Tugas Makalah Ilmu Tilik Dan Tingkah Laku Ternak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MAKALAH ILMU TILIK DAN TINGKAH LAKU TERNAK 03 “sapi potong“



Dosen Pengampu : Ferry Lismanto Syaiful. Dr.. S.Pt,MP



Disusun Oleh : Nama



: Yose Endy Arif



No. BP



: 1710611026



Paralel



: 03



FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah  melimpahkan rahmat_Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Perbedaan Cara Makan Sapi Potong Dikandang dengan Diumbar ” dengan tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ilmu Tilik dan Tingkah Laku Ternak 03. Makalah ini membahas tentang perbedaan yang dapat teramati pada cara makan yang dilakukan oleh sapi potong . Lebih mengeructnya lagi pada cara makan pada sapi potong yang dikandangkan dan sapi potong umbaran. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah memberikan materi dan pencerahan sehingga makalah ini dapat terlaksana dan terbentuk. Semoga makalah ini bermanfaat. Terima kasih.



Solok Selatan, 25 Februari 2021                                                                                                                             Penyusun



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………..........................i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...ii BAB IPENDAHULUAN…………………………………………………………………………1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………...1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………………..2 1.3 Tujuan…………...…………………………………………………………….........................2 1.4 Manfaat………………………………………………………………………………………..2 BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………......................3-6 BAB III............................................................................................................................................7 3.1Kesimpulan................................................................................................................................7 3.2 Saran…………………………………………………………………………………………..7 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1              Latar Belakang           Tingkah laku atau etologi hewan praktis telah merupakan hal yang penting sejak masa prasejarah. Tingkah laku ini dimanfaatkan oleh para pemburu dan kemudian oleh masyarakat untuk menjinakkan hewan-hewan tersebut. Sampai pada pertengahan abad ini, para ilmuwan di bidang pertanian tidak banyak mengenal ilmu tingkah laku hewan baik secara praktis sebagai hal yang penting maupun sebagai hal yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.           Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi dibidang pertanian, terutama pada sector peternakannya. Hal ini dilihat dari sisi lahan yang masih melimpah untuk dijadikan lahan hijauan untuk memproduksi pakan ternak. Sudut pandang lain juga dapat kita gunakan yaitu banyaknya warga Indonesia yang memiliki profesi sampingan sebagai peternak walaupun dalam skala yang kecil.           Berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh Indonesia ini maka perlu diadakannya pengembangan yang kongkrit dibidang peternakan. Salah satu yang dapat kita upyakan adalah dari cara peternak memberikan pakan terhadap hewan-hewan ternak tersebut. Cara peternak memberikan pakan pada hewan-hewan ternaknya sangat berpengaruh dengan hasil yang nantinya akan didapatkan.           Alasan semacam inilah yang mendorang penulis untuk membuat makalah tentang perbedaan cara makan yang terjadi pada hewan ternak khususnya sapi potong. Makalah ini dibuat agar mampu membantu para peteranak pada ummnya agar mengenal tingkah laku ternaknya. Pengenalan tingkah laku ini diharapkan dapat membantu meningkatkan hasil produksi ternak. Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Namun penyediaan daging sapi belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah laju pertumbuhan populasi manusia yang tinggi tidak diikuti oleh laju pertumbuhan populasi sapi potong (Siregar, 2009). Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang melaksanakan program pemerintah yaitu satu petani satu sapi yang bertujuan untuk menyediakan bibit dan pengembangan sapi potong lokal. Kabupaten Solok termasuk daerah yang melaksanakan program tersebut dimana populasi sapi potong di Kabupaten Solok mengalami peningkatan dari tahun 2014 populasi sapi potong sebanyak 37.025 ekor meningkat menjadi 38.268 ekor pada tahun 2015 (BPS Kabupaten Solok,2016). Di Sumatera Barat pengembangan sapi potong cukup penting, karena perilaku masyarakat Minangkabau yang cenderung lebih banyak mengkonsumsi daging sapi. Selain untuk dikonsumsi, daging sapi di Minangkabau juga ada pada acara adat. Ternak sapi banyak dibudidayakan dalam skala kecil. Biasanya ternak sapi dikembangkan pada daerah perdesaan,



