (2012), adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah secara umum diartikan sebagai penempatan tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah sendiri adalah upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sedangkan konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran air dengan cara meresapkan air ke dalam tanah agar pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau air untuk kebutuhan hidup masih tersedia. Konservasi tanah dan air sendiri sebenarnya gabungan dari istilah konservasi tanah dan konservasi air, hanya saja seringkali istilah ini digabungkan karena proses-proses antara tanah dan air tidak dapat dipisahkan dan memiliki kaitan yang erat satu sama lain. Konservasi ini perlu dipelajari baik itu oleh para petani, masyarakat desa dan kota, mahasiswa, pelajar, dan berbagai elemen masyarakat, hal ini karena permasalahan mengenai lahan tidak hanya bisa dikelola oleh satu lembaga saja. Konservasi tanah dan air atau seringkali disebut KTA merupakan suatu tindakan pengawetan terhadap kualitas dan kuantitas tanah dan air. KTA menjadi sangat mendesak dilakukan di berbagai DAS prioritas di Indonesia mengingat kerap terjadinya berbagai bencana alam hidrometeorologis, seperti banjir, banjir bandang, dan longsor. Konservasi tanah dan air atau yang sering disebut pengawetan tanah merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tanah, kuantitas dan kualitas air (Rayhani, 2017). Apabila tingkat produktifitas tanah menurun, terutama karena erosi maka kualitas air terutama air sungai untuk irigasi dan keperluan manusia lain menjadi tercemar sehingga jumlah air bersih semakin berkurang. Akibat dari adanya pengaruh manusia dalam proses peningkatan laju erosi seperti pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan atau pengelolaan lahan yang tidak didasari tindakan konservasi tanah dan air menyebakan perlunya dilakukan suatu prediksi laju erosi tanah sehingga bisa dilakukan suatu manajemen lahan. Manajeman lahan berfungsi untuk memaksimalkan produktivitas lahan dengan tidak mengabaikan keberlanjutan dari sumberdaya lahan. Maka dari itu diperlukan adanya teknologi konservasi tanah dan air yang tepat sasaran. Teknologi konservasi air dirancang untuk meningkatkan masuknya air ke dalam tanah melalui infiltrasi dan pengisian kantong-kantong air di daerah cekungan serta mengurangi kehilangan air melalui evaporasi. Ntuk mencapai kedua hal tersebut upaya-upaya konservasi air yang dapat diterapkan adalah teknik pemanenan air (water harvesting), dan teknologi pengelolaan kelengasan tanah. Penerapan teknologi panen air dimaksudkan untuk mengurangi volume air aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah serta ketersediaan air bagi tanaman. Dengan demikian pengelolaan lahan kering tidak sematamata tergantung kepada air hujan, melainkan dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sumber air permukaan (surface water) maupun air tanah (Subagyono, 2008). Selain teknologi konservasi air, teknologi konservasi tanah juga sangat penting dilakukan untuk mencegah degradasi lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Beberapa cara yang dilakukan untuk melakukan teknologi konservasi tanah menurut Pandiangan (2013) yaitu seperti : 1. Teknik pengukuran, untuk mengukur kemiringan lahan pertanian 2. Teknik observasi, untuk mengamati jenis tanaman pertanian dan teknik konservasi tanah yang dilakukan petani



