Tugas Penelitian Kualitatif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN



POLA KOMUNIKASI KELUARGA TERHADAP ANAK DENGAN SKIZOFRENIA DI KECAMATAN JAGAKARSA KOTA JAKARTA SELATAN



Dosen Pembimbing : Susilawati, M.Si. Ph.D Dra. Yana Sundayani, MPd



Oleh : Mira Sustami 13.04.221



SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG TAHUN 2015



1



DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.............................................................................................1 DAFTAR ISI .......................................................................................................2 PENDAHULUAN................................................................................................3 A. Latar Belakang ........................................................................................8 B. Rumusan Masalah Penelitian..................................................................8 C. Tujuan Penelitian.....................................................................................9 D. Manfaat Penelitian...................................................................................9



I.



II.



KAJIAN KONSEPTUAL....................................................................................9 A. Penelitian Terdahulu.................................................................................9 B. Tinjauan Konseptual................................................................................11 1. Tinjauan tentang Komunikasi.............................................................11 2. Tinjauan tentang Keluarga.................................................................16 3. Tinjauan tentang Anak........................................................................21 4. Tinjauan tentang Skizofrenia..............................................................24 5. Pekerjaan Sosial dalam Permasalahan Skizofrenia........................... 29 C. Kerangka Pikir..........................................................................................30



III. METODE PENELITIAN......................................................................................32 A. Desain Penelitian....................................................................................32 B. Ruang Lingkup........................................................................................33 C. Teknik Pengumpulan Data......................................................................33 D. Teknik Pemeriksaan Data.......................................................................34 E. Teknik Analisis Data................................................................................35 F. Jadwal Penelitian....................................................................................36 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................37



2



PROPOSAL PENELITIAN POLA KOMUNIKASI KELUARGA TERHADAP ANAK DENGAN SKIZOFRENIA DI KECAMATAN JAGAKARSA KOTA JAKARTA SELATAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan amanah sekaligus karunia dari tuhan Yang Maha Esa dimana anak merupakan generasi muda yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa. Selain merupakan masa depan bangsa, anak juga memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi. Anak tanpa terkecuali, memiliki hak-haknya tersendiri yang harus dipenuhi seperti hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, memperoleh perlindungan agar terhindar dari diskriminasi dan eksploitasi dan hak untuk didengar pendapatnya, serta berpartisipasi dalam meraih cita-cita untuk mewujudkan masa depannya. Perkembangan kemampuan dasar anak-anak berkorelasi dengan pertumbuhan dan mempunyai pola yang tetap dan berlangsung secara berurutan. Dalam rangka merangsang tumbuh kembang anak secara optimal maka pengembangannya harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua aspek kemampuan yang sesuai dengan pembagian kelompok umur. Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi tumbuh kembang anak dilakukan oleh orang tua yang merupakan orang terdekat dengan anak, pengganti ibu atau pengasuh anak, anggota keluarga lain dan orang dewasa lainnya. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang menetap. Kemampuan dasar anak yang dirangsang dengan stimulasi terarah adalah kemampaun gerak kasar, kemampuan gerak motorik halus, kemampuan bicara dan bahasa serta kemampuan sosialisasi dan kemandirian. Keluarga adalah aktor yang sangat berperan terhadap perkembangan anak seperti perkembangan kecerdasan anak yang sudah dimulai semenjak masih dalam kandungan. Apabila anak dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang kurang baik semasa dalam kandungan, maka dapat mempengaruhi hambatan kecerdasan anak. Begitu juga sebaliknya, apabila anak sejak dalam kandungan sudah diperhatikan, maka dapat mempengaruhi kecerdasan anak (James P. Pardede: 2008). Perhatian orang tua pada anak sejak masih dalam



3



kandungan sangat diperlukan antara lain dengan memperhatikan asupan gizi yang cukup memadai. Selain itu, juga harus memperbanyak perkataan, perbuatan dan tindakan-tindakan yang lebih edukatif. Ketika anak lahir, maka tugas orang tua dituntut untuk lebih memperhatikan, karena masa ini anak dalam fase perkembangan yang penting, terutama sebelum anak usia lima tahun. Pola komunikasi yang dibangun dengan baik akan mempergaruhi pola asuh orang tua. Dengan pola komunikasi yang baik diharapkan akan tercipta pola asuh yang baik terutama dalam mengasuh anak penderita skizofrenia. Hasil penelitian Syaiful Bahri Djamarah (2004) membuktikan bahwa betapa pentingnya pola asuh orang tua dalam keluarga dalam upaya untuk mendidik anak. Pola komunikasi antara orang terdekat anak dengan skizofrenia khususnya keluarga sangatlah penting karena pola komunikasi yang baik akan mempengaruhi pola anak pendeirta skizofrenia terutama dalam perkembangan kepribadian anak penderita skizofrenia tersebut. Seperti asumsi komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab-akibat, yang mencerminkan pegirim pesan atau yang biasanya disebut komunikator/sumber/pengirim/enkoder dalam hal ini keluarga untuk mengubah pengetahuan, sikap atau perilaku komunikate/penerima pesan/sasaran/khalayak/dekoder dalam hal ini anak dengan skizofrenia. Kegiatan pengasuhan anak akan berhasil dengan baik jika pola komunikasi yang tercipta dilandasi oleh cinta dan kasih sayang dengan memposisikan anak sebagai subjek yang harus dibina, dibimbing serta di didik dan bukan sebagai objek semata. Kurangnya kasih sayang orang tua akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Anak akan tumbuh dewasa dengan pribadi yang baik atau sebaliknya anak akan tumbuh dewasa dengan berbagai masalah seperti mengidap skizofrenia. Dimana pada kasus-kasus terjadi psikopatologi dalam hal ini skizofrenia, akar permasalahannya terletak pada adanya kekurangan atau gangguan pada holding environment dan centered relating dalam keluarga yang bersangkutan. Psikopatologi terjadi karena individu berkembang dalam ruang psikologis yang tidak memadai bagi berkembangnya pribadi yang sehat. Jadi, ada suatu gangguan pada matriks keluarga yang mengakibatkan para anggota tidak bisa saling memberikan holding dan membina centered relating satu sama lain. Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya, tapi juga bagi orang-orang yang terdekat kepadanya khususnya keluarga. Disinilah peran keluarga untuk terus menjaga pola komunikasi yang