karena masyarakat perdesaan umumnya bekerja sebagai petani. Dengan usaha ternak sapi, peternak dapat memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus meningkatkan pendapatan. Semakin besar pendapatan peternak, maka semakin banyak keuntungan yang didapat peternak, akan tetapi keuntungan yang diperoleh oleh peternak juga dipengaruhi oleh sistem pemasaran. Pemasaran ternak yang baik sangat berpengaruh terhadap keuntungan yang didapat peternak. Pemasaran sapi potong biasanya melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran tersebut berperan sebagai penyalur jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir. Setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu pemasaran akan mendapatkan keuntungan. Masing-masing lembaga pemasaran mendapatkan keuntungan yang berbeda-beda. Pemasaran yang baik dan efesien dapat dicapai apabila adanya peranan aktif dari petani peternak dan lembaga tataniaga. Peranan tersebut adalah menjalankan aktivitas tataniaga, menentukan dan menetapkan saluran distribusi yang akan digunakan. Saluran distribusi tersebut dapat mempengaruhi panjang atau pendeknya rantai tataniaga, biaya tataniaga dan keuntungan pedagang perantara dan penerimaan petani peternak (Suwardhi,1990). Apabila produsen dapat memilih saluran distribusi yang baik dan lembaga pemasaran dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka antara produsen dengan lembaga pemasaran yang terlibat tidak ada yang dirugikan. Hal itu dapat dilihat dari laba yang diterima oleh pelaku pasar. Pelaku pasar ini terdiri dari peternak serta lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran produk tersebut. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Solok yang memiliki jumlah sapi potong yang terbanyak ke-5 terdapat pada Kecamatan Gunung Talang yang memiliki jumlah populasi sapi potong sebanyak 3.860 ekor (lampiran 1), dengan jumlah ternak sapi yang dipotong sebanyak 707 ekor dengan produksi daging sebanyak 147.378 kg (BPS Kab.Solok Gunung Talang dalam angka 2016). Usaha yang bergerak dalam bidang sapi potong yaitu usaha sapi potong Blasteran milik Bapak Ir. Delmon Horizon (52 Tahun) usaha beternak dimulai pada bulan Agustus 1993, jumlah karyawan saat ini 2 orang yaitu Erwinsyah (62 Tahun) dan Harnovenus (40 Tahun). Jumlah sapi yang dikelola oleh usaha Blasteran ini berjumlah 48 ekor, yang terdiri dari betina 29 ekor, jantan 16 ekor dan anak 3 ekor. Jenis sapi yang ada dilokasi rata-rata adalah sapi bali dengan jumlah 32 ekor, sapi simmental 8 ekor, sapi limousin 2 ekor, dan PO 6 ekor. Usaha ternak Blasteran ini memfokuskan pemasarannya di pasar ternak Muara Panas, dikarenakan beberapa alasan atau kendala yang dimiliki oleh peternak dilokasi penelitian diantaranya kurangnya akses, masalah waktu, keterbatasan sumber daya manusia. Setiap minggu usaha sapi potong Blasteran ini rata-rata menjual sapi 2-3 ekor. Berdasarkan hasil survey kondisi pemasaran pada usaha ternak sapi potong Blasteran, ada peternak yang langsung menjual sapi nya ke konsumen akhir. Dan pemasaran yang dilakukan di pasar ternak Muara Panas setiap hari Senin. Pemasarannya dimulai dari toke potong yang mendatangi peternak yang penentuan harga adalah dengan sistem barosok (sesuai dengan kesepakatan) dengan taksiran berat daging. Adapula peternak blasteran ini memotong sapi di kandang sendiri dan dijual langsung ke pedagang pengecer daging. Lembaga yang terlibat dalam pemasaran sapi pada usaha ternak sapi potong Blasteran adalah pedagang pengecer, pedagang potong, dan konsumen akhir. Pedagang potong biasanya melakukan transaksi jual beli di pasar ternak Muara Panas secara