10 3. Teknik komunikasi langsung berupa wawancara untuk memperoleh data pelaksanaan teknik konservasi dan jenis tanaman pertanian yang ditanam sebelum musim tanam saat penelitian, dan 4. Teknik studi dokumenter untuk memperoleh data sekunder berupa peta dan data tabel pertanian. Kesesuaian penggunaan teknologi konservasi tanah pada pertanian lahan kering diperoleh dengan mencocokkan (matching) bentuk lahan setiap satuan lahan daerah penelitian dengan skema hubungan antara kemiringan lereng dengan ketinggian lahan dan jenis pertanian lahan kering pada gambar peta . Dari penjelasan tersebut dapat dikaitkan dengan permasalahan degradasi di perbukitan Kecamatan Kokap. Kondisi fisik lahan di Kecamatan Kokap berupa lereng yang curam, jenis tanah yang didominasi tanah lempungan, dan curah hujan yang tinggi, areal hutan yang sempit tersebut dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor. Air hujan tidak dapat terinfiltrasi kedalam tanah apabila tidak ada akar-akar tanaman hutan, sehingga air hujan tersebut menjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang dapat berpotensi menyebabkan erosi dan banjir. Untuk mengurangi potensi terjadinya degradasi lahan maka dapat dilakukan beberapa cara mengatasinya. Kondisi tanah sebagian besar tanah di Kecamatan Kokap mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, namun masih mempunyai potensi untuk dipulihkan atau ditingkatkan produktivitasnya. Selama ini degradasi lahan banyak terdapat pada kawasan marginal, yaitu tanahnya berupa lahan kering dan petaninya juga mempunyai tingkat status ekonomi yang rendah. Dengan input usaha tani dan teknologi pengelolaan lahan kering yang rendah, marginalisasi lahan terus akan terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan lahan berkecenderungan makin terdegradasi baik fisik maupun kimia. Di lahan yang berlereng curam, proses degradasi tanah akan cepat terjadi karena adanya erosi. Berbagai bentuk teknik konservasi mekanik berupa teras dan guludan telah diterapkan di daerah penelitian, namun bentuk dan konstruksinya belum sempurna. Kondisi tanah yang tipis dan sudut lereng yang besar telah mengakibatkan teras tidak dapat dibuat secara baik. Pemanfaatan lahan dengan pengolahan minimum merupakan salah satu cara terbaik untuk menekan laju degradasi. Pemilihan jenis tanaman keras yang tepat dan bernilai ekonomis tinggi perlu dilakukan. Kelerengan yang curam di daerah perbukitan tersebut harus dikendalikan dengan teknologi konservasi air dan tanah yang baik dan tepat sehingga tidak terjadi limpasan permukaan air. Penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah adalah salah satu contoh kunci untuk pengaplikasian konservasi air. Manajemen dengan teknologi konservasi ini dapat membuat air tidak lagi terbuang tapi masuk ke pori-pori tanah secara maksimal sehingga daerah tersebut memiliki banyak cadangan air. Perubahan bentuk penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan perkebunan juga sangat dianjurkan agar tingkat pengusikan terhadap tanah dapat dikurangi. Sektor perkebunan, khususnya untuk kelapa dan buahbuahan berupa manggis, duku, dan durian berdasarkan data statistik kecamatan ternyata sangat mendukung besarnya pendapatan bagi penduduk di wilayah penelitian. Adanya industri pembuatan gula kelapa, penyulingan minyak nabati adalah dua contoh kegiatan pertanian yang dapat dikembangkan di daerah Kecamatan Kokap untuk mengurangi besarnya tekanan penduduk pada lahan pertanian. Metode konservasi tanah sendiri dibagi menjadi metode vegetatif, mekanik, dan kimiawi. a. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisasisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir air hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah (Suharto,2013). Beberapa teknik konservasi tanah dan air yang bisa diterapkan di antaranya adalah : 1. Pertanaman lorong (alley cropping) adalah konservasi tanah dan air dengan sistem bercocok tanam barisan tanaman perdu leguminosa ditanam rapat (jarak 10-25 cm)



11



b.