4



baik dengan anak skizofrenia kadang menjadi terabaikan karena adanya stigma masyarakat yang membuat keluarga merasa malu jika ada anggota keluarganya mengidap skizofrenia. Belum lagi ketakutan yang menetap bahwa gejala-gejala yang akan muncul lagi pada anak dengan skizofrenia. Selain itu kehadiran skizofrenia dalam keluarga merupakan stressor yang sangat berat yang harus ditanggung keluarga. Keluarga sebagai suatu matriks relasi, dimana seluruh anggotanya terhubung satu sama lain akan terkena dampak yang besar. Keseimbangan keluarga sebagai suatu sistem mendapatkan tantangan yang besar salah satunya dalam hal komunikasi. Dimana ada beberapa keluarga yang menerima hal tersebut dan ada beberapa keluarga yang memutus hubungan komunikasi dengan anak penderita skizofrenia. Padahal dukungan dan perhatian keluarga sangatlah penting untuk membantu pemulihan kondisi anak penderita skizofrenia terutama dukungan psikologis dan sosial. Contoh peran keluarga adalah pengawasan minum obat dan memberikan dukungan serta memberikan kalimat kalimat motivasi ketika pasien menghadapi masalah psikologis (tekanantekanan dalam kehidupan). Juga berperan dalam mendampingi pasien agar tetap dalam fungsi peranyang optimal (dr Bambang Eko Suryananto, SpKJ, dalam Republika). Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Kemudian gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskin isi pembicaraan, efek yang daatr; serta terganggunya relasi personal (Strauss et al, dalam Gabbard,1994). Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI), dr Bambang Eko Suryananto, SpKJ, menjelaskan, skizofrenia merupakan salah satu diagnosis gangguan jiwa yang ditandai antara lain dengan terganggunya kemampuan menilai realita dan penurunan fungsi peran. Biasanya skizofrenia mulai diderita pada usia dewasa muda. Gangguan jiwa yang terjadi pada seseorang, termasuk skizofrenia, menurut Bambang, disebabkan oleh interaksi manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual. Secara biologis, skizofrenia disebabkan karena peningkatan neurotransmitter dopamin di otak, sehingga dapat timbul gejala-gejala perilaku, gangguan persepsi (mendengar suara meskipun tidak ada sumber suara), gangguan isi pikir yang berupa



5



keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak wajar, dan lain-lain. Secara psikologis, Bambang menjelaskan, pola asuh dan stresor lingkungan juga berperan dalam membentuk pola perilaku yang rentan terhadap gangguan jiwa, begitu juga kondisi sosial, sipitual, maupun budaya. Namun skizofrenia bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Menurut Bambang, pengidap skizofrenia bisa disembuhkan, asalkan pendekatan terapinya bersifat menyeluruh. Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum munculnya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditdandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat (Harris dalam Craighead, Craighead, Kazdin & Monohey, 1994). Mortalitas pasien skizofrenia lebih tinggi secara signifikan daripada populasi umum. Sering terjadi bunuh diri, gangguan fisik yang menyertai, masalah penglihatan dan gigi, tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit yang ditularkan secara seksual (Mental Health: A Report of Surgeon General, 2000). Jumlah penduduk Indonesia yang menderita penyakit gangguan jiwa berat atau skizofrenia cukup besar. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, terdapat 0,46 persen penduduk atau 1.093.150 orang Indonesia yang mengidap skizofrenia. Dari jumlah itu, ternyata hanya 3,5 persen saja atau 38.260 orang yang terlayani dengan perawatan memadai di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum maupun Pusat Kesehatan Masyarakat. Kemudian Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan, pernah mengungkapkan seperempat total penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Pernyataan itu dilansir harian Kompas pada 20 Oktober 2008. Artinya, satu dari empat penduduk Indonesia mengalami gangguan kejiwaan dengan klasifikasi ringan sampai berat. Dan menurut catatan Departemen Kesehatan, dalam setiap 1.000 orang penduduk, satu di antaranya dipastikan menderita skizofrenia. Menurut laporan World Health Organisation (WHO) 2010 tentang Global Burden Disease, penyakit skizofrenia sudah perlu diwaspadai. Pasalnya kini telah terjadi perubahan jenis penyakit yang menimbulkan beban bagi negara



6



secara global. Dari sebelumnya kematian ibu dan anak menjadi penyakit kronis termasuk kesehatan jiwa. Upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus gangguan jiwa dalam hal ini skizofrenia belumlah maksimal. Dari beberapa artikel yang peneliti baca, masih banyak layanan kesehatan jiwa yang tidak memadai. Contohnya, masyarakat masih sulit menemukan layanan kesehatan mental di Puskesmas, adanya RS Jiwa yang berubah menjadi RS Umum sehingga jumlah kapasitas tempat tidur berkurang. Seperti dilansir bbc.com/Indonesia, dari perkiraan sekitar satu juta penderita penyakit mental berat di Indonesia, hanya tersedia sekitar 8000 tempat tidur untuk merawat mereka. Kemudian hal lain adalah masalah terbatasnya profesi terkait seperti psikiatri di beberapa rumah sakit di Indonesia. Selain itu Dr. Thomarius mantan kepala RSJ Manado mengungkapkan bahwa kebanyakan RS milik pemerintah hanya menyediakan obat generik untuk penderita skizofrenia. Padahal dengan adanya kemajuan teknologi dan medeikasi psikiatri, memungkinkan pasien mendapat pengobatan dengan takaran yang lebih tepat sasaran dan mampu mengembalikan produktivitas pasien lebih cepat. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan menekankan bahwa “Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”. Kemudian dalam Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan menyatakan “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara”. Dilanjutkan Pasal 149 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat”. Namun dalam masyarakat Indonesia, dalam hal ini sebagian masyarakat kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan, memandang bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyarakat sekiatr dan tak jarang dari mereka lebih bersikap tidak peduli pada penderita skizofrenia. Padahal sikap mereka akan semakin memperburuk keadaan penderita skizofrenia. Karena seharusnya masyarakat juga turut memberikan dukungan secara psikososial bagi anak penderita skizofrenia dan juga dukungan psikososial untuk keluarga anak penderita skizofrenia. Relasi yang baik antara



7



keluarga, masyarakat dan juga anak penderita skizofrenia sangatlah membantu dalam proses penyembuhan anak penderita skizofrenia. Motivasi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah agar pola komunikasi antara keluarga dengan anak penderita skizofrenia tetap terjalin relasi dan komunikasi yang baik sehingga anak penderita skizofrenia tetap memiliki rasa dibutuhkan di dalam keluarga yang mana akan mempercepat proses penyembuhan anak penderita skizofrenia tersebut. Harapan peneliti dalam penelitian ini adalah peneliti berharap walaupun keluarga mengalami stressor yang cukup berat karena memiliki anak penderita skizofrenia, keluarga tetap menjaga pola komunikasi yang baik dimana dengan adanya komunikasi yang penuh cinta, kasih sayang, dukungan baik secara psikologis maupun sosial, anak penderita skizofrenia dapat pulih kembali walau harus melalui proses yang panjang dalam pemulihannya. Selain itu juga, agar stigma masyarakat maupun keluarga terhadap anak penderita skizofrenia berangsur-angsur dapat diminimalisir agar terciptanya suatu kondisi di lingkungan Jagakarsa yang lebih peka dan lebih megayomi dan saling memberikan dukungan satu sama lain. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana Pola Komunikasi Keluarga Terhadap Anak Penderita Skizofrrenia Di Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan. Selanjutnya, masalah penelitian ini dirinci ke dalam sub-sub masalah penelitian yang meliputi: 1. Bagaimana karakteristik responden? 2. Bagaimana pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia? 3. Bagaimana seseorang dapat mengalami skizofrenia? 4. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam menangani responden? 5. Bagaimana peran keluarga sehingga anak menderita skizofrenia? 6. Bagaimana dampak pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai: 1. 2. 3. 4.



Karakteristik responden Pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia Penyebab anak menderita skizofrenia Upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam menangani responden



8



5. Peran keluarga sehingga anak menderita skizofrenia 6. Dampak pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya khazanah pengetahuan pekerjaan sosial di bidang pelayanan sosial terhadap anak penderita skizofrenia. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah anak penderita skizofrenia. II.