tradisional dengan sistem barosok yaitu penawaran secara tertutup penentuan harga berdasarkan kesepakatan antara peternak dengan pedagang potong berdasarkan taksiran berat daging sapi, penaksiran didasarkan pada patokan berat bagian depan dan bagian belakang sapi dengan perbandingan persentase daging bagian depan sebesar 60% dan bagian belakang sebesar 40%. Kegiatan pemasaran ternak sapi dengan sistem barosok peternak tidak leluasa dalam penentuan harga, dimana peternak hanya sebagai penerima harga (price taker) padahal seharusnya peternak bertindak sebagai penentu harga (price setter), sesuai dengan biaya produksinya. Peternak selalu berada pada posisi tawar yang lemah dengan demikian harga bisa dimainkan oleh lembaga pemasaran seperti toke, pedagang potong, dan pedagang pengumpul. Pembayaran diterima peternak tidak tunai tanpa bukti yang tertulis hanya berdasarkan rasa saling percaya. Pemasaran sapi potong di pasar ternak Muara Panas ini lebih banyak dikuasai oleh lembaga yang mempunyai skala besar seperti pedagang besar, pedagang potong, dan pedagang pengumpul. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat mengakibatkan semakin panjang saluran pemasaran dan semakin besar margin pemasarannya. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat menunjukkan bahwa masing-masing lembaga sudah mengambil keuntungan sehingga harga yang diterima konsumen menjadi sangat tinggi sementara harga yang diterima peternak sangat rendah. Dalam proses pemasaran dan penjualan sapi potong ini tentunya ada pula permasalahan yang sering dihadapi oleh peternak. Beberapa kendala yang sering dihadapi yaitu tidak tercapainya target penjualan yang diinginkan dimana target penjualan yaitu 5 ekor per minggu sedangkan kondisi yang ada penjualan hanya mencapai 2-3 ekor/ minggu dikarenakan kondisi pasar ternak yang sepi, dan juga pelunasan hutang dari para pembelian sapi pada saat lebaran haji atau saat pembelian sapi dalam jumlah yang besar.



1.2              Rumusan Masalah a.    Bagaimana pola tingkah laku makan sapi potong yang dikandang? b.   Bagaimana pola tingkah laku makan sapi potong yang diumbar? c.    Apa saja dampak yang timbul dari perbedaan tersebut? 1.3              Tujuan a.       Mahasiswa dapat mengetahui tingkah laku cara makan sapi potong yang ada dikandang b.      Mahasiswa mengetahui tingkah laku makan sapi potong yang diumbar c.  Mahasiswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapat untuk perkembangan dunia peternakan 1.4              Manfaat a.       Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan tingkah laku dan pola makan sapi potong yang di umbar dan dalam kandang



b.      Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis pakan yang disukai oleh sapi potong umbaran dan sapi potong yang di dalam kandang c.       Mahasiswa dapat mengetahui penyakit-penyakit yang disebabkan oleh perbedaan pola makan



BAB II PEMBAHASAN Istilah tingkah laku ingestif ini meliputi bukan hanya memakan pakan solid tetapi juga menyusui anak dan meminum pakan cair. Mempertahankan konsumsi pakan yang cukup untuk hidup dan suksesnya reproduksi merupakan hal yang sangat penting bagi semua spesies ternak. Karena itu, mengerti pola tingkah laku yang digunakan oleh hewan untuk mencari, mendapatkan, menyeleksi dan memakan pakan penting sekali untuk berhasilnya pengembangan usaha peternakan. Seleksi pakan pada kondisi penggembalaan bebas sangat tergantung pada pola dasar tingkah laku ingestif. Manusia bisa menggunakan beberapa control dengan beberapa usaha seperti pemagaran atau pengawetan pakan pada saat persediaan pakan banyak untuk dipergunakan pada waktu kekurangan pakan. Dalam keadaan dikandangkan secara intensif, seperti system potong-angkut yang umumnya berlaku di Indonesia, manusia mengontrol kebanyakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku ingestif. Hal ini meliputi jenis dan jumlah pakan yang tersedia dan tempatnya, periode waktu selama pakan tersedia bagi ternak dan kelompok social ternak yang bersaing untuk mendapatkan pakan. Tetapi walaupun dalam keadaan yang terbatas dan bahkan bila ternak diberi makan secara individu, faktor-faktor social mempengaruhi tingkah laku ingestif dan jumlah pakan yang dimakan. 2.1 Pola makan sapi pada saat penggembalaan   Ketika ternak sapi diberi pakan dalam jumlah yang terbatas dalam waktu tertentu, mereka tidak punya pilihan kecuali memakan semua pakan yang diberikan. Pada pemberian pakan secara berlebihan, pola makan sehari-hari akan berkembang. Pada sapi dengan penggembalaan sub-tropis, periode merumput terjadi paling banyak ketika rumen diisi dengan rumput yang baru dan hal ini terjadi menjelang pagi sampai pagi, senja sampai matahari terbenam dengan satu periode lebih singkat kira-kira tengah malam. Periode 24 jam dibagi secara jelas menjadi periode merumput, mengunyah dan beristirahat. Di daerah tropis, siklus merumput biasanya sebaliknya. Pada waktu tengah hari yang panas, sapi beristirahat di bawah naungan atau dekat tempat air dan terdapat periode merumput yang panjang pada malam hari. Sapi berhenti merumput pada saat dia kepanasan, terutama bagi sapi yang berasal dari daerah sub-tropis. Di daerah tropis, sapi yang di tempatkan dalam kandang tertutup pada malam hari tanpa persediaan pakan atau air, konsumsi pakannya sering menurun secara nyata, terutama pada sapi yang mempunyai adaptasi yang kurang baik yang berasal dari daerah sub-tropis seperti sapi Frisiean Holstein, yang tidak diberi pakan selama hari panas.