mengikuti garis kontur (nyabuk gunung) sebagai tempat pagar. Menerapkan teknik ini pada lahan yang miring jauh lebih murah biayanya daripada membuat teras bangku. Teknik ini pun cukup efektif dalam menahan erosi. Setelah 3-4 tahun setelah pembuatan tanaman lorong maka akan tercipta teras dengan sendirinya, hal ini pulalah yang menyebabkan metode ini disebut teras kredit. 2. Sistem silvopastura merupakan salah satu bentuk dari sistem tumpangsari. Prinsip dari sistem ini adalah menanam pakan di bawah tegakan pohon. Pakan ternak ini dapat berupa rumput gajah, setaria, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri dikenal beberapa macam teknik silvopastura, di antaranya adalah : (1) tanaman pakan di hutan tanaman industri (2) tanaman pakan di hutan sekunder (3) tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman penghasil pakan (4) tanaman pakan sebagai pagar hidup. 3. Pemberian mulsa bermaksud untuk menutupi permukaan tanah agar terhindar dari pukulan butiran hujan. Pemberian mulsa merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam mencegah erosi, terutama jenis erosi percik. Mulsa yang berasal dari bahan organik memiliki fungsi lain, yaitu memberikan bahan-bahan organik pada tanah. Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa dapat berasal dari sisa tanaman, hasil pangkasan tanaman pagar dari sistem penanaman lorong, hasil pangkasan tanaman penutup tanah, atau didatangkan dari luar lahan pertanian. 4. Penggunaan sisa atau bagian tanaman dan tumbuhan Penggunaan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan untuk konservasi tanah dan air berbentuk mulsa dan pupuk hijau. Sisa tanaman yang masih segar dibenamkan ke dalam tanah. Sisa tanaman tersebut juga dapat ditumpuk terlebih dahulu pada tempat tertentu dan dijaga 30 kelembabanya sampai terjadi proses humifikasi hingga terbentuklah kompos sebelum digunakan sebagai pupuk organik. Mulsa selain dari sisa tumbuhan juga berbahan dasar plastik, batu, dan pasir. Mulsa dapat mengurangi erosi dan merendam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, dan mengurangi aliran permukaan. Sedangkan mulsa organik berasal dari sisa tumbuhan yang merupakan sumber energi yang akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawa senyawa organik. Sedangkan penggunaan sisa tumbuhan sebagai pupuk hijau yaitu dengan cara memasukkan sisa tumbuhan pada lubang-lubang yang memotong lereng. 5. Tanaman penutup tanah Penggiliran tanaman adalah suatu sistem pada bidang tanah yang terdiri dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturutturut pada waktu tertentu (Kartasapoetra, 2010). Penggiliran tanaman berfungsi untuk mengurangi erosi, dapat pula meningkatkan produksi pertanian, memeratakan pemanfaatan tanahtanah yang kosong, dan memperbaiki kesuburan tanah. Metode konservasi secara vegetatif lebih efektif dan sederhana, serta tidak membutuhkan biaya yang besar. Metode ini paling banyak dilakukan oleh petani, karena selain membantu mengembalikan 31 kesuburan tanah, konservasi, vegetatif juga meningkatkan produktifitas pertanian yang ramah lingkungan. Konservasi mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah (Arsyad, 2010). Metode ini bermanfaat untuk menghambat aliran permukaan dan menghindari pengikisan tanah, memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, dan penyedia air bagi tanaman. Menurut Arsyad (2010), terdapat beberapa metode mekanik dalam konservasi tanah dan air di antaranya adalah : 1. Pengelolaan Tanah Konservasi Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pokok pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat tumbuh bagi bibit, menciptakan daerah perakaran yang baik, dan memberantas gulma. Namun dalam konservasi tanah, peranan pengolahan tanah



12



2.



3.



4.



5.



c.