KAJIAN KONSEPTUAL A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu merupakan suatu hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh peneliti lain. Hasil penelitian terdahulu yakni : 1) Penelitian yang dilakukan oleh Khairun Nufus dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Penelitian ini untuk mengetahui Program Pengenalan Citra Diri Dan Citra Orang Lain Dalam Peningkatan Kualitas Pola Komunikasi Anak Didik Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Pria Tangerang Provinsi Banten. Dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pola komunikasi yang sering terajdi dalam keluarga juga sering terjadi dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Pria Tangerang Provinsi Banten. Hasil penelitian ini adalah mampu menemukan kemudian menggambarkan tentang hasil dilapangan, bahwa pola komunikasi yang sering terajdi dalam keluarga juga sering terjadi dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Pria Tangerang Provinsi Banten. Kemudian ada dua pola yang sering digunakan andikpas, yaitu pola komunikasi menggunakan model bongsengan (isyarat jari) dan model gambar. Model bongsengan dianggap mampu membantu, jika bahasa verbal tidak dapat menyampaikan pesan dengan baik dan model gambar dianggap mampu menjadi media jika ada sesuatu yang tidak bisa disampaikan secara lisan. 2) Penelitian yang dilakukan oleh Anjar Winastuti dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Penelitian ini membahas tentang Pola Komunikasi Anak Jalanan Antar Pribadi di Simpang Lima Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola komunikasi yang sering digunakan oleh informan dengan teman sebaya,



9



informan dengan pedagang kaki lima, informan dengan masyarakat adalah model stimulus-respon (S-R), model ABX, dan model interaksional. 3) Penelitian yang dilakukan oleh Sudirman dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Penelitian ini membahas tentang Dukungan Sosial Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan di Kelurahan Parit Tokaya Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak. Dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial masyarakat dalam aspek dukungan emosional, informatif dan instrumental terhadap penderita skizofrenia pasca perawatan di Kelurahan Parit Tokaya Kecamatan Pontianak Selatan Kota Pontianak telah diberikan. Namun, belum dapat dikatakan stabil karena penderita belum dapat menerima dukungan tersebut dengan baik. Hanya penghargaan yang telah diberikan dan dapat diterima dengan baik oleh penderita. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam memberikan dukungan sosial terhadap penderita skzofrenia pasca perawatan adalah keterbatasan warga dalam memahami penderita dan penyakit skizofrenia. 4) Relevansi ketiga penelitian diatas dengan penelitian ini Pada penelitian yang telah dilakukan oleh ketiga peneliti tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu pola komunikasi yang efektif untuk diterapkan adalah pola komunikasi S-R dimana model komunikasi ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Model S-R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat non verbal, gambar-gambar dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Dengan kata lain menganggap proses komunikasi S-R sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan. Proses ini dapat bersifat timbal balik dan mempunyai efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi berikutnya (Erfing Goffman). Jadi, pola komunikasi semacam ini dapat menjadi salah satu alternatif yang baik bagi keluarga agar selalu ditingkatkan untuk memberikan dorongan dan dukungan psikososial bagi anak penderita skizofrenia. B. Tinjauan Konseptual 1. Tinjauan Tentang Pola Komunikasi a. Pengertian Pola Komunikasi Setiap orang di dalam masyarakat, secara kodratnya senantiasa terlibat dalam komunikasi. Terjadinya komunikasi merupakan konsekuensi sebagai hubungan sosial untuk membangun dan memelihara hubungan kita dengan



10



orang lain. Masyarakat paling sedikit berjumlah dua orang yang saling berhubungan satu sama lain menimbulkan interaksi sosial. Terjadinya interaksi sosial disebabkan interkomunikasi. Menurut raymond S. Ross dalam buku Ilmu Komunikasi karya Deddy Mulyana, dijelaskan bahwa “komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih, mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator”. Tujuan umum dari komunikasi adalah pertukaran informasi, sumbersumber, dan pengalaman-pengalaman saling pengertian dan saling berhubungan antar pribadi, saling mempengaruhi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, saling memberi respon, atau dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Istilah Pola Komunikasi biasa disebut juga sebagai model, yaitu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang berhubungan satu sama lain untuk tujuan pendidikan keadaan masyarakat. Pola adalah bentuk atau model (lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika yang ditimbulkan cukup mencapai suatu sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukan atau terlihat. Pola komunikasi adalah proses yang dirancang untuk mewakili kenyataan keterpautan unsur-unsur yang dicakup beserta keberlangsungan, guna memudahkan pemikiran secara sistematik dan logis. Pola komunikasi yang baik tergantung bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan agar maksud pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh komunikan dan tidak terjadi salah persepsi terhadap pesan yang disampaikan. Pola komunikasi yang baik akan mempengaruhi pola anak penderita skizofrenia dan diharapkan akan tercipta pola asuh keluarga yang baik bagi pemulihan kondisi anak penderita skizofrenia. Komunikasi merupakan proses terjadinya proses pertukaran kata dengan dengan arti dan makna tertentu. Dari sudut pandang pertukaran, makna komunikasi dapat didefinisikan sebagai “Proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu”. Pertukaran makna merupakan inti dari komunikasi karena



11



yang terpenting dari komunikasi adalah inti atau makna dari kata-kata yang ditanggapi komunikan itu sendiri bukan kata katanya. Komunikasi merupakan kegiatan yang dinamis karena selama komunikasi berlangsung dengan baik pada komunikator maupun komunikan akan terus terjadi saling memberi dan menerima pengaruh dan dampak dari komunikasi itu sendiri. Komunikasi pasti terjadi di dalam kehidupan keluarga tak terkecuali kehidupan keluarga yang mempunyai anak penderita skizofrenia. Baik itu keluarga inti maupun keluarga terdekat lainnya. Seperti yang kita ketahui, tanpa pola komunikasi yang baik, tujuan tidak akan tercapai akibatnya gangguan pada (penyempitan) holding environment dalam keluarga. Para anggota kelaurga semakin berkurang kapasitasnya untuk memberikan holding dan membina centered relating satu sama lain, termasuk pada anak penderita skizofrenia. Kondisi ini kurang kondusif bagi perjalanan penyakit anak dan mengakibatkan anak penderita skizofrenia rentan untuk mengalami kekambuhan maupun memperlama proses penyembuhan. Oleh karena itu komunikasi yang baik perlu dibangun diantara keluarga terhadap anak penderita skizofrenia agar tercipta hubungan yang harmonis yang saling memberikan dukungan satu sama lain di dalam keluarga tersebut. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2004:38), berdasarkan kasuitik perilaku orang tua dan anak yang sering muncul di dalam keluarga , pola komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga adalah berkisar pada model stimulusrespon (S - R), model ABX dan model interaksional. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat apakah ketiga model ini yang sering terjadi di dalam keluarga juga terjadi di dalam keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia di Jagakarsa, melihat keluarga pasti sedang mengalami stressor yang cukup berat dengan adanya anggota keluarga yang menginap penyakit skizofrenia. Adapun ketiga model komunikasi tersebut adalah: a. Model Stimulus – Respon (S – R) Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Pola S – R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar dan tindakantindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Oleh karena itu, proses ini dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan.proses ini dapat