Secara umum, sapi meluangkan waktu 8-10 jam untuk merumput, tetapi mempunyai fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan waktu merumput untuk mempertahankan jumlah pakan yang dimakan pada periode banyak angin dan hujan, cuaca panas ketika merumput terhenti. Mereka juga bisa mengatasi peningkatan kebutuhan fisiologis dari periode akhir kebuntingan dan laktasi apda beberapa keadaan yang beda. Dalam keadaan cuaca panas dan lembab, aktivitas makan sapi tertinggi pada waktu suhu udara lebih rendah yaitu pada pagi hari. Terdapat suatu hal yang menarik tetapi tidak ada pengamatan yang pasti yang menyatakan bahwa domba dan sapi bisa meramalkan keadaan panas  yang akan terjadi dan dengan demikian mereka merumput lebih dini dalam satu hari di bandingkan dengan tipe Zebu yang mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dalam keadaan panas. 2.2 Sapi yang diberi makan di kandang dan kemudahan social dari makan Pada system potong dan angkut, peternak mempunyai control yang lengkap terhadap pakan apa yang dimakan oleh sapi piaraannya dan berapa banyak yang dimakan. Dimungkinkan untuk memberi pakan dengan komposisi yang seimbang, memotong pakan menjadi potongan kecil untuk menghindari terbuangnya pakan tersebut dan sebagainya. Tetapi, walaupun dalam keadaan demikian, tingkah ingestif dipengaruhi oleh tingkah laku social. Pada saat sapi diberi makan dalam kelompok, dua factor social bisa mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Tingkah laku agonistic bisa mengurangi jumlah pakan yang dikonsumsi oleh sapi yang tidak dominan dan kemudahan social bisa meningkatkan jumlah pakan yang dimakan tersebut. Masalah yang berhubungan dengan sapi subordinat yaitu tidak mendapatkan cukup pakan yang dimakan atau tidak cukup mendapat pakan dengan kualitas baik yang tidak terkontaminasi oleh kotoran atau parasit. Cara  yaing disarankan untuk mengurangi pengaruh ini, yaitu dengan memanipulasi komposisi kelompok dan rencana kandang. Dalam suatu penelitian, dimana para ahli genetika ingin menggunakan keadaan pemberian pakan secara individu untuk memilih konversi pakan yang efisien atau dimana ahli makanan ingin menggunakan kandang metabolism individu atau calorimeter untuk mendapatkan pengukuran yang tepat untuk pertukaran metabolism, maka kemudahan social makan harus diperhitungkan. Ternak sapi dalam kandang metabolisme akan makan hanya 50%-60% dari jumlah yang dimakan sapi yang dipelihara dalam kelompok. 2.3 Jenis – JenisPakan yang Disukai Sapi             Seekor ternak dapat mengontrol jumlah pakan yang dimakan dengan cara lain, ia bisa menolak untuk memakan satu pakan atau pakan lainnya. Ada kelompok pakan tradisional, yang dapat dimakan ternak dengan enak, ada pula beberapa pakan lain yang bernilai gizi tinggi dan harganya murah tetapi terbukti dapat merasakan enaknya selama memakan pakan tersebut untuk pertama kalinya.