hampir tidak ada, bahkan dapat merugikan. Tanah yang diolah menjadi longgar sehinga lebih mudah tererosi. Tindakan pengolahan tanah konservasi diantaranya tanah diolah seperlunya, menggunakan herbisida ramah lingkungan, dan pengolahan dilakukan menurut kontur. Pengolahan Tanah Menurut Kontur 32 Pada pengolahan tanah menurut kontur, pembajakan dilakukan menurut kontur, sehingga terbentuk jalur tumpukan tanah dan alur diantara tumpukan tanah. Pengolahan tanah yang mengikuti kontur akan lebih efektif bila diimbangi dengan penanaman menurut kontur. Keuntungan dari sistem pengolahan tanah ini adalah menghambat aliran permukaan dan menghindari pengangkutan tanah Guludan dan Guludan Bersaluran Guludan adalah tumbukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah kontur. Pada tanah dengan kepekaan erosi rendah, guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampai 8%, sedangkan guludan bersaluran dapat diterapkan pada lereng kemiringan lebih dari 8%. Pada guludan bersaluran, di bagian atas guludan dapat dibuatkan saluran. Baik guludan maupun guludan bersaluran dapat ditanami rumput dan perdu. Teras adalah timbunan tanah yang dibuat melintang atau memotong kemiringan lahan, yang berfungsi untuk menangkap aliran permukaan serta mengarahkannya ke outlet yang stabil dengan kecepatan yang tidak erosif (Suripin, 2001:11). Teras berfungsi mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Rorak dan Chek Dam Rorak merupakan lubang yang digali ke dalam tanah, yang berfungsi menampung aliran air dan bahan tererosi, memperbaiki tata udara, dan tempat pemupukan bahan organik. Pada musim kemarau, rorak dapat diisi dengan sisa 33 tanaman atau rumput. Sedangkan menjelang musim penghujan, parit atau rorak dapat dibersihkan kembali. Check dam, dibuat dengan menempatkan papan atau tumpukan tanah untuk mengurangi erosi pada parit, menghambat kecepatan air, dan tanah mengendap pada tempat tersebut. Konservasi mekanik membutuhkan biaya untuk pembangunan sarana fisik maupun biaya perawatannya. Meskipun demikian konservasi ini perlu dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan tanah, selain didukung dengan konservasi secara vegetatif. Metode kimiawi adalah usaha pencegahan erosi yaitu dengan pemanfaatan soil conditioneratau bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah sehingga akan tahan terhadap erosi. Konservasi kimia dalam konservai tanah dan air adalah penggunaan preparat kimia baik berupa senyawa sintetik maupun bahan alami yang telah diolah, dalam jumlah relatif sedikit, meningkatkan stabilitas agregat tanah dan mencegah erosi (Arsyad, 2010:231). Tanah yang telah dibersihkan dari vegetasi penutupnya dan diolah untuk usaha produksi tanaman, maka bahan organik tanah akan menurun dan berdampak pada produktivitas tanah yang menurun. Oleh karena itu penggunaan preparat kimia sangat diperlukan dalam jumlah yang tidak banyak sehingga mampu memperbaiki struktur tanah. Preparat kimia (soil conditioner),yaitu bahan yang ditambahkan ke tanah untuk memperbaiki sifat fisik tanah (kapasitas infiltrasi, daya olah tanah, dan drainase). Pengaruh soil contioner bertahan dalam jangka lama karena senyawa ini tahan terhadap serangan mikroba tanah, erosi berkurang, dan memperbaiki pertumbuhan tanaman semusim pada tanah liat yang berat. Konservasi kimia perlu dipertimbangkan dalam upaya konservasi tanah, karena untuk meningkatkan bahan organik tanah tidaklah mudah, sehingga penambahan bahan kimia berperan dalam memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan tanah.



Ruang lingkup konservasi tanah dan air sangat kompleks dan sangat membutuhkan disiplin ilmu yang lainnya, seperti ilmu biologi, hidrologi, dan teknik konservasi tanah. Secara garis besar dapat diketahui bahwa ruang lingkup KTA meliputi : 1.



Erosi



13 2. 3. 4. 5. 6.



Siklus air Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi Metode konservasi tanah dan air Tanaman penutup tanah, pergiliran tanaman, dan wanatani (agroforestri) Klasifikasi pengolahan lahan



Perencanaan konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan pendekatan kemasyarakatan. Pelibatan masyarakat dalam hal ini sangat penting karena masyarakat memiliki andil yang sangat besar dalam usaha konservasi tanah dan air. Keunggulan dari adanya sistem KTA partisipatif ini adalah: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan 2. Masyarakat mau dan percaya diri dalam membuat perencanaan konservasi tanah dan air di lingkungannya 3. Masyarakat merasa dihargai karena karyanya menjadi perhatian semua pihak 4. Menciptakan kerja sama yang sinergis antar stakeholder (pemerintah, swasta, dan masyarakat) Namun, sistem ini juga tidak sepenuhnya baik. Masih ada beberapa kelemahan yang perlu untuk diwaspadai apabila melakukan sistem KTA partisipatif. Beberapa kelemahan dari sistem ini adalah: 1. Perlunya sosialisasi untuk menggugah kesadaran masyarakat 2. Perlunya pendampingan dalam proses kemandirian dan mengakses sumber daya 3. Pendampingan kurang efektif apabila tenaga pendamping berganti-ganti dari tahun ke tahun 4. Membutuhkan waktu yang lama untuk menciptakan kerja sama yang sinergis Sosialisasi mengenai konservasi merupakan langkah awal penting yang wajib dilaksanakan karena kegiatan ini bertujuan untuk membentuk pemahaman mengenai kegiatan konservasi tanah dan air. Kegiatan sosialisasi dibedakan menjadi dua berdasarkan sasarannya, yaitu sosialisasi di lingkungan pemerintah daerah dan sosialisasi kepada masyarakat yang dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan kecamatan dan kelurahan atau desa. Sosialisasi di lingkungan pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan pemahaman tentang KTA sendiri, hal ini berguna untuk memudahkan mensinergikan program KTA partisipatif dengan berbagai program pemda yang sudah ada. Sosialisasi kepada masyarakat menerangkan tentang masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam jangka panjang maupun jangka pendek terhadap pengelolaan tanah dan air. Setelah menjelaskan mengenai berbagai masalah yang sekiranya akan muncul, barulah dijelaskan mengenai pentingnya melakukan konservasi tanah dan air. Selain itu, dijelaskan juga mengenai peran penting masyarakat dalam melakukan KTA di daerahnya sendiri.