12



bersifat timbal balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi selanjutnya. b. Model ABX Theodore Newcomb (1953) memandang komunikasi dari perspektif psikologi-sosial. Modelnya mengingatkan kita akan diagram jaringan kelompok yang dibuat oleh para psikolog sosialdan meruakan formulasi awal mengenai konsistensi kognitif. Model Newcomb atau model ABX menggambarkan bahwa seseorang (A) mempunyai informasi kepada seseorang lainnya (B) mengenai sesuatu (X). Model tersebut mengasumsikan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X saling bergantungan dan ketiganya merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat orientasi, yaitu (1) orientasi A terhadap X, yang meliputi sikap terhadap X sebagai objek yang harus didekati atau dihindari dan atribut kognitif (kepercayaan dan tatanan kognitif), (2) orientasi A terhadap B, dalam pengertian yang sama, (3) orientasi B terhadap X dan (4) orientasi B terhadap A. Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, dikatakan bahwa bila A dan B mempunyai sikap positif terhadap satu sama lain dan terhadap X (orang, gagasan, atau benda) hubungan itu merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci dan salah satu menyukai X, sedangkan lainnya tidak, hubungan itu juga merupakam simetri. Akan tetapi, bila A dan B saling menyukai namun mereka tidak sependapat mengenai X, atau mereka saling membenci namun sependapat mengenai X, maka hubungan mereka bukan simetri. c. Model Interaksional Model interaksional ini “berlawanan” dengan model S – R dan juga modelmodel linear lainnya yang ada. Jika beberapa model lain mengasumsikan manusia sebagai pasif, model interaksional menganggap manusia jauh lebih aktif. Komunikasi disini digambarkan sebagai pembentukkan makna, yaitu penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Beberapa konsep penting yang digunakan adalah diri sendiri, diri orang lain, simbol, makna, penafsiran dan tindakan. Interaksi yang terjadi antar individu saling aktif, reflektif dalam memaknai dan menafsirkan pesan yang di komunikasikan. Semakin cepat mwmberikan pemaknaan dan penafsiran terhadap pesan yang disampaikan semakin lancar kegiatan



13



komunikasi. Diaman di dalam interaksi ada komunikasi dengan berbagai pola yang dianggap baik untuk digunakan dalam kegiatan komunikasi. Jika anak penderita skizofrenia di Jagakarsa terbangun komunikasi dengan berbagai pola yang baik, seperti pola komunikasi dimana holding environment dan centered relating yang baik terjalin di dalam keluarga, maka proses penyembuhan maupun pemulihan anak penderita skizofrenia akan semakin cepat dan baik. b. Hambatan Komunikasi Dalam berkomunikasi, biasanya akan menemui berbagai hambatan. Jika tidak ditanggapi dan disikapi secara tepat, akan membuat proses komunikasi yang terjadi menjadi sia-sia karena pesan yang disampaikan tidak tersampaikan dengan baik. Syaiful Bahri Djamarah (2004:62) mengatakan bahwa ada beberapa hambatan yang mempengaruhi komunikasi yang efektif dalam keluarga yaitu: a. Suasana Psikologis Suasana psikologis diakui mempengaruhi komunikasi. Komunikasi diakui sulit berlangsung bila seseorang dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati, diliputi prasangka dan suasana psikologis lainnya. b. Citra diri dan Citra Orang Lain Ketika orang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, dia mempunyai citra diri. Dia merasa dirinya sebagai apa dan bagaimana.setiap orang mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, statusnya, kelebihan dan kekurangannya. Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berkomunikasi. Orang lain mempunyai gambaran yang khas mengenai dirinya. c. Lingkungan Fisik Komunikasi dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja dengan gaya dan cara yang berbeda. d. Kepemimpinan Seorang pemimpin tidak hanya dapat mempengaruhi anggota keluarga yang dipimpinnya, tetapi juga dapat mempengaruhi kondisi dan suasana kehidupan sosial keuarga. e. Bahasa Berbagai bahasa yang dipergunakan di daerah lain sering tersisip di dalam komunikasi. Karena bahasa yang dipakai itu terasa asing dan tidak pernah didengar, seseorang tidak pernah mengerti apa yang sedang



14



dibicarakan oleh lawan bicara. Akibatnya komunikasi menjadi terhambat f.



dan pembicaraan tidak komunikatif. Perbedaan Usia Komunikasi dipengaruhi oleh usia, itu berarti setiap orang tidak bisa berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara. Berbicara kepada anak kecil berbeda ketika berbicara kepada



remaja. Mereka mempunyai dunia masing-masing untuk dipahami. c. Mengatasi Hambatan Komunikasi Stoner dan Wenkel dalam Moekijat (1993:216), mengemukakan cara-cara mengatasi hambatan komunikasi yaitu: a. Mengatasi penglihatan atau persepsi yang berbeda Untuk mengatasi persepsi-persepsi yang berbeda, pesan harus dijelaskan sehingga pesan tersebut dapat dimengerti oleh mereka yang mempunyai sudut pandang dan pengalaman yang berbeda. b. Mengatasi peerbedaan bahasa yang ada Untuk mengatasi perbedaan bahasa yang ada, pengertian istilah-istilah yang tidak lazim atau bersifat teknis harus dijelaskan. Harus digunakan bahasa yang sederhana, langsung dan bahasa yang sudah biasa dipakai. c. Mengatasi Saura Apabila anda melihat bahwa penerima tidak mendengarkan dengan sungguh-sungguh, usahakan memperoleh kembali perhatiannya. Hindari lingkungan yang mengacaukan pikiran. d. Mengatasi emosi Peka terhadap kejiwaannya sendiri dan menyadari bagaimana keadaan jiwa itu dapat mempengaruhi orang lain sebelum mengkomunikasikan suatu pesan yang penting kepada mereka. e. Mengatasi komunikasi verbal dan non verbal yang tidak sesuai Kunci untuk mengaatsi ketidaksesuaian dalam komunikasi adalah f.



menyadarinya dan tidak berusaha menyampaikan pesan yang palsu. Mengatasi rasa tidak percaya Mengatasi rasa tidak percaya sebagian besar merupakan proses menciptakan rasa percaya. Kepercayaan adalah hasil proses jangka panjanng dimana kejujuran, kewajaran dan maksud yang baik diketahui oleh orang lain.



Kemampuan seseorang dalam mengatasi hambatan dalam komunikasi membutuhkan keterampilan. Baik dari komunikator maupun komunikan. Oleh karena itu, keluarga diharapkan mampu mengatasi hambatan dalam komunikasi. 2. Tinjauan tentang Keluarga



15



a. Pengertian Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya (Kurniadi, 2001:271). Keluarga merupakan bagian masyarakat yang fundamental bagi kehidupan pembentukkan kepribadian anak manusia. Hal ini diungkapkan Muhidin (1981:52) yang mengemukakan bahwa; “Tidak ada satupun lembaga kemasyarakatan yang lebih efektif di dalam membentuk kepribadian anak selain kelaurga. Keluarga tidak hanya membentuk anak secara fisik tetapi juga berpengaruh secara psikologis”. Pendapat diatas dimungkinkan karena kelaurga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak manusia di dalam keluarga seorang anak dibesarkan, mempelaajri cara-cara pergaulan yang akan dikembangkan kelak di lingkungan kehidupan sosial yang ada dilaur kelaurga. Karena beragam dan luasnya pengertian tentang keluarga maka penting adanya pembaatsan atau definisi keluarga. Diantaranya pendapat Burgess dan Lock yang membedakan keluarga dengan kelompok sosial lainnya adalah sebagai berikut: 1. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Pertalian antara suami dan istri adalah perkawinan dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah darah atau kadangkala adopsi 2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga, kadang-kadang seperti masa lampau rumah tangga adalah keluarga luas, meliputi didalamnya empat sampai lima generasi. Sekarang rumah tangga semakin kecil ukurannya, umumnya dibatasi oleh suami istri anak atau dengan satu anak, dua atau tiga anak. 3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami dan istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Peranan-peranan tersebut dibatasi oleh masyarakat, tetapi masing-masing keluarga diperkuat melalui sentimen-sentimen yang sebagian merupakan tradisi dan sebagian lagi emosional yang menghasilkan pengalaman.