Kesenangan terhadap bermacam-macam prosduk pakan telah diuji dalam 20 jenis pakan.Terlihat bahwa pakan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: a. Pakan hijauan atau lebih dikenal sebagai pakan tradisional, b. Pakan yang telah diproses yang disukai oleh rata-rata ternak, dan c. Pakan yang tidak disenangi.            Akan tetapi, dalam beberapa keadaan (misalnya kekurangan garam), ternak akan lebih suka memakan garam blok.           Kilgourdan Dalton (1984) menyarankan bahwa skala ini dapat digunakan sebagai suatu dasar terhadap pakan baru, murah dan potensi manfaatnya dapat diuji. Ada cara yang efektif untuk membuat ternak dapat memakan pakan yang bernilai gizi tinggi dan murah tetapi baunya tidak disukai ternak yaitu dengan menutup hidung ternak tersebut.             Memberikan masa perkenalan bagi ternak terhadap pakan atau suplementasi yang mungkin diharapkan untuk dimakan dalam keadaan darurat merupakan hal yang sangat berguna.Metode sederhana dapat digunakan untuk mengecek ternak yang mana yang memakan dan tidak memakan pakan yang baru.Hal ini bisa dikerjakan dengan menggunakan satu tempat pakan. Pada tempat pakan ini, ternak harus menempatkan kepalanya dan menekan sepotong spons yang diisi pewarnaatan menyentuh benang yang diwarnai.Dengan teknik ini ternak yang cepat menangkap pelajaran dipindahkan untuk member kesempatan yang lebih lama dan mengurangi persaingan bagimereka yang lebih ,lambat belajar. Ternak yang lambat menangkap pelajaran mendapatkan beberapa pakan yang disenanginya untuk tetap menjaga fungsi rumennya, sementara ternak ini lambat memulai memakan pakan yang baru. 2.4 Penyakit yang TimbulAkibatPolaMakan yang Salah             Timbulnya gejala birahi yang kurang jelas pada sapi betina dikarenakan asupan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan, sehingga mengganggu sintesa dan regulasi hormon-hormon reproduksi yang sangat berperan dalam gejala birahi. Kondisi peternakan yang masih tradisional dengan cara digembalakan (umbar/angon) di daerah yang kurang subur, mengakibatkan ternak Kekurangan nutrisi yang sangat diperlukan oleh fisiologi reproduksi dalam tubuh ternak tersebut. Sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1980), karena intensitas birahi dipengaruhi oleh hormonhormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka intensitasbirahi (AIB) juga dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri.             Hasil penelitian Suharto (2003) menunjukan bahwa pada ternak yang diberikan ransum dengan kualitas yang baik menunjukan intensitas birahi yang lebih tinggi.Menurut Tagama (1995), sintesa hormon estrogen terjadi didalam sel-sel the kadan granuloseovarium, dimana kolesterol merupakan zat pembakal dari hormone ini, yang pembentukannya melalui beberapa proses reaksi enzimatik. Sehingga asupan nutrisi sangat berpengaruh dalam sintesis hormonhormon reproduksi.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan a.  Pola makan sapi penggembalaan, sapi akan meluangkan 8-10 jam untuk merumput tetapi mempunyai fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan waktu merumput dan mempertahankan jumlah pakannya ketika berhenti merumput. b.   Sapi yang dikandangkan memiliki pola makan berkelompok, selain tingkah laku ingestif juga dipengaruhi tingkah laku social dalam kandang. c.       Pakan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:          Pakan hijauan atau lebih dikenal sebagai pakan tradisional,          Pakan yang telah diproses yang disukaioleh rata-rata ternak,          Pakan yang tidak disenangi. d.      Asupan nutrisi pada pakan sapi penting bagi perkembangan hormon-hormon reproduksi sapi tersebut. 3.2 Saran a.       Pemeliharaan sapi yang diumbar sebaiknya dilakukan dilingkungan yang bersih dan terbebas dari bibit penyakit. b.      Sapi yang dipelihara dalam kandang pemberian pakannya harus bervariasi agar sapi tidak mudah bosan dengan pakannya tersebut. c.       Pakan yang diberikan kepada sapi haruslah paka hijauan yang memiliki nutrisi yang tinggi.



 



DAFTAR PUSTAKA Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit: Mutiara. Jakarta. Suharto, K. 2003. Penampilan Potensi Reproduksi Sapi Perah Frisien Holstein Akibat Pemberiaan Kualitas Ransum Berbeda dan Invusi Larutan Iodium Povidun 1% Intra Uterin. Tesis Program Studi Magister Ternak. Universitas Diponegoro. Semarang. Tagama, T.S. 1995. Pengaruh Hormon Estrogen, Progesteron, dan Prostaglandin Terhadap Aktivitas Birahi Sapi PO Dara. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak. Grati 4: 11-17.