14 4. Strategi Manajemen Kawasan Pegunungan/Perbukitan Lahan pegunungan memiliki potensi yang besar sebagai kawasan pertanian produktif. Sejak berabad yang silam, jutaan petani bermukim dan memanfaatkan kawasan ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menopang ekonomi keluarga, mereka mengusahakan berbagai macam tanaman, terutama hortikultura, perkebunan, dan tanaman pangan. Akhir-akhir ini longsor sering menimpa kawasan pegunungan dan tidak jarang merenggut korban jiwa dan harta benda. Erosi sering pula melanda kawasan pegunungan, yang menyebabkan degradasi lahan, pedangkalan sungai, dan terganggunya sistem hidrologi daerah aliran sungai (DAS) yang mendorong terjadinya banjir dan kekeringan di bagian hilir. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan kawasan yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya. Menurut Suryana (2006), kawasan pegunungan yang merupakan hulu DAS berfungsi sebagai penyangga tata air daerah hilir. Oleh karena itu, pengelolaan yang tepat di daerah hulu berdampak positif terhadap kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan di kawasan hilir. Implementasi konsep pertanian yang baik (good agricultural practices) di kawasan pegunungan memegang peranan penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, keasrian pedesaan, perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan melalui fungsi menahan air hujan, pengendali erosi, pendaur ulang sampah organik, dan penghasil oksigen yang menjadi bagian penting dalam kehidupan. Sejauh ini, pertanian di lahan pegunungan seringkali dituding sebagai penyebab terjadinya erosi dan longsor, karena pengelolaan yang tidak mengikuti kaidah pertanian yang baik. Untuk dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, lahan pegunungan perlu dikelola secara optimal dengan sentuhan teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melaksanakan berbagai penelitian yang berkaitan dengan teknologi budidaya lahan pegunungan, namun belum dimanfaatkan dan bahkan belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan strategi managemen kawasan pegunungan / perbukitan yang baik dan benar. Memperhatikan peran penting dari kawasan pergunungan / perbukitan dan dinamika sosial ekonomi, budaya, serta regulasi pada wilayah sekitarnya, maka analisis terhadap faktor - faktor yang diduga mempengaruhi proses degradasi diperlukan guna penyusunan strategi yang tepat dan beradaptasi pada perubahan berbagai faktor yang ada, sehingga mampu mengendalikan atau menekan laju degradasi. Permasalahan pertama yang perlu diketahui sebelum menjalankan strategi manajemen adalah permasalahan pada kawasan pegunungan / perbukitan. Lahan pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil, Bahaya longsor dan erosi akan meningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi areal pertanian tanaman semusim yang tidak menerapkan praktek konservasi tanah dan air, atau menjadi areal peristirahatan dengan segala fasilitas yang dibungun dengan tidak mengacu pada prinsip ramah lingkungan (Suryana, 2006). Menurut Setiawan (2018), tanaman keras yang ditanam pada lahan dan sebagai tanaman pagar pada pertanaman semusim selain bermanfaat sebagai penghambat aliran permukaan dan erosi, perakarannya sebagai pengikat struktur tanah yang dapat memperbesar ketahanan geser tanah. Alternatif penanganan yang efektif dengan berbasis vegetasi tanaman adalah sistem pertanaman lorong, penanaman rumput pada teras dan penanaman tanaman dengan kombinasi perakaran dalam dan dangkal. Penanaman tanaman dengan kombinasi perakaran sangat diperlukan. Pada kasus degradasi lahan di Kecamatan Kokap, faktor penghambat permanen seperti kelerengan merupakan faktor penghambat utama, yang tidak dapat diubah kecuali dengan tindakan konservasi mekanik berupa teras. Pembuatan teras yang bersifat permanen dengan penguat tebing juga dapat dikategorikan sebagai tindakan teknis memperbaiki kualitas lahan yang ada. Sudut lereng dapat memperbesar kecepatan aliran