16



Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang hidup bersama dari beberapa orang yang mempunyai asal usul yang sama yang bertempat kediaman sama, keluarga merupakan gejala universal sebagai bentuk kehidupan sosial diseluruh dunia didasarkan atas ikatan emosional antara suami istri dengan anak-anak terhadap orang tuanya (Susanto, 1995:177). Dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat, yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Komunikasi keluarga merupakan komunikasi antara suami istri, serta orang tua dan anak adalah suatu hal yang sangat krusial dalam suatu keluarga, karena melalui komunikasi masing-masing pihak dapat saling memahami dan apabila proses dijalankan dalam waktu yang lama akan menimbulkan saling pengertian diantara masing-masing pihak. Diantara cara yang khas tersebut komunikasi keluarga menggunakan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi sebagai saluran komunikasi. Bentuk komunikasi antara orang tua (ayah-ibu) dan anak berkaitan erat dengan peranan masing-masing anggota keluarga dalam menjalankan fungsi keluarga dalam arti luas. Orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu anak-anak memahami kehidupan melalui berbagai kegiatan sehari-hari. Dilihat dari pengertian di atas bahwa kata-kata, sikap tubuh, intonasi suara dan tindakan, mengandung maksud mengajarkan, mempengaruhi dan memberikan pengertian. Sedangkan tujuan pokok dari komunikasi ini adalah memelihara interaksi antara satu anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Komunikasi dalam keluarga juga dapat diartikan sebagai kesiapan membicarakan dengan terbuka setiap hal dalam keluarga baik yang



17



menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, juga siap menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga dengan pembicaraan yang dijalani dalam kesabaran dan kejujuran serta keterbukaan. Terlihat dengan jelas bahwa dalam keluarga pasti membicarakan hal-hal yang terjadi pada setiap individu, komunikasi yang dijalin merupakan komunikasi yang dapat memberikan suatu hal yang dapat diberikan kepada setiap anggota keluarga lainnya. Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang terjadi diantara anggota keluarga dapat dibicarakan dengan mengambil solusi terbaik. b. Fungsi Komunikasi Keluarga Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yang sulit diubah dan digantikan oleh orang atau lembaga lain tetapi karena masyarakat sekarang ini telah mengalami perubahan, tidak menutup kemungkinan sebagian dari fungsi sosial keluarga tersebut mengalami perubahan. Menurut Gunarsa (Dasrun hidayat, 2012 : 154) dalam bukunya “Psikologi untuk keluarga menyatakan bahwa Keluarga memiliki delapan fungsi”, yaitu: 1. Fungsi Edukatif Sebagai suatu unsur dari tingkat pusat pendidikan, merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Dalam kedudukan ini, adalah suatu kewajaran apabila kehidupan keluarga sehari-hari, pada saat-saat tertentu terjadi situasi pendidikan yang dihayati oleh anak dan diarahkan pada perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 2. Fungsi Sosialisasi Melalui interaksi dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita serta nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka pengembangan kepribadiannya. Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi ini, keluarga mempunyai kedudukan sebagai penghubung antara anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial yang meliputi penerangan, penyaringan dan penafsiran ke dalam bahasa yang dimengerti oleh anak. 3. Fungsi Protektif Fungsi ini lebih menitik beratkan dan menekankan kepada rasa aman dan terlindungi apabila anak merasa aman dan terlindungi barulah anak dapat bebas melakukan penjajagan terhadap lingkungan. 4. Fungsi Afeksional



18



Yang dimaksud dengan fungsi afeksi adalah adanya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Anak biasanya mempunyai kepekaan tersendiri akan iklim-iklim emosional yang terdapat dalam keluarga kehangatan yang terpenting bagi perkembangan kepribadian anak. 5. Fungsi Religius Keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak serta keluarga pada kehidupan beragama. Sehingga melalui pengenalan ini diharapkan keluarga dapat mendidik anak serta anggotanya menjadi manusia yang beragama sesuai dengan keyakinan keluarga tersebut. 6. Fungsi Ekonomis Fungsi keluarga ini meliputi pencarian nafkah, perencanaan dan pembelanjaannya. Pelaksanaanya dilakukan oleh dan untuk semua anggota keluarga, sehingga akan menambah saling mengerti, solidaritas dan tanggung jawab bersama. 7. Fungsi Rekreatif Suasana keluarga yang tentram dan damai diperlukan guna mengembalikan tenaga yang telah dikeluarkan dalam kehidupan sehari-hari 8. Fungsi Biologis Fungsi ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis keluarga, diantaranya kebutuhan seksual. Kebutuhan ini berhubungan dengan pengembangan keturunan atau keinginan untuk mendapatkan keturunan. Selain itu juga yang termasuk dalam fungsi biologis ini yaitu perlindungan fisik seperti kesehatan jasmani dan kebutuhan jasmani yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan akan mempengaruhi jasmani setiap anggota keluarga. c. Bentuk – Bentuk Komunikasi Keluarga 1.



Komunikasi orang tua yaitu suami-istri Komunikasi orang tua yaitu suami istri disini lebih menekankan pada peran penting suami istri sebagai penentu suasana dalam keluarga. Keluarga dengan anggota keluarga (ayah, ibu, anak).



2.



Komunikasi orang tua dan anak Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak dalam satu ikatan keluarga di mana orang tua bertanggung jawab dalam mendidik anaknya. Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak di sini bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap sesuatu hal di mana antara orang tua dan anak berhak menyampaikan pendapat, pikiran, informasi atau nasehat. Hubungan komunikasi yang efektif ini terjalin karena adanya rasa



19



keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, kesamaan antara orang tua dan anak. 3.



Komunikasi ayah dan anak Komunikasi disini mengarah pada perlindungan ayah terhadap anak. Peran ayah dalam memberi informasi dan mengarahkan pada hal pengambilan keputusan pada anak yang peran komunikasinya cenderung meminta dan menerima. Misal, memilih sekolah. Komunikasi ibu dan anak Lebih bersifat pengasuhan kecenderungan anak untuk berhubungan dengan ibu jika anak merasa kurang sehat, sedih, maka peran ibu lebih menonjol.



4.