15 permukaan sehingga juga dapat memperbesar energi angkut air. Semakin besar sudut maka semakin besar pula erosi. Jenis erosi yang terdapat pada bentuk lahan pengunungan denudasional berbatuan breksi berupa erosi parit. Pemanfaatan lahan di wilayah ini yang seharusnya untuk hutan kayu dengan sistem tebang pilih namun di lapangan wilayah ini telah digunakan sebagai lahan pertanian sehingga telah banyak terjadi berbagai jenis tanah longsor (Sartohadi, 2008). Gambar 6. Dokumentasi Kecamatan Kokap



Gambar 7. Longsor yang terjadi di Kecamatan Kokap



Dari kasus Kecamatan Kokap di Kabupaten Kulo Progo diketahui permasalahan yang timbul diakibatkan oleh kondisi fisik di lahan di tersebut yang berupa lereng curam, jenis tanah yang didominasi tanah lempungan, dan curah hujan yang tinggi, areal hutan yang sempit tersebut dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor. Air hujan tidak dapat terinfiltrasi kedalam tanah apabila tidak ada akar-akar tanaman hutan, sehingga air hujan tersebut menjadi limpasan permukaan (surface run-off) yang dapat berpotensi menyebabkan erosi dan banjir. Perubahan bentuk penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan perkebunan juga sangat dianjurkan agar tingkat pengusikan terhadap tanah dapat dikurangi. Penduduk di Kecamatan Kokap yang memiliki mata pencaharian di sektor perkebunan, sebaiknya dilakukan strategi manajemen kawasan perbukitan tersebut dengan menanam tanaman yang dapat mendukung besarnya pendapatan bagi penduduk wilayah Kecamatan Kokap, seperti kelapa, buah – buahan berupa manggis, duku, dan durian. Sehingga lingkungan di daerah Kecamatan Kokap tidak lagi bermasalah akibat adanya pengalihfungsian lahan. Lahan perkebunan yang masih bersisa dapat dimanfaatkan



16 semaksimal mungkin untuk perekonomian kedepannya dengan manajemen yang baik. Permasalahan yang diakibatkan oleh lereng yang curam juga dapat di minimalisir dengan penampungan hujan yang turun sehingga dapat di simpan dan dimanfaatkan saat terjadi kekeringan sehingga cadangan air pada daerah tersebut tidak habis. Hal ini selaras dengan pendapat dari Setiawan (2018), pemilihan tanaman tepat dapat menjadi solusi terhadap permasalahan konservasi lahan dan kebutuhan masyarakat petani. Tanaman yang ditanam harus memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta aman terhadap kerusakan lahan. Selain itu kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas yang akan ditanam harus sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian. Dalam menjalankan strategi manajemen kawasan Kecamatan Kokap, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan perannya dalam melakukan penataan dan pemulihan kawasan Kecamatan Kokap yang disusun berdasarkan kaidah ekosistem dan konservasi, dengan harapan akan terjadi keseimbangan antara produktivitas, kelestarian dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sehingga dapat dipergunakan sebagai arahan untuk mengembalikan peranan dan fungsi kawasan tersebut secara optimal ditinjau dari berbagai segi ekologis, sosialbudaya, ekonomi dan kebijakan. Pihak yang berperan seperti masyarakat yang harusnya sadar untuk melindungi dan melestarikan lingkungan yang ada. Selain itu peran dari pemerintah juga dibutuhkan untuk mengatasi masalah di daerah tersebut. Menurut LKPJ Kecamatan Kokap (2017), peran pemerintah yang harus dilaksanakan adalah dengan membentuk kegiatan “Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat” untuk mengatasi kerawanan bencana. Mengajukan usulan bedah rumah ke berbagai institusi pemerintah maupun swasta guna mengurangi jumlah rumah tidak layak huni, sehingga tidak lagi terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian atau perkebunan menjadi pemukiman warga. Pemerintah daerah juga berperan dalam mengoptimalkan kegiatan promosi wisata, pembangunan sarana prasarana penunjang pariwisata, sedangkan masyarakat dan swasta berperan dalam menambah nilai kualitas kunjungan wisata. Menurut Setiawan (2018), perbaikan lahan harus diprakarsai dan diinisiasi oleh pemerintah daerah serta melibatkan petani yang mempunyai lahan. Petani dilibatkan secara langsung agar mendapat pelajaran, pengalaman akan pentingnya serta manfaat menjaga dan memelihara lingkungan, agar proses degradasi lahan dapat dihentikan atau paling tidak meperlambat proses degradasi. Menurut Amalia (2017), strategi manajemen yang baik harus memiliki tingkatan keputusan yang tepat. Yang pertama adalah berupa planning atau perencanaan. Perencanaan adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan apa yang akan dilakukan. sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan. Selanjutnya adalah organizing atau pengoranisasian. Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan apa saja yang harus diperbaiki, pihak siapa saja yang harus berpartisipasi, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat dikerjakan. Yang ketiga adalah directing atau pengarahan. Pengarahan dilakukan agar semua pihak yang terkait benar-benar dapat ikut mengendalikan kerusakan yang ada. Ikut melestarikan dan melindungi pertanian yang masih tersisa. Hal tersebut selaras dengan pendapat Suryana (2006), tindakat manajemen memiliki empat tingkat keputusan. Yaitu keputusan otomatis, keputusan yang bedasarkan informasi, keputusan berdasarkan pertimbangan, dan keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda. Tindakan manajemen memiliki tingkat keputusan, keputusan tersebut biasanya memiliki empat tingkatan yaitu keputusan otomatis, keputusan yang bedasarkan informasi yang diharapakan, keputusan yang bedasarkan pertimbangan, serta keputusan bedasarkan ketidakpastian ganda. Keputusan otomatis merupakan bentuk keputusan yang dibuat dengan sangat sederhana. Contohnya adalah keputusan untuk menemukan informasi