Komunikasi anak dan anak yang lainnya Komunikasi ini terjadi antara anak yang satu dengan anak yang lain. Dimana anak yang lebih tua lebih berperan sebagai pembimbing pada anak yang masih muda. Biasanya dipengaruhi oleh tingkatan usia atau faktor kelahiran. Komunikasi keluarga penting dalam membentuk suatu keluarga yang harmonis, dimana untuk mencapai keluarga yang harmonis, semua anggota keluarga harus didorong untuk mengemukakan pendapat, gagasan, serta menceritakan pengalaman-pengalaman. Komunikasi orang tua dan anak adalah suatu proses hubungan antara orang tua yaitu ibu, ayah dan anak yang merupakan jalinan yang mampu memberi rasa aman bagi anak melalui suatu hubungan yang memungkinkan keduanya untuk saling berkomunikasi sehingga adanya keterbukaan, percaya diri dalam menghadapi masalah. Komunikasi antara orang tua dan anak dalam keluarga merupakan interaksi yang terjadi antara anggota keluarga dan merupakan dasar dari perkembangan anak.



3. Tinjauan Tentang Anak a. Pengertian Anak Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki



20



ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik adalah semua anak tidak mungkin memiliki pertumbuhan fisik yang sama. Demikian juga halnya perkembangan kognitif juga mengalami perkembangan yang tidak sama. Adakalanya anak dengan perkembangan kognitif yang cepat dan juga adakalanya perkembangan kognitif yang lambat. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang anak. Perkembangan konsep diri ini sudah ada sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada anak. Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hampir sama dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping pada anak juga sudah terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat pada saat bayi anak menangis. Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya. Kemudian perilaku sosial pada anak juga mengalami perkembangan yang terbentuk mulai bayi. Pada masa bayi perilaku social pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang lain dengan menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku social juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005). Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak- kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang memengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia. b. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah



21



kesehatan termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sering kali para orang tua mempunyai pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai pengertian yang sama ( Nursalam, 2005). Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan pertambahan ukuran sel berarti ada pertambahan secara kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya konsepsi, yaitu bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Jadi, pertumbuhan lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala. Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki. Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah. Pada masa fetal pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total panjang badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara teratur. Pada usia dua tahun, besar kepala kurang dari seperempat panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah lebih dari seperempatnya. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Freud dalam buku Skizofrenia karya Iman Setiadi bicara soal perkembangan kepribadian dari fase orel – genital. Dari primary narcissim ke object relations; dari infantile sexuality ke genital supremacy. Freud bicara bagaimana libido dari tak terarah dan mentah menjadi terarah dan tersublimasi. Hambatan di fase-fase perkembangan, terutama di fase awal akan membuat pertumbuhan ini terhambat dan pribadi yang bersangkutan terpaku pada fase perkembangan tersebut. Ini yang disebut fiksasi. Bilamana seseorang mengalami fiksasi, maka perkembangan kepribadiannya terhambat. Secara mental ia “macet” di suatu fase. Ia menjalani



22



kehidupannya dengan kepribadian yang rentan dan dengan energi mental yang makin lama makin lemah dan dengan demikian menjadi rentan terhadap stress. Bilamana ia mengalami kesulitan penyesuaian diri dan mengalami stress di masa remaja/dewasa maka ia akan mengalami regresi ke fase perkembangan dimana ia mengalami fiksasi. Orang yang mengalami skizofrenia terfiksasi di fase early oral. Di fase itu kepribadian seseorang sedang berada dalam tahapan primary narcissm dengan ciri belum mengenal object dan adanya omnipotence illusion. Dari primary narcissm ia semestinya beralih ke object relations, dimana ia mengenal object dan omnipotence illution-nya mengalami disillutionment. Perpindahan ini dapat terwujud dengan baik bilamana secara biologis ia berkembang dengan normal dan bilamana ia mendapatkan pengalaman dan pengasuhan yang memadai. Di dalam penelitian ini anak yang dimaksud adalah anak yang berusia 19 tahun yang sudah memasuki tahap perkembangan remaja dimana anak tersebut merupakan seorang penderita skizofrenia. 4. Tinjauan Tentang Skizofrenia a. Pengertian Skizofrenia Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007). Skizofrenia berasal dari kata mula-mula digunakan oleh Eugene Bleuler, seorang psikiater berkebangsaaan Swiss. Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007). Skizofrenia dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010). b. Etiologi Skizofrenia dapat dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut : a. Keturunan



23



Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-60% kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61- 68%. Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif (Lumbantobing, 2007). b. Gangguan anatomik Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu : Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA sentral (Lumbantobing, 2007). c. Biokimiawi Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf (Lumbantobing, 2007). c. Gejala-Gejala Skizofrenia Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi 2 kelompok gejala positif dan gejala negatif. a. Gejala Negatif Pada gejala negatif terjadi penurunan, pengurangan proses mental atau proses perilaku (Behavior ).Hal ini dapat menganggu bagi pasien dan orang disekitarnya. 1) Gangguan afek dan emosi Gangguan dan emosi pada skizofrenia berupa adanya kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya : pasien menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarga dan masa depannya serta perasaan halus sudah hilang, hilangnya kemampuan untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport), terpecah belahnya kepribadian maka hal-hal yang berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama atau menangis, dan tertawa tentang suatu hal yang sama (ambivalensi) (Lumbantobing, 2007). 2) Alogia



24



Penderita sedikit saja berbicara dan jarang memulai percakapan dan pembicaraan. Kadang isi pembicaraan sedikit saja maknanya. Ada pula pasien yang mulai berbicara yang bermakna, namun tiba-tiba ia berhenti bicara, dan baru bicara lagi setelah tertunda beberapa waku (Lumbantobing, 2007). 3) Avolisi Ini merupakan keadaan dimaa pasien hampir tidak bergerak, gerakannya miskin. Kalau dibiarkan akan duduk seorang diri, tidak bicara, tidak ikut beraktivitas jasmani (Lumbantobing, 2007). 4) Anhedonia Tidak mampu menikmati kesenangan, dan menghindari pertemanan dengan orang lain (Asociality) pasien tidak mempunyai perhatian, minat pada rekreasi. Pasien yang sosial tidak mempunyai teman sama sekali, namun ia tidak memperdulikannya (Lumbantobing, 2007). 5) Gejala Psikomotor Adanya gejala katatonik atau gangguan perbuatan dan sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya kemauan saja maka dapat dilihat adanya gerakan yang kurang luwes atau agak kaku, stupor dimana pasien tidak menunjukkan pergerakan sam sekali dan dapat berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun lamanya pada pasien yang sudah menahun; hiperkinese dimana pasien terus bergerak saja dan sangat gelisah (Kaplan and Sadock, 2010). b. Gejala Positif Gejala positif dialami sensasi oleh pasien, padahal tidak ada yang merangsang atau mengkreasi sensasi tersebut. Dapat timbul pikiran yang tidak dapat dikontrol pasien. 1) Delusi (Waham) Suatu delusi (waham) adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien ataupun pendidikannya; pasien tidak dapat diyakinkan oleh orang lain bahwa keyakinannya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut. Ada beberapa jenis delusi, yaitu: a. Grandeur (Waham Kebesaran)



25



Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar biasa, misalnya seorang artis terkenal atau seorang nabi atau merasa dirinya Tuhan. b. Guilt (waham rasa bersalah) Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang sangat besar. c. Ill Health (waham penyakit) Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat serius. d. Jealousy (waham cemburu) Pasien yakin bahwa pasangan mereka telah berlaku tidak setia e. Passivity (waham pasif) Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasikan oleh berbagai kekuatan dari luar, misalnya oleh suatu pancaran f.