17 permasalahan yang ada pada lahan perbukitan di Kecamatan Kokap. Keputusan selanjutnya adalah keputusan bedasarkan informasi yang diharapkan merupakan tingkatan keputusan yang telah mempunyai informasi yang sedikit kompleks, artinya informasi yang ada telah memberi aba-aba untuk mengambil keputusan. Contohnya adalah permasalahan yang timbul akibat pengalihan fungsi lahan sehingga lahan pertanian mengalami penyempitan, jika tidak segera ditindak lanjuti maka lahan resapan air akan semakin berkurang dan akan menimbulkan permasalahan lainnya seperti banjir dan lain sebagainya. Namun permasalahan ini masih harus dipelajari terlebih dahulu. Keputusan bedasarkan berbagai pertimbangan merupakan tingkat keputusan yang lebih banyak membutuhkan informasi dan informasi tersebut dikumpulkan serta dianalisis untuk dipertimbangkan agar menghasilkan keputusan. Contohnya adalah pertimbangan tanaman yang dapat ditanam di daerah Kecamatan Kokap untuk mengendalikan deradasi lahan yang terjadi. Akan dibandingkan beberapa tanaman sampai mendapatkan tanaman yang dirasa cocok untuk ditanami di daerah tersebut. Keputusan bedasarkan ketidakpastian ganda, merupakan tingkat keputusan yang paling kompleks. Jumlah informasi yang diperlukan semakin banyak selain itu, dalam informasi yang sudah ada terdapat ketidakpastian. Keputusan semacam ini lebih banyak mengandung risiko dan terdapat keraguan dalam pengambilan keputusannya. Contoh dari keputusan ini adalah keputusan untuk memanajemen secara nyata mengelola lahan Kecamatan Kokap yang terkena masalah degradasi lahan.



18 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan isu-isu yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa degradasi lahan dapat terjadi karena berbagai macam faktor. Pada Kawasan pegunungan/perbukitan, faktor yang paling utama adalah adanya erosi tanah oleh air yang mengakibatkan terkikisnya lapisan tanah atas yang banyak mengandung bahan organik sehingga tanah mengalami penurunan kesuburan tanah. Konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara pembuatan bangunan teknik sipil disamping tanaman (vegetatif), agar tidak terjadi kerusakan tanah dan kemunduran daya guna dan produktifitas lahan. Untuk mengatasi segala macam isu degradasi lahan diperlukan manajemen sumber daya lahan yang sesuai dan peran dari berbagai macam pihak yang terlibat agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar. 5.2. Saran Diharapkan baik masyarakat, pemerintah, maupun stakeholder yang terlibat agar selalu memperhatikan kelestarian lingkungan pada saat mengerjakan proyek. Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan konsekuensi terhadap pelaku yang melanggar peraturan.



19 Daftar Pustaka Adikusuma, Dana, Emmy Yuniarti Rusadi, dan Nurvina Hayuni. 2014. Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap Potensi Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan di Delta Mahakam: Suatu Tinjauan. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan. Vol. 2(1) : 11-24 Alghifari, Ahmad Rouf, Lelis Dinul Dzakiah, dan Lulu Khulwatul Jannah Asrin. 2014. Erosi Sebagai Penyebab Utama Degradasi Lahan. Bandung : Program Sarjana Agroteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Amalia, Dina. 2017. Pengertian, Fungsi, dan Unsur-Unsur Manajemen. Jurnal Manajemen. Vol. 1(3) Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Arsyad. S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Badan Litbang Pertanian. 2018. Pedoman Umum [online]. http://www.litbang.pertanian.go.id/regulasi/12/file/BAB-I.pdf. Diakses pada 28 Agustus 2019 Banuwa, I.S. 2013. Erosi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 206 hal. LKPJ Kecamatan Kokap. 2017. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kecamatan Kokap [online]. http://kokap.kulonprogokab.go.id. Diakses pada 25 Agustus 2019 Meijer, A.D., J.L. Heitman, J.G. White, and R.E. Austin. 2013. Measuring Erosion in Long Term Tillage Plots Using Grounds Based Lidar. Journal Soil and Erosion. Vol. 126 : 1 – 10. Misra. 2019. Degradasi Lahan dan Dampaknya terhadap Kehidupan [online]. https://tugassekolah.co.id/2019/07/degradasi-lahan-dan-dampaknya-terhadapkehidupan.html. Diakses pada 28 Agustus 2019 Njurumana, Gerson ND. 2008. Kajian Degradasi Lahan Pada Daerah Aliran Sungai Kambaniru, Kabupaten Sumba Timur (Study of Land Degradation on Kambaniru Watershed, East Sumba Regency). Kupang : Balai Penelitian Kehutanan Kupang Oktavia. Yanto, Muhammad. 2018. Erosi Sungai Menjadi Kendala Penanganan Jalan Longsor Lumbir [online]. https://radarbanyumas.co.id/erosi-sungai-menjadi-kendalapenanganan jalan-longsor-lumbir/. Diakses pada 28 Agustus 2019 Pandiangan, Dedy Gusnaryo dan Nahor M. Simanungkalit. 2013. Penggunaan Teknologi Konservasi Tanah pada Pertanian Lahan Kering di Desa Motung Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir. Jurnal Georafi. Vol. 5(1) Pasandaran, Effendi dan Taylor, Donald. 1984. Irigasi Perencanaan dan Pengelolaan. Jakarta: Gramedia. Putte, A.V.D., G. Govers, J. Diels, C. Langhans, W. Clymans, E. Vanuytrecht, R. Merckx, and D. Raes. 2012. Soil Functioning and Conservation Tillage in Belgian Loam Belt. Journal. Vol. 122 : 1 – 11. Rayhani, Risya Nur dan Agung R. 2017. Konservasi Tanah dan Air pada Tanah Terdegredasi di Lahan Kapus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bandung : Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung



20 Rusdi, Rusli, A., dan Karim, A., 2013. Degradasi Lahan Akibat Erosi Pada Areal Pertanian di Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Setiawan, Bayu, Prapto Yudono, dan Sriyanto Waluyo. 2018. Evaluasi Tipe Pemanfaatan Lahan Pertanian dalam Upaya Mitigasi Kerusakan Lahan Di Desa Giritirta, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Vegetalika. 7(2): 1-15 Subagyono, Kasdi, Umi Haryati, dan Sidik Hadi Tala’ohu. 2008. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Kering [online]. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/lahankering/berlereng7.p df. Diakses pada 28 Agustus 2019 Suryana, Achmad, dll. 2006. Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Wahyunto, Ai Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia : Kondisi Existing, Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta [online]. http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada 28 Agustus 2019