sinyal radio makhluk Mars Persecution (waham kejar) Pasien merasa mereka dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang



ingin mencelakainya g. Poverty (waham kemiskinan) Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada kenyataannya tidak demikian. h. Reference (waham rujukan) Pasien merasa mereka dibicarakan oleh orang lain secara luas. Misalnya menajdi pembicaraan masyarakat atau disiarkan di 2)



televisi. Halusinasi Adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapatstimulus sensorik yang berkaitan dengannnya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indra yang keliru, tetai yang paling serig adalah halusinasi dengar (auditory) dan halusinasi penglihatan (visual). Contoh halusinasi: pasien merasa mendengar suara-suara yang mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang mengajaknya bicara; atau pasien merasa ia melihat sesuatu yang



pada kenyataannya tidak ada. 3) Disorganized speech Dalam pembicaraan yang kacau, etrdapat asosiasi yang terlalu longgar. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturanaturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien. 4) Disorganized behavior



26



Berbagai tingkah laku yang tidak terarah pada tujuan tertentu. Misalnya membuka baju di depan umum, berulang kali membuat tanda salib tanpa makna, dll. 5) Simptom – Simptom Negatif Berkurangnya ekspresi emosi, berkurangnya kelancaran dan isi pembicaraan, kehilangan minat untuk melakukan berbagai hal (avolition) d. Kriteria Diagnostik Skizofrenia Menurut DSM-IV TR Paling tidak ada enam kriteria diagnostik skizofrenia menurut DSM-IV TR sebagai berikut: 1) Simptom – Simptom yang Khas Dua atau lebih dari 5 simptom yang khas ini, masing-masing muncul cukup jelas selama jangka waktu satu bulan (atau kurang, bila ditagani dengan baik):  Delusi  Halusinasi  Pembicaraan kacau  Tingkah laku kacau  Simptom-simptom negatif 2) Disfungsi sosial/okupasional 3) Durasi Simtom – simtom gangguan ini tetap ada untuk paling sedikit 6 bulan. Periode 6 bulan ini mencakup paling tidak 1 bulan dimana simptomsimptom muncul. 4) Tidak termasuk gangguan schizoaffective atau gangguan mood 5) Tidak etrmasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis 6) Hubungan dengan Persasive Developmental Disorder e. Tipe – Tipe Skizofrenia 1. Skizofrenia tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afek yang relatif masih terjaga. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid adalah preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami halusinasi auditorik. Kriteria selanjutnya adalah tidak ada ciri yang mencolok: bicara kacau, motorik kacau atau katatonik, afek yang tak sesuai atau datar. 2. Skizofrenia tipe disorganized Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah pembiacaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropiate. Pembiacaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat berkaitan dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku misalnya: kurang orientasi 27



pada tujuan) dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas sehari-hari. 3. Skizofrenia tipe katatonik Ciri utama pada tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik, aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau bicara ddan berkomunikasi), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolalia (mengulang ucapan orang lain) atau echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain). 4. Skizofrenia tipe undifferentllated Sejenis skizofrenia dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu. Kriteria diagnostik untuk tipe skizofrenia ini adalah sejenis skizofrenia dimana simptom-simptom memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia tipe paranoid, disorganized ataupun katatonik. 5. Skizofrenia tipe residual Diagnosa tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simptom positif yang menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya negatif simptom atau simptom positif yang lebih halus. 5. Relevansi Pekerjaan Sosial dengan Perempuan Rawan Sosial Ekonomi 1. Pengertian Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial merupakan profesi yang memiliki tanggung jawab dalam memberikan pertolongan secara profesional keterampilan dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai ilmiah kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup mereka. Dengan demikian anak penderita skizofrenia yang senantiasa memiliki permasalahan dalam kehidupannya memerlukan pertolongan pekerja sosial agar dapat mencapai tujuan dalam kehidupannya, dalam hal ini adalah pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia. Pengertian tersebut menunjukan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang kegiatannya menolong orang. Kegiatan pertolongan tersebut ditujukan kepada individu, kelompok, maupun masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kemampuannya dalam berfungsi sosial. Dalam definisi tersebut mengandung tiga fungsi pokok yaitu :



28



a) Pekerjaan sosial dinyatakan sebagai kegiatan profesional. b) Sasaran kegiatannya adalah untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat. c) Tujuan pekerjaan sosial adalah agar mampu :  Memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfingsi sosial.  Menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka atau orang dapat mencapai tujuan hidupnya. Kemudian Heru Dwi Sukoco (1991:7) menjelaskan bahwa Pekerjaan Sosial merupakan profesi yang berhubungan dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial karen kegiatannya bertujuan untuk membantu meningkatkan Individu, Kelompok, atau masyarakat yang mengalami ketidakberfungsian sosial. Hal tersebut dinyatakan juga oleh Zastrow yang mendefenisikan Pekerjaan Sosial merupakan kegiatan profesional untuk individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperoleh dan memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial, serta menciptakan kondisi yang memungkinkan mereka mencapai tujuan. 2. Fungsi Pekerjaan Sosial Menurut Pincus dan Minahan (1973) dalam Dwi Heru Sukoco (1991), fungsi pekerjaan sosial adalah : 1) Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka alami. 2) Mengkaitkan orang dengan sistem-sistem sumber. 3) Memberikan fasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber. 4) Memberikan fasilitas interaksi didalam sistem-sistem sumber. 5) Mempengaruhi kebijakan sosial. 6) Memeratakan atau menyalurkan sumber-sumber material. 7) Memberikan pelayanan sebagai pelayanan kontrol sosial. 3. Peranan Pekerja Sosial a. Sebagai perancang program/perencana sosial (social planer). Setelah mengetahui kondisi yang sebenarnya, maka pekerja sosial dapat menentukan rancangan program alternatif untuk mengatasi pola komunikasi keluarga terhadap anak penderita skizofrenia di Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan sehingga terciptanya pola komunikasi yang baik dimana pola komunikasi yang baik akan memberikan pengaruh pada proses penyembuhan anak penderiat skizofrenia. b. Sebagai fasilitator. 29



Peran sebagai fasilitator ini dilakukan pekerja sosial bersama pihak keluarga untuk mencari jalan keluar agar keluarga dapat mempertahankan pola komunikasi yang baik terhadap anak penderita skizofrenia walaun keluarga sedang mengalami stressor yang cukup berat atas permasalahan yang sedang dialami. c. Sebagai pemercepat perubahan (enabler). Sebagai enabler, seorang pekerja sosial membantu mengatasi hambatan yang dihadapi keluarga dalam menerapkan pola komunikasi yang baik. Sehingga diharapkan perubahan segera dapat dirasakan oleh anak penderita skizofrenia. d. Sebagai perantara (broker). Sebagai perantara, pekerja sosial menjadi penghubung antara sistem kegiatan dengan sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan, yang dalam hal ini menghubungkan keluarga dengan terapis atau profesi terkait agar keluarga mendapatkan family therapy dan membentuk self help group yang dipimpin oleh profesi terkait. Selain itu juga pekerja sosial bisa menjadi perantara antara keluarga dengan profesional terkait seperti bidang psikologis, medis, dan mungkin kerohanian dalam rangka mengupayakan proses penyembuhan anak penderita skizofrenia.



III.



METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Penggunaan desain tersebut adalah dengan harapan agar penelitian yang dilakukan bisa mendapatkan data secara mendalam, terarah dan valid berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan secara keseluruhan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Moh. Nazir (2002:91) bahwa “Pada desain studi kasus, unit sosial selalu melihat sebagai suatu keseluruhan, apakah unit tersebut adalah perorangan, keluarga ataupun kelompok sosial lainnya”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam mengumpulkan data, peneliti harus menggunakan berbagai macam teknik yang benar dan tapat agar data yang diperoleh dapat dipercaya, relevan dan valid. Pendekatan kualitatif dimaksudkan agar lebih peka dalam mengamati dan menjelaskan gambaran secara utuh mengenai pola komunikasi keluarga



30



terhadap anak penderita skizofrenia di kecamatan Jagakarsa kota Jakarta Selatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong (2000:10) yang mengatakan bahwa “metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pengaruh pola-pola nilai-nilai yang dihadapi. Oleh karena itu, dari hasil penelitian akan dihasilkan kata-kata lisan maupun tulisan, kesan, tanggapan, pendapat yang diperoleh dari informan yaitu keluarga yang diamati secara alamiah dan dari berbagai data sekunder yang ada. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terhadap empat (4) informan keluarga. Studi kasus dilakukan dengan tujuan agar peneliti dapat memberikan gambaran secara lebih mendetail tentang pola komunikasi keluarga terhadap anaknya yang meupakan penderita skizofrenia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maxfield dalam Nazir (1988) yang menyatakan bahwa: studi kasus adalah penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, masyarakat. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mmendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus. B. Ruang Lingkup Data dan Sumber Data 1. Latar Sugiyono (2005) menjelaskan bahwa latar penelitian kualitatif meliputi keseluruhan situasi sosial yang meliputi aspek tempat, pelaku dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergi. Latar dalam penelitian ini adalah wilayah kecamatan Jagakarsa. Kecamatan Jagakarsa dipilih karena beberapa alasan, wilayah ini khususnya di Jl. Sawo ada penderita skizofrenia yang masih berusia 19 tahun. Alasan lain, meskipun ada beberapa penelitian mengenai penderita skizofrenia, akan tetapi belum ada penelitian di wilayah kecamatan Jagakarsa mengenai pola komunikasi keluarga terhadap penderita skizofrenia. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini informan dapat dibagi dua yaitu: a. Sumber data primer yaitu sumber yang dapat memberikan langsung data secara lengkap dan mengetahui betul tentang situasi atau permasalahan. Yang dalam hal ini adalah keluarga melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif dimana keluarga keluarga merupakan pihak yang



31



secara langsung menerapkan pola komunikasi kepada anak penderita skizofrenia. b. Sumber data sekunder yaitu sumber yang secara tidak langsung dapat memberikan data atau juga bisa disebut sumber data penunjang seperti kepada significant other seperti penderita skizofrenia dan tetangga atau teman terdekat penderita skizofrenia maupun teman dekat pihak keluarga yang mengetahui tentang pola komunikasi yang diterapkan di dalam keluarga tersebut. C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara Mendalam Wawancara adalah pengumpulan data dengan menanyakan kpada informan. Ketika melakukan wawancara yang tersusun secara sistematis. Pedoman wawancara yang digunakan peneliti hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan kepada informan. Wawancara mendalam guna diperoleh data secara jelas sehingga dapat melengkapi temuan-temuan penelitian. b. Observasi partisipatif Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara peneliti mengamati langsung tentang apa yang akan diteliti secara alamiah. Peneliti menggunakan teknik observasi ini agar peneliti dapat melakukan pengamaatn bebas, mencatat segala hal yang berkaitan dengan penelitian, melakukan analisis dan kemudian membuat kesimpulan. c. Studi Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara peneliti menggunakan dokumentasi yang dapat diajdikan sebagai sumber data yang dibutuhkan oleh peneliti. D. Teknik Pemeriksaan Data Agar dapat menghasilkan data yang terpercaya atau absah, maka peneliti harus memeriksa keabsahan data untuk menghindari terajdinya kesalahan informasi yang diterima. Peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan uji kreadibilitas melalui: a. Perpanjangan Pengamatan Perpanjangan pengamatan akan dapat meningkatkan kepercayaan/kreadibilitas data. Dengan perpanajngan pengamatan ini berarti



32



hubungan peneliti dengan informan akan semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. b. Meningkatkan Ketekunan Melakukan pengamaatn secara lebih cermat dan berkesinambungan dimana harus melakukan pengamatan secara etrus menersu guna dapat menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan isu yang sedang diteliti. c. Triangulasi Triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian triangulasi adalah pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesautu yang lain diluar data yang telah diperoleh guna pengecekan aatu sebagai pembanding. E. Teknik Analisis Data Analisis daat dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data seperti yang dijelaskan oleh Sugiyono (2009), menggunakan model Miles and Huberman, sebagai berikut: a. Data reduksi Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya, peneliti menggunakan data reduction guna memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, mencari data lain bila diperlukan. b. Penyajian Data Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Peneliti menggunakan analisis data display tersebut guna memudahkan untuk memahami apa yang terajdi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah peneliti pahami mengenai pola komunikasi yang dietrapkan keluarga bagi anak penderita skizofrenia. c. Menarik Kesimpulan/pembuktian Analisis data conclusion drawing/verification adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan seajk awal, tetapi juga tidak karena seperti yang telah dikemukakan, bahwa masalah dan rumusan



33



dalam penelitian kualitatif masih bersifat semenyara dan akan berkembang setelah penelitian di lapangan.



34



F. Jadwal Penelitian Tabel 1 Jadwal Kegiatan Penelitian Bulan No



1. 2. 4. 5. 6. 8. 9. 10.



Kegiatan



Agus



Sep



Okt



Nov



Des



Jan



Mei



Juni



Pengajuan judul penelitian Bimbingan Penyusunan proposal Seminar proposal Pelaksanaan penelitian Penelitian a. Pengumpulan data b. Pengolahan data Penulisan laporan penelitian Ujian hasil penelitian



G.



35



Juli



Daftar Pustaka Deddy Mulyana. 2000. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya. Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung. Refika Aditama. Moh. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta ; Ghalia Indonesia. Moh. Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor ; Ghalia Indonesia. Sugiyono. 2009. Penelitian Pendidikan:Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Hasil Penelitian: Fajar Sidiq. 2011. Program “Family Support” Untuk Penerimaan Kelaurga Terhadap Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.. STKS. Anjar Winastuti.2011. Program Penguatan Pola Komunikasi Anak Jalanan Melalui Kelompok Sosialisasi Di Simpang Lima Koat Semarang Provinsi Jawa Tengah. STKS.



Sumber Lain: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-gdl-purilukita-6608-3-babii.pdf http://lubmazal.com/2014/05/14/pola-komunikasi-dalam-keluarga/ http://www.merdeka.com/peristiwa/di-indonesia-ada-18-ribu-penderita-gangguanjiwa-berat-dipasung.html Hak Asasi Penderita Gangguan Jiwa - hukumonline.com www.hukumonline.com Sakit jiwa, tapi kemana bisa berobat? - BBC Indonesia www.bbc.com